surat cerita

5
Saya berasal dari keluarga dengan berlatar-belakang pendidikan hukum dan sosial politik. Keluarga kami hanya keluarga kecil yang terdiri dari oma dan opa (orang tua dari mama), mama, papa, saya, dan dua orang adik laki- laki saya. Tak banyak hal istimewa yang dilalui. Keluarga saya termasuk berkecukupan di zaman itu, karena papa saya masih sehat dan masih bekerja di KOPERTIS WIL.X, oma masih aktif di partai dan mengajar sebagai dosen, dan opa sebagai pensiunan polisi. Sedangkan mama saya hanya seorang ibu rumah tangga. Saya mengecap pendidikan dimulai dari TK Bhayangkari saat berusia tiga tahun. Saat usia lima tahun, saya sudah duduk di bangku SD. Pada zaman itu, anak usia sekolah tujuh tahun yang bisa diterima di bangku SD. Sudah banyak mendaftar kesana kemari, beruntung SD Adabiah dapat menerima. Tapi saya hanya menjalani pendidikan di bangku kelas satu saja, karena ada beberapa kecurangan yang dilakukan pihak sekolah yang dianggap orang tua saya sangat tidak mendidik siswanya. Kemampuan akademik saya bisa dikategorikan luar biasa untuk anak usia lima tahun, dibandingkan dengan teman- teman sekelas pada waktu itu. Anehnya, untuk mendapatkan ranking tiga besar saja saya tidak bisa. Dan orang tua saya mencari tahu penyebabnya, ternyata guru-guru disana berbuat curang dengan cara ranking tertinggi diperoleh apabila orang tua memberi sumbangan tertinggi. Hal itu kurang adil dirasakan oleh orang tua saya, sehingga mereka memutuskan untuk memindahkan saya ke SD Yos Sudarso. Pada saat menjalani tes masuk, saya dapat menjalaninya dengan sangat baik dan lulus dengan nilai sangat bagus. Setelah pihak sekolah melihat biodata siswa, mereka sempat ragu dengan usia saya yang baru enam tahun untuk menduduki kelas dua SD. Dengan segala pertimbangan, akhirnya saya diterima untuk melanjutkan kelas dua di SD Yos Sudarso. Ternyata prestasi saya mulai tampak sejak bersekolah di SD Yos Sudarso, tentu saja dengan kejujuran penilaian guru-gurunya. Sehingga saya bisa menamatkan pendidikan di SD dengan nilai rata-rata cukup tinggi. Setelah itu saya memutuskan untuk melanjutkan ke SMP yang terdapat disebelah SD saya dulu yaitu SMP Yos Sudarso. Hal ini dimaksudkan oleh orang tua saya agar

Upload: shinta-lisseva

Post on 23-Sep-2015

233 views

Category:

