tetanus 4
DESCRIPTION
tetanusTRANSCRIPT
T E T A N U S
I.NAMA LAIN : LOCKJAW
Tetanus atau Lockjaw merupakan penyakit akut yang menyerang
susunan saraf pusat yang disebabkan oleh racun tetanospasmin yang dihasilkan
oleh Clostridium Tetani. Penyakit ini timbul jika kuman tetanus masuk ke dalam
tubuh melalui luka, gigitan serangga, infeksi gigi, infeksi telinga, bekas suntikan
dan pemotongan tali pusat. Dalam tubuh kuman ini akan berkembang biak dan
menghasilkan eksotoksin antara lain tetanospasmin yang secara umum
menyebabkan kekakuan, spasme dari otot bergaris.
Di negara sedang berkembang seperti Indonesia, insiden dan
angka kematian dari penyakit tetanus masih cukup tinggi. Oleh karena itu
tetanus masih merupakan masalah kesehatan. Akhir–akhir ini dengan
adanya penyebarluasan program imunisasi di seluruh dunia, maka angka
kesakitan dan angka kematian telah menurun secara drastis.
II.SEJARAH
Penyakit ini telah dikenal sejak zaman Hipocrates. Pada abad II Areanus
the Cappadocian melaporkan gambaran klinis tetanus, kemudian selama
berabad– abad penyakit ini jarang disebutkan. Pada tahun 1884, Carle dan
Rattone menggambarkan transmisi tetanus pada kelinci Percobaan.
Kitasato (1889) pertama kali mengisolasi Clostridium Tetani. Setahun
kemudian bersama dengan von Behring melaporkan adanya anti–toksin spesifik
pada serum binatang yang telah disuntikkan dengan toksin tetanus. Pada tahun
1926, mulai dikembangkan toksoid yang dapat merangsang pembentukan
imunitas.
III.ETIOLOGI
Kuman tetanus yang dikenal sebagai Clostridium Tetani; berbentuk
batang yang langsing dengan ukuran panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5
um, termasuk gram positif dan bersifat anaerob. Clostridium Tetani dapat
dibedakan dari tipe lain berdasarkan flagella antigen.
Kuman tetanus ini membentuk spora yang berbentuk lonjong dengan
ujung yang butat, khas seperti batang korek api (drum stick) Sifat spora ini
tahan dalam air mendidih selama 4 jam, obat antiseptik tetapi mati dalam
autoclaf bila dipanaskan selama 15–20 menit pada suhu 121°C. Bila tidak
kena cahaya, maka spora dapat hidup di tanah berbulan–bulan bahkan
sampai tahunan. Juga dapat merupakanflora usus normal dari kuda, sapi,
babi, domba, anjing, kucing, tikus, ayam dan manusia. Spora akan berubah
menjadi bentuk vegetatif dalam anaerob dan kemudian berkembang biak.
Bentuk vegetatif tidak tahan terhadap panas dan beberapa
antiseptik Kuman tetanus tumbuh subur pads suhu 17°C dalam media
kaldu daging dan media agar darah. Demikian pula dalam media bebas
gula karena kuman tetanus tidak dapat mengfermentasikan glukosa.
Kuman tetanus tidak invasif. tetapi kuman ini memproduksi 2 macam
eksotoksin yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmis merupakan
protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air labil pada panas
dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. tetapi stabil dalam bentuk murni dan
kering. Tetanospasmin disebut juga neurotoksin karena toksin ini melalui
beberapa jalan dapat mencapai susunan saraf pusat dan menimbulkan
gejala berupa kekakuan (rigiditas), spasme otot dan kejang–kejang.
Tetanolisin menyebabkan lisis dari sel–sel darah merah.
IV.EPIDEMIOLOGI
Di negara yang telah maju seperti Amerika Serikat, tetanus sudah sangat
jarang dijumpai, karena imunisasi aktif telah dilaksanakan dengan baik di
samping sanitasi lingkungan yang bersih, akan tetapi di negara sedang
berkembang termasuk Indonesia penyakit ini masih banyak dijumpai, hal ini
disebabkan karena tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi
kontaminasi, perawatan luka kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran
masyarakat akan pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus.
