sutan takdir alisjahbana

10
Nama : M. Ramadhan Agung N. (21) Bryan S. Adi (5) Sahid Fadil A. (30) BIOGRAFI SUTAN TAKDIR ALISYAHBANA Sutan Takdir Alisjahbana (STA), (lahir di Natal, Sumatera Utara, 11 Februari 1908 meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 pada umur 86 tahun) adalah seorang sastrawan dan ahli tata bahasa Indonesia. Keluarga Ibunya, Puti Samiah adalah seorang Minangkabau yang telah turun temurun menetap diNatal, Sumatera Utara. Puti Samiah merupakan keturunan Rajo Putih, salah seorang rajaKesultanan Indrapura yang mendirikan kerajaan Lingga Pura di Natal. Dari ibunya, STA berkerabat dengan Sutan Sjahrir, perdana menteri pertama Indonesia. Ayahnya, Raden Alisyahbana gelar Sutan Arbi, ialah seorang guru. Kakek STA dari garis ayah, Sutan Mohamad Zahab, dikenal sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan agama dan hukum yang luas. Di atas makamnya tertumpuk buku-buku yang sering disaksikan terbuang begitu saja oleh STA ketika dia masih kecil. Kabarnya, ketika kecil STA bukan seorang kutu buku, dan lebih senang bermain-main di luar. Setelah lulus dari sekolah dasar pada waktu itu, STA pergi ke Bandung, dan seringkali

Upload: ukhty-rahmah-sari-manap

Post on 11-Dec-2014

144 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

sejarah indonesia

TRANSCRIPT

Page 1: Sutan Takdir Alisjahbana

Nama : M. Ramadhan Agung N. (21)

Bryan S. Adi (5)

Sahid Fadil A. (30)

BIOGRAFI SUTAN TAKDIR ALISYAHBANA

Sutan Takdir Alisjahbana (STA), (lahir di Natal, Sumatera Utara, 11

Februari 1908 – meninggal di Jakarta, 17 Juli 1994 pada umur 86 tahun) adalah seorang

sastrawan dan ahli tata bahasa Indonesia.

Keluarga

Ibunya, Puti Samiah adalah seorang Minangkabau yang telah turun temurun menetap

diNatal, Sumatera Utara. Puti Samiah merupakan keturunan Rajo Putih, salah seorang

rajaKesultanan Indrapura yang mendirikan kerajaan Lingga Pura di Natal. Dari ibunya, STA

berkerabat dengan Sutan Sjahrir, perdana menteri pertama Indonesia. Ayahnya, Raden

Alisyahbana gelar Sutan Arbi, ialah seorang guru. Kakek STA dari garis ayah, Sutan Mohamad

Zahab, dikenal sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan agama dan hukum yang luas. Di

atas makamnya tertumpuk buku-buku yang sering disaksikan terbuang begitu saja oleh STA

ketika dia masih kecil. Kabarnya, ketika kecil STA bukan seorang kutu buku, dan lebih senang

bermain-main di luar. Setelah lulus dari sekolah dasar pada waktu itu, STA pergi ke Bandung,

dan seringkali menempuh perjalanan tujuh hari tujuh malam dari Jawa ke Sumatera setiap kali

dia mendapat liburan. Pengalaman ini bisa terlihat dari cara dia menuliskan karakter Yusuf di

dalam salah satu bukunya yang paling terkenal: Layar Terkembang.

STA menikah dengan tiga orang istri serta dikaruniai sembilan orang putra dan putri. Istri

pertamanya adalah Raden Ajeng Rohani Daha (menikah tahun 1929 dan wafat pada tahun 1935)

yang masih berkerabat dengan STA. Dari R.A Rohani Daha, STA dikaruniai tiga orang anak

yaitu Samiati Alisjahbana, Iskandar Alisjahbana, dan Sofjan Alisjahbana. Tahun 1941, STA

menikah dengan Raden Roro Sugiarti (wafat tahun 1952) dan dikaruniai dua orang anak yaitu

Mirta Alisjahbana dan Sri Artaria Alisjahbana. Dengan istri terakhirnya, Dr. Margaret Axer

Page 2: Sutan Takdir Alisjahbana

(menikah 1953 dan wafat 1994), STA dikaruniai empat orang anak, yaitu Tamalia Alisjahbana,

Marita Alisjahbana, Marga Alisjahbana, dan Mario Alisjahbana.

