tinjauan buku - sttb.ac.id
TRANSCRIPT
STULOS 19/1 (JANUARI 2021) 122-142
TINJAUAN BUKU
Memberitakan Injil di Tengah Masyarakat Majemuk: Tiga Dokumen
Kontemporer Gerejawi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2018), 204 hlm.
Buku ini adalah sesuatu yang special di Indonesia karena
menggabungkan dua pemikiran misi kalangan antara evangelikal dan
ekumenikal. Di Dalam buku ini disatukan adalah dua dokumen terakhir
mengenai keputusan keputusan mengenai misi sedunia dari gereja gereja
protestan yang selama terpolarisasi secara teologis. Bukan hanya itu, di
dalam masing masing dokumen, secara terpisah terlihat adanya
keseimbanganan tekanan misi dalam motif dan maksud dan konten antara
evangelism dan social concern. Khususnya dalam menuguhkan pesan Injil
bagi dunia di tengah masyarakat majemuk, khususnya lapangan agama
agama. Ini terlihat di bagian terakhir dimasukan juga secara khusus
dokumen khsus mengenai misi agama agama yang dihadiri oleh kalangan
gereja gereja yang lebih luas lagi seperti, Katholik dan Ortodoks.
Dari sub judulnya, buku ini terdiri dari tiga bagian besar ”dokumen
gerejawi” tentang misi kekinian, mungkin maksudnya abad ke 21 atau pasca
modern dari kaum ekumenikal (oikumene) dan evangelikal (injili), lalu
ditambah satu lagi satu dokumen yang digumuli bersama dan bahkan meluas
pada kelompok kelompok gerejawi lainnya, seperti gereja Ortodoks dan
gereja Katholik dalam menggeluti lapangan agama agama yang dirasakan
masih terus menyisakan isu konflik dan persengketaan. Memang ini real dan
faktual
Dari “pendahuluan” tersirat dokumen dokumen itu diterjemahkan
untuk diterbitkan tanpa editor yang dapat mengarahkan pembaca pada
maksud dan motif penerbitanya. Namun dengan “kata pengantar” yang
ditulis pejabat sekum PGI dapat diduga penggagas nya adalah berlambang
gerakan oikoumene Indonesia. Mungkin saja bagian pertama buku ini
dianggap sebagai pandangan resmi gerakan ekumenis itu, yang ingin
menekankan lagi keseimbangan misi gereja gereja protestan, dibawah
lembaga itu. Namun, karena ada dokumen njili yang dimasukanm alangkah
indahnya kalau penerbit memberi ruang kata pengantar dari gerakan injili,
STULOS: JURNAL TEOLOGI 123
agar kita mendapat pandangan yang seimbang. Namun karena ini sepertinya
adalah merupakan proyek PGI sendiri dengan dengan sarana BPK Gunung
Mulia --atau justru sebaliknya, proyek penerbit BPK dengan menggandeng
PGI—maka kita dapat melihat itu sebagai sesuatu yang bisa diterima.
Sedangkan penerbitan terjemahan ini dimaksudkan untuk memampukan
gereja gereja ekumenis untuk melakukan refleksi pembelajaran, dan
pelaksanaan misi yang baru.
Dokumen misi yang dipersiapkan di pulau Kreta Yunani tanggal 5
september 2012, disepakati oleh Commission on World Mission and
Evangelism (CWME) lalu ditindaklanjuti dalam pertemuan CWME 2013
Di Kochi India untuk menterjemahkan sebagai karya agar dapat masuk ke
dalam jemaat jemaat lokal, lembaga misi serta studi misiologis. Dari
“Pendahuluan” dokumen yang ditulis oleh Joosep Koom, penulis dari badan
yang diterjemahkan dalam bahsa Indonesia Komisi Misi Dunia dan
Pemberitaan Injil dan menyepakati secara bulat semoboyan baru misi
gerakan ekumeni ini telah sisepakati buat sebagai masa kini dari gerakan
misi kaum ekumeni yang berjudul “Bersama-sama Menuju Misi dan
Pemberitaan Injil dalam Perubahan Wajah Dunia”. yang terbagi menjadi sub
sub bagian besar: (i) pendahuluan; (ii) semangat karya misi: sebuah nafas
Kehidupan; (iii) semboyan baru dalam isi dan pemberitaan Injil yang
berjumlah 112 butir keputusan yang berkesinambungan. Selanjutnya diberi
“suatu panduan praktis” pada bagian kedua dokumen ini, yang terdiri dari
sub sub bagian besar: (i) pendahuluan; (ii) semangat pembebasan: misi dari
(pada) mereka yang terpinggirkan; (iii) semangat pentakosta: kabar baik
bagi semua; (iv) kesimpulan: terimalah Roh Kudus. Semuanya mengisi 103
hlm. dari total 2004 halaman buku ini.
Dokumen ni dijadikan sebagai bahan inspirasi dengan ketetapan hati
bersama dalam karya misi Roh Kudus. Frasa-frasa yang digunakan memang
sangat menakjubkan sebagai seorang Protestan ekumenis dengan butir-butir
semboyan bernuansa doktrinal, yang selama ini terasa “dijauhi” oleh kaum
ekumenis, seperti: Allah Tritunggal, Roh Kudus, Gereja, Anugerah
penciptaan. Ini semua terlihat dari 11 butir penekanan teologis yang
diringkas sendiri menjadi Missio dei untuk meletakan empat pokok: (a)
semangat misi: nafas kehidupan; (b) semangat pembebasan: misi (dari)
124 TINJAUAN BUKU
mereka yang terpinggirkan; (c) semangat persekutuan: gereja yang bergerak;
(d) semangat pentakosta: kabar sukacita bagi semua (lih. hlm. 11). Walau
tentu kaum ekumenis punya pengertian sendiri tentang Pentakosta dan misi
adalah nafas kehidupan adalah gaya kaum injili, pada khususnya. Tentunya
Semua semboyan baru ini akan sangat menakjbkan bagi seorang injili,
seperti kami sebagai peninjau buku ini. Sampai di sini kita melihat tujuan
umumnya sangat patut sangat disyukuri adanya pengakuan pentingnya
bidang evangelism, yang sayangnya kembali diterjemahkan sebagai
“pekabaran Injil” yang bersifat umum yang selama ini sudah dikenal dengan
frasa mission dei dan bukan lah penginjilan secara khusus sebagai
penyelamatan jiwa-jiwa demi pertumbuhan gereja, seperti dimaksudkan
kaum injili dengan kata yang sama itu.
