uin syarif hidayatullah -...

83
TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP RESIDIVIS SEBAGAI ALASAN PEMBERAT PEMIDANAAN DALAM KUHP Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh : Arizal Firdaus NIM : 109043200007 KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1435 H / 2014 M

Upload: vodiep

Post on 07-Aug-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP RESIDIVIS SEBAGAI

ALASAN PEMBERAT PEMIDANAAN DALAM KUHP

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat-Syarat

Mendapatkan Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh :

Arizal Firdaus NIM : 109043200007

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MADZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H / 2014 M

Page 2: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang
Page 3: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

iii

Page 4: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang
Page 5: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang
Page 6: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

viii

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang senantiasa memberikan rahmat-nya

kepada hamba Allah, Sholawat beserta salam semoga senantiasa terlimpahkan

kepada Nabi Muhammad SAW.

Selanjutnya penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada orang-

orang yang telah begitu banyak memberikan sumbangsi terhadap penulisan skripsi

ini, berkat merekalah penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Mereka adalah:

1. Dr. JM. Muslimin, MA. selaku Dekan FSH UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta beserta Pembantu Dekan I, II, dan III.

2. Dr. H. M. Taufiki, M. Ag. dan Bpk Fahmi Muhammad Ahmadi M. Si.

sebagai Ketua dan Sekretaris Program Studi Perbandingan Madzhab

dan Hukum FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bpk Dedi Nursamsi SH. MH. dan Ibu Masyrofah, M. Si. selaku dosen

pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk selalu

memberikan arahan, bimbingan dan motivasi bagi penulis.

4. Kepada Pimpinan dan Staf Perpustakaan Utama dan Fakultas Syariah

dan Hukum yang telah membantu dalam pengadaan dan pelayanan

buku referensi.

5. Dr. Ahmad Sudirman Abbas, M.A. selaku Dosen Pembimbing

Akademik.

vi

Page 7: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

viii

6. Segenap Bapak dan Ibu Dosen atau Staf Pengajar Program Studi

Perbandingan Hukum FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah

memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama kuliah.

7. Ayahanda tercinta Syamsudin dan Ibunda Rumyanah, karena berkat

do’a, motivasi, kasih sayang, perhatian dan bantuannya yang diberikan

kepada ananda, sehingga ananda bisa menyelesaikan pendidikan pada

jenjang Perguruan Tinggi sebagai Sarjana Syariah (S.Sy).

8. Pengasuh Pondok Pesantren Daar El-Hikam, K.H. Bahrudin S.Ag

(Abi) dan Ummi beserta keluarga penulis ucapkan terima kasih banyak

atas bimbingan, nasihat dan ilmu yang diberikan mudah-mudahan

bermanfaat dan bisa diamalkan.

9. Serta kakak ku Nurlelah, Dede Umayah dan Neneng Khoeriyah,

Kusnadi, Kurniadi, Ahmad Mubarok. dengan dorongan dan

kebersamaannya serta perhatian yang selama ini diberikan kepada

penulis.

10. Teman-teman seperjuangan program studi Perbandingan Madzhab dan

Hukum angkatan 2009, Kholid, Hamzah, Uday, Dadan, Ade S, Eva,

Ayat, Deli, All, Juni, Nabila, Syukur, Zainun, Rezha, Firman, Ader.

Terima kasih atas motivasi, dukungan dan kebersamaan yang

diberikan selama ini.

11. Teman-teman Pondok Pesantren Daar El-Hikam, Amri, Malik, Asep,

Hajroni, Khudri, Ikbal, Fahmi, dan yang tidak saya sebutkan satu

persatu, penulis ucapkan terima kasih atas saran dorongan dan

vii

Page 8: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

viii

bantuannya, penulis ucapkan terima kasih banyak semoga kita menjadi

orang yang sukses dunia dan akhirat.

12. Guru-guru Raudhatul Irfan, Bpk Irham beserta Istri, Ustad Syarif,

Bahrum, Asnawi, Ikbal, Aisyah, Bu Mala, Bu Nur, Irfan Putri. yang

telah memberikan motivasi dan waktunya untuk penulis, penulis

ucapkan terima kasih banyak semoga kita menjadi orang yang sukses

dunia dan akhirat.

13. Terakhir kepada saudari Firda Farhana, yang selalu menasehati dan

membimbing penulis, penulis mengucapkan terima kasih banyak.

Demikianlah ucapan terima kasih penulis, bagi pihak-pihak yang tidak

penulis sebut, tanpa mengurangi rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih

banyak dan semoga mendapatkan balasan yang banyak dari Allah SWT.

Jakarta, 12 Mei 2014

Arizal Firdaus

Page 9: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING....................................................................ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN..................................................................iii

LEMBAR PERNYATAAN.................................................................................................iv

ABSTRAK..............................................................................................................................v

KATA PENGANTAR..........................................................................................................vi

DAFTAR ISI………………………………………………………………………………..ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah………………………………………………...........1

B. Batasan dan Rumusan Masalah………………………………………............8

C. Tujuan dan Manfaat Studi Pustaka……………………………………..........8

D. Metodologi Penelitian…………………………………………………..........9

E. Studi Terdahulu………………………………………………………...........11

F. Sistematika Penulisan…………………………………………………..........12

BAB II PEMBERAT HUKUM PIDANA DALAM PENGULANGAN JARIMAH

MENURUT HUKUM ISLAM

A. Pengertian Jarimah.....................……………………………………….........14

B. Macam-macam Jarimah………………………………………………..........16

C. Pertanggungjawaban Jarimah…………………………………………..........23

D. Pemberat Pidana Dalam Pengulangan Jarimah………………………...........27

BAB III PEMBERAT PIDANA DALAM PENGULANGAN TINDAK PIDANA

(RECIDIVE) MENURUT KUHP

A. Pengertian Tindak Pidana……………………………………………...........32

Page 10: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

B. Macam-macam Tindak Pidana……………………………………….............40

C. Pertanggungjawaban Tindak Pidana………………………………….. .........43

D. Pemberat Pidana Dalam Pengulangan Pidana………………………..............48

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMBERAT PIDANA

DALAM PENGULANGAN TINDAK PIDANA (RECIDIVE) MENURUT

(KUHP)

A. Analisis Terhadap Pengulangan Tindak Pidana (Recidive)………….............56

B. Analisis Hukum Islam Terhadap Pemberatan Pengulangan Tindak Pidana

(Recidive)…………………………………………………………….............58

C. Perbandingan antara Hukum Positif dan Hukum Islam..................................65

BAB V PENEUTUP

A. Kesimpulan……………………………………………………………...........67

B. Saran………………………………………………………………….............68

DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………............70

Page 11: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Sebagaimana telah diketahui bahwa di dalam Negara Republik Indonesia,

yang menjadi dasar kehidupan hukuman adalah Pancasila, baik yang dituangkan

dalam pembukaan maupun batang tubuh Undang Undang Dasar 1945. Maka oleh

sebab itu seluruh hukum yang dibuat oleh Negara atau Pemerintah dalam arti yang

seluas-luasnya, tidak boleh bertentangan dengan hukum Tuhan. Hal ini sebagai

konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang maha Esa dalam Pancasila, yang

secara yuridis mengikat, kepada rakyat dan pemerintah untuk mengamalkannya.

Oleh sebab itulah sebagai usaha pemerintah untuk melindungi keutuhan

hukum Tuhan yang telah digariskan dalam bentuk aturan-aturan yang diwahyukan

melalui Rasulnya dalam bentuk yang kita kenal Agama, maka kita dapat melihat

jaminan untuk menjalankan Agama sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 dan

tertuang juga dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Pasal 156, 176, 177

dan Pasal 156a KUHP, UU. Pnps. No.1 tahun 1965.1

Pentingnya pembangunan di bidang hukum agar tercipta suatu pola hidup

dan tingkah laku yang baik bagi masyarakat hingga pada akhir fungsi hukum itu

dapat dijadikan sosial kontrol bagi masyarakat serta menjadikan rasa aman, tertib,

dan terkendali. Dan tindakan kriminal merupakan suatu masalah yang amat

1S.Praja, Ahmad Syhabuddin, Delik Agama Dalam Hukum Pidana Di Indonesia,

(Bandung, Angkasa, 1982), h. 2.

Page 12: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

2

kompleks dalam kehidupan, baik di media masa dan harian ibu kota, dimana

kejahatan tersebut kebanyakan dilakukan oleh para pelaku residivis.

Pengertian sistem pemidanaan” dapat mencangkup pengertian yang sangat

luas.L. H. C. Hulsmanpernah mengemukakan, bahwa sistem pemidanaan (the

sentencing system) adalah” aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan

sanksi pidana dan pemidanaan” apabila pemidanaan diartikan secara luas sebagai

suatu proses pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim, maka dapatlah

dikatakan bahwa sistem pemidanaan mencangkup keseluruhan ketentuan

perundang-undangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakan atau

dioprasionalkan secara konkrit, sehingga seseorang di jatuhkan sanksi hukuman

pidana. Ini berarti semua aturan perundang-undangan mengenai hukum pidana

Substantif. Hukum Pidana Formal dan Hukum Pelaksanaan Pidana dapat dilihat

sebagai satu kesatuan sistem pemidanaan.

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, yang dulu

bernama wetboek van Strafrecht voor Indonesia merupakan semacam kutipan

WvS Nederlan. Bahasanya tentu saja bahasa Belanda. Pasal 1 KUHP mengatakan

bahwa perbuatan yang pelakunya dapat di pidana adalah perbuatan yang sudah

disebutkan di dalam perundang-undangan sebelum perbuatan itu dilakukan.

Biasanya tindak pidana disinonimkan dengan delik, yang berasal dari

bahasa latin yakni kata delictum. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia tercantum

sebagai berikut.“Delik adalah perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena

merupakan pelanggaran terhadap undang-undang tindak pidana.”Berdasarkan

Page 13: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

3

rumusan yang ada maka delik (strafbaar feit) memuat beberapa unsur

yakni.2Suatu perbuatan manusia, Perbuatan itu dilarang dan diancam dengan

hukuman oleh Undang-undang, Perbuatan itu dilakukan oleh seseorang yang

dapat dipertanggungjawabkan.

Sedikit berbicara sejarah hukum pidana di Indonesia, hukum pidana dapat

di bagi menjadi tiga macam, yaitu masa sebelum kedatangan bangsa belanda,

masa pendudukan Belanda dan masa kemerdekaan. Inggris dan Jepang pernah

menduduki Indonesia, tetapi karena waktunya singkat menetapkan tetap

berlakunya hukum pidana. Setelah semangkin berkembangnya bangsa Indonesia,

dan hukuman-hukumanpun semangkin berpariasi maka banyaklah hukuman-

hukuman yang dikodifikasikan, maka terjadilah salah satu hukum yang

dinamakan Residivis.

Adapun secara yuridis formal, masalah pemberian sanksi pidana di

Indonesia di kenal sejak berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Dalam KUHP itu terdapat ketentuan pasal mengenai sanksi pidana yaitu pasal 10

KUHP.3

Dalam kitab Undang-undang kita tidak terdapat pengulangan yang umum,

hanya peristiwa-peristiwa pidana yang tertentu atau golongan dua peristiwa

pidana tertentu mengakibatkan adanya pengulangan.4

2Teguh Presetyo, Hukum Pidana, (Jakarta, Rajawali Grepindo Persada, 2011), h, 47-48. 3Barda Nawawi Arief,Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, (Jakarta,

Kencana, 2010), h. 148-149. 4Mr. J.E. Jonkers, Hukum Pidana Hindia Belanda, h. 286.

Page 14: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

4

Pengulangan atau residivis terdapat dalam hal seseorang telah melakukan

beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan tindak pidana yang berdiri

sendiri, di antara perbuatan mana satu atau lebih telah dijatuhi hukuman oleh

pengadilan. Pertanyaan sangat mirip dengan gabungan beberapa perbuatan yang

dapat dihukum dan dalam pidana mempunyai arti, bahwa pengulangan merupakan

dasar yang memberatkan hukuman.

Alasan hukuman dari pengulangan sebagai dasar pemberat hukuman ini

adalah seorang yang telah dijatuhkan hukuman dengan mengulang lagi melakukan

kejahatan, membuktikan bahwa ia telah memiliki tabiat buruk. Jahat karenanya

dianggap sebagai membahayakan bagi keamanan dan ketertiban masyarakat.5Dan

Pengulangan diatur dalam Pasal 486, 487, 488 KUHP.

Akan tetapi, apabila mereka mengulangi kembali melakukan kejahatan,

hal ini membuktikan bahwa mereka itu tidak dapat ditakut-takuti lagi.

Kriminologi menganggap, bahwa dasar hukum bagi residivis kurang tepat,

berhubung seseorang yang menjalani hukuman sudah tidak takut lagi, untuk

menjalani hukuman. Akan tetapi ancaman hukuman berat itu akan menakut-nakuti

orang yang belum pernah menjalani hukuman, hingga orang itu akan takut untuk

melakukan sesuatu kejahatan.

Residivis adalah apabila seseorang melakukan beberapa perbuatan, yang

merupakan beberapa delick yang berdiri sendiri akan tetapi perbuatan satu atau

lebih telah dijatuhkan hukuman oleh hakim.

5Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta, PT Raja Grafindo Permai, 2011), h. 191.

Page 15: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

5

Dasar hukuman yang dilakukan oleh seseorang yang melakukan

pengulangan delik. Orang yang demikian ini membuktikan telah mempunyai

tabiat yang jahat, dan oleh sebab itu di anggap merupakan bahaya bagi masyarakat

dan bagi ketertiban umum.

Seperti telah diketahui, dasar hukuman menurut teori relatif atau teori

tujuan (relative of doel theorie) adalah merupakan tujuan hukum dan tujuan

hukuman antara lain mencegah kejahatan atau prevensi. Dan Pengulangan

menurut sifatnya terbagi dalam dua jenis Residivis umum dan Residivis khusus.6

Persamaan jenis kejahatan tersebut merupakan dasar pemberatan

hukuman.Seseorang melakukan kejahatan dan terhadap kejahatan itu dijatuhkan

hukuman oleh hakim.

Pengertian pengulangan dalam hukum positif adalah dikerjakannya suatu

jarimah oleh seseorang, setelah ia melakukan jarimah lain yang telah dapat

keputusan terakhir, perkataan pengulangan mengandung arti terjadinya suatu

jarimah berapa kali dari satu orang yang dalam jarimah sebelumnya telah

mendapat keputusan terakhir.

Pemberatan hukuman terhadap pengulangan ini dapat di temukan dalam

hadis, yaitu apabila terjadi pencurian yang kelima kalinya, lengkapnya hadis

tersebut sebagai berikut.

6Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia

Indonesia,1983), h. 62.

Page 16: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

6

فقالوا: انما سرق .وعن جابر رضي اهللا عنھ قال : جىء بسارق الى النبى صلى اهللا علیھ و سلم فقال: اقتلوه

رسول اهللا" اقطعوه فقطع" ثم جىءبھ الثا نیة فقال: اقتلوه" فذ كر مثلھ: ثم جىءبھ الثا لثة فذكر مثلھ" ثم یا

جىء بھ الرا بعة كذ لك" ثم جىء بھ الخا مثة فقا ل: اقتلوه ( اخرجھ ابو داود والنسائى )

Artinya: Dari jabir ra ia berkata: seorang pencuri telah di bawa kehadapan Rasulullah saw. Maka Nabi bersabda: Bunuhlah ia. Para sahabat berkata: Ya Rasulullah ia hanya mencuri. Nabi mengatakan: potonglah tangannya. Kemudian ia dipotong. Kemudian ia dibawa lagi untuk kedua kalinya. Lalu Nabi mengatakan bunuhlah ia. Kemudian disebutkan seperti tadi, kemudian ia di bawa untuk ketiga kalinya maka nabi menyebutkan seperti tadi. Kemudian ia dibawa lagi untuk ke empat kalinya dan nabi mengatakan seperti tadi. Akhirnya dia dibawa lagi untuk kelima kalinya. Lalu nabi mengatakan: bunuhlah ia. (Hadis dikeluarkan oleh Abu Daud dan An-Nasa’i)7

Meskipun pengulangan tersebut sudah di jelaskan dalam hadis di atas,

namun tidak ada keterangan yang menjelaskan persyaratan dan lain-lain.8

Dengan melihat beberapa aspek di atas, dalam Hukum Islam orang yang

melakukan tindak pidana harus dijatuhkan hukuman yang telah ditetapkan atas

apa yang telah dilakukan, namun bila pelaku mengulangi tindak pidana yang

pernah dilakukannya, hukuman yang dijatuhkan kepadanya akan diperberat,

apabila ia terus melakukan perbuatan tersebut, ia dapat dijatuhkan hukuman mati

atau hukuman penjara seumur hidup. Kewenangan untuk menentukan hukuman

tersebut diserahkan kepada pengusaha dengan memandang kondisi tindak pidana

dan pengaruhnya terhadap masyarakat.

Fuqaha sepakat apabila seorang menuduh orang lain berkali-kali dalam

satu waktu, maka ia dikenakan satu hukuman (had). Jadi, ia tidak dihukum setiap

7Ibnu Hajar Asqolani, Kitab Bulughul Maram, h. 278. 8Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah,

(Jakarta, Sinar Grafika, 2004), h. 166.

Page 17: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

7

qadzhaf. Tetapi jika kemudian ia menuduh lagi, maka ia dijatuhkan hukuman lagi.

Dan jika ia menuduh lagi, maka ia dijatuhkan hukuman lagi, dan begitu

seterusnya.9

Dan di dalam Hukum Islam pengulangan jarimah atau yang biasa kita

kenal residivis sudah dikenal sejak jaman Rasullullah SAW. Dalam jarimah

pencurian misalnya, nabi telah menjelaskan hukuman secara rinci. Seperti yang

terdapat dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ad. Daruquthni dari Abu

Hurairah dijelaskan bahwa Rasullullah SAW. Dalam kaitannya dengan hukuman

pencuri.10

Adapun yang dapat dipermasalahkan dalam hal ini, apakah pemberatan

hukum pidana untuk pengulangan ini sudah wajar? Masalah lainnya dalam

hubungan hal ini adalah mengenai penentuan jangka waktu lima tahun tersebut,

Apakah untuk pasal-pasal ini setelah lewat lima tahun tersebut, tidak lagi

dipandang tabiat jahat. Dan bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap residivis

sebagai pemberat hukum pidana.

Berdasarkan keterangan tersebut mendorong penulis memilih tema ini

dengan judul: “Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Residivis Sebagai Alasan

Pemberat Pemidanaan Dalam KUHP.

9Al-Faqih Abul Wahib Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd,Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Dar Al-Jiil, Bairut, 1989 M,

10Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar Grafika), h. 81.

Page 18: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

8

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Dalam membahas masalah ini, penulis hanya ingin menitikberatkan dan

memfokuskan pada bagaimana residivis dalam Hukum Islam dan membandingkan

dengan Hukum Pidana di Indonesia.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas, maka penyusun memberikan batasan dalam

lingkungan pembahasan sebagai berikut:

1. Bagaimana KUHP menentukan pengulangan tindak pidana (Recidive)

sebagai alasan pemberat pidana ?

2. Bagaimana pandangan Hukum Islam terhadap ketentuan KUHP tentang

pengulangan tindak pidana (Recidive) sebagai alasan pemberat pidana?

C. Tujuan dan Manfaat Stadi Pustaka

Adapun tujuan yang hendak di capai dalam stadi pustaka ini adalah:

1. Untuk mengetahui bagaimana KUHP memandang terhadap residivis sebagai

alasan pemberat hukum pidana.

2. Dan juga untuk mengetahui bagaimana hukum Islam memandang pengulangan

(Recidive) sebagai alasan pemberat pidana dalam KUHP.

Sedangkan manfaat studi pustaka ini adalah:

Page 19: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

9

1. Di harapkan dapat bermanfaat bagi diri sendiri maupun orang lain dan untuk

melengkapi syarat-syarat yang di perlukan untuk mencapai gelar S1 dalam

bidang Perbandingan Madzhab dan Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum di

Universitas Islam Negeri Jakarta.

2. Menambah wawasan dalam bidang hukum agama khususnya dalam Hukum

Pidana.

3. Mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai pengulangan (recidive) sebagai

alasan pemberat Hukum Pidana (Analisis perbandingan Hukum Pidana dan

Hukum Islam).

4. Sebagai bahan referensi bagi rekan-rekan mahasiswa hukum serta pihak lain

yang berkompeten yang ingin mengetahui pelaksanaan hukuman terhadap

residivis sebagai alasan pemberat Hukum Pidana, (Analisis perbandingan

Hukum Pidana dan Hukum Islam).

D. Metodelogi Penelitian

Penelitian ini akan memfokuskan kajiannya pada masalah residivis dalam

Hukum Islam dan memperbandingkannya dengan Hukum Pidana, maka alur

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif dengan merupakan studi

pustaka sebagai acuannya. Terkait dengan penelitian ini, penulis akan

menggunakan metode pendekatan. Mendefinisikan pengertian pengulangan dalam

Page 20: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

10

tindak pidana dalam pandangan Hukum Islam. Kedua, menganalisis masalah

residivis dalam pandangan Hukum Islam.

Penelitian ini bersifat deskriptif-analitis-komparatif, artinya penulis akan

mendeskripsikan masalah pengulangan tindak pidana dalam pandangan Hukum

Islam, dan sekaligus pembahasan mengenai pengulangan tindak pidana dalam

hukum Pidana.

2. Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini, ialah:

a. Data Primer

Data yang langsung di peroleh dari sumber yang asli atau data pertama di

lokasi penelitian. Adapun dari data ini berupa Al-Qur’an, Al-Hadits dan Undang-

undang.

b. Data Skunder

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah sumber

sekunder yang berupa kitab, Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam,

Mardani, Kejahatan Pencurian Dalam Pidana Islam, M. Nurul Irfan, Masyrofah.

Fiqh Jinayah, Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Rahmat

Hakim, Hukum Pidana Islam, Abdul Fatah Idris, Abu Ahmadi, Fikih Islam

Bidayatul Mujtahid oleh Ibnu Rusdy, Hukum Pidana Islam, oleh Drs. H. Ahmad

Wardi Muslich, Intisari Hukum Pidana, oleh Mustafa Abdullah dan Ruben

Achmad, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah. Satochid Kartanegara.

Page 21: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

11

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data, penulis berupaya melakukan survei

kepustakaan dan studi literatur, survei kepustakaan yang menghimpun data berupa

sejumlah literatur yang diperoleh di perpustakaan atau tempat lain kedalam

sebuah daftar bahan pustaka. Sedangkan studi literatur adalah mempelajari,

menelaah dan mengkaji bahan pustaka yang berhubungan dengan masalah yang

menjadi objek penelitian.

E. Studi Terdahulu

Yang menjadi acuannya antara lain,pada tahun 2010 telah ditulis oleh

Abdillah Munir, Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang. tentang Tinjauan

Hukum Pidana Islam Terhadap Penambahan 1/3 Hukuman Karena Pengulangan

Tindak Kejahatan (Recidive) Dalam Pasal 486 KUHP. Dengan subtansi

bahwasannya penulis membahas penambahan 1/3 hukuman karena pengulangan

tindak kejahatan dalam pasal 486 apakah sudah membuat jera bagi pelaku

pengulangan tindak pidana, Selanjutnya pada tahun 2011 penuli,

Azriadi,Universitas Andalas Padang dengan judul Pelaksanaan Pembinaan

NarapidanaResidivis Berdasarkan Prinsip Pemasyarakatan di Lembaga

Pemasyarakatan Kelas II.A Biaro. Dengan subtansi Bagaimana Kedudukan Dan

Landasan Hukum Pembinaan Narapidana Residivis Di Lembaga Pemasyarakatan

Kelas II A Biaro apakah udah sesuai dengan hukumyang diterapkan di dalam

KUHP.

Page 22: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

12

Oleh karena itu penulis berkeinginan untuk meneliti lebih mendalam

mengenai masalah ini sebagai sebuah karya ilmiah dalam bentuk skripsi.

F. Sistematika Penulisan

Sistematik penulisan merupakan pengaturan langkah, langkah penulisan

penelitian agar runtut, ada keterkaitan yang harmonis antara pembahasan yang

pertama dan pembahasan-pembahasan yang selanjutnya. Untuk itu maka

pembahasan dalam skripsi ini terdiri dari lima bab, satu bab pendahuluan, tiga bab

isi, kemudian di tutup dengan satu bab penutup yang memuat kesimpulan dan

saran-saran penelitian ini. Dalam penelitian ini penulis membuat sistematika

pembahasan sebagai berikut:

BAB I Merupakan bab pendahuluan yang didalamnya dijelaskan tentang

latar belakang munculnya permasalahan penelitian ini, kemudian

batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat studi pustaka,

metodologi penelitian, studi terdahulu, dan sistematika penulisan.

BAB II Akan di paparkan mengenai konsep, pemberat hukum pidana

dalam pengulangan jarimah menurut hukum islam, dimana bab

ini mencangkup tentang Pengertian Jarimah, Macam-macam

Jarimah, Pertanggungjawaban Jarimah, Bagaimana Pemberat

Pidana Dalam Pengulangan Jarimah.

BAB III Penelitian ini akan memaparkan mengenai pemberat pidana

dalam pengulangan tindak pidana (Recidive) menurut KUHP.

Dimana bab ini mencangkup Pengertian Tindak Pidana, Macam-

Page 23: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

13

macam Tindak Pidana, Pertanggungjawaban Tindak Pidana,

Bagaimana Pemberat Pidana Dalam Pengulangan Pidana.

BAB IV pada bab ini dibahas tentang hukum Pidana Islam terhadap

pemberat pidana dalam pengulangan tindak pidana (Recidive).

Dimana didalamnya menguraikan analisis terhadap pengulangan

tindak pidana, dan analisis pemberat terhadap pengulangan tindak

pidana (Recidive), dan perbedaan antara keduanya.

BAB V Penulis akan memberikan kesimpulan dan saran dari seluruh

pembahasan yang penulis kemukakan dalam skripsi ini

Page 24: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

14

BAB II

PEMBERAT HUKUM PIDANA DALAM PENGULANGAN JARIMAH

MENURUT HUKUM ISLAM

A. Pengertian Jarimah

Dalam Hukum Islam ada dua istilah yang kerap digunakan untuk tindak

pidana ini yaitu Jinayah dan Jarimah, dapat dikatakan Jinayah yang digunakan

para fuqaha sama dengan istilah jarimah, ia didefinisikan sebagai larangan-

larangan hukum yang diberikan oleh Allah.11

Jarimah menurut bahasa berasal dari kata (جرم) yang sinonimnya ( كسب

artinya : berusaha dan bekerja, hanya saja pengertian usaha di sini khusus (وقطع

untuk usaha yang tidak baik atau usaha yang dibenci oleh manusia.

Dari pengertian tersebut dapatlah ditarik suatu definisi yang jelas, bahwa

jarimah itu adalah

ارتكا ب كل ما ھو مخا لف للحق وا لعد ل والطر یق المستقیم

Melaksanakan setiap perbuatan yang menyimpang dari kebenaran,

keadilan, dan jalan yang lurus (Agama).

Dari keterangan ini jelaslah bahwa jarimah menurut bahasa artinya

melakukan perbuatan-perbuatan atau hal-hal yang dipandang tidak baik, dibenci

11Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Asy press Grafika, cet1,

Pendahuluan.h.ii.

14

Page 25: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

15

oleh manusia karena bertentangan dengan keadilan, kebenaran, dan jalan yang

lurus (agama).

Dalam memberikan definisi menurut istilah ini, Imam Al-Mawardi

mengemukakan sebagai berikut.

الجر ائم محظو رات شر عیة زجر اهللا تعا لى عنھا بحد او تعزیر

Jarimah adalah perbuatan yang dilarang oleh syara, yang diancam dengan

hukuman had atau ta’zir.

Larangan-larangan tersebut adakalanya berupa mengerjakan perbuatan

yang dilarang, atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan. Dengan

perkataan syara pada pengertian tersebut di atas, yang dimaksud bahwa sesuatu

perbuatan baru dianggap jarimah apabila dilarang oleh syara. Juga perbuatan atau

tidak berbuat dianggap sebagai jarimah, kecuali apabila diancam hukuman

terhadapnya.12

Dengan memperhatikan definisi diatas, penulis menyimpulkan bahwa

kata-kata jinayah dalam istilah fuqaha dianggap sama dengan kata-kata jarimah.

Sehingga definisi tindak pidana dalam Islam adalah setiap perbuatan yang

diharamkan atau dilarang oleh Allah SAW. Dan Rasulnya, yang membahayakan

agama, jiwa, akal, kehormatan dan harta, serta diancam oleh Allah SAW. Dengan

hukuman Had, qishash, dan ta’zir.

12Mardani, Kejahatan Pencurian Dalam PidanaIslam, (Jakarta, CV Indhill, 2008), h. 5.

Page 26: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

16

B. Macam-Macam Jarimah

Diantara pembagian jarimah yang paling penting adalah pembagian yang

ditinjau dari segi hukumnya. Jarimah ditinjau dari segi hukumnya terbagi kepada

tiga bagian, yaitu jarimah hudud, jarimah qishash dan diat, dan jarimah ta’jir.

a. Jarimah Hudud

Kata hudud jama dari kata hadd. Menurut bahasa artinya mencegah. Batas

rumah (pagar) disebut haddud daar karena mencegah penggabungan dengan yang

lain. Penjaga pintu juga disebut haddaad karena ia mencegah orang keluar masuk.

Hukuman ini disebut dengan hudud karena bisa mencegah perbuatan keji.

Ada yang mengatakan, hukuman tersebut karena Allah SWT membatasi dan

menentukan hukuman ini sehingga tidak melebihi atau kurang dari ketentuan.13

Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa ciri khas jarimah hudud itu

adalah sebagai berikut.14

a. Hukumannya tertentu dan terbatas, dalam arti bahwa hukuman tersebut telah

ditentukan oleh syara’ dan tidak ada batas minimal dan maksimal.

b. Hukuman tersebut merupakan hak Allah semata-mata, atau kalau ada hak

manusia disamping hak Allah maka hak Allah yang paling dominan.

13Al Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini, Kipayatul Akhyar,( Jilid III, Bina Ilmu,

1997), h. 63. 14Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar Grafika, 2005), cet 2, h.

Pendahuluan x.

Page 27: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

17

Oleh karena hukuman had adalah merupakan hak Allah maka hukuman

tersebut tidak bisa digugurkan oleh perseorangan (orang yang menjadi korban

atas keluarganya) atau oleh masyarakat yang diwakili oleh Negara.

Menurut Abu Ya’la adalah semua jenis sanksi yang wajib diberlakukan

kepada pelaku karena ia meninggalkan semua hal yang diperintahkan, seperti

sholat, puasa, zakat, dan haji. Adapun hudud dalam katagori yang kedua adalah

semua jenis sanksi yang diberikan kepada seseorang karena ia melanggar larangan

Allah, seperti berzina, mencuri, dan meminum khamar.15

Hudud jenis kedua ini terbagi menjadi dua, pertama, hudud yang

merupakan hak Allah, seperti hudud atas jarimah zina, meminum-minuman keras,

pencurian, dan pemberontakan. Kedua hudud yang merupakan hak manusia,

seperti had qadzaf dan qishash.

Kemudian jika ditinjau dari segi materi jarimah, hudud terbagi menjadi

tujuh, yaitu:

1) Jarimah zina. Bentuk hukuman ada tiga yaitu hukuman cambuk/dera/jilid,

pengasingan dan rajam.

2) Jarimah qazaf (menuduh zina). Bentuk hukuman yaitu dikenakan dua

hukuman, hukuman pokok berupa dera/jilid 80 kali dan hukuman tambahan

berupa tidak diterimanya kesaksian yang bersangkutan selama seumur hidup

15M. Nurul Irfan, Masyrofah. Fiqh Jinayah, (Jakarta, Paragonatama Jaya, 2013), cet 1, h.

16-17.

Page 28: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

18

3) Jarimah syurbul khamr (minum-minuman keras). Bentuk hukumannya yaitu di

dera dengan dua pelepah kurma sebanyak empat puluh kali.

4)Jarimah pencurian (sariqah). Bentuk hukuman yaitu dipotong kedua tangannya.

5) Jarimah hirabah (perampokan). Bentuk hukuman yaitu ada bentuk hukuman:

hukuman mati dan disalib, hukuman mati, hukuman potong tangan dan kaki

bersilang, hukuman pengasingan.

6) Jarimah riddah (keluar dari Islam). Bentuk hukumannya adalah hukuman

mati.

7) Jarimah Al Bagyu (pemberontakan). Bentuk hukumannnya adalah hukum

bunuh.16

b. Jarimah Qishash dan Diat

Jarimah qishash dan diat adalah jarimah yang diancam dengan hukuman

qishash atau diat. Baik qishash maupun diat kedua-duanya adalah hukuman yang

sudah ditentukan oleh syara’. Perbedaan dengan hukuman had adalah bahwa

hukuman had merupakan hak Allah (hak masyarakat), sedangkan qishash dan diat

adalah hak manusia (hak individual). Di samping itu, perbedaan yang lain adalah

karena hukuman qishash dan diat merupakan hak manusia maka hukuman

tersebut bisa dimaafkan atau digugurkan oleh korban atau keluarganya, sedangkan

hukuman had tidak bisa dimaafkan atau digugurkan.17

16Makhrus Munajat, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, (Yogyakarta: Logung,

2004), h. 12. 17Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar Grafika, 2005), cet 2, h. 11.

Page 29: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

19

Pengertian qishash, sebagaimana dikemukakan oleh Muhammad Abu

Zahran adalah, persamaan dan keseimbangan antara jarimah dan hukuman.

Sanksi hukum qishash yang diberlakukan terhadap pelaku pembunuhan

sengaja (terencana) terdapat dalam firman Allah sebagai berikut:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; (QS : Al-Baqarah : 178)

Ayat ini berisi tentang hukuman qishash bagi pembunuhan yang

melakukan kejahatan secara sengaja dan pihak keluarga korban tidak memaafkan

pelaku. Kalo keluarga korban ternyata memaafkan pelaku, maka sanksi qishash

tidak berlaku, dan beralih menjadi hukuman diyat.18Namunapabila diperluas maka

ada lima macam, yaitu

1) pembunuhan sengaja

2) pembunuhan menyerupai sengaja

3) pembunuhan karena kesalahan

4) penganiayaan sengaja

5) dan penganiayaan tidak sengaja19

Pembunuhan sengaja adalah suatu pembunuhan dimana pelaku perbuatan

tersebut sengaja melakukan suatu perbuatan dan dia menghendaki dari

perbuatannya, yaitu matinya orang yang menjadi korban. Sebab indikator dari

18Nurul Irfan, Masyrofah. Fiqh Jinayah, (Jakarta, Paragonatama Jaya, 2013), cet 1, h. 5. 19Rahmat Hakim, Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), (Bandung: Pustaka Setia,

2000), hlm. 29

Page 30: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

20

kesengajaan untuk membunuh tersebut dapat dilihat dari alat yang digunakannya,

dalam hal ini alat yang digunakan untuk membunuh adalah alat yang galibnya

(lumrahnya) dapat mematikan korban, seperti senjata api, senjata tajam, dan

sebagainya.

Pembunuhan menyerupai sengaja memiliki dua unsur, yaitu unsur

kesengajaan dan unsur kekeliruan, unsur kesengajaan terlihat dalam kesengajaan

berbuat berupa pemukulan. Unsur kekeliruan terlihat dalam ketiadaan niat

membunuh. Dengan demikian pembunuhan tersebut menyerupai sengaja, karena

ada kesengajaan dalam berbuat.

Dalam pembunuhan karena kesalahan dapat dilihat bahwasannya tidak ada

unsur kesengajaan untuk melakukan perbuatan yang dilarang, dan tindak

pembunuhan yang terjadi kurangnya kehati-hatian, atau karena kelalaian dari

pelaku.

Pembunuhan yang pembunuhnya harus di qishash ada beberapa syarat,

yaitu: pembunuhan baliq. Pembunuhan berakal, dan yang dibunuh bukan budak.

Qishash artinya balasan yang sepadan. Pembunuhan yang bisa dituntut qishash

ialah yang mukallaf dan berakal. Pembunuhan yang terdiri dari anak kecil atau

orang-orang yang tidak berakal (seperti gila) tidak boleh dituntut qishash, dan

orang Islam yang membunuh orang kafir tidak dituntut qishash.20

20Abdul Fatah Idris, Abu Ahmadi, Fikih Islam, (Jakarta, Rineka Cipta), h. 300.

Page 31: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

21

c.Jarimah Ta’zir

Pengertian ta’zir secara etimologi, ta’zir berasal dari kata azzara yuazziru

ta’ziran. Yang artinya mencegah menolak dan mendidik dan memukul dengan

sangat.

Secara terminologi, hukuman pendidik yang dijatuhkan hakim terhadap

tindak pidana atau maksiat yang belum ditentukan hukumannya oleh syari’at, atau

telah ditentukan hukumannya, akan tetapi tidak terpenuhi syarat pelaksanaanya

seperti: bercumbu selain faraz, dan mencuri yang tidak terpenuhi syarat untuk

pemotongan tangan.21

Sebagaimana dikemukakan oleh Al-Mawardi adalah

Ta’zir adalah hukuman pendidikan atas dosa (tindak pidana) yang belum

ditentukan hukumannya oleh syara.

Dari definisi tersebut, dapat diketahui bahwa hukuman ta’zir adalah

hukuman yang belum ditetapkan oleh syara, dan wewenang untuk menetapkannya

diserahkan kepada ulil amri. Di samping itu, dari definisi tersebut dapat diketahui

bahwa ciri khas jarimah ta’zir adalah sebagai berikut.22

21Mardani, Kejahatan Pencurian Dalam Hukum Pidana Islam, h. 12-13. 22Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar Grafika, 2005), cet 2, h.

12.

Page 32: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

22

1. Hukuman tidak tertentu dan tidak terbatas. Artinya, hukuman yang belum

ditetapkan oleh syara’ dan ada batas minimal dan maksimal.

2. Penentuan hukuman tersebut adalah hak penguasa (ulil amri).

Tujuan diberikannya hak penentuan jarimah-jarimah ta’zir dan

hukumannya terhadap penguasa adalah agar mereka dapat mengatur masyarakat

dan memelihara kepentingan-kepentingannya, serta bisa menghadapi dengan

sebaik-baiknya setiap keadaan yang bersifat mendadak.

Jarimah ta’zir disamping ada yang diserahkan penentuannya sepenuhnya

kepada ulil amri, dan juga ada yang sudah ditetapkan oleh syara, seperti riba dan

suap. Di samping itu juga termasuk kelompok ini, jarimah-jarimah yang

sebenarnya sudah ditetapkan hukumannya oleh syara, (hudud) akan tetapi syarat-

syarat untuk dilaksanakan hukuman tersebut belum terpenuhi. Misalnya pencuri

yang tidak sampai selesai atau barang yang dicuri tidak sampai nishab pencurian,

yaitu seperempat dinar.

Syara tidak menentukan macam-macam hukuman untuk tiap-tiap jarimah

ta’zir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-

ringannya sampai yang seberat-beratnya. Dalam hal ini hakim diberi kebebasan

untuk memilih hukuman-hukuman mana yang sesuai macam jarimah ta’zir tidak

mempunyai batas tertentu.

Juga jenis jarimah ta’zir tidak ditentukan banyaknya, sedangkan pada

jarimah-jarimah hudud dan qishash diyat sudah ditentukan dan memang jarimah

ta’zir tidak mungkin ditentukan jumlanya. Syara hanya menentukan sebagian

Page 33: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

23

jarimah-jarimah ta’zir, yaitu perbuatan-perbuatan yang selamanya akan tetap

dianggap sebagai jarimah: seperti riba, menggelapi titipan, memaki-maki orang,

penyuapan dan sebagainya, sedang sebagian terbesar dari jarimah ta’zir

diserahkan kepada penguasa untuk menentukannya, dengan syarat harus sesuai

dengan kepentingan-kepentingan masyarakat dan tidak boleh berlawanan dengan

nash-nash (ketentuan-ketentuan) syara’ dan prinsip-prinsip umum.23

C. Pertanggungjawaban Jarimah

Pertanggungjawaban pidana dalam syariat Islam adalah pembebanan

seseorang dalam akibat perbuatan atau tidak adanya perbuatan yang dikerjakannya

dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut mengetahui maksud dan akibat

dari perbuatannya itu.

Dalam hukum Islam pertanggungjawaban itu didasari kepada tiga hal:24

1. Adanya perbuatan yang dilarang,

2. Perbuatan itu dikerjakan dengan kemauan sendiri, dan

3. Pelaku mengetahui akibat perbuatan itu.

Apabila terdapat tiga hal tersebut maka terdapat juga pertanggungjawaban.

Apabila tidak terdapat maka tidak terdapat pula pertanggungjawaban. Dengan

demikian, seorang anak tidak dikenaka hukuman Had karena kejahatan yang

dilakukan, karena tak ada tanggung jawab hukum atas seorang anak yang berusia

23Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar Grafika, 2005), cet 2, h.14.

24Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta, Sinar

Grafika, 2004), cet 1, h. 74.

Page 34: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

24

berapa pun sampai ia sampai berumur puber, Qodhi hanya akan tetap berhak

untuk menegur kesalahannya atau menetapkan beberapa pembatasan baginya

yang akan membantu memperbaikanya dan menghentikannya dari membuat

kesalahan lagi di masa yang akan datang.

Menurut Abu Zaid Al-Qayrawani, seorang Ulama Madzhab Maliki, tetap

tak akan ada hukuman Had bagi anak-anak kecil bahkan dalam hal tujuan zina

yang palsu (Qadzaf) atau justru si anak sendiri yang melakukannya.

Kalau seseorang melakukan tindak pidana dalam keadaan sakit saraf (gila)

maka ia tidak akan mendapat hukuman. Imam Abu Yusuf berkata bahwa

“Hukuman Hadd dapat dikenakan kepada tertuduh setelah ia mengakuinya, jika

tidak penjelasan bahwa ia tidak gila, atau mengalami gangguan mental. Bila

ternyata dia bebas dari kurungan semacam itu, maka ia harus menjalani hukuman

yang berlaku”. Oleh karena itu, Hakim sangat perlu meyakinkan dirinya sendiri

dengan pikiran yang jernih atas perkara kriminal itu sebelum dia menyatakan

keputusannya.

Tidur dianggap sebagai mati kecil, bila ada tindak pidana yang

dilakukannya sewaktu dalam keadaan tidur, maka seseorang tidak harus

mempertanggungjawabkannya asalkan diyakinkan bahwa hal itu benar-benar

dalam keadaan tidur, kasus putra Umar, Ubaidillah, yang melakukan zina

Page 35: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

25

terhadap seorang wanita yang sedang tidur, disebutkan secara terperinci dalam

bab tentang “Zina” Ubai dihukum, sedangkan si wanita dibebaskan.25

Prinsip yang sama ditegaskan kalau seseorang mengigau ngelindur,

berjalan dalam keadaan sedang tidur, meskipun ia tampaknya awas, namun ia

tetap tertidur dan berjalan. Jika seseorang melakukan sesuatu perkara pidana

dalam keadaan itu, maka secara hukum dia tak bertanggungjawab.

Pembebasan pertanggungjawaban terhadap meraka di dasarkan kepada

hadis Nabi, dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu

Daud disebutkan:

عن عائشة رصي اهللا عنھا قا لت : فا ل رسو ل اهللا صلى اهللا علیھ و سلم: رفع القلم عن ثالثة عن النا ئم

لى حتى یبرأ وعن الصبي حتى یكبرحتى یستیقظ وعن المبت

Artinya: Dari Aisyah ra. Ia berkata: telah bersabda Rasullullah SAW: dihapuskan ketentuan dari tiga hal, dari orang yang tidur sampai ia bangun, dari orang yang gila sampai ia sembuh, dan dari anak kecil sampai ia dewasa.

Para ahli Hukum Islam, sebagaimana para ahli hukum Positif, menegaskan

bahwa harus ada hubungan sebab akibat (causal relationship) antara akibat

seseorang agar seseorang itu dapat dipertanggungjawabkan secara pidana,

mengutip dua contoh Ibn Hazm.26

1. Seorang pria sedang pergi dengan ibunya dengan mengendarai seekor keledai

ketika seorang pria lain datang mengendarai kuda yang menderap dengan

25Abdur Rahman, Tindak-Tindak Pidana dalam Islam, (Jakarta, Rineka Cipta), h. 16-17 26Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung, Asy Syaamil Press dan

Grafika), cet 1, h. 167.

Page 36: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

26

kecepatan tinggi. Keledai itu ketakutan sehingga melompat, ibu itupun jatuh

dari keledai dan tewas. Putranya mengadukan kepada Khalifah Umar bin

Khatab. Umar bertanya, apakah orang tersebut menabrak keledai? lelaki itu

menjawab, “Tidak”. Maka Umar berkata, saat bagi ibumu telah tiba, maka

tunduklah pada kehendak Allah.

2. Merupakan suatu pembunuhan bagi seseorang yang membuka dam/bendungan

sampai menenggelamkan penduduk atau membakar suatu gedung hingga

mengakibatkan matinya orang (sanad, 1991: 86). Dalam teori hukum pidana

orang tersebut dapat digolongkan memiliki kesengajaan berupa keinsapan

kepastian atau kesengajaan sebagai keinsapan kemungkinan.

Apabila pertanggungjawaban pidana itu tergantung kepada adanya

perbuatan melawan hukum ini bertingkat-tingkat maka pertanggungjawaban itu

juga bertingkat-tingkat. Hal itu disebabkan karena kejahatan seseorang itu erat

kaitannya dengan niatnya.

Perbuatan melawan hukum adakalanya disengaja dan ada kalanya karena

kekeliruan, sengaja dibagi kepada dua bagian, yaitu sengaja semata-mata dan

menyerupai sengaja, sedangkan kekeliruan juga ada dua macam, keliru semata-

mata dan perbuatan yang disamakan dengan kekeliruan. Dengan demikian

pertanggungjawaban itu juga ada empat tingkatan sesuai dengan tingkatan

perbuatan melawan hukum tadi, yaitu sengaja, semi sengaja keliru, dan yang

disamakan dengan keliru.

Page 37: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

27

D. Pemberat Pidana dalam Pengulangan Jarimah

Dalam hukum Islam, secara bahasa pengulangan tersebut dikenal dengan

A’ud berasal dari kata:

عو دا -یعود -عاد

Yang mempunyai makna kembali atau mengulang. Jika dirangkaikan

dengan kata-kata al-jarimah atau al-jinayah, maka akan mempunyai arti

pengulangan jarimah (pengulangan tindak pidana)27

Pengertian pengulangan dalam istilah Hukum Positif dikerjakannya suatu

jarimah oleh seseorang, setelah ia melakukan jarimah lain yang telah mendapat

keputusan terakhir. Perkataan pengulangan mengandung arti terjadinya sesuatu

jarimah beberapa kali dari satu orang yang dalam jarimah sebelumnya telah

mendapatk keputusan terakhir.

Pengulangan jarimah oleh seseorang, setalah yang jarimah sebelumnya

mendapat hukuman melalui keputusan terakhir, menunjukkan sifat membandel

dan tidak mempannya hukuman pertama. Oleh karena itu sudah sewajarnya

apabila timbul kecendrungan untuk memperberat hukuman-hukuman atas

pengulangan jarimah, kecendrungan ini pada masa-masa yang lalu, ditentang oleh

27Abdul Qodir Audah, at-Tasyri al-Jinai al-Islami,(Kairo: Maktabah Daarul Urubah,

1960)h. 768.

Page 38: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

28

beberapa sarjana Hukum Positif. Akan tetapi, pada masa sekarang tidak ada orang

yang berkeberatan untuk memperberat hukuman tersebut.28

Hukum pidana Mesir, menggunakan sepenuhnya syarat-syarat tersebut.

Dalam Pasal 49 KUHP Mesir, sebagaimana dikutip oleh A. Hanafi, disebutkan

bahwa dianggap sebagai pengulang jarimah adalah orang-orang sebagai berikut.29

1. Orang yang telah dijatuhi hukuman jarimah jinayah, kemudian ia

melakukan jinayah atau janhah.

2. Orang yang dijatuhkan hukuman penjara satu tahun atau lebih, dan

ternyata ia melakukan suatu jarimah, sebelum lewat lima tahun dari masa

berakhirnya hukuman tersebut atau dari masa hapusnya hukuman karena

kadaluarsa.

3. Orang yang dijatuhkan hukuman karena jinayah atau janhah dengan

hukuman penjara kurang dari satu tahun, atau dengan hukuman denda, dan

ternyata ia melakukan janhah yang sama dengan jarimah yang pertama

sebelum lewat lima tahun dari masa dijatuhkannya hukuman tersebut.

Mencuri, penipuan, dan penggelapan barang dianggap janhah-janhah yang

sama.

Dalam hukum Pidana Islam, pengulangan jarimah sudah dikenal bahkan

sejak jaman Rasullullah SAW.

28Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar

Grafik, 2004), cet, 1, h. 164-166

Page 39: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

29

Dalam jarimah pencurian misalnya, Rasullullah telah menjelaskan

hukuman untuk pengulangan ini secara rinci. Dalam sebuah hadis yang

diriwayatkan oleh Imam Ad-Daruquthni dari Abu Hurairah dijelaskan bahwa

Rasullullah saw. Bersabda dalam kaitan dengan hukuman untuk mencuri.

رق فاقطعوا رجلھ"سرق فاقطعوا یده, ثم ان سرق فا قطعوا رجلھ, ثم ان سر ق فا قطعو ا یده. ثم ان سان

Artinya: Jika ia mencuri potonglah tangannya (yang kanan), jika ia mencuri lagi potonglah kakinya (yang kiri). Jika ia mencuri lagi potonglah tangannya (yang kiri), jika ia mencuri lagi maka potonglah kakinya (yang kanan).

Hadis diatas menjelaskan tentang hukuman bagi residivis atau pelaku

pengulangan kejahatan dalam tindak pidana pencurian. Namun apabila

diperhatikan, dalam hadis tersebut tidak ada pemberat atau penambah hukuman,

melainkan hanya menjelaskan urutan saja sejak pencuri yang pertama sampai

yang keempat. Pemberatan hukuman terhadap pengulangan ini dapat ditemukan

dalam hadis lain, yaitu apabila terjadi pencurian yang kelima kalinya,, lengkapnya

hadis tersebut sebagai berikut.

الوا: انما سرق وعن جابر رضي اهللا عنھ قال : جىء بسارق الى النبى صلى اهللا علیھ و سلم فقال: اقتلوه فق

اقتلوه" فذ كر مثلھ: ثم جىءبھ الثا لثة فذكر مثلھ" ثم رسول اهللا" اقطعوه فقطع" ثم جىءبھ الثا نیة فقال: یا

30جىء بھ الرا بعة كذ لك" ثم جىء بھ الخا مثة فقا ل: اقتلوه ( اخرجھ ابو داود والنسائى )

Artinya: Dari jabir ra ia berkata: seorang pencuri telah di bawa kehadapan Rasulullah saw. Maka Nabi bersabda: Bunuhlah ia. Para sahabat berkata: Ya Rasulullah ia hanya mencuri. Nabi mengatakan: potonglah tangannya. Kemudian ia dipotong. Kemudian ia dibawa lagi untuk kedua kalinya. Lalu Nabi mengatakan bunuhlah ia. Kemudian disebutkan seperti tadi, kemudian ia di bawa untuk ketiga kalinya maka nabi menyebutkan seperti tadi. Kemudian ia dibawa lagi untuk ke empat

30Ibnu Hajar Asqolani, Kitab Bulughul Maram, h 278.

Page 40: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

30

kalinya dan nabi mengatakan seperti tadi. Akhirnya dia dibawa lagi untuk kelima kalinya. Lalu nabi mengatakan: bunuhlah ia. (Hadis dikeluarkan oleh Abu Daud dan An-Nasa’i)

Meskipun pengulangan tersebut sudah di jelaskan dalam hadis di atas,

namun tidak ada keterangan yang menjelaskan persyaratan dan lain-lain.31

Selanjutnya dalam hukum pidana khamar, sebagaimana yang telah di

riwayatkan yaitu:

Artinya: Dari Abdullah bin Amru bin al-Ash berkata: bahwa Rasullullah saw

bersabda: barang siapa yang meminum khamar (Arak) maka jilidlah ia,

jika ia mengulangi lagi maka jilidlah ia, jika ia mengulangi lagi maka

jilidlah ia, jika ia mengulangi lagi yang keempat kalinya, maka bunuhlah

ia”, (HR Ahmad)

Apabila peminum khamar telah melakukan pengulangan dalam jarimah

khamar padahal sudah pernah diberikan sanksi, maka pada jarimah tersebut

pelakunya diberikan pemberatan dari dipukul kemudian dijilid, dari pengertian

hadis diatas bahwa dalam memberikan pemberat hukuman terhadap pelaku

pengulangan tindak pidana (a’ud) bahkan dapat juga dalam bentuk hukuman

mati.32

Dengan melihat beberapa aspek di atas, dalam Hukum Islam orang yang

melakukan tindak pidana harus dijatuhkan hukuman yang telah ditetapkan atas

apa yang telah dilakukan, namun bila pelaku mengulangi tindak pidana yang

31Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah,

(Jakarta, Sinar Grafika, 2004), cet 1, h. 166. 32M. Hasbi Asshidiqi, Koleksi Hadis-hadis Hukum, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,

2001), cet, ke III, Jilid IX, h. 193.

Page 41: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

31

pernah dilakukannya, hukuman yang dijatuhkan kepadanya akan diperberat,

apabila ia terus melakukan perbuatan tersebut, ia dapat dijatuhkan hukuman mati

atau hukuman penjara seumur hidup. Kewenangan untuk menentukan hukuman

tersebut diserahkan kepada pengusaha dengan memandang kondisi tindak pidana

dan pengaruhnya terhadap masyarakat.

Page 42: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

32

BAB III

PEMBERAT PIDANA DALAM PENGULANGAN TINDAK PIDANA

(RECIDIVE) MENURUT KUHP

A. Pengertian Tindak Pidana

Dan istilah hukuman yang merupakan istilah umum dan konvensional,

dapat mempunyai arti yang luas dan berubah-ubah karena istilah itu dapat

berkonotasi dengan bidang yang cukup luas. Istilah tersebut tidak hanya sering

digunakan dalam bidang hukum, tetepi dalam istilah sehari-hari di bidang

pendidikan, moral, agama dan sebagainya.

Oleh karena itu “Tindak Pidana” merupakan istilah yang lebih khusus,

maka perlu ada pembatasan pengertian atau makna sentral yang dapat

menunjukan ciri-ciri atau sifat-sifatnya yang khusus.

Menurut Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunyaasas-asas hukum

pidana di Indonesia memberikan definisi “ tindak pidana”atau dalam bahasa

Belanda strafbaar feit, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam

Strafwetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku

di Indonesia. Ada istilah dalam bahasa asing, yaitu delict.

32

Page 43: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

33

Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai

hukum pidana. Dan, pelaku ini dapat dikatakan merupakan “subjek” tindak

pidana.33

Sedangkan dalam buku Pelajaran Hukum Pidana karya Drs. Adami

Chazawi, S.H menyatakan bahwa istilah tindak pidana adalah berasal dari istilah

yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu “strafbaar feit “, tetapi tidak ada

penjelasan tentang apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu. Karena itu para

ahli hukum berusaha memberikan arti dan isi dari istilah itu. Sayangnya sampai

kini belum ada keseragaman pendapat.34

Hukum Pidana sebagai Hukum yang mengatur perbuatan-perbuatan yang

dilarang oleh Undang-Undang dan berakibat diterapkannya hukuman bagi siapa

yang melakukannya dan memenuhi unsur-unsur perbuatan yang disebutkan dalam

Undang-Undang Pidana. Seperti perbuatan yang dilarang dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Korupsi, Undang-Undang HAM dan

lain sebagainya. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur perbuatan-

perbuatan apa yang dilarang dan memberikan hukuman bagi yang melanggarnya.

Perbuatan yang dilarang dalam hukum pidana adalah: Pembunuhan, penipuan,

pencurian, perampokan, penganiayaan, pemerkosaan, dan korupsi.

33Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, (Bandung: Refika Aditama, 2008), cet 3, h. 58.

34Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 67.

Page 44: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

34

Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) (WvS) telah menetapkan

jenis-jenis pidana yang termaktub dalam pasal 10. Diatur dua pidana yaitu pidana

pokok dan pidana tambahan, Jenis-jenis pidana menurut pasal 10 KUHP ialah

sebagai berikut.

a. Pidana mati

Baik berdasarkan pada pasal 69 maupun berdasarkan hak yang tertinggi

bagi manusia, pidana mati adalah pidana yang terberat. Karena pidana ini

merupakan pidana terberat, yang pelaksanaannya berupa penyerangan hak hidup

bagi manusia, yang sesungguhnya hak ini berada di tangan tuhan, maka tidak

heran sejak dulu sampai sekarang menimbulkan pro dan kontra, bergantung

kepada pementingan cara memandang pidana mati itu sendiri.35

Selain itu kelemahan dan keberatan pidana mati ini ialah apabila telah

dijalankan, maka tidak dapat memberi harapan lagi untuk perbaikan, baik revisi

atau jenis pidananya atau perbaikan atas diri terpidananya apabila kemudian

penjatuhan pidana ini terdapat kekeliruan, baik kekeliruan terhadap orang maupun

pembuatannya/petindaknya, atau kekeliruan atas tindak pidana yang

mengakibatkan pidana mati itu dijatuhkan dan dijalankan atau juga kekeliruan

atas kesalahan terpidana.

Sebelum pembentuk Undang-undang pada saat ini telah menyadari akan

sifat pidana mati sebagaimana yang telah diutarakan tersebut. Oleh karena itu,

dalam KUHP, kejahatan-kejahatan yang diancam dengan pidana mati hanyalah

35Adami Chazawi, Stelsel Pidana, Tindak pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas

Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta, PT Raja Grapindo Persada, 2008), h. 29.

Page 45: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

35

pada kejahatan-kejahatan yang dipandang sangat berat saja, yang jumlahnya

sangat terbatas, seperti.36

1. Kejahatan-kejahatan yang mengancam keamanan Negara (104, 111 ayat 2, 124

ayat 3 jo 129).

2. Kejahatan-kejahatan pembunuhan terhadap orang-orang tertentu dan atau

dilakukan dengan faktor-faktor pemberat, misalnya: 140 (3), 340.

3. Kejahatan terhadap harta benda yang disertai unsur/faktor yang sangat

memberatkan (365 ayat 4, 368 ayat 2).

4. Kejahatan-kejahatan pembajakan laut, sungai, dan pantai (444).

Disamping itu, sesungguhnya pemberat KUHP sendiri telah memberikan

suatu isarat bahwa pidana mati tidak dengan mudah dijatuhkan.

b. Pidana Penjara

Dibawah ini dapat disimak beberapa hal sehubungan dengan ketentuan

pidana penjara yang dapat menjadi jus constituendum, yaitu sebagai berikut.

a. Pidana penjara dijatuhkan untuk seumur hidup atau untuk waktu tertentu.