Putra sulungnya, Iskandar Alisjahbana pernah menjabat sebagai Rektor ITB, serta mertua

dari Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas pada Kabinet

Indonesia Bersatu II, Armida Alisjahbana. Iskandar juga dikenal sebagai "Bapak Sistem

Komunikasi Satelit Domestik Palapa." Sofjan dan Mirta Alisjahbana merupakan pendiri

majalah Femina Group.

Kehidupan

Setelah menamatkan sekolah HIS di Bengkulu (1921), STA melanjutkan pendidikannya

ke Kweekschool, Bukittinggi. Kemudian dia meneruskan HKS di Bandung (1928), meraih Mr.

dari Sekolah Tinggi di Jakarta (1942), dan menerima Dr. Honoris Causa dariUniversitas

Indonesia (1979) dan Universitas Sains Malaysia, Penang, Malaysia (1987).

Kariernya beraneka ragam dari bidang sastra, bahasa, dan kesenian. STA pernah menjadi

redaktur Panji Pustaka dan Balai Pustaka (1930-1933). Kemudian mendirikan dan memimpin

majalah Poedjangga Baroe (1933-1942 dan 1948-1953), Pembina Bahasa Indonesia(1947-

1952), dan Konfrontasi (1954-1962). Pernah menjadi guru HKS di Palembang (1928-1929),

dosen Bahasa Indonesia, Sejarah, dan Kebudayaan di Universitas Indonesia (1946-1948), guru

besar Bahasa Indonesia, Filsafat Kesusastraan dan Kebudayaan di Universitas Nasional, Jakarta

(1950-1958), guru besar Tata Bahasa Indonesia di Universitas Andalas, Padang (1956-1958),

guru besar dan Ketua Departemen Studi Melayu Universitas Malaya, Kuala Lumpur (1963-

1968).

Sebagai anggota Partai Sosialis Indonesia, STA pernah menjadi anggota parlemen

(1945-1949), anggota Komite Nasional Indonesia, dan anggota Konstituante (1950-1960). Selain

itu, ia menjadi anggota Societe de linguitique de Paris (sejak 1951), anggota Commite of

Directors of the International Federation of Philosophical Sociaties (1954-1959), anggota Board

of Directors of the Study Mankind, AS (sejak 1968), anggota World Futures Studies Federation,

Roma (sejak 1974), dan anggota kehormatan Koninklijk Institute voor Taal, Land en

Volkenkunde, Belanda (sejak 1976). Dia juga pernah menjadi Rektor Universitas Nasional,

Jakarta, Ketua Akademi Jakarta (1970-1994), dan pemimpin umum majalah Ilmu dan

Budaya (1979-1994), dan Direktur Balai Seni Toyabungkah, Bali (1994).

Page 3: Sutan Takdir Alisjahbana

STA merupakan salah satu tokoh pembaharu Indonesia yang berpandangan liberal.

Berkat pemikirannya yang cenderung pro-modernisasi sekaligus pro-Barat, STA sempat

berpolemik dengan cendekiawan Indonesia lainnya. STA sangat gelisah dengan pemikiran

cendekiawan Indonesia yang anti-materialisme, anti-modernisasi, dan anti-Barat. Menurutnya,

bangsa Indonesia haruslah mengejar ketertinggalannya dengan mencari materi, memodernisasi

pemikiran, dan belajar ilmu-ilmu Barat.