Dokumen injili diwakili oleh keputusan gerakan Lausanne yang
divetiuskan LCWE ke tiga di Capetown, Afrika Selatan tahun 2000 yang
diberi judul sebagai “Komitmen Capetown: suatu pengakuan iman dan
panggilan untuk bertindak”. Di dalamnya termaktub maksud injili dalam
misi pekabaran injil dunia yang lebih luasa dan spesifik pada isu isu global
dunia, yang sudah biasa dihadapi isunya oleh kaum eukumenis. Seperti
terlihat dalam bagian bagian i) pendahuluan; ii) mukadimah; iii) untuk
Tuhan yang kami kasihi: pengakuan cape town; iv) bagi dunia yang kami
layani: panggilan Capetown untuk bertindak, yang isinya terdiri dari sub
bagian besar: mengeban saksi bagi kebenaran Kristus dalam dunia yang
pluralistis; membangun damai Kristus di tengah-tengah dunia yang terbagi-
bagi dan rusak; mengamalkan kasih Kristus di tengah-tengah dunia yang
berkeyakinan lain; memahami kehendak Kristus bagi penginjilan dinia;
memanggil gereja Kristus kembali kepada kerendahan hati integritas dan
kesederhanaan. Bermitra dalam Tubuh Kritus demi kesatuan misi.
Kesimpulan masih ditambah lagi dengan semacam ajakan jadikan mereka
murid-Ku; “hendaklah kau saling mengasihi, dapat dianggap sebagai
apendiks karena sudah ada kesimpulan. Semuanya menampilkan 88 halaman
dari buku ini, dengan butir-butir kecil sebagai fokus pembicaraan dan
maksud serta pengakuan iman.
Bagian ketiga adalah dokumen dari PCID WCC, WEA yang berjudul
‘Kesaksian Kristen dalam dunia beragam agama” bagian ini terdiri dari (i)
STULOS: JURNAL TEOLOGI 125
pembukaan; (ii) dasar kesaksian Kristen (7 butir); (iii) prinsip-prinsip (13
butir) rekomendasi (6 butir) dan appendiks 9 sebagai latar belakang
dokumen (5 butir). Bagian pengakuan misi khusus dalam konteks antar
agama ini menempati 8 halaman. Namun cukup berarti untuk melihat fokus
dan maksud akhir dan utama dari buku ini, khususnya di Indonesia yang
syarat akan konflik antar agama.
Walaupun tentu banyak pihak injili, yang tidak paham benar gerakan
injili bahkan juga banyak yang tidak tahu menahu mengenai komitmen Cape
Town 2000 ini, sebagai konfesi fundamental gerakan misi injili. Dalam studi
seminari ada pelajaran misi kontemporerpun tidak mendapat perhatian
serius dari para dosen karena memang terbiasa dengan pola lama misi abad
19 M, lintas budaya dan interbudaya. Namun syukurlah dalam pelajaran
studi ekumenika sebagai pelajaran kesatuan dan persatuan orang Kristen
diinformasikan ada dua gerakan umum dalam gerakan gereja Protestan
sampai sekarang, yaitu: ekumenisme dan evangelikalisme. Dalam kondisi
inilah dokumen LCWE sampai yang ketiga ditelusuri secara detail.
Ada satu hal yang patut dicatat dari penterjemahan yang boleh
dijadikan catatan, misalnya kata dan pengertian evangelism dalam kaum
ekumenis diterjemahkan ‘pekabaran injil’. Ini sangat menarik karena
biasanya kaum ekumenis memakai kata evangelization untuk sebagai
pekabaran injili, secara umum dan kurang perhatian pada penginjilan
perorangan. Artinya disini penerjemah pun kemungkinan memakai
pengertian umum itu untuk evangelism sebagai misi gereja secara umum,
yang didalamnya bercampur langsung dengan mandat budaya, sosial,
ekonomi dan lain-lain. Singkatnya bagi kaum ekumenis, pengertian
evangelism dalam kekhususan menantang orang untuk menerima Kristus
secara personal adalah agak ‘haram’ dilakukan dalam dunia agama yang
majemuk apalagi harus dilakukan dalam gereja gereja tradisional, seperti
kaum injili yang gencar dengan kebangunan rohani di dalam gereja gereja.
Dokumen kedua adalah dokumen misi injili dari pertemuan Lausanne
ke-3 di Cape Town, tahun 2000, yang memakai semboyan, “…dan
panggilan untuk bertindak” dalam dokumen ini jelas kelihatan gerakan misi
injili dalam kerangka Lausannne tidak meninggalkan isu-isu praktis dalam
pergumulan manusia dan peradabannya untuk misi injili sedunia. Ada hal
126 TINJAUAN BUKU
tetap yang merupakan ciri khas gerakan injili yaitu selalu dilandasi oleh
pernyatan iman secara doktrinal. Ini adalah gerekan teologis doktrinal lalu
meluaskan komitmennya dalam aksi-aksi praktis dan implemantaif yang
segar nyata dan fokus dalam isu-isu seperti, HAM, LGBT, penindasan,
kelaparan, penyakit, dan lain-lain. Namun sayangnya banyak dosen dan
pemimpin injili yang tidak tahu dan tidak memahaminya dan hanya
menekankan tantangan keselamatan sorgawi saja. Yang patut dicatat dari isi
dikumen injili ini adalah gerakan misi yang terbuka bagi pergumulan
manusia di dunia juga, sehingga dapat dibedakan dari kaum fundamentalis.
Namun di dalamnya juga ada ajakan semacam gerakan kesatuan
Kristen di dalam misi dan penginjilan dalam masyarakat yang super modern
ini. Secara keseluruhan ini adalah modal awal gerakan penyatuan dan
persatuan gereja-gereja sedunia melalui pelaksanaan misi di tengah
masyarakat majemuk, khususnya secara keagamaan, politik, sosial ekonomi
dan lain-lain. Ini memang dokumen kekinian bagi gereja masa kini,
khususnya dari dua gerakan kesatuan Kristen. Ini adalah protestanisme masa
kini yang semangatnya inklusif walaupun tetap tersirat ada komitmen,
khususnya dalam arena antar agama.
Namun yang khusus adalah kata evangelism selalu diterjemahkan
sebagai penginjilan tidak diartikan sebagai “pekabaran injil” dalam arti
umum dan luas layaknya world mission. Dalam jalan pemikiran LCWE
world evangelization diterjemahkan sebagai pekabaran Injil sedunia. Dalam
pengertian pekabaran injil sedunia, yang secara popular dikenal sebagai
‘misi’ ke ujung dunia. Penggunaan kata itu berbeda dari evangelism yang
tema populer dan diterjemahkan sebagai ‘penginjilan’ saja, yang secara
konseptual sebagai berita injil untuk menantang orang berdosa menerima
Yesus secara pribadi demi keselamatan di dalam pertobatan iman atau lahir
baru. Artinya sejak pertama di dalam gerakan Lausanne, secara tidak
langsung sudah terbedakan dengan sendirinya. Pendapat itu diperkuat
dengan referensi teks Injil yang berbeda dasarnya juga antar kedua kata itu, -
-evangelism dan evangelization-- (lih. poin ke-3 dan 4 dari Perjanjian
Lausanne). Jadi secara keseluruhan, penginjilan (evangelism) adalah bagian
dari pekabaran injil (world evangelization), yang di dalamnya juga termasuk
keprihatinan sosial (poin 5 Perjanjian Lausanne 1974).
