trauma pelvis pbl
TRANSCRIPT
SKENARIO 2 BLOK EMERGENCY
I. Trauma Pelvis (Buli-buli)I.1. DefinisiTrauma buli-buli sering disebabkan rudapaksa dari luar dan sering didapatkan bersama fraktur pelvis. Fraktur tulang panggul dapat menimbulkan kontusio/ruptur kandung kemih. Pada kontusio buli-buli hanya terjadi memar pada buli-buli dengan hematuria tanpa ekstravasasi urin.I.2. Etiologi 90% trauma tumpul buli-buli akibat fraktur pelvis. Robeknya buli-bulikarena fraktur pelvis bisa pula terjadi
akibat fragmen tulang pelvis yang merobek dindingnya. Tindakan endourologi dapat menyebabkan trauma buli-buli iatrogenic antara lain pada reseksi buli-
buli transurethral. Partus yang lama/tindakan operasi di daerah pelvis dapat menyebabkan trauma iatrogenic pada buli-buli. Dapat pula terjadi secara spontan, biasanya terjadi jika sebelumnya terdapat kelainan pada dinding buli-
buli seperti tuberculosis, tumor buli-buli, dll.I.3. Klasifikasi Kontusio buli-buli, hanya terdapat memar pada dindingnya, mungkin didapatkan hematoma vesikel,
tetapi tidak didapatkan ekstravasasi urin ke luar buli-buli. Cedera buli-buli ekstraperitoneal, terjadi akibat trauma pada saat buli-buli kosong. Dapat diakibatkan oleh
fraktur pelvis. Cedera buli-buli intraperitoneal, terjadi akibat trauma pada saat buli-buli sedang terisi
penuh.
o Menurut Tile (1988)1. Tipe A : Meliputi fraktur pelvis yang stabil
A1 : Fraktur avulsi (pelepasan tulang akibat tarikan ligament, tendon) tanpa gangguan cincinBiasanya berlokasi di anterosuperior atau anteroinferior spina iliaca. Bisa juga terjadi pada tuberositas ischium akibat kontraksi kuat otot hamsring.
A2 : Fraktur cincin pelvis tanpa peranjakan.
A3: Fraktur transversal pada sacrum dan coccyx tanpa melibatkan cincin pelvis
2. Tipe B : Meliputi fraktur-fraktur yang stabil secara vertical tetapi tidak stabil secara horisontal.B1 : Trauma konversi anteroposterior terdiri dari 3 stadium yaituStadium 1 : Pemisahan simfisis pubis < 2,5 cm tanpa keterlibatan cincin pelvis posteriorStadium 2 : Pemisahan simfisis pubis > 2,5 cm dengan kerusakan pada cincin pelvis posterior unilateralStadium 3 : Pemisahan simfisis pubis > 2,5 cm dengan kerusakan cincin pelvis posterior bilateral
B2 : Trauma kompresi lateral (ipsilateral)Tidak stabil pada rotasi internal melibatkan cincin anterior dan posterior dari hemipelvis ipsilateral
B3 : Trauma kompresi lateral (kontralateral)Tidak stabil pada rotasi internal dan terdapat keterlibatan cincin pelvis anterior kontralateral terhadap trauma posterior
3. Tipe C :Meliputi fraktur yang tidak stabil baik yang secara vertikal maupun horisontal.Dibagi menjadi 3 (yang paling mengancam jiwa) tipe yaitu:C1 : Kerusakan pada pelvis anterior dan porterior ipsilateral dengan instabilitas vertikal dan horisontal pada hemipelvis yang terkena.C2 : Pemisahan hemipelvis bilateral dengan istabilitas rotasional dan vertical yang bermakna.C3 : Fraktur pelvis manapun yang disertai dengan fraktur acetabulum
1
Fraktur tipe ini biasanya diakibatkan oleh trauma dengan energi tinggi dengan instabilitas ligament atau tulang yang komplit.Kematian pada fraktur tidak stabil karena perdarahan, kegagalan beberapa sistem organ atau sepsis
a. Menurut Young-Burgessi. Kompresi Anterior-Posterior (APC)
Disebabkan oleh tubrukan anterior terhadap pelvis, sering mendorong ke arah diastase simfisis pubis. Ada cedera open book yang menganggu ligamentum sacroiliaca anterior seperti halnya ligamentum sacrospinale ipsilateral dan ligamentum sacrotuberale
ii. Kompresi Lateral (LC)Terjadi akibat dari benturan lateral pada pelvis yang memutar pelvis pada sisi benturan ke arah midline. Ligamentum sacrotuberale dan ligamentum sacrospinale, serta pembuluh darah iliaca interna, memendek dan tidak terkena gaya tarik. Sering terjadi disrupsi pembuluh darah besar.
iii. Shear Vertikal (SV)Terjadi pemindahan vertikal hemipelvis yang dibarengi dengan cedera vaskuler lokal yang parah.
iv. Mekanisme Kombinasi (CM)Meliputi faktor pelvis berkekuatan tinggi yang ditimbulkan oleh kombinasi dua vektor tekanan terpisah
b. Menurut Key dan Conwelli. Fraktur pada salah satu tulang tanpa adanya disrupsi cincin
1. Fraktur avulsia. Spina iliaka anterior posteriorb. Spina iliaka anterior inferiorc. Tuberositas ischium
2. Fraktur pubis dan ischium3. Fraktur sayap ilium (Duverney)4. Fraktur sakrum5. Fraktur dan dislokasi tulang koksigeus
ii. Keretakan tunggal pada cincin panggul1. Fraktur pada kedua ramus ipsilateral2. Fraktur dekat atau subluksasi simfisis pubis3. Fraktur dekat atau subluksasi sendi sakroiliaka
iii. Fraktur bilateral cincin panggul 1. Fraktur vertikal ganda dan atau dislokasi pubis2. Fraktur ganda dan atau dislokasi (Malgaigne)3. Fraktur multipel yang hebat
iv. Fraktur asetabulum1. Tanpa pergeseran2. Dengan pergeseran
c. Klasifikasi laini. Fraktur isolasi dan fraktur tulang ischium dan tulang pubis tanpa gangguan pada cincin
1. Fraktur ramus isiopubis superior2. Fraktur ramus isiopubis inferior3. Fraktur yang melewati asetabulum4. Fraktur sayam ilium5. Avulsi spina iliaka antero-inferior
ii. Fraktur disertai robekan cincind. Klasifikasi berdasarkan stabilitas dan komplikasi
i. Fraktur avulsiii. Fraktur stabiliii. Fraktur tidak stabiliv. Fraktur dengan komplikasi
2
I.4. PatofisiologiTrauma biasanya terjadi secara langsung pada panggul karena tekanan yang besar atau karena jatuh dari ketinggian. Pada orang tua dengan osteoporosis dan osteomalasia dapat terjadi fraktur stress pada ramus pubis.Mekanisme trauma pada cincin panggul terdiri atas:a. Kompresi anteroposterior
Hal ini biasanya akibat tabrakan antara seorang pejalan kaki dengan kendaraan. Ramus pubis mengalami fraktur, tulang inominata terbelah dan mengalami rotasi eksterna disertai robekan simfisis. Keadaan ini disebut sebagai open book injury.
b. Kompresi lateralKompresi dari samping akan menyebabkan cincin mengalami keretakan. Hal ini terjadi apabila ada trauma samping karena kecalakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian. Pada keadaan ini ramus pubis bagian depan pada kedua sisinya mengalami fraktur dan bagian belakang terdapat strain dari sendi sakroiliaka atau fraktur ilium atau dapat pula fraktur ramus pubis pada sisi yang sama.
c. Trauma vertikalTulang inominata pada satu sisi mengalami pergerakan secara vertikal disertai fraktur ramus pubis dan disrupsi sendi sakroiliaka pada sisi yang sama. Hal ini terjadi apabila seseorang jatuh dari ketinggian pada satu tungkai
d. Trauma kombinasiPada trauma yang lebih hebat dapat terjadi kombinasi kelainan diatas
b.
I.5. Manefestasi Klinis
3
Umumnya fraktur tulang pelvis disertai perdarahan hebat sehingga dapat menyebabkan syok. Tampak jejas/hematoma pada abdomen bagian bawah. Nyeri tekan di daerah suprapubik di
tempat hematoma. Pada kontusio buli-buli: nyeri terutama bila ditekan di daerah suprapubik dan dapat ditemukan
hematurtia. Tidak terdapat rangsang peritoneum. Pada rupture bulibuli intraperitoneal: urin masuk ke rongga peritoneum sehingga memberi tanda cairan
intraabdomen dan rangsang peritoneum. Tidak terdapat benjolan dengan perkusi pekak. Pada ruptur buli-buli ekstraperitoneal: infiltrat urin di rongga peritoneal yang sering menyebabkan
septisemia. Penderita mengeluh tidak bisa buang air kecil, kadang keluar darah dari uretra. Timbul benjolan yang nyeri dan pekak pada perkusi pada daerah suprapubik.
I.6. Diagnosis1. Diagnosis ditentukan berdasarkan tanda dan gejala klinik serta hematuria. Pada fotopelvis
atau foto polos abdomen terlihat fraktur tulang pelvis.2. Pemeriksaan sistogram, dapat memberikan keterangan ada tidaknya ruptur kandung kemih
dan lokasi ruptur apakah intra/ekstraperitoneal. Pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukkan medium kontras ke kandung kemih sebanyak 300-400 ml kemudian dibuat foto antero-posterior. Kandung kemih lalu dikosongkan dan dibilas dan dibuat foto sekali lagi. Bila tidak dijumpai ekstravasasi, diagnosisnya adalah kontusio buli-buli. Pada ruptur ekstraperitoneal, gambaran ekstravasasi terlihat seperti nyala api pada daerah p e r i v e s i k e l , s e d a n g k a n p a d a r u p t u r i n t r a p e r i t o n e a l t e r l i h a t k o n t r a s m a s u k k e d a l a m rongga abdomen.
3. Pada ruptur kecil sistokopi dapat membantu diagnosis.4. T e s b u l i - b u l i : d i l a k u k a n d e n g a n c a r a b u l i - b u l i d i k o s o n g k a n t e r l e b i h d a h u l u
d e n g a n kateter, lalu dimasukkan 300 ml larutan garam faal, kateter kemudian diklem sebentar lalu dibuka kembali. Bila selisihnya cukup besar kemungkinan terjadi ruptur buli-buli.
Anamnesis:a. Keadaan dan waktu traumab. Miksi terakhirc. Waktu dan jumlah makan dan minum yang terakhird. Bila penderita wanita apakah sedang hamil atau menstruasie. Trauma lainnya seperti trauma pada kepalaPemeriksaan klinik:a. Keadaan umum
- Denyut nadi, tekanan darah dan respirasi- Lakukan survei kemungkinan trauma lainnya
b. Lokal- Pemeriksaan nyeri:
Tekanan dari samping cincin panggul Tarikan pada cincin panggul
- Inspeksi perineum untuk mengetahui adanya perdarahan, pembengkakan dan deformitas- Tentukan derajat ketidakstabilan cincin panggul dengan palpasi pada ramus dan simfisis pubis- Pemeriksaan colok dubur
Berdasarkan klasifikasi Tile:Fraktur Tipe A: pasien tidak mengalami syok berat tetapi merasa nyeri bila berusaha berjalan. Terdapat nyeri tekan lokal tetapi jarang terdapat kerusakan pada visera pelvis.Fraktur Tipe B dan C: pasien mengalami syok berat, sangat nyeri dan tidak dapat berdiri, serta juga tidak dapat kencing. Kadang – kadang terdapat darah di meatus eksternus. Nyeri tekan dapat bersifat lokal tetapi sering meluas, dan jika menggerakkan satu atau kedua ala ossis ilium akan sangat nyeri. Pemeriksaan penunjang trauma pelvis
v. Pemeriksaan radiologis:
4
1. Setiap penderita trauma panggul harus dilakukan pemeriksaan radiologis dengan prioritas pemeriksaan rongent posisi AP.
2. Pemeriksaan rongent posisi lain yaitu oblik, rotasi interna dan eksterna bila keadaan umum memungkinkan.
vi. Pemeriksaan urologis dan lainnya:1. Kateterisasi2. Ureterogram3. Sistogram retrograd dan postvoiding4. Pielogram intravena5. Aspirasi diagnostik dengan lavase peritoneal
Pemeriksaan pencintraan berupa sistografi, yaitu dengan memasukkan kontras ke dalam buli-buli sebanyak 300-400ml secara gravitasi (tanpa tekanan) melalui kateter per-uretrum. Kemudian dibuat beberapa foto, yaitu (1) foto pada saat bulu-buli terisi kontras dalam posisi anterior posterioi (AP), (2) pada posisi oblik, dan (3) wash out film yaitu foto setelah kontras dikeluarkan dari bui-buli.Jika didapatkan robekan pada buli-buli, terlihat ekstravasasi kontras didalam rongga perivesikel yang merupakan tanda adanya robekan ekstraperitoneal. Jika terdapat kontras yang terdapat pada sela-sela usus berarti ada robeka buli-buli intraperitoneal.
Di daerah yang jauh dari pusat rujukam dan tidak ada sarana untuk melakukan sistograf dapat diuji coba pembilasan buli-buli, yaitu dengan memasukkan cairan garam fisiologis steril kedalam buli-buli sebanyak 300ml kemudian cairan dikeluarkan lagi. Jika cairan tidak keluar atau keluar tetapi kurang dari volume yang dimasukkan, kemungkinan besar ada robekan pada buli-buli.
I.7. Tatalaksanaa. Bila penderita datang dalam keadaan syok, harus diatasi dulu dengan memberikan cairan intravena atau
darah. Bila sirkulasi telah stabil, lakukan reparasi buli-buli.b. P a d a k o n t u s i o b u l i - b u l i , c u k u p d i l a k u k a n p e m a s a n g a n k a t e t e r d e n g a n t u j u a n
u n t u k memberikan istirahat pada buli-buli. Diharapkan buli-buli sembuh setelah 7-10 hari.c. Pada cedera intraperitoneal harus dilakukan eksplorasi laparotomi untuk mencari robekan pada buli-
buli serta kemungkinan cedera organ lain. Rongga intraperitoneum dicuci, r o b e k a n p a d a b u l i - b u l i d i j a h i t 2 l a p i s , k e m u d i a n d i p a s a n g k a t e t e r s i s t o s t o m i y a n g dilewatkan di luar sayatan laparotomi.
d. P a d a c e d e r a e k s t r a p e r i t o n e a l , r o b e k a n y a n g s e d e r h a n a d i a n j u r k a n u n t u k m e m a s a n g kateter 7-10 hari tetapi dianjurkan juga untuk melakukan penjahitan disertai pemasangan kateter sistostomi.
e. Untuk memastikan buli-buli telah sembuh, sebelum melepas kateter uretra/kateter sistostomi, terlebih dahulu dilakukan pemeriksaan sistografi untuk melihat kemungkinan masih adanya ekstravasasi urin. Sistografi dibuat pada hari ke 10-14 pasca trauma. Jika masih ada ekstravasasi kateter sistostomi dipertahankan sampai 3 minggu.
f. Tindakan operatif bila ditemukan kerusakan alat – alat dalam rongga panggulg. Stabilisasi fraktur panggul, misalnya:
6. Fraktur avulsi atau stabil diatasi dengan pengobatan konservatif seperti istirahat, traksi, pelvic sling
7. Fraktur tidak stabil diatasi dengan fiksasi eksterna atau dengan operasi yang dikembangkan oleh grup ASIF
Berdasarkan klasifikasi Tile:a. Fraktur Tipe A: hanya membutuhkan istirahat ditempat tidur yang dikombinasikan dengan traksi
tungkai bawah. Dalam 4-6 minggu pasien akan lebih nyaman dan bisa menggunakan penopang.b. Fraktur Tipe B:
Fraktur tipe openbook
5
Jika celah kurang dari 2.5cm, diterapi dengan cara beristirahat ditempat tidur, kain gendongan posterior atau korset elastis.
Jika celah lebih dari 2.5cm dapat ditutup dengan membaringkan pasien dengan cara miring dan menekan ala ossis ilii menggunakan fiksasi luar dengan pen pada kedua ala ossis ilii.
Fraktur tipe closebook Beristirahat ditempat tidur selama sekitar 6 minggu tanpa fiksasi apapun bisa dilakukan, akan
tetapi bila ada perbedaan panjang kaki melebihi 1.5cm atau terdapat deformitas pelvis yang nyata maka perlu dilakukan reduksi dengan menggunakan pen pada krista iliaka.
c. Fraktur Tipe C: sangat berbahaya dan sulit diterapi. Dapat dilakukan reduksi dengan traksi kerangka yang dikombinasikan fiksator luar dan perlu istirahat ditempat tidur sekurang – kurangnya 10 minggu. Kalau reduksi belum tercapai, maka dilakukan reduksi secara terbuka dan mengikatnya dengan satu atau lebih plat kompresi dinamis.
I.8. Komplikasia. Komplikasi segera
8. Trombosis vena ilio femoralSering ditemukan dan sangat berbahaya. Berikan antikoagulan secara rutin untuk profilaktik.
9. Robekan kandung kemihTerjadi apabila ada disrupsi simfisis pubis atau tusukan dari bagian tulang panggul yang tajam.
10. Robekan uretraTerjadi karena adanya disrupsi simfisis pubis pada daerah uretra pars membranosa.
11. Trauma rektum dan vagina12. Trauma pembuluh darah besar yang akan menyebabkan perdarahan masif sampai syok.13. Trauma pada saraf
a. Lesi saraf skiatikDapat terjadi pada saat trauma atau pada saat operasi. Apabila dalam jangka waktu 6 minggu tidak ada perbaikan, maka sebaiknya dilakukan eksplorasi.
b. Lesi pleksus lumbosakralisBiasanya terjadi pada fraktur sakrum yang bersifat vertikal disertai pergeseran. Dapat pula terjadi gangguan fungsi seksual apabila mengenai pusat saraf.
b. Komplikasi lanjut14. Pembentukan tulang heterotrofik
Biasanya terjadi setelah suatu trauma jaringan lunak yang hebat atau setelah suatu diseksi operasi. Berikan Indometacin sebagai profilaksis.
15. Nekrosis avaskulerDapat terjadi pada kaput femur beberapa waktu setelah trauma.
16. Gangguan pergerakan sendi serta osteoartritis sekunderApabila terjadi fraktur pada daerah asetabulum dan tidak dilakukan reduksi yang akurat, sedangkan sendi ini menopang berat badan, maka akan terjadi ketidaksesuaian sendi yang akan memberikan gangguan pergerakan serta osteoartritis dikemudian hari.
17. Skoliosis kompensator
II. Trauma UretraII.1. Definisi
Trauma urethra biasanya terjadi pada pria dan jarang terjadi pada wanita. Sering ada hubungan dengan fraktur pelvis dan straddle injury. Urethra pria terdapat dua bagian yaitu :
a) Anterior, terdiri dari : urethra pars granularis, pars pendularis, dan pars bulbosab) Posterior, terdiri dari : pars membranacea dan pars prostatika
II.2. Etiologi Trauma uretra terjadi akibat cedera yang berasal dari luar. Cedera iatrogenic akibat instrumentasi pada uretra.
6
Trauma tumpul yang menimbulkan fraktur tulang pelvis yang menyebabkan ruptur uretra pars membranasea.
Trauma tumpul pada selangkangan atau straddle injury dapat menyebabkan rupture uretra pars bulbosa. Pemasangan kateter yang kurang hati-hati dapat menimbulkan robekan urethra karena false route atau
salah jalan.
1. Etiologi trauma urethra posteriora. Urethra pars membranacea adalah bagian urethra yang melewati diafragma urogenitalis
(diafragma U.G) dan merupakan bagian yang paling mudah terkena trauma, bila terjadi fraktur pelvis
b. Diafragma U.G yang mengandung otot – otot yang berfungsi sebagai sphincter urethra melekat / menempel pada daerah os pubis bagian bawah
c. Bila terjadi trauma tumpul yang menyebabkan fraktur daerah tersebut, maka urethra pars membranacea akan terputus pada daerah apex prostat dan pada daerah prostat membranaeous junction
2. Etiologi trauma urethra anteriorStraddle injury dan iatrogenik, seperti instrumentasi atau tindakan endoskopik
II.3. Klasifikasi1) Trauma uretra posterior, yang terletak proksimal diafragma urogenital.2) Trauma uretra anterior, yang terletak distal diafragma urogenital.
Derajat cedera urtera dibagi dalam 3 jenis :• Uretra posterior masih utuh dan hanya mengalami stretching (peregangan). Pada foto
uretrogram tidak menunjukkan adanya ekstravasasi, dan urethra hanya tampak memanjang.• Uretra posterior terputus pada perbatasan prostate-membranasea, sedangkan diafragma
urogenital masih utuh. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasasi kontras yang masih terbatas di atas diafragma urogenitalis.
• Uretra posterior, diafragma genitalis, uretra pars bulbosa sebelah proksimal ikut rusak. Foto uretrogram menunjukkan ekstravasasi kontras meluas hingga dibawah diafragma urogenital sampai ke perineum.
II.4. Patofisiologi Cedera dapat menyebabkan memar dinding dengan atau tanpa robekan mukosa baik parsial atau
total. Rupture uretra hampir selalu disertai fraktur tulang pelvis. Akibat fraktur tulang pelvis terjadi robekan pars membranasea karena prostat dengan uretra prostatica tertarik ke cranial bersama fragmen fraktur, sedangkan uretra membranosa terikat di diafragma urogenital. Rupture uretra posterior dapat terjadi total atau inkomplit. Pada rupture total, uretra terpisah seluruhnya dan ligamentum puboprostatikum robek sehingga buli-buli dan prostat terlepas ke cranial.
Uretra anterior terbungkus di dalam corpus spongiosum penis. Korpus spongiosum bersama dengan corpora cavernosa penis dibungkus oleh fasia buck dan fasia colles. Jika terjadi rupture uretra beserta corpus spongiosum, darah dan urine keluar dari uretra tetapi masih terbatas pada fasia buck dan secara klinis terlihat hematoma yang terbatas pada penis. Namun, jika fasia buck ikut robek, ekstravasasi urin dan darah hanya dibatasi oleh fasia colles, sehingga dapat menjalar hingga skrotum atau ke dinding abdomen. Robekan ini memberikan gambaran seperti kupu-kupu sehingga disebut butterfly hematoma.
Patofisiologi trauma urethra posteriora. Trauma urethra posterior biasanya disebabkan oleh karena trauma tumpul dan fraktur pelvisb. Urethra biasanya terkena pada bagian proksimal dari diafragma U.G dan terjadi perubahan posisi
prostat ke arah superior (prostat terapung=floating prostat) dengan terbentuknya hematoma periprostat dan perivesical
Patofisiologi trauma urethra anterior
7
a. Kontusio- Tidak terdapat robekan, hanya terjadi memar- Hematoma perineal biasanya menghilang tanpa komplikasi
b. Laserasi“Straddle injury” yang berat dapat menyebabkan robeknya urethra dan terjadi ekstravasasi urine yang bisa meluas ke skrotum, sepanjang penis dan ke dinding abdomen yang bila tidak ditangani dengan baik bisa menyebabkan infeksi dan sepsis
II.5. Manifestasi Klinisurethra posteriora. Pasien mengeluh tidak bisa kencing dan sakit pada perut bagian bawahb. Darah menetes dari urethra adalah gejala yang paling penting dari ruptur urethra.Gejala ini merupakan
indikasi untuk dilakukan urethrogram retrograde.Kateterisasi merupakan kontraindikasi karena dapat menyebabkan infeksi periprostatika dan perivesika hematoma serta dapat menyebabkan laserasi yang partial menjadi total.
c. Tanda – tanda fraktur pelvis dan nyeri suprapubik dapat dijumpai pada pemeriksaan fisik.d. Pada pemeriksaan colok dubur, bisa didapatkan prostat mengapung (floating prostat) pada ruptura total dari
urethra pars membranacea oleh karena terputusnya ligamen puboprostatikae. Trias rupture uretra posterior : bloody discharge, retensi urin, floating prostat
urethra anteriora. Riwayat jatuh dari tempat yang tinggi dan terkena darah perineum atau riwayat instrumentasi disertai adanya darah menetes dari urethra yang merupakan gejala pentingb. Nyeri daerah perineum dan kadang – kadang ada hematoma prostatc. Retensio urine bisa terjadi dan dapat diatasi dengan sistosomi suprapubik untuk sementara, sambil menunggu diagnosa pasti. Pemasangan kateter urethra merupakan kontraindikasitrias ruptur uretra anterior : bloody discharge, retensio urin, dan hematom/ jejas peritoneal/ urin infiltrat
II.6. Diagnosis Rupture uretra posterior harus dicurigai bila terdapat darah sedikit di meatus uretra disertai patah tulang
pelvis. Pada pemeriksaan colok dubur ditemukan prostat seperti mengapung karena tidak terfiksasi lagi pada
diafragma urogenital. Kadang sama sekali tidak teraba lagi karena pindah ke cranial. Pemeriksaan radiologi dengan menggunakan uretrogam retrograde dapat memberi keterangan letak dan
tipe uretra.Pemeriksa penunjangColok dubur : prostat seperti mengapung karena tida terfiksasi lagi pada diagramurogenital / tidak teraba sama sekali karen pindah ke kranialHati- hati karena fragmen tulang dapat mencederai rektumPemeriksaan radiologi: uretrogram retrogad untuk mengetahui letak/ tipe ruptur Ruptur posterior curiga kalau ada darah sedikit di meatus uretra disertai patah tulang pelvistrauma uretra posterior :LAB: anemia, urin gak ada karena retensiRADIO: fraktur pelvis
II.7. Tatalaksana• Jika dapat kencing dengan mudah, lakukan observasi saja.• Jika sulit kencing atau terlihat ekstravasasi pada uretrogram usahakan memasukkan kateter foley
sampai buli-buli. Jika gagal lakukan pembedahan sistosomi untuk manajemen aliran urin.• Bila rupture uretra posterior tidak disertai cedera organ intraabdomen, cukup dilakukan
sistosomi. Reparasi uretra dilakukan 2-3 hari kemudian dengan melakukan anastomosis ujung ke ujung dan pemasangan kateter silicon selama 3 minggu. Bila disertai cedera organ lain sehingga tidak mungkin dilakukan reparasi 2-3 hari kemudian, sebaiknya dipasang kateter secara langsir.
• Pada rupture uretra anterior total, langsung dilakukan pemulihan uretra dengan anastomosis ujung ke ujung melalui sayatan perineal. Dipasang kateter silicon selama 3 minggu. Bila rupture
8
parsial dilakukan sistostomi dan pemasangan kateter foley di uretra selama 7-10 hari, sampai terjadi epitelisasi uretra yang cedera. Kateter sistosomi baru dicabut bila saat kateter sistostomi diklem ternyata penderita bisa buang air kecil.
2.8 Komplikasia) Trauma Uretra Anterior : perdarahan, infeksi/sepsis dan striktura urethrab) Trauma Uretra Posterior : striktura uretra, impotensi dan inkontinensia
III. Trauma Mata (hifema)3.1. DefinisiKegawatdaruratan dalam ilmu penyakit mata adalah suatu keadaan dimana mata terancam akan kehilangan fungsi penglihatannya atau akan terjadi kebutaan apabila tidak dilakukan tindakan atau pengobatan sesegera mungkin.
Trauma Okuli adalah tindakan sengaja maupun tidak yang menimbulkan perlukaan mata atau cedera yang terjadi pada mata yang dapat mengakibatkan kerusakan pada bola mata,kelopak mata,saraf mata dan rongga orbita,kerusakan ini akan memberikan penyulit sehingga mengganggu fungsi mata sebagai indra penglihat3.2. Etiologi dan klasifikasiDefinisi Kedaruratan mata adalah sikap keadaan yang mengancam tajam penglihatan seseorang berupa penurunan tajam penglihatan sampai terjadinya kebutaanKlasifikasi Kegawatdaruratan (emergency) di bidang oftalmologi (penyakit mata) diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu:1. Gawat sangat2. Gawat3. Semi Gawat1. Gawat sangatYang dimaksud dengan keadaan "gawat sangat" adalah keadaan atau kondisi pasien memerlukan tindakan yang harus sudah diberikan dalam waktu beberapa menit. Terlambat sebentar saja dapat mengakibatkan kebutaan.Adapun keadaan atau kondisi pasien yang termasuk di dalam kategori ini adalah: luka bakar kimia (luka bakar kerena alkali/basa dan luka bakar asam)2. GawatYang dimaksud dengan keadaan "gawat" adalah keadaan atau kondisi pasien memerlukan penegakan diagnosis dan pengobatan yang harus sudah diberikan dalam waktu satu atau beberapa jam.Adapun keadaan atau kondisi pasien yang termasuk di dalam kategori ini adalah:a. Laserasi kelopak matab. Konjungtivitis gonorhoec. Erosi kornead. Laserasi korneae. Benda asing di korneaf. Descemetokelg. Tukak korneah. Hifemai. Skleritis (peradangan pada sklera)j. Endoftalmitisk. Glaukoma kongestifl. Glaukoma sekunderm. Selulitis orbitan. Trauma tumpul matao. Trauma tembus matap. Trauma radiasi
9
3. Semi GawatYang dimaksud dengan keadaan "semi gawat" adalah keadaan atau kondisi pasien memerlukan pengobatan yang harus sudah diberikan dalam waktu beberapa hari atau minggu.Adapun keadaan atau kondisi pasien yang termasuk di dalam kategori ini adalah:• Trakoma yang disertai dengan entropion.• Entropion • Katarak kongenital• Glaukoma kongenital• Glaukoma simpleks• Perdarahan badan kaca• Retinoblastoma (tumor ganas retina)• Neuritis optika / papilitis• Eksoftalmus (bola mata menonjol keluar) atau lagoftalmus (kelopak mata tidak dapat menutup sempurna).• Tumor intraorbita• Perdarahan retrobulbar• Hypovitaminosis A.Klasifikasi lain1. Sight threatening conditionDalam situasi ini mata akan mengalami kebutaan atau cacat yang menetap dengan penurunan penglihatan yang berat dalam waktu beberapa detik sampai beberapa menit saja bila tidak segera mendapatkan pertolongan yang tepat. Cedera mata akibat bahan kimia basa (alkali) termasuk dalam keadaan ini. Oklusi arteria sentralis retina merupakan keadaan bukan trauma yang termasuk dalam kelompok ini.2. Mayor conditionDalam situasi ini pertolongan harus diberikan tetapi dengan batasan waktu yang lebih longgar, dapat beberapa jam sampai beberapa hari. Bila pertolongan tidak diberikan maka penderita akan mengalami hal yang sama seperti disebutkan pada sight threatening condition.3. Monitor ConditionSituasi ini tidak akan menimbulkan kebutaan meskipun mungkin menimbulkan suatu penderitaan subyektif pada pasien bila terabaikan pasien mungkin dapat masuk kedalam keadaan ”mayor condition”
Menurut BETT klasifikasi trauma okuli dapat digambarkan menurut bagan berikut: Bagan 1. Klasifikasi Trauma Okuli Menurut BETT 5
Menurut klasifikasi BETT trauma okuli dibedakan menjadi closed globe dan open globe. Closed globe adalah trauma yang hanya menembus sebagian kornea, sedangkan open globe adalah trauma yang menembus seluruh kornea hingga masuk lebih dalam lagi. Selanjutnya closed globe injury dibedakan menjadi contusio dan lamellar laceration. Sedangkan open globe injury dibedakan menjadi rupture dan laceration yang dibedakan lagi menjadi penetrating, IOFB, dan perforating.5
Trauma non-perforans : Di mana dinding mata (sklera dan kornea) tidak memiliki cedera pada keseluruhan dindingnya tetapi ada kerusakan intraokuler. Terbagi menajdi 2 yaitu :a. Kontusio : Mengarah pada trauma non-perforans yang diakibatkan dari trauma benda tumpul.
Kerusakan mungkin terjadi pada tempat trauma atau tempat yang jauh.b. Laserasi lamellar : Mengarah pada trauma non-perforans yang mengenai hingga sebagian
ketebalan dinding mata yang disebabkan oleh benda tajam atau benda tumpul 2. Trauma perforans
Di mana terdapat perlukaan yang mengenai seluruh lapisan pada sklera atau kornea atau keduanya. Terdiri atas :
10
a. Ruptur : kerusakan pada seluruh ketebalan dinding mata yang diakibatkan oleh benda tumpul. Luka muncul akibat peningkatan tekanan intraoculer yang jelas akibat mekanisme cedera masuk-keluar.
b. Laserasi : kerusakan pada seluruh ketebalan dinding mata yang diakibatkan oleh benda tajam. Terbagi atas 3 yaitu luka penetrasi (laserasi yang berjumlah hanya satu pada dinding mata yang disebabkan oleh benda tajam), perforasi (terdapat dua laserasi pada seluruh ketebalan dinding mata (satu masuk dan satu keluar) pada dinding mata yang disebabkan oleh benda tajam. Kedua luka harus disebabkan oleh penyebab yang sama).
c. Benda asing Intraokuler : luka penetrasi di mana benda asingnya tetap tertinggal dalam mata.Klasifikasi trauma okuler berdasarkan mekanisme trauma:3 Trauma mekanik :a. Trauma palpebraPada palpebra dapat terjadi :1. Hematoma palpebra merupakan pembengkakan atau penimbunan darah di bawah kulit kelopak akibat pecahnya pembuluh darah palpebra. Bila perdarahan terletak lebih dalam dan mengenai kedua kelopak dan berbentuk kacamata hitam yang sedang di pakai, maka keadaan ini disebut hematoma kaca mata yang terjadi akibat pecahnya arteri oftalmika yang merupakan tanda dari fraktur basis crania.12. Aberasi dan laserasi kelopak mata. Benda partikel harus dikeluarkan dari aberasi kelopak untuk mengurangi resiko pembentukan tato kulit. Laserasi partial-thickness pada kelopak yang tidak mengenai batas kelopak dapat diperbaiki secara bedah sama seperti laserasi kulit lainnya.2a. Trauma pada sistem lakrimalb. Laserasi konjungtivac. Benda asing pada kornea dan konjungtivad. Erosi korneae. Trauma non perforans (trauma tumpul,closed-globe injury,)Trauma tumpul yang terjadi dapat mengakibatkan beberapa hal, yaitu:4, 1. Edema konjungtivaJaringan konjungtiva yang bersifat selaput lendir dapat menjadi kemotik pada setiap kelainannya, demikian pula akibat trauma tumpul. Bila kelopak terpajan ke dunia luar dan konjungtiva secara langsung kena angin tanpa mengedip, maka keadaan ini dapat mengakibatkan edema pada konjungtiva.2. Hematoma subkonjungtiva
Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang terdapat pada atau di bawah konjungtiva, seperti arteri konjungtiva dan arteri episklera. Pecahnya pembuluh darah ini dapat akibat batuk rejan, trauma tumpul basis kranii (hematoma kaca mata), atau pada keadaan pembuluh darah yang rentan (pada usia lanjut, hipertensi, arteriosklerosis, konjungtivitis, anemia, dan obat-obat tertentu) dan mudah pecah. Bila akibat trauma tumpul, maka perlu dipastikan bahwa tidak terdapat robekan di bawah jaringan konjungtiva atau sclera.3. Edema pada korneaEdema kornea akan memberikan keluhan penglihatan kabur dan terlihatnya pelangi sekitar bola lampu atau sumber cahaya yang dilihat. Kornea akan terlihat keruh, dengan uji plasido yang positif. 4. Erosi korneaErosi kornea merupakan keadaan terkelupasnya epitel kornea yang dapat diakibatkan oleh gesekan keras pada epitel kornea. Erosi dapat terjadi tanpa cedera pada membran basal. 5. Hifema
Hifema adalah adanya darah di dalam kamera anterior. Hifema atau adanya darah dalam bilik mata depan dapat terjadi karena trauma tumpul. 6. IridopareseIridoplegia adalah adanya kelumpuhan pada otot pupil sehingga terjadi midriasis. Penanganan: Berikan pilokarpin, apabila dengan pemberian yang sampai berbulan-bulan tetap midriasis maka telah terjadi iridoplegia yang iriversibel.7. Iridodialisis
11
Iridodialisis ialah iris yang pada suatu tempat lepas dari pangkalnya, pupil menjadi tdak bula dan di sebut dengan pseudopupil. 8. Dislokasi lensaDislokasi lensa terjadi pada putusnya zonula zinn yang mengakibatkan kedudukan lensa terganggu.9. Subluksasi lensaTerjadi akibat putusnya sebagian zonula zinn sehingga lensa berpindah tempat. Dapat juga terjadi spontan akibat pasien menderita kelainan pada zonula zinn yang rapuh (Sindrom Marphan).10. Katarak traumaKatarak akibat cedera dapat akibat trauma perforasi ataupun tumpul terlihat sesudah beberapa hari ataupun tahun. Pada trauma tumpul akan terlihat katarak subkapsular anterior ataupun posterior. 11. Ablasi RetinaTrauma diduga merupakan pencetus untuk terlepasnya retina dari koroid pada penderita ablasi retina. Biasanya pasien telah mempunyai bakat untuk terjadinya ablasi retina seperti retina tipis akibat retinitis semata, myopia, dan proses degenerasi retina lainnya.g. Trauma pada dasar orbitalis (outflow fracture)h. Trauma perforans (open-globe injury)Bila trauma disebabkan benda tajam atau benda asing masuk ke dalam bola mata maka akan terlihat tanda-tanda bola mata tembus seperti :21. Tajam penglihatan yang menurun2. Tekanan bola mata rendah3. Bilik mata dangkal4. Bentuk dan letak pupil berubah5. Terlihatnya ada ruptur pada kornea atau sklera6. Terdapat jaringan yang di prolaps seperti cairan mata, iris, lensa badan kaca atau retina7. Konjungtiva kemosis
Trauma Akibat Temperatur dan Radiasi1. Trauma bakarA. PanasRefleks menutup mata dengan cepat, fenomena Bell’s dan refleks menjauh dari sumber panas yang dapat menyebabkan kerusakan bola mata dari api. Terbakar akibat bahan metal yang bersentuhan dengan mata bisa menyebabkan trauma kornea dengan skar yang menetap.B. DinginPeralihan edema stroma kornea dengan dingin dilaporkan bervariasi, mencakup individu dengan Raynaud Disease. Stress dingin dapat menyebabkan konjungtiva vaskuler tetap pada fenomena raynaud. Peralihan dingin merangsang edema kornea dilaporkan pada sebagian besar pasien dengan disfungsi CN V (trigeminal).2. Radiasi Ultraviolet3. Radiasi Ion 9
Trauma KimiaTrauma kimia pada mata luar dapat menyebabkan masalah dari iritasi yang kecil menjadi kerusakan lengkap dari permukaan epitel okuli, corneal opacification, kebutaan. 9a. Trauma kimia yang disebabkan oleh Alkali.Trauma akibat bahan kimia basa akan memberikan akibat yang sangat gawat pada mata. Alkali akan menembus dengan cepat kornea, bilik mata depan dan sampai pada jaringan retina, sehingga dapat terjadi penghancuran jaringan kolagen retina.1b. Trauma kimia yang disebabkan oleh Asam.Bahan asam yang dapat merusak mata terutama bahan anorganik (asetat, forniat), dan organik anhidrat (asetat). Bila bahan asam mengenai mata maka akan terjadi pengendapan ataupun penggumpalan protein permukaan sehingga bila konsentrasi tidak tinggi maka tidak akan bersifat destruktif seperti trauma alkali.Berdasarkan Birminghamm Eye Terminology System (BETTS), trauma okuli dibagi atas 2 yaitu : 8
12
1. Trauma bola mata tertutup (closed globe injury)A. KontusioB. Laserasi lamellar2. Trauma bola mata terbuka (Open-globe Injury)A. RupturB. Laserasi: o Penetrasio Intraocular foreign body (IOFB)o Perforasi
TRAUMA TUMPULTrauma tumpul sendiri dapat berupa:a) Trauma tumpul palpebra.Suatu benturan tumpul bisa mendorong mata ke belakang sehingga kemungkinan merusak struktur pada permukaan (kelopak mata, konjungtiva, sklera, kornea dan lensa) dan struktur mata bagian belakang (retina dan persarafan). Karena palpebra merupakan pelindung bola mata maka saat terjadi trauma akan melakukan reefleks menutup. Hal ini akan menyebabkan terjadinya hematoma palpebra. Hematoma ini terjadi karena keluarnya darah dari pembuluh darah yang rusak pada trauma tersebut.b) Trauma tumpul lensa:
Dislokasi lensa oleh karena ruptur di zonula zinni. Dapat sebagian (subluksasi), dapat pula total (luksasi). Lepasnya dapat ke depan dapat pula ke belakang.(9)• Dislokasi Lensa. Dislokasi lensa terjadi pada putusnya zonula zinn yang akan mengakibatkan kedudukan lensa terganggu.• Subluksasi Lensa. Terjadi akibat putusnya sebagian zonula zinn sehingga lensa berpindah tempat. Subluksasi lensa dapat juga terjadi spontan akibat pasien menderita kelainan pada zonula zinn yang rapuh (sindrom Marphan). Pasien pasca trauma akan mengeluh penglihatan berkurang. Subluksasi lensa akan memberikan gambaran pada iris berupa iridodonesis. Akibat pegangan lensa pada zonula tidak ada maka lensa yang elastic akan menjadi cembung, dan maata akan menjadi lebih miopik. Lensa yang menjadi sangat cembung mendorong iris ke depan sehingga sudut bilik mata tertutup. Bila sudut bilik mata menjadi sempit pada mata ini mudha terjadi glaucoma sekunder.• Luksasi Lensa Anterior. Bila seluruh zonula zinn di sekitar ekuator putus akibat trauma maka lensa dapat masuk ke dalam bilik mata depan. Akibat lensa terletak dalam bilik mata depan ini maka akan terjadi gangguan pengaliran keluar cairan bilik mata sehingga akan timbul glaucoma kongestif akut dengan gejala-gejalanya. Pasien akan mengeluh penglihatan menurun mendadak, disertai rasa sakit yang sangat, muntah, mata merah dengan blefarospasme. Terdapat injeksi siliar yang berat, edema korne, lensa di dalam bilik mata depan. Iris terdorong ke belakang dengan pupil yang lebar. Tekanan bola mata sangat tinggi.• Luksasi Lensa Posterior. Pada trauma tumpul yang keras pada mata dapat terjadi luksasi lensa posterior akibat putusnya zonula zinn di seluruh lingkaran ekuator lensa sehingga lensa jatuh ke dalam badan kaca dan tenggelam di dataran bawah polus posterior fundus okuli. Pasien akan mengeluh adanya skotoma pada lapang pandangannya akibat lensa mengganggu kampus. Mata ini akan menunjukkan gejala mata tanpa lensa atau afakia. Pasien akan melihat normal dengan lensa +12.0 dioptri untuk jauh, bilik mata depan dalam dan iris tremulans. Lensa yang terlalu lama berada dalam polus posterior dapat menimbulkan penyulit akibat degenerasi lensa, berupa glaucoma fakolitik ataupun uveitis fakotoksik.• Katarak Trauma. Pada trauma tumpul akan terlihat katarak subkapsular anterior ataupun posterior. Kontusio lensa menimbulkan katarak seperti bintang, dan dapat pula dalam bentuk katarak tercetak yang disebut cincin Vossius. Cincin Vossius merupakan cincin berpigmen yang terletak tepat di belakang pupil yang dapat terjadi segera setelah trauma, yang merupakan deposit pigmen iris pada dataran depan lensa sesudah suatu trauma, seperti suatu stempel jari.c) Trauma tumpul kornea.Abrasi Kornea adalah keadaan dimana epitel dari kornea terlepas yang bisa diakibatkan oleh trauma tumpul, trauma tajam dan trauma kimia dan juga benda asing subtarsal. Abrasi kornea bisa berulang dan
13
menyebabkan rasa sakit yang hebat, dimana abrasi kornea merupakan suatu kegawatdaruratan pada mata yang bisa menyebabkan ulserasi dan oedema kornea yang akan menganggu visus. Diagnosis bisa ditunjang dengan uji flourosensi dimana akan terlihat warna hijau bila terjadi kerusakan pada epitel kornea. Penatalaksanaan yang dapat dilakukan adalah pemberian antibiotik topikal dan midriatikum untuk merelaksasi iris dan mengurangi rasa sakit. Pastikan juga tidak terdapat benda asing yang dapat menganggu proses penyembuhan. Masa penyembuhan tergantung pada luasnya kerusakan, dan juga adakah infeksi, benda asing dan mata kering yang bisa menyebabkan kegagalan terapi. Mata kemudian di tutup dengan penutup yang membuat pasien merasa lebih nyaman.d) Trauma fundus oculi.
Trauma tumpul yang mengenai mata dapat mengakibatkan kelainan pada retina, koroid, dan saraf optik. Perubahan yang terjadi dapat berupa edema retina, perdarahan retina, ablasi retina, maupun atrofi saraf optik. Jika dijumpai penderita dengan trauma tumpul dan penurunan tajam penglihatan yang tidak dapat dikoreksi dengan pemberian kacamata, sedangkan keadaan media mata jernih, maka dapat diperkirakan adanya kelainan di fundus atau di belakang bola mata . Diagnosis banding penglihatan turun setelah sebuah cedera mata adalah trauma retina, perdarahan corpus vitreous, dan trauma yang mengakibatkan kerusakan pada kiasma optikus.
Fundus harus diperiksa dengan oftalmoskopi direk setelah midriasis penuh dilakukan. Jika tidak terlihat detil struktur mata, maka hal ini menunjukkan terjadinya perdarahan vitreous. Perdarahan vitreous terabsosrbsi dalam waktu beberapa minggu atau mungkin diperlukan pengangkatan dengan virektomi. Daerah perdarahan retina dan daerah berwarna putih (edema) dapat dilihat. Koroid juga bisa robek dan menyebabkan perdarahan subretina yang kemudian diikuti oleh parut subretina.(9)
Trauma pada mata dapat menyebabkan munculnya beberapa gejala klinis yaitu :a) Perdarahan di palpebra (echymosis, black eye)
Pada perdarahan yang berat, palpebra menjadi bengkak, kebiru-biruan, karena jaringan ikat palpebra halus. Perdarahan dapat menjalar ke bagian lain di muka, juga dapat menyeberang ke mata yang lain menimbulkan hematoma kacamata atau menjalar ke belakang menyebabkan eksoftalmus.
b) Emfisema palpebra Emfisema palpebra teraba sebagai pembengkakan dengan krepitasi, disebabkan adanya udara di
dalam jaringan palpebra yang longgar. Hal ini menunjukkan adanya fraktura dari dinding orbita, sehingga menimbulkan hubungan langsung antara rongga orbita dengan ruang hidung atau sinus-sinus sekeliling orbita. Sering mengenai lamina papyricea os etmoidalis, yang merupakan dinding medial dari rongga orbita, karena dinding ini tipis.c) Luka laserasi di palpebra (9)Trauma tumpul dapat pula menimbulkan luka laserasi pada palpebra. Bila luka ini hebat dan disertai dengan edema yang hebat pula, jangan segera dijahit, tapi bersihkanlah lukanya dan tutup dengan pembalut basah yang steril. Bila bengkaknya berkurang, baru dijahit.d) Kelainan gerakan mata (9)o Kelopak mata tak dapat menutup dengan sempurna (lagoftalmus), yang dapat disebabkan lumpuhnya N.VIIo Kelopak mata tak dapat membuka dengan sempurna (ptosis), yang mungkin disebabkan edema atau perdarahan pada palpebra. Ptosis dapat juga terjadi akibat lumpuhnya m.levator palpebra. Pada trauma tumpul dapat juga terlihat gangguan gerak bola mata, karena perdarahan di rongga orbita atau adanya kerusakan di otot-otot mata luar.Dapat terjadi oleh karena :o parese atau paralise dari m. Levator palpebra (N.III)o Pseudoptosis, oleh karena edema palpebrae) Hiperemia konjungtiva dan perdarahan subkonjungtiva (9)f) Timbulnya lipatan-lipatan pada M. Descement dan M. Bowman (9)
14
Hal ini disebabkan menurunnya tekanan intra okuler pada waktu terjadinya trauma yang kemudian disusul dengan naiknya tonus menjadi normal kembali. Lipatan-lipatan ini akan hilang bila tonus normal kembali. Keluhannya visus menurun, yang menjadi baik lagi bila tonus normal kembali.g) Perdarahan di dalam bilik mata depan (hifema) (9,10) Hifema adalah terkumpulnya darah dalam bilik depan bola mata (camera oculi anterior). Perdarahan bilik mata depan akibat ruda paksa ini merupakan akibat yang paling sering dijumpai karena trauma. Perdarahan bilik depan bola mata ini terutama berasal dari pembuluh darah corpus ciliare dan sebagian kecil dari pembuluh darah iris, sedang penyerapan darahnya sebagian besar akan diserap melalui trabekular meshwork dan selanjutnya ke kanal schlemm, sisanya akan diabsorbsi melalui permukaan iris.(10)h) Pupil midriasis (9)
Disebabkan iridoplegia, akibat serabut saraf yang mengatur otot sfingter pupil. Iridoplegia ini dapat terjadi temporer 2-3 minggu, dapat juga permanen, tergantung adanya parese atau paralise dari otot tersebut. Dalam waktu itu mata terasa silau.i) Iridodialise/iridoreksis/robekan iris (9) Merupakan robekan pada akar iris, sehingga pupil agak ke pinggir letaknya, pada pemeriksaan biasa terdapat warna gelap selain pada pupil, tetapi juga pada dasar iris terdapat iridodialisa. Pada pemeriksaan oftalmoskopi terdapat warna merah pada pupil dan juga pada tempat iridodialisa, yang merupakan refleks fundus.j) Perdarahan badan kaca (9)
Dapat berasal dari badan siliar, koroid dan retina. Karenanya bila terdapat perdarahan di dalam badan kaca, sebaiknya dilakukan pemeriksaan ultrasonografi, untuk mengetahui keadaan di bagian posterior mata.k) Kelainan retina berupa edema dan ruptur retina (9)
Edema retina biasanya di daerah polus anterior dekat makula atau di perifer. Tampak seolah-olah retina dilapisi susu. Bila terjadi di makula, visus sentral sangat terganggu dengan skotoma sentralis.l) Perdarahan retina (9)
Dapat timbul bila trauma menyebabkan pecahnya pembuluh darah. Bentuk perdarahan tergantung dari lokalisasinya. Bila terdapat di lapisan serabut saraf tampak sebagai bulu ayam, bila letak lebih keluar tampak sebagai bercak yang berbatas tegas, perdarahan di depan retina (preretina) mempunyai permukaan datar di bagian atas dan cembung di bagian bawah. Darahnya dapat pula masuk ke dalam badan kaca. Penderita mengeluh terdapat bayangan-bayangan hitam di lapangan penglihatannya, kalau banyak dan masuk ke dalam badan kaca dapat menutupi jalannya cahaya, sehingga visus terganggu.m) Robekan sklera (9) Kalau robekannya kecil, sekitar robekan didiatermi dan robekannya dijahit. Pada robekan yang besar, lebih baik dilakukan enukleasi bulbi, untuk hindarkan oftalmia simpatika. Robekan ini biasanya terletak dibagian atas. n) Eksoftalmus (9)
Biasanya disebabkan perdarahan retrobulber, berasal dari a.optalmika beserta cabang-cabangnya. Dengan istirahat di tempat tidur, perdarahan diserap kembali, juga diberi koagulansia. Bila eksoftalmus disertai pulsasi dan “souffles”, berarti ada aneurisma arteriovena antara arteri karotis interna dan sinus kavernosa.o) Enoftalmus (9)
Disebabkan robekan besar pada kapsula tenon, yang menyelubungi bola mata di luar sklera atau disebabkan fraktur dasar orbita. Seringkali enoftalmus tidak terlihat selama masih terdapat edema.Pada pemeriksaan funduskopi mungkin terlihat atrofi saraf optik yang menyebabkan visus sangat menurun. Hal ini disebabkan adanya perdarahan retrobulber, fraktura dinding orbita bagian posterior, fraktura basis kranii. Untuk menentukannya diperlukan foto tulang tengkorak.
1.4.3 TRAUMA TEMBUS ( LUKA AKIBAT BENDA TAJAM ) Luka akibat benda tajam dapat mengakibatkan : (9)
15
1. Luka pada palpebraKalau Kalau pinggiran palpebra luka dan tak dapat diperbaiki, dapat menimbulkan koloboma
palpebra akuisita. Bila besar dapat mengakibatkan kerusakan kornea oleh karena mata tak dapat menutup dengan sempurna.2. Luka pada orbita
Luka tajam yang mengenai orbita dapat merusak bola mata, merusak saraf optik, menyebabkan kebutaan atau merobek otot luar mata sehingga timbul paralise dari otot dan diplopia. Mudah terkena infeksi, menimbulkan selulitis orbita (orbital phlegmon), karena adanya benda asing atau adanya hubungan terbuka dengan rongga-rongga di sekitar orbita.3. Luka mengenai bola mata
Harus dihentikan : - luka dengan atau tanpa perforasi- luka dengan atau tanpa benda asingKalau ada perforasi di bagian depan (kornea) : bilik mata depan dangkal, kadang-kadang iris
melekat atau menonjol pada luka perforasi di kornea, tensi intra okuler merendah, tes fistel positif. Bila perforasinya mengenai bagian posterior (sklera) : bilik mata depan dalam, perdarahan di dalam sklera, koroid, retina, mungkin ada ablasi retina, tensi intra okuler rendah.a) Luka mengenai konjungtiva (9)
Bila kecil dapat sembuh dengan spontan, biloa besar perlu dijahit,disamping pemberian antibiotik lokal dan sistemik untuk mencegah infeksi sekunder.b) Luka di kornea (9)
Bila tanpa perforasi : erosi atau benda asing tersangkut di kornea. Tes fluoresin (+). Jaga jangan sampai terkena infeksi, sehingga dapat timbul ulkus serpens akut atau herpes kornea, dengan pemberian antibiotika atau kemoterapeutika yang berspektrum luas, lokal dan sistemik. Benda asing di kornea di angkat, setelah diberi anastesi lokal dengan pantokain 1 %. Kalau mulai ada neovaskularisasi dari limbus, berikanlah kortison lokal atau subkonjungtiva. Tetapi jangan diberikan kortison pada luka yang baru atau bila ada herpes kornea.
Bila ada perforasi : bila luka kecil, lepaskan konjungtiva di limbus yang berdekatan, kemudian di tarik supaya menutupi luka kornea tersebut (flap konjungtiva). Bila luka di kornea luas, maka luka itu harus dijahit. Kemudian ditutup dengan flap konjungtiva. Jika luka di kornea itu disertai dengan prolaps iris, iris yang keluar harus dipotong dan sisanya di reposisi, robekan di kornea dijahit dan ditutup denganh flap konjungtiva. Kalau luka telah berlangsung beberapa jam, sebaiknya bilik mata depan dibilas terlebih dahulu dengan larutan penisilin 10.000 U/cc, sebelum kornea dijahit. Sesudah selesai seluruhnya, berikan antibiotika dengan spektrum luas lokal dan sistemik, juga subkonjungtiva. c) Luka di sklera (9)
Luka yang mengenai sklera berbahaya karena dapat mengakibatkan perdarahan badan kaca, keluarnya isi bola mata, infeksi dari bagian dalam bola mata, ablasi retina. Luka kecil, tanpa infeksi sekunder pada waktu terkena trauma, dibersihkan, tutup dengan konjungtiva, beri antibiotik lokal dan sistemik, mata ditutup. Luka dapat sembuh. Luka yang besar, sering disertai dengan perdarahan badan kaca, prolaps badan kaca, koroid atau badan siliar, mungkin terdapat di dalam luka tersebut. Bila masih ada kemungkinan, bahwa mata itu masih dapat melihat, maka luka dibersihkan, jaringan yang keluar dipotong, luka sklera dijahit, konjungtiva dijahit, beri atropin, kedua mata ditutup. Sekitar luka didiatermi. Bila luka cukup besar dan diragukan bahwa mata tersebut masih dapat melihat, maka sebaiknya di enukleasi, untuk menghindarkan timbulnya optalmia simpatika pada mata yang sehat.d) Luka pada corpus siliar (9)
Luka disini mempunyai prognosis yang buruk, karena kemungkinan besar dapat menimbulkan endoftalmitis, panoftalmitis yang dapat berakhir dengan ptisis bulbi pada mata yang terkena trauma, sedang pada mata yang sehat dapat timbul oftalmia simpatika. Karena itu bila lukanya besar, disertai prolaps dari isi bola mata, sehingga mata mungkin tak dapat melihat lagi, sebaiknya di enukleasi bulbi, supaya mata yang sehat tetap baik.Bila trauma disebabkan benda tajam atau benda asing masuk ke dalam bola mata , maka akan terlihat tanda-tanda bola mata tembus, seperti ;- Mata merah, nyeri, fotofobia, blepharospasme dan lakrimasi
16
- Tajam penglihatan yang menurun akibat tedapatnya kekeruhan media refrakta secara langsung atau tidak langsung akibat ruma tembus tersebut- Tekanan bola mata rendah akibat keluarnya cairan bola mata- Bilik mata dangkal akibat perforasi kornea- Bentuk dan letak pupil berubah.- Terlihatnya rupture pada kornea atau sclera- Adanya hifema pada bilik mata depan- Terdapat jaringan yang di prolaps seperti cairan mata, irirs lensa, badan kaca atau retina.3.3. PatofisiologiTerdapat empat mekanisme yang menyebabkan terjadi trauma okuli yaitu : 4 • coup, • countercoup,• equatorial• global reposititioning. Coup adalah kekuatan yang disebabkan langsung oleh trauma. Countercoup merupakan gelombang getaran yang diberikan oleh cuop, dan diteruskan melalui okuler dan struktur orbita. Akibat dari trauma ini, bagian equator dari bola mata cenderung mengambang dan merubah arsitektur dari okuli normal. Pada akhirnya, bola mata akan kembali ke bentuk normalnya, akan tetapi hal ini tidak selalu seperti yang diharapkan.4Trauma mata yang sering adalah yang mengenai kornea dan permukaan luar bola mata (konjungtiva) yang disebabkan oleh benda asing. Meskipun demikian kebanyakan trauma ini adalah kecil, seperti penetrasi pada kornea dan pembetukan infeksi yang berasal dari terputusnya atau perlengketan pada kornea yang mana hal ini dapat menjadi serius. Benda asing dan aberasi di kornea menyebabkan nyeri dan iritasi yang dapat dirasakan sewaktu mata dan kelopak mata digerakkan. Defek epitel kornea dapat menimbulkan keruhan serupa. Fluoresens akan mewarnai membran basal epitel yang terpajan dan dapat memperjelas kebocoran cairan akibat luka tembus (uji Seidel positif)2Mekanisme trauma pada bola mata akibat benda tumpul:61. Dampak langsung pada bola mata: tempat kontak mendapatkan cedera terbesar pada mata.2. Kekuatan gelombang penekanan : ditransmisikan melalui isi cairan ke seluruh arah dan menghantam bilik mata depan, mendorong diafragma iris ke belakang, dan juga menghantam koroid dan retina. Kadang-kadang gelombang penekanan sangat besar sehingga menyebabkan cedera pada tempat yang jauh dari tempat cedera awal yang disebut counter coup3. Kekuatan gelombang penekanan yang dipantulkan : setelah mengenai dinding luar, maka gelompang penekanan menuju ke kutub belakang dan dapat merusak fovea.4. Kekuatan gelombang penekanan balik : setelah mengenai dinding belakang, gelombang penekanan dikembalikan lagi ke depan, yang dapat merusak koroid dan diafragma dengan tarikan dari belakang ke depan.5. Kekuatan tidak langsung : apabila bola mata mengenai struktur tulang dan elastis dari struktur penyusun bola mata.
3.4. Manifestasi klinisGejala klinis yang dapat terjadi pada trauma mata antara lain 6,7,8 : 1. Perdarahan atau keluar cairan dari mata atau sekitarnyaPada trauma mata perdarahan dapat terjadi akibat luka atau robeknya kelopak mata atau perdarahan yang berasal dari bola mata. Pada trauma tembus caian humor akueus dapat keluar dari mata. 2. Memar pada sekitar mataMemar pada sekitar mata dapat terjadi akibat hematoma pada palpebra. Hematoma pada palpebra juga dapat terjadi pada pasien yang mengalami fraktur basis kranii.3. Penurunan visus dalam waktu yang mendadakPenurunan visus pada trauma mata dapat disebabkan oleh dua hal, yang pertama terhalangnya jalur refraksi akibat komplikasi trauma baik di segmen anterior maupun segmen posterior bola mata, yang kedua akibat terlepasnya lensa atau retina dan avulsi nervus optikus.
17
4. Penglihatan gandaPenglihatan ganda atau diplopia pada trauma mata dapat terjadi karena robeknya pangkal iris. Karena iris robek maka bentuk pupil menjadi tidak bulat. Hal ini dapat menyebabkan penglihatan ganda pada pasien.5. Mata bewarna merahPada trauma mata yang disertai dengan erosi kornea dapat ditemukan pericorneal injection (PCI) sehingga mata terlihat merah pada daerah sentral. Hal ini dapat pula ditemui pada trauma mata dengan perdarahan subkonjungtiva. 6. Nyeri dan rasa menyengat pada mataPada trauma mata dapat terjadi nyeri yang disebabkan edema pada palpebra. Peningkatan tekanan bola mata juga dapat menyebabkan nyeri pada mata. 7. Sakit kepalaPada trauma mata sering disertai dengan trauma kepala. Sehingga menimbulkan nyeri kepala. Pandangan yang kabur dan ganda pun dapat menyebabkan sakit kepala. 8. Mata terasa Gatal, terasa ada yang mengganjal pada mataPada trauma mata dengan benda asing baik pada konjungtiva ataupun segmen anterior mata dapat menyebabkan mata terasa gatal dan mengganjal. Jika terdapat benda asing hal ini dapat menyebabkan peningkatan produksi air mata sebagai salah satu mekanisme perlindungan pada mata.9. FotopobiaFotopobia pada trauma mata dapat terjadi karena dua penyebab. Pertama adanya benda asing pada jalur refraksi, contohnya hifema, erosi kornea, benda asing pada segmen anterior bola mata menyebabkan jalur sinar yang masuk ke dalam mata menjadi tidak teratur, hal ini menimbulkan silau pada pasien. Penyebab lain fotopobia pada pasien trauma mata adalah lumpuhnya iris. Lumpuhnya iris menyebabkan pupil tidak dapat mengecil dan cenderung melebar sehingga banyak sinar yang masuk ke dalam mata.
3.5. DiagnosisDiagnosis trauma okuli dapat di tegakkan berdasarkan anamnesis, pemerksaan fisis dan
pemeriksaan penunjang jika tersedia. Pada anamnesis informasi yang di peroleh dapat berupa mekanisme dan onset terjadinya trauma., bahan penyebab truma dan pekrjaan untuk mengetahui objek penyebabnya. Anamnesis harus mencakup perkiraan ketajaman penglihatan sebelum dan segera sesudah cedera. Harus di catat apakah gangguan penglihatan bersifat prograsif lambat atau berawitan mendadak. Harus dicurigai adanya benda asing intraokuler apabila terdapat riwayat me-malu, mengasah atau kedakan. Cedera pada anak dengan riwayat yang tidak sesuai dengan cedera yang diderita, harus di curigai akan adanya penganiayaan anak. Riwayat kejadian harus diarah secara khusus pada detail terjadinya trauma, riwayat pembedahan okuler sebelumnya, riwayat penyakit, pengobatan sebelumnnya dan elergi.(3)
Pada anamnesis perlu diketahui apakah terjadi penurunan visus setelah cedera atau saat cedera terjadi. Onset dari penurunan visus apakah terjadi secara progresif atau terjadi secara tiba-tiba. Harus dicurigai adanya benda asing apabila ada riwayat pemakaian palu, pahat, ataupun ledakan, dan harus dipertimbangkan untuk melakukan pencitraan. Pemakaian palu dan pahat dapat melepaskan serpihan-serpihan logam yang akan menembus bola mata, dan hanya meninggalkan petunjuk perdarahan subkonjungtiva yang mengindikasikan adanya penetrasi sklera dan benda asing yang tertingal. Nyeri, lakrimasi, dan pandangan kabur merupakan gambaran umum trauma, namun gejala ringan dapat menyamarkan benda asing intraokular yang berpotensi membutakan. (4)
Pemeriksaan struktur eksternal mata termasuk didalamnya palpasi, inspeksi dengan penlight, pemeriksaan kelopak mata, pewarnaan dengan fluoresensi, dan anestesi topikal. Palpasi rima orbita harus dilakukan bila dicurigai terjadi cedera tumpul atau fraktur. Penlight digunakan untuk memeriksa mata akan adanya tanda-tanda perforasi, seperti dangkalnya kamera anterior atau prolaps uvea. Hifema dapat timbul tanpa perforasi dan, pada kenyataanya, sering ada pada trauma tumpul. Pemeriksaan kelopak mata (retraksi dan eversi kelopak mata atas dan bawah) akan membantu inspeksi benda asing atau luka bakar kimiawi. Apabila pasien merasakan adanya benda asing atau bila ada riwayat trauma tumpul dan trauma tajam, dapat dilakukan pemeriksaan dengan fluoresensi, dengan memberi pewarnaan pada kornea untuk mengidentifikasi adanya defek epitel kornea.(4)
18
Bagian anterior mata harus diperiksa dengan memakai lup atau slit lamp yang bertujuan untuk mengetahui lokasi luka atau celah tembus. Pemeriksaan oftalmoskopi direk dan indirek juga dapat dilakukan. Selain itu dapat pula dilakukan pemeriksaan tonometri untuk mengatahui tekanan intraokular, dimana trauma yang menyebabkan rupture bola mata dapat menyebabkan tekanan intraokular yang menurun. (10)
Pemeriksaan fisik dilakukan secara hati-hati dan manipulasi sedapat mungkin diminimalisir. Pemeriksaan fisik dimulai dengan pengukuran dan pencatatan ketajaman penglihatan. Apabila gangguan penglihatannya parah, maka periksa proyeksi cahaya, diskriminasi dua titik, dan adanya defek pupil eferan. Periksa motilitas mata dan sensasi kulit perorbita dan lakukan palpasi untuk mencari defek pada bagian tepi tulang orbita. Pada pemeriksaan kornea dan konjungtiva bila luka tidak menyebabkan rupture bola mata, maka dilakukan eversi kelopak mata untuk mengetahui lokasi benda tersebut sejelas-jelasnya. Kedalaman dan kejernihan kamera anterior dicatat. Ukuran bentuk dan reaksi terhadap cahaya dari pupil harus dibandingkan dengan mata yang lain untuk memastikan apakah terdapat defek pupil di mata yang cedera. Bila dalam inspeksi terlihat rupture bola mata atau adanya kecenderungan rupture bola mata, maka tidak dilakukan pemeriksaan lagi. Mata dilindungi dengan pelindung tanpa bebat, kemudian dirujuk ke spesialis mata. Dokumentasi foto bermanfaat untuk tujuan-tujuan medikolegal pada semua kasus trauma eksternal.(4,8)
Pemeriksaan slit lamp juga dapat dilakukan untuk melihat kedalam cedera di segmen anterior bola mata. Tes fluoresisn dapat digunakan untuk mewarnai kornea, sehingga cedera kelihatan dengan jelas. Pemeriksaan tonometri perlu dilakukan untuk mnegetahui tekanan bola mata. Pemeriksaan fundus yang di dilatasikan dengan oftalmoskop indirek penting untuk dilakukan untuk mengetahui adanya benda asing intraokuler. Bila benda asing yang masuk cukup dalam, dapat dilakukan tes seidel untuk mengetahui adanya cairan yang keluar dari mata. Tes ini dilakukan dengan cara memberi anestesi pada mata yang akan di periksa, kemusian diuji pada strip fluorescein steril. Penguji menggunakan slit lamp dengan filter kobalt biru, sehingga akan terlihat perubahan warna strip akibat perubahan pH bila ada pengeluaran cairan mata.(4)
CT-Scan merupakan pemeriksaan pilihan untuk mengetahui benda asing intraokular. X-Ray dapat dilakukan apabila CT-Scan tidak memungkinkan. MRI tidak direkomendasikan untuk pemeriksaan benda asing jenis metal, karena medan magnet yang diproduksi saat pemeriksaan dilakukan dapat menyebabkan benda asing menjadi proyektil berkecepatan tinggi dan menyebabkan kerusakan okular. Ultrasound biomikroskop juga bermanfaat dalam menentukan lokasi dari benda asing intraokular. Electroretinography (ERG) berguna untuk mengetahui ada tidaknya degenarasi pada retina dan sering digunakan pada pasien yang tidak berkomunikasi dengan pemeriksa.(4,8)
Anamnesis yang teliti sangat penting :a. Penggunaan palu dan alat pahat dapat melepaskan serpihan-serpihan logam yang akan menembus bola mata dan hanya meninggalkan petunjuk perdarahan subkonjungtiva yang mengindikasikan adanya penetrasi sclera dan benda asing yang tertinggal.b. Kawat yang tegang atau paku dapat menembus kornea dengan cepat, kadang menghasilkan jalur yang hampir tidak terlihat.c. Trauma tumpul pada mata juga dapat menyebabkan kerusakan orbita (blow-out fracture).d. Sangat penting untuk menentukan sifat bahan kimia yang mungkin mengalami kontak dengan mata. Basa kuat menembus jaringan anterior mata dan dapat dengan cepat menyebabkan kerusakan irreversible.Gejala pasien berhubungan dengan derajat dan jenis trauma yang dialami. Nyeri, lakrimasi dan pandangan kabur merupakan gambaran umum trauma, namun gejala ringan dapat menyamarkan benda asing intraokular yang berpotensi membutakan.
LokasiLokalisasi dari benda asing yang masuk ke dalam mata melewati kornea dan sklera dapat ditemukan pada beberapa lokasi seperti :1
19
• Bilik mata depan. Pada bilik mata depan, benda asing intraokuler seringkali tertanam di bagian bawah. Benda asing kecil dapat tersembunyi di sudut dari bilik mata depan, dan hanya dapat terlihat dengan pemeriksaan gonioscopy• Iris. Pada iris, benda asing biasanya tertahan dan ditemukan terperangkap dalam stroma.• Bilik mata belakang. Benda asing dapat terperangkap di belakang iris setelah masuk masuk melalui mata atau setelah membuat lubang pada iris.• Lensa. Benda asing dapat ditemukan pada permukaan anterior atau di dalam lensa. Gambaran opak atau lensa yang menjadi katarak dapat terlihat.• Kavitas vitreous. Benda asing dapat menembus sampai ke dalam lapisan korpus vitreous.• Retina, koroid, dan sklera. Benda asing dapat memperoleh akses ke struktur-struktur ini melalui kornea atau langusn melalui perforasi pada sklera.• Kavitas orbita. Benda asing yang menembus bola mata kadang-kadang menyebabkan perforasi ganda dan menempati jaringan lain dalam orbita.
A. PEMERIKSAAN FISIK8,9Gejala dan Tanda Trauma Tembus Mata :a. Riwayat adanya objek dengan kecepatan tinggi yang mengenai matab. Jaringan berwarna gelap pada kornea atau sklera (sumbatan iris pada luka)c. Pupil yang distorsid. Darah pada bilik mata depane. Bilik mata anterior yang dalam dan tidak biasaf. Katarakg. Perdarahan vitreus
A. KorneaKornea diperiksa untuk mencari apakah terdapat kehilangan lapisan epitel, laserasi dan benda asing. Penetesan fluoresens akan mengidentifikasikan luas aberasi dan jika pekat akan mengidentifikasi kebocoran aqueous melalui luka tembus.B. Bilik mata anteriorTrauma tumpul dapat menyebabkan perdarahan kedalam bilik mata anterior dimana perdarahan ini berkimpul dengan batas cairan (hifema) yang disebabkan oleh rupturnya akar pembuluh darah iris atau iris terobek dari insersinya pada korpus siliar (dialisis iris). Pupil juga mengalami dilatasi akibat trauma tumpul (midriasis traumatik).c. Lensa mataDislokasi lensa setelah trauma benda tumpul dapat dipertimbangkan apabila terdapat kedipan pupil pada saat gerakan mata (iridodnesis). Katarak pada lensa berkembang dengan sangat cepat setelah trauma penetrasi. Trauma tumpul juga menyebabkan katarak pada subkaspul posterior dalam hitungan jam dari trauma.
1. Dengan Slit Lamp9Slit Lamp akan memungkinkan pemeriksaan yang lebih detail, yang dapat menunjukkan :a. Bilik mata anterior yang lebih dangkal dibandingkan dengan mata kontralateral dapat mengimplikasikan trauma tembus anterior.b. Hifema mikroskopik dimana terdapat sel darah merah di dalam bilik mata anterior namun tidak cukup untuk membentuk hifema.c. Adanya sel darah putih dalam ruang anterior (uveitis traumatik) d. Resesi sudut iridokornea dilihat dengan lensa kontak gonioskopi (insersi otot siliaris kedalam spur sklera bergerak ke posterior). Ini di dapatkan pada trauma tumpul.e. Peningkatan tekanan intraokular dengan tonometri aplanasi.2. Ophthalmoscopy 3. Tonometri 4. USG B-scan
20
5. CT-Scan3.6. TatalaksanaPenatalaksanaan pada trauma mata bergantung pada berat ringannya trauma ataupun jenis trauma itu sendiri. Namun demikian ada empat tujuan utama dalam mengatasi kasus trauma okular adalah :- Memperbaiki penglihatan.- Mencegah terjadinya infeksi. - Mempertahankan arsitektur mata.- Mencegah sekuele jangka panjang.Penanganan Trauma Oculus Non Perforans : Setiap pasien trauma mata seharusnya medapatkan pengobatan antitetanus toksoid untuk mencegah terjadinya infeksi tetanus dikemudian hari terutama trauma yang menyebabkan luka penetrasi. Apabila jelas tampak ruptur bola mata, maka manipulasi lebih lanjut harus dihindari sampai pasien mendapat anastesi umum. Sebelum pembedahan jangan diberi obat siklopegik ataupun antibiotic topical karena kemungkinan toksisitas pada jaringan intraocular yang terpajan. Berikan antibiotik sistemik spectrum luas dan upayakan memakai pelindung mata(bebat mata). Analgetik dan antiemetik diberikan sesuai kebutuhan, dengan retriksi makanan dan minum. Induksi anastesi umum jengan menggunakan obat-obat penghambat depolarisasi neuron muscular, karena dapat meningkatkan secara transient tekanan di dalam bola mata sehingga meningkatkan kecendrungan herniasi isi intraocular. Anak juga lebih baik diperiksa awal dengan bantuan anstetik umum yang bersifat singkat untuk memudahkan pemeriksaan. Pada trauma yang berat, seorang dokter harus selalu mengingat kemungkinan timbulnya kerusakan lebih lanjut akibat manipulasi yang tidak perlu sewaktu berusaha melakukan pemeriksaan bola mata lengkap. Yang tak kalah pentingnya yaitu kesterilan bahan atau zat seperti anastetik topical, zat warna, dan obat lain maupun alat pemeriksaan yang diberikan ke mata.1Benda berbentuk partikel kecil harus dikeluarkan dari abrasi kelopak untuk mengurangi resiko pembentukan tato kulit. Laserasi palpebra yang superfisial hanya memerlukan jahitan pada kulit saja. Untuk mengelakkan terjadinya jaringan parut yang tidak diinginkan, perlu dilakukan debridement konservatif, menggunakan jahitan eversi yang berkaliber kecil dan membuka jahitan dengan cepat.9,10
Pre-Operatif1. Bagian mata diperban dengan kasa yang steril2. Hindari menggunakan obat topikal ataupun intervensi-intervensi lain yang perlu membuka tutup mata3. Berikan obat yang sesuai untuk sedatif, dan juga control kesakitan 4. Intravena antibiotik5. Berikan suntikan anti tetanus Non-Operatif
Sebagian dari trauma perforans sangat minimal sehingga ia sembuh dengan sendirinya tanpa ada kerosakan intraokuler, mahupan prolaps. Kasus-kasus sebegini hanya memerlukan terapi antibiotik sistemik ataupun topikal dengan observasi yang ketat.
Penanganan OperatifLaserasi korneoskleral dengan uvea prolaps biasanya memerlukan penanganan operasi di bawah
anaestesi general. Tujuan pertama dari prosedur ini adalah untuk mempertahankan keutuhan dari bola mata. Keduanya adalah untuk mengembalikan penglihatan pasien semaksimal mungkin. 3.7. PencegahanTrauma mata dapat dicegah dan diperlukan penerangan kepada masyarakat untuk menghindarkan terjadinya trauma pada mata, seperti:- Trauma tumpul akibat kecelakaan tidak dapat dicegah, kecuali trauma tumpul perkelahian- Diperlukan perlindungan pekerja untuk menghindarkan terjadinya trauma tajam- Setiap pekerja yang sering berhubungan dengan bahan kimia sebaiknya mengerti bahan apa yang ada di tempat kerjanya
21
- Pada pekerja las sebaiknya menghindarkan diri terhadap sinar dan percikan bahan las dengan memakai kacamata- Awasi anak yang sedang bermain yang mungkin berbahaya untuk matanya3.8. Komplikasi Galukoma sekunder, di sebabkan oleh adanya penyumbatan oleh darah pada sudut kamera okuli anterior. Imhibisi kornea, yaitu masuknya darah yang terurai ke dalam lamel-lamel kornea, sehingga kornea menjadi berwarna kuning tengguli dan visus sangat menurun. Penanganan terhadap imhibisi kornea: Tindakan pembedahan yaitu keratoplastik.Komplikasi dari trauma mata juga bergantung pada berat ringannya trauma, dan jenis trauma yang terjadi. Komplikasi yang dapat terjadi pada kasus trauma basa pada mata antara lain :1. Simblefaron2. Kornea keruh, edema, neovaskuler3. Katarak traumatik, merupakan katarak yang muncul sebagai akibat cedera pada mata yang dapat merupakan trauma perforasi ataupun tumpul yang terlihat sesudah beberapa hari ataupun beberapa tahun. Katarak traumatik ini dapat muncul akut, subakut, atau pun gejala sisa dari trauma mata. Trauma basa pada permukaan mata sering menyebabkan katarak, selain menyebabkan kerusakan kornea, konjungtiva, dan iris. Komponen basa yang masuk mengenai mata menyebabkan peningkatan PH cairan akuos dan menurunkan kadar glukosa dan askorbat. Hal ini dapat terjadi secara akut ataupun perlahan-lahan. Trauma kimia dapat juga disebabkan oleh zat asam, namun karena trauma asam sukar masuk ke bagian dalam mata dibandingkan basa maka jarang4. Phtisis bulbi3.9. PrognosisMata sembuh dengan baik setelah trauma minor dan jarang terjadi sekuele jangka panjang karena munculnya sindrom erosi berulang. Namun trauma tembus mata seringkali dikaitkan dengan kerusakan penglihatan berat dan mungkin membutuhkan pembedahan ekstensif.
Retensi jangka panjang dari benda asing berupa besi dapat merusak fungsi retina dengan menghasilkan radikal bebas. Serupa dengan hal itu, trauma kimia pada mata dapat menyebabkan gangguan penglihatan berat jangka panjang dan rasa tidak enak pada mata. Trauma tumpul dapat menyebabkan kehilangan penglihatan yang tidak dapat di terapi jika terjadi lubang retina pada fovea. Penglihatan juga dapat terganggu jika koroid pada makula rusak. Dalam jangka panjang dapat timbul glaucoma sekunder pada mata beberapa tahun setelah cedera awal jika jalinan trabekula mengalami kerusakan. Trauma orbita berat juga dapat menyebabkan masalah kosmetik dan okulomotor.
IV. KesadaranIV.1. DefinisiKesadaran (consciousness) didefinisikan sebagai suatu keadaan “menyadari keadaan dirinya sendiri juga keadaan lingkungannya”. Selain itu, kesadaran dapat diartikan sebagai keadaan yang mencerminkan pengintegrasian impuls afferen (input) dan impuls efferen (output). Kesadaran berdasarkan dua hal1. Isi kesadaran (content)2. Keadaaan bangun (arousal)
Secara klinis “keadaan bangun” dapat ditandai dengan kemampuan membuka mata, baik secara spontan maupun setelah diberi ransangan, sedangkan indikator klinis dari “isi kesadaran: adalah dari fungsi bicara dan bahasanya. Akan tetapi, gangguan kesadaran lebih ditekankan pada gangguan terhadap keadaan bangun. Maruzzi dan Maquon pada tahun 1940 menemukan struktur anatomi yang bertanggung jawab terhadap sistem kesadaran. Bangunan tersebut terletak dibagian tengah batang otak dan memanjang ke hipotalamus dan talamus yang disebut dengan “Ascending Reticular Activating System” / ARAS atau lebih sering disebut Formatio Reticularis.Arousal merupakan hasil interaksi timbal balik dari ARAS dengan korteks bilateral. ARAS terdapat mulai dari medula oblongata sampai hipotalamus. Fungsi ARAS adalah meransang korteks untuk tetap terjaga (arousal). Hal tersebut tercermin dari pemeriksaan bila:
22
1. Bila ditusuk jarum maka mata terbuka2. Refleks kornea menimbulkan reaksi pupil3. Pergerakan bola mata (spontan dan refleks)4. Keadaan terjaga dan tidur
IV.2. FisiologiSistem aktivitas retikuler berfungsi mempertahankan kesadaran. Sistem ini terletak di bagian atas batang otak, terutama di mesensefalon dan hipothalamus. Lesi di otak, yang terletak di atas hipothalamus tidak akan menyebabkan penurunan kesadaran, kecuali bila lesinya luas dan bilateral. Lesi fokal di cerebrum, misalnya oleh tumor atau stroke, tidak akan menyebabkan coma, kecuali bila letaknya dalam dan mengganggu hipothalamus.
Tingkat Kesadaran Manusia: (Price, 2006)
Sadar → sadar penuh, orientasi baik terhadap orang, tempat dan waktu, kooperatif, dapat mengingat angka yang diberitahukan beberapa menit sebelumnya.
Otomatisme → tingkah laku normal, dapat bicara, kesulitan mengingat, bertindak otomatis tanpa tahu apa yang baru saja dilakukan.
Konfusi → canggung, mengalami gangguan daya ingat, kurang kooperatif, sulit dibangunkan, bingung.
Delirium → disorientasi waktu, tempat dan orang, tidak kooperatif, agitasi, gelisah, sulit dibangunkan dari tidurnya.
Stupor → diam, tidur, berespon terhadap rangsang suara keras dan cahaya, berespo baik terhadap rangsang sakit.
Stupor dalam → bisu, sulit dibangunkan, masih berespon terhadap nyeri.
Koma → tidak sadar, tidak berespon, refleks masi ada.
Koma ireversibel/mati → refleks tidak ada, pupil dilatasi, tidak ada denyut jantung dan nafas.
IV.3. Gangguan kesadaranKoma disebabkan oleh gangguan pada korteks secara menyeluruh misalnya pada gangguan metabolik, dan dapat pula disebabkan oleh gangguan langsung atau tidak langsung terhadap formasio retikularis di talamus, mesensefalon, atau ponsKoma kortikal - bihesmiferikPada individu sehat konsumsi oksigen otak: 3,5ml/100gr otak/menit, sedangkan aliran darah otak (ADO): 50ml./100gr otak/menit. Apabila terjadi penurunan ADO, maka akan terjadi penurunan konsumsi oksigen yang bisa mengganggu keutuhan kesadaran seseorang. Selain itu, glukosa juga sangat memiliki peranan penting dalam memelihara keutuhan kesadaran. Hal ini dikarenakan, glukosa merupakan satu – satunya substrat yang digunakan otak dalam menghasilkan ATP.Berikut ada beberapa hal yang dapat mengakibatkan gangguan kesadaran:
1. HipoventilasiBerhubungan dengan: hipoksemia, hiperkapnia, gagal jantung kongestif, infeksi sistemik dan kemampuan respiratorik yang tidak efektif. Hipoksia merupakan faktor potensial untuk terjadinya ensefalopati, terutama pada pasien dengan hiperkapnia akut.
2. Anoksia iskemikSuatu keadaan dimana darah masih cukup, akan tetapi ADO tidak cukup memberi darah ke otak. Penyebabnya adalah penyakit yang mengakibatkan penurunan curah jantung, misalnya: infark jantung, aritmia, renjatan, dan refleks vasovagal, atau penyakit yag meningkatkan resistensi vaskular serebral
23
misalnya oklusi arterial (stroke) atau spasmel. Iskemia (kegagalan vaskular) lebih berbahaya daripa hipoksian karena asam laktat (produk toksik metabolisme otak) tidak dapat dikeluarkan.
3. Anoksia anoksikKeadaan dimana tidak cukupnya oksigen masuk kedalam darah yang disebabkan oleh tekanan oksigen lingkungan yang rendah (pada ketinggian atau adanya gas nitrogen) atau oleh ketidakmampuan oksigen untuk mencapai dan menembus membran kapiler alveoli (penyakit paru dan hipoventilasi)
4. Anoksia anemikDisebabkan oleh jumlah hemoglobin yang mengikat dan membawa oksigen dalam darah menurun, sementara oksigen yang masuk kedalam darah cukup. Penyebabnya: anemia dan keracunan karbon monoksida.
5. Hipoksia atau iskemia difusDiakibatkan oleh: kadar oksigen dalam darah menurun cepat sekali atau akibat ADO yang menurun mendadak. Penyebab utamnya: obstruksi jalan napas (tercekik, tenggelah, mati lemas), obstruksi arteri serebral secara masif (digantung), dan penurunan curah jantung secara mendadak (asistole, aritmia berat, sinkop vasodepressor, emboli pulmonal, perdarahan sistemik masif). Trombosis atau emboli, purpura trombositopeni teombotika, koagulasi intravaskulari diseminata, endokarditis bakterial akut, malaria falsifarum, emboli lemak dapat menimbulkan iskemia multifokal yang luas dan memberikan gambaran iskemia serebral difus akut.
6. Gangguan metabolisme karbohidratMeliputi hiperglikemia, hipoglikemia, dan asidosis laktat. Penyebab potensial timbulnya koma pada DM cukup bervariasi, antara lain: hiperosmolaritas, ketoasidosis, asidosis laktat, iatrogenik, hiponatremia, koagulasi intravaskularis diseminata, hipofosfatemia, uremia, infark otak dan hipotensi. Selain itu, pada infark otak, cedera kepala, dan meningitis kadar glukosa darah dapat meningkat. Hipoglikemia dapat disebabkan oleh DM (tidak diobati, atau sesudah diobati dengan sulfonil urea, fenformin, insulin), alkohol, obat – obatan (inhibitor monoamin oksidase), puasa, tumor pankreas, dan penyakit endokrin lainnya misalnya hipotiroidisme dan hipopituitarisme. Hipoglikemia mengangguan sintesis asetilkolin didalam otak sehingga terjadi blokade jalur kolinergik. Kegagalan transmisi kolinergik mengakibatkan penurunan fungsi beberapa asam amino yaitu glutamat, glutamin, GABA, alanin. Sedangkan aspartat meningkat empat kali dan amonia meningkat empat belas kali yang mengakibatkan penurunan kesadaran hingga koma. Hipoglikemia akan mengganggua korteks otak secara difus, atau mengganggu fungsi batang otak, atau keduanya. Terdapat kerusakan neuron secara dini dan paling berat dikorteks otak, sementara neuron dibatanga otak dan ganglia basalis lebih ringan kerusakannya.
7. Gangguan keseimbangan asam basa Meliputi asidosis respiratorik, dan metabolik serta alkalosis respiratorik dan metabolik. Hanya asidosis respiratorik yang bertindak sebagai penyebab langsung timbulnya stupor dan koma. Asidosis metabolik lebih sering menimbulkan delirium dan obtundasi.
8. UremiaPatofisiologinya belum jelas karena urea bukan bahan toksik buat otak.
9. Koma hepatikMeningkatnya kadar amonia dalam darah diotak merupakan faktor utama terjadinya koma hepatikum. Amonia dalam kadar tinggi dapat bersifat toksik langsung terhadap otak dan selain itu amonia juga menganggu pompa natrium dan menganti kalium intraseluler serta amonia juga mengganggu metabolisme energi sel otak sehingga mirip dengan keadaan hipoksia.
10. Defisensi vitamin BSering kali mengakibatkan delirium, demensia, dan stupor. Defisiensi tiamin menimbulkan penyakit Wernicke yaitu suatu kompleks gejala yag disebabkan oleh kerusakan neuron dan vaskular disubstansia grisea, sekitar ventrikulus, dan aquaduktus.
Koma diensefalik1. Lesi infratentorial
Pada umunya berbentuk proses desak ruang (PDR) atau space occupying process (SOP), misalnya gangguan peredaran darah otak (GPDO / stroke) dalam bentuk perdarahan, neoplasma, abses, edema
24
otak, dan hidrosefalus obstrukstif. PDR mengakibatkan peningkatan TIK dan terjadi penekanan formatio retikularis dimesensefalon dan diensefalon (herniasi otak).
2. Herniasi sentralDisebabkan peningkatan TIK secara menyeluruh. Terjadi herniasi otak melalui tentorium serebelli secara simetris. Penyebab tersering: perdarahna talamus, edema otak akut, dan hidrosefalus obstruktif akut.
3. Herniasi unkusMerupakan herniasi lobus temporalis bagian mesensial terutama unkus. Herniasi disebabkan oleh kompresi rostrokaudal progresif melalui emapat tahap yaitu:
a. Penekanan terhadap diensefalon dan nukleus hipotalamusb. Penekanan mesensefalon sehinga mengakibatkan N.III ispilateral akan terjepit diantara arteri
serebri posterior dan arteri serebelli superior sehingga terjadi oftalmoplegi ipsilateral.c. Pons akan tertekan dilanjutkan dengan penekanan terhadap medula oblongatad. Tahap agonia
Faktor penyebab: GPDO, neoplasma, abses dan edema otak.
4. Herniasi cinguliTerjadi dibawah fakls serebri yang disebabkan oleh penekanan dari satu sisi hemisfer otak. Akibatnya, sistem arteri dan vena serebri tertekan sehingga mengganggu lobus frontalis bagian puncak dan medial. Keadaan ini akan menimbulkan inkontinensia urin dan alvi serta gejala gegenhalten dan negativisme motorik atau paratonia (setiap ransangan akan timbul gerakan melawan secar reflektorik).
5. Lesi infratentorialMeliputi dua macam proses patologik dalam ruang infratentorial (fossa kranii posterior) yaitu pertama, proses diluar batang otak atau serebellum yang mendesak sistem retikularis, dan yang kedua merupakan proses didalam batang otak yang secara langsung mendesak dan merusak sistem retikularis batang otak. Proses yang timbul berupa:
a. Penekanan langsung terhadap tegmentum mesensefalon (formatio retikularis).b. Herniasi serebellum dan batang otak ke rostral melewati tentorium serebelli yang kemudian
menekan formatio retikularis di mesensefalon.c. Herniasi tonsilo-serebellum kebawah melalui foramen magnum dan sekaligus menekan medulla
oblongata.Penyebab: GPDO di batang otak atau serebellum, neoplasma, abses, atau edema otak.
Lesi SupratentorialPada lesi supratentorial, gangguan kesadaran akan terjadi baik oleh kerusakan langsung pada jaringan otak atau akibat penggeseran dan kompresi pada ARAS karena proses tersebut maupun oleh gangguan vaskularisasi dan edema yang di- akibatkannya. Proses ini menjalar secara radial dari lokasi lesi kemudian ke arah rostro-kaudal sepanjang batang otak.
Gejalagejala klinik akan timbul sesuai dengan perjalan proses tersebut yang dimulai dengan:gejala neurologik fokal sesuai dengan lokasi lesi. Jika keadaan bertambah berat dapattimbul sindroma diensefalon, sindroma meseisefalon bahkan sindroma ponto meduler dan deserebrasi Oleh kenaikan tekanan intrakranial dapat terjadi herniasi girus singuli di kolong falks serebri, herniasi transtentoril danherniasi unkus lobus temporalis melalui insisura tentorii.
Lesi infratentorialPada lesi infratentorial, gangguan kesadaran dapat terjadi karena kerusakan ARAS baik oleh proses intrinsik pada batang otak maupun oleh proses ekstrinsik
Gangguan difus (gangguan metabolik)
25
Pada penyakit metabolik, gangguan neurologik umumnya bilateral dan hampir selalu simetrik. Selain itu gejala neurolo-giknya tidak dapat dilokalisir pada suatu susunan anatomik tertentu pada susunan saraf pusat.Penyebab gangguan kesadaran pada golongan ini terutama akibat kekurangan 0, kekurangan glukosa, gangguan sirkulasi darah serta pengaruh berbagai macam toksin.
Kekurangan 02
Otak yang normal memerlukan 3.3 cc O2/100 gr otak/menit yang disebut Cerebral Metabolic Rate for Oxygen (CMR 02).CMR 0 2 ini pada berbagai kondisi normal tidak banyak berubah. Hanya pada kejang- kejang CMR O2 meningkat dan jika timbul gangguan fungsi otak, CMR 02 menurun. Pada CMR O2
kurangdari 2.5 cc/100 gram otak/menit akan mulai terjadi gangguan mental dan umumnya bila kurang dari 2 cc O2/100 gram otak/menit terjadi koma.
GlukosaEnergi otak hanya diperoleh dari glukosa. Tiap 100 gram otak memerlukan 5.5 mgr glukosa/menit. Menurut Hinwich pada hipoglikemi, gangguan pertama terjadi pada serebrum dan kemudian progresif ke batang otak yang letaknya lebih kaudal. Menurut Arduini hipoglikemi menyebabkan depresi selektif pada susunan saraf pusat yang dimulai pada formasio reti-kularis dan kemudian menjalar ke bagian-bagian lain.
Pada hipoglikemi, penurunan atau gangguan kesadaran merupakan gejala dini. Gangguan sirkulasi darah
Untuk mencukupi keperluan dan glukosa, aliran darah ke otak memegang peranan penting. Bila aliran darah ke otak berkurang, dan glukosa darah juga akan berkurang
ToksinGangguan kesadaran dapat terjadi oleh toksin yang berasal dari penyakit metabolik dalam tubuh sendiri atau toksin yang berasal dari luar/akibat infeksi
IV.4. PemeriksaanPenilaian secara kualitatifKualitas kesadaran atau isi kesadaran menunjukkan kemampuan dalam mengenal diri sendiri dan sekitarnya yang merupakan fungsi hemisfer serebri.
Dalam klinik dikenal tingkat-tingkat kesadaran : Kompos mentis, inkompos mentis (apati, delirium, somnolen, sopor, koma)
Kompos mentis : Keadaan waspada dan terjaga pada seseorang yang bereaksi sepenuhnya dan adekuat terhadap rangsang visuil, auditorik dan sensorik.
Apatis : sikap acuh tak acuh, tidak segera menjawab bila ditanya.
Delirium : kesadaran menurun disertai kekacauan mental dan motorik seperti desorientasi, iritatif, salah persepsi terhadap rangsang sensorik, sering timbul ilusi dan halusinasi.
Somnolen : penderita mudah dibangunkan, dapat lereaksi secara motorik atau verbal yang layak tetapi setelah memberikan respons, ia terlena kembali bila rangsangan dihentikan.
Sopor (stupor) : penderita hanya dapat dibangunkan dalam waktu singkat oleh rangsang nyeri yang hebat dan berulang-ulang.
Koma : tidak ada sama sekali jawaban terhadap rangsang nyeri yang bagaimanapun hebatnya
Penilaian secara kuantitatif
26
Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai tingkat kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau tidak) dengan menilai respon pasien terhadap rangsangan yang diberikan.
Respon pasien yang perlu diperhatikan mencakup 3 hal yaitu reaksi membuka mata , bicara dan motorik. Hasil pemeriksaan dinyatakan dalam derajat (score) dengan rentang angka 1 – 6 tergantung responnya. E (4) = Eye opening
o E4 – membuka mata sendiri dengan baik (spontan)o E3 – membuka mata jika ada ransangan suara (dipanggil)o E2 – membuka mata jika ada ransangan nyerio E1 – tidak membuka mata terhadap segala ransangan
M (6) = Motoric responseo M6 – bekerja sesuai perintah (gerakan normal)o M5 – dapat melokalisir ransangan sensorik dikulit (raba)o M4 – Gerakan tidak teratur pada saat ransangan nyeri tetapi tidak dapat melokalisir letaknya
(withdrawal)o M3 – menjauhi ransangan nyeri, dengan gerakan fleksi o M2 – pada saat diransang, ekstensi spontano M1 – tidak ada gerakan terhadap ransangan
V (5) = Verbal responseo V5 – berorientasi baik (bicara normal)o V4 – bingung (bisa mmebentuk kalimat tetapi kacau)o V3 – bisa bentuk kata tapin tidak bisa bentuk kalimato V2 – mengeluarkan suara tidak ada arti (groaning)o V1 – tidak bersuara
Keterangan: Skor 15: kompos mentis Skor 11 – 14: letargi Skor 8 – 11 : stupor / sopor Skor <8: koma
HifemaDefinisiHifema merupakan perdarahan di dalam bilik mata depan (Dorland)Hifema merupakan keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik mata depan, yaitu daerah diantara kornea dan iris, yang dapat terjadi akibat trauma tumpul yang merobek pembuluh darah iris atau badan siliar dan bercampur dengan humor aqueus (cairan mata) yang jernih. Darah yang terkumpul di bilik mata depan biasanya terlihat dengan mata telanjang. Walaupun darah yang terdapat di bilik mata depan sedikit, tetap dapat menurunkan penglihatan.KlasifikasiBerdasarkan penyebabnya hifema dibagi menjadi :1. Hifema traumatika adalah perdarahan pada bilik mata depan yang disebabkan pecahnya pembuluh darah iris
dan badan silier akibat trauma pada segmen anterior bola mata.2. Hifema akibat tindakan medis (misalnya kesalahan prosedur operasi mata).3. Hifema akibat inflamasi yang parah pada iris dan badan silier, sehingga pembuluh darah pecah.4. Hifema akibat kelainan sel darah atau pembuluh darah (contohnya juvenile xanthogranuloma).5. Hifema akibat neoplasma (contohnya retinoblastoma).Berdasarkan waktu terjadinya, hifema dibagi atas 2 yaitu:1. Hifema primer, timbul segera setelah trauma hingga hari ke 2.2. Hifema sekunder, timbul pada hari ke 2-5 setelah terjadi trauma.
27
Hifema dibagi menjadi beberapa grade menurut Sheppard berdasarkan tampilan klinisnya:1. Grade I : Darah mengisi kurang dari sepertiga COA (58%)2. Grade II : Darah mengisi sepertiga hingga setengah COA (20%)3. Grade III : Darah mengisi hampir total COA (14%)4. Grade IV : Darah memenuhi seluruh COA (8%)EtiologiHifema biasanya disebabkan oleh trauma tumpul pada mata seperti terkena bola, batu, peluru senapan angin, dll. Selain itu, hifema juga dapat terjadi karena kesalahan prosedur operasi mata. Keadaan lain yang dapat menyebabkan hifema namun jarang terjadi adalah adanya tumor mata (contohnya retinoblastoma), dan kelainan pembuluh darah (contohnya juvenile xanthogranuloma).Hifema yang terjadi karena trauma tumpul pada mata dapat diakibatkan oleh kerusakan jaringan bagian dalam bola mata, misalnya terjadi robekan-robekan jaringan iris, korpus siliaris dan koroid. Jaringan tersebut mengandung banyak pembuluh darah, sehingga akan menimbulkan perdarahan. Perdarahan di dalam bola mata yang berada di kamera anterior akan tampak dari luar. Timbunan darah ini karena gaya berat akan berada di bagian terendah.PatofisiologiTrauma tumpul yang mengenai mata dapat menyebabkan robekan pada pembuluh darah iris, akar iris dan badan silier sehingga mengakibatkan perdarahan dalam bilik mata depan. Iris bagian perifer merupakan bagian paling lemah. Suatu trauma yang mengenai mata akan menimbulkan kekuatan hidraulis yang dapat menyebabkan hifema dan iridodialisis, serta merobek lapisan otot spingter sehingga pupil menjadi ovoid dan non reaktif. Tenaga yang timbul dari suatu trauma diperkirakan akan terus ke dalam isi bola mata melalui sumbu anterior posterior sehingga menyebabkan kompresi ke posterior serta menegangkan bola mata ke lateral sesuai dengan garis ekuator. Hifema yang terjadi dalam beberapa hari akan berhenti, oleh karena adanya proses homeostatis. Darah dalam bilik mata depan akan diserap sehingga akan menjadi jernih kembali.Manifestasi KlinisPasien akan mengeluh nyeri pada mata disertai dengan mata yang berair. Penglihatan pasien akan sangat menurun. Terdapat penumpukan darah yang terlihat dengan mata telanjang bila jumlahnya cukup banyak. Bila pasien duduk, hifema akan terlihat terkumpul di bagian bawah bilik mata depan, dan hifema dapat memenuhi seluruh ruang bilik mata depan. Selain itu, dapat terjadi peningkatan tekanan intra ocular, sebuah keadaan yang harus diperhatikan untuk menghindari terjadinya glaucoma.Akibat langsung terjadinya hifema adalah penurunan visus karena darah mengganggu media refraksi. Darah yang mengisi kamera okuli ini secara langsung dapat mengakibatkan tekanan intraokuler meningkat akibat bertambahnya isi kamera anterior oleh darah. Kenaikan tekanan intraokuler ini disebut glaukoma sekunder. Glaukoma sekunder juga dapat terjadi akibat massa darah yang menyumbat jaringan trabekulum yang berfungsi membuang humor aqueous yang berada di kamera anterior. Selain itu akibat darah yang lama berada di kamera anterior akan mengakibatkan pewarnaan darah pada dinding kornea dan kerusakan jaringan kornea.Terdapat pula tanda dan gejala yang relative jarang: penglihatan ganda, blefarospasme, edema palpebra, midriasis, dan sukar melihat dekat.Pemeriksaan1. Pemeriksaan ketajaman penglihatan: menggunakan kartu mata Snellen; visus dapat menurun akibat
kerusakan kornea, aqueous humor, iris dan retina.2. Lapangan pandang: penurunan dapat disebabkan oleh patologi vaskuler okuler, glaukoma.3. Pengukuran tonografi: mengkaji tekanan intra okuler.4. Slit Lamp Biomicroscopy: untuk menentukan kedalaman COA dan iridocorneal contact, aqueous flare, dan
synechia posterior.5. Pemeriksaan oftalmoskopi: mengkaji struktur internal okuler.6. Tes provokatif: digunakan untuk menentukan adanya glaukoma bila TIO normal atau meningkat ringanTatalaksana
28
Pasien dengan hifema yang tampak mengisi lebih dari 5% bilik mata depan sebaiknya diistirahatkan. Pemberian steroid tetes harus segera dimulai. Aspirin dan antiinflamasi nonsteroid harus dihindari. Dilatasi pupil dapat meningkatkan risiko perdarahan kembali sehingga mungkin ditunda sampai hifema reda dengan penyerapan spontan. Oleh karena itu, pemeriksaan dini untuk mencari kerusakan segmen posterior mungkin memerlukan pemeriksaan ultrasonografi. Mata sebaiknya diperiksa secara berkala untuk mencari adanya perdarahan sekunder, glaukoma, atau bercak darah di kornea akibat pigmen besi. Perdarahan ulang terjadi pada 16-20% kasus dalam 2-3 hari. Komplikasi ini memiliki risiko tinggi menimbulkan glaukoma dan pewarnaan kornea. Beberapa penelitian mengisyaratkan bahwa penggunaan asam aminokaproat oral (100 mg/kg setiap 4 jam sampai maksimum 30 g/hari selama 5 hari) untuk menstabilkan pembentukan bekuan darah sehingga menurunkan risiko perdarahan ulang. Tatalaksana glaukoma meliputi terapi topikal dengan penyekat-β (mis, timolol 0,25% 2 kali sehari), analog prostaglandin (mis, latanoprost 0,005% malam hari), dorzolamide 2% dua atau tiga kali sehari, atau apraclonidine 0,5% tiga kali sehari. Terapi oral dengan acetazolamide 250 mg per oral empat kali sehari, dan obat hiperosmotik (manitol, gliserol, dan sorbitol) dapat pula digunakan bila terapi topikal tidak efektif. Bedah drainase glaukoma mungkin diperlukan pada kasus-kasus yang sangat berat.Hifema harus dievakuasi secara bedah bila tekanan intraokular tetap tinggi (> 35 mmHg selama 7 hari atau 50 mmHg selama 5 hari) untuk menghindari kerusakan nervus optikus dan pewarnaan kornea, tetapi terdapat risiko terjadinya perdarahan kembali. Jika pasien mengidap hemoglobulinopati, besar kemungkinan terjadi atrofi optik glaukomatosa dan pengeluaran bekuan darah secara bedah harus dipertimbangkan lebih dari awal. Instrumen-instrumen vitrektomi digunakan untuk mengeluarkan bekuan di sentral dan membilas (levage) bilik mata depan. Dimasukkan alat irigasi dan probe mekanis di sebelah anterior limbus melalui bagian kornea yang jernih untuk menghindari kerusakan iris dan lensa. Jangan mencoba mengeluarkan bekuan yang terdapat di sudut bilik mata depan atau di jaringan iris. Di sini, dilakukan iridektomi perifer. Cara lain untuk membersihkan bilik mata depan adalah dengan evakuasi viskoelastik. Dibuat sebuah insisi kecil di limbus untuk menyuntikkan bahan viskoelastik, dan sebuah insisi yang lebih besar berjarak 180 derajat (dari insisi pertama) untuk memungkinkan hifema di dorong keluar.Glaukoma onset lambat dapat timbul setelah beberapa bulan atau tahun, terutama bila terdapat penyempitan sudut bilik mata depan lebih dari satu kuadran. Pada sejumlah kasus yang jarang, bercak darah di kornea menghilang secara perlahan-lahan dalam jangka waktu hingga satu tahun.
Bedah pada hifemaa. Parasentesis
Parasentesis merupakan tindakan pembedahan dengan mengeluarkan darah atau nanah dari bilik mata depan, dengan teknik sebagai berikut: dibuat insisi kornea 2 mm dari limbus ke arah kornea yang sejajar dengan permukaan iris. Biasanya bila dilakukan penekanan pada bibir luka maka koagulum dari bilik mata depan keluar. Bila darah tidak keluar seluruhnya maka bilik mata depan dibilas dengan garam fisiologik.
b. IridosiklitisPada trauma tumpul dapat terjadi reaksi jaringan uvea sehingga menimbulkan iridosiklitis atau radang uvea anterior.Pada mata akan terlihat mata merah, akibat adanya darah dalam bilik mata depan akan terdapat suar dan pupil yang mengecil dengan tajam penglihatan menurun.Pada uveitis anterior diberikan tetes midriatik dan steroid topikal. Bila terlihat tanda radang berat maka dapat diberikan steroid sistemik.Sebaiknya pada mata ini diukur tekanan bola mata untuk persiapan memeriksa fundus dengan midriatika.
PencegahanHifema dapat terjadi bila terdapat trauma pada mata. Gunakan kacamata pelindung saat bekerja di tempat terbuka atau saat berolahraga.Komplikasi
29
Kadang-kadang sesudah hifema hilang atau 7 hari setelah trauma dapat terjadi perdarahan atau hifema baru yang disebut hifema sekunder yang pengaruhnya akan lebih hebat karena perdarahan lebih sukar hilang.Glaukoma sekunder dapat pula terjadi akibat kontusi badan siliar berakibat suatu reses sudut bilik mata sehingga terjadi gangguan pengaliran cairan mata.Zat besi di dalam bola mata dapat menimbulkan siderosis bulbi yang bila didiamkan akan dapat menimbulkan fisis bulbi dan kebutaan.Hifema pada anak sebaiknya dipikirkan kemungkinan leukimia dan retinoblastoma.PrognosisPrognosis tergantung pada banyaknya darah yang tertimbun pada kamera okuli anterior. Biasanya hifema dengan darah yang sedikit dan tanpa disertai glaukoma, prognosisnya baik (bonam) karena darah akan diserap kembali dan hilang sempurna dalam beberapa hari. Sedangkan hifema yang telah mengalami glaukoma, prognosisnya bergantung pada seberapa besar glaukoma tersebut menimbulkan defek pada ketajaman penglihatan. Bila tajam penglihatan telah mencapai 1/60 atau lebih rendah maka prognosis penderita adalah buruk (malam) karena dapat menyebabkan kebutaan.
KebutaanDefinisiDalam Oftamologi, terminalogi kebutaan terbatas pada tidak dapatnya melakukan aktivitas sampai tidak terdapatnya cahaya. Menurut WHO mendefinisikan kebutaan sebagai suatu visual akuiti yang kurang dari 3/60 (Snellen) atau yang ekuivalennya. WHO juga menambahkan dengan ketidak sanggupan hitung jari pada siang hari pada jarak 3m.
Menjelaskan fisiologi kesadaran
RANGSANG
SPESIFIK NON SPESIFIK
SUBSTANSIA RETIKULARIS SUBSTANSIA RETIKULARIS30
FORMATIO RETIKULARIS FORMATIO RETIKULARIS
THALAMUS THALAMUS (inti intralaminar) (inti intralaminar)
Korteks Korteks (area spesifik) (seluruh bagian)
Kesadaran dibagi dua yaitu kualitas dan derajat kesadaran. Jumblah(kuantitas) input/rangsangan menentukan derajat kesadaran, sedangkan kualitas kesadaran ditentukan oleh cara pengolahan input yang menghasilkan output SSP. Pada topik koma kita lebih menitikberatkan kepada derajat dari kesadaran. Berdasarkan skema diatas kita dapat melihat bahwa input/rangsangan dibagi dua, spesifik dan non-spesifik. Input spesifik merujuk kepada perjalanan impuls aferen yang khas dimana menghasilkan suatu kesadaranyang khas pula. Lintasan yang digunakan impuls-impuls tersebut dapat dinamakan lintasan yang menghubungkan suatu titik pada tubuh dengansuatu titik di daerah korteks primer (penghantarannya berlangsung dari titik ketitik), yang berarti bahwa suatu titik pada kulit yang dirangsang mengirimkanimpuls yang akan diterima oleh sekelompok neuron dititik tertentu daerahreseptif somatosensorik primer. Setibanya impuls aferen di tingkat korteks terwujudlah suatu kesadaran akan suatu modalitas perasaan yang spesifik, yaitu perasaan nyeri di kaki atau di wajah atau suatu penglihatan, penghiduanatau suatu pendengaran tertentu.Input yang bersifat non-spesifik adalah sebagian dari impuls aferenspesifik yang disalurkan melalui lintasan aferen non-spesifik (lintasan ini lebihdikenal sebagai “diffuse ascending reticular system”) yang terdiri dariserangkaian neuron-neuron di substansia retikularis medulla spinalis danbatang otak yang menyalurkan impuls aferen ke thalamus (inti intralaminar).Inti intralaminar yang menerima impuls non-spesifik tersebut akan menggalakkan dan memancarkan impuls yang diterimanyamenuju/merangsang/menggiatkan seluruh korteks secara difuse dan bilateralsehingga timbul kesadaran/kewaspadaan.Karena itu, neuron-neuron inti intralaminar disebut “neuron penggalak kewaspadaan”, sedangkan neuron-neuron diseluruh korteks serebri yangdigalakkan disebut “neuron pengemban kewaspadaan. Apabila terjadi gangguan sehingga kesadaran menurun sampai derajatyang terendah, maka koma yang dihadapi dapat terjadi oleh sebab neuron pengemban kewaspadaan sama sekali tidak berfungsi (koma kortikal bihemisferik )’ atau oleh sebab ‘neuron penggalak kewaspadaan tidak berdaya untuk mengaktifkan neuron pengemban kewaspadaan(koma diensefalik )’. Dari penjelasan diatas kita dapat melihat bahwa berdasarkan susunananatomi, koma dibagi menjadi 2 yaitu;koma kortikal bihemisferik dan komadiensefalik .
31
Gambar 1.1 koordinasi system afferen
Definisi kegawatdaruratan penurunan kesadaran
Penurunan kesadaran atau koma merupakan salah satu kegawatan neurologi yang menjadi petunjuk kegagalan fungsi integritas otak dan sebagai final common pathway darigagal organ seperti kegagalan jantung, nafas dan sirkulasi akan mengarah kepada gagal otak dengan akibat kematian.
Klasifikasi koma
Koma kortikal bihemisferik
Neuron merupakan satuan fungsional susunan saraf. Berbeda secara struktur, metabolisme dan fungsinya dengan sel tubuh lain. Pertama, neuron tidak bermitosis.Kedua, untuk metabolismenya neuron hanya menggunakan O2dan glukosa saja. Sebab bahan baku seperti protein, lipid, polysaccharide dan zat lain yang biasa digunakan untuk metabolisme sel tidak dapat masuk ke neuron karena terhalang oleh ‘blood brain barrier’ . Angka pemakaian glukosa ialah 5,5 mg/100 gr jaringan otak/menit. Angka pemakaian O2ialah 3,3 cc/100 gr jaringan otak/menit. Glukosa yang digunakan oleh neuron 35% untuk proses oksidasi,50% dipakai untuk sintesis lipid, protein, polysaccharide, dan zat-zatlain yang menyusun infrastruktur neuron, dan 15% untuk fungsitransmisi.Hasil akhir dari proses oksidasi didapatkan CO2dan H2O serta ATPyang berfungsi mengeluarkan ion Na dari dalam sel danmempertahankan ion K di dalam sel. Bila metabolisme neuron tersebut terganggu maka infrastruktur dan fungsi neuron akan lenyap, bilamana tidak ada perubahan yang dapat memperbaiki metabolisme. Koma yang bangkit akibat hal ini dikenal juga sebagai KomaMetabolik.
Yang dapat membangkitkan koma metabolik antara lain:-Hipoventilasi-Anoksia iskemik.-Anoksia anemik.-Hipoksia atau iskemia difus akut.-Gangguan metabolisme karbohidrat.-Gangguan keseimbangan asam basa.-Uremia.-Koma hepatik -Defisiensi vitamin B.
32
Koma diensefalik
Koma akibat gangguan fungsi atau lesi struktural formationretikularis di daerah mesensefalon dan diensefalon (pusat penggalak kesadaran). Secara anatomik koma diensefalik dibagi menjadi 2 bagian utama yaitu koma akibat lesi supratentorial dan lesi infratentorial. Lesi supratentorial.
Proses desak ruang supratentorial, lama kelamaan mendesakhemisferium kea rah foramen magnum, yang merupakan satu-satunya jalan keluaruntuk suatu proses desak didalam ruang tertutup sepertitengkorak. Karena itu batang otak bagian depan (diensefalon) mengalami distorsi dan penekanan.Saraf-saraf otak mengalami penarikan dan menjadi lumpuh dansubstansia retikularis mengalami gangguan. Oleh karena itu bangkitlahkelumpuhan saraf otak yang disertai gangguan penurunan derajat kesadaran. Kelumpuhan saraf otak okulomotorius dan trokhlearis merupakan cirri bagi proses desak ruang supratentorial yangsedang menurun ke fossa posterior serebri
Lesi infratentorial.
Ada 2 macam proses patologik dalam ruang infratentorial (fossakranii posterior). Pertama, proses diluar batang otak atau serebelumyang mendesak system retikularis. Kedua, proses didalam batang otakyang secara langsung mendesak dan merusak system retikularis batang otak.
Etiologi penurunan kesadaran
Penyebab koma secara garis besar dapat disingkat/dibuat jembatankeledai menjadi kalimat “SEMENITE ”. Selain itu ada juga beberapa buku yangmenggunakan jembatan keledai yang berbeda tetapi memiliki pengertianyang sama. Dari jembatan keledai ini kita juga dapat membedakan manakahyang termasuk ke dalam koma bihemisferik ataupun koma diensefalik.
S ; Sirkulasi– gangguan pembuluh darah otak (perdarahan maupun infark)E ; Ensefalitis– akibat infeksi baik oleh bakteri, virus, jamur, dllM ; Metabolik – akibat gangguan metabolic yang menekan/mengganggukinerjaotak. (gangguan hepar, uremia, hipoglikemia, koma diabetikum, dsb).E ; Elektrolit – gangguan keseimbangan elektrolit (seperti kalium, natrium).N ; Neoplasma– tumor baik primer ataupun sekunder yang menyebabkanpenekanan intracranial. Biasanya dengan gejala TIK meningkat(papiledema, bradikardi, muntah).I ; Intoksikasi – keracunan.T ; Trauma– kecelakaan.E ; Epilepsi
Pemeriksaan GCS
kesadaran dapat dinilai dengan menggunakanGlasgow ComaScale (GCS) yang meliputi pemeriksaan untuk Penglihatan/ Mata (E), PemeriksaanMotorik (M ) dan Verbal (V). Pemeriksaan ini mempunyai nilai terendah3 dan nilaitertinggi15.
Pemeriksaan derajat kesadaran GCS untuk penglihatan/ mata:E1 tidak membuka mata dengan rangsang nyeri
33
E2membuka mata dengan rangsang nyeriE3membuka mata dengan rangsang suaraE4 membuka mata spontanMotorik:M1 tidak melakukan reaksi motorik dengan rangsang nyeriM2 reaksi deserebrasi dengan rangsang nyeriM3 reaksi dekortikasi dengan rangsang nyeriM4 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi tidak mencapai sasaranM5 reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi mencapai sasaranM6 reaksi motorik sesuai perintah
Verbal:V1 tidak menimbulkan respon verbal dengan rangsang nyeri (none)V2 respon mengerang dengan rangsang nyeri (sounds)V3 respon kata dengan rangsang nyeri (words)V4 bicara dengan kalimat tetapi disorientasi waktu dan tempat (confused)V5 bicara dengan kalimat dengan orientasi baik (orientated)
Nilai GCSa. Skor 14-15 : compos mentis b. Skor 12-13 : apatisc. Skor 11-12 : somnolentd. Skor 8-10 : stupore. Skor < 5 : koma
Tatalaksana secara umum Penatalaksanaan penderita koma secara umum harus dikelola menurut prinsip 5 B yaitu 1.BreathingJalan napas harus bebas dari obstruksi.Posisi penderita miring agar lidah tidak jatuh kebelakang,serta bilamuntah tidak terjadi aspirasi. Bila pernapasanberhenti segera lakukan resusitasi.
2.BloodDiusahakan tekanan darah cukup tinggi untukmengalirkan darah ke otak. Tekanan darah yang rendahberbahaya untuk susunan saraf pusat. Komposisi kimiawidarah dipertahankan semaksimal mungkin, karenaperubahan-perubahan tersebut akan mengganggu perfusidan metabolisme otak.
3.BrainUsahakan untuk mengurangi edema otak yangtimbul. Bila penderita kejang sebaiknya diberikandifenilhidantoin 3 dd 100 mg atau karbamezepin 3 dd 200 mgper os atau nasogastric. Bila perlu difenilhidantoin diberikanintravena secara perlahan.
4.BladderHarus diperhatikan fungsi ginjal, cairan,elektrolit, dan miksi. Kateter harus dipasang kecuali terdapat inkontinensia urin ataupun infeksi.
5.BowelMakanan penderita harus cukup mengandungkalori dan vitamin. Pada penderita tua sering terjadikekurangan albumin yang memperburuk edema otak, hal iniharus cepat dikoreksi. Bila terdapat kesukaran menelandipasang sonde hidung. Perhatikan defekasinya dan hindariterjadi obstipasi
Resusitasi Jantung Paru (RJP)
34
Definisi
Tindakan yang dilakukan untuk mengatasi henti nafas dan henti jantungTujuan
Untuk mengatasi henti nafas dan henti jantung sehingga dapat pulih kembaliIndikasi :
1. Henti nafas (Respiratory Arrest), henti nafas yang bukan disebabkan gangguan pada jalan nafas dapat terjadi karena gangguan pada sirkulasi (asistole, bradikardia, fibrilasi ventrikel)2. Henti jantung (Cardiac Arrest) dapat disebabkan oleh beberapa hal seperti: Hipoksemia karena berbagai sebab Gangguan elektrolit (hipokalemia, hiperkalemia, hipomagnesia) Gangguan irama jantung (aritmia) Penekanan mekanik pada jantung (tamponade jantung, tension pneumothoraks)
Diagnosis : Tidak terdapat adanya pernafasan (dengan cara Look-Listen-Feel) Tidak ada denyut jantung karotisPerhatian :Pada pasien yang telah terpasang monitor EKG dan terdapat gambaranasistole pada layar monitor, harus selalu dicek denyut nadi karotis untuk memastikan adanya denyut jantung. Begitu juga sebaliknya pada pasien terpasang monitor EKG yang telah di-RJP terdapat gambaran gelombang EKG harus diperiksa denyut nadi karotis untuk memastikan apakah sudah teraba nadi (henti jantung sudah teratasi) atau hanya gambaran EKGpulseless. Jika nadi karotis belum teraba maka RJP dilanjutkan
TindakanTanpa alat :a. memberikan pernafasan buatan dan pijat jantung luar dengan perbandingan 2 : 30 dalam 2 menit (5 siklus). Tiap 5 siklus dievaluasi dengan mengecek pernafasan (LLF) dan jantung (perabaan nadi karotis). Jika masih henti jantung dan henti nafas, RJP dilanjutkanDengan alat :Untuk mencapai hasil RJP yang lebih baik harus segera diusahakan pemasangan intubasi endotrakealRJP dihentikan bila : Jantung sudah berdetak ditandai adanya nadi dan nafas sudah spontan Mengecek nadi dan pernafasan Penolong sudah kelelahan Pasien dinyatakan tidak mempunyai harapan lagi/meninggal
Aplikasi RJP (Resusitasi Jantung Paru)1. Jika kita melihat pasien/korban yang tergeletak tampak tidak bernafas, pertama kali yang kita harus lakukan adalah memastikan bahwa lingkungan di sekitar korban yang tergeletak itu aman. Jika belum aman (misalnya korban tergeletak di tengah jalan raya atau di dalam gedung terbakar), maka korban harus dievakuasi/dipindah terlebih dahulu ke tempat yang aman dan memungkinkan mendapatkan pertolongan.2. Nilai respon pasien apakah pasien benar-benar tidak sadar atau hanya tidur saja. Mengecek kesadarannya dengan cara memanggil-manggil nama pasien, menepuk atau menggoyang bahu pasien, misalnya “Pak-pak bangun !” atau “Bapak baik-baik saja?” Jika masih belum sadar atau bangun juga bisa diberi rangsang nyeri seperti menekan pangkal kuku jari. Jika pasien sadar, tanyakan mengapa ia terbaring di tempat ini. Jika pasien sadar, terlihat kesakitan atau terluka segera cari bantuan dan kemudian kembali sesegera mungkin untuk menilai kondisi pasien.3. Jika tidak ada respon berarti pasien tidak sadar. Aktifkan sistem emergensi dengan cara meminta tolong dibawakan alat-alat emergensi atau dipanggilkan petugas terlatih atau ambulan jika berada di luar RS. Misalnya ‘Tolong ada pasien tidak sadar di ruang A, ”tolong panggil petugas emergensi ” atau ”Tolong ambil alat-alat emergensi ada pasien tidak sadar di ruang A”. Jika di lapangan : ”Tolong ada pasien tidak sadar di pantai tolong panggil ambulan atau 118 ”. Jika yang menemukan korban tidak sadar lebih dari satu orang, maka satu orang
35
mengaktifkan sistem emergensi sedangkan lainnya menilai kondisi pasien. INGAT ! Dalam menolong pasien tidak sadar, kita tidak mungkin bekerja sendiri jadi harus meminta bantuan orang lain. Dalam meminta bantuan, penolong harus menginformasikan kepada petugas gawat darurat mengenai lokasi kejadian, penyebabnya, jumlah dan kondisi korban dan jenis pertolongan yang akan diberikan. Jika tersedia alat defibrilator dengan AED (Automatic Emergency Defibrilator), maka kita dapat menyiapkannya untuk pemeriksaan heart rate dan irama jantung dan jika ada indikasi melakukan defibrilasi.4. Gunakan manuver chin lift untuk membuka jalan nafas korban yang tidak mengalami cedera kepala dan leher. Jika diperkirakan ada trauma leher maka gunakan tehnik jaw thrust. Untuk lebih jelas lihat kembali pengelolaan jalan nafas.Periksa pernafasan dengan menggunakan tehnik LLF (Look, Listen, Feel) dengan tetap mempertahankan terbukanya jalan nafas selama 10 detik. Teknik LLF dapat dilihat di pengelolaan jalan nafas.5.Jika yakin tidak ada pernafasan maka segera beri nafas buatan dua kali pernafasan dengan tetap menjamin terbukanya jalan nafas. Bisa dengan mulut ke mulut/hidung atau dengan menggunakan sungkup muka. Satu kali pernafasan selama satu detik sampai dada tampak mengembang. Jika dada tidak mengembang kemungkinan pemberian nafas buatan tidak adekuat atau jalan nafas tersumbat.6. Setelah nafas buatan diberikan segera nilai sirkulasi dengan mengecek nadi arteri karotis. Nadi carotis dapat diraba dengan menggunakan 2 atau 3 jari menempel pada daerah kira-kira 2 cm dari garis tengah leher atau jakun pada sisi yang paling dekat dengan pemeriksa. Waktu yang tersedia untuk mengukur nadi carotis sekitar 5 – 10 detik.7. Jika nadi teraba, nafas buatan diteruskan dengan kecepatan 10-12 kali/menit atau satu kali pernafasan diberikan setiap 5-6 detik disertai pemberian oksigen dan pemasangan infus. Jika perlu pemasangan ETT dan ventilator. Pemantauan/monitoring terus dilakukan. Pemeriksaan denyut nadi dilakukan setiap 2 menit sampai pasien stabil. Pasien dirawat di ruangIntensif Care Unit (ICU). Penyebab henti nafas harus dicari dengan melakukan anamnesis pada keluarga penderita dan pemeriksaan fisik8. Pikirkan penyebabnya hipotensi/syok, edema paru, infark myokard dan aritmia. Aritmia bisa berupa aritmia yang sangat cepat seperti Supra Ventrikel Takikardi (SVT), atrial flutter, atrial fibrilasi, ventrikel takikardi. Aritmia sangat lambat bisa berupa AV blok derajat II dan derajat III. Koreksi penyebab atau konsul ke dokter ahli.9. Jika nadi tidak teraba segera lakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP) dengan perbandingan kompresi dada (pijat jantung luar) 30 dan ventilasi (nafas buatan) 2. Kecepatan kompresi dada adalah 100 kali/menit. Kompresi dada merupakan tindakan yang berirama berupa penekanan telapak tangan pada tulang sternum sepertiga bagian bawah dengan tujuan memompa jantung dari luar sehingga aliran darah terbentuk dan dapat mengalirkan oksigen ke otak dan jaringan tubuh. Usahakan mengurangi penghentian kompresi dada selama RJP.
Cara melakukan RJP :a.Penderita harus berbaring terlentang di atas alas yang keras. Posisi penolong berlutut di sisi korban sejajar dengan dada penderita.b.Penolong meletakkan bagian yang keras telapak tangan pertama penolong di atas tulang sternum di tengah dada di antara kedua puting susu penderita (2-3 jari di atas prosesus Xihoideus) dan letakkan telapak tangan kedua di atas telapak tangan pertama sehingga telapak tangan saling menumpuk. Kedua lutut penolong merapat, lutut menempel bahu korban, kedua lengan tegak lurus, pijatan dengan cara menjatuhkan berat badan penolong ke sternum.
36
c. Tekan tulang sternum sedalam 4-5 cm (1 ½ - 2 inci) kemudian biarkan dada kembali normal (relaksasi). Waktu kompresi dan relaksasi dada diusahakan sama. Jika ada dua penolong, penolong pertama sedang melakukan kompresi maka penolong kedua sambil menunggu pemberian ventilasi sebaiknya meraba arteri karotis untuk mengetahui apakah kompresi yang dilakukan sudah efektif. Jika nadi teraba berarti kompresi efektif.d. Setelah 30 kali kompresi dihentikan diteruskan dengan pemberian ventilasi 2 kali (1 siklus = 30 kali kompres dan 2 kali ventilasi). Setiap 5 siklus dilakukan monitoring denyut nadi dan pergantian posisi penolong jika penolong lebih dari satu orang.e. Jika terpasang ETT maka tidak menggunakan siklus 30 : 2 lagi. Kompresi dilakukan dengan kecepatan 100 kali/menit tanpa berhenti dan ventilasi dilakukan 8-10 kali/menit. Setiap 2 menit dilakukan pergantian posisi untuk mencegah kelelahan.RJP pada anak1. Letakkan penderita pada posisi terlentang di atas alas yang keras2. Tiup nafas dua kali (tanpa alat atau dengan alat)3. Pijat jantung dengan menggunakan satu tangan dengan bertumpu pada telapak tangan di atas tulang dada, di tengah sternum.4. Penekanan tulang dada dilakukan sampai turun ± 3-4 cm dengan frekuensi 100 kali/menit.RJP pada bayi1. Letakkan penderita pada posisi terlentang di atas alas yang keras2. Tiup nafas 2 kali3. Untuk pijat jantung gunakan penekanan dua atau tiga jari. Bisa menggunakan ibu jari tangan kanan dan kiri menekan dada dengan kedua tangan melingkari punggung dan dada bayi. Bisa juga dengan menggunakan jari telunjuk, jari tengah dan atau jari manis langsung menekan dada.4. Tekan tulang dada sampai turun kira-kira sepertiga diameter anterior-posterior rongga dada bayi dengan frekuensi minimal 100 kali/menit.RJP pada situasi khusus1. TenggelamTenggelam merupakan penyebab kematian yang dapat dicegah. Keberhasilan menolong korban tenggelam tergantung dari lama dan beratnya derajat hipoksia.
Penolong harus melakukan RJP terutama memberikan bantuan nafas, secepat mungkin setelah korban dikeluarkan dari air. Setelah melakukan RJP selama 5 siklus barulah seorang penolong mengaktifkan system emergensi. Manuver yang dilakukan untuk menghilangkan sumbatan jalan nafas tidak direkomendasikan karena bisa menyebabkan trauma, muntah dan aspirasi serta memperlambat RJP.2. HipotermiPada pasien tidak sadar oleh karena hipotermi, penolong harus menilai pernafasan untuk mengetahui ada tidaknya henti nafas dan menilai denyut nadi unuk menilai ada tidaknya henti jantung atau adanya bradikardi selama 30-45 detik karena frekuensi jantung dan pernafasan sangat lambat tergantung derajat hipotermi.Jika korban tidak bernafas, segera beri pernafasan buatan. Jika nadi tidak ada segera lakukan kompresi dada. Jangan menunggu suhu tubuh menjadi hangat. Untuk mencegah hilangnya panas tubuh korban, lepaskan pakaian basah, beri selimut hangat jika mungkin beri oksigen hangat.3. Sumbatan jalan nafas oleh benda asing
Posisi sisi mantap (recovery position)Posisi ini digunakan untuk korban yang tidak sadar yang telah bernafas normal dan sirkulasi aman. Posisi ini dibuat untuk menjaga jalan nafas tetap terbuka dan mengurangi risiko sumbatan jalan nafas dan aspirasi. Caranya korban diletakkan miring pada salah satu sisi tubuh dengan tangan yang dibawah berada di depan badan.
37
Daftar Pustaka
☼ Sobotta J, Putz R. 2006. Sobotta Atlas of Human . 14th ed. Elsevier Urban & Fisher, Amsterdam☼ Snell RS. 2012. Clinical Anatomy by Regions . 9th ed. Lippincott Williams & Wilkins, a Wolter Kluwer,
Philadelphia☼ Pineiro LM. 2007. Uretral Trauma.On Urology Emergency.Springer ☼ Mechem CC. 2010. Pelvic Fracture in Emergency Medicine. Di unduh melalui
http://emedicine.medscape.com/article/825869-overview#a0104 pada 28 September 2012☼ Martin AC, Louis JM, Stephanie AS, et all. 2006. Emergent Pelvic Fixation in Patients with Exsanguinating
Pelvic Fractures. Elsevier Urban & Fisher, Amsterdam. Diunduh melalui http://www.sciencedirect.com/science/article/pii/S1072751507001408 pada 28 September 2012
☼ Mardjono M, Sidharta P. 2008. Neurologi Klinis Dasar. Dian Rakyat, Jakarta☼ Ilyas S. 2005. Hifema. dalam : Ked arurata n dalam Ilmu Penyakit Mata . Cetakan Ke-3.Balai
penerbit FKUI, Jakarta☼ Harsono. 2005. Buku Ajar Neurologis Klinis, 3rd ed. Penerbit Gajah Mada University Press, Jogjakarta☼ Feliciano D, Mattox K, Moore E. 2007. Pelvic Trauma on Trauma Manual . 4th edition. McGraw Hill, New York☼ Cowan N. 2005. Uretral Trauma on Urological Emergency in Clinical Practice. Springer, New Zealand
38