Penyakit ini dapat mengenai semua umur. Di Amerika Serikat pada
tahun 1915 dilaporkan bahwa kasus tetanus yang terbanyak pada umur 1:5
tahun, sesuai dengan yang dilaporkan di Manado (1987) dan surabaya
(1987) ternyata insiden tertinggi pada anak di atas umur 5 tahun.
Perkiraan angka kejadian umur rata–rata pertahun sangat meningkat
sesuai kelompok umur, peningkatan 7 kali lipat pada kelompok umur 5–19 tahun
dan 20–29 tahun, sedangkan peningkatan 9 kali lipat pada kelompok umur 30–
39 tahun dan umur lebih 60 tahun. Beberapa peneliti melaporkan bahwa angka
kejadian lebih banyak dijumpa pada anak laki–laki; dengan perbandingan 3:1.
V.PATOGENESIS
Chlostridium Tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka
yang terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, pupuk. Cara masuknya
spora ini melalui luka yang terkontaminasi antara lain luka tusuk (oleh besi:
kaleng), luka bakar, luka lecet, otitis media, infeksi gigi, ulkus kulit yang
kronis, abortus, tali pusat, kadang–kadang luka tersebut hampir tak terlihat.
Pandi dkk (1965) melaporkan bahwa 70% pada telinga sebagai
port d’entree, sedangkan beberapa peneliti melaporkan bahwa porte
d'entree melalui telinga hanya 6,5%.
Bila keadaan menguntungkan di mana tempat luka tersebut menjadi
hipaerob sampai anaerob disertai terdapatnya jaringan nekrotis, lekosit yang mati,
benda–benda asing maka spora berubah menjadi vegetatif yang kemudian
berkembang. Kuman ini tidak invasif. Bila dinding sel kuman lisis maka dilepaskan
eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanospasmin sangat mudah
mudah diikat oleh saraf dan akan mencapai saraf melalui dua cara.
1. Secara lokal: diabsorbsi melalui mioneural junction pada ujung–
ujung saraf perifer atau motorik melalui axis silindrik kecornu
anterior susunan saraf pusat dan susunan saraf perifer.
2. Toksin diabsorbsi melalui pembuluh limfe lalu ke sirkulasi darah
untuk seterusnya susunan saraf pusat.
Aktivitas tetanospamin pada motor end plate akan menghambat pelepasan
asetilkolin, tetapi tidak menghambat alfa dan gamma motor neuron sehingga
tonus otot meningkat dan terjadi kontraksi otot berupa spasme otot.
Tetanospamin juga mempengaruhi sistem saraf simpatis pada kasus yang berat,
sehingga terjadi overaktivitas simpatis berupa hipertensi yang labil, takikardi,
keringat yang berlebihan dan meningkatnya ekskresi katekolamin dalam urine.
Tetanospamin yang terikat pada jaringan saraf sudah tidak dapat
dinetralisir lagi oleh antitoksin tetanus.
VI.MANIFESTASI KLINIK
Masa inkubasi tetanus umumnya antara 3–21 hari, namun dapat
singkat hanya 1–2 hari dan kadang–kadang lebih dari 1 bulan. Makin
pendek masa inkubasi makin jelek prognosanya. Terdapat hubungan
antara jarak tempat invasi Clostridium Tetani dengan susunan saraf pusat
dan interval antara luka dan permulaan penyakit, dimana makin jauh
tempat invasi maka inkubasi makin panjang.
Secara klinis tetanus ada 3 macam :
1. Tetanus umum
2. Tetanus lokal
3. Tetanus cephalic.
Tetanus umum:
Bentuk ini merupakan gambaran tetanus yang paling sering
dijumpai. Terjadinya bentuk ini berhubungan dengan luas dan dalamnya
luka seperti luka bakar yang luas, luka tusuk yang dalam, furunkulosis,
ekstraksi gigi, ulkus dekubitus dan suntikan hipodermis.
Biasanya tetanus timbul secara mendadak berupa kekakuan otot
baik bersifat menyeluruh ataupun hanya sekelompok otot. Kekakuan otot
terutama pada rahang (trismus) dan leher (kuduk kaku). Lima puluh
persen penderita tetanus umum akan menuunjukkan trismus.