STULOS: JURNAL TEOLOGI 127
Dalam persiapan untuk pertemuan misi geraakan Lausanne ketiga
Komitmen Cape Town ini akan dibuat semacam “peta jalan” ke depan dan
bersifat “panggilan profetik” bagi semua aras dalam gerakan misi injili
yang “lebih jauh lagi dengan menghubungan kepercayaan dengan praktis”
(lih. 108). Bahkan hal ini disertai dengan sikap inklusif dalam gerakan injili
yang disampaikan dalam “pendahuluan” bahwa “meskipun kami berbicara
dan menulis dari tradisi injili pada Gerakan Lausanne, kami menegaskan
kesatuan dari tubuh Kristus dan dengan sukacita bahwa ada banyak pengikut
Tuhan Yesus Kristus di dalam tradisi-tradisi lain” (hlm. 109). Ini pernyataan
inklusif gerakan injili bahwa akomodatif serta kooperatif di dalam misi injil.
Ini yang mengindikasikan evangelikal berbeda dengan fundamantalis, yang
tertutup dan tidak berkerjasama dengan tradisi Kristen yang berbeda.
Terakhir, buku ini menyatukan keputusan-keputusan misi masa kini,
khususnya di tengah-tengah masyarakat majemuk sebagai konteks kekinian
kedua gerakan itu. Ini memang sebagai konteks pemberitaan injil masa kini
yang global dan lokal, khususnya fokus pada situasi dan kondisi keagamaan
plural dan global. Hal ini dilihat dari dokumen terakhir mengenai “kesaksian
kristiani dalam dunia yang beragam agama”. Paparan dokumen ini tanpa
tafsiran apapun dianggap sebagai informasi awal untuk memikirkan
kesatuan atau persatuan kedua golongan yang terpolarisasi besar di
Indonesia. Konon di barat tentu ekumenisme sudah menjadi isu mati dan
diganti dengan istilah sebutan dengan main line gereja atau mainstream
Christian, sedangkan topik evangelikaisme masih terus berjalan sampai
sekarang, disertai isu yang hangat dan dinamis.
Akhirnya, ternyata selama ini kedua pemikiran dari kedua kubu
gerakan gerejawi ini saling berseberangan bahkan bertentangan, bukan
hanya berbeda dalam pengertian dam praktik misi penginjilan secara umum.
Kedua gerakan ini saling menafikan khususnya dalam misi penginjilan
global. Namun ketika membaca kedua dokumen ini di tempat terpisah,
ternyata tidak berseberangan sama sekali. Kegiatan evangelism yang ini
sering ditolak oleh kaum ekumenis sebagai sesuatu yang merusak pergaulan
antara masyarakat yang berbeda agama. Namun masih tetap memakai
evangelization sebagai suatu pekabaran injil yang bersifat global dan luas
konsepnya, yaitu misi holistik, bukan hanya sekedar tantangan injil. Kaum
128 TINJAUAN BUKU
injili sangat sadar pentingnya evangelism di dalam inti evangelization
sebagai tantangan injil bagi orang orang untuk menerima keselamatan
melaui iman partikular dalam Kristus. Di lain pihak ekumenis lebih
menekankan misi holistik dan masyarakat dalam pergaulan dan
pembaharuan Injil dan peran masyarakat oleh Injil, bahkan memunculkan
injil sosial, tidak memperbolehan lagi tantangan injil keselamatan sorgawi
kepada dunia apalagi di dalam gereja lokal.
Dari semua ini kita meihat bahwa kedua gerakan misi Kristen ini
dapat juga menlihat acuan yang disatukan ini sebagai sesuatu dengan
terbuka dan adil.
Togardo Siburian
Where is God In A Coronavirus. Oleh John C. Lennox. Surabaya, Perkantas
Jatim, 2020. (81 halaman). Dan Coronavirus and Christ. Oleh John Pipper.
Surabaya, Perkantas Jatim, 2020. (98 Hlm).
Pendahuluan
John Lennox adalah seorang matematikus, filosofer, dan juga seorang
apologis Kristen. Meskipun seorang ilmuan, Lennox juga menulis banyak
buku teologi, terutama dalam genre apolegetika. Buku ini juga dapat
digolongkan sebagai buku apologetika, terutama dalam menghadapi
tantangan ateisme. Akan tetapi, buku ini juga dapat digolongkan sebagai
buku pastoral bagi setiap jiwa yang sedang menderita.
Dengan persoalan konteks yang sama, Piper juga menulis buku
dengan judul coronavirus and Christ. John Piper adalah seorang pendeta
senior dan juga seorang dosen teologi. Selain itu, Piper juga merupakan
seorang penulis yang sangat produktif. Ada banyak buku-buku nya yang
sudah diterbitkan dan diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Sebagai
seorang pendeta dan juga seorang dosen, Piper terbiasa menulis dengan
cukup akademis, namun juga sekaligus praktis yang berguna untuk pastoral
kepada jemaat. Jika Lennox menulis dengan perspektif apologetika, maka
Pipper menggunakan kristologi dan eskatologi dalam memandang persoalan
Covid-19 ini.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 129
Kedua buku ini ditulis dalam jangka waktu yang relatif singkat.
Pasalnya, sifat mendesak dari konteks yang membuat mereka menulis secara
“kilat.” Akan tetapi, masih ada hal-hal yang dapat dipelajari dari kedua buku
tipis ini.
Gambaran Besar Buku John Lennox
Secara umum, Lennox menantang ateisme. Oleh karena bersifat ideologis,
saya menyimpulkan buku ini sebagai buku apologetika. Tentunya, bukan
apologetika yang sebatas polemika sebagai ilmu berdebat. Namun,
apologetika dalam ranah worldview.
Dilihat dari daftar isi dari buku ini, maka kita akan melihat bahwa
Lennox berusaha membagi bab-bab tersebut dalam tiga bagian besar. Dalam
rangka pastoral menghadapi ateisme, Lennox memulai dengan sebuah
identifikasi bahwa Ateisme tidak terverifikasi dalam kehidupan riil. Dia
memulai dengan dua bab awal yang diberi judul “merasakan kerapuhan diri;
dan berbagai katedral dan cara pandang kehidupan.”
Dalam pertama, Lennox menjabarkan secara panjang lebar mengenai
berbagai virus yang pernah ada dalam sejarah peradaban manusia (hlm. 13
dst). Dengan penjabaran tersebut, dia ingin mengidentifkasi bahwa ateisme
yang menghasilkan superiorisme tidak berdaya. Pasalnya, manusia pada
dasarnya begitu rapuh dan terbatas. Oleh karena itulah, maka Allah menjadi
pegangan yang kokoh dalam menghadapi persoalan krisis ini.
Bab kedua, Lennox mengajak pembaca untuk melihat berbagai
perspektif mengenai penderitaan. Baginya, agama tidak dapat dilepaskan
dari penderitaan manusia. Pasalnya, agama memberikan harapan,
kesembuhan spiritual dan penawar kesepian (hal 17). Kemudian, dalam bab
ini, Lennox menjabarkan mengenai dua macam jenis kejahatan, yakni
kejahatan moral dan kejahatan alamiah. Bagi Lennox, kejahatan moral
adalah sepenuhnya salah manusia, dan kejahatan alamiah kadang-kadang
disebabkan oleh manusia, namun juga terkadang bukan oleh manusia.
Namun, terlepas dari itu, Lennox menganggap bahwa rasa sakit memberikan
manfaat kepada manusia. Setidaknya ada 3 manfaat rasa sakit, yakni untuk
mengingat akan adanya bahaya, peroses pertumbuhan fisik dan
130 TINJAUAN BUKU
pembentukan karakter. Semua itu mempunyai satu tujuan, yakni untuk
mengajarkan manusia mengenai kefanaan dan kerapuhan manusia (23-24).
Bagian yang kedua, Lennox melakukan attacking secara langsung
terhadap ateisme. Dalam judul “dapatkah ateisme menolong?, “ secara
langsung, Lennox ingin mengatakan bahwa ateisme sama sekali tidak dapat
menolong (hal 34 dst). Pertanyaan ateisme mengenai eksistensi Allah tidak
dapat menolong apa-apa karena ateisme tidak menawarkan apapun selain
skeptisisme semata. Tidak ada perwujudukan pemikiran yang lebih konkret
dari ateisme ketika mengalami situasi seperti ini. Selain itu, ateisme yang
tidak mempunyai moral yang objektif, tidak dapat menjadi landasan moral
apapun.
Bagian ketiga, Lennox memberikan verfikasi Teisme Kristen terhadap
persoalan pandemik Covid-19. Bagian ini terdapat dalam tiga bab yang
diberi judul “bagaimana mungkin ada virus corona jika ada Allah yang
mengasihi?; bukti kasih; dan perbedaan yang Allah kerjakan.”
Khusus untuk bab 4 yang berjudul “bagaimana mungkin ada virus
corona jika ada Allah yang mengasihi? Lennox mengajak pembaca untuk
melihat 3 hal, yakni natur virus secara umum, natur kemanusiaan dan ajaran
Alkitab mengenai mengapa segala sesuatu terjadi. Virus pada dasarnya
adalah suatu hal yang baik. Manusia membutuhkan virus untuk
keberlangsungan hidup. Bahkan ada 100 juta tipe virus yang membantu
kehidupan manusia, dan hanya ada 21 tipe yang bersifat merusak (hlm. 42).
Dengan begitu banyak virus yang baik, bagaimana mungkin kita
mengatakan bahwa Allah tidak mengasihi?
Kemudiaan natur kemanusiaan. Manusia pada dasarnya berdosa dan
keinginan hatinya bersifat jahat. Bahkan virus membunuh lebih sedikit orang
daripada yang dilakukan oleh sesame manusia. Dan yang ketiga adalah
ajaran Alkitabiah mengena mengapa sesuatu terjadi. Bagi Lennox, pilihan
manusia lah yang menyebabkan banyak hal buruk terjadi.
Kemudian bab 5 dan 6 adalah bagian yang praktis dari buku ini.
Saran-saran uintuk mengikuti saran medis, melakukan kebaikan social, dll
ada dalam bab ini. Prinsipnya adalah waktu krisis seperti ini adalah waktu
dimana kita membuktikan kasih kepada sesama.
STULOS: JURNAL TEOLOGI 131
Kristologi dan Eskatologi Piper Menghadapi Pandemi Covid-19
John Piper sedikit berbeda dengan Lennox. Dia menulis dengan lebih
bersifat doktrinal. Selain itu, Lennox berusaha membela Allah dari “citra
buruk.” Sehingga, semua hal yang terjadi adalah akibat ulah manusia itu
sendiri. Dia tidak menuliskan secara eksplisit tentang keberadaan Allah di
tengah persoalan Covid-19. Sedangkan Piper adalah sebaliknya. Baginya,
semua hal yang terjadi adalah dalam kedaulatan Allah, dan bahkan bisa
disimpulkan bahwa pandemic covid terjadi karena ketetapatan Allah.
Secara garis besar, Pipper membagi buku ini dalam dua bagian.
Bagian pertama adalah bangunan kristologi yang dia beri judul “Allah yang
memerintah atas virus corona.” Empat bab dalam bagian ini menjabarkan
tentang Yesus sebagai batu karang yang teguh. Dalam bagian ini, Pipper
cukup kontroversial. Pasalnya, dia hendak mengatakan bahwa pandemi ini
disebabkan oleh Allah sendiri. Namun, meskipun Allah yang menyebabkan
pandemi ini, Allah tetap tidak dapat disalahkan. Pasalnya, Dia adalah Allah
yang kudus, yang tidak memerlukan pengakuan eksternal (hlm. 32). Bahkan
memang manusia layak dihukum dengan pandemi ini (hlm. 33), dan Piper
menyebut ini sebagai providensia yang pahit (35). Dalam hal ini, Pipper
berbeda dengan Lennox yang menganggap bahwa kejahatan alamiah
(pandemi Covid-19), disebabkan oleh andil manusia. Akan tetapi, Piper
memberikan argumentasinya. Meskipun Allah berdaulat dan menetapkan
pandemi ini terjadi, namun kedaulatan Allah atas virus corona disebutnya
sebagai sesuatu yang manis didengar (hlm. 43). Pasalnya, Allah adalah
Mahakasih, di dalam diri-Nya terdapat kebaikan dan kebenaran yang tidak
saling bertentangan. Oleh karena itu, sekalipun bersifat providensia yang
pahit, pasti ada kebaikan dalam krisis ini.
Dalam bagian dua, Pipper membangun eskatologi. Namun, tentu tidak
dengan eskatologi ala teori konspirasi. Eskatologi yang dibangun Piper
dalam bagian-bagian ini bersifat umum. Bahwa, memang kita sedang berada
dalam zaman akhir. Dan pandemi ini adalah salah satu bentuk
konfirmasinya.
Bagian ini diberi judul “apa yang sedang dilakukan Allah melalui
virus corona?.” Kemudian, ada 5 bab untuk menjabarkan pertanyaan dalam
bagian dua ini. Baginya, pandemi ini memang adalah “penghakiman khusus
132 TINJAUAN BUKU
dari Allah” (bab 7). Berbeda dengan Lennox yang menganggap bahwa
tragedi tidak selalu disebabkan oleh karena penghakiman Allah. Ada tragedi
yang memang untuk ujian iman. Dalam hlm. ini, Piper tidak melihat bahwa
Allah tidak selalu menghakimi dengan cara demikian.
Kemudian pada bab 6, Piper menjelaskan bahwa Allah bertujuan
untuk menggambarkan kengerian moral manusia melalui virus corona ini.
Bab 8 “membangunkan kita untuk menyambut kedatangan Kristus yang
kedua; Bab 9 “menyelaraskan hidup kita dengan nilai Kristus yang tak
terhingga; bab 10 “menciptakan perbuatan baik di tengah bahaya; Bab 11
“melonggarkan akar untuk menjangkau suku-suku bangsa.”
Pemaparan Piper memang mungkin dapat menggugah manusia. Akan
tetapi, Allah digambarkan sebagai penanggungjawab atas semua kejahatan
yang terjadi. Jika demikian, maka konsekuensi logisnya adalah dosa pun
disebabkan oleh ketetapan Allah.
Cara Kerja Teologi Kontekstual
Meskipun kedua buku ini berbeda dalam pemahaman teologis, namun kedua
buku memberikan contoh mengenai tugas teologi dalam konteks. Artinya,
teologi tidak boleh hanya sekedar konsep yang mengawang-ngawang,
melainkan harus menjawab persoalan konteks.
Selain itu, kedua buku ini juga memperlihatkan kepada kita mengenai
cara kerja teologi. Kedua penulis ini tidak berusaha menjadi orang lain.
Mereka adalah teolog dan hasil tulisan yang dihasilkan pun adalah hasil
tuliusan teologi. Meskipun Lennox adalah seorang ilmuan, namun ketika dia
menulis teologi, ilmu-ilmu lain yang dia kuasai hanya sebatas pelengkap
dalam risetnya. Dia tidak berusaha menjadi ilmuan, melainkan hanya
menuliskan perspektif teologi dalam bidang kesehatan.
Tugas teologi kerapkali menjadi kabur. Pasalnya, kita cenderung
dengan mudah menggunakan kata integrasi. Akhirnya, teologi menjadi
“harus serba tahu/harus serba bisa.” Padahlm. teologi memiliki keterbatasan
dalam hlm. teknis. Teologi adalah ilmu perspektival yang memberikan
prinsip-prinsip dalam setiap lapangan kehidipupan.
Apalagi, tugas gereja dan teolog berkaitan dengan jiwa rohani
manusia. Jadi dia tidak bersifat teknis semata. Dari kedua tulisan ini,
STULOS: JURNAL TEOLOGI 133
meskipun dalam teologi yang berbeda, prinsip-prinsip yang mereka
sampaikan tetap ada titik temunya. Terutama ketika membahas mengenai
manusia yang terbatas dan membutuhkan Allah, kebaikan Allah dan
pemeliharan Allah, dll.
Ketidakcukupan Ateisme
Kedua buku ini memang ditulis dengan perspektif yang berbeda. Namun,
ada satu kesamaan yang mendasar, yakni satu tantangan terhadap
ketidakcukupan ateisme. Lennox mengambarkan manusia yang begitu
rapuh, bahkan manusia yang tidak ada standar moral menyebabkan
kejahatan moral dan kejahatan alamiah terjadi.
Meskipun Pipper berbeda dalam memandang kejahatan alamiah,
namun titik temu nya sama saja, yakni dalam hlm. ketergantungan kepada
Allah. Persoalan apakah kejahatan alamiah disebabkan oleh manusia atau
Allah tetap mengharuskan manusia menggantungkan diri kepada Allah.
Ateisme menjadi worldview utama yang ditantang pada tulisan ini.
Ateisme dengan berbagai pertanyaan skeptis, tidak menghasilkan apapun
untuk kehidupan peradaban manusia. Sebagai worldview dalam lapisan
ontologis, ateisme memunculkan beberapa worldview yang saling terkait,
yakni humanisme, superiorisme dan skpetisisme.
Humanisme mungkin menjadi worldview dalam lapisan epistemologis.
Humanisme memang tampak baik sebagai sebuah worldview yang
terverifikasi dalam kehidupan riil. Akan tetapi, ada beberapa presuposisinya
yang tidak konsisten dalam sistem worldview nya. Humanisme melakukan
kebaikan moral, tetapi karena turunan dari ateisme, maka moral yang
dihasilkanpun bersifat relatif. Oleh Karena itu, jika mengikuti doktrin
humanisme tentang moral, maka membunuh pun dapat dikatakan sebagai
sebuah kebenaran. Pasalnya, tidak ada kebenaran yang objektif.
Selain itu, humanisme yang percaya bahwa manusia adalah pusat alam
semesta menghasilkan superiorisme. Akan tetapi, superiorisme juga tampak
inferior hari ini. Kemudian, skeptisisme yang mengajak orang untuk sinis
terhadap segala sesuatu juga tidak menghasilkan apapun selain rasa frustasi,
kebencian, dan perasaan tidak berpengharapan.
134 TINJAUAN BUKU
Afirmasi Keunggulan Teisme Kristen
Teisme Kristen menawarkan hlm. yang berbeda. Dalam konteks penderitaan
manusia, Teisme Kristen menawarkan satu konsep yang lebih holistic,
komprehensif dan terverifikasi.
Misalnya, dalam menghadapi humanisme. Teisme Kristen percaya
bahwa manusia bukan pusat segala sesuatu. Meski demikian, manusia
berharga karena diciptakan menurut gambar dan rupa Allah. Akan tetapi,
manusia berdosa, sehingga membuat segala sesuatu tidak berjalan
sebagaimana mestinya, sehingga manusia membutuhkan Allah.
Kemudian skeptisisme yang menghasilkan kehidupan sinistik juga
tidak memberikan sumbangsih apapun kepada manusia dalam menghadapi
penderitaan. Sedangkan teisme Kristen menawarkan sebuah penyerahan diri
total kepada Allah yang berdaulat, baik dan memelihara kehidupan umat-
Nya. Dengan dalil seperti ini, niscaya manusia akan lebih berpengharapan
dalam menjalani kehidupans yang sulit.
Worldview teisme Kristen yang komprehensif dapat diuji dalam setiap
presuposisinya dan diverifikasi dalam kehidupan nyata. Allah Tritunggal
sebagai dasar ontologis meniscayakan adanya pemeliharaan yang sempurna
terhadap manusia; wahyu Allah dalam Alkitab sebagai epistemologi yang
menyediakan jawaban atas ketidaktahuan, pengharapan di tengah
ketidakpastian, penghiburan di tengah kedukaan, pengajaran yang sempurna,
dll. Terakhir, aksiologis dalam bentuk kasih, keadilan, sukacita,
pengorbanan, kebaikan, dll. Semua ini membentuk sebuah worldview yang
kokoh dan layak dihidupi.
Yogi Mandagi
STULOS: JURNAL TEOLOGI 135
Seeing Jesus From The East. Oleh : Ravi Zakharias dan Abdu Murray.
Grand Rapids, Michigan: Zondervan Reflective, 2020 (148 hlm.)
Ravi Zakharias merupakan seorang apologis Kristen berkebangsaan Kanada-
Amerika Serikat kelahiran India. Ia adalah seorang pembela evangelikalisme
tradisional. sementara Abdu Murray merupakan Senior Vice President dari
Ravi Zacharias International Ministries. Dalam buku Seeing Jesus From The
East, keduanya berusaha menyampaikan pentingnya cerita dalam
kebudayaan timur dalam menyampaikan kebenaran terutama tentang Injil
Yesus Kristus yang meskipun itu sebuah cerita, namun mengundang ujian
untuk kebenaran. (hlm. 10). Secara keseluruhan buku ini mampu
menyajikan Yesus dalam keseluruhan cara pandang orang Timur dalam
menyoroti Yesus, asal-usul dan gagasan revolusionernya.
Zacharias dan Murray membagi buku ini dalam 9 bab. Pada Bab I
yang berjudul “Cerita, Keluarga dan Seorang Putera”, Zacharian
memaparkan pentingnya peran cerita dalam kehidupan Timur. Kemudian
pada Bab II, Zacharias memaparkan tentang “Pesan dan Pemberi Pesan”
yang menegaskan bahwa dalam Injil Kristen, pesan utamanya adalah
pengorbanan tertinggi dari Juruselamat (hlm. 35).
Pada bab III, Zacharias memaparkan tentang apa yang “Hilang dan
Ditemukan untuk Semua” dengan menggunakan 3 perumpamaan dalam Injil
Lukas 15 (hlm. 42). Pada Bab IV, Abdu Murray memaparkan tentang
”Kehormatan, Rasa Malu, dan Yesus.” Melalui bab ini Murray membuat
pembacanya memahami peran Rasa Malu dan Kehormatan dan kaitannya
dengan konsep kolektivitas. Pada Bab V, Abdu Murray kemudian
membahas mengenai “Hadiah Pengorbanan” dengan mengangkat konteks
surat Roma yang kemudian menggambarkan pemahaman di Timur dan
Timur Tengah, tentang tidak malu akan Injil Itu dapat berarti kehilangan
kebebasan dan bahkan kehilangan kehidupan. Tetapi itu juga berarti
mendapatkan berkah yang tidak bisa dicapai dengan cara lain.
Pada Bab VI, Abdu Murray kemudian membahas mengenai
penggunaan Parabel untuk mengajarkan kebenaran. Bab VII, Ravi
membahas mengenai peran Bait Allah dan konsep pernikahan dalam
pandangan masyarakat Timur. Pada Bab VIII, Ravi menangkat dua episode
136 TINJAUAN BUKU
yang dipandang penting dalam kehidupan Yesus yakni Pencobaan di Padang
Gurun dan Transfigurasi. Melaluinya Yesus menunjukkan kepada kita apa
godaan nyata itu dan apa misi nyata kita dalam hidup. Bab IX, Abdu Murray
memberi penegasan pentingnya memperhitungkan cara orang Timur
memandang Yesus.
Ketika peninjau melihat keseluruhan buku ini, setidaknya ada empat
gagasan besar yang disampaikan oleh Zacharias dan Murray yakni pertama,
peran cerita dalam kebudayaan timur. Kedua, cara Injil Yesus Kristus
menyampaikan ide-idenya melalui cerita. Ketiga, cara mengajarkan
kebenaran melalui perumpamaan dalam kebudayaan timur. Serta keempat,
pentingnya cara pandang orang timur dalam melihat Yesus.
Peran Cerita Dalam Kebudayaan Timur
Segala sesuatu tentang cerita merupakan gaya khas Timur. Cerita-cerita
yang banyak dijumpai di Timur, kisah konflik dalam keluarga, tentang
kekuasaan dan kekuatan, tentang pembunuhan dan balas dendam, tentang
kerudung dan penyingkapan — dan, ya, nilai-nilai. Faktanya, ini adalah
kisah prototipe dari Timur Tengah hingga hari ini. Baik itu narasi Islam atau
kisah pertempuran agama yang panteistik, dengan sentral adalah perang
untuk membuktikan kebesaran dan dominasi. Seluruh epik Sansekerta yang
Mahabharata juga kisah menarik dari keluarga dan perang antara dua
bersaudara (hlm. 14).
Ada sisi lain dari penelaahan tentang cerita ini adalah memang banyak
dongeng-dongeng yang bersifat mitologis dan fantastis namun di dalamnya
terdapat pelajaran filosofis yang dimaksudkan untuk memberikan prinsip
serta pedoman bagi kehidupan budaya. Itulah alasan utama cerita itu
dibangun. Dalam budaya Timur yang panteistik, bukan kebenaran yang
menjadi fokus, tetapi “kebenaran” yang penting. Kebenaran datang dalam
peribahasa atau ucapan, jarang dalam kerangka pemikiran yang logis. Selalu,
penulis menceritakan kisah itu sebagai dongeng menimbulkan emosi tertentu
dari pembaca dan menanamkan prinsip abadi dalam hati nurani. Cerita
tersebut mungkin tidak benar, tetapi dimaksudkan sebagai media kebenaran
tertentu (hlm. 14).
STULOS: JURNAL TEOLOGI 137
Injil Yesus Kristus juga sebuah cerita (hlm. 14). Melalui Kitab Roma
kemudian disimpulkan bahwa Surat Roma merupakan risalah terbesar di
dunia tentang Injil. Kisah kelahiran, kehidupan, kematian, dan kebangkitan
Yesus adalah latar belakangnya, dan sewaktu membacanya akan terkesan
dengan pemikiran bahwa akhir itu bukan sekadar kejutan bagi pembaca,
tetapi juga merupakan kejutan bagi para penulis Injil itu sendiri yang mana
sangat berbeda dari mitos-mitos di Timur (hlm. 15).
Injil Yesus dan Ide dalam Cerita Timur
Yang menarik perhatian tentang kisah Yesus bukan hanya karena kisah itu
diklaim benar, tetapi juga bahwa kebenaran kisah tersebut telah dibuktikan
oleh kumpulan penulis. Terlebih lagi, klaim kebenarannya mencapai serta
melampaui karakter dalam cerita itu sendiri serta memasukkan kondisi
seluruh umat manusia. Kebanyakan teks suci Timur ditulis oleh perawi
tunggal. Sebaliknya, Alkitab menyatukan para perawi untuk berbicara
kepada seluruh kosmos. Pesannya bukanlah budaya mikro, atau, dalam hlm.
ini, narasi yang “hanya untuk saya”. Cerita ini bukan tentang keunggulan
budaya siapa pun. Sebaliknya, cerita itu transkultural, transetnis, dan
translinguistik. Cerita ini melampaui etika belaka teori atau kelompok
bahasa tunggal (hlm. 19). Singkatnya, kisah Yesus bukanlah kisah identitas
budaya. Dalam implikasi dan definisinya, cerita ini tentang apa artinya
menjadi manusia (hlm. 19). Kebenaran sekarang penting. Yesus adalah
Kebenaran dan Jalan. Ada makna hidup yang digenapi oleh Yesus.
Kebutuhan akan makna ini tetap menjadi pertempuran mendalam di Timur
hari ini, terutama dengan pandangan siklus hidup dan sejarahnya (hlm. 18).
Upaya untuk melihat Injil dan Alkitab dalam kacamata ketimuran
akan membantu memahami maksud Allah dan membawa pada penemuan
akan kebenaran. Dalam Kejadian 1 :1 dijelaskan bahwa dunia ini gelap
gulita dan kosong. Alkitab dimulai dengan pengakuan akan eksistensi Allah
yang kekal sebagai pencipta. Kemudian Ia berfirman dalam ayat kedua
“Jadilah terang.” Di Timur, kita sering menggunakan kata-kata seperti
iluminasi, pencerahan, dan sebagainya. Terang telah lama menjadi simbol
untuk mengetahui dan melihat. Bagi orang Ibrani juga demikian. Tidak ada
yang dapat melihat dalam kegelapan, tidak peduli seberapa keras upaya
138 TINJAUAN BUKU
mencoba. Alih-alih merupakan upaya pencapaian akan pencerahan seperti
banyak paham di Timur, teks Kejadian 1:1-2 berupaya menyampaikan
bahwa kita memerlukan penerangan dan Firman Allah memainkan peran
sangat penting dalam iluminasi kita (hlm. 36). Penggunaan perumamaan dan
idiom memainkan peran sangat penting dalam kebudayaan Timur. Yesus
dalam upaya mengidentifikasi diri-Nya menggunakan idiom dan perumpaan
secara bergantian. Alih-alih mengidentifikasi diri-nya dengan asal-muasal,
garis keluarga, dan sebagainya, Dalam narasi “Aku adalah” pada Injil
Yohanes, Yesus menggunakan berbagai idiom untuk mengidentifikasi diri-
Nya serta menyampaikan peran yang Ia lakukan dalam karya keselamatan
(hlm. 37).
Mengajarkan Kebenaran Melalui Perumpamaan
Komunikasi Timur didandani dengan idiom dan perumpamaan (hlm. 79).
Sebelum kita menyelami kedalaman teologi Yesus secara serius yang
ditemukan dalam perumpamaan, mari kita berhenti sejenak untuk
menghormati logika dalam perumpaan. Perumpamaan atau ilustrasi
bukanlah pengganti argumen. Ini berlaku di semua budaya. Bagaimanapun,
perumpamaan hanya sebagai berguna sebagai logika di balik argumentasi.
Perumpamaan yang baik, bagaimanapun, memperkuat argumen dengan
membuatnya berhubungan dan lengket secara mental. Perumpamaan yang
didasarkan pada logika tidak hanya mengajari kita kebenaran yang
proposisional. Mereka menggunakan karakter dan tema yang membenamkan
kita ke dalam kebenaran yang diajarkan. Mereka memaksa kita bertanya
bagaimana kita akan bertindak dalam suatu situasi dan apakah kebenaran
benar-benar penting bagi kita (hlm. 80).
Karena itu, perumpamaan tidak hanya mengajari kita kebenaran;
mereka juga mengajari kita tentang hubungan kita dengan kebenaran.
Perumpamaan Yesus telah menyentuh orang Timur dan Barat, karena
melalui mereka, Dia mengundang kita ke dalam hubungan dengan
kebenaran itu sendiri (hlm. 80).
STULOS: JURNAL TEOLOGI 139
Pentingnya Cara Pandang Orang Timur Dalam Melihat Yesus
Fakta bahwa Yesus adalah Timur Tengah dan mengajar serta bertindak di
dalam kerangka komunal kehormatan-malu menunjukkan bahwa Kristen
bukanlah agama Barat. Namun Yesus menentang diskriminasi etnis, ras, dan
gender yang biasa terjadi pada zamannya, sementara orang-orang di Barat
masih berjuang untuk menyelesaikan masalah itu. Ironisnya, Injil Kristen
menawarkan banyak hal dalam menangani masalah jusru sering disalah
artikan. Halaman-halaman ini adalah alasan yang cukup bagi orang-orang di
Barat untuk melihat Yesus dari Timur lagi (hlm. 114).
Jika masyarakat di Timur didasarkan pada kesesuaian komunal, maka
masyarakat di Barat didasarkan pada individualisme dan tandingan
ketidaksesuaian (hlm. 114). Sementara Yesus sepenuhnya Timur Tengah,
kemudian tindakanNya membentuk inti dari nilai-nilai Barat di kemudian
hari (hlm. 116). Melihat ketimuran Yesus tidak hanya membawa kesegaran
kejelasan; melihat Yesus sebagai jembatan Timur ke budaya Barat juga
membawa harapan saat kita berjuang di Barat untuk mengatasi masalah yang
sama dengan yang Dia tangani sejak lama (hlm. 116).
Ketika ibarat melihat kekuatan salmon yang berenang di aliran
pegunungan, kita terpesona melebihi deskripsi fenomena apa pun yang dapat
menginspirasi. Ketimuran-Nya mengacaukan narasi kita, namun
kemampuan-Nya dalam menangani isu-isu yang mengganggu budaya Barat
membuatNya abadi. Dia telah mempengaruhi orang kuno dan modern. Dia
telah mempengaruhi Timur dan Barat. Kita hanya harus memberinya
tampilan baru (hlm. 122).
Penutup
Catatan paling utama yang di temui melalui ulasan Ravi dan Murray adalah
bagaimana Kekristenan selama ini telah begitu terpengaruh dengan cara
berpikir Barat yang membuatnya menjadi kurang kena mengena dengan
konteks masyarakat di Timur. Padahlm. Yesus sendiri merupakan Orang
Timur yang hidup dengan dengan konteks budaya ketimuran. Mengubah
“kacamata” pembacaan Yesus dari barat ke timur membuat kita memiliki
horizon yang berbeda. Sedikit menggeser perspektif akan mendorong
kepada kesimpulan yang berbeda. Hlm. ini disebabkan karena lingkungan
140 TINJAUAN BUKU
kebudayaan mempengaruhi dan mengkondisikan apa yang dilihat,
dikatakan, dan dilakukan.
Dengan kondisi demikian, kita dapat melihat Alkitab semakin
alkitabiah serta injil semakin Injili bagi gereja-gereja di timur. Tugas dari
gereja-gereja di Timur pada masa kini adalah memperkaya dan
mengembangkan pola pembacaan dan pemahaman yang berbeda dari Barat,
sehingga Injil menjadi relevan dan diterima dengan baik oleh masyarakat
dan olehnya gereja mampu menjawab masalah-masalah kontemporer yang
dihadapi masyarakat di Timur.
August Leonardo Kurniawan Adua
Competing Fundamentalism oleh Sathianathan Clarke. Louisville:
Westminster John Knox Press, 2018 (246 hlm.).
Fundamentalisme agama adalah gejala sosial lintas komunitas agama
yang terus berkembang terus saat ini. Agama apa-pun tidak imun terhadap
gejala ini. Lantas, apakah yang harus dilakukan oleh orang-orang Kristen
pada zaman ini untuk merespons gejala fundamentalisme agama ini,
terutama di dalam tubuh kekristenan sendiri? Sathianathan Clarke, profesor
bidang kebudayaan, teologi dan misi di Wesley Theological Seminary ingin
memberikan jawaban dari pertanyaan tersebut.
Lewat bukunya, Competing Fundamentalism, Clarke ingin menjawab
pertanyaan “bagaimanakah peranan teologi di dalam memerangi gejala
fundamentalisme?” Di dalam konteks fundamentalisme yang terus
berkembang, pertanyaan Clarke ini patut untuk disingkapi secara serius.
Clarke menjawab pertanyaan ini dengan melihat dulu perspektif yang
berkembang di Amerika mengenai penyebab fundamentalisme agama.
Clarke mengamati bahwa seringkali para pakar melihat gejala
fundamentalisme agama dari perspektif sosial (hlm. 11-14), resistensi
terhadap kekuasaan dan politik (hlm. 14-20), akibat dari ketimpangan
ekonomi (hlm. 20-26), dan juga teori psikologi (hlm. 26-32). Clarke
mengklaim bahwa pendekatan sosial, politik, ekonomi, psikologi
memberikan perspektif yang penting di dalam melihat gejala ini. Hanya saja,
STULOS: JURNAL TEOLOGI 141
Clarke melihat bahwa pendekatan ini belum menyentuh isu sebenarnya dari
gejala fundamentalisme agama. Bagi Clarke, gejala fundamentalisme agama
adalah fenomena teologis dan pemecahannya perlu dilakukan secara teologis
pula.
Sebelum Clarke menyatakan solusinya, dia mencoba melihat kasus-
kasus di mana fundamentalisme agama di beberapa negara seperti Amerika
(bab 2; Kristen), Mesir (bab 3; Islam), dan India (bab 4; Hindu). Walaupun
terdapat isu nasionalitas, historisitas, ataupun masalah ekonomi dan juga
sosial yang berkelindan di dalam pembahasannya, Clarke sekali lagi melihat
bahwa di dalam fundentalisme agama yang berkembang pada tiga negara
tersebut, peran teologi tidak dapat dipisahkan.
Clarke melanjutkan pembahasannya sekarang kepada arti dari kata
fundamentalisme agama. Bagi Clarke, fundamentalisme agama adalah cara
pikir komunal yang berdasarkan suatu visi tertulis ilahi (a revealed Word-
vision), yang dikolaborasikan dengan suatu sistem etika rigit mengenai tata
cara kehidupan dari umat manusia. Cara pikir komunal ini dikalibrasikan
dengan suatu gerakan agresif yang berupaya untuk menetapkan suatu
tatanan global yang akan mengatur kehidupan sosial, politik, ekonomi,
kultural, dan agama dari seluruh kehidupan manusia. (hlm. 154)
“a communal mind-set steeped in a revealed Word-vision, corroborated
by a definitive ethical system of world-ways for human living, and
calibrated by an aggresive movement that labors toward the goal that
such a global order will govern the social, political, economic, cultural,
andreligious lives of all human being.”
Lewat definisi dari Clarke, fundamentalisme dapat dikategorikan sebagai
suatu gerakan visioner, ekspansif, dan juga holistik. Gerakan ini visioner
karena didasarkan kepada suatu wahyu dan ada suatu tujuan yang ingin
dicapai di dalamnya. Gerakan ini juga bersifat ekspansif, karena terdapat sisi
kompetitif di dalamnya (lih juga. hal 154-162). Gerakan ini juga holistik
karena menyangkut dengan berbagai aspek dari kehidupan manusia. Lantas,
bagaimanakah cara “bersaing” (competing) dengan gerakan
fundamentalisme ini, terutama bagi kaum Kristiani sendiri?
Clarke mengusulkan agar kaum kristiani dapat melakukan pembacaan
secara konstruktif dengan tidak mengebiri makna Alkitab hanya pada bagian
142 TINJAUAN BUKU
tertentu saja (hal 167-177). Lantas, Clarke juga mengusulkan agar setiap
orang Kristen dapat menjadi pembawa kabar damai bagi dunia ini (hlm. 177-
184). Dengan melihat bahwa gerakan fundamentalisme adalah gerakan yang
berdasarkan pada visi tertulis ilahi yang dikomunikasikan kepada cara hidup
umatnya, Clarke ingin mengajak setiap orang Kristen untuk mereinterpretasi
teks dan juga cara hidup dari umat. Tafsir “beracun” fundamentalisme perlu
disembuhkan dengan tafsir yang sehat. Cara hidup yang penuh dengan
kekerasan perlu dilawan dengan cara hidup yang membawa damai. Inilah
arti dari bersaing dengan fundamentalisme ala Clarke.
Saya melihat bahwa buku ini dapat memberikan wawasan mengenai
fundamentalisme agama yang ada di Indonesia. Pertama, fundamentalisme
di Indonesia pun berkaitan erat dengan teologia. Gejala fundamentalisme
agama sendiri sudah merebak di dalam pemilihan presiden pada tahun 2019
dan diperkirakan bahwa isu fundamentalisme agama pun akan dimainkan
kembali pada pemilihan presiden berikutnya. Kedua, tulisan dari Clarke ini
dapat mengingatkan orang-orang di Indonesia bahwa sejatinya orang Kristen
pun dapat mengalami gejala fundamentalisme sebagai respons atas Gerakan
dari kelompok lain di Indonesia. Dengan demikian, saran dari Clarke dapat
diaplikasikan ke dalam situasi fundamentalisme di Indonesia.
Adrianus Yosia