Waktu tertentu paling lama dijatuhkan lima belas tahun atau paling singkat

satu hari, kecuali ditentukan minimum khusus.

b. Jika dipilih pidana mati dan pidana penjara seumur hidup, atau jika ada

pemberatan atas tindak pidana yang dijatuhkan pidana penjara lima belas

tahun maka pidana penjara bisa dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-

turut.

36Adami Chazawi, Stelsel Pidana, Tindak pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas

Berlakunya Hukum Pidana, (Jakarta, PT Raja Grapindo Persada, 2008), h.. 31.

Page 46: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

36

c. Jika pidana seumur hidup telah menjalani pidana paling kurang sepuluh

tahun pertama dengan berkelakuan baik, mentri kehakiman dapat

mengubah sisa pidana tersebut menjadi pidana penjara paling lama lima

belas tahun.

c. Pidana kurungan

Dalam beberapa hal pidana kurungan sama dengan pidana penjara, yaitu

sebagai berikut.

1. Sama, berupa pidana hilang kemerdekaan bergerak.

2. Mengenal maksimum 1 tahun umum, maksimum 1,4 tahun khusus dan

minimum 1 tahun umum dan tidak mengenal minimum khusus. Maksimum

umum pidana penjara 15 tahun yang karena alasan-alasan tertentu dapat

diperpanjang menjadi maksimum 20 tahun, dan pidana kurungan 1 tahun

yang dapat diperpanjang maksimum 1 tahun 4 bulan.

3. Orang yang dipidana kurungan dan pidana penjara diwajibkan untuk

menjalankan pekerjaan tertentu walaupun nara pidana kurungan lebih ringan

dari pada nara pidana penjara.

4. Tempat menjalani pidana penjara sama dengan tempat menjalani pidana

kurungan walaupun ada sedikit perbedaan yaitu harus dipisah (pasal 28).

5. Pidana kurungan dan pidana penjara mulai berlaku apabila terpidana tidak

ditahan yaitu pada hari putusan hakim (setelah mempunyai keputusan tetap)

dijalankan/dieksekusi, yaitu pada saat pejabat kejaksaan meekekusi dengan

cara melakukan tindak pidana paksa memasukan terpidana ke dalam

lembaga kemasyarakatan.

Page 47: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

37

d. Pidana Denda

Hal yang menarik dalam pidana denda antara lain ditetapkannya jumlah

denda berdasarkan katagori dan pembayaran denda dapat diangsur. Pokok-pokok

pidana denda sesuai rancangan KUHP yang dimaksud adalah sebagai berikut.37

a. Apabila tidak ditentukan minimum khusus maka pidana denda paling sedikit

seribu lima ratus rupiah.

b. Pidana denda paling banyak ditetapkan berdasarkan katagori, yaitu:

1. Katagori 1, seratus lima puluh ribu rupiah,

2. Katagori II, tujuh ratus lima puluh ribu rupiah,

3. Katagori III, tiga juta rupiah,

4. Katagori IV, tujuh juta lima puluh ribu rupiah,

5. Katagori V, tiga puluh juta rupiah,

6. Katagori VI, tiga ratus juta rupiah.

c. Pidana denda paling banyak untuk korporasi adalah katagori lebih tinggi

berikutnya.

d. Pidana denda paling banyak untuk korporasi yang melakukan tindak pidan

yang diancam dengan:

37Bambang Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta, Sinar Grafika, 2008), h. 20.

Page 48: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

38

1. Pidana penjara paling banyak tujuh tahun sampai dengan lima belas

tahun adalah denda katagori V.

2. Pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling

lama dua puluh tahun adalah katagori VI,

3. Pidana denda paling sedikit adalah katagori IV.

e. Pidana tutupan

Pidana tutupan ini ditambahkan ke dalam pasal 10 KUHP melalui UU No.

20 tahun 1946, yang maksudnya sebagaimana tertuang dalam Pasal 2 ayat 1 yang

menyatakan dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan, yang diancam

dengan pidana penjara karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim

boleh menjatuhkan pidana tutupan. Pada ayat 2 dinyatakan bahwa pidana tutupan

tidak dijatuhkan apabila perbuatan yang melakukan kejahatan itu cara melakukan

perbuatan itu atau akibat dari perbuatan itu adalah sedemikian rupa sehingga

hakim menentukan bahwa pidana penjara lebih tepat.

1.Jenis-jenis Pidana Tambahan

Sebagaimana telah disebut dimuka, berkaitan dengan pidana tambahan

yang ternyata lebih banyak dibandingkan dengan KUHP.38

a. Pencabutan Hak-hak Tertentu

Dari judul ini mudah dimengerti bahwa tidak dimungkinkan untuk

mencabut semua hak-hak dari terdakwa. Dahulu telah dikenal diancamkan sebagai

tindak pidana tambahan, bagi pelaku dari kejahatan sangat berat.

38Waluyo, Pidana dan Pemidanaan, (Jakarta, Sinar Grafika, 2008), h. 22.

Page 49: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

39

Walaupun pidana tambahan ini dicantumkan dalam buku I ketentuan

umum, tidak berarti bahwa pidana tambahan ini dapat ditambahkan untuk setiap

pemidanaan. Lihatlah kembali uraian pada no 217 a.

Sedangkan apa yang dimaksud dengan pekerjaan (beroep) tertentu adalah

pekerjaan sehari-hari yang dilakukan oleh seseorang sebagai mata pencahariannya

yang bukan merupakan jabatan dan pegawai negeri. Misalnya: tukang pangkas,

tukang gambar, wartawan, pedagang dan lain sebagainya.

Hak-hak menjalankan kekuasaan bapak, kekuasaan wali, wali pengawas,

pengampu dan pengampu pengawas, baik atas anak sendiri (ayat 1 sub ke-5)

maupun atas orang lain (ayat 1 ke-4) dapat dicabut bila terjadi pemidanaan

karena:

a. Pemegang hak tersebut dengan sengaja melakukan kejahatan bersama,

sama dengan anak yang kurang cukup umur yang berada di bawah

kekuasaannya.

b. Pemegang hak tersebut melakukan kejahatan penggelapan asal-usul,

kesusilaan, meninggalkan seseorang padahal memerlukan pertolongan,

perampasan kemerdekaan, perampasan jiwa, atau penganiayaan

terhadap anak yang kurang cukup umur yang berada dibawah

kekuasaannya. Hak tersebut dapat juga dicabut apabila ditentukan

secara tegas untuk sesuatu tindak pidana tertentu.

Pengecualian terhadap kebolehan pencabutan hak tersebut ditentukan

bahwa hakim pidana tidak boleh melakukan pencabutan tersebut,

Page 50: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

40

apabila terhadap terdakwa/terpidana berlaku aturan undang-undang

hukum perdata terhadap pencabutan tersebut.

Hak memilih dan dipilih dapat dicabut adalah hak-hak yang diatur

diadakan berdasarkan aturan-aturan umum seperti menjadi pemilik atau calon

anggota perwakilan rakyat, pemilih atau calon pamongpraja dan lain sebagainya.39

Di luar hak-hak yang ditentukan dalam pasal 35 tersebut, hakim tidak

berwenang mencabutnya sebagai pidana tambahan. Hak menjadi suami/istri hak

memeluk suatu agama, hak berpolitik dan lain sebaginya tidak boleh dicabut.

b. Pidana Perampasan Barang-barang Tertentu.

Salah satu ketentuan yang menarik adalah dapat dijatuhkannya pidana

tambahan ini tanpa dijatuhkannya pidana pokok. Pidana ini dapat dijatuhkan

apabila ancaman pidana penjara tidak lebih dari tujuh tahun atau jika terpidana

hanya dikenakan tindakan.

c. Pengumuman Putusan Hakim

Dalam hal diperintahkan supaya putusan diumumkan maka harus

ditetapkan cara melaksanakan perintah tersebut dan biaya pengumuman yang

harus ditanggung oleh terpidana, namun apabila biaya pengumuman itu tidak

dibayar oleh terpidana maka berlaku ketentuan pidana pengganti untuk pidana

denda.

B. Macam-macam Tindak Pidana

Membagi suatu kelompok benda atau manusia dalam macam-macam

tertentu atau mengklasifikasikannya dapat sangat bermacam-macam sesuai

39S.R.Siantari, Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, (BPK Gunung

Mulia,1996), h. 70-71.

Page 51: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

41

dengan kehendak yang mengklasifikasikannya atau mengelompokan, yaitu

menurut dasar apa yang diinginkan demikian halnya dengan tindak pidana.

KUHP sendiri telah mengklasifikasikan tindak pidana dalam dua

kelompok besar dalam buku kedua dan ketiga masing-masing menjadi kelompok

kejahatan dan pelanggaran.40

1. Kejahatan dan Pelanggaran

Penjelasan mengenai apa yang disebut kejahatan adalah rumusan

delikyang biasanya disebut delik hukuman, ancaman hukumannya lebih berat.

Tetapi tidak ada penjelasan mengenai apa yang disebut kejahatan dan

pelanggaran, semuanya diserahkan kepada ilmu pengetahuan untuk memberikan

dasarnya, tetapi tampaknya tidak ada yang sepenuhnya memuaskan.

Dicoba membedakan bahwa kejahatan merupakan rechtsdelict atau delik

hukum dan pelanggaran merupakan wetsdelick atau delik Undang-undang. Delik

hukum adalah pelanggaran hukum yang dirasakan melanggar rasa keadilan,

misalnya perbuatan seperti pembunuhan, melukai orang lain, mencuri dan

sebagainya. Sedangkan delik undang-undang melanggar apa yang ditentukan oleh

Undang-undang, misalnya saja keharusan mempunyai SIM bagi yang

mengendarai kendaraan bermotor, atau mengenakan helm ketika mengendarai

sepeda motor. Disini tidak tersangkut lagi masalah keadilan.

2. Delik Formal (Formil) dan Delik Material (Materiil)

Pada umumnya rumusan delik di dalam KUHP merupakan rumusan yang

selesai, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh pelakunya.

40Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Kharisma Putra Utama Offset, 2012), cet 3, h. 57-58

Page 52: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

42

Delik formal adalah delik yang dianggap selesai dengan dilakukannya

perbuatan itu, atau dengan perkataan lain titik beratnya berada pada perbuatan itu

sendiri. Tidak dipermasalahkan apakah perbuatannya, sedangkan akibatnya hanya

merupakan aksidentelia (hal yang kebetulan). Contoh delik formal adalah Pasal

362 (pencurian). Jika seorang telah melakukan perbuatan telah mengambil dan

seterusnya, dalam delik pencurian sudah cukup. Juga jika penghasutan sudah

dilakukan, tidak peduli apakah yang dihasut benar-benar mengikuti hasutan itu.

Sebaliknya di dalam delik material titik beratnya pada akibat yang

dilarang, delik itu dianggap selesai jika akibatnya sudah terjadi, bagaimana cara

melakukan perbuatan itu tidak menjadi masalah. Contohnya adalah Pasal 338

(pembunuhan), yang terpenting adalah matinya seseorang. Caranya boleh dengan

mencekik, menusuk, menembak, dan sebagainya.

3. Delik Dolus dan Delik Kulpa

Dolus dan kulpa merupakan bentuk kesalahan (schuld) yang akan

dibicarakan tersendiri di belakang.

Delik dolus adalah delik yang memuat unsur kesengajaan, rumusan

kesengajaan itu mungkin dengan kata-kata yang tegas, dengan sengaja, tetapi

mungkin dengan kata-kata lain yang senada, seperti diketahuinya, dan sebagainya.

Contohnya adalah Pasal-pasal 162, 197, 310, 338, dan lebih banyak lagi.

Delik kulpa di dalam rumusannya memuat unsur kealpaan, dengan kata,

karena kealpaannya, misalnya pada Pasal 359, 360, 195. Di dalam beberapa

terjemahan kadang-kadang dipakai istilah karena kesalahannya.

Page 53: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

43

4. Delik Aduan dan Delik Biasa (Bukan Aduan)

Delik aduan (klachtdelict) adalah tindak pidana yang penuntutannya hanya

dilakukan atas dasar adanya pengaduan dari pihak yang berkepentingan atau

terkena. Misalnya penghinaan, perzinahan, pemerasan. Jumlah delik aduan ini

tidak banyak terdapat di dalam KUHP. Siapa yang dianggap berkepentingan,

tergantung dari jenis deliknya dan ketentuan yang ada. Untuk perjinahan

misalnya, yang berkepentingan adalah suami dan istri yang bersangkutan.

Terdapat dua jenis delik aduan absolute, yang penuntutannya hanya

berdasarkan pengaduan, dan delik aduan relative di sini karena adanya hubungan

istimewa antara pelaku dan korban, misalnya pencurian dalam keluarga (Pasal

367 ayat (2) dan (3).)

C. Pertanggungjawaban Tindak Pidana

1. Kesalahan dalam Hukum Pidana

Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana, maka tidak dapat

dilepaskan dengan tindak pidana. Walaupun di dalam pengertian tindak pidana

tidak masuk masalah pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk

kepada dilarangnya suatu perbuatan.

Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas, sedangkan dasar dapat

dipidananya pembuat adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak

pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan

tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan. Ini

Page 54: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

44

berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan dipidana jika ia mempunyai

kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut.41

Berdasarkan hal tersebut di atas Sudarto, juga menyatakan hal yang sama, bahwa:

“dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan

perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum.

Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam

Undang-undang tidak dibenarkan (an objective breach of a panel

provision), namun hal tersebut tidak memenuhi syarat untuk penjatuhan

pidana. Untuk pemidanaan masih adanya syarat, bahwa orang yang

melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah (subjektive

guilt). Dengan perkataan lain, orang tersebut harus dapat

dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut

perbuatannya, perbuatan baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang

tersebut.42

Selanjutnya, Sudarto menyatakan bahwa, di sini berlaku asas “tiada pidana

tanpa kesalahan” Ruslan Saleh menyatakan, seseorang mempunyai kesalahan,

apabila pada waktu melakukan perbuatan pidana dilihat dari segi kemasyarakatan,

dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat berbuat lain, jika memang

tidak ingin berbuat demikian.

Apabila dikaji lebih lanjut pengertian kesalahan menurut beberapa ahli hukum

pidana ternyata terdapat beberapa pandangan.

41Teguh Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, (Bandung, Nusa Media, 2010), h.

48. 42Prasetyo, Kriminalisasi dalam Hukum Pidana, (Bandung, Nusa Media, 2010), 18.

Page 55: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

45

Jonkers dalam keterangan tentang kesalahan membuat pembagian atas tiga

bagian dalam pengertian kesalahan:

1. Selain kesengajaan dan kealpaan (opzet of schuld)

2. Meliputi juga sifat melawan hukum (de wederrechtelijkheid),

3. Kemampuan bertanggungjawab (de toerekenbaarhed)

Sedangkan yang mempunyai pandangan yang memisahkan antara tindak

pidana dan kesalahan dengan unsurnya masing-masing (pandangan dualistis),

dapat dikemukakan pandangan dan Vos, yang memandang pengertian kesalahan

mempunyai tiga tanda khusus yaitu:

1. Kemampuan bertanggungjawab dari orang yang melakukan perbuatan

(toerekeningsvatbaaheid van de dader),

2. Hubungan batin tertentu dari orang yang melakukan perbuatan itu dapat berupa

kesengajaan atau kealpaan,

3. Tidak terdapat dasar alasan yang menghapus tanggungjawab bagi si pembuat

atas perbuatannya itu.

Mengenai hakikat kejahatan, Didalam hal kemampuan bertanggungjawab

bila di lihat dari keadaan batin orang yang melakukan perbuatan pidana

merupakan masalah kemampuan bertanggungjawab dan menjadi dasar yang

penting untuk menentukan adanya kesalahan, yang mana keadaan jiwa orang yang

melakukan perbuatan pidana haruslah sedemikian rupa sehingga dapat dikatakan

normal, sebab karena orang yang normal,sehat inilah yang dapat mengatur tingkah

lakunya sesuai dengan ukuran.

Page 56: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

46

Ukuran yang di anggap baik oleh masyarakat yakni. pertama pendekatan

yang melihat kejahatan sebagai dosa atau perbuatan yang tidak seronoh yang di

lakukan manusia lainya. Kedua pendekatan yang melihat kejahatan sebagai

perwujudan dari sikap dan pribadi pelaku yang tidak normal sehingga ia berbuat

jahat.

Sementara bagi orang yang jiwanya tidak sehat dan normal maka ukuran-ukuran

tersebut tidak berlaku baginya tidak ada gunanya untuk diadakan

pertanggungjawaban sebagaimana ditegaskan ketentuan Bab III Pasal 44 KUHP

yang berbunyi sebagai berikut:43

1. Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penyakit, tidak dipidana.

2. Jika hal ini tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim bisa memerintahkan supaya orang itu dimasukan kerumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.

3. Ketentuan dalam ayat (2) hanya berlaku bagi Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi, dan Pengadilan Negeri.

b. Kesalahan dan Konsep Pertanggungjawaban Pidana

Setiap sistem hukum moderen seyogianya, dengan berbagai cara,

mengadakan pengaturan tentang bagaimana mempertanggungjawabkan orang

yang telah melakukan tindak pidana. Dikatakan dengan berbagai cara karena

pendekatan yang berbeda mengenai cara bagaimana suatu sistem hukum

merumuskan tentang pertanggungjawaban pidana, mempunyai pengaruh baik

dalam konsep maupun implementasi.

43KUHP, Bab III Pasal 44, Jiwa yang Tidak Sehat dan Normal Tidak Adanya

Pertanggungjawaban.

Page 57: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

47

Baik Negara-negara Civil Law maupun Camman law, umumnya

pertanggungjawaban pidana dirumuskan secara negatif. Hal ini berarti, dalam

hukum pidana Indonesia, sebagaimana civil law system lainnya, undang-undang

justru merumuskan keadaan-keadaan yang dapat menyebabkan pembuat tidak

dipertanggungjawabkan.44

Konsep pertanggungjawaban pidana berkenaan dengan mekanisme yang

menentukan dapat dipidananya pembuat, sehingga hal tersebut terutama

berpengaruh pada hakim, hakim harus mempertimbangkan keseluruhan aspek

tersebut, baik dirumuskan secara positif maupun negatif, hakim harus

mempertimbangkan hal itu, sekalipun penuntut umum tidak membuktikannya.

Sebaliknya jika terdakwa melakukan pembelaan yang berdasarkan pada alasan

yang menghapus kesalahan, maka hakim berkewajiban untuk memasuki masalah

lebih dalam. Dalam hal ini hakim berkewajiban untuk memasuki masalah lebih

jauh apa yang oleh terdakwa dikemukakannya sebagai keadaan-keadaan khusus

dari peristiwa tersebut, yang kini diajukan sebagai alasan penghapus

kesalahannya. Walaupun terdakwa tidak mengajukan pembelaan berdasarkan

alasan penghapus kesalahan perlu diperhatikan hal ini tidak ada pada diri

terdakwa ketika melakukan tindak pidana.

Dalam menentukan pertanggungjawaban pidana hakim harus

mempertimbangkan hal-hal tertentu, sekalipun tidak dimasukan kedalam surat

dakwaan oleh penuntut umum dan tidak diajukan oleh terdakwa sebagai alasan

pembelaan. hal ini mengakibatkan perlunya sejumlah ketentuan tambahan

44Andi Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, (Jakarta, Sinar Grafika, 1983), h. 260.

Page 58: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

48

mengenai hal ini, baik dalam hukum pidana materiil (KUHP), apalagi dalam

hukum formalnya (KUHAP).

a. Kesengajaan

Sebagian besar tindak pidana mempunyai unsur kesengajaan atau opzet,

bukan unsur culpa. Ini layak karena biasanya yang pantas mendapat hukuman

pidana itu adalah orang yang melakukan sesuatu dengan sengaja.45

b. Culpa

Arti kata culpa adalah “kesalahan pada umumnya” tetapi dalam ilmu

pengetahuan hukum mempunyai arti teknis, yaitu suatu macam kesalahan si

pelaku tindak pidana yang tidak seberat seperti kesengajaan, yaitu kurang berhati-

hati sehingga akibat yang tidak disengaja terjadi.46

D. Pemberatan Dalam Pengulangan Pidana (Recidive).

Pengulangan atau residivis terdapat dalam hal seseorang telah melakukan

beberapa perbuatan yang masing-masing merupakan tindak pidana yang berdiri

sendiri, di antara perbuatan mana satu atau lebih telah dijatuhi hukuman oleh

pengadilan.47 Pertanyaan sangat mirip dengan gabungan beberapa perbuatan yang

dapat dihukum dan dalam pidana mempunyai arti, bahwa pengulangan merupakan

dasar yang memberatkan hukuman.

Ini merupakan dasar pemberat pidana. Pengertian residivis menurut

Mahrus Ali, adalah kelakuan seseorang yang mengulang perbuatan pidana dan itu

45Wirjono Prodjodikoro, Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung, PT Refika

Aditama, 2003), h. 66.

46Prodjodikoro, Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung, PT Refika Aditama, 2003), h. 72.

47Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta, PT Raja Grafindo Permai, 2011), h. 191.

Page 59: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

49

yang dijatuhkan pidana dengan keputusan hakim yang mempunyai kekuasaan

hukum tetap karena perbuatan pidana yang telah dilakukan lebih dahulu.48

Menurut doctrine, dari sudut sifatnya sistem residivis itu dapat dibagi

dalam:49

1. Generale residivis atau (recidive umum).

Residivis umum adalah melakukan kejahatan terhadap kejahatan mana telah

dijatuhkan hukuman maka apabila ia telah melakukan kejahatan lagi yang

merupakan bentuk kejahatan apapun, ini dapat dipergunakan sebagai alasan

untuk memperberat hukuman.

Contoh: A melakukan kejahatan pencurian, karenanya ia dijatuhkan hukuman.

Setelah ia dijatuhkan hukuman itu, ia kembali dalam masyarakt. Akan tetapi A

melakukan kejahatan kembali yaitu penganiayaan terhadap B. Berdasarkan

residivis ini perbuatan penganiayaan itu dapat merupakan alasan untuk

memperberat hukuman yang dijatuhkan atas dirinya.

2. Special residivis atau (recidive khusus).

Residivis khusus adalah seseorang melakukan kejahatan, dan terhadap

kejahatan itu dijatuhkan oleh hakim. Kemudin ia melakukan kejahatan lagi

yang sama (sejenis) dengan kejahatan pertama, maka persamaan kejahatan

yang dilakukan kemudian itu merupakan dasar untuk memberatkan hukuman.

Akan tetapi perlu pula diketahui, bahwa residivis harus memenuhi

beberapa syarat.

48Mahrus Ali, Dasar-Dasar Hukum Pidana, (Jakarta, Sinar Grafika, 2011), h.139-140. 49Satochid, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian 2, Balai Lektur

Mahasiswa, tth, hlm. 186-187.

Page 60: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

50

Dan syarat-syarat yang dimaksud adalah:

1. Terhadap kejahatan yang pertama yang telah dilakukan harus telah ada

keputusan hakim yang mengandung hukuman.

2. Keputusan hakim tersebut harus merupakan keputusan yang tidak dapat diubah

lagi, artinya yang mempunyai keputusan akhir. Ini tidak berarti bahwa hukum

ini harus sudah dijalani seluruhnya.

3. Didalam pasal 486 dan pasal 487 ditentukan, bahwa hukuman yang dijatuhkan

berhubungan dengan perbuatan yang pertama harus merupakan hukuman

penjara, sedang di pasal 488 “tidak” ditentukan hukuman apa yang telah

dijatuhkan dalam perbuatan yang pertama.

4. Jangka waktu antara kejahatan yang diulangi kemudian, dan hukuman yang

dijatuhkan terhadap perbuatan yang pertaman, jangka waktu adalah lima tahun.

Pada tanggal 2 januari 1951, setelah ia menjalani hukuman seluruhnya, A

dibebaskan.

Kemudian pada tanggal 1 Januari 1952, A melakukan perbuatan

penggelapan. Dengan demikian jangka waktu antara tanggal 2 Januari 1951 dan

saat perbuatan kedua masih terletak kurang dari lima tahun, dan atas dasar pasal

486, hukuman atas diri A berhubungan dengan perbuatan yang kedua tadi, dapat

ditambah dengan sepertiga.

Akan tetapi, setelah ia dibebeskan pada tanggal 2 Januari 1951, pada

tanggal 10 Januari 1956 melakukan penipuan, maka atas diri A tidak boleh

dijatuhkan hukuman yang terberat karena setelah dijatuhkan hukuman yang kedua

itu telah terletak diluar jangka waktu.

Page 61: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

51

Akan tetapi, apabila mereka ternyata mengulang kembali melakukan

kejahatan, hal ini membuktikan bahwa mereka itu tidak dapat ditakut-takuti lagi.

Kriminologi menganggap, bahwa dasar hukum bagi residivis kurang tepat,

berhubung seseorang yang telah menjalani hukuman sudah tidak takut lagi

menjalani hukuman. Akan tetapi, ancaman hukuman berat itu akan menakut-

nakuti justru orang yang belum pernah menjalani hukuman, hingga orang itu akan

takut untuk melakukan sesuatu kejahatan.

Perlu dijelaskan bahwa selain ketentuan umum tentang residivis yang

ditentukan di dalam pasal-pasal 486, 487 dan 488 KUHP, terdapat dalam berbagai

pasal KUHP tentang pemberatan atau penambahan pidana berdasarkan

pengulangan, seperti yang diatur di dalam pasal-pasal 137 lid 2, 216 lid 3, 489 lid

1, 492 lid 2, 523 lid 2, 536 lid 2, 3 dan 4 WVS, yang jangka waktu lampau jangka

waktunya lebih pendek (Jinkers 1946 : 175).

Selain itu masih terdapat dasar penambahan pidana karena adanya

berbagai keadaan khusus, misalnya yang terdapat di dalam pasal-pasal 356, 361

dan 412 dan sebagainya.

Adapun Speciale recidive, pengulangan khusus jumlahnya sangat terbatas.

Misalnya pasal 137 ayat 2 KUHP menyatakan bahwa kalau terpidana melakukan

kejahatan penghinaan kepada wakil presiden atau wakil presiden yang dilakukan

dalam jabatannya dan belum lagi berlalu dua tahun setelah pidana yang dijatuhkan

pertama sudah memperoleh kekuatan tetap, maka residivis ini dapat dipecat dari

jabatannya. Pasal 216 (3) KUHP berupa kejahatan kalau diulang dilakukan dan

Page 62: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

52

belum berlalu dua tahun sejak putusan pertama sudah mempunyai kekuatan

hukum tetap maka pidana dapat ditambah sepertiganya.

Selanjutnya pasal 492 (2) dan pasal 536 (2), (3) dan (4) menentukan

lampau waktu residivis ialah satu tahun, dan kalau terjadi pengulangan

pelanggaran tersebut maka pidana denda dapat diganti dengan pidana kurungan,

yang merupakan pemberatan pidana.

Dasar Pemberatan karena jabatan ditentukan dalam pasal 52 KUHP yang

rumusan lengkapnya adalah: “Bilamana seorang pejabat kerena melakukan tindak

pidana melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya, atau pada waktu

melakukan tindak pidana memakai kekuasaan, kesempatan atau sarana yang

diberikan kepadanya karena jabatannya, pidananya dapat ditambah sepertiga”.50

Dasar pemberat pidana tersebut dalam pasal 52 ini adalah terletak pada

keadaan jabatan dari kualitas si pemberat (pejabat atau pegawai negeri) mengenai

4(empat) hal, ialah dalam melakukan tindak pidana dengan:

a. Melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatan,

b. Memakai kekuasaan jabatan,

c. Menggunakan kesempatan karena jabatannya,

d. Menggunakan sarana yang diberikan karena jabatan.

Tetapi pemberat pidana berdasarkan pasal 52 ini tidak berlaku pada

kejahatan-kejahatan jabatan maupun pelanggaran jabatan tersebut, melainkan

50Adami Chazawi, penafsiran Hukum Pidana Dasar Peniadaan, Pemberatan dan

Peringanan Pidana Kejahatan Aduan, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2002), cet 1, h. 73.

Page 63: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

53

berlakunya pada kejahatan dan pelanggaran yang lain, sebabnya ialah pidana yang

diancamkan pada kejahatan jabatan dan pelanggaran jabatan karena dari

kualitasnya sebagai Pegawai Negeri itu telah diperhatikan.

Jadi pemberat pidana berdasarkan pasal 52 ini berlaku umum seluruh jenis

dan tindak pidana, kecuali pada kejahatan dan pelanggaran jabatan seperti yang

diterangkan diatas, tetapi ada perbedaan antara tindak pidana dengan memperberat

atas dasar pasal 52 ini dengan kejahatan dan pelanggaran jabatan.

Pengulangan delik berdasarkan pengelompokan menurut pasal 486, 487,

dan 488 KUHP lampau waktu untuk pengulangan seperti telah diuraikan adalah

lima tahun. Sebagai contoh dapat dikemukakan kasus hipotesis sebagai berikut: A

dijatuhi pidana oleh Pengadilan Negeri Ujung Pandang tahun 1985 karena

dinyatakan terbukti telah mencuri barang lain. Putusan ini telah menjadi res

judikata, mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Pada tahun 1991 A melakukan

penggelapanbarang orang lain. Dalam hal tersebut ketentuan pengulangan yang

diatur dalam pasal 486 KUHP tidak dapat dilakukan kepada terdakwa A, karena

sudah lampau lima tahun sejak ia dijatuhkan pidana, sekalipun kejahatan pertama

pencurian dan kejahatan kedua penggelapan adalah sekelompok, yaitu golongan

delik terhadap harta benda yang disebut secara limitatif di dalam pasal 486

KUHP.

Page 64: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

54

Adapun dasar hukuman adalah bahwa, orang yang demikian itu

membuktikan telah mempunyai tabiat yang jahat, dan oleh sebab itu dianggap

merupakan bahaya bagi masyarakat dan bagi ketertiban umum.51

Apabila ketiga pasal yaitu pasal. 486,487, dan 488, penggolongan jenis-jenis

kejahatan yang dapat digunakan berdasarkan pengulangan atau residivis adalah

sebagai berikut:52

a. Pasal 486: kejahatan yang dilakukan dengan perbuatan-perbuatan:

dengan maksud mencari keuntungan yang tidak layak. Yang

menggunakan tipu muslihat.

b. Pasal 487: kejahatan yang dilakukan dengan perbuatan-perbuatan:

terhadap badan dan jiwa seseorang, kekerasan terhadap seseorang.

c. Pasal 488: kejahatan- kejahatan yang dilakukan dengan perbuatan-

perbuatan yang bersifat penghinaan.

Selain dibedakan antara bentuk pengulangan umum dan pengulangan

khusus, dalam doktrin hukum pidana juga dikenal adanya bentuk pengulangan

kebetulan (accidentally reddive) dan pengulangan kebiasaan (habitual reddive).

Pengulangan kebetulan maksudnya pembuat melakukan tindak pidana yang kedua

kalinya itu disebabkan oleh hal-hal yang bukan karena sifat atau perangainya yang

buruk, akan tetapi oleh sebab-sebab lain yang memang dia tidak mampu

mengatasinya, misalnya karena akibat dari kehilangan pekerjaan dari sebab masuk

Lembaga Pemasyarakatan (LP) karena mencuri uang majikannya, setelah keluar

51SatochidKartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian 2, Balai Lektur

Mahasiswa, tth, hlm. 185. 52Teguh Prasetyo, Hukum Pidana, (Jakarta, PT Raja Grafindo Permai, 2011), h. 184.

Page 65: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

55

LP dia mencuri sepotong roti karena kelaparan, dalam hal seperti ini sepatutnya

tidak dijadikan alasan pemberat pidana. Berbeda denga;pengulangan karena

kebiasaan, yang menunjukkan perangai yang buruk. Tidak jarang narapidana yang

setelah keluar LP tidak menjadikan perangai yang lebih baik, justru pengaruh

pergaulan di dalam LP menambah sifat buruknya, kemudian melakukan kejahatan

lagi, dan disini memang wajar pidananya diperberat. Namun KUHP tidak

membedakan antara dua jenis pengulangan yang dibicarakan terakhir ini.53

Pemidanaan terhadap residivis adalah maksimum pidana dengan ditambah

1/3 dari pasal yang bersangkutan. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas pengulangan

diatur dalam KUHP sebagai dasar pemberat hukuman, sebagai catatan dapat

dikemukakan bahwa pengulangan tidak dapat diperlukan terhadap setiap tindak

pidana.

53Abdillah Munir, Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Penambahan 1/3 Hukuman

karena Pengulangan Tindak Kejahatan (Recidive) dalam Pasal 486. Skripsi S1 IAIN Walisong Semarang, 2010.

Page 66: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

56

BAB IV

ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMBERAT PIDANA

DALAM PENGULANGAN TINDAK PIDANA (RECIDIVE) MENURUT

(KUHP)

A. Analisis Terhadap Pengulangan Tindak Pidana (Recidive)

Sebagaimana pembahasan terdahulu dalam pasal-pasal yang telah

ditentukan, residivis tidak hanya membahas ketiga pasal yaitu pasal. 486,487, dan

488, penggolongan jenis-jenis kejahatan yang dapat digunakan berdasarkan

pengulangan atau residivis adalah sebagai berikut:

a. Pasal 486: kejahatan yang dilakukan dengan perbuatan-perbuatan:

dengan maksud mencari keuntungan yang tidak layak. Yang

menggunakan tipu muslihat.

b. Pasal 487: kejahatan yang dilakukan dengan perbuatan-perbuatan:

terhadap badan dan jiwa seseorang, kekerasan terhadap seseorang.

c. Pasal 488: kejahatan- kejahatan yang dilakukan dengan perbuatan-

perbuatan yang bersifat penghinaan.

Tetapi perlu diketahui bahwa selain ketentuan umum tentang residivis

yang ditentukan di dalam pasal-pasal 486, 487 dan 488 KUHP, terdapat dalam

berbagai pasal KUHP tentang pemberatan atau penambahan pidana berdasarkan

pengulangan, seperti yang diatur di dalam pasal-pasal 137 lid 2, 216 lid 3, 489 lid

56

Page 67: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

57

1, 492 lid 2, 523 lid 2, 536 lid 2, 3 dan 4 WVS, yang jangka waktu lampau jangka

waktunya lebih pendek (Jinkers 1946 : 175).

Begitu juga melakukan kejahatan dengan menggunakan sarana bendera

kebangsaan dirumuskan dengan pasal 52 a, KUHP yang bunyi lengkapnya adalah:

“Bilamana pada waktu melakukan kejahatan menggunakan bendera kebangsaan Republik Indonesia, pidana untuk kejahatan tersebut dapat ditambah sepertiga”.

Menurut asas yang dipergunakan oleh KUHP, kejahatan-kejahatan yang

diatur itu dibagi dalam golongan-golongan menurut sifatnya yang oleh KUHP

dianggap sama.

Dengan melihat pasal-pasal yang telah ditentukan diatas, maka kita harus

mengetahui bagaimana alasan-alasan seorang residivis (pengulangan).

diantaranya:Faktor lebih dari satu kali melakukan tindak pidana, Faktor telah

dijatuhkan pidana terhadap si pembuat oleh Negara karenatindak pidana yang

pertama, dan Pidana itu telah dijalankannya pada yang bersangkutan, didalam

pasal 486 dan pasal 487 ditentukan, bahwa hukuman yang dijatuhkan

berhubungan dengan perbuatan yang pertama harus merupakan hukuman penjara,

sedang di pasal 488 “tidak” ditentukan hukuman apa yang telah dijatuhkan dalam

perbuatan yang pertama, jangka waktu antara kejahatan yang diulangi kemudian,

dan hukuman yang dijatuhkan terhadap perbuatan yang pertaman, jangka waktu

adalah lima tahun.

Adapun alasan hukuman dari pengulangan sebagai dasar hukuman bahwa,

seorang yang telah dijatuhkan hukuman dengan mengulang lagi kejahatan,

Page 68: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

58

membuktikan bahwa ia telah memiliki tabiat yang jahat, dan oleh sebab itu

dianggap merupakan bahaya bagi masyarakat dan bagi ketertiban umum.

Pemidanaan terhadap residivis adalah maksimum pidana dengan ditambah

1/3 dari pasal yang bersangkutan. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas pengulangan

diatur dalam KUHP sebagai dasar pemberat hukuman, sebagai catatan dapat

dikemukakan bahwa pengulangan tidak dapat diperlukan terhadap setiap tindak

pidana.

Hukuman yang ada dalam KUHP ini kalau di lihat dari penomena-

penomena sekarang ini bukan semangkin membaik, melainkan tidak adanya

keadilan dalam menjatuhkan hukuman, dan hukuman di Indonesia ini hanya

bersifat sementara dan mendidik saja, efek jera yang dialami terdakwa tidak ada

melainkan selesai seorang dihukum bukan menimbulkan sifat membaik melainkan

memburuk, beda halnya dalam hukum Islam.

B. Analisis Hukum Islam Terhadap Pemberatan Pengulangan Tindak Pidana

(Recidive).

Pengertian pengulangan dalam istilah Hukum Islam dikerjakannya suatu

jarimah oleh seseorang, setelah ia melakukan jarimah lain yang telah mendapat

keputusan terakhir. Perkataan pengulangan mengandung arti terjadinya sesuatu

jarimah beberapa kali dari satu orang yang dalam jarimah sebelumnya telah

mendapatkan keputusan terakhir.54

54Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah,

(Jakarta, Sinar Grafika, 2004), cet 1, h. 163-164.

Page 69: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

59

Seperti telah diketahui, dasar hukuman menurut teori relatif atau teori

tujuan (relative of doel theorie) adalah merupakan tujuan hukum dan tujuan

hukuman antara lain mencegah kejahatan atau prevensi. Dan Pengulangan

menurut sifatnya terbagi dalam dua jenis Residivis umum dan Residivis khusus.55

Persamaan jenis kejahatan tersebut merupakan dasar pemberatan

hukuman.Seseorang melakukan kejahatan dan terhadap kejahatan itu dijatuhkan

hukuman oleh hakim.

Dalam memberikan sanksi a’ud itu, harus diperhatikan aspek-aspek

penting yang berkaitan dengan syarat dan rukunnya. Dalam masalah ini

mengemukakan beberapa syarat untuk dapat diperlakukannya hukuman ini, yaitu

sebagai berikut.

Pelakunya sama dan berakal sehat, pencuri tidak dilakukan karena

pelakunya sangat terdesak oleh kebutuhan hidup, tidak terdapat hubungan kerabat

antara pihak korban dan pelaku, tidak ada unsur syubhat dalam hal kepemilikan,

pencurian tidak terjadi pada saat peperangan di jalan Allah, mengambil barang

curian lebih dari ¼.

Dalam hukum Pidana Islam, pengulangan jarimah sudah dikenal bahkan

sejak zaman Rasullullah SAW. Dalam jarimah pencurian misalnya, Rasullullah

telah menjelaskan hukuman untuk pengulangan ini secara rinci. Dalam sebuah

55Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad, Intisari Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia

Indonesia,1983), h. 62.

Page 70: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

60

hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ad-Daruquthni dari Abu Hurairah dijelaskan

bahwa Rasullullah saw. Bersabda dalam kaitan dengan hukuman untuk mencuri.

یم عن محمد بن خلد القرسي عن داودبن حصین عن عكر مة عن ابي شسعید بن سلیمان حدثنا ھ حدثنا

رق س, ثم ان رق فا قطعوا رجلھسا یده. ثم ان ر ق فا قطعوسان ھریرة قال رسو اهللا صل اهللا علیھ و سلم

رق فاقطعوا رجلھ"سفاقطعوا یده, ثم ان

Artinya: Telah mengabarkan kepada kami dari Sa'id binSulaiman dariHusyaim dari Muhammad bin Khalid al-Quraisy dari Dawud bin Husain dari Ikrimah dariAbu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Jika ia mencuri potonglah tangannya (yang kanan), jika ia mencuri lagi potonglah kakinya (yang kiri). Jika ia mencuri lagi potonglah tangannya (yang kiri), jika ia mencuri lagi maka potonglah kakinya (yang kanan).

Hadis diatas menjelaskan tentang hukuman bagi residivis atau pelaku

pengulangan kejahatan dalam tindak pidana pencurian. Namun apabila

diperhatikan, dalam hadis tersebut tidak ada pemberat atau penambah hukuman,

melainkan hanya menjelaskan urutan saja sejak pencuri yang pertama sampai

yang keempat. Pemberatan hukuman terhadap pengulangan ini dapat ditemukan

dalam hadis lain, yaitu apabila terjadi pencurian yang kelima kalinya,, lengkapnya

hadis tersebut sebagai berikut.

منكدر عن اخبرنا محمد بن عبد اهللا بن عقیل قال حدثنا جدي قال حد ثنا مصحب بن ثا بت عن محمد بن ال

ا رسول یفقال: اقتلوه فقالوا: انما سرق : جىء بسارق الى النبى صلى اهللا علیھ و سلمجا بر بن عبد اهللا قال

اهللا" اقطعوه فقطع" ثم جىءبھ الثا نیة فقال: اقتلوه" فذ كر مثلھ: ثم جىءبھ الثا لثة فذكر مثلھ" ثم جىء بھ

قتلوه ( اخرجھ ابو داود والنسائى ) الرا بعة كذ لك" ثم جىء بھ الخا مثة فقا ل: ا

Artinya:Telah mengabarkan kepada kami dari Muhammad binAbdullahbin Ubaid bin 'Aqil dari Mus'ab bin Tsabitdari Muhammad bin alMunkadir dari Jabir binAbdullah, ia berkata: Seorang pencuri telah dibawa kehadapan Rasulullah saw. maka Rasulullah Sawbersabda: Bunuhlah ia. Para

Page 71: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

61

sahabat berkata: Ya Rasulullah ia hanya mencuri. Nabi mengatakan: potonglah tangannya. Kemudian ia dipotong. Kemudian ia dibawa lagi untuk kedua kalinya. Lalu Nabi mengatakan bunuhlah ia. Kemudian disebutkan seperti tadi, kemudian ia di bawa untuk ketiga kalinya maka nabi menyebutkan seperti tadi. Kemudian ia dibawa lagi untuk ke empat kalinya dan nabi mengatakan seperti tadi. Akhirnya dia dibawa lagi untuk kelima kalinya. Lalu nabi mengatakan: bunuhlah ia. (Hadis dikeluarkan oleh Abu Daud dan An-Nasa’i)

Meskipun pengulangan tersebut sudah di jelaskan dalam hadis di atas,

namun tidak ada keterangan yang menjelaskan persyaratan dan lain-lain.56

Fuqaha berbeda pendapat tentang pencurian yang berulang kali yaitu

ketiga kalinya setelah dipotong tangan kanannya dan kaki kirinya.

Menurut Imam Hanafi dan Imam Hambali: jika terjadi pencurian yang

ketiga kalinya, maka tidak dipotong tangan, tetapi dipenjara selama waktu yang

tidak ditentukan, sampai meninggal dunia atau sampai nampak taubatnya.57

Diriwayatkan bahwa pada masa pemerintahan Ali, seorang pencuri

dihadapkan kepadanya setelah ia mencuri yang ketiga kalinya (telah dipotong

tangan kanannya dan kaki kirinya). Maka Ali berkata, saya malu kepada Allah

jika saya potong tangan kirinya, maka ia makan dengan apa, ia berjalan dengan

apa, dengan apa ia berwudhu untuk shalat, dengan apa ia mandi janabat”,

demikian juga sebagaimana diriwayatkan oleh Umar. Ia hanya menjatuhi

hukuman penjara kepada pencuriannya yang ketiga kalinya.

56Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah,

(Jakarta, Sinar Grafika, 2004), cet 1, h. 166. 57Mardani, Kejahatan Pencurian dalam Hukum Pidana Islam, (Menuju Pelaksanaan

Hukuman Potong Tangan di Nanggore Aceh Darussalam), h. 142-143.

Page 72: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

62

Menurut Imam Syafi’i dan Imam Malik dipotong tangan dan kakinya,

dipotong tangan kanan pada pencurian yang pertama dan kaki kiri pada pencurian

kedua. Kemudian dipotong tangan kiri pada pencurian yang ketiga dan kaki kanan

pada pencurian yang keempat. Kemudian jika mencuri lagi yang kelima kalinya,

maka dipenjarakan seumur hidup atau sampai nampak taubatnya.