Dalam 24–48 jam dari kekakuan otot menjadi menyeluruh sampai
ke ekstremitas. Kekakuan otot rahang terutama masseter menyebabkan
mulut sukar dibuka, sehingga penyakit ini juga disebut 'Lock Jaw'. Selain
kekakuan otot masseter, pada muka juga terjadi kekakuan otot muka
sehingga muka menyerupai muka meringis kesakitan yang disebut
'Rhisus Sardonicus' (alis tertarik ke atas, sudut mulut tertarik ke luar dan
ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi), akibat kekakuan otot–otot leher
bagian belakang menyebabkan nyeri waktu melakukan fleksi leher dan
tubuh sehingga memberikan gejala kuduk kaku sampai opisthotonus.
Selain kekakuan otot yang luas biasanya diikuti kejang umum tonik
baik secara spontan maupun hanya dengan rangsangan minimal (rabaan,
sinar dan bunyi). Kejang menyebabkan lengan fleksi dan adduksi serta
tangan mengepal kuat dan kaki dalam posisi ekstensi.
Kesadaran penderita tetap baik walaupun nyeri yang hebat serta
ketakutan yang menonjol sehingga penderita nampak gelisah dan mudah
terangsang. Spasme otot–otot laring dan otot pernapasan dapat
menyebabkan gangguan menelan, asfiksia dan sianosis. Retensi urine
sering terjadi karena spasme sphincter kandung kemih.
Kenaikan temperatur badan umumnya tidak tinggi tetapi dapat
disertai panas yang tinggi sehingga harus hati–hati terhadap komplikasi
atau toksin menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.
Pada kasus yang berat mudah terjadi overaktivitas simpatis berupa
takikardi, hipertensi yang labil, berkeringat banyak, panas yang tinggi dan
ariunia jantung.
Menurut berat ringannya tetanus umum dapat dibagi atas:
1) Tetanus ringan: trismus lebih dari 3 cm, tidak disertai kejang
umum walaupun dirangsang.
2) Tetanus sedang: trismus kurang dari 3 cm dan disertai kejang
umum bila dirangsang.
3) Tetanus berat: trismus kurang dari 1 cm dan disertai kejang umum
yang spontan.
Cole dan Youngman (1969) membagi tetanus umum atas:
Grade 1: ringan
- Masa inkubasi lebih dari 14 hari
- Period of onset > 6 hari
- Trismus positif tetapi tidak berat
- Sukar makan dan minum tetapi disfagia tidak ada.
Lokalisasi kekakuan dekat dengan luka berupa spasme disekitar
luka dan kekakuan umum terjadi beberapa jam atau hari.
Grade II: sedang
- Masa inkubasi 10–14 hari
- Period of onset 3 had atau kurang
- Trismus ada dan disfagia ada.
Kekakuan umum terjadi dalam beberapa hari tetapi dispnoe dan
sianosis tidak ada.
Grade III: berat
- Masa inkubasi < 10 hari
- Period of onset 3 hari atau kurang
- Trismus berat
- Disfagia berat.
Kekakuan umum dan gangguan pernapasan asfiksia, ketakutan,
keringat banyak dan takikardia.
Tetanus lokal
Bentuk ini sebenarnya banyak akan tetapi kurang dipertimbangkan
karena gambaran klinis tidak khas.
Bentuk tetanus ini berupa nyeri, kekakuan otot–otot pada bagian proksimal
dari tempat luka. Tetanus lokal adalah bentuk ringan dengan angka kematian 1%,
kadang–kadang bentuk ini dapat berkembang menjadi tetanus umum.
Bentuk cephalic
Merupakan salah satu varian tetanus lokal. Terjadinya bentuk ini bila luka
mengenai daerah mata, kulit kepala, muka, telinga, leper, otitis media kronis dan
jarang akibat tonsilectomi. Gejala berupa disfungsi saraf loanial antara lain: n. III,
IV, VII, IX, X, XI, dapat berupa gangguan sendiri–sendiri maupun kombinasi dan
menetap dalam beberapa hari bahkan berbulan–bulan.
Tetanus cephalic dapat berkembang menjadi tetanus umum. Pada
umumnya prognosa bentuk tetanus cephalic jelek.
VII.DIAGNOSIS
Diagnosis tetanus ditegakkan berdasarkan :
- Riwayat adanya luka yang sesuai dengan masa inkubasi
- Gejala klinis; dan
- Penderita biasanya belum mendapatkan imunisasi.