Keterlibatan dengan Balai Pustaka

Setelah lulus dari Hogere Kweekschool di Bandung, STA melanjutkan ke Hoofdacte

Cursus di Jakarta (Batavia), yang merupakan sumber kualifikasi tertinggi bagi guru di Hindia-

Belanda pada saat itu. Di Jakarta, STA melihat iklan lowongan pekerjaan untuk Balai Pustaka,

yang merupakan biro penerbitan pemerintah administrasi Belanda. Dia diterima setelah melamar,

dan di dalam biro itulah STA bertemu dengan banyak intelektual-intelektual Hindia-Belanda

pada saat itu, baik intelektual pribumi maupun yang berasal dari Belanda. Salah satunya ialah

rekan intelektualnya yang terdekat, Armijn Pane.

Perkembangan Bahasa Indonesia

Dalam kedudukannya sebagai penulis ahli dan kemudian ketua Komisi Bahasa selama

pendudukan Jepang, STA melakukan modernisasi Bahasa Indonesia sehingga dapat menjadi

bahasa nasional yang menjadi pemersatu bangsa. Ia yang pertama kali menulis Tata Bahasa Baru

Bahasa Indonesia (1936) dipandang dari segi Indonesia, yang mana masih dipakai sampai

sekarang. Serta Kamus Istilah yang berisi istilah-istilah baru yang dibutuhkan oleh negara baru

yang ingin mengejar modernisasi dalam berbagai bidang. Setelah Kantor Bahasa tutup pada

akhir Perang Dunia kedua, ia tetap mempengaruhi perkembangan Bahasa Indonesia melalui

majalahPembina Bahasa yang diterbitkan dan dipimpinnya. Sebelum kemerdekaan, STA adalah

pencetus Kongres Bahasa Indonesia pertama di Solo. Pada tahun 1970, STA menjadi Ketua

Gerakan Pembina Bahasa Indonesia dan inisiator Konferensi Pertama Bahasa- bahasa Asia

tentang "The Modernization of The Languages in Asia (29 September-1 Oktober 1967). Sampai

akhirnya hayatnya, ia belum mewujudkan cita-cita terbesarnya, yakni menjadikan Bahasa

Melayu sebagai bahasa pengantar kawasan di Asia Tenggara. Ia kecewa, Bahasa Indonesia

Page 4: Sutan Takdir Alisjahbana

semakin surut perkembangannya. Padahal, bahasa itu pernah menggetarkan dunia linguistik saat

dijadikan bahasa persatuan untuk penduduk di 13.000 pulau di Nusantara. Ia kecewa, bangsa

Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, sebagian Filipina, dan Indonesia yang menjadi penutur

Bahasa Melayu gagal mengantarkan bahasa itu kembali menjadi bahasa pengantar kawasan.

Karya-karyanya :

Tak Putus Dirundung Malang (novel, 1929)

Dian Tak Kunjung Padam (novel, 1932)

Tebaran Mega (kumpulan sajak, 1935)

Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia (1936)

Layar Terkembang (novel, 1936)

Anak Perawan di Sarang Penyamun (novel, 1940)

Puisi Lama (bunga rampai, 1941)

Puisi Baru (bunga rampai, 1946)

Pelangi (bunga rampai, 1946)

Pembimbing ke Filsafat (1946)

Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia (1957)

The Indonesian language and literature (1962)

Revolusi Masyarakat dan Kebudayaan di Indonesia (1966)

Kebangkitan Puisi Baru Indonesia (kumpulan esai, 1969)

Grotta Azzura (novel tiga jilid, 1970 & 1971)

Values as integrating vorces in personality, society and culture (1974)

The failure of modern linguistics (1976)

Perjuangan dan Tanggung Jawab dalam Kesusastraan (kumpulan esai, 1977)

Dari Perjuangan dan Pertumbuhan Bahasa Indonesia dan Bahasa Malaysia sebagai

Bahasa Modern (kumpulan esai, 1977)

