uin syarif hidatullah -...

88
WALI ADHAL DALAM PERSPEKTIF EMPAT IMAM MADHAB DAN RELEVANSINYA HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) Uinversitas Islam Negri UIN SYARIF HIDATULLAH Oleh : ENDANG SETIAWAN NIM: 204044103023 PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH KONSENTRASI PERADILAN AGAMA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/ 2011 M

Upload: hangoc

Post on 14-Aug-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

WALI ADHAL DALAM PERSPEKTIF EMPAT IMAM MADHAB

DAN RELEVANSINYA HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Uinversitas Islam Negri

UIN SYARIF HIDATULLAH

Oleh :

ENDANG SETIAWAN

NIM: 204044103023

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

KONSENTRASI PERADILAN AGAMA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1432 H/ 2011 M

Page 2: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

WALI ADHAL DALAM PERSPEKTIF EMPAT IMAM MADHAB

DAN RELEVANSINYA HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA

Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh :

ENDANG SETIAWAN

NIM: 204044103023

Di bawah bimbingan

Drs. H. Ahmad Yani, MA NIP. 19640412194031004

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH KONSENTRASI PERADILAN AGAMA FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1432 H/ 2011 M

Page 3: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul “WALI ADHAL DALAM PERSPEKTIF EMPAT IMAM MADHAB

DAN RELEVANSINYA HUKUM PERKAWINAN DI INDONESIA”

Telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri

Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 10 Februari 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai

salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI) pada Jurusan Akhwal

Syahsiyah.

Jakarta, 10 Februari 2011

Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM

NIP. 195505051982031012

PANITIA UJIAN

Ketua : Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag (........................................)

NIP. 196404121994031004

Sekretaris : Moch Syafi’i, SEI (........................................)

NIP.

Pembimbing : Drs. H. Ahmad Yani, M.Ag (........................................)

NIP. 196404121994031004

Penguji I : prof. Dr. H. Hasanudin.,AF.,MA (.........................................)

NIP.150150917

Penguji II : Sri Hidayati. M.Ag (..........................................)

NIP.19710215119970320

Page 4: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di Universitas Islam Negeri

(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Jakarta, 19 Januari 2011 M 14 Shafar 1432 H

Endang Setiawan

Page 5: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

ABSTRAK

ENDANG SETIAWAN, Nim: 204044103023 TELA’AH MAZHAB FIKIH TENTANG WALI ADHAL DALAM PERKAWINAN ISLAM DI INDONESIA Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah Konsentrasi Peradilan Agama, Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2010 Kata Kunci: Pernikahan , Perwalian, Wali adhal. Dalam perbankan, salah satu yang dijual adalah jasa, yaitu pelayanan. Karena secara langsung akan berpengaruh pada jumlah nasabah yang akan semakin bertambah atau berkurang. Semakin baik pelayanan suatu bank semakin banyak nasabah yang menabung dibank tersebut, yang tentu saja nasabah tidak akan memindahkan dana mereka di tempat lain....................................................................................................... ( i + 86 + Lampiran)

v

Page 6: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

MOTTO

Dengan menyebut Asmamu

Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah yang menciptakan cahaya di atas

cahaya, beri anugrah pada ayah dan ibuku, beri cita- citamu pada mereka agar aku tahu mereka

sangat kau sayangi, karena merekalah cermin hidupku.”

Goresan kita tak cukup menaung makna untukmu yah dan ibuku beribu helai kertas tak

cukup untuk menguap terima kasih ibu penghargaanku padamu melebihi apapun, setiap senyum,

tatapan mata, dan serta doa yang mengantarkanmu meraih ilmu, buatku merasa pantas

menggores namamu di helai pertama terima kasih untuk peluk, cinta, karyaku semua

karenamu, ibu, bapak tak ada lelaki yang sanggup menandingi kesabaranmu sedikit kata

mengungkapbijaksana, dukungan, kasih sayang, serta wibawamu, membuatku yakin kau yang

terbaik untukmu dan anakmu.

Ayah, ibu rasa hormat, tunduk, dan patut ananda, hanya bisa menghasilkan sebuah karya kecil,

yang aku harap bisa menghantarkan pada suatu jalan hidup, masa depan yang baik.

Ayah, ibu terima kasih buat semuanya, peluk cium, serta cinta kasih kalian,

selalu memberikan nada dalam setiap helai tulisan ini.

Page 7: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

KATA PENGANTAR

Segala puji sukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

segala Rahmat-Nya, hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat dan salam selalu tercurahkan

kepada junjungan alam Baginda Besar Nabi Muhammad SAW.

Penulisan karya Ilmiah dalam bentuk sekripsi ini merupakan salah satu bagian syarat

untuk menyelesaikan studi strata satu (S1) guna memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (S.HI)

di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Kebahagiaan yang tak ternilai

bagi penulis secara pribadi adalah dapat mempersembahkan yang terbaik kepada kedua orangtua,

seluruh keluarga dan pihak-pihak yang telah ikut andil dalam penyelesaian karya ilmiah ini.

Sebagai bentuk penghargaan yang tidak terlukiskan, penulis sampaikan ucapan terima

kasih sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM. Dekan Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Drs. H.A. Basiq Djalil, SH, MA. Ketua Program Studi Ahwalu Al Sakhshiyyah dan Kama

Rusdiana, S.Ag, MH. Sekretaris Program Studi Ahwalu Al Sakhshiyyah yang telah

membantu penulis secara tidak langsung dalam menyiapkan skripsi ini.

3. Drs. Djawahir Hajazziey, SH, MA Ketua Program Non Reguler dan Drs. H. Ahmad Yani,

MA. Sekretaris Program Non Reguler.

4. Drs. Djawahir Hajazziey, SH, MA, Dosen pembimbing yang telah meluangkan waktunya

memberikan bimbingan dan pengarahan serta bantuan literatur dalam proses penyelesaian

tugas akhir ini.

vi

Page 8: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

vii

5. Segenap pengurus dan pegawai perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta, beserta setaf-setafnya yang tak bosan-bosanya melayani penulis

dalam proses penulisan sekripsi ini.

6. Rasa ta`dzim dan terima kasih yang mendalam kepada Ayahanda khaerudin dan Ibunda

erohaeni atas dukungan moril dan materiil, kesabaran, keikhlasan, perhatian, serta cinta

dan kasih sayang yang tidak habis-habisnya bahkan Do’a-do’a munajatnya yang tak henti-

hentinya siang dan malam kepada Allah SWT. Penulis persembahkan skripsi ini. untuk

kedua orangtua .

7. Kakak dan adikku tersayang: agus salim,n lukman Hakim,adik-adikku ulpah,henti,anwar

yang telah memberikan dukungan semangat. Terima kasih untuk semua perhatian dan

kasih sayangnya.

Dan akhirnya penulis akhiri dengan rasa Syukur kepada Allah SWT, Raja dari segala

Raja, pencipta Jagad Raya dan penguasa Ilmu Pengetahuan, Dengan segala kelemahan dan

kekurangan, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi para pembaca

pada umumnya. Semoga Allah SWT senantiasa meridhoi setiap langkah kita. Amin.

Jakarta, 19 Januari 2011 M 14 Shafar 1432 H

Endang Setiawan

Page 9: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... i

LEMBAR PERNYATAAN .......................................................................... ii

MOTO……………………………………………………………………….. iii

KATA PENGANTAR ................................................................................... iv

DAFTAR ISI .................................................................................................. vii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah........................................................ 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.................................... 5

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................. 6

D. Reviw Studi Terdahulu ......................................................... 7

E. Metode Penelitian ................................................................. 9

F. Sistematika Penulisan ........................................................... 10

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG WALI DALAM PERKAWINAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Wali Nikah ........................... 12

B. Syarat-syarat Wali Nikah ..................................................... 17

C. Macam-macam Wali dalam Perkawinan ............................. 24

D. Kedudukan Wali dalam Perkawinan..................................... 30

Page 10: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

BAB III WALI ADHAL DALAM FIQH MADZHAB

A. Definisi Wali Adhal ............................................................. 32

B. Latar Belakang Wali Adhal................................................... 37

C. Kriteria Wali Adhal .............................................................. 46

BAB IV PERSPEKTIF EMPAT IMAM MADZHAB TENTANG WALI

ADHAL

A. Menurut Madzhab Maliki ..................................................... 48

B. Menurut Madzhab Hambali .................................................. 50

C. Menurut Madzhab Hanafi ..................................................... 54

D. Menurut Madzhab Syafi’i ...................................................... 55

E. Relevansi Pendapat Empat Imam Madzhab dengan Hukum

Perkawinan di Indonesia ....................................................... 62

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................... 65

B. Saran-Saran ........................................................................... 68

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 70

LAMPIRAN

Page 11: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan adalah merupakan salah satu ajaran syariat Islam. Di dalam

suatu perkawinan, perwalian adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dari

kegiatan itu sendiri, karena seorang wali adalah orang yang harus ada pada

saat dilangsungkannya suatu perkawinan. Keterlibatan seorang wali di dalam

suatu perkawianan, sangatlah menentukan (sah atau tidaknya) akad

perkawinan dalam pandangan syari’at Islam.1

Sebagai salah satu syarat sahnya perkawinan adalah adanya seorang wali,

sebab itu wali menempati kedudukan yang sangat penting dalam perkawinan,

seperti diketahui dalam prakteknya yang mengucapkan ikrar ijab adalah pihak

perempuan dan yang mengucapkan ikrar qabul adalah pihak laki-laki,

disinilah peranan wali yang sangat menentukan sebagai wakil dari pihak calon

pengantin perempuan.2 Mengenai keberadaan wali yang sedemikian penting

ini pernah di ungkapkan oleh Nabi Muhammad SAW melalui haditsnya yang

diriwayatkan oleh sejumlah perawi hadits, yang bermula dari Abu Mua Al-

1Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Jakarta: Majelis al-A’la al-Indonesia li al-

Dakwah al-Islamiyah, 1972), Cet. IX, h. 100 2Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: H. Dakarya Agung, 1979), h.53

1

Page 12: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

Asy’ari dan dari Aisyah r.a, dari Nabi Muhammad SAW bahwa beliau pernah

bersabda:

نإ فلاط بلاط بلاطا بهاحكنا فهيل ونذ إريغ بتا آمرأميأ ويلو بال إاحك نال

.ه ليل و الن ميلو انطلالس فيلا وه لنك يمل

“Tidak ada nikah melainkan dengan adanya wali, siapa saja perempuan yang nikah tanpa memperoleh izin dari walinya maka nikahnya batal, batal, batal, kemudian jika perempuan itu tidak ada walinya maka penguasa (Hakim) yang menjadi wali bagi perempuan yang tidak ada walinya itu”3

Jika perempuan itu tidak ada walinya maka penguasa (hakim) yang

menjadi pengganti bagi perempuan yang tidak ada walinya itu, pernyataan

ayat hadits dari Nabi di atas cukup jelas, bahwa seorang wali sungguh tidak

bisa di abaikan begitu saja bagi terselenggaranya suatu akad perkawinan yang

tentu saja menghendaki jaminan hukum yang sah menurut pandangan syara.

Namun demikian, keberadaan seorang wali yang sangat menentukan ini, tidak

lepas dari kemungkinan akan menghadapi suatu kesulitan. Diantaranya ialah

manakala wali yang bersangkutan justru memperlihatkan keengganan adalnya

untuk melangsungkan akad perkawinan.

Dengan adanya permasalahan tersebut, kiranya penulis menganggap

penting untuk diungkapkan dan dipecahkan. Dan di sini pula pentingnya

mengungkap kajian Madzhab Fiqh empat yang populer dikalangan umat

3Muhammad bin Ali bin Muhammad As Syaukani, Nailul Autar, Syar Muntahal Akbar, Juz

IV,(Beirut Darul Fikri, TT) h. 230

Page 13: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

Islam di Indonesia khususnya yaitu: Maliki, Hambali, Hanafi, dan Syafi’i

guna memperoleh kejelasan yang lebih rinci, terutama mengenai upaya

penyelesaianya terhadap problem kewalian di atas, dengan tetap berpijak pada

kajian dan penelusuran pendapat ahli fikih klasik yang saat ini masih

dijadikan pedoman hukum oleh umat Islam.

Sebagaimana keberagaman pendapat dari Madzhab fikih yang menjadi

penelitian penulis tentang perwalian dalam perkawinan. Misalnya pandangan

pendapat dari empat madzhab populer mengenai kedudukan wali nikah dalam

hukum Islam adalah sebagai salah satu rukun perkawinan, oleh karena itu

Imam Syafi’i berpendapat, bahwa perkawinan dianggap tidak sah atau batal,

apabila wali dari pihak calon pengantin perempuan tidak ada. Hal itu berbeda

pendapat dengan Imam Hanafi yang menyatakan bahwa wali nikah tidak

merupakan salah satu rukun nikah. Karena itu, nikah dipandang sah sekalipun

tanpa wali.4

Adapun menurut Kompilasi Hukum Islam, sebenarnya subtansi dari

perkawinan itu lebih pada kebahagiaan yang di dapat, seperti yang terdapat

pada pasal 2 dinyatakan bahwa perkawinan dalam Islam adalah “Pernikahan

4R. Subekti. R. Tjirosudibyo, Terjemah Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT.

Pradnya Paramita, 1999), Cet. Ke-29, h. 5

Page 14: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

adalah aqad yang sangat kuat atau mitsaqan ghalidhan untuk menaati perintah

Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.5

Berdasarkan pengertian di atas, hakikat perkawinan adalah persekutuan

hidup seorang pria dan seorang wanita yang tak terputuskan. Kesatuan dan

sifat tak terputuskan ini merupakan sifat-sifat esensial perkawinan, jadi

perkawinan bukanlah untuk sesaat saja akan tetapi kalau mungkin untuk

sekali dan seumur hidup.6

Langgengnya kehidupan dalam ikatan perkawinan merupakan suatu tujuan

yang sangat diutamakan dalam Islam. Aqad nikah diadakan adalah untuk

selamanya dan seterusnya hingga meninggal dunia, agar suami isteri bersama-

sama dapat mewujudkan rumah tangga sebagai tempat berlindung menikmati

naungan kasih sayang dan dapat memelihara anak-anaknya hidup dalam

pertumbuhan yang baik. Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa ikatan antara

suami isteri adalah ikatan paling suci dan paling kokoh, sehingga tidak ada

suatu dalil yang lebih jelas menunjukkan tentang sifat kesuciannya yang

demikian agung itu, lain dari pada Allah sendiri, yang menanamkan ikatan

perjanjian antara suami isteri dengan mitsaqan ghalidhan (perjanjian yang

kokoh).7

5Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo,

2004), h. 13 6 Slamet Abidin, dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 1998), h. 9 7Jaih Mubarok, Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), h. 2

Page 15: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

Oleh karena keberagaman dari mazhab fikih dalam menentukan penting

atau tidaknya seorang perwalian dalam perkawinan, maka ini menjadi

persoalan yang menarik menurut penulis, karena itu persoalan tersebut akan

penulis teliti dalam bentuk skripsi dengan judul “Wali ‘adhal dalam

perspektif Empat imam mazhab dan relevansinya dengan hukum positif

SPerkawinan Islam di Indonesia”.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Agar pembahasan dalam penelitian skripsi ini lebih terarah, maka penulis

membatasi lingkup permasalahan yang terjadi dalam hal-hal yang berkenaan

dengan masalah Wali adhal dalam persepektif empat imam Madzhab dan

relevansinya hukum perkawinan Islam di Indonesia.

1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan

sebelumnya, agar pembahasan ini tidak meluas maka dalam penelitian ini

peneliti terfokus pada tinjauan Mazhab Fikih Islam terhadap problematika

ke’adhalan wali dan upaya ketentuan hukum dalam pengembangan

mazhab Fikih Islam untuk mengantisipasi munculnya wali ‘adhal.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka pokok permasalahan

yang dihadapi adalah sesuai dengan ketentuan hukum tentang

Page 16: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

keberagaman pendapat mazhab fikih yang mestinya perkawinan itu secara

teoritis adanya wali ‘adhal. Lalu apakah benar keberagaman pendapat

mazhab pikih islam mewajibkan perwalian dalam perkawinan.

Selanjutnya dapat penulis rumuskan sebagai berikut:

Page 17: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

1) Apakah beragamnya pendapat mazhab fikih Islam mewajibkan

perwalian dalam perkawinan?

2) Bagaimana perspektif Empat Imam Mazhab fikih tentang wali adhal

dan relevansinya dengan hukum perkawinan di indonesia?

Rincian di atas adalah merupakan kerangka pertanyaan yang hendak di

teliti dan dicarikan jawabannya, sehingga peneliti ini diarahkan dalam

kerangka pencarian jawaban tersebut dilakukan dalam proses identifikasi

terhadap fakta dan realita hukum baik yang sedang berlaku maupun yang

pernah berlaku.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana beragamnya pendapat mazhab fikih

islam mewajibkan perwalian dalam perkawinan.

2. Untuk mengetahui Bagaimana perspektif Empat Imam Mazhab fikih

tentang wali adhal dan relevansinya dengan hukuh perkawinan di

indonesia.

3. Manfaat Penelitian

Page 18: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

Adapun manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagi Peneliti

Untuk menambah wawasan dan pengetahuan teoritis mengenai

perwalian dalam pernikahan terutama wali ‘adhal serta tambahan

informasi yang bermanfaat dan relevansinya bagi mahasiswa yang akan

menyusun sebuah penelitian yang akan datang.

2. Bagi Akademis

Sebagai wacana informasi dan masukan dalam mengadakan

penelitian lebih lanjut dibidang pernikahan dan perwalian.

D. Riview Studi Terdahulu

Sebelum masuk lebih jauh mengenai pembahasan penelitian ini, ada

beberapa penelitian terdahulu yang mengangkat pembahasan yang hampir

sama dengan yang dituliskan oleh penulis, namun tentunya ada sudut

perbedaan dalam hal pembahasan maupun obyek kajian dalam penelitian ini,

adapun penelitian tersebut diantaranya adalah:

1. Ade Puspita Sari, 2008, Penyelesaian Perkara Wali ‘adhal Di Pengadilan

Agama Cibinong, pada penelitian ini penulis membahas mengenai status

pernikahan wanita bila walinya menolak menikahkan juga membahas

mengenai gambaran dan uraian faktor yang menyebabkan timbulnya wali

Page 19: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

menolak utuk menikahkan anak perempuannya skripsi ini juga membahas

cara penyelesaian apabila terjadi wali yang tidak mau menikahkanya.

2. Lukman Hakim, 2007,, Wali hakim bagi anak perempuan yang dilahirkan

diluar nikah (studi kasus di KUA kebayoran Baru) skripsi ini membahas

tentang pengangkatan wali hakim karena alasan bahwa pihak wanita tidak

mempunyai wali karena merupakan anak luar nikah yang mengakibatkan

terputusnya hubungan nasab antara wali (Ayahnya). Sehingga wali

Hakimlah yang yang menikahkan. Bagi anak perempuan yang dilahirkkan

diluar nikah hanya memiliki hubungan dengan ibunya saja.

3. Neneng Soraya,2006’ Kedudukan Wali Nikah Menurut KHI dan Mazhab

Empat. Skripsi ini membahas tentang permasalahan wali secara umum:

menurut KHI dan beberapa padangan mazhab empat. Dijelaskan bahwa

terdapat perbedaan mengenai kedudukan wali dalam pernikahan menurut

beberapa mazhab. Menurut jumhur ulama nikah tanpa wali adalah tidak

sah. Sedangkan menurut mazhab hanafi, wali tidak termasuk salah satu

syarat sahnya suatu pernikahan. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum

Islam wali merupakan rukun dari suatu perkawinan sehingga apabila

dalam suatu pernikahan tidak ada wali dari pihak wanita maka secara

otomatis pernikahan itu adalah tidak sah.

E. Metode Penelitian dan Teknik Penulisan

Page 20: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

Adapun pendekatan analisis penyajian data yang peneliti gunakan adalah

pendekatan deskriptif analisis, dengan pendekatan secara normatif dimana

akan dijabarkan sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah

menggunakan analisis normatif yang didasarkan pada hasil analisis

dengan melakukan penelitian terhadap data kepustakaan, dan teori-teori

yang terkait dengan pembahasan masalah atau disebut dengan data

sekunder. Yang bersifat deskriptif analisis, yaitu memberikan data seteliti

mungkin yang menggambarkan obyek penelitian, kemudian menganalisa

keberagaman pendapat para madzhab fikih Islam, untuk melihat sejauh

mana para madzhab fiqih Islam menerapkan peraturan hukum tentang

perwalian.

2. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang dilakukan oleh penulis adalah dengan

cara sebagai berikut:

Page 21: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

a. Data Primer, melalui data primer penulis dapat melakukan sebuah

kajian dari pandangan madzhab fiqh dalam bentuk buku yaitu: buku

Imam Syafi’i, Hambali, Hanafi dan Maliki

b. Data Sekunder, melalui data sekunder penulis dapat melakukan berupa

buku-buku literatur yang berkenaan dengan masalah-masalah pendapat

para ulama tentang perwalian.

3. Teknik Penulisan

Teknik penulisan skripsi ini didasarkan, mengarah pada pedoman yang

berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

2007, yakni buku pedoman penulisan skripsi, Fakultas Syariah dan

Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab, dengan

uraian sistematika pembahasan sebagai berikut:

BAB I : Pada bab ini merupakan bagian pendahuluan yang memuat

diantaranya latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi terdahulu,

Page 22: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

metode penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : Membahas mengenai tinjauan umum tentang wali dalam

perkawinan meliputi diantaranya mengenai pengertian wali dalam

perkawinan, landasan hukum wali dalam perkawinan, kedudukan

wali dalam perkawinan, dan macam-macam wali dalam

perkawinan

BAB III : Bab ini menguraikan mengenai kajian wali ‘adhal dalam fiqh

madzhab, yang meliputi latar belakang wali ‘adhal, kriteria wali

‘adhal.

BAB IV : Pada bab ini dibahas mengenai pengaruh wali ‘adhal dalam

perkawinan menurut madzhab fiqh, menurut madzhab Maliki

Hambali, Hanafi dan Syafi’i, serta relevansi pendapat Imam

Madzhab dalam korelasi perkawinan di Indonesia.

BAB V : Adalah pada bab lima ini merupakan penutup, yang terdiri dari

kesimpulan yang diberikan penulis dan beberapa saran-saran

terhadap permasalahn yang penulis bahas.

Page 23: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG WALI DALAM PERKAWINAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Wali Nikah

1. Pengertian Wali

Kata wali menurut bahasa berasal dari kata al-wali (الولي) dengan bentuk

jamak auliya (اولياء) yang berarti pecinta, saudara, penolong.1 Menurut istilah

wali adalah orang yang berhak dan berkuasa untuk melakukan perbuatan

hukum bagi orang yang berada di bawah perwaliannya menurut ketentuan

syari’at. Sayyid Sabiq mengatakan wali adalah sesuatu ketentuan hukum yang

dapat dipaksakan kepada orang lain sesuai dengan bidang hukumnya.2

Menurut istilah fiqih yang dimaksud perwalian adalah penguasaan penuh

yang diberikan oleh agama kepada seseorang untuk menguasai dan

melindungi orang atau barang. Orang yang diberi kekuasaaan perwalian di

sebut wali.3 Perwalian ada yang bersifat umum dan ada yang bersifat khusus.

Kewalian bersifat umum ialah mengenai orang banyak dalam suatu wilayah

atau negara. Sedangkan kewalian yang bersifat khusus ialah menyangkut

1Louis Ma’luf, al-Munjid, (Beirut Masyriq, 1975), h. 919 2Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Terj), (Bandung, PT. Al-Ma’arif, 1997), Cet. Ke-13, jilid 7, h.7 3Kamal Muhtar, Azas-azas dalam Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan

Bintang, 1987), Cet. II, h. 92

12

Page 24: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

13

pribadi seseorang atau hartanya. Dalam pembahasan skripsi ini adalah wali

menyangkut pribadi dalam masalah perkawinan atau biasa disebut menjadi

wali nikah. Menurut kamus istilah fiqih, wali nikah adalah mereka yang

berhak menjadi wali bagi perempuan yang menikah, karena keturunan atau

kekuasaan.4

Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa wali nikah adalah orang-

orang yang berhak menjadi wali bagi perempuan yang akan menikah dan hak

perwalian diperoleh berdasarkan garis keturunan dari pihak laki-laki atau

berdasarkan kekuasaan.

2. Dasar Hukum Wali Nikah

Dalam pasal 1 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan,

perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita sebagai

suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia

dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.5 Karena perkawinan

bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah,

mawaddah dan rahmah, maka perlu diatur dengan syarat dan rukun tertentu

agar tujuan disyariatkannya perkawinan tercapai.

4M. Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), Cet. III, h. 416 5Departemen Agama R.I, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Depag RI, 2004), h. 14

Page 25: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

14

Sahnya suatu perkawinan dalam hukum Islam adalah dengan

terlaksananya akad nikah yang memenuhi syarat-syarat dan rukunnya. Dalam

kaitannya dengan rukun nikah. Jumhur Ulama sepakat bahwa rukun nikah

terdiri atas:6

a. Adanya calon suami;

b. Adanya calon isteri;

c. Adanya wali dari pihak calon penganti wanita;

d. Adanya dua orang saksi

e. Sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang diucapkan oleh wali/wakilnya

dari pihak wanita dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.

Mengenai keabsahan nikah tanpa wali, ada dua pendapat di kalangan

ulama, pendapat pertama oleh jumhur ulama, bahwa suatu pernikahan tidak

sah tanpa keberadaan wali. Ini berdasarkan nash al-Qur’an dan hadits.7

a. Firman Allah SWT

فورعالم بمهنيا بواضرا تذ إنهجاوز أنحكن ين أنوهلضع تالف )232:البقرة(

6Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999),

Cet. I, h. 89, lihat juga Aminur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia : Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No. 1 Tahun 1974, dan KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet. III, h. 8

7Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: ELSAS, 2008), Cet. I, h. 15

Page 26: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

15

Artinya: “.....Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya, apabila Telah terdapat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma'ruf. ......” (QS. Al-Baqarah / 2: 232)

Ayat ini ditunjukkan kepada wali jika mereka tidak mempunyai hak

dalam perwalian, tentu mereka tidak dilarang untuk menghalang-

halangi.8

)221: البقرة (نمؤي تىح اتآرشلما واحكنت الوArtinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum

mereka beriman ... (QS. Al-Baqarah / 2: 221)

Ayat ini juga ditunjukkan kepada wali supaya mereka tidak

menikahkan wanita-wanita Islam kepada orang musrik. Andai kata wanita

mempunyai hak secara langsung untuk menikahkah dirinya tanpa wali,

maka tidak ada artinya ayat tersebut ditunjukkan kepada wali dan

semestinya ditunjukkan kepada wanita. Akan tetapi karena akad nikah

adalah urusan wali larang tersebut ditunjukkan kepada wali bukan kepada

wanita. Ini menunjukkan bahwa urusan nikah terletak kepada wali nasab.

8 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Terj), (Semarang; CV. Asy-Syifa, 1990), Cet. I, h. 366

Page 27: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

16

Jika tidak demikian, tentulah larangan tersebut tidak ditunjukkan kepada

para wali.9

b. Hadits Nabi Muhammad SAW

: ال قمل س وهيل ع اهللال صيب الننى أسوي مب أن عةدري بب أنع )رواه أبو داود (يلو بال إاحك نال

Artinya: “Dari Abu Burdah R.A dari Abi Musa R.A, Rasulullah SAW Bersabda: Tidak ada pernikahan kecuali seorang wali.” (HR. Abu Daud)

باطل ذن وليها فنكاحها إريغ بتحك نةأرما إمي أتال قةشا ئ عنعدخل بها فلها المهر بما استحل من فرجها فإن فإن) ثالث مرات(

10أشجروا فا لسلطان ولي من ال ولي له Artinya: “Dari ‘Aisyah berkata : Rasulullah SAW, Bersabda: Barang

siapa wanita yang nikah tanpa izin walinya, nikahnya batal (diucapkan tiga kali), maka jika suaminya telah menggaulinya, maka maharnya adalah untuknya, karena apa yang telah diperoleh daripadanya. Jika mereka berselisih, maka sulthan adalah wali bagi orang yang tidak mempunyai wali.”(HR. Abu Daud)

Juga berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa al-Asy’ari

R.A:

)رواه أبو داود (يلو بال إاحك نالArtinya: “Bahwa sebuah pernikahan tidak sah kecuali dengan wali”.

(HR. Abu Daud)

9 Ibrahim Husen, Fiqih Perbandingan dalam Masalah Nikah, Thalaq, Rujuk dan Kewarisan,

(Jakarta: Yayasan Ihya Ulumiddin, 1971), h. 1761 10 Ibrahim Husen, Fiqih Perbandingan dalam Masalah Nikah, Thalaq, Rujuk dan Kewarisan,

h. 194

Page 28: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

17

Maksud dari hadits di atas adalah sebuah pernikahan tidak sah jika

wali tidak ada, karena seorang wnaita tidak punya kapasitas untuk

menikahkan dirinya tanpa adanya seorang wali atau mewakilkannya

kepada orang lain jika wali berhalangan untuk menikahkannya, dan jika ia

lakukan hal itu maka nikahnya tidak sah.11

Di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 19 dijelaskan bahwa wali nikah

dalam perkawinan merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon

mempelai wanita yang bertindak untuk menikah.12

Mengingat pentingnya wali dalam perkawinan dan dengan pertimbangan

bahwa perkawinan memiliki tujuan yang sangat mulia yaitu tidak hanya

menggabungkan hubungan dua individu tapi juga menghubungkan dua

keluarga besar sehingga tercipta keluarga yang sakinah, mawaddah, dan

warahmah. Maka untuk menciptakan tujuan mulia itu dapat ditarik ketegasan

bahwa wali dalam pernikahan itu merupakan rukun artinya wali harus ada di

dalam setiap pernikahan. Tanpa adanya wali nasab maupun wali hakim maka

pernikahan itu dianggap tidak sah.

B. Syarat-syarat Wali Nikah

11 Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Kairo: Hijr, 1413 H / 1992 M), jilid. 9, h. 345 12 Departemen Agama R.I, h. 132

Page 29: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

18

Orang yang akan menjadi wali harus memenuhi persyaratan yang telah

ditentukan. Apabila wali tidak memenuhi persyaratan yang telah ditentukan oleh

hukum maka perwaliannya tidak sah. Oleh karena itulah persyaratan menjadi wali

harus dipenuhi. Imam Taqiyuddin dalam bukunya berjudul khifayatul akhyar

menyatakan beberapa persyaratan tentang wali nikah, diantaranya adalah:

1. Islam;

2. Baligh;

3. Sehat akalnya;

4. Merdeka;

5. laki-laki;

6. adil.13

Dalam buku lain juga disebutkan oleh karena wali sudah ditentukan sebagai

rukun bagi sahnya nikah, maka syariat telah menentukan pula syarat-syarat untuk

boleh seorang menjadi wali, syarat-syarat tersebut adalah:

1. Islam (Orang kafir tidak sah menjadi wali);

2. Baligh (anak-anak tidak sah menjadi wali);

3. Berakal (orang gila tidak sah menjadi wali);

13 Al-Imam Taqiyuddin Abi Bakr Ibn Muhammad Al-Husaini, Khifayatul Akhyar, (Terj),

(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997), Cet. I, h. 371-379

Page 30: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

19

4. Laki-laki (Perempuan tidak sah menjadi wali);

5. Adil (orang fasik tidak sah menjadi wali).14

Persyaratan tentang wali lebih rinci dijelaskan dalam buku Pedoman

Pembantu Pencatat Nikah, yaitu :

1. Beragama Islam;

2. Baligh;

3. Berakal;

4. Tidak dipaksa;

5. Terang laki-lakinya;

6. Adil (bukan fasik);

7. Tidak sedang ihram;

8. Tidak dicabut haknya dalam menguasai harta bendanya oleh pemerintah;

9. Tidak rusak pikirannya;

10. Merdeka.15

14 Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-

undang Perkawinan dan Hukum Perdata, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1981), h. 28 15 Departemen Agama RI. Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, (Jakarta: Proyek

Pembinaan Sarana Keagamaan Islam, 1985/1986), h. 12

Page 31: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

20

Pada prinsipnya dari beberapa pendapat-pendapat tersebut tidak ada

perbedaan yang mendasar, dari ketiga pendapat tersebut dapat diambil

kesimpulan, bahwa syarat untuk menjadi wali adalah:

1. Orang yang Mukallaf

Karena orang yang mukallaf adalah orang-orang yang dibebani hukum

dan dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya. Anak-anak tidak sah

menjadi wali, karena kedewasaan menjadi ukuran terhadap kemampuan

berfikir dan bertindak secara sadar dan baik.16

ملق العفر: ال قملس وهيل ع اهللالص يب النن عيل عني عحى ضب أنع ن اتي حيب الصنع وأرب ين اتى حمائ الننع: ثال ثنع

)رواه ابو داود ( ملتحي Artinya: “Dari Abu Dhuha, dari Ali R.A, Rasulullah SAW, bersabda

diangkatlah hukum itu dari tiga perkara: dari orang yang tidur sehingga ia bangun, dari anak-anak hingga ia bermimpi (dewasa), dan dari orang-orang gila hingga ia sembuh.” (HR. Abu Daud)

2. Muslim

Disyaratkan wali itu seorang muslim apabila yang kawin itu orang muslim

juga, berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Ali Imran ayat 28:

16 Abdurrahman Umar, Kedudukan Saksi dalam Peradilan Menurut Hukum Islam, (Jakarta:

Pustaka Al-Husna, 1986), Cet. I, h. 48

Page 32: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

21

Artinya: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir

menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali Karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan Hanya kepada Allah kembali (mu).” (QS. Ali Iram / 3: 28)

Ayat di atas sebagai landasan bahwa umat Islam jika ingin menikah atau

menikahkan dilarang mengangkat wali yang bukan muslim. Dengan demikian

dapat dikatakan bahwa beragama Islam merupakan syarat yang harus dipenuhi

oleh wali nikah.

3. Laki-laki

Laki-laki merupakan syarat perwalian, demikian merupakan pendapat

seluruh ulama karena dianggap lebih sempurna, sedangkan wanita dianggap

mempunyai kekurangan. Wanita dianggap tidak sanggup mewakili dirinya

sendiri apalagi orang lain.17 Pernyataan memberikan pengertian bahwa wali

haruslah laki-laki tidak boleh perempuan.

4. Berakal

17 Syekh Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), Cet. I, h. 50

Page 33: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

22

Sebagaimana diketahui bahwa orang yang menjadi wali haruslah orang

yang bertanggung jawab, karena orang yang menjadi wali harus orang yang

berakal sehat. Orang yang kurang sehat akalnya, atau gila tidak memenuhi

syarat untuk menjadi wali.

5. Adil (cerdas)

Salah satu syarat lain yang harus dimiliki oleh wali adalah adil. Adil yang

dimaksud adalah berbuat adil, tidak fasik. Menurut Imam Syafi’i yang yang

dimaksud dengan adil itu adalah cerdas.18 Cerdas yang dimaksud adalah dapat

atau mampu menggunakan akal pikirannya dengan sebaik-baiknya atau

seadil-adilnya. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda:

ال إاحك نال: ملس وهيل ع اهللال ص اهللالوس رالعن عا ئشة قالت ق 19) رواه دار قطني (لد عيداهش ويلوب

Artinya: “Dari Aisyah, dari Nabi SAW bersabda: tidak sah pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil.” (HR. Ad-Daaruquthni)

Berdasarkan hadits tersebut, maka orang yang tidak cerdas atau tidak

mampu berbuat adil tidak boleh dijadikan wali dalam pernikahan. Ini berarti

jika wali ingin berbuat fasik, maka wali itu harus digantikan oleh orang lain

yang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.

18 Kamal Mukhtar, Azas-azas dalam Hukum Islam Tentang Perkawinan, h. 92 19Daaruquthni, Sunan Daaruquthni, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1994), jilid III, h. 139

Page 34: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

23

Sebagian fuqaha menambahkan syarat wali yang berikutnya adalah

memiliki ‘adalah yaitu dia bukan seorang pendosa, bahkan ia terhindar dari

melakukan dosa-dosa besar seperti mencuri, berzina, minum khamr,

membunuh, makan harta anak yatim, dan semisalnya. Di samping itu, dia

tidak terus-menerus tenggelam dalam dosa-dosa kecil dan tidak melakukan

perbuatan-perbuatan yang tidak sepantasnya. Pesyaratan ini adalah

merupakan salah satu dari dua riwayat dalam mazhab Hanabilah dan

merupakan pendapat yang kuat dalam mazhab Syafi’iyyah. Adapun

Hanafiyyah memandang seorang yang fasik tidaklah hilang haknya sebagai

wali, kecuali bila kefasikannya tersebut sampai pada batasan ia berani terang-

terangan berbuat dosa. Demikian pula Malikiyyah berpandangan seorang yang

fasik tidak hilang haknya sebagai wali. Adapun ‘adalah hanyalah syarat

penyempurna bagi wali, sehingga bila ada dua wali yang sama derajatnya,

yang satu fasik sedangkan yang satu memiliki ‘adalah, seperti seorang wanita

yang tidak lagi memiliki ayah dan ia memiliki dua saudara laki-laki, satunya

fasik sedangkan yang satunya adil, tentunya yang dikedepankan adalah yang

memiliki20

Pernyataan tersebut di atas memberikan pengertian bahwa syarat utama

yang harus ada pada wali dalam pernikahan adalah Islam, dewasa, dan laki-

20 http://kuakalideres.blogspot.com/2009/12/pernikahan Tanpa Restu Wali. (artikel diakses

pada tanggal, 12 Mei 2010

Page 35: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

24

laki. Tentang persyaratan lain seperti berakal dan adil dapat diambil

pengertian baligh karena baligh menunjukkan bahwa orang itu telah berakal

dan muslim atau beragama Islam menunjukkan bahwa orang tersebut pasti

dapat berbuat adil. Dengan demikian tiga persyaratan tersebut pada dasarnya

telah mencakup lima persyaratan yang banyak dibahas dalam berbagai buku

fiqih atau hukum Islam.

C. Macam-macam Wali dalam Perkawinan

Secara umum wali dalam perkawinan digolongkan menjadi dua macam, yaitu

wali nasab dan wali hakim.21 Kedua macam wali tersebut akan diuraikan lebih

lanjut di bawah ini.

1. Wali Nasab

Nasab artinya bangsa, wali nasab adalah wali nikah karena ada hubungan

nasab dengan wanita yang akan melangsungkan pernikahan.22 Wali ditunjuk

berdasarkan skala prioritas secara tertib mulai dari orang yang paling berhak,

yaitu orang yang paling dekat/aqrab, lebih kuat hubungan darahnya. Jumhur

Ulama mengatakan bahwa wali itu adalah wali waris dan diambil dari garis

ayah, bukan ibu.23

21Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), Cet.

IV, h. 80, lihat juga Departemen Agama RI, h. 134 22Slamet Abidin dan H Aminudin, Fiqih Munakahat, h. 89 23Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), Cet. I, h.

63

Page 36: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

25

Urutan wali nasab yang ditetapkan dalam Kompilasi Hukum Islam pada

pasal 21 dan 22, adalah sebagai berikut:

Pasal 21:

a) Wali nasab terdiri dari empat kelompok dalam urutan kedudukan, kelompok yang satu didahulukan dari kelompok yang lain sesuai dengan erat tidaknya susunan kekerabatan dengan calon mempelai wanita.

Pertama, kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas ayah, kakek dari pihak ayah, dan seterusnya.

Kedua, kelompok kerabat saudara laki-laki kandung atau saudara laki-laki seayah, dan keturunan laki-laki mereka.

Ketiga, kelompok kerabat paman, yakni saudara laki-laki kandung ayah, saudara seayah dan keturunan laki-laki mereka.

Keempat, kelompok saudara laki-laki kandung kakek, saudara laki-laki seayah kakek dan keturunan laki-laki mereka.

b) Apabila dalam satu kelompok wali nikah terdapat beberapa orang yang sama-sama berhak menjadi wali, maka yang paling berhak menjadi wali adalah yang lebih dekat derajat kekerabatanna dengan calon mempelai wanita.

c) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya maka yang paling berhak menjadi wali nikah adhal kerabat kandung dari kerabat yang hanya seayah.

d) Apabila dalam satu kelompok derajat kekerabatannya sama, yakni sama-sama derajat kandung atau sama-sama derajat seayah, mereka sama-sama berhak menjadi wali nikah, dengan mengutamakan yang lebih tua dan memenuhi syarat-syarat wali.24

Apabila diuraikan lebih rinci lagi susunan wali adalah sebagai berikut:

24 Departemen Agama RI, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, h. 135-136

Page 37: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

26

a. Ayah kandung;

b. Kakek (dari garis ayah) seterusnya ke atas dalam garis laki-laki;

c. Saudara laki-laki sekandung;

d. Saudara laki-laki seayah;

e. Anak laki-laki saudara laki-laki sekandung;

f. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah;

g. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki sekandung;

h. Anak laki-laki dari anak laki-laki saudara laki-laki seayah;

i. Saudara laki-laki ayah sekandung (paman);

j. Saudara laki-laki ayah seayah (paman ayah);

k. Anak laki-laki paman sekandung;

l. Anak laki-laki paman seayah;

m. Saudara laki-laki kakek sekandung;

n. Anak laki-laki saudara laki-laki kakek sekandung;

o. Anak laki-laki saudara laki-laki seayah.25

Wali yang paling berhak dan paling utama menjadi wali nikah adalah

ayah, karena sangat dekat kekerabatannya dengan mempelai wanita dan ayah

adalah orang yang mempunyai keutamaan dibandingkan dengan wali nikah

yang lain. Oleh karena itu ayah disebut wali yang dekat atau wali aqrab, dan

25 Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat, h. 90-91, lihat juga, Ahmad Rofiq,

Hukum Islam di Indonesia, h. 87

Page 38: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

27

wali lain disebut wali yang jauh atau wali ab’ad (saudara terdekat atau yang

agak jauh).

Pasal 21 KHI menjelaskan bahwa apabila wali nikah yang paling berhak

urutannya tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah, atau oleh karena wali

nikah rungu atau sudah udzur, maka yang menjadi wali bergeser kepada wali

nikah yang lain menurut derajat berikutnya.26

Mengenai perpindahan wali dari yang dekat kepada yang lebih jauh

urutannya yaitu apabila wali yang dekat ada atau karena sesuatu hal dianggap

tidak ada, yaitu:

1. Wali aqrabnya tidak ada sama sekali

2. Wali aqrab ada, tetapi belum baligh;

3. Wali aqrab ada, tetapi menderita sakit gila;

4. wali aqrab ada, tetapi pikun karena tua;

5. wali aqrab ada tetapi bisu dan tidak dapat dimengerti isyaratnya;

6. wali aqrab ada, tetapi tidak beragama Islam.27

Wali nasab terbagi menjadi dua, yaitu Pertama, wali nasab yang berhak

memaksa menentukan perkawinan dan dengan siapa seorang perempuan mesti

26 Departemen Agama R.I., h. 435-436 27 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, h. 88

Page 39: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

28

kawin. Wali nasab yang berhak memaksa ini disebut wali nasab yang mujbir

dipendekan dengan sebutan wali mujbir. Wali mujbir terdiri dari bapak, kakek

dan ayah dari kakek seterusnya ke atas. Mujbir artinya orang yang

memaksa.28 Walaupun wali mujbir dapat memaksa tetapi ia harus memenuhi

persyaratan:

1. Tidak ada permusuhan antara wali mujbir dengan anak gadis;

2. Sekufu antara perempuan dengan laki-laki calon suaminya;

3. Calon suami itu mampu membayar mas kawin;

4. Calon suami tidak cacat yang membahayakan pergaulan dengan dia.29

Apabila keempat syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi oleh wali yang

memaksa menikahkan anaknya (wali mujbir) maka wanita yang dipaksa

menikah dapat meminta fasakh ke pengadilan.

Kedua, wali nasab yang tidak mempunyai kekuasaan memaksa atau wali

nasab biasa, yaitu saudara laki-laki kandung atau sebapak, paman yaitu

saudara laki-laki kandung atau sebapak, dari bapak dan seturusnya anggota

keluarga laki-laki menurut garis keturunan patrilineal.

2. Wali Hakim

28 Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1974), Cet. Ke-1, h. 69 29 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Empat Mazhab, (Jakarta:

Hudakarya Agung, 1996), Cet. 15, h. 55

Page 40: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

29

Wali hakim adalah penguasa atau wakil penguasa yang berwenang dalam

bidang perkawinan. Biasanya penghulu atau petugas lain dari Departemen

Agama. Dalam hal ini ditemui kesulitan untuk harirnya wali nasab atau ada

halangan-halangan dari wali nasab atas suatu perkawinan, maka seorang calon

pengantin perempuan dapat menggunakan bantuan wali hakim baik melalui

Pengadilan Agama atau tidak, tergantung pada prosedur yang dapat

ditempuh.30

Rasulullah SAW bersabda:

31) رواه ابن ماجه (ه ليل و الن مىل وانطلالسفArtinya: “ ..... Maka hakimlah yang bertindak menjadi wali bagi seseorang

yang tidak ada walinya.” (HR. Ibnu Majah)

Dalam prakteknya wali hakim yang diangkat oleh pemerintah pada saat ini

adalah Pegawai Pencatat Pernikahan (Kepala Kantor Urusan Agama

Kecamatan). Ketentuan tentang wali hakim diatur dalam Peraturan Menteri

Agama (PMA) Nomor 2 Tahun 1987 tentang wali hakim khususnya pada Bab

III pasal 4 dan pasal 5 mengenai Penunjukan wali hakim yang berbunyi:

Pasal 4

1) Kepala Kantor Urusan Agama selaku Pegawai Pencatat Nikah ditunjuk menjadi wali hakim dalam wilayahnya untuk menikahkan mempelai wanita sebagai dimaksud pasal 2 ayat (1) peraturan ini.

30 Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Empat Mazhab, h. 56 31 Abi Abdullah Muhammad Ibnu Yaziida Quzwini, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar Al-

Fikr), Jilid I, h. 605

Page 41: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

30

2) Apabila si wilayah kecamatan, kantor Urusan Agama Kecamatan berhalangan atau tidak ada, maka Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kotamadya diberi kuasa untuk atas nama Menteri Agama menunjuk wakil/Pembantu Pegawai Pencatat Nikah untuk sementara menjadi wali hakim dalam wilayahnya.

Pasal 5

Direktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji diberi kewenangan untuk atas nama Menteri Agama menunjuk Pegawai yang memenuhi syarat menjadi wali hakim pada perwakilan Republik Indonesia di luar negeri sebagaimana dimaksud pada pasal 2 ayat (1) peraturan ini.

D. Kedudukan Wali dalam Perkawinan

Para ulama berbeda pendapat tentang kedudukan wali dalam perjanjian

perkawinan. Menurut Mazhab Hanafi perizinan wali bukan merupakan

persyaratan syah nikah tetapi hanya penyempurna perjanjian perkawinan.

Alasannya adalah dari riwayat Muslim dari Ibnu Abbas yang katanya Rasulullah

SAW bersabda yang artinya "Perempuan yang janda lebih berhak atas dirinya dari

walinya. Gadis diminta perizinannya dan perizinannya adalah diamnya". Menurut

mazhab Hanafi, hadits di atas menerangkan sah pernikahan baik janda maupun

perawan tanpa disyaratkan adanya perizinan wali, karena itu mereka menganggap

izin wali bukan termasuk syarat sah nikah.32

Mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali menganggap perizinan wali merupakan

syarat sah perjanjian perkawinan dimana perkawinan tanpa izin wali adalah tidak

32 http://www.mail-archive.com/[email protected], (artikel di akses pada

tanggal 12 Mei 2010

Page 42: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

31

sah. Pendapat ini beralasan pada Al-Qur’an dan hadits. Dari ayat Al-Qur’an yang

dijadikan dalil antara lain pada QS. al Baqarah ayat 232 :

)232 : البقرة( Artinya: "Apabila kamu mentalak istri-istrimu, lalu habis iddahnya, maka

janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya apabila terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang ma’ruf...” (QS. Al-Baqarah, 2/232)

Dalam ayat ini terdapat dalil yang sangat jelas tentang eksistensi seorang wali

di mana Allah melarang para wali dari menghalangi para wanita dari kembali

kepada suami mereka dan sekiranya seorang wanita itu boleh menikahkan dirinya

sendiri, maka sudah tentu tiada artinya larangan Allah SWT dalam ayat tersebut

dan tiada gunanya para wali menggunakan haknya melakukan ‘Adhal 33

Imam Bukhari meriwayatkan tentang sebab turunnya ayat di atas ialah karena

ulahnya Ma’qal bin Yasar yang mengawinkan saudarinya dengan seorang lelaki

33Sebab turun ayat ini adalah berkenaan peristiwa Ma’qil bin Yasar yang telah menikahkan

saudara perempuannya, kemudian diceraikan oleh suaminya dengan talak raj’i. Setelah habis masa iddah, kemudian bekas suami dan saudara perempuan Ma’qil ini bermaksud untuk menikah kembali. Ma’qil marah dan bersumpah tidak ingin menikahkan mereka. Maka, turunlah ayat 232, Surah al-Baqarah. Menurut riwayat Abu Daud, Ma’qil membayar kafarah sumpahnya dan kemudian menikahkan saudaranya atas perintah Rasulullah SAW. Jelas di sini, wali yang berhak untuk menikahkan seorang perempuan, di mana saudara perempuan Ma’qil, walaupun berstatus janda juga tidak dapat menikahkan dirinya sendiri (tanpa wali) meskipun dalam kondisi Ma’qil (wali) enggan menikahkannya pada awalnya. Lihat, Jalaluddin al-Suyuthi, Asbab al-Nuzul: Latar belakang sejarah turunnya ayat-ayat al-Qur’an, Terj. Qomaruddin Shaleh, dkk, Cet. XVII, (Bandung: CV Diponegoro 1995), h. 81. lihat juga, http://www.mail-archive.com/[email protected], artikel yang diakses pada tanggal 12 Mei 2010

Page 43: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

32

kemudian diceraikan oleh suaminya. Sesudah masa iddahnya habis, datang bekas

suaminya ingin mengawini kembali, namun Ma’qal melarang dan bersumpah

tidak akan mengawinkan saudarinya itu dengan bekas suaminya tadi. Turunlah

ayat di atas menegur tindakan Ma’qal yang kedudukannya sebagai wali dan

akhirnya Ma’qal membayar kafarah atas sumpahnya.

Di dalam beberapa buah hadits dijelaskan tentang wali hakim yang dapat

menggantikan kedudukan wali nasab apabila wali nasab tidak ada atau wali nasab

enggan mengawinkan perempuan yang ada dibawah perwaliannya, padahal

perjodohan antara keduanya seimbang. Rasulullah SAW bersabda yang artinya :

"Maka apabila (wali nasab) enggan sulthanlah yang menjadi wali bagi yang tidak

mempunyai wali"

عن سليمان ابن موسى عن زهري عن عروة عن عا ئشة قالت أيما دخل بها فإن) ثالث مرات(باطل إمرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها

تحل من فرجها فإن أشجروا فا لسلطان ولي من ال ولي فلها المهر بما اس 34) رواه أبو داود، ترميذى، ابن ماجه، أحمد عن عائشة(له

Artinya : “Dari Sulaiman ibn Musa dari Zuhri dari ‘Urwah dari Aisyah r.a., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: Tiap-tiap wanita yang menikah tanpa izin walinya, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal, nikahnya adalah batal. Jika wanita itu telah disetubuhi, maka dia berhak mendapat mas kawin dengan sebab si lelaki itu telah menghalalkan kehormatannya. Dan jika mereka berselisih, sultan (penguasa) adalah wali bagi wanita yang tidak mempunyai wali.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad dari Aisyah).

34 Hasbi ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-hadits Hukum 8, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,

2001), Cet. III, h. 39

Page 44: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

33

Jadi, keadaan yang dapat memungkinkan wali hakim sebagai wali nikah

adalah wali nasab tidak ada sama sekali; wali nasab enggan padahal keduanya

sekufu; wali nasab berada di tempat yang jauh sekitar 95 Km dari tempat wanita

yang ingin menikah; wali nasab dianggap hilang atau tidak diketahui

keberadaannya, hidup atau matinya; calon suami juga adalah wali nikah

perempuan; wali nasab dalam keadaan berihram haji atau umrah.35

35http://www.mail-archive.com/[email protected], artikel yang diakses pada

tanggal 12 Mei 2010

Page 45: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

BAB III

WALI ADHAL DALAM FIQH MADZHAB

A. Definisi Wali Adhal

Kata ‘adhal menurut bahasa (etimologi) berasal dari Bahasa Arab, yaitu

yang artinya mencegah atau menghalang-halangi.1 (عضل يعضل عضل)

Wali ‘adhal adalah wali yang tidak bisa menikahkan wanita yang telah

baligh dan berakal dengan seorang laki-laki pilihannya, sedangkan masing-

masing pihak menginginkan pernikahan itu dilangsungkan.2

Dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 2 Tahun 1987 Tanggal 28

Oktober 1987 tentang Wali Hakim: Wali ‘adhal ialah wali Nasab yang

mempunyai kekuasaan untuk menikahkan mempelai wanita yang berada di bawah

perwaliannya, tetapi tidak bias atau tidak mau menikahkan sebagai layaknya

seorang wali yang baik.

Pada dasarnya hak untuk menjadi wali dalam perkawinan ada di tangan

wali aqrab, atau orang yang mewakili wali aqrab atau orang yang diberi wasiat

untuk menjadi wali. Hanya wali aqrab saja yang berhak mengawinkan perempuan

yang dalam perwaliannya dengan orang lain. Demikian pula ia berhak

1Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, Cet. 14, h. 441 2Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,

1993), Cet. I, h. 1339

34

Page 46: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

35

melarangnya kawin dengan seseorang apabila ada sebab yang dapat diterima,

misalnya suami tidak sekufu atau karena si perempuan sudah dipinang orang lain

lebih dulu, atau jelek akhlaknya, atau cacat badan yang menyebabkan

perkawinannya dapat difasakhkan. Dalam hal-hal semacam ini wali aqrab adalah

yang berhak menjadi wali dan haknya tidak dapat berpindah kepada orang lain,

hingga kepada hakim sekalipun.3

Tetapi apabila wali tidak bersedia mengawinkan tanpa alasan yang dapat

diterima, padahal si perempuan sudah mencintai bakal suaminya karena telah

mengenal kafa’ahnya, baik agama, budi pekertinya, wali yang enggan

menikahkan ini dinamakan wali ‘adhal, zalim.4

Jika wali tidak mau menikahkan, harus dilihat dulu alasannya, apakah

alasan syar’i atau alasan tidak syar’i. Alasan syar’i adalah alasan yang dibenarkan

oleh hukum syara’, misalnya anak gadis wali tersebut sudah dilamar orang lain

dan lamaran ini belum dibatalkan, atau calon suaminya adalah orang kafir, atau

orang fasik (misalnya pezina dan suka mabuk), atau mempunyai cacat tubuh yang

menghalangi tugasnya sebagai suami, dan sebagainya. Jika wali menolak

3Al Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), (Jakarta: Pustaka Amani, 2002),

Edisi Kedua, h. 120 4Al Hamdani, Risalah Nikah (Hukum Perkawinan Islam), h. 120

Page 47: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

36

menikahkan anak gadisnya berdasarkan alasan syar’i seperti ini, maka wali wajib

ditaati dan kewaliannya tidak berpindah kepada pihak lain (wali hakim)5

Seorang wali dapat dikatakan ‘adhal apabila :

a. Wali tidak mau menikahkan wanita itu dengan laki-laki yang sekufu

dengannya, padahal wanita itu menerima lamaran calon suaminya, baik

penerimaan itu disertai tuntutan supaya mengawinkan kepada walinya

maupun tidak;

b. Wali ingin menikahkan wanita itu dengan lelaki pilihannya yang sepadan

dengan wanita itu, sedang wanita yang bersangkutan meminta walinya supaya

menikahkan dengan lelaki pilihannya yang sepadan dengannya.6

Dalam buku yang berjudul 20 prilaku durhaka orang tua terhadap anak, M.

Thalib mengemukakan ada beberapa alasan mengapa orang tua berusaha

menghalangi perkawinan anaknya, yaitu:

1. Orang tua itu melihat calon menantunya itu orang miskin karena

kemiskinanya orang tua khawatir anaknya hidup dalam kesengsaraan;

2. Orang tua mendapat calon menantu dari kalangan rendahan atau kalangan

orang tuanya tidak terpelajar. Orang tua merasa khawatir kelak

5http://kuakalideres.blogspot.com/2009/12/pernikahan Tanpa Restu Wali. (artikel diakses

pada tanggal, 12 Mei 2010 6Abdul Aziz Dahlan Ensiklopedi Hukum Islam, h. 1340

Page 48: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

37

keturunanya menjadi orang bodoh atau tidak memiliki sopan santun

dalam tata pergaulan keluarga bangsawan;

3. Orang tua melihat calon menantunya dari keluarga yang dahulunya

pernah bermusuhan dengan dirinya, karena itu merasa malu dan

direndahkan harga dirin oleh anaknya yang kini hendak menjalin ikatan

suami istri dengan keluarga semacam ini7

Memang tidak diragukan lagi bahwa pangkat, status social, kedudukan

yang tinggi dan beberapa pertimbangan lainya merupakan hal-hal yang dituntut

dan tidak dikesampingkan dalam mencari kan dan memilihkan pasangan untuk

wanita, maka adanya berbagai pertimbangan bukanlah perbuatan yang dicela.

Jika selurhan pertimbangan diatas sudah dijadikan prioritas utama didalam

menjatuhkan pilihan, tanpa melihat pertimbangan agama dan ahlak, maka

perbuatan tersebut merupakan perbuatan yang tercela. Sehingga apabila terdapat

orang tua yang menolak menikahkan anaknya yang disebabkan oleh hal-hal yang

tidak syari, yaitu alas an yang tidak dibenarkan hukum syarat; maka wali tersebut

disebut wali adhal.

Ketentuan tentang masalah wali yang tidak mau menikahkan (Adhal) juga

telah diatur dalam peraturan yang berlaku di Negara kita yaitu peraturan mentri

7M. Thalib, 20 Prilaku Durhaka Orang Tua Terhadap Anak, (Bandung: Irsyat Baitus Salam,

1996), cet-ke 12, h. 90-91

Page 49: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

38

Agama Republik Indonesia No. 2 Tahun 1987 tentang wali Hakim bada Bab dua

yang berbunyi :

Pasal 2

1.) Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia atau di luar negeri/wilayah ekstra-teritorial Indonesia ternyata tidak mempunyai Wali Nasab yang berhak atau Wali Nasabnya tidak memenuhi syarat atau mafqud atau berhalangan atau adhal, maka nikahnya dapat dilangsungkan dengan Wali Hakim.

2.) Untuk menyatakan adhalnya Wali sebagaimana tersebut ayat (1) pasal ini ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal calon mempelai wanita.

3.) Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan adhalnya Wali dengan cara singkat atas permohonan calon mempelai wanita dengan menghadirkan wali calon mempelai wanita.

Pasal 3

Pemeriksaan dan penetapan adhalnya Wali bagi calon mempelai wanita warganegara Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri dilakukan oleh Wali Hakim yang akan menikahkan calon mempelai wanita.

Mengenai faktor-faktor yang dibolehkan oleh hukum Islam terhadap orang

tua untuk menolak menikahkan anaknya dengan catatan adanya bukti-bukti yang

kuat yang menunjukan bahwa hal-hal yang menjadi penyebab adhalnya adalah

benar diantaranya adalah:

1. Orang tua mendapati calon menantunya berbeda agama, anak perempuan

muslimah tidak boleh menikah dengan laki-laki dari agama apapun selain

Islam. Bahkan sekalipun laki-laki muslim dengan wanita yang tidak

Page 50: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

39

beragama Islam.8 Jika hal ini terjadi orang tua harus merintangi dengan

segala upaya sekalipun ke Pengadilan Agama.

2. Orang tua mendapat calon menantunya berakhlak rusak, misalnya

perempuan pelacur atau laki-laki pencuri, penjudi dan pemabuk. Orang

yang berakhlak seperti itu tidak layak menjadi imam isteri anaknya.

3. Mempunyai cacat tubuh yang menghalangi tugasnya sebagai suami dan

sebagainya.

B. Latar Belakang Wali ‘adhal

Peristiwa wali ‘adhal dalam perkawwinan, tercatat dalam sejarah

perkembangan fiqih islam. Bermula dari kasus/peristiwa yang di alami oleh

seorang sahabat Nabi Muhamad SAW, yang bernama Ma’qil Ibnu Yasar. dari

kasus yang mengenai dirinya inilah kemudian turun satu ayat yang bernada

memberikan keterangan dan ketentuan hukum atas kasus yang mengenai dirinya

itu.

8Departemen Agama RI, h. 142-143. lihat juga Pasal 40 huruf c dan pasal 44 KHI

Page 51: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

40

Ayat tersebut yaitu:

Artinnya:”apabila kamu mentalak istri-istrimu,lalu habis iddahnya,maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagi dengan bakal suaminya,apabila telah terdapaat kerelaan di antara mereka dengan cara yang ma’ruf.itulah yang di nasehatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada alllah dan hari kemudian.itu lebih baikbagimu dan lebih suci.allah mengetahui,sedang kamu tidak mengetahui (Al-Baqarah Ayat: 232)

Untuk bisa memperoleh pemahaman yang jelas dan dapat dipertanggung

jawabkan dalam arti/kehendak ayat tersebut, kirannya perlu dikutip jalan cerita dari

peristiwa yang melatar belakangi diturunkan ayat tersebut.

Imam Syafi’i di dalam kitabnya “Ihkamul Qur’an” dan Imam Bukhari di

dalam “Jami ‘Sahihnya”.merriwatkan hadits ma’qil, yang bermula dari al Hasan dari

Ashabul hikayahnya sendiri, yaitu ma’qil Ibnu Yasar, yang matan hadistnya berbunyi

ي انتأف تخي ا لتناآ ال ق ارس ين بلقعى منثد حنسحا ل نع تطقف اتىا حهآر تم ثةعجر هال قاالا طهقل طمث. اهيا اهحكنأي ف لم عنابال (ا هحكنأ الاهللا و التالقف. اهبطخي يانت أيل اتبطا خملا ، فهندم. ةيألا اذ هتلزي نغ فالا قدبا) اهكتحكنأ

Page 52: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

41

Artinya : Dari Hasan, bercerita kepada ma’qil ibnu yasar iya berkata: aku punya saudara perempuan yang urusan lamarannya (perkawinan) ada ditanganku, lalu datang kepadamu untuk melamar saudara sepupuku sendiri yaitu anak lelaki dari pamanku. Kemudian aku kawinkan dia dengan nya. (akan tetapi tidak lama) kemudian mentalaknya dengan talak raj’i. kemudian membiarkannya sampai habis massa iddahnya. Kemudian tatkala saudara perempuanku mendesakku menerima lamaran lagi, lalu datanglah ia (untuk kedua kalinya) untuk melamar dan mengawininya kembali. Lalu jawabku : tidak, demi Allah tidak aku kawinkan dengannya untuk selama-lamanya. Kata ma’qil : pada peristiwa inilah turun ayat tersebut (di atas). (Shahih Bukhari : 36)

Imam abu daud dalam riwayatnya ini menambahkan :

اهيا إهتحكنأ فني يمن عترفكف الق

Artinya : ma’qil berkata : kemudian (setelah turun ayat), aku bayar kafarat atas sumpah yang aku ucapkan dan aku kawinkan dia dengan saudara perempuanku (Imam Abu Daud VI : 110)

Kemudian untuk mengatasi kemungkinan adanya pertanyaan yang bersifat

mendasar mengenai status ayat yang memakai ungkapan yang umum dan sebab

nuzul yang khusus. Kiranya patut dikutip ulasan fukaha mengenai hal ini.

Diantaranya adalah mufassir, Fahruddin Arrozi, sebagaimana diungkapkan

Abdurrahman al Jaziri bahwa beliau memberikan keterangan:

ابطح النإا ، فهصوصح بلقع متن اةثدي ح فتلزن ةألي انا

هري غوا أيل وان آاءو ساءس النلضع ين ملكا لام عنوك ين ابيجا هيف

.ةروقص متسيلف

Page 53: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

42

Ayat tersebut turun berkenaan dengan peristiwa saudara perempuan

ma’qil secara khusus, tetapi khitab dari ayat tersebut adalah umum, sehingga

dengan demikian, (kandungan) sama) yaitu menghalang-halangi wanita (untuk

kawin) baik yang menghalangi itu wali atau bukan (karena) maka ayat tersebut

tidak saja terbatas pada para wali, (akan tetapi) juga yang lain). (Abdurrahman Al

Jaziri. 48)

Kiranya tidak berlebihan, kalau pengertian dari kaumuman dari khitab

ayat tersebut dibatasi para wali saja. Artinya para wali secara umum, baik

mengenai ma’qil atau yang lain, asalkan dalam kondisi yang sama yaitu ‘‘adhal.

Pengertian yang sama seperti ini pula yang pernah dijelaskan oleh imam

syafi’i dalam pembelaannya terhadap pendapat beliau sendiri. Antara lain

menjelaskan :

ةآليي اف فاجوزأل ارآي ذل عةآلي اأدتب منأ بدحأى ل عهب شناف تغلب فقلا طذ إجو الزنأل ، اءيلوال للضي علعى ه نمن اهنى ال عةلالد ه لكرشال ولب س النا مهل عفيكا فهي فاس الندعا بوه فلجأل اةأرمال.اهضعي ب فهلضعي ا فهلضع ين أنم

Ada tuduhan sementara orang, bahwa kehendak ayat (diatas) tertuju pada

para suami. Padahal ayat memberikan petunjuk bahwa sesungguhnya syar’i,

melarang melakukan ‘adhal, itu kepada para wali, karena apabila para suami telah

mentalak istrinya dan telah habis masa iddahnya, dia adalah sejauh-jauh manusia

Page 54: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

43

dari padanya (bekas istrinya). Bagaimana mungkin orang sudah tidak ada hak dan

bersangkutan bisa melakukan pencegahan terhadapnya. ( Imam Syafi’i. 172)

Demikian kisah wali adhal yang termuat di dalam sejarah fiqih islam,

berikut tanggapan atau ulasan berbagai pendapat para fuqaha’mengenai hal

tersebut. namun demikian, hal yang perlu di perhatikan dan dilindungi oleh

hukum (syara) yaitu hak dan kewajiban antara pihak wali dan pihak orang di

walinya. yang manakala di langgar atau di abaikan akan menimbulkan

kekeliruan atau bahkan ketidak adilan wali ‘adhal. bila ditelusuri melalui sejarah,

adalah wali yang melakukan tindakan yang kalau di nilai tidak adil. karena itu

syari’melarangnya. hal ini pula pernah di ungkap oleh seorang ahli fiqih yaitu

syeh Abdurrahman al jaziri melalui keterangannya:

اجو الزن منهعن من عماههني فاس الناءيلو أباطخى يالع ت اهللاناا م لعنلم اق حاءيلوأل اءالؤله نك يم لولا ، فجو زنهسفنأل هنوضر ينبم ني منتعنا مذ إاءس النلوق يني أفك يان آهنأل هجا وذ هلثم بمهابطح لانآ .نكسفنوا أجوز فجاوالز

Artinya: “sesungguhnya Allah SWT berbicara terhadap para wali dan melarang mereka mencegah para wanita yang hendak kawin dengan seseorang yang mereka sukai sebagai suami merekla sendiri, maka kalau bukan tidak adanya hak para wali untuk mencegah, tidak mungkun berbicara di hadapan mereka (para wali) dengan ungkapan seperti ini, karena bila (wali ada hak) cukuplah pembicaraan Allah kepada wanita dengan “tatkala kamu tercegah dari kawin, maka kawinkanlah terhadap dirimu sendiri “(Abdurrahman aljaziri.47).

Page 55: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

44

Berdasarkan penjelasan tersebut diatas, kiranya menjadi penting, dan perlu

kiranya untuk di ungkapkan seberapa hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang di

miliki kedua belaah pihak, yakni wali dari maulanya. Sehingga dari sini akan

Nampak jelas, hak mana bila di cegah akan akan di nilai suatu pelanggaran

(ketidakadilan .dari ini juga dapat di temukan kriteria fiqih mengenai wali ‘adhal

ini.

Pada dasarnya seorang wali mempunyai hak-hak di samping mempunyai

kewajiban-kewajiban,terutama ,yang menyangkut hal-hal mengatur,menjaga,

mengusahakan sampai pada pelaksanaan perkawinan atas dirinya perempuan

yang di walinya.namun di samping hak-hak dan kewajiban-kewajiban bagi si

wali,perempuan yang di walipun tidak sepi dari hak dari kewajiban yang di

milikinya.seorang anak perempuan memang sudah menjadi kewajibannya untuk

patut kepada aturan dan kehendak walinya,jika hal itu sudah menjadi haknya.

Untuk ini bisa di ambil sebagai berikut:

1. Pelanggaran wali atas perempuan yang di walinya kawin dengan :

a. Laki-laki yang berbeda agama (musyrik) hal ini telah di jelaskan

pelarangannya dalam nash alQur’an: pada surat Al-Baqarah ayat: 122

Page 56: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

45

Artinya : “dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.” (Al-Baqarah: 221)

b. Laki-laki yang tidak sejodoh (sekufu).hal ini di peroleh keterangan dari

hadits riwayat ibnu majjah,al-hakim dan baihaqi dari aisyah ra.bahwa

nabi SAW pernah bersabda:

)الحديث (مهيلوا إحكان واءفآألوا احكان ومكتفطنوا لريخت

Artinya : “Pilihlah wahai para wali untuk anak keturunan (anak perempuanmu),kawinkanlah laki-laki dengan sejodoh,dan kawinkanlah dengan mereka.” (Jalauddin as Suyuti :130)

Juga di terangkan dalam hadits yang lain,yaitu di riwayatkan oleh

attirmidji dari abu hatim al muzanni,yang berbunyi:

ادسف وةنت فنك تهولعف تالوا احكان فهقلخ وهني دنوضر تن مماآتا أذإ

ريبآ

Artinya : “takkala datang kepadamu (untuk melamar kawin)seseorang yang kamu sukai agama dan akhlaknya,maka kamu kawinkan dia,sebab jika tidak kamu lakukan itu tinggal tungguan fitnah yang menimpa selai kerusakan yang besar” (M.Ali As saukani V1:261)

2. Pelarangan/ pencegahan wali karena menurut pengetahuan ada rintangan

syar’i seperti :

Page 57: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

46

a. Harus melalui kawin muhallil, karena baginya telah terkena talak tiga

(ba’in kubro), atau

b. Laki-laki yang meminangnya ada hubungan sesusuan (syihabuddin

alqayubi III : 225)

Adapun hak-hak perempuan yang diwali diantaranya:

1. Hak untuk mengatur dirinya sendiri, termasuk mementukan jodoh yang

melamarnya. Hal ini terlihat pada perempuan yang menjanda. Hal ini

diterangkan oleh Imam Muslim abu hurairah ra. Bahwa nabi pernah

bersabda :

ا هنذ افي آووا ال قنذأتس تتى حركب الحكن تال ورمأتس تتي حميال احكن تال.تكس تنأ : ال؟ ق اهللالوس ريا

Artinya: tidak boleh dikawinkan janda sehingga ia dimintai persetujuannya, dan tidak bisa dikawinkan gadis sehingga ia dimintai izinnya. Tanya sahabat, lalu bagaimana izinnya wahai rasulullah? Jawab beliau, dia berdiam. (Imam Muslim : 594)

Juga di temui pada hadits yang lain dari ibnu abbas,yang berbunyi:

.اهاتما صهنذإ ونذأتس تركبالا وهيل ون ماهسفنب قح أمأليا

Artinya: bagi janda yang lebih berhak atas dirinya dari pada walinya,sedang bagi gadis cukup dengan meminta ijinnya adalah diamnya.(Imam Muslim : 594)

2. Hak untuk menerima atau mengambil/mencegah mahar dari pihak (calon)

suaminya.perkara besar kecil mahar,atau maharnya di tangguhkan (tidak

Page 58: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

47

kontan),hal itu tidak mempengarui akan haknya. Bagaimanapun mengenai

mahar adalah hal perempuan juga (untuk menerima atau

membebaskannya).hal ini di dasarkan padafirman allah SWT.yang

berbunyi.

Artinya: “berikanlah maskawin (mahar)kepada wanita (yang kamu nikahi)sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.kemudian jika merekla menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati,maka makanlah (ambilah) pemberian itu (sebagai makanan)yang sedang baik lagi akibatnya”.(QS An Nisa’:4)

3. Hak untuk menaruh kasih sayang terhadap calon suami yang lazimnya di

lambangkan dengan bentuk kerelaan kepadanya.

4. Hak mengenai cacat badan yang mengenai diri calon suami ini juga

termasuk hak perempuan, untuk meneruskan atau membatalkan.

(sihabudin al Qalyubi 111, 225)

ل العضل إذا دعت بالغت عاقلة إلى آفاء وامتنع الولى من وإنما يحص

.اها لق حضتزويجه وإن آان امتناعه لنقص المهر ينم

Page 59: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

48

Demikian contoh hak-hak,baik bagi wali maupun bagi perempuan di

wali. Dengan hak yang di milikinya,seorang wali yang melakukan pencegahan

terhadap perempuan yang di walinya,bila atas dasar-dasarhak yang di

milikinya untk melakukan hal tersebut memang di benarkan,karena

mempunyai hak yang di benarkan syara’. Maka dari itu pelanggaran tadi

tidaklah sebagai tindakan ‘adhal,akan tetapi tindakan yang atas dasar apa yang

sebenarnya (‘adil). (sihabuddin Al Qalyubi,111:225)

Dengan demikian dapat di peroleh gambaran, bahwa latar belakang

wali ‘adhal adalah terpenuhinya hak-hak wali atas perkawinan maulanya,

yang

seharusnya si wali tidak berkeberatan (sudah menjadi kewajiban) untuk

melangsungkan perkawinannya, akan tetapi justru melakukan pencegahan dari

dilangsungkan perkawinannya. Akan tetapi justru melakukan pencegahan dari

Page 60: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

49

dilangsungkanya perkawinan. pencegahan inilah yang oleh Fiqih sebagai pencegahan

yang tidak beralasan (tidak ada sebab syar’i) dan ini pula yang di kenal sebagai wali

‘adhal dalam perkawinan. adapun untuk memudahkan dalam mendeteksi wali ‘adhal

ini, maka di susunlah kriterianya.

C. Keriteria wali ‘adhal

Para ulama sepakat, bahwa untuk kriteria wali ‘adhal setidaknnya ada dua

syarat yang dapat di penuhinya, di antaranya adalah : lelaki yang melamarnya

adalah sekufu (sejodoh), dan sanggup membayar mahar mitsil.

Mengenai kesepakatan ulama di atas, pernah di ungkapkan oleh ibnu

rusydi di dalam kitabnya “bidayatul mujtahid”dalam keterangan:

Para ulama sepakat bahwa tidak di benarkan bagi wali untuk mencegah

anak perempuannya (dari kawin) takkala ia berhadapan dengan pasangan yang

sejodoh berikut dengan mahar mitsilnya.(Ibnu Rusydi)9

Begitu juga sayyid sabiq dalam “Fiqhus Sunnahn” juga memberi

keterangan senada:

Di kalangan ulama telah ada sepakat bahwa sesungguhnya tidak ada hak

bagi wali untuk menghalangi maulanya, apalagi melarangnya untuk

9Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid, (Semarang: Asyafi’iyah, 1990) Cet ke-1

Page 61: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

50

melangsugkan perkawinan, manakala ada yang menghendaki laki-laki yang

sejodoh (dengannya) dan dengan membayar mahar mitsil.10

Dari dua keterangan di atas walaupun secara tidak langsung mengenai

kriteria wali ‘adhal akan tetapi keterangan tersebut mengandung pengertian,

bahwa seorang wali akan di nyatakan sebagai wali ‘adhal, manakala

pencegahan/pelarangnya terhadap perempuan yang di bawah perwaliannya itu

telah memenuhi dua syarat di atas,yaitu pasangan/laki-laki yang mengawininya

telah sejodoh, serta membayar mahar mitsil.

Demikian penjelasan ulama perihal kriteria wali ‘adhal yang bila di

simpulkan akan terkumpul empat syarat yaitu:

1. laki-laki yang akan mengawini telah sejodoh dengan perempuan yang

akan di kawini

2. Dengan membayar mahar mitsil

3. adanya keinginan(kehendak)dari maula utuk kawin

4. telah saling mencintai (saling rela) antara yang satu dengan yang lainnya.

Dengan terpenuhinya kriteria-kriteria tersebut di atas maka jika seorang

wali menolak untuk mengawinkan orang yang di bawah perwaliannya maka wali

10 Sayiq Sabiq, Fiqh Sunah Alih Bahasa: Muhammad Thalib. Bandung: PT. Alma’arif , 1997,

cet ke-13 jilid 7, h.121

Page 62: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

51

tersebut dinamakan wali ‘adhal,dan hak perwaliannya berpindah kepada orang

lain.

Page 63: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

51

BAB IV

PERSPEKTIF EMPAT IMAM MADZHAB TENTANG WALI ‘ADHAL

A. Menurut Madzhab Maliki

Dalam Mazhab Maliki, terutama sekali pada ulama’ nya ada kecendrungan

sama dalam menyampaikan pendapatnya mengenai wali ‘‘adhal ini dengan

Mazhab Syafi’i, dalam pendapatnya dalam kalangan maliki menyatakan

ي ذ الءفك الن مةيالوا الهيل عه لن مهري غو أربجـ الميلو العنا مذإو مآاا الحهرم أعفر ين أا لهل بدصبألي ال إةيالو اللقتنت اله بتضر هرم االا وهيلا إهد رالوقعما ببا سرهظ أنإ فهاعنت امبب سن عهلأسيل.مآا الحجو زمآا الحرم أدعا بهجيوز تن ععنت امنإا فهجيوزتب

Artinya : “Tatkala ada seorang wali baik itu mujbir atau bukan, menghalangi maulanya untuk kawin dengan pasangan yang sekufu lagi pula si maula rela terhadapnya, maka perwalian tidak pindah pada wali yang jauh (wali ab’ad) akan tetapi berhak bagi si maulanya untuk melaporkan perkaranya kepada hakim, dengan maksud untuk mempertanyakan kepada si wali mengenai sebab sebab itu dan masuk akal, maka hakim menyerahkan urusan maula tersebut kepadanya, akan tetapi kalau tidak, hakim memerintahkan pada si wali membangkang untuk mengawinkannya setelah di perintahkan hakim, maka hakim bertindak untuk mengawinkannya.1

Dalam keterangan lain di jelaskan :

1 Abdurrahman Al-Jaziri, Kitabul Fiqih Alal Mazhibul al Arbaah, Qisem Al-Ahwalus

Syakhsiyyah, Jilid IV, Riyad, Muktabah al Riyadul Hadisah, TT, h.35

Page 64: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

52

هرورج منأل عنمل لداص قكل ذلص فهن اهيل عتبث أن االاض عربنع يمناو اس النقغش اوه ويلوا الهملع يةحلصم لد قل بلضع الىل علدي الباطخال جو زم ثجيوزالت بمآا الحهرم أةر مول ورر الضدص قققح تنا وهثني بلع .ذغف ي لمنا

Artinya: “Sesungguhnya seorang wali di nyatakan ‘‘adhal itu manakala telah pasti bahwa apa yang dia lakukan memang dengan maksud mencegah/melarang maulanya dari kawin, sebab kalau hanya untuk menolak orang yang melamar itu tidak bisa menunjukan bahwasanya ia ‘‘adhal, bahkan terkadang untuk menarik kemaslahatan yang diajarkan wali untuk maulanya apapun dia adalah sesayang-sayangnya manusia terhadap perempuan, akan tetapi bila nyata-nyata dengan maksud merusak dengan sekali saja, hakim memerintah utuk mengawinkannya, dan kalau tidak sanggup mengawinkan, maka hakimlah yang mengawinkan.2

Lebih Dari itu, dalam keterangan salah seorang pendukung dari mazhab ini

yaitu Ibnu Rusydi juga di dapati keterangan yang sama dengan apa yang telah di

sebutkan di muka yakni mengenai penentuan problema berikut upaya

penyelesainya yang sama-sama melalui seorang hakim, akan tetapi dalam Ibnu

Rusydi tersebut menagani pergantian wali tidaklah dilakukan oleh hakim, akan

tetapi oleh wali berikutnya selain wali akrab, hal ini tampak pada keterangan:

ا هناا وهلث ماقدصي وءفى آل اتعارذ إهتيلو لضع ين أىلول لسلي بألاا داعا مهجوزي فانطلى السلا اهرم أعفرت

Artinya: “Bahwa bagi wali tidak berhak untuk menghalangi anak yang di walinya (dari kawin),manakala ia menghendaki pasangan yang telah sekufu dan dengan mahar mitsilnya. (maka bila si wali mecegah ) hendaknya bagi perempuan yang di wali melaporkan perkaranya pada hakim, dan

2 Abdurrahman Al-Jaziri, Kitabul Fiqih Alal Mazhibul al Arbaah, Qisem Al-Ahwalus

Syakhsiyyah, h.35

Page 65: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

53

kemudian untuk perkawinannya di lakukan oleh wali berikutnya selain bapa (aqrab).3)

Pendapat yang di sampaikan oleh Ibnu Rusydi, menurut keterangan di

dasarkan pada petunjuk hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah R.A yang di

antaranya menyebutkan

ه لىل و الن مىل وانطلالسوا فرجت اشنإف...

Artinya: “Maka apabila terjadi sengketa,hakim adalah wali bagi seorang yang baginya tidak punya wali (Ibnu Rusydi:7)

Dengan dapat diperoleh kesimpulan umum, bahwa dalam mazhab maliki

bagaimana problema dan penyelesaian wali ‘‘adhal tentu melihat seorang hakim,

dan bagi hakim berkewajiban menggantikannya (sebagai jalan menuju jalan

penyelasiannya) bila dalam wali yang bersangkutan tetap dalam sikap ‘‘adhalnya.

Namun demikian ada di antara ulama’dari mazhab ini yang berpendapat lain,

yakni melalui wali kerabat yang lain (selain wali akrab), guna mencapai

penyelesainya.

3 Abi Abdillah Muhammad Al Andalusi asy Syahrir bin Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, juz II, (Beirut, darul Fiqr,TT), h.15

Page 66: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

54

B. Menurut Madzhab Hambali

Di dalam Mazhab Hambali di ceritakan tentang Ahmad bin Hambal bahwa

beliau pernah memberikan penjelasan mengenai wali ‘‘adhal ini. di satu riwayat,

bahwa wali yang ‘‘adhal terutama yang ‘adhal itu adalah wali aqrab, maka

dengan demikian perwalian berpindah kepada wali ab’ad. sedang di sisi yang lain

menjelaskan, bahwa perwalian menjadi pindah kepada hakim.4

Namun dengan demikian, wali ‘adhal berikut upaya penyelesaiannya, telah di

tanggapi/di bahas oleh kalangan mazhab Hambali (Hanabilah) ini, walau tetap

tidak melepaskan kemungkinan perbedaan pendapat di antara mereka. Walau

demikian Syeh Abdurrahman al Jaziri sebagaimana ada Dalam keterangannya,

yakni hampir sama dengan pendapat hanabilah mengenai wali ‘adhal ini,

pendapat beliau:

ن ما لههردا قمب وه بتيضى رذ الجو الزن مةيالوا الهيل عهل ن معنم ينا لض عال فكل ذنو دنا مم ارثآأ فنين سعس تتغلا بذا إه مألـ لحلص يرهم ىلوا الهعنى متلا اجو زراثبى يذ الوه فماآحل للاضع الن مقح اللقتنتو. اهل .هري غو أربج مان آاءو سجو الزنم

Artinya: “Apabila ada seseorang yang mempunyai hak perwalian (wali) mencegah maulanya dari kawin dengan calon (suami) yang telah ia cintai, dan dengan memberi mahar, dan dia telah mencapai umur sembilan tahun bahkan lebih (ia telah baligh), sikap wali tersebut tidaklah sebagai ke’adhalan wali terhadap maulanya .(dan bila wali itu ‘adhal) maka perwalian berpindah kepada hakim, karena dialah yang berkewenangan untuk mengawinkan atas diri maula yang di wali mencegah dari kawin, baik itu wali mujbir maupun bukan mujbir5

4Al-Imam Syamsuddin Abi Faraj Abdurrahman Ibnu Qodamah Almuqaddasi, al-Mughni Wa

Syahrul Kabir juz VII, Beirut, Darul Kutabil Ilmiyah, TT, hl. 368. 5 Abdurrahman Al-Jaziri, Kitabul Fiqih Alal Mazhibul al Arbaah, Qisem Al-Ahwalus

Syakhsiyyah, h.41

Page 67: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

55

Sebagaimana telah disinggung di atas, mazhab hambali pun ada di antara

ulama yang cendrung berpendapat lain. yaitu Ibnu Qadamah, dalam

menyampaikan pendapatnya mengenai wali ‘adhal beliau cendrung untuk

upayanya penyelesaian wali ‘adhal, dengan beberapa pertimbangan terutama

berdasarkan petunjuk hadits ‘Aisah RA, tidak melepaskan keterlibatan seluruh

wali (dari wali aqrab) yang ada. Jadi jika terjadi ke’adhalan pada diri wali, dalam

hal ini adalah wali yang paling dekat (wali aqrab) maka untuk perwaliannya di

gantikan oleh wali berikutnya yang lebih jauh (ab’ad), dan seterusnya hingga

habis para wali kerabat, dan seterusnya baru pindah ke wali hakim. dalam

pendapatnya tersebut Ibnu Qadamah menjelaskan sebagai berikut:

لضعال بقسف يهنأل ونجوا لم آدصبأل اابرقال اةه جن مجيوز الترذص تهنا انلو انطللس اهلوا، قن لةج حثيدحال ومآا الحجو زمهل آاءيلوال الض عنإ فهن علقتنتف لاونت يعم جريم ض"وارجتشا" نال .لك للضا عذاا مهذهو. ه لىلو الن مىلولكال

Artinya: “Menurut kami (Ibnu Qadamah) bahwa terhalangnya kawin oleh sebab pencegahan wali aqrab, (dengan sendirinya) pindah untuk kepentingan perkawinan itu kepada wali ab’ad. hal ini sebagaimana bila wali (aqrab) itu lagi pula perbuatan mencegah kawin (‘adhal) itu menjadi fasiq bagi wali (yang bersangkutan), karena itu pindahlah perwalian dari wali aqrab tersebut kepada wali yang lain (ab’ad). dan bila seluruh wali telah ‘adhal, barulah pindah kepada hakim. adapun hadits yang menjadi landasan kami adalah “sultan (hakim) adalah wali bagi seseorang yang baginya tidak mempunyai wali” hal ini adalah urusan wali bagi perempuan dan kemungkinan bagi hakim untuk menjadi wali, manakala dari seluruh wali itu ‘adhal, karena ada penjelasan hadits “maka apabila

Page 68: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

56

mereka bersengketa”, damir jama’(sebagian ada penjelasan tadi) menarik pengertian keseluruhan, (bukan sebagiannya).6

لوص حرذع تبرقألان ألو. اهيل وانطل السنوك يال فبرقألا اهلضا عذاو هالا حهنألو ات مو أتجوا لم آاتبصع الن مهيل ينم لةيالو التبثت فهن مجيوزالتلصألا آدعبأل لكل ذانك فبرقأل اريغ لجيوزا التهي فزوجي

Artinya: “Apabila wali aqrab mencegah (‘adhal) terhadap maulanya, terhadap kawin, maka hakim tidak bisa menjadi walinya, karena wali aqrab telah menjadi halangan dari dirinya sendiri terhadap perkawinan. Maka dengan demikian beralihlah perwaliannya kepada wali yang berikutnya (dari ‘asabah). hal ini terjadi sebagaimana wali aqrab itu gila atau bahkan mati, sehingga dengan demikian bolehlah perkawinan di lakukan atas diri maulanya, oleh wali selain aqrab. maka demikian, bagi wali ab’ad (menduduki) sebagaimana wali asli (wali aqrab).7

Demikian penjelasan/ulasan dari mazhab Hambali (hanabilah) mengenai wali

‘adhal berikut upaya penyelesaiannya. Kiranya dari keterangan tersebut dapat di

peroleh kesimpulan bahwa dalam mazhab Hambali dalam hal ini ulamanya

cendrung dalam proses dan penyelesaian wali ‘adhal dengan melalui seorang

hakim, dan hakim pula yang tampil sebagai penggantinya manakala ia (wali yang

bersangkutan ) tetapi dalam ke’adhalannya. Namun demikian ada di antara

mereka yang berpendapat lain, yakni penyelesaian wali ‘adhal dengan melalui

wali kerabat yang lain (walaupun wali yang jauh sekalipun), baru kemudian

pindah ke hakim, setelah mereka tidak bisa di harapkan untuk tampil sebagai

wali.

6Al-Imam Syamsuddin Abi Faraj Abdurrahman Ibnu Qodamah Almuqaddasi, al-Mughni Wa Syahrul Kabir juz VII, Beirut, Darul Kitabil Ilmiyah, TT, hl. 368.

7 Al-Imam Syamsuddin Abi Faraj Abdurrahman Ibnu Qodamah Almuqaddasi, al-Mughni Wa Syahrul Kabir juz VII, Beirut, Darul Kutabil Ilmiyah, TT, hl. 370.

Page 69: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

57

C. Menurut Madzhab Hanafi

Di dalam mazhab hanafi juga telah di dapati keterangan mengenai wali ‘adhal

tersebut. Namun demikian, keterangan yang dapat di ungkapkan di sini adalah

keterangan dari para ulama’mazhab tersebut.

Sebagaimana di ungkapkan oleh Abdurrahman al Jaziri melalui kitabnya,

bahwa menurut Ulama’ Madzhab Hanafi adalah wali aqrab yang melakukan

pencegahan terhadap maulanya dari kawin dengan pasangan yang telah sekufu

berikut dengan membayar mahar mitsil, maka jalan penyelesaianya di sebut sama

halnya dengan penyelesaian atas wali yang ghaib yang sulit di temukan dan di

datangkan. Demikianlah itu perwaliannya tidak pindah kepada wali hakim, selagi

masih ada wali yang lain yaitu wali ab’ad.(Abdul al Jaziri IV :41).

Lebih lanjut Syekh Abdurrahman al Jaziri mengutip penjelasan mereka

(hanafiah), mengenai wali ‘adhal tersebut sebagaimana penjelasannya sebagai

berikut:

رهما بهبلاطذ اءفك الاجوزأل احلص يتى الةريغ الصهتن ببأل اعنا مذإف خأللالا ودج واندجالا آهيلى يذل لةيالو اللقتنت والاض عن علثمالا،ذكه وقيقالش

Artinya: “Apabila ada seorang bapak mencegah (melarang) anak perempuannya

yang masih kecil, dan ia telah patut untuk di kawinkan, lagi pula

pasangan 6 calon suami telah sekufu dan dengan membayar mahar

Page 70: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

58

mitsil, maka dengan demikian wali yang bersangkutan (bapak) adalah

‘adhal dan dengan demikian pula perwalian menjadi pindah kepada wali

berikutnya, seperti kepada kakek, jika ada dan kalau kakek tidak ada

maka kepada saudara sekandung dan seterusnya.8

D. Menurut Madzhab Syafi’i

Pembahasan mengenai problema wali ‘adhal berikut penyelesaiannya, di

dalam madzhab Syafi’i kedua sama-sama melibatkan seorang penguasa (Hakim)

sebagai pengendalinya. Adapun mengenai keterlibatan penguasa/ hakim selaku

pengendali kedua hal tersebut maksudnya adalah dialah yang berwenang untuk

memproses dan mengusut permasalahan wali yang berkondisi ‘adhal tersebut

berikut mengusahakan dengan upaya apa yang mengantintisipasi dan

penyelesaian munculnya permasalahan tersebut. hal ini di lakukan

penguasa/hakim tentunya setelah ada laporan/pengajuan dari maula wali ‘adhal

tersebut. (sebagai pihak yang di perlukan tidak adil/di rugikan).

Mengenai keterlibatan seorang hakim terhadap wali ‘adhal tampak pada

ulasan seorang ulama’dari mazhab syafi’i, yakni Imam Jalaluddin al Mahalli

dalam satu kitabnya ”Sarh minhajuattalibin”, yang antara lain menerangkan:

8 Abdurrahman Al-Jaziri, Kitabul Fiqih Alal Mazhibul al Arbaah, Qisem Al-Ahwalus

Syakhsiyyah, h.41

Page 71: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

59

ني بجوز التن مىلو النوم ينأ بجوزي لماآح الدن علضع التوب ثن مد بالو و أررقت لهيل عةنيب الامقتو أانراض حباطحال وةأرلما وه بهرم أدع بهيدي لاضعفال ا وضرف اللص حدقف جو زن إهنإ فرضا حذا ففلخى باروت

Artinya: “Di haruskan dalam mencari kepastian bahwa seorang wali itu ‘adhal adalah di muka hakim setelah di perintah dan nyata-nyata menolak untuk melangsungkan perkawinan, sedangkan perempuan (yang menjadi maulanya) berikut laki-laki yang melamar juga hadir, atau juga ia di datangkan saksi untuk memperkuat atau menyembunyikannya (ini bila ia tidak hadir), dan setelah di hadapkan hakim, lalu si wali bersedia mengawinkannya. tercapailah tujuan untuk mengantisipasi wali ‘adhal akan tetapi sebaliknya bila ia tidak bersedia mengawinkan maka nyatalah ia sebagai wali ‘adhal.9

Demikian keterlibatan seorang hakim dalam menghadapi wali ‘adhal berikut

upaya awal untuk mengansitipasinya, namun demikian bila dipahami, bahwa

upaya tersebut akan membawa hasil manakala si wali kembali dari ‘adhalnya

(bertaubat), yaitu bersedianya untuk melangsungkan akad perkawinan dalam

kaitan ini, pernah di ulas oleh seorang ulama’ Mazhab Syafi’i juga, yaitu al

Qalyubi, dalam keterangan menjelaskan:

م ثلضع الماآح الجو زول وه بهتيل ودوعت فهجيوزت بلصح تلاضع الةبوت ال البق يم لمآا الحجيوز تلب قجوز ولضعلا ن ععج رهن اىلوى العاد .هنيبب

Artinya: “Taubat seorang wali yang ‘adhal itu dapat terwujud dengan bersedianya untuk mengawinkan, dan dengan itu pula kembali perwaliannya, dan andai kata si hakim yang melangsungkan perkawinan karena ke ‘adhalan wali, lalu si wali mengaku bahwa dirinya telah menarik kembali dari ‘adhalnya dan akan

9 Jalaluddin bin Muhammad bin Ahmad Al Mahalli, Syarh Minhajut Talibin, Juz III,

(Surabaya, Maktabah Nabhan, 1974) , cet IV, h.225

Page 72: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

60

melangsungkan perkawinannya sebelum di langsungkan oleh hakim, hal tersebut yakni pengakuan kembali wali, tidak bisa di terima kembali kecuali dengan saksi-saksi.10

Dari ulasan di atas semakin terang, bahwa langkah awal yang di sajikan

ulama’ fiqih dalam menghadapi wali ‘adhal tersebut, yakni melalui hakim agar

wali yang bersangkutan menarik kembali (taubat) dari ‘adhalnya, bagaimanapun

langkah awal tersebut dapat di pahami sebagai wujud dari analog terhadap sejarah

masa lalunya, yaitu sejarah wali ‘adhal yang terjadi pada masa Rasulullah, dan

pelakunya adalah Ma’qil Ibnu Yasar. dalam proses penyelesaian atas sikap

‘adhalnya, Ma’qil tidak keberatan dan menarik kembali (taubat) dari ‘adhalnya.

hal itu di lakukan di hadapan dan setelah ada fatwa yang bernada melarang dari

Nabi SAW. (Selaku Hakimnya) atas perbuatannya yang tercela tersebut,

pernyataan yang menggambarkan taubatnya Ma’qil secara terang di muat dalam

suatu riwayat hadits yang di keluarkan oleh Imam Bukhari dan Imam Abu

Qadamah mengutip sebagaimana tersebut:

اهيإا هجوز فالق. اهللالوسار يلعف أآلن اتلقف...

Artinya: “Lalu aku katakan, sekarang akan aku kerjakan wahai Rosulullah (sebagai pernyataan taubatku) dan kata perawi, lalu dia kawinkan maulanya dengal bakal suaminya.11

10 alaluddin bin Muhammad bin Ahmad Al Mahalli, Syarh Minhajut Talibin, Juz III, h.225

11 Al-Imam Syamsuddin Abi Faraj Abdurrahman Ibnu Qodamah Almuqaddasi, al-Mughni Wa

Syahrul Kabir juz VII, h. 369.

Page 73: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

61

Namun demikian, bila terjadi pembangkangan dari wali ‘adhal ini, artinya

cara awal yang ditempuh hakim belum dapat diantisipasi sikap ke’adhalan wali

tersebut. Menurut Madzhab ini, maka hakim yang telah mengawinkan atas diri

maula dari wali ‘adhal tersebut atau mewakilkan kepada orang lain untuk

mengawinkan. Mengenai hal ini, pernah dijelaskan langsung oleh Imam As

Syafi’i melalui kitabnya “AL UM” yang antara lain memberi keterangan :

. هرم الاض عىلو النإ فرظن تنوا أرجت اشن إانطلى السل عنإوا يل ول آو يو اجوز ين أانطلى السلع وهعن مقح فجو زنإ فجيوزالتبجوزي فهريغ

Artinya: “Bila para wali terjadi sengketa, hendaknya seorang hakim

memperhatikan, bahwa kalau saja si wali itu seorang wali yang ‘adhal, maka diperintahkan untuk sanggup mengawinkan, maka apabila wali mengawinkan, habislah masalahnya, tetapi apabila wali tidak mau mengawinkan, maka teranglah pencegahan atau pembangkangannya, dan kewajiban bagi wali hakim untuk mengawinkan atau mewakilkannya kepada orang (wali) lain untuk mengawinkan.12

Dalam keterangan yang lain Imam Syafi’i menjelaskan bahwa perpindahan

wali/pergantian wali atas diri wali ‘adhal kepada hakim. Ini terjadi manakala yang

‘adhal itu dari wali dekat (akrab). Sedang wali yang lain yaitu wali yang (ab’ad)

tidak bisa mengganti pengganti, dengan kata lain ditangguhkan, karena hakim

sajalah yang berwenang untuk penggantinya. Lebih jauh dijelaskan oleh beliau

melalui keterangan:

ةابرقى ال فهيلى يذ الىلوا الهجوز يال فجيوز التن معنتماا فراض حىلو الانآ نإو ن أهيل عقح فانطلى السل اكل ذعفر انإ فهمك حوجى يذ الانطل السالا اهجوز يالو

12Al Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris As Syafi’i, AlUmm, jilit III, Juz V,(Beirut,

Darul Fiqri, 1983), cet-II, h.14

Page 74: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

62

Artinya: “Tatkala seorang wali itu hadir, lalu dia membangkang dan melangsungkan perkawinan, maka tidak bisa melangsungkan perkawinan maulanya wali yang lain dari golongan kerabat, tetapi hakim sajalah yang berwenang (berhak) mengawinkannya. Dan ini setelah ada laporan (dan pembuktian) oleh hakim. Di antaranya hakim berhak mempertanyakan mengenai wali (yang ‘adhal tersebut), kalau saja ghaib, maka beralih mengenai pihak yang melamar. Maka, kalau saja hakim telah menerima laporannya (dan telah membenarkan laporan tersebut) maka hakim (memerintahkan) untuk mendatangkan wali yang lebih dekat (wali akrab) dan kerabat lain dari keluarganya. Lalu hakim mempertanyakan : apakah kamu sekalian berkeberatan sekali (untuk mengawinkan)?, kalau saja mereka menjawab berkeberatan , maka hakim harus memandang kalau saja bagi si pelamar dipandang telah sekufu, sedangkan bagi si perempuan telah rela untuk menerimanya, maka hakim memerintahkan kepada mereka untuk mengawinkannya. Dan kalaupun hakim tidak memerintahkan mereka (terlebih dahulu), hakimpun berkewenangan untuk mengawinkannya, karena kalau saja terjadi ada seorang wali yang hadir lalu ia membangkang untuk mengawinkan maulanya dengan pasangan yang disukainya, maka hakim juga akan mengawinkannya dengan pasangan yang disukai tadi.13

Adapun mengenai perwakilan seorang hakim, juga telah diterangkan beliau

melalui keterangannya :

ا ذ إهجيوز تدج وهامق مهليآ وامق لآوا فراض حهن مبرق أى الذ الىلو الان آنإو تأرمى الضر تهجوزى فأ رن مجوز ين أهلآ وو أهجوز فهنيص بلج رجيوزت بهلآو ءالآو الءار وهرما بدص تهنا مذ هانآ وزجي ا لمؤف آري غجو زنإ فهنيص بهب

13 Al Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris As Syafi’i, AlUmm, jilit III, Juz V, h.14

Page 75: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

63

Artinya: “Kalau wali yang bukan akrab (artinya wali ab’ad) itu hadir, lalu diangkatnya menjadi wakil (oleh hakim), maka dengan demikian perwakilannya menduduki kedudukan hakim, dan boleh mengawinkan. Hal tersebut diperbolehkan (mengingat) diperbolehkannya menjadi wali untuk mengawinkan orang laki-laki yang telah tertentu (adanya), atau menjadi wakil untuk mengawinkan atau mengawinkan dengan seorang yang dia lihat, dan betul telah mengawinkan dengan seseorang yang telah sekufu dan si perempuan telah menerima (rela) terhadap seseorang tadi. Akan tetapi bila seseorang tadi tidak sekufu maka perkawinannya tidak boleh dilangsungkan, karena dengan tidak sekufu itu menjadi tertolak perkawinannya begitu pula perwakilannya kepada para wakil, itu juga tertolak.14

Namun demikian ada kecendrungan dari kalangan mazhab Syafi’i, bahwa

untuk menyelesaikan wali ‘adhal tidak saja terkuasai oleh hakim sebagai pihak

yang berkewenangan untuk menggantikannya, akan tetapi juga wali yang jauh

(wali ab’ad) pun berkewenangan untuk menggantikannya, dengan syarat

ke’adhalannya yang di lakukan wali akrab telah berkali-kali, yaitu tiga kali

berturut –turut atau lebih, sedangkan bagi si hakim belum sanggup melakukan

penggantiannya (belum melangsungkan perkawinan bagi maulanya) mengenai hal

ini di ungkapkan oleh seorang wali fiqih masa kini, yakni Syeh Abdurahman al

Jaziri dalam kitabnya “kitabul fiqih ‘Alal Madzahibin Arba’ah” mengungkapkan,

kalangan mazhab Syafi’i berpendapat:

أجل تنا أه لناا فهعنم ولثم الرهلم انود بول واءفك النا مهجوز ين اهن متبلا طذإف و أةر معنالم بةيالو ال فىطقس يم لىلو الق حنأل ىللو ان عةابيا نهجوزي فماآحى اللا كلذ بنوك يهنا فرثآأ فاتر مثالا ثهلضاعذإ، فىلو النا عبائ نماآح النوكي فنيترم دع بك للقتنتوةيالوى ال فهق حطقسيا فروظح مبكترا دا قاسقف

14 Al Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris As Syafi’i, AlUmm, jilit III, Juz V, h.15

Page 76: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

64

Artinya: “Bahwa apabila seorang wali melakukan pencegahan terhadap perempuan di walinya dari perkawinan, sedangkan dia menghendaki untuk di langsungkan perkawinan tersebut, mengingat pasangannya yang telah sekufunya dan walaupun dengan mahar kurang dari mahar mitsil, dari itu ia berhak untuk melaporkan perkaranya kepada hakim, kemudian hakim mengawinkannya sebagai penggantinya dari wali (yang bersangkutan) karena hak bagi si wali tersebut belum gugur lantaran pencegahannya yang di lakukan baru sekali atau dua kali saja, maka hakim lah yang menggantikannya. Akan tetapi pencegahannya itu sampai berkali-kali (tiga kali atau lebih), maka ialah yang menjadi fasiq dan di nyatakan telah melakukan perbuatan terlarang dengan demikian gugurlah haknya dan pindahlah perwalian kepada wali lain yaitu wali ab’ad.15

Demikianlah penjelasan dari mazhab Syafi’i berikut para ulama’ pengikutnya

mengenai problema wali ‘adhal berikut upaya penyelesaiaannya, dan dari

penjelasan tadi atas , dapat di peroleh kesimpulan bahwa dalam mazhab Syafi’i

wali ‘adhal akan tampak dan nyata sebagai suatu problema dalam perwalian,

manakala telah di hadapkan dan di buktikan oleh hakim (yang menanganinya)

mengenai ke’adhalannya tersebut menurut mazhab ini, hakim berkewajiban untuk

mengupayakan agar perkawinan maulanya bisa berlangsung pertama dengan

intruksi (perintah) untuk mencabut ke’adhalannya yaitu dengan sanggup

melangsungkan perkawinannya, dan kalau saja dia masih mecegah

(membangkang) maka kewajiban bagi hakim untuk menempuh cara kedua yaitu

penggatian wali.

15 Abdurrahman Al-Jaziri, Kitabul Fiqih Alal Mazhibul al Arbaah, Qisem Al-Ahwalus

Syakhsiyyah, h.40

Page 77: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

65

Dalam hal ini akan di lakukan oleh hakim sendiri untuk mengawinkannya,

karena dalam hal wali ‘adhal tidaklah gugur hak perwaliaannya, maka dari itu

hakim sajalah yang berhak menggantikannya.

Adapun perpindahannya pada wali yang lain (wali kerabat), pendapat ini

dapat di pahami sebagai kemungkinan dari ulah hakim yang kurang bisa

mengantisipasi kondisi wali yang ada tersebut, sehingga membawa akibat yang

lebih buruk, yaitu perbuatan terlarang dan gugurnya hak perwalian.dengan

demikian pindahlah hak perwalian tidak pada hakim akan tetapi pada wali yang

lain (wali ab’ad).

E. Relevansinya Pendapat empat Imam Madzhab fikih tentang wali adhal dan

dengan hukum Perkawinan di Indonesia

Pada bagian ini penulis akan mengaitkan pendapat dari empat mazhab

mengenai perkawinan pada umumnya dan perwalian mengenai wali ‘adhal pada

khususnya dan relefansinya terhadap hukum islam Indonesia pada umumnya

beberapa pendapat para imam mazhab mengenai wali ‘adhal dapat menjadi

beberapa kelompok di antaranya:

Kelompok yang menyatakan bahwa masalah wali ‘adhal itu di tentukan di

muka hakim. Dan bila terjadi penggantinya wali atasnya, maka hakim pula yang

menggantikannya, bukan wali yang lain dari kerabat, kecuali kalau si hakim

mewakilkannnya,

Page 78: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

66

Adapun ulama yang berpendapat demikian, di antaranya adalah: imam as-

syafi’i dan para ulama dari mazhabnya (syafi’iyah),dan ulama dari mazhab Maliki

(malikiah) dan ulama dari mazhab Hambali (hanabilah)

Kelompok yang menyatakan, bahwa wali ‘adhal itu di tentukan di muka

hakim. Akan tetapi bila terjadi penggantian wali atasnya, maka di lakukan (di

gantikan ) oleh wali yang lain dari kerabat,kecuali kalau sudah tidak lagi wali dari

kerabat yang sanggup menjadi wali, maka hakim yang menggantikannnya.

pendapat ini adalah pendapat yang di sampaikan oleh Ibnu Rusydi dari mazhab

maliki, Ibnu Qadamah dan mazhab hambali dan umumnya ulama’ dari mazhab

hanafi.

Ketentuan tentang masalah wali yang tidak mau menikahkan anak

perempuan atau yang disebut wali ‘adhal dalam konteks keindonesiaan pendapat

empat Imam Mazhab mengenai hal ini dapat terealisasikan pada Kompilasi

Hukum Islam Indonesia yang telah diatur dalam peraturan yang berlaku yaitu

peraturan mentri Agama Republik Indonesia No. 2 Tahun 1987 tentang wali

Hakim pada Bab dua yang berbunyi :

Pasal 2

1.) Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia

atau di luar negeri/wilayah ekstra-teritorial Indonesia ternyata tidak

mempunyai Wali Nasab yang berhak atau Wali Nasabnya tidak

Page 79: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

67

memenuhi syarat atau mafqud atau berhalangan atau ‘adhal, maka

nikahnya dapat dilangsungkan dengan Wali Hakim.

2.) Untuk menyatakan ‘adhalnya Wali sebagaimana tersebut ayat (1) pasal

ini ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama yang mewilayahi

tempat tinggal calon mempelai wanita.

3.) Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan ‘adhalnya Wali

dengan cara singkat atas permohonan calon mempelai wanita dengan

menghadirkan wali calon mempelai wanita.

Pasal 3

Pemeriksaan dan penetapan ‘adhalnya Wali bagi calon mempelai wanita

warganegara Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri dilakukan

oleh Wali Hakim yang akan menikahkan calon mempelai wanita.

Pada dasarnya Negara Indonesia menganut ajaran mazhab empat hal ini

berpengaruh pada ketetapan dalam hal pernikahan yang berdampak pada

ketetapan pemerintah mengenai perkawinan No 1 tahun 1974 dalam Kompilasi

Hukum Islam Indonesia.

Page 80: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

68

BAB V

A. Kesimpulan

1. Pada penulisan skripsi ini selanjutnya penulis dapat simpulkan yang

merupakan jawaban rumusan permasalahan yang penulis buat adapun

kesimpulan yang didapat adalah sebagaimana berikut: beragamnya pendapat

imam mazhab fikih islam mewajibnya adanya wali dalam perkawinan karena

merupakan salah satu syarat syahnya suatu perkawinan dalam hokum islam

baik itu dari hokum positif di Indonesia pun mensyaratkan adanya perwalian

mengenai wali adhal dalam hal ini dapat di gantikan oleh wali hakim.

2. Empat imam mazhab fikih tentang wali adhal dan relevansinya dengan hokum

perkawinan di Indonesia pada bagian ini penulis mengaitkan pendapat empat

imam mazhab mengenai perkawinan dan perwalian wali adhal pada

khususnya dan relevansinya terhadap hokum perkawinan di Indonesia pada

umumnya beberapa pendapat para imam mazhab mengenai wali adhal dapat

menjadi beberapa kelompok di antaranya:

adalah:imam Asyafi’i dan para ulama dari mazhabnya(syafi’iyah),dan ulama dari

mazhab maliki(malikiyah)dan ulama dari mazhab hambali(hambaliyah).

Kelompok yang menyatakan,bahwa wali adhal itu di tentukan di muka

hakim.akan tetapi bila terjadi penrgantian wali atasnya,maka di lakukan (di

Page 81: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

69

gantikan)oleh wali yang lain dari kerabat,kecuali kalau tidak lagi dari wali

kerabat yang sanggup untuk menjadi wali,maka hakim yang

menggantikannya.pendapat ini adalah pendapat yang di sampaikan oleh ibnu

rusydi dari mazhab maliki,ibnu Qadamah dan mazhab hambali dan umumnya

ulama dari mazhab hanafi.

Ketentuan tentang maslah wali yang tidak mau menikahkan anak

perempuan atau yang di sebut wali adhal dalam konteks keindonesian pendapat

empat imam mazhab mengenai hal ini dapat terealisasikan pada kompilasi hokum

islam Indonesia yang telahdi atur dalam peraturan yang berlaku yaitu mentri

Agama Republik Indonesia No. 2 Tahun 1987 tentang wali Hakim pada Bab dua

yang berbunyi :

Pasal 2

1.) Bagi calon mempelai wanita yang akan menikah di wilayah Indonesia

atau di luar negeri/wilayah ekstra-teritorial Indonesia ternyata tidak

mempunyai Wali Nasab yang berhak atau Wali Nasabnya tidak

memenuhi syarat atau mafqud atau berhalangan atau ‘adhal, maka

nikahnya dapat dilangsungkan dengan Wali Hakim.

2.) Untuk menyatakan ‘adhalnya Wali sebagaimana tersebut ayat (1) pasal

ini ditetapkan dengan keputusan Pengadilan Agama yang mewilayahi

tempat tinggal calon mempelai wanita.

Page 82: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

70

3.) Pengadilan Agama memeriksa dan menetapkan ‘adhalnya Wali

dengan cara singkat atas permohonan calon mempelai wanita dengan

menghadirkan wali calon mempelai wanita.

Pasal 3

Pemeriksaan dan penetapan ‘adhalnya Wali bagi calon mempelai wanita

warganegara Indonesia yang bertempat tinggal di luar negeri dilakukan

oleh Wali Hakim yang akan menikahkan calon mempelai wanita.

Pada dasarnya Negara Indonesia menganut ajaran mazhab empat hal ini

berpengaruh pada ketetapan dalam hal pernikahan yang berdampak pada

ketetapan pemerintah mengenai perkawinan No 1 tahun 1974 dalam Kompilasi

Hukum Islam Indonesia.

B. Saran-saran

Dengan adanya kemungkinan seorang wali melakukan pencegahan

terhadap maulanya untuk melangsungkan perkawinan,kiranya pula untuk di

sarankan khususnya kepada pihak yang mempunyai kewenangan untuk

menangani hal tersebut,yaitu hakim,untuk melakukan hal-hal :

1. kepada kepala kantor urusan agama yang berwenang,serta pejabat yang telah

di beri wewenang oleh pemerintah,khususnya di lingkungan kantor urusan

agama (KUA) di sarankan dalam melangsungkan suatu pernikahan tetap

Page 83: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

71

berpegang teguh bahwa wali merupakan rukun mutlak yang harus di penuhi,

karena di dalam suatu perkawinan tanpa adanya wali nikah maka nikahnya

tidak sah,

2. Hendaknya seorang hakim mengintruksikan (mengajak)kepada wali yang

melakukan adhal itu,untuk menarik kembali (taubat)dari adhalnya, yakni

untuk sanggup melangsungkannya perkawinan sebagaimana yang di

kehendaki maulanya.

3. Bila si wali tetap bertahan (membangkang) dengan penolakannya untuk

melangsungkan perkawinan maulanya maka hakim sendiri yang

berkewajiban untuk mengambil alih perwaliannya,demi berlangsungnya

perkawinan atas diri perkawinan maulanya itu,dan di sinilah peranan hakim,

selaku wali bagi seorang yang tidak ada walinya.

1. Penutup

Dengan terselesainya penulisan skripsi ini yang mungkin masih

memperlihatkan kekurangan, namun penulis amat bersyukur yang teramat

dalam bahwa dengan kemampuan terbatas ini mampu menyelesaikan

penulisan satu karya tulis yang cukup menarik, walau terasa sulit dan

melelahkan.

Dengan menyadari sedalam-dalamnya akan ada kemungkinan

terjadinya kekhilafan dalam skripsi ini baik dari segi sisi analisis maupun sisi

Page 84: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

72

penyimpulan dari pembahasan yang ada memang terjadi tanpa sepengetahuan

penulis, kiranya menjadi kewajiban sidang pembaca yang budiman untuk

memperbaiki dan meluruskannya.

Maka dengan itu penulis membuka dengan lapang dada akan

datangnya saran kritik konstruktif demi perbaikan atau penulisan skripsi ini.

Akhirnya sebagai kata penutup dari penulis, dengan terselesainya

penulisan skripsi ini,penulis berharap semoga skripsi ini dapat membawa

manfaat besar, khusus bagi penulis dan umumnya bagi pembaca. amin ya

robbal alamin.

Page 85: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur’an Al-Karim dan terjemahnya Departemen Agama RI

Abdul Wahab Khalaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Jakarta: Majelis al-A’la al-Indonesia li al-Dakwah al-Islamiyah, 1972), Cet. IX.

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, (Jakarta: H. Dakarya Agung, 1979).

Muhammad bin Ali bin Muhammad As Syaukani, Nailul Autar, Syar Muntahal Akbar, Juz IV,(Beirut Darul Fikri, TT).

R. Subekti. R. Tjirosudibyo, Terjemah Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 1999), Cet. Ke-29.

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: CV. Akademika Pressindo, 2004).

Slamet Abidin, dan Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 1998).

Jaih Mubarok, Peradilan Agama di Indonesia, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004).

Louis Ma’luf, al-Munjid, (Beirut Masyriq, 1975).

Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Terj), (Bandung, PT. Al-Ma’arif, 1997), Cet. Ke-13, jilid 7.

Kamal Muhtar, Azas-azas dalam Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), Cet. II.

M. Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), Cet. III.

Departemen Agama R.I, Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 serta Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Depag RI, 2004).

72

Page 86: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

73

Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1999), Cet. I, h. 89, lihat juga Aminur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia : Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No. 1 Tahun 1974, dan KHI, (Jakarta: Kencana, 2006), Cet. III.

Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta: ELSAS, 2008), Cet. I.

Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, (Terj), (Semarang; CV. Asy-Syifa, 1990), Cet. I.

Ibrahim Husen, Fiqih Perbandingan dalam Masalah Nikah, Thalaq, Rujuk dan Kewarisan, (Jakarta: Yayasan Ihya Ulumiddin, 1971), h. 1761

Ibnu Qudamah, al-Mughni, (Kairo: Hijr, 1413 H / 1992 M), jilid. 9.

Al-Imam Taqiyuddin Abi Bakr Ibn Muhammad Al-Husaini, Khifayatul Akhyar, (Terj), (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997), Cet. I.

Bakri A. Rahman dan Ahmad Sukardja, Hukum Perkawinan Menurut Islam, Undang-undang Perkawinan dan Hukum Perdata, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1981).

Departemen Agama RI. Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah, (Jakarta: Proyek Pembinaan Sarana Keagamaan Islam, 1985/1986).

Abdurrahman Umar, Kedudukan Saksi dalam Peradilan Menurut Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986), Cet. I.

Syekh Hasan Ayyub, Fiqih Keluarga, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2001), Cet. I.

Daaruquthni, Sunan Daaruquthni, (Beirut: Dar Al-Fikr, 1994), jilid III.

http://kuakalideres.blogspot.com/2009/12/pernikahan Tanpa Restu Wali. (artikel diakses pada tanggal, 12 Mei 2010

Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. IV, h. 80, lihat juga Departemen Agama RI.

Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2000), Cet. I.

Page 87: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

74

Departemen Agama RI, Pedoman Pembantu Pegawai Pencatat Nikah.

Sayuti Thalib, Hukum Kekeluargaan Indonesia, (Jakarta: UI Press, 1974), Cet. Ke-1.

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam Menurut Empat Mazhab, (Jakarta: Hudakarya Agung, 1996), Cet. 15.

Abi Abdullah Muhammad Ibnu Yaziida Quzwini, Sunan Ibnu Majah, (Beirut: Dar Al-Fikr), Jilid I.

http://www.mail-archive.com/[email protected], (artikel di akses pada tanggal 12 Mei 2010

Hasbi ash-Shiddieqy, Koleksi Hadits-hadits Hukum 8, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), Cet. III.

http://www.mail-archive.com/[email protected], artikel yang diakses pada tanggal 12 Mei 2010

Abdurrahman Al-Jaziri, Kitabul Fiqih Alal Mazhibul al Arbaah, Qisem Al-Ahwalus Syakhsiyyah, Jilid IV, Riyad, Muktabah al Riyadul Hadisah, TT, h.35

Abdurrahman Al-Jaziri, Kitabul Fiqih Alal Mazhibul al Arbaah, Qisem Al-Ahwalus Syakhsiyyah, h.35

Abi Abdillah Muhammad Al Andalusi asy Syahrir bin Ibnu Rusydi, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtasid, juz II, (Beirut, darul Fiqr,TT), h.15

Al-Imam Syamsuddin Abi Faraj Abdurrahman Ibnu Qodamah Almuqaddasi, al-Mughni Wa Syahrul Kabir juz VII, Beirut, Darul Kutabil Ilmiyah, TT, hl. 368.

Abdurrahman Al-Jaziri, Kitabul Fiqih Alal Mazhibul al Arbaah, Qisem Al-Ahwalus Syakhsiyyah, h.41

Al-Imam Syamsuddin Abi Faraj Abdurrahman Ibnu Qodamah Almuqaddasi, al-Mughni Wa Syahrul Kabir juz VII, Beirut, Darul Kutabil Ilmiyah, TT, hl. 368.

Al-Imam Syamsuddin Abi Faraj Abdurrahman Ibnu Qodamah Almuqaddasi, al-Mughni Wa Syahrul Kabir juz VII, Beirut, Darul Kutabil Ilmiyah, TT, hl. 370.

Page 88: UIN SYARIF HIDATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/6113/1/ENDANG SETIAWAN-FSH.pdf · Yang maha pengasih lagi maha penyayang “ya Allah

75

Abdurrahman Al-Jaziri, Kitabul Fiqih Alal Mazhibul al Arbaah, Qisem Al-Ahwalus Syakhsiyyah, h.41

Jalaluddin bin Muhammad bin Ahmad Al Mahalli, Syarh Minhajut Talibin, Juz III, (Surabaya, Maktabah Nabhan, 1974) , cet IV, h.225

Jalaluddin bin Muhammad bin Ahmad Al Mahalli, Syarh Minhajut Talibin, Juz III, h.225

Al-Imam Syamsuddin Abi Faraj Abdurrahman Ibnu Qodamah Almuqaddasi, al-Mughni Wa Syahrul Kabir juz VII, h. 369.

Al Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris As Syafi’I, AlUmm, jilit III, Juz V,(Beirut, Darul Fiqri, 1983), cet-II, h.14

Al Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris As Syafi’I, AlUmm, jilit III, Juz V, h.14

Al Imam Abi Abdillah Muhammad bin Idris As Syafi’I, AlUmm, jilit III, Juz V, h.15

Abdurrahman Al-Jaziri, Kitabul Fiqih Alal Mazhibul al Arbaah, Qisem Al-Ahwalus Syakhsiyyah, h.40