Pemeriksaan laboratorium kurang menunjang dalam diagnosis.
Pada pemeriksaan darah rutin tidak ditemukan nilai–nilai yang spesifik;
lekosit dapat normal atau dapat meningkat.
Pemeriksaan mikrobiologi, bahan diambil dari luka berupa pus atau
jaringan nekrotis kemudian dibiakkan pada kultur agar darah atau kaldu
daging. Tetapi pemeriksaan mikrobiologi hanya pada 30% kasus
ditemukan Clostridium Tetani.
Pemeriksaan cairan serebrospinalis dalam batas normal, walaupun
kadang–kadang didapatkan tekanan meningkat akibat kontraksi otot.
Pemeriksaan elektroensefalogram adalah normal dan pada
pemeriksaan elektromiografi hasilnya tidak spesifik.
VIII.DIAGNOSIS BANDING
1) Meningitis bakterial
Pada penyakit ini trismus tidak ada dan kesadaran penderita biasanya
menurun. Diagnosis ditegakkan dengan melakukan lumbal pungsi, di
mana adanya kelainan cairan serebrospinalis yaitu jumlah sel
meningkat, kadar protein meningkat dan glukosa menurun.
2) Poliomielitis
Didapatkan adanya paralisis flaksid dengan tidak dijumpai adanya trismus.
Pemeriksaan cairan serebrospinalis menunjukkan lekositosis. Virus polio
diisolasi dari tinja dan pemeriksaan serologis, titer antibodi meningkat.
3) Rabies
Sebelumnya ada riwayat gigitan anjing atau hewan lain. Trismus
jarang ditemukan, kejang bersifat klonik.
4) Keracunan strichnine
Pada keadaan ini trismus jarang, gejala berupa kejang tonik umum.
5) Tetani
Timbul karena hipokalsemia dan hipofasfatemia di mana kadar
kalsium dan fosfat dalam serum rendah. Yang khas bentuk spasme
otot adalah karpopedal spasme dan biasanya diikuti
laringospasme, jarang dijumpai trismus.
6) Retropharingeal abses
Trismus selalu ada pada penyakit ini, tetapi kejang umum tidak ada.
7) Tonsilitis berat
Penderita disertai panas tinggi, kejang tidak ada tetapi trismus ada.
8) Efek samping fenotiasin
Adanya riwayat minum obat fenotiasin. Kelainan berupa sindrom
ekstrapiramidal. Adanya reaksi distonik akut, torsicolis dan kekakuan otot,
9) Kuduk kaku juga dapat terjadi pada mastoiditis, pneumonia lobaris
atas, miositis leher dan spondilitis leher.
IX.KOMPLIKASI
1) Pada saluran pernapasan
Oleh karena spasme otot–otot pernapasan dan spasme otot laring dan
seringnya kejang menyebabkan terjadi asfiksia. Karena akumulasi
sekresi saliva serta sukarnya menelan air liur dan makanan atau
minuman sehingga sering terjadi aspirasi pneumoni, atelektasis akibat
obstruksi oleh sekret. Pneumotoraks dan mediastinal emfisema
biasanya terjadi akibat dilakukannya trakeostomi.
2) Pada kardiovaskuler
Komplikasi berupa aktivitas simpatis yang meningkat antara lain berupa
takikardia, hiperrtensi, vasokonstriksi perifer dan rangsangan miokardium.
3) Pada tulang dan otot
Pada otot karena spasme yang berkepanjangan bisa terjadi
perdarahan dalam otot. Pada tulang dapat terjadi fraktura columna
vertebralis akibat kejang yang terus–menerus terutama pada anak
dan orang dewasa. Beberapa peneliti melaporkan juga dapat
terjadi miositis ossifikans sirkumskripta.
4) Komplikasi yang lain:
- Laserasi lidah akibat kejang;
- Dekubitus karena penderita berbaring dalam satu posisi saja
- Panas yang tinggi karena infeksi sekunder atau toksin yang
menyebar luas dan mengganggu pusat pengatur suhu.
Penyebab kematian penderita tetanus akibat komplikasi yaitu:
Bronkopneumonia, cardiac arrest, septikemia dan pneumotoraks.