Perkembangan Sejarah Kebudayaan Indonesia Dilihat dari Segi Nilai-Nilai (1977)

Lagu Pemacu Ombak (kumpulan sajak, 1978)

Amir Hamzah Penyair Besar antara Dua Zaman dan Uraian Nyanyian Sunyi (1978)

Kalah dan Menang (novel, 1978)

Menuju Seni Lukis Lebih Berisi dan Bertanggung Jawab (1982)

Page 5: Sutan Takdir Alisjahbana

Kelakuan Manusia di Tengah-Tengah Alam Semesta (1982)

Sociocultural creativity in the converging and restructuring process of the emerging

world (1983)

RINGKASAN NOVEL LAYAR TERKEMBANG

Tuti adalah putri sulung Raden Wiriaatmadja. Ia di kenal sebagai seorang gadis yang

berpendirian teguh dan aktif dalam berbagai kegiatan organisasi wanita. Watak Tuti yang selalu

serius dan cenderung pendiam, sangat berbeda dengan adiknya, Maria. Ia seorang gadis yang

lincah dan periang. Suatu hari, keduanya pergi ke pasar ikan. Ketika sedang asyik melihat-lihat

akuarium, mereka bertemu dengan seorang pemuda. Pertemuan itu berlajut dengan perkenalan.

Pemuda itu bernama Yusuf, seorang mahasiswa sekolah tinggi kedokteran di Jakarta. Ayahnya

adalah Demang Munaf, tinggal di Martapura, Sumatra Selatan.

Perkenalan yang tiba-tiba itu menjadi semakin akrab dengan di antaranya Tuti dan Maria

pulang. Bagi Yusuf, pertemuan itu ternyata berkesan cukup mendalam. Ia selalu terigat kepada

kedua gadis itu, dan terutama Maria. Kepada gadis lincah inilah perhatian Yusuf lebih banyak

tertumpah. Menurutnya, wajah Maria yang cerah dan berseri-seri serta bibirnya yang selalu

tersenyum itu, memancarkan semangat hidup yang dinamis. Esok harinya, ketika Yusuf pergi ke

sekolah, tanpa disangka-sangka ia bertemu lagi dengan Tuti dan Maria di depan hotel Den Ides.

Yusuf pun kemudian dengan senang hati, menemani keduanya berjalan-jalan. Cukup hangat

mereka bercakap-cakap mengenai berbagai hal.

Sejak itu, pertemuan antara Yusuf dan Maria berlangsung lebih kerap. Sementara itu,

Tuti dan ayahnya melihat hubungan kedua remaja itu tampak sudah bukan lagi hubungan

persahabatan biasa. Tuti sendiri disibuki oleh berbagai kegiatannya. Dalam kongres yang

berlangsung di Jakarta, ia sempat berpidato yang isinya membicarakan emansipasi wanita; suatu

petunjuk yang memperlihatkan cita-cita Tuti untuk memajukan kaumnya.

Pada masa liburan, Yusuf pulang ke rumah orang tuanya di Martapura. Sesunguhnya, ia

bermaksud menghabiskan masa liburannya bersama keindahan alam tanah leluhurnya. Namun,

ternyata, ia tak dapat menghilangkan rasa rindunya kepada Maria. Dalam keadaan demikian,

datang pula kartu pos dari Maria yang justru membuatnya makin diserbu rindu. Berikutnya, surat

Maria datang lagi. Kali ini mengabarkan perihal perjalanan bersama Rukamah, saudara

Page 6: Sutan Takdir Alisjahbana

sepupunya yang tinggal di Bandung. Setelah membaca surat itu, Yusuf memutuskan untuk

kembali ke Jakarta, kemudian menyusul sang kekasih ke Bandung. Setelah mendapat restu

ibunya, pemuda iu pun segera meninggalkan Martapura. Kedatangan Yusuf tentu saja di sambut

hangat oleh Maria dan Tuti. Kedua sejoli itu pun lalu melepas rindu masing-masing dengan

berjalan-jalan di sekitar air terun di Dago. Dalam kesempatan itulah, Yusuf menyatakan cintanya

kepada Maria.

