v. hasil dan pembahasan 5.1 survei mengenai penanganan...
TRANSCRIPT
39
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Survei Mengenai Penanganan Keju Di Pasar Swalayan Jatinangor
Survei mengenai penanganan keju di pasar swalayan Jatinangor dilakukan
dengan mengisi form survei mengenai kondisi sanitasi di pasar swalayan, kondisi
produk yang berada di pasar swalayan, kondisi display, dan kondisi distribusi saat
mengirim produk ke pasar swalayan. Kondisi sanitasi, kondisi produk, kondisi
distribusi, dan kondisi dislpay di pasar swalayan Jatinangor dikelompokkan dalam
tiga kategori, yaitu baik, cukup baik, dan tidak baik berdasarkan masing – masing
parameter yang diamati. Jumlah sampel yang diambil adalah sebanyak 12 sampel
yang didapat dari dua pasar swalayan yang terdapat di daerah Jatinangor. Dari
satu pasar swalayan masing– masing diambil sebanyak 6 keju yaitu antara lain 2
keju Cheddar, 2 keju Mozarella, dan 2 cream cheese yang diambil berdasarkan
teknik purposive sampling.
5.1.1 Kondisi Sanitasi
Sanitasi adalah bagian dari ilmu kesehatan lingkungan yang meliputi cara
dan usaha individu atau masyarakat untuk mengontrol dan mengendalikan
lingkungan hidup eksternal yang berbahaya bagi kesehatan serta yang dapat
mengancam kelangsungan hidup manusia (Chandra, 2007). Praktik sanitasi
berhubungan erat dengan potensi timbulnya kontaminasi. Untuk mencegah resiko
kontaminasi maka perlu adanya pengawasan terhadap sanitasi tempat umum yang
40
erat hubungannya dengan timbulnya suatu penyakit atau penyebebaran
keberadaan bakteri patogen.
Survei kondisi sanitasi di pasar swalayan Jatinangor dilakukan dengan
mengamati rentang waktu pembersihan rak display, kebersihan ruangan pasar
swalayan, dan lokasi tempat penjualan. Berdasarkan rentang waktu pembersihan
rak display, yang termasuk kedalam kategori sanitasi baik adalah etalase tempat
penyimpanan di bersihkan setiap hari, yang termasuk kedalam kategori sanitasi
cukup baik adalah etalase tempat penyimpanan di bersihkan seminggu sekali, dan
yang termasuk kedalam kategori sanitasi tidak baik adalah etalase tempat
penyimpanan di bersihkan sebulan sekali. Berdasarkan kebersihan ruangan pasar
swalayan, yang termasuk kedalam kategori sanitasi baik adalah ruangan di
bersihkan 3 kali dalam sehari, yang termasuk kedalam kategori sanitasi cukup
baik adalah ruangan di bersihkan 2 kali dalam sehari, dan yang termasuk kedalam
kategori sanitasi tidak baik adalah ruangan di bersihkan sekali dalam sehari.
Berdasarkan lokasi tempat penjualan, yang termasuk kedalam kategori sanitasi
baik adalah tempat penjualan tertutup dan jauh dari jalan raya, yang termasuk
kedalam kategori sanitasi cukup baik adalah tempat penjualan terbuka dan jauh
dari jalan raya (±600 m), dan yang termasuk kedalam kategori sanitasi tidak baik
adalah tempat penjualan terbuka dan dekat dari jalan raya (±300 m). Adapun hasil
dari survei pengamatan sanitasi di pasar swalayan Jatinangor dapat dilihat pada
Gambar 4.