Begitu juga dalam hukuman khamar sebagaimana hadis Rasullullah saw

yang berbunyi:

Artinya: Dari Abdullah bin Amru bin al-Ash berkata: bahwa Rasullullah saw

bersabda: barang siapa yang meminum khamar (Arak) maka jilidlah ia,

jika ia mengulangi lagi maka jilidlah ia, jika ia mengulangi lagi maka

jilidlah ia, jika ia mengulangi lagi yang keempat kalinya, maka bunuhlah

ia”, (HR Ahmad)

Apabila peminum khamar telah melakukan pengulangan dalam jarimah

khamar padahal sudah pernah diberikan sanksi, maka pada jarimah tersebut

pelakunya diberikan pemberatan dari dipukul kemudian dijilid, dari pengertian

hadis diatas bahwa dalam memberikan pemberat hukuman terhadap pelaku

pengulangan tindak pidana (a’ud) bahkan dapat juga dalam bentuk hukuman

mati.58

Kalau kita melihat hukuman yang ada dalam hukum Islam, semua

hukuman yang ada dalam hukum Islam ini tidak sama dengan hukuman yang ada

dalam kitab undang-undang hukum pidana, dalam hukum Islam hukuman a’ud ini

58M. Hasbi Asshidiqi, Koleksi Hadis-hadis Hukum, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), cet, ke III, Jilid IX, h. 193.

Page 73: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

63

sangat tegas, dan pengulangannya itu tidak berurutan sebagaimana dikemukakan

diatas.

Contoh saja hukuman pencurian ketika seseorang mencuri pertama kali,

sesuai persyaratan pencurian, maka si pencuri itu di potong tangannya, dan ketika

mencuri kembali maka di potong kakinya secara bersilang, apabila mencuri yang

ketiga kali maka potonglah tangannya lagi, dan seterusnya sampai yang kelima

kali maka bunuhlah.

Kalau kita melihat Undang-undang Republik Indonesia, Nomor 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan adalah: 1. pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. 2. Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.59

Menurut pendapat penulis, berdasarkan Undang-undang di atas, yaitu

model penjara yang ideal di Indonesia sehingga mampu membuat jera pelaku

adalah hukum Islam, tetapi karena Negara Indonesia ini adalah Negara yang

banyak paham-paham ideologi, maka hukum Islam tidak bisa diterapkan. Oleh

karena itu hukuman yang ideal menurut penulis adalah: kalau dilihat hukuman-

hukuman yang ada pada saat ini, semua kejahatan pada kenyataannya ingin

medapatkan keuntungan apa yang sudah dia lakukan selama itu, entah dari

59Undang-undang No. 12 Tahun 1995 tentang Lembaga Pemasyarakatan Republik

Indonesia pasal 1.

Page 74: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

64

kejahatan perampokan, penipuan, penganiayaan, pembunuhan, pencurian,

perampasan, pemerkosaan, korupsi, narkoba, sampai pada penjualan anak, itu

semua semata-mati ingin mendapatkan keuntungan materi.

Perbuatan itu semua di vonis oleh hakim dengan hukuman penjara, di sini

saya menginginkan hukuman itu tidak hanya penjara melainkan hukuman

kemiskinkan bagi si pelaku. Kenapa, karena kodrat manusia itu cinta terhadap

dunia/ harta/patamorgana dan dengan kemiskinan pelaku itu menjadi takut untuk

melakukan tindak pidana kembali.

Tidak hanya itu, langkah selanjutnya yaitu hukuman sosial dimana setiap

orang yang melakukan tindak pidana harus dikenakan sanksi seperti halnya

menyapu jalanan, membersihkan kamar mandi umum, menggunting rumput yang

ada di jalan, dan menggunakan seragam apa yang sudah di sepakati bersama. Agar

pelaku tindak pidana merasa malu dan tidak ada wibawanya di depan masyarakat.

Mengenai penambahan 1/3 hukuman yang ada dalam KUHP terutama

tindak pidana pengulangan (Recidive), kalau dilihat dari penomena-penomena

kenyataan yang ada sekarang ini, kurang membuat efek jera terhadap pelaku, tidak

adanya keadilan dalam menjatuhkan hukuman, dan hukuman di Indonesia ini

hanya bersifat sementara dan mendidik saja, beda halnya dalam Hukum Islam.

hukuman yang sudah ditetapkan dalam Syariat Islam adalah hukuman yang paling

baik, sebab bisa menjamin ketentraman, keadilan dalam masyarakat, dan semua

hukuman yang ada dalam Syariat Islam tidak lepas dari Al-Qur’an dan Hadis.

Page 75: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

65

Bahwasannya Hukum Islam sudah memberikan penghargaan tinggi

terhadap status dan martabat manusia, memberikan perlindungan atas hak hidup,

pelajaran kepada manusia untuk tidak mempermainkan nyawa manusia,

memberikan efek jera terhadap pelaku kejahatan, melindungi jiwa dan raga,

timbulnya ketertiban, keamanan, dan upaya mewujudkan harmoni dan stabilitas

sosial dengan rendahnya tingkat kejahatan.

C. Perbandingan antara Hukum Positif dan Hukum Islam

Dari analisis Terhadap Pengulangan Tindak Pidana (Recidive) dan

Analisis Hukum Islam Terhadap Pemberatan Pengulangan Tindak Pidana

(Recidive), maka penulis dapat menyimpulkan beberapa persamaan dan perbedaan

antara Hukum Positif dan Hukum Islam diantaranya.

Yang menjadi persamaannya antara lain: persyaratan yang menjadi

pemberat hukum bagi pengulangan antara hukum positif dan Hukum Islam yang

pertama, yaitu faktor lebih dari satu kali melakukan tindak pidana dan telah

mendapatkan hukuman atas tindakannya. Kedua, faktor telah dijatuhkan pidana

kepada si pembuat oleh Negara atau majlis hakim karena tindak pidana yang

pertama. Ketiga, pidana ini telah dijalankan pada yang bersangkutan. Keempat,

kedua-duanya baik hukuman yang ada dalam Hukum Islam maupun Hukum

Positif memberikan pemberatan hukuman.

Sedangkan perbedaannya antara lain: Pertama, dalam pemberatan

hukuman, Hukum Positif memberikan batas maksimal penambahan dengan 1/3

(sepertiga). Sedangkan dalam Hukum Islam penambahan diukur dengan

banyaknya pengulangan yang dilakukan, seperti pengulangan dalam pencurian

Page 76: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

66

maupun pengulangan khamar. Kedua, batus waktu hukuman pidananyapun

berbeda-beda dalam hukum pidana itu ada yang lima tahun, dua tahun, maupun

satu tahun tapi dalam Hukum Islam tidak ada batas waktunya. Ketiga,

pembebanan pemberatan hukuman tersebut diberlakukan hampir rata-rata untuk

jenis kejahatan secara umum. Sedangkan dalam Hukum Islam pembebanan

hukuman tersebut berbeda-beda sesuai jenis kejahatannya.

Page 77: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

67

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari keseluruhan rangkaian pembahasan dalam skripsi ini, mengenai

Tinjauan Hukum Islam terhadap Residivis sebagai alasan pemberat hukum

pidana. Maka penulis menarik beberapa kesimpulan, yaitu:

1. Dari Hukum Positif sendiri memandang terhadap pengulangan tindak pidana

(Recidive) sebagai alasan pemberat pidana, bahwasannya residivis ini

membuktikan mereka sudah tidak takut lagi atau tidak bisa ditaku-takuti lagi

menjalani hukuman ini. Akan tetapi, dengan adanya hukuman ancaman berat

itu akan menakut-nakuti orang yang belum pernah menjalani hukuman, hingga

orang itu akan takut untuk melakukan suatu kejahatan pengulangan tindak

pidana, dan di dalam Hukum Positif seorang melakukan kejahatan residivis

maka akan di tambah hukumannya 1/3 sesuai pasal yang bersangkutan. Akan

tetapi, kenyataannya hukuman yang sudah ditetapkan dalam Hukum Positif

hanya bersifat sementara dan mendidik saja Hukuman ini sebenarnya tidak

banyak hasilnya dalam memberantas jarimah pada umumnya dan kejahatan

pencurian pada khususnya, sebab hukuman tersebut tidak cukup menimbulkan

faktor psikologis pada diri pembuatnya yang cukup menjauhkannya dari

jarimah tersebut. Hukuman penjara hanya bisa menjauhkan pembuat dari

perbuatan selama dalam penjara, sedangkan hilangnya tangan bisa

menjauhkannya dari perbuatan-perbuatan jarimah sepanjang hidupnya.

67

Page 78: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

68

2. Hukum Islam memandang pengulangan (Recidive) sebagai alasan pemberat

jarimah karena Pengulangan jarimah oleh seseorang, setalah jarimah

sebelumnya mendapat hukuman melalui keputusan terakhir, menunjukkan sifat

membandel dan tidak ampuhnya hukuman pertama. Oleh karena itu sudah

sewajarnya apabila timbul kecendrungan untuk memperberat hukuman-

hukuman atas pengulangan jarimah.

Salah satu pengulangan jarimah dalam Hukum Islam yaitu jarimah

pencurian, apabila seorang melakukan pencurian yang kelima kalinya maka

bunuhlah si pencuri itu sebagaimana ada di dalam hadis Rasullullah SAW yang

diriwayatkan oleh Abu Daud dan An-Nasa’i.

Bahwa hukuman penambahan 1/3 dalam pengulangan residivis kurang

membuat efek jera terhadap pelaku, lain halnya dalam Hukum Islam. Dan

hukuman yang sudah ditetapkan dalam Syariat Islam adalah hukuman yang

paling baik, sebab bisa menjamin ketentraman dan keadilan dalam masyarakat,

dan semua hukuman yang ada dalam Syariat Islam tidak lepas dari Al-Qur’an

dan Hadis.

B. Saran

Dalam pembentukan hukum nasional yang akan datang, ada baiknya

pembentuk undang-undang meninjau kembali aturan atau ketentuan

KUHPtentang masalah residivis.

. 1. Dalam pelaksanan hukuman yang ada dalam KUHP harus lebih dipertajam lagi,

agar setiap kejahatan yang dilakukan oleh pelaku bisa menjadikan pelaku takut

Page 79: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

69

melakukan kejahatan lagi, Sehingga apa yang di cita-citakan para pembuat

gagasan tentang pelaku narapidana dengan Sistem Pemasyarakatan benar-benar

tercapai dan tidak menimbulkan efek yang tidak diinginkan seperti peningkatan

angka residivis.

2. Seharusnya hukuman yang diberikan oleh hakim kepada pelaku di tambah lagi

seperti hukuman kemiskinan dan sosial, agar menciptakan efek jera terhadap

tersangkanya.

3. Bilamana perlu menggunakan hukum Islam, maka penerapannya perlu

dilakukan sesuai dengan hukum Islam, agar pelaku bisa menimbulkan efek jera

terhadap apa yang sudah dilakukan pelaku.

Page 80: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

70

DAFTAR PUSTAKA

Buku-buku

Wardi Muslich, Ahmad. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqih Jinayah, Jakarta, Sinar Grafika, 2004. Hukum Pidana Islam, Jakarta, Sinar Grafika, 2005.

Praja, S. Syhabuddin, Ahmad Delik Agama Dalam Hukum Pidana Di Indonesia, Bandung, Angkasa, 1982.

Prodjodikoro, Wirjono. Tindak-Tindak Pidana Tertentu di Indonesia, Bandung,

Refika Aditama, 2003. Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung, PT Refika Aditama, 2003.

Presetyo, Teguh. Hukum Pidana, Jakarta, Rajawali Grepindo Persada, 2011. Arief, Nawawi Barda. Perkembangan Penyusunan Konsep KUHP Baru, Jakarta,

Kencana, 2010. Prasetyo, Teguh. Hukum Pidana, Jakarta, PT Raja Grafindo Permai, 2011. Abdullah, Mustafa. dan Achmad, Ruben.Intisari Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1983. Wahab, Abdul, Al-Faqih. Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibnu Rusyd,

Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Dar Al-Jiil, Bairut, 1989 M.

Irfan, Nurul dan Masyrofah. Fiqh Jinayah, Jakarta, Hamzah, 2013. Hakim,Rahmat. Hukum Pidana Islam (Fiqih Jinayah), Bandung: Pustaka Setia,

2000. Idris, Fatih, Abdul. Dan Abu Ahmadi, Fikih Islam, Jakarta, Rineka Cipta. Mardani, Kejahatan Pencurian Dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta, CV Indhill, 2008. Abdur Rahman, Tindak-Tindak Pidana dalam Islam, Jakarta, Rineka Cipta Munajat, Makhrus, Dekonstruksi Hukum Pidana Islam, Yogyakarta: Logung, 2004.

Page 81: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

71

Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, Bandung, Asy Syaamil Press

dan Grafika. Muladi, Barda Nawawi, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung, Alumni. Chazawi, Adami. Stelsel Pidana, Tindak pidana, Teori-teori Pemidanaan dan

Batas Berlakunya Hukum Pidana, Jakarta, PT Raja Grapindo Persada, 2008.

Waluyo, Bambang. Pidana dan Pemidanaan, Jakarta, Sinar Grafika, 2008. Siantari, S. R. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, BPK

Gunung Mulia,1996. Abidin, Andi, Zainal. Hukum Pidana 1, Jakarta, Sinar Grafika, 1983. Ali, Mahrus. Dasar-Dasar Hukum Pidana, Jakarta, Sinar Grafika, 2011. SatochidKartanegara, Hukum Pidana Kumpulan Kuliah Bagian 2, Balai Lektur Mahasiswa, Farid, Abidin, Zainal. Hukum Pidana 1,(Jakarta, Sinar Grafika, 2007. Abdullah, Mustafa dan Achmad, Ruben. Intisari Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia

Indonesia, 1983. Djazuli, A. Fiqih Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam),

Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 1997. Mardani, Kejahatan Pencurian dalam Hukum Pidana Islam, (Menuju

Pelaksanaan Hukuman Potong Tangan di Nanggore Aceh Darussalam.

Prodjodikoro, Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung, PT Refika

Aditama, 2003. Abul Wahib, Al-Faqih, Muhammad bin Achmad bin Muhammad Ibnu

Rusyd,Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Dar Al-Jiil, Bairut, 1989 M,

Al Imam Abu Bakar, Taqiyuddin, Al-Husaini, Kipayatul Akhyar,( Jilid III, Bina Ilmu, 1997.

Page 82: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

72

M.Assidiqi Hasbi, Koleksi Hadis-hadis Hukum, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra,

2001), cet, ke III, Jilid IX

Asqolani Ibnu Hajar, Kitab Bulughul Maram.

Skeripsi dan Disertasi

Munir, Abdillah, Tinjauan Hukum Pidana Islam Terhadap Penambahan 1/3 Hukuman Karena Pengulangan Tindak Kejahatan (Recidive) Dalam Pasal 486 KUHP, IAIN Walisongo Semarang, 2010.

Azriadi, dengan judul Pelaksanaan Pembinaan Narapidana Residivis

Berdasarkan Prinsif Pemasyarakatan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas II.A Biaro, Universitas Andalas Padang. Paska Sarjana, 2011.

Page 83: UIN SYARIF HIDAYATULLAH - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24882/1/Arizal Firdaus.FSH.pdf · konsekuensi logis daripada sila ketuhanan yang

73