Documents


12 download

DESCRIPTION

surat cerita

TRANSCRIPT

Saya berasal dari keluarga dengan berlatar-belakang pendidikan hukum dan sosial politik. Keluarga kami hanya keluarga kecil yang terdiri dari oma dan opa (orang tua dari mama), mama, papa, saya, dan dua orang adik laki-laki saya. Tak banyak hal istimewa yang dilalui. Keluarga saya termasuk berkecukupan di zaman itu, karena papa saya masih sehat dan masih bekerja di KOPERTIS WIL.X, oma masih aktif di partai dan mengajar sebagai dosen, dan opa sebagai pensiunan polisi. Sedangkan mama saya hanya seorang ibu rumah tangga.Saya mengecap pendidikan dimulai dari TK Bhayangkari saat berusia tiga tahun. Saat usia lima tahun, saya sudah duduk di bangku SD. Pada zaman itu, anak usia sekolah tujuh tahun yang bisa diterima di bangku SD. Sudah banyak mendaftar kesana kemari, beruntung SD Adabiah dapat menerima. Tapi saya hanya menjalani pendidikan di bangku kelas satu saja, karena ada beberapa kecurangan yang dilakukan pihak sekolah yang dianggap orang tua saya sangat tidak mendidik siswanya. Kemampuan akademik saya bisa dikategorikan luar biasa untuk anak usia lima tahun, dibandingkan dengan teman-teman sekelas pada waktu itu. Anehnya, untuk mendapatkan ranking tiga besar saja saya tidak bisa. Dan orang tua saya mencari tahu penyebabnya, ternyata guru-guru disana berbuat curang dengan cara ranking tertinggi diperoleh apabila orang tua memberi sumbangan tertinggi. Hal itu kurang adil dirasakan oleh orang tua saya, sehingga mereka memutuskan untuk memindahkan saya ke SD Yos Sudarso. Pada saat menjalani tes masuk, saya dapat menjalaninya dengan sangat baik dan lulus dengan nilai sangat bagus. Setelah pihak sekolah melihat biodata siswa, mereka sempat ragu dengan usia saya yang baru enam tahun untuk menduduki kelas dua SD. Dengan segala pertimbangan, akhirnya saya diterima untuk melanjutkan kelas dua di SD Yos Sudarso. Ternyata prestasi saya mulai tampak sejak bersekolah di SD Yos Sudarso, tentu saja dengan kejujuran penilaian guru-gurunya. Sehingga saya bisa menamatkan pendidikan di SD dengan nilai rata-rata cukup tinggi.Setelah itu saya memutuskan untuk melanjutkan ke SMP yang terdapat disebelah SD saya dulu yaitu SMP Yos Sudarso. Hal ini dimaksudkan oleh orang tua saya agar mudah mengontrol anak-anaknya, adik saya yang nomor dua saat itu sedang duduk di bangku SD. Sejak di bangku SMP, saya mulai mengenal kehidupan berorganisasi dan banyak kegiatan non akademik lainnya. Saya sangat senang mengikuti kegiatan-kegiatan non akademik di sekolah pada saat itu. Tentunya dengan menjaga prestasi akademik. Di tahun pertama saya di SMP, saya sudah terpilih menjadi wakil sekretaris OSIS. Tidak lupa juga mengikuti kegiatan ekstrakurikuler seperti debat bahasa inggris, karate, dan musik. Lanjut di tahun kedua, saya terpilih dalam jabatan sekretaris II OSIS. Kehidupan akademik saya pun mulai menunjukkan prestasi, saya dipilih menjadi asisten guru biologi di laboratorium karena nilai saya yang cukup tinggi di bidang tersebut. Dan begitupun di tahun ketiga saya, terpilih kembali dijabatan sekretaris OSIS, tapi mulai naik jabatan menjadi sekretaris I OSIS. Kehidupan di akademik pun juga menanjak, terpilih menjadi asisten guru fisika di laboratorium karena nilai saya yang cukup tinggi dan kemahiran berlatih di laboratorium. Karena banyak bidang di FMIPA yang saya kuasai, sekolah pun sering mengikutsertakan saya ke berbagai lomba tingkat SMP sekota Padang dan tingkat Sumbar.Tamat dari SMP, saya melanjutkan pendidikan ke SMA Don Bosco. Saat pertama kali masuk ke SMA ini, saya merasa sedikit minder dengan latar belakang SMP Yos Sudarso yang masih belum setara dengan SMP Maria ataupun SMP Frater walapun masih dalam satu naungan Yayasan Prayoga. Berbekal surat prestasi dari kepala sekolah SMP Yos Sudarso dan nilai ujian akhir yang cukup tinggi, saya mendapatkan diskon uang masuk di SMA Don Bosco. Bukan hanya itu saja, saya juga ditawarkan untuk mengikuti kelas akselerasi oleh pihak SMA DB. Orang tua saya bersedia menerima tawaran tersebut, karena mereka ingin melihat kemampuan anaknya. Selama tiga bulan saya berada di kelas tersebut, banyak hal yang membuat saya depresi dengan keadaan tersebut. Dimana sistem belajarnya dikebut karena kelas ini merupakan kelas percepatan sehingga siswa bisa tamat dua tahun. Bukan hanya itu saja, yang membuat saya lebih depresi yaitu waktu keseharian saya habis dengan bersekolah dan les tambahan. Pergaulan pun terbatas karena kondisi kelas aksel berada di gedung yang berbeda dengan kelas-kelas lainnya dan jam pulang sekolah pun juga lebih lama dibandingkan kelas lainnya. Tak tahan dengan situasi tersebut, saya bererita pada orang tua dan meminta untuk dipindahkan ke kelas regular saja. Sebelumnya juga ada beberapa teman saya yang pindah ke kelas regular.Akhirnya orang tua saya mengurus perpindahan saya ke kelas regular. Duduk di kelas regular selama beberapa minggu, saya mulai bisa bernafas normal