41
Gambar 1. Kondisi Sanitasi Pasar Swalayan di Jatinangor yang dilihat dari
Tiga Aspek yaitu Rentang Waktu Pembersihan Rak Display, Kebersihan
Ruangan, dan Lokasi Tempat Penjualan
Keterangan: A: Pasar Swalayan A
B: Pasar Swalayan B
Tabel 1. Kondisi Sanitasi Pasar Swalayan di Jatinangor yang dilihat dari
Tiga Aspek yaitu Rentang Waktu Pembersihan Rak Display,
Kebersihan Ruangan, dan Lokasi Tempat Penjualan
Parameter Sanitasi Swalayan A Swalayan B
Rentang waktu
pembersihan rak
display
Setiap hari (Baik) Seminggu 1x (Cukup Baik)
Rentang waktu
pembersihan lantai
2x sehari (Cukup Baik) 3x sehari (Baik)
Lokasi Tempat
Penjualan
Terbuka, Terletak jauh
dari jalan raya (Cukup
Baik)
Terbuka, Terletak di
pinggir jalan raya (Tidak
Baik)
Dari hasil yang didapat, diketahui bahwa kondisi sanitasi pada pasar
swalayan A lebih baik dibandingkan kondisi sanitasi pada pasar swalayan B. Hal
tersebut dapat dilihat dari presentase yang menunjukan bahwa kondisi sanitasi
yang termasuk kedalam kategori sanitasi baik pada swalayan A ataupun swalayan
Presentase Kondisi Sanitasi
42
B sebesar 33,33 %, namun presentase yang masuk kedalam kategori sanitasi
cukup baik pada pasar swalayan A lebih tinggi yaitu sebesar 66,67 % dan pasar
swalayan B sebesar 33,33 %, sedangkan hasil yang menyatakan kondisi sanitasi
yang termasuk kedalam kategori sanitasi tidak baik pada pasar swalayan B adalah
33,33 %.
Kondisi sanitasi pasar swalayan A yang menjual keju Mozarella, keju
Cheddar, dan cream cheese lebih baik dibandingkan pasar swalayan B
dikarenakan oleh beberapa faktor. Pada pasar swalayan A etalase tempat
menyimpan produk dibersihkan setiap hari dengan tujuan untuk mengurangi
resiko produk terkontaminasi mikroba yang tidak diinginkan, sedangkan pada
pasar swalayan B etalase tempat menyimpan produk dibersihkan setiap seminggu
sekali. Menurut Rane (2011), tingkat sanitasi higiene lokasi pengolahan, peralatan
pengolahan dan penyajian, bahan baku, proses pengolahan, dan sanitasi higiene
pekerja yang rendah berkontribusi utama terhadap kontaminasi mikroba.
Kebersihan ruangan juga menjadi satu faktor penting, karena apabila
ruangan sering dibersihkan maka akan mengurangi resiko keberadan bakteri dan
kontaminan yang tidak diinginkan yang mungkin tumbuh apabila sanitasi yang
cukup baik. Menurut (Dap dkk., 2008), Escherichia coli termasuk salah satu
bakteri yang paling sering ditemukan di lantai. Peluang keberadaan E. coli perlu
dicegah dengan cara membersihkan lantai secara berkala. Pada pasar swalayan A
ruangan dibersihkan sebanyak dua kali dalam sehari, sedangkan pasar swalayan B
dibersihkan sebanyak tiga kali dalam sehari. Hal ini sudah sesuai anjuran dari
BPOM (2012), yang menyatakan program higiene dan sanitasi seharusnya
43
dilakukan secara berkala serta dipantau ketepatan dan keefektifannya dan jika
perlu dilakukan pencatatan. Penggunaan bahan pembersih juga menjadi salah satu
faktor penting, sehingga pemilihan bahan disinfektan yang tepat juga akan
berpengaruh terhadap peluang munculya kontaminasi. Zat disinfektan dalam
cairan pembersih lantai akan membunuh mikroorganisme yang terdapat di lantai
pasar swalayan. Mikroorganisme tersebut antara lain adalah E. coli, Pseudomonas
aeruginosa, Enterobacter cloacae, Salmonella sp., dan lain-lain (Dap dkk., 2008).
Beberapa disinfektan yang biasa digunakan sebagai pembersih lantai adalah lysol
(klorofenol dan kresol), karbol (fenol) dan kreolin (Dap dkk., 2008).
Selain kebersihan etalase dan ruangan, faktor lain yang perlu diperhatikan
adalah lokasi tempat penjualan. Lokasi pasar swalayan A terletak cukup jauh dari
jalan raya (±600 m), sedangkan pasar swalayan B terletak di pinggiran jalan raya
(±300 m) sehingga memungkinkan lebih besar kontaminasi debu dan kotoran dari
jalan raya masuk ke tempat penjualan dan berpotensi lebih tinggi untuk produk
terkontaminasi E. coli. Namun karena produk sudah dikemas maka kemungkinan
untuk terkontaminasi kecil karena kemasan dinilai tidak dapat dilalui mikroba
tetapi mikroba dapat mengontaminasi produk apabila kemasan yang digunakan
untuk melindungi produk rusak.