Sementara hari-hari Maria penuh dengan kehangatan bersama Yusuf, Tuti sendiri lebih

banyak menghabiskan waktu nya dengan membaca buku. Sungguhpun demkian, pikiran Tuti

tidak urung diganggu oleh keinginannya untuk merasakan kemesraan cinta. Ingat pula ia pada

teman sejawatnya, Supom. Lelaki itu pernah mengirimkan surat cintanya kepada Tuti.

Ketika Mari mendadak terkena demam malaria, Tuti menjaganya dengan sabar. Saat

itulah tiba adik Supomo yang ternyata di suruh Supomo untuk meminta jawaban Tuti perihal

keinginannya untuk menjalin cinta dengannya. Sungguhpun gadis itu sebenarnya sedang

merindukan cinta kasih seseorang, Supomo dipandangnya sebagai bukan lelaki idamannya.

Maka, segera ia menulis surat penolakannya.

Sementara itu, keadaan Maria makin bertambah parah. Kemudian diputuskan untuk

merawatya di rumah sakit. Ternyata, menurut keterangan dokter, Maria mengidap penyakilt

TBC. Dokter yang merawatnya menyarankan agar Maria di bawa ke rumah sakit TBC di Pacet,

Sindanglaya, Jawa Barat. Perawatan terhadap Maria sudah berjalan sebulan lebih lamanya.

Namun keadaannya tidak juga mengalami perubahan. Lebih dari pada itu, Maria mulai

merasakan kondisi kesehatan yang makin lemah. Tampahnya, ia sudah pasrah menerima

kenyataan.

Pada suatu kesempatan, di saat Tuti dan Yusuf di rumah Ratna dan Saleh di Sindanglaya,

di situlah mata Tuti mulai terbuka dalam memandang kehidupan di pedesaan. Kehidupan suami-

istri yang melewati hari-hari nya dengan bercocok tanam itu, ternyata juga telah mampu

membimbing masyarakat sekitrnya menjadi sadar akan pentingnya pendidikan. Keadaan tersebut

benar-benar telah menggugah alam pikiran Tuti. Ia menyadari bahwa kehidupn mulia mengabdi

kepada masyarakat, tidak hanya dapat dilakukan di kota atau dalam kegiaan organisasi,

sebagaimana yang selama ini ia lakukan, tetapi juga di desa atau di masyarkat mana pun,

pengabdian itu dapat dilakukan.

Page 7: Sutan Takdir Alisjahbana

Sejalan dengan keadaan hubungan Yusuf dan Tuti yang belakangan ini tampak makin

akrab, kondisi kesehatan Maria sendiri justru kian mengkhawatirkan. Dokter yang merawatnya

pun rupanya sudah tak dapat bebuat lebih banyak lagi . kemudian, setelah Maria sempat berpesan

kepada Tuti dan Yusuf agar keduanya tetap bersatu dan menjalin hubungan rumah tangga, Maria

menghembuskan nafasnya yang terakhir. ‘’Alangkah bahagianya saya di akhirat nanti, kalau

saya tau , kakandak berdua hidup rukun dan berkasih-kasihan seperti kelihatan kepada saya

dalam beberapa hari ini….. Inilah permintan saya yang penghabisan , dan saya, saya tidak rela

selama-lamanya, kalau kakandaku masing-masing mencari peruntungan pada orang lain’’ (hlm.

209). Demikianlah pesan terakhir almarhum, Maria. Lalu, sesuai dengan pesan tersebut, Yusuf

dan Tuti akhirnya tidak dapat berbuat lain, kecuali melangsungkan perkawinan karena cinta

keduanya memang sudah tumbuh bersemi.