menjalani berbagai kegiatan non akademik kembali dan tak lupa untuk tetap menjaga prestasi akademik. Berbeda dengan kehidupan di SMP, untuk kegiatan di SMA saya lebih tertarik dengan redaksi majalah sekolah ketimbang ikut keanggotan OSIS SMA DB dengan jadwal kegiatan acara yang sangat padat. Saya mendapatkan jabatan sebagai art-designer majalah DB FLAME. Serta juga memilih kegiatan ekstrakurikuler di bidang debat bahasa Inggris, seni lukis, dan paduan suara. Masuk di tahun akhir SMA, semua siswa sibuk mempersiapkan diri untuk mewujudkan cita-citanya dengan cara memperoleh pendidikan di bangku perkuliahan. Bukan pilihan yang mudah untuk memutuskan fakultas mana yang akan dituju. Cita-cita mungkin merupakan sesuatu yang bisa dengan mudah bisa kita bayangkan saat kita berusia lima tahun. Sama seperti kebanyakan anak-anak kecil saat ditanyakan cita-cita, saya akan dengan entengnya menjawab jadi dokter. Bukan hanya sampai disitu, sewaktu saya bersekolah di SMP Yos Sudarso saya senang bermain di RS Yos Sudarso dan berkenalan dengan pastor yang banyak melakukan kegiatan-kegiatan kemanusiaan. Sampai saya benar-benar diuji untuk menetapkan pilihan ingin jadi dokter, saat oma masuk RS dan keadaan keluarga yang mulai sibuk tidak memungkinkan untuk siapapun merawat oma. Opa yang matanya mulai rabun sehingga tidak bisa beraktivitas lebih banyak diluar rumah, papa mulai sibuk dinas ke luar kota, mama juga mulai sibuk dengan mengurus adik bungsu saya yang saat itu masih balita dan tidak memungkinkan untuk dibawa ke RS karena peraturan dari RS seperti itu. Saya yang saat itu sedang libur panjang sehabis selesai ujian nasional SMP diminta oleh oma untuk menjaga beliau di RS. Bukanlah hal yang mudah menjaga dan merawat orang tua di RS, dokter dan perawatnya pun juga mengacungkan jempol melihat ketelatenan saya dalam merawat dan menjaga oma. Semenjak itu saya lebih mengenal kehidupan RS dan rasa ingin jadi dokter juga semakin bertambah kuat.Setelah lulus dari SMA, masa mengikuti tes-tes masuk Perguruan Tinggi pun dimulai. Ikut les sana sini, cari info dari senior-senior terdahulu, sampai konsultasi ke guru BK pun dijadikan cara untuk memilih dan menetapkan tujuan ke bangku perkuliahan. Saya sempat mendapatkan tawaran beasiswa untuk jurusan design dari kepala sekolah SMA DB karena prestasi saya di bidang seni lukis dan jabatan art-designer majalah sekolah. Tapi berhubung hal itu tidak sesuai dengan yang dicita-citakan, saya pun menolak tawaran tersebut. Tentu saja saya memberitahukan terlebih dahulu pada orang tua tentang hal tersebut. Mereka setuju saja dengan keputusan dan pilihan yang saya tetapkan. Tidak terlalu banyak intervensi dari mereka, karena mereka pun tahu keinginan saya begitu kuat untuk masuk ke fakultas kedokteran. Semua tes universitas negeri yang diikuti ditujukan untuk fakultas kedokteran. Memang tak mudah untuk mendapatkan jurusan tersebut, sampai akhirnya tak satu pun tes tersebut yang lulus. Tapi semangat belum juga kendur, papa menganjurkan untuk mengikuti tes universitas swasta di Padang sebelum terlambat memasuki jadwal tahun ajaran dimulai. Akhirnya saya diterima di Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) di Universitas Baiturrahmah. Tentu saja hal ini tidak sesuai dengan keinginan, karena yang saya inginkan Fakultas Kedokteran Umum (FK). Tak ada lagi pilihan daripada harus menganggur selama setahun untuk menunggu tahun berikutnya, orang tua saya meminta saya untuk mengambil pilihan tersebut. Mereka sebenarnya terima saja saya akan berkuliah dimana, tapi saya yang tidak terima hal tersebut karena jauh dari bayangan ingin jadi dokter. Masuk di tahun pertama kuliah di FKG, saya jalani dengan sangat baik walaupun setengah hati menjalani hal tersebut. Nilai-nilai akademik saya cukup tinggi. Tapi walaupun begitu, niat untuk jadi dokter belum pudar. Malah semakin membara karena pada tahun pertama saya kuliah (tahun 2009) kota Padang mengalami musibah gempa yang sangat besar yang cukup memakan banyak korban. Dari sanalah banyak komunitas-komunitas dokter dan tenaga medis lainnya yang saya temui, serta melihat teman-teman di FK yang juga turun ke lapangan untuk menolong para korban. Saya sangat senang melakukan aksi kegiatan kemanusiaan seperti itu. Tapi apa daya dengan bidang yang digeluti saat itu yaitu kedokteran gigi, yang tidak banyak ambil andil dalam hal kegiatan seperti itu. Sehingga saya bertekad, tahun depan ingin pindah jurusan ke FK.Setelah tahun pertama dilewati di FKG, saya kembali mengikuti tes masuk FK di universitas yang sama karena untuk uang pembangunannya saya tidak perlu membayar ulang lagi hanya menambah jumlah uang pembangunan. Uang masuk ke FK lebih mahal daripada masuk ke FKG. Tapi hal tersebut masih disanggupi oleh orang tua saya. Masuk ditahun pertama di FK, tentunya lebih semangat untuk belajar karena memang keinginan untuk jadi dokter dan juga lebih tau seluk beluk perkuliahannya yang tidak jauh beda dari FKG.