5.1.2 Kondisi Display / Penyimpanan
Survei kondisi display pada pasar swalayan di Jatinangor dilakukan
dengan mengamati kondisi display produk, suhu penyimpanan yang digunakan
untuk menyimpan produk, dan keadaan penyimpanan produk sebelum di pajang
44
di display. Berdasarkan kondisi display produk, yang termasuk kedalam kategori
display baik adalah produk disimpan di rak berpendingin dan terpisah dari produk
jenis lainnya, yang termasuk kedalam kategori display cukup baik adalah produk
disimpan di rak berpendingin bersama dengan produk jenis lainnya, dan yang
termasuk kedalam kategori display tidak baik adalah produk disimpan di rak tanpa
pendingin bersama dengan produk jenis lainnya. Berdasarkan suhu penyimpanan
yang digunakan untuk menyimpan produk, yang termasuk kedalam kategori
display baik adalah suhu refrigerasi (4–10 oC), yang termasuk kedalam kategori
display cukup baik adalah suhu ruang (25-30 oC), dan yang termasuk kedalam
kategori display tidak baik adalah suhu tinggi (>30 oC). Berdasarkan keadaan
penyimpanan produk sebelum di pajang di display, yang termasuk kedalam
kategori display baik adalah disimpan pada suhu refrigerasi dengan ditumpuk
rapih, yang termasuk kedalam kategori display cukup baik adalah disimpan pada
suhu refrigerasi tanpa ditumpuk rapih, dan yang termasuk kedalam kategori
display tidak baik adalah disimpan pada suhu ruang dengan ditumpuk rapih.
Adapun hasil dari survei pengamatan display / penyimpanan produk di pasar
swalayan Jatinangor dapat dilihat pada Gambar 5.
45
Gambar 2. Kondisi Display Pasar Swalayan di Jatinangor yang dilihat dari
Tiga Aspek yaitu Kondisi Display Produk, Suhu Penyimpanan, dan Keadaan
Penyimpanan Produk Sebelum di Pajang pada Display
Keterangan: A: Pasar Swalayan A
B: Pasar Swalayan B
Tabel 2. Kondisi Display Pasar Swalayan di Jatinangor yang dilihat dari
Tiga Aspek yaitu Kondisi Display Produk, Suhu Penyimpanan, dan
Keadaan Penyimpanan Produk Sebelum di Pajang pada Display
Swalayan A Swalayan B
Kondisi display
produk
Disimpan pada lemari
pendingin dan
diletakkan terpisah
dengan jenis produk
lainnya (Baik)
Disimpan pada lemari pendingin
dan diletakkan terpisah dengan
jenis produk lainnya (Mozarella,
CC) (Baik)
Disimpan pada suhu ruang
bersama jenis produk lainnya
(Cheddar) (Tidak Baik)
Suhu
penyimpanan
keju
4 – 10 oC (Baik) 4 – 10
oC (Mozarella, CC) (Baik)
Suhu ruang (25-30 oC) (Cheddar)
(Cukup Baik)
Keadaan
penyimpanan
produk sebelum
di pajang di
display
Disimpan pada rak
dengan suhu refrigasi
dan ditumpuk dengan
rapih (Baik)
Disimpan pada rak dengan suhu
refrigasi tanpa ditumpuk dengan
rapih (Mozarella, CC) (Cukup
Baik)
Disimpan pada suhu ruang dan
ditumpuk dengan rapih
(Cheddar) (Tidak Baik)
Presentase Kondisi Display
46
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kondisi display pada pasar
swalayan A lebih baik dibandingkan kondisi display pada pasar swalayan B. Hal
tersebut dapat dilihat dari presentase yang menunjukan bahwa hasil yang
termasuk kedalam kategori baik pada swalayan A lebih tinggi yaitu sebesar 100%.
Berbeda dengan pasar swalayan A, presentase kondisi display pada pasar
swalayan B menunjukkan hasil yang berbeda untuk produk keju Mozarella dan
cream cheese dengan keