tifoid anak
DESCRIPTION
ferryTRANSCRIPT
Sejak 3 hari yang lalu sebelum masuk RSUD. Waled, pasien panas badan
mendadak tinggi pada siang hari tanpa disertai dengan nyeri kepala, nyeri sendi,
mual dan muntah karena keluhan tersebut pasien dibawa langsung ke praktik
dokter umum dan kemudian diberikan obat penurun panas dan panasnya pun
menurun. Sehari kemudian pasien panas badan yang sama tinggi pada pagi dan
siang hari yang disertai dengan muntah yang berupa air kurang lebih ¼ aqua
gelas, nyeri perut di ulu hati, kemudian dibawa ke tempat praktik dokter umum
lagi dan kemudian diberikan obat suntik dipantat. Panas badan pun menurun dan
keadaan pun membaik.
Sehari sebelum masuk RSUD. Waled, pasien panas badan mendadak
tinggi lagi yang disertai dengan mual dan kemudian muntah yang berupa air
kurang lebih ¼ aqua gelas yang bercampur dengan sedikit darah, dada terasa
panas yang disertai batuk tanpa adanya sesak nafas, nyeri perut di ulu hati, tanpa
disertai dengan nyeri kepala dan nyeri sendi dengan keluhan tersebut pasien
langsung dibawa ke Puskesmas setempat. Karena penanganan tidak bisa
dilakukan di Puskesmas, kamudian pasien di rujuk ke RSUD. Waled. Selang
beberapa menit setelah masuk ke IGD umum RSUD. Waled, pasien mengeluarkan
darah sedikit melalui hidung. Sejak 3 hari yang lalu nafsu makan menurun dan
bila makan sangat sedikit, minum baik, belum BAB dan BAK jarang.
Dahulu pasien tidak pernah seperti ini, tidak pernah dirawat di Rumah
Sakit.
Di keluarga tidak ada yang seperti ini, tetangga, dan teman-teman bermain
dilingkungan rumah atau di sekolah tidak ada yang seperti ini juga.
Di sekitar lingkungan rumah tidak ada genangan air, tapi banyak nyamuk
didalam rumah.
Riwayat imunisasi yang pernah diberikan adalah polio 1 kali saat usia 6
bulan saja, yang lainnya tidak pernah diberikan hingga usia sekrang.
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Tampak sakit sedang, lemas
Kesadaran : Composmentis
Tanda vital : S = 37,8 0C N = 100 x/menit
RR = 20 x/menit TD = 110/90 mmHg
Status Gizi
BB = 57 kg TB = 135 cm `
BMI/U= overwaight
Kepala
Bentuk : simetris
Rambut : Bersih, tidak rontok, warna hitam
Kulit : Lembab
Mata
Konjungtiva : tidak anemis
Sklera : tidak ikterik
Telinga : bentuk normal kanan kiri simetris, tidak ada lesi,
benjolan, terdapat
sedikit serumen
Hidung
Bentuk : tidak ada deviasi, simetris
Sekret : tidak ada darah, sedikit kotoran hidung
Mulut
Bibir : Basah, warna merah muda
Lidah : Tengah kotor, tepi hiperemis, tidak tremor
Leher : Tidak ada pembesaran KGB
Thorak
Pulmo : Tidak ada nyeri tekan, perkusi sonor, wheezing
tidak ada,
ronkhi tidak ada, stridor tidak ada, retraksi tidak
ada
Jantung : Bunyi jantung 1 dan 2 murni regular, tidak ada
murmur,
gallop tidak ada
Abdomen : Bentuk datar dan simetris, nyeri tekan di kuadran
kanan
atas, bising usus normal, tidak ada pembesaran
organ, shifting dullness test negatif (-)
Ekstremitas Atas : akral hangat, tidak ada udema
Ekstremitas Bawah : akral hangat, tidak ada udema
Rumple Leed Test : Petechiae negative (-)
Pemeriksaan Penunjang
Darah Rutin _29-12-2013
Hemoglobin : 14,5 gr% Basofil : 0 %
Leukosit : 3.700 /mm3 Eosinofil : 0 %
Trombosit : 88.000 /mm3 Netrofil Batang : 1 %
Eritrosit : 6,4 /mm3 Netrofil Segmen : 50 %
Hematokrit : 44 % Limfosit : 25 %
Monosit : 24 %
Darah Rutin _30-12-2013
Hemoglobin : 16,3 gr% Basofil : 4 %
Leukosit : 5.800 /mm3 Eosinofil : 0 %
Trombosit : 26.000 /mm3 Netrofil Batang : 2 %
Eritrosit : 7,0 /mm3 Netrofil Segme : 24 %
Hematokrit : 48 % Limfosit : 45 %
Monosit : 25 %
Serologi
IgG : Positif (+)
IgM : Positif (+)
Diagnosis Banding : Demam Dengue + ISPA
Demam Chikungunyah + ISPA
Diagnosis Kerja : Demam Dengue + ISPA
Penatalaksanaan
1. Infus RL 11 tetes macro/menit
2. Paracetamol 3 x 200 mg/hari diberikan jika demam
3. Antasid 3 x 200 mg/hari
4. Ambroxol sirup 3 x 1 ½ cth/hari
Edukasi :
1. Istirahat total
2. Perbanyak makan sayur, buah
3. Minum jus, susu, air putih
4. Buat suasana lingkungan yang bersih
5. 3 M Plus :
1) Menguras serta menyikat bak mandi
2) Menutup tampungan air
3) Mengubur barang-barang bekas
Plus :
1) Fisik : memasang kawat kassa pada kisi-kisi jendela, pakai kelambu,
tidak menggantung pakaian sembarangan
2) Biologi : Memelihara ikan pemakan jentik
3) Kimia : Menaburkan abate pada tempat yang sering fikuras
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD
I. Pendahuluan
Demam dengue (DD) dan demam berdarah dengue (DBD) adalahpenyakit
infeksi yang disebabkan oleh virus dengue. Sampai saat ini,infeksi virus
Dengue tetap menjadi masalah kesehatan di Indonesia.Indonesia dimasukkan
dalam kategori “A” dalam stratifikasi DBD olehWorld Health Organization
(WHO) 2001 yang mengindikasikan tingginyaangka perawatan rumah sakit
dan kematian akibat DBD, khususnyapada anak.1-3 Data Departemen
Kesehatan RI menunjukkan padatahun 2006 (dibandingkan tahun 2005)
terdapat peningkatan jumlahpenduduk, provinsi dan kecamatan yang
terjangkit penyakit ini, dengancase fatality rate sebesar 1,01% (2007).4-5
Berbagai faktor kependudukan berpengaruh pada peningkatandan
penyebaran kasus DBD, antara lain:
1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi,
2. Urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali,
3. Tidak efektifnya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah
endemis,dan
4. Peningkatan sarana transportasi.4
Upaya pengendalian terhadap faktor kependudukan tersebut
(terutamakontrol vektor nyamuk) harus terus diupayakan, di
sampingpemberian terapi yang optimal pada penderita DBD, dengan
tujuanmenurunkan jumlah kasus dan kematian akibat penyakit ini. Sampaisaat
ini, belum ada terapi yang spesifik untuk DBD, prinsip utamadalam terapi
DBD adalah terapi suportif, yakni pemberian cairan pengganti.6 Dengan
memahami patogenesis, perjalanan penyakit, gambaranklinis dan pemeriksaan
laboratorium, diharapkan penatalaksanaan dapatdilakukan secara efektif dan
efisien.
II. Definisi
Demam berdarah dengue (DBD) adalah penyakit demam akut
yangdisebabkan oleh virus dengue serta memenuhi kriteria WHO untuk
DBD.7 DBD adalah salah satu manifestasi simptomatik dari infeksi
virusdengue.