X.PROGNOSA
Dipengaruhi oleh beberapa faktor:
1) Masa inkubasi
Makin panjang masa inkubasi biasanya penyakit makin ringan,
sebaliknya makin pendek masa inkubasi penyakit makin berat. Pada
umumnya bila inkubasi kurang dari 7 hari maka tergolong berat.
2) Umur
Makin muda umur penderita seperti pada neonatus maka
prognosanya makin jelek.
3) Period of onset
Period of onset adalah waktu antara timbulnya gejala tetanus, misalnya
trismus sampai terjadi kejang umum. Kurang dari 48 jam, prognosa jelek.
4) Panas
Pada tetanus febris tidak selalu ada. Adanya hiperpireksia maka
prognosanya jelek.
5) Pengobatan
Pengobatan yang terlambat prognosa jelek.
6) Ada tidaknya komplikasi
7) Frekuensi kejang
Semakin sering kejang semakin jelek prognosanya.
XI.PENGOBATAN / PENATALAKSANAAN
1) Pengobatan Umum:
- Isolasi penderita untuk menghindari rangsangan. Ruangan
perawatan harus tenang.
- Perawatan luka dengan Rivanol, Betadin, H202.
- Bila perlu diberikan oksigen dan kadang–kadang diperlukan
tindakan trakeostomi untuk menghindari obstruksi jalan napas.
- Jika banyak sekresi pada mulut akibat kejang atau penumpukan
saliva maka dibersihkan dengan pengisap lendir.
- Makanan dan minuman melalui sonde lambung. Bahan makanan
yang mudah dicerna dan cukup mengandung protein dan kalori.
2) Pengobatan Khusus:
a) Anti Tetanus toksin
Selama infeksi, toksin tetanus beredar dalam 2 bentuk:
- Toksin bebas dalam darah;
- Toksin yang bergabung dengan jaringan saraf.
Yang dapat dinetralisir oleh antitoksin adalah toksin yang bebas dalam
darah. Sedangkan yang telah bergabung dengan jaringan saraf tidak dapat
dinetralisir oleh antitoksin. Sebelum pemberian antitoksin harus dilakukan:
- Anamnesa apakah ada riwayat alergi;
- Tes kulit dan mata; dan
- Harus selalu sedia Adrenalin 1:1.000.
Ini dilakukan karena antitoksin berasal dari serum kuda, yang
bersifat heterolog sehingga mungkin terjadi syok anafilaksis.
Tes mata
Pada konjungtiva bagian bawah diteteskan 1 tetes larutan
antitoksin tetanus 1:10 dalam larutan garam faali, sedang pada mata yang
lain hanya ditetesi garam faali. Positif bila dalam 20 menit, tampak
kemerahan dan bengkak pada konjungtiva.
Tes kulit
Suntikan 0,1 cc larutan 1/1000 antitoksin tetanus dalam larutan faali
secara intrakutan. Reaksi positif bila dalam 20 menit pada tempat suntikan
terjadi kemerahan dan indurasi lebih dari 10 mm.
Bila tes mata dan kulit keduanya positif, maka antitoksin diberikan
secara bertahap (Besredka).
Dosis
Dosis ATS yang diberikan ada berbagai pendapat. Behrman (1987) dan
Grossman (1987) menganjurkan dosis 50.000–100.000 u yang diberikan setengah
lewat intravena dan setengahnya intramuskuler. Pemberian lewat intravena diberikan
dengan cara melarutkannya dalam 100–200 cc glukosa 5% dan diberikan selama 1–
2 jam. Di FKUI, ATS diberikan dengan dosis 20.000 u selama 2 hari. Di Manado,
ATS diberikan dengan dosis 10.000 i.m, sekali pemberian.
b) Antikonvulsan dan sedatif
Obat–obat ini digunakan untuk merelaksasi otot dan mengurangi kepekaan
jaringan saraf terhadap rangsangan. Obat yang ideal dalam penanganan tetanus
ialah obat yang dapat mengontrol kejang dan menurunkan spastisitas tanpa
mengganggu pernapasan, gerakan–gerakan volunter atau kesadaran.
Obat–obat yang lazim digunakan ialah:
- Diazepam
Bila penderita datang dalam keadaan kejang maka diberikan
dosis 0,5 mg/kg.bb/kali i.v. perlahan–lahan dengan dosis
optimum 10 mg/kali diulangi setiap kali kejang. Kemudian
diikuti pemberian diazepam peroral–(sonde lambung)
dengan dosis 0,5 mg/kg.bb/kali sehari diberikan 6 kali.
- Fenobarbital
Dosis awal: 1 tahun 50 mg intramuskuler; 1 tahun 75 mg
intramuskuler. Dilanjutkan dengan dosis oral 5–9
mg/kg.bb/hari dibagi dalam 3 dosis.
- Largactil
Dosis yang dianjurkan 4 mg/kg.bb/hari dibagi dalam 6 dosis.
c) Antibiotik.
- Penisilin Prokain
Digunakan untuk membasmi bentuk vegetatif Clostridium
Tetani. Dosis: 50.000 u/kg.bb/hari i.m selama 10 hari atau 3
hari setelah panas turun. Dosis optimal 600.000 u/hari.
- Tetrasiklin dan Eritromisin
Diberikan terutama bila penderita alergi terhadap penisilin.
Tetrasiklin : 30–50 mg/kg.bb/hari dalam 4 dosis.
Eritromisin : 50 mg/kg.bb/hari dalam 4 dosis, selama 10 hari.
d) Oksigen: Bila terjadi asfiksia dan sianosis.
e) Trakeostomi
Dilakukan pada penderita tetanus jika terjadi:
- Spasme berkepanjangan dari otot respirasi
- Tidak ada kesanggupan batuk atau menelan
- Obstruksi larings; dan
- Koma.
f) Hiperbarik
Diberikan oksigen murni pada tekanan 5 atmosfer.
XII.PENCEGAHAN
1) Perawatan luka
Terutama pada luka tusuk, kotor atau luka yang tercemar dengan
spora tetanus.
2) hnunisasi pasif
Diberikan antitoksin, pemberian antitoksin ada 2 bentuk, yaitu:
- ATS dari serum kuda;
- Tetanus Immunoglobulin Human (TIGH).
Dosis yang dianjurkan belum ada keseragaman pendapat
- 1500–3000 u i.m
- 3000–5000 u i.m.
Pemberian ini sebaiknya didahului dengan tes kulit dan
mata. Dosis TIHG: 250–500 u i.m
Kapan kita memberikan ATS/TIGH atau Toksoid Tetanus maupun
antibiotik ? Hal ini tergantung dari kekebalan seseorang apakah orang
tersebut sudah pernah mendapat imunisasi dasar dan boosternya,
berapa lama antara pemberian toksoid dengan terjadinya luka.
3) Imunisasi aktif
Di Indonesia dengan adanya program Pengembangan Imunisasi (PPI)
selain menurunkan angka kesakitan juga mengurangi angka kematian tetanus.
Imunisasi tetanus biasanya dapat diberikan dalam bentuk DPT; DT dan TT.
- DPT : diberikan untuk imunisasi dasar
- DT: diberikan untuk booster pada usia 5 tahun; diberikan
pada anak dengan riwayat demam dan kejang
- TT: diberikan pada: – ibu hamil
– anak usia 13 tahun keatas.
Sesuai dengan Program Pengembangan Imunisasi, imunisasi
dilakukan pada usia 2, 4 dan 6 bulan. Sedangkan booster dilakukan pada
usia 1,5–2 tahun dan usia 5 tahun. Dosis yang diberikan adalah 0,5 cc
tiap kali pemberian secara intramuskuler.
DAFTAR PUSTAKA
1. Adams, E. B.; Holloway, R.; Thambiran, A. K.; Dessy, S. D.:
Usefulness of Intermittent Positive Pressure Respirations in The
Treatment of Tetanus. Lancet 1966;1176–1180.
2. Annonymous. Human Antitoxin for Tetanus Prophylaxis. Lancet 1974; i
51– 52.
3. Asa, K. D.; Bertorini, T. E. Pinals, R. S. Case Report Myositis
Ossificans Circumscripta, a Complication of Tetanus. Am. J. Med.
Sciences 1986; 292: 40–43.
4. Atrakchi, S. A. and Wilson, D. H. Epidemiology. Br. Med. J. 1977; 1:179.
5. Barkin, R. M.; Pichichero, M. E. Diphteria–Pertusis–Tetanus Vaccine
Teactogenicity of Cimmercial Products. Pediatricas 1979; 63:256–260.