Gambar 1. Spektrum klinis infeksi virus Dengue8
Manifestasi simptomatik infeksi virus dengue adalah sebagai
berikut(gambar 1):5
1. Demam tidak terdiferensiasi
2. Demam dengue (dengan atau tanpa perdarahan): demam akut selama2-
7 hari, ditandai dengan 2 atau lebih manifestasi klinis (nyerikepala,
nyeri retroorbital, mialgia/ atralgia, ruam kulit, manifestasiperdarahan
[petekie atau uji bendung positif], leukopenia) danpemeriksaan
serologi dengue positif atau ditemukan pasien yangsudah dikonfirmasi
menderita demam dengue/ DBD pada lokasidan waktu yang sama.
3. DBD (dengan atau tanpa renjatan)
III. Patogenesis
Dua teori yang banyak dianut dalam menjelaskan patogenesis
infeksidengue adalah hipotesis infeksi sekunder (secondary heterologous
infectiontheory) dan hipotesis immune enhancement.
Gambar 2. Hipotesis infeksi sekunder9
Menurut hipotesis infeksi sekunder yang diajukan oleh
Suvatte,1977 (gambar 2), sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus
dengueyang berbeda, respon antibodi anamnestik pasien akan
terpicu,menyebabkan proliferasi dan transformasi limfosit dan
menghasilkantiter tinggi IgG antidengue. Karena bertempat di limfosit,
proliferasilimfosit juga menyebabkan tingginya angka replikasi virus
dengue.Hal ini mengakibatkan terbentuknya kompleks virus-antibodi
yangselanjutnya mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan
C5amenyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darahdan
merembesnya cairan ke ekstravaskular. Hal ini terbukti
denganpeningkatan kadar hematokrit, penurunan natrium dan
terdapatnyacairan dalam rongga serosa.9,10Hipotesis immune enhancement
menjelaskan menyatakan secaratidak langsung bahwa mereka yang
terkena infeksi kedua oleh virusheterolog mempunyai risiko berat yang
lebih besar untuk menderitaDBD berat. Antibodi herterolog yang telah ada
akan mengenali viruslain kemudian membentuk kompleks antigen-
antibodi yang berikatandengan Fc reseptor dari membran leukosit terutama
makrofag. Sebagaitanggapan dari proses ini, akan terjadi sekresi mediator
vasoaktif yangkemudian menyebabkan peningkatan permeabilitas
pembuluh darah,sehingga mengakibatkan keadaan hipovolemia dan
syok.9,10
IV. Diagnosis
Berdasarkan kriteria WHO 1997, diagnosis DBD ditegakkan bila
semuahal ini terpenuhi:2,5,9
1. Demam atau riwayat demam akut, antara 2-7 hari biasanya bifasik.
2. Terdapat minimal 1 manifestasi perdarahan berikut: uji bending
positif; petekie, ekimosis, atau purpura; perdarahan mukosa;
hematemesisdan melena.
3. Trombositopenia (jumlah trombosit <100.000/ ml).
4. Terdapat minimal 1 tanda kebocoran plasma sbb:
a. Peningkatan hematokrit >20% dibandingkan standar sesuaiumur
dan jenis kelamin.
b. Penurunan hematokrit >20% setelah mendapat terapi
cairan,dibandingkan dengan nilai hematokrit sebelumnya.
c. Tanda kebocoran plasma seperti: efusi pleura, asites,
hipoproteinemia,hiponatremia.
Terdapat 4 derajat spektrum klinis DBD (WHO, 1997), yaitu:2,5,9
Derajat 1: Demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya
manifestasiperdarahan adalah uji torniquet.
Derajat 2: Seperti derajat 1, disertai perdarahan spontan di kulit
danperdaran lain.
Derajat 3: Didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan
lemah,tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau
hipotensi,sianosis di sekitar mulut kulit dingin dan lembab,
tampakgelisah.
Derajat 4: Syok berat, nadi tidak dapat diraba dan tekanan darah
tidakterukur.
Keempat derajat tersebut ditunjukkan pada gambar 3.
Gambar 3. Patogenesis dan spektrum klinis DBD (WHO, 1997)5
V. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium meliputi kadar hemoglobin, kadar
hematokrit,jumlah trombosit, dan hapusan darah tepi untuk melihat
adanyalimfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru (sejak harike
3). Trombositopenia umumnya dijumpai pada hari ke 3-8 sejak
timbulnyademam. Hemokonsentrasi dapat mulai dijumpai mulai hari ke3
demam.5Pada DBD yang disertai manifestasi perdarahan atau
kecurigaanterjadinya gangguan koagulasi, dapat dilakukan pemeriksaan
hemostasis(PT, APTT, Fibrinogen, D-Dimer, atau FDP). Pemeriksaan
lainyang dapat dikerjakan adalah albumin, SGOT/SGPT, ureum/
kreatinin.Untuk membuktikan etiologi DBD, dapat dilakukan uji diagnostic
melalui pemeriksaan isolasi virus, pemeriksaan serologi atau
biologimolekular. Di antara tiga jenis uji etiologi, yang dianggap sebagaibaku
emas adalah metode isolasi virus. Namun, metode ini membutuhkantenaga
laboratorium yang ahli, waktu yang lama (lebih dari1–2 minggu), serta biaya
yang relatif mahal. Oleh karena keterbatasanini, seringkali yang dipilih adalah
metode diagnosis molekuler dengandeteksi materi genetik virus melalui
pemeriksaan reverse transcriptionpolymerasechain reaction (RT-PCR).
Pemeriksaan RT-PCR memberikanhasil yang lebih sensitif dan lebih cepat
bila dibandingkan dengan isolasivirus, tapi pemeriksaan ini juga relatif mahal
serta mudah mengalamikontaminasi yang dapat menyebabkan timbulnya hasil
positifsemu. Pemeriksaan yang saat ini banyak digunakan adalah
pemeriksaanserologi, yaitu dengan mendeteksi IgM dan IgG-anti
dengue.Imunoserologi berupa IgM terdeteksi mulai hari ke 3-5,
meningkatsampai minggu ke 3 dan menghilang setelah 60-90 hari. Pada
infeksiprimer, IgG mulai terdeteksi pada hari ke 14, sedangkan pada
infeksisekunder dapat terdeteksi mulai hari ke 2.11
Salah satu metode pemeriksaan terbaru yang sedang berkembangadalah
pemeriksaan antigen spesifik virus Dengue, yaitu antigennonstructural protein
1 (NS1). Antigen NS1 diekspresikan di permukaansel yang terinfeksi virus
Dengue. Masih terdapat perbedaan dalam berbagai literatur mengenai berapa
lama antigen NS1dapat terdeteksi dalam darah. Sebuah kepustakaanmencatat
dengan metode ELISA, antigen NS1 dapatterdeteksi dalam kadar tinggi sejak
hari pertama sampaihari ke 12 demam pada infeksi primer Dengueatau sampai
hari ke 5 pada infeksi sekunder Dengue.Pemeriksaan antigen NS1 dengan
metode ELISA jugadikatakan memiliki sensitivitas dan spesifisitas yangtinggi
(88,7% dan 100%). Oleh karena berbagai keunggulantersebut, WHO
menyebutkan pemeriksaandeteksi antigen NS1 sebagai uji dini terbaik
untukpelayanan primer.11Pemeriksaan radiologis (foto toraks PA tegak
danlateral dekubitus kanan) dapat dilakukan untuk melihatada tidaknya efusi
pleura, terutama pada hemitorakskanan dan pada keadaan perembesan
plasmahebat, efusi dapat ditemukan pada kedua hemitoraks.Asites dan efusi
pleura dapat pula dideteksi denganUSG.5,9
VI. Penatalaksanaan
Pada dasarnya terapi DBD adalah bersifat suportifdan simtomatis.
Penatalaksanaan ditujukan untukmengganti kehilangan cairan akibat
kebocoranplasma dan memberikan terapi substitusi komponendarah bilamana
diperlukan. Dalam pemberian terapicairan, hal terpenting yang perlu
dilakukan adalahpemantauan baik secara klinis maupun laboratoris.Proses
kebocoran plasma dan terjadinya trombositopeniapada umumnya terjadi antara
hari ke 4 hingga6 sejak demam berlangsung. Pada hari ke-7 proseskebocoran
plasma akan berkurang dan cairan akankembali dari ruang interstitial ke
intravaskular. Terapicairan pada kondisi tersebut secara bertahapdikurangi.
Selain pemantauan untuk menilai apakahpemberian cairan sudah cukup atau
kurang, pemantauanterhadap kemungkinan terjadinya kelebihancairan serta
terjadinya efusi pleura ataupun asitesyang masif perlu selalu
diwaspadai.Terapi nonfarmakologis yang diberikan meliputitirah baring (pada
trombositopenia yang berat)dan pemberian makanan dengan kandung-an
giziyang cukup, lunak dan tidak mengandung zat ataubumbu yang mengiritasi
saluaran cerna. Sebagai terapisimptomatis, dapat diberikan antipiretik
berupaparasetamol, serta obat simptomatis untuk mengatasikeluhan dispepsia.
Pemberian aspirin ataupun obatantiinflamasi nonsteroid sebaiknya dihindari
karenaberisiko terjadinya perdarahan pada saluran cernabagaian atas
(lambung/duodenum).
Protokol pemberian cairan sebagai komponenutama penatalaksanaan DBD
dewasa mengikuti 5 protokol,mengacu pada protokol WHO. Protokol ini
terbagidalam 5 kategori, sebagai berikut:
1. Penanganan tersangka DBD tanpa syok (gambar4).
2. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa diruang rawat (gambar 5).
3. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit>20% (gambar 6).
4. Penatalaksanaan perdarahan spontan pada DBDdewasa
5. Tatalaksana sindroma syok dengue pada dewasa(gambar 7).
Gambar 4. Penanganan tersangka DBD tanpa syok5
Gambar 5. Pemberian cairan pada tersangka DBD dewasa di ruang rawat5
Gambar 6. Penatalaksanaan DBD dengan peningkatan hematokrit >20%5
Ada dua hal penting yang perlu diperhatikan dalam terapi
cairankhususnya pada penatalaksanaan demam berdarah dengue:
pertamaadalah jenis cairan dan kedua adalah jumlah serta kecepatan cairan
yang akan diberikan. Karenatujuan terapi cairan adalahuntuk mengganti
kehilangancairan di ruang intravaskular,pada dasarnya baik
kristaloid(ringer laktat, ringer asetat,cairan salin) maupun koloiddapat
diberikan. WHO menganjurkanterapi kristaloidsebagai cairan standar
padaterapi DBD karena dibandingkandengan koloid, kristaloidlebih
mudah didapat dan lebihmurah. Jenis cairan yang idealyang sebenarnya
dibutuhkandalam penatalaksanaan antaralain memiliki sifat bertahanlama
di intravaskular, amandan relatif mudah diekskresi,tidak mengganggu
sistem koagulasitubuh, dan memiliki efekalergi yang minimal.1-3
Secara umum, penggunaankristaloid dalam tatalaksanaDBD aman
dan efektif.Beberapa efek sampingyang dilaporkan terkait
denganpenggunaan kristaloidadalah edema, asidosis laktat,instabilitas
hemodinamik danhemokonsentrasi.12,13 Kristaloidmemiliki waktu
bertahanyang singkat di dalam pembuluhdarah. Pemberian larutanRL
secara bolus (20 ml/kgBB) akan menyebabkan efekpenambahan volume
vascular hanya dalam waktu yang singkatsebelum didistribusikanke
seluruh kompartemen interstisial(ekstravaskular) denganperbandingan 1:3,
sehinggadari 20 ml bolus tersebutdalam waktu satu jam hanya5 ml yang
tetap berada dalamruang intravaskular dan 15ml masuk ke dalam ruang
interstisial.14Namun demikian,dalam aplikasinya terdapatbeberapa
keuntungan penggunaankristaloid antara lainmudah tersedia dengan
hargaterjangkau, komposisi yangmenyerupai komposisi plasma,mudah
disimpan dalamtemperatur ruang, dan bebasdari kemungkinan reaksi
anafilaktik.15,16
Dibandingkan cairankristaloid, cairan koloid memilikibeberapa
keunggulan yaitu:pada jumlah volume yang sama akan didapatkan
ekspansi volumeplasma (intravaskular) yang lebih besar dan bertahan
untuk waktulebih lama di ruang intravaskular. Dengan kelebihan ini,
diharapkankoloid memberikan oksigenasi jaringan lebih baik dan
hemodinamikterjaga lebih stabil. Beberapa kekurangan yang mungkin
didapatkan dengan penggunaan koloid yakni risiko anafilaksis,
koagulopati, danbiaya yang lebih besar. Namun beberapa jenis koloid
terbukti memilikiefek samping koagulopati dan alergi yang rendah
(contoh: hetastarch).15,16 Penelitian cairan koloid diban-dingkan kristaloid
padasindrom renjatan dengue (DSS) pada pasien anak dengan
parameterstabilisasi hemodinamik pada 1 jam pertama renjatan,
memberikanhasil sebanding pada kedua jenis cairan.17,18 Sebuah
penelitian lainyang menilai efektivitas dan keamanan penggunaan koloid
pada penderitadewasa dengan DBD derajat 1 dan 2 di Indonesia telah
selesaidilakukan, dan dalam proses publikasi.Jumlah cairan yang diberikan
sangat bergantung dari banyaknyakebocoran plasma yang terjadi serta
seberapa jauh proses tersebutmasih akan berlangsung. Pada kondisi DBD
derajat 1 dan 2, cairandiberikan untuk kebutuhan rumatan (maintenance)
dan untuk mengganticairan akibat kebocoran plasma. Secara praktis,
kebutuhan rumatanpada pasien dewasa dengan berat badan 50 kg, adalah
sebanyakkurang lebih 2000 ml/24 jam; sedangkan pada kebocoran
plasmayang terjadi seba-nyak 2,5-5% dari berat badan sebanyak 1500-
3000ml/24 jam. Jadi secara rata-rata kebutuhan cairan pada DBD
denganhemodinamik yang stabil adalah antara 3000-5000 ml/24 jam.
Namundemikian, pemantauan kadar hematokrit perlu dilakukan untuk
menilaiapakah hemokonsentrasi masih berlangsung dan apakah
jumlahcairan awal yang diberikan sudah cukup atau masih perlu ditambah.
Pemantauan lain yang perlu dilakukan adalah kondisi klinis
pasien,stabilitas hemodinamik serta diuresis. Pada DBD dengan kondisi
hemodinamik tidak stabil (derajat 3 dan 4) cairan diberikan secara
bolusatau tetesan cepat antara 6-10 mg/kg berat badan, dan setelah
hemodinamikstabil secara bertahap kecepatan cairan dikurangi
hinggakondisi benar-benar stabil (lihat protokol pada gambar 6 dan 7).
Padakondisi di mana terapi cairan telah diberikan secara adekuat,
namunkondisi hemodinamik belum stabil, pemeriksaan kadar
hemoglobindan hematokrit perlu dilakukan untuk menilai kemungkinan
terjadinyaperdarahan internal.
VII. Kesimpulan
Demam berdarah dengue tetap menjadi salah satu masalah
kesehatandi Indonesia. Dengan mengikuti kriteria WHO 1997, diagnosis
klinisdapat segera ditentukan. Di samping modalitas diagnosis standar
untukmenilai infeksi virus Dengue, antigen nonstructural protein 1
(NS1)Dengue, sedang dikembangkan dan memberikan prospek yang
baikuntuk diagnosis yang lebih dini.
Terapi cairan pada DBD diberikan dengan tujuan substitusi
kehilangancairan akibat kebocoran plasma. Dalam terapi cairan,
halterpenting yang perlu diperhatikan adalah: jenis cairan, jumlah
sertakecepatan, dan pemantauan baik secara klinis maupun laboratories
untuk menilai respon kecukupan cairan.
Daftar Pustaka
1. Gibbons RV, Vaughn DW. Dengue: an escalating problem. BMJ
2002;324:1563-6
2. World Health Organization. Prevention and control of dengue and dengue
haemorrhagicfever: comprihensive guidelines. New Delhi, 2001.p.5-17
3. World Health Organization. Dengue, dengue haemorrhagic fever and dengue
shocksyndrome in the context of the integrated management of childhood
illness. Departmentof Child and Adolescent Health and Development.
WHO/FCH/CAH/05.13. Geneva,2005
4. Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan
DepartemenKesehatan RI. Profil pengendalian penyakit dan penyehatan
lingkungan. Jakarta,2007
5. Departemen Kesehatan RI. Pedoman tatalaksana klinis infeksi dengue di
sarana pelayanankesehatan, 2005.p.19-34
6. Suhendro, Nainggolan L, Chen K, Pohan HT. Demam berdarah dengue.
Dalam: Sudoyo,A. et.al. (editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II.
Edisi 4. Jakarta:PusatPenerbitan IPD FKUI, 2006.p.1774-9
7. Rani, A. Soegondo, S. dan Nasir, AU. (ed). Panduan Pelayanan Medik
PerhimpunanDokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta:Pusat
Penerbitan IPD FKUI,2006.p.137-8
8. World Health Organization. Dengue haemorrhagic fever: diagnosis, treatment,
preventionand control. Geneva, 1997
9. Hadinegoro SRH, et al. (editor). Tata laksana demam berdarah dengue di
Indonesia.Departemen Kesehatan RI dan Direktorat Jenderal Pemberantasan
Penyakit Menulardan Penyehatan Lingkungan. 2004
10. Sutaryo. Perkembangan patogenesis demam berdarah dengue. Dalam: Ha-
dinegoroSRH, Satari HI, editor. Demam Berdarah Dengue: Naskah Lengkap.
Jakarta: Balai PenerbitFKUI, 1999.p.32-43
11. Nainggolan L. Reagen pan-E dengue early capture ELISA (PanBio) dan
platelia dengueNS1 Ag test (BioRad) untuk deteksi dini infeksi dengue. 2008
12. Stoelting RK, Miller RD. Basics of anestesia. 4th ed. New York:Churchill
Livingstone,2000.p.236-7
13. Morgan GE, Mikhail MS, Murray MJ, editors. Clinical Anesthesiology. 4th
ed. NewYork:Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2006.p.692-4
14. Kaaallen A J and Lonergan JM. Fluid resusciaation of acute hypovolemic
hypoperfusionstatus in pediatrics. Pediat Clin N Amer 1990; 37(2):287-94
15. Venu Goppal Reddy. Crystalloids versus colloids in hypovolemic shock.
Proceedings of5th Indonesian-International Symposium on Shock and Critical
Care 26-33
16. Liolios A. Volume resuscitation: the crystalloid vs colloid debate revisited.
Medscape2004. Available from:
URL:http://www.medscape.com/viewarticle/480288
17. Wills BA, Nguyen MD, Ha TL, Dong TH, Tran TN, Le T, et al. Comparison
of three fluidsolutions for resuscitation in dengue shock syndrome. N Engl J
Med 2005; 353:877–89
18. Ngo NT, Cao XT, Kneen R, Wills B, Nguyen VM, Nguyen TQ, et al. Acute
managementof dengue shock syndrome: a randomized double-blind
comparison of 4 intravenousfluid regimens in the first hour. Clin Infect Dis
2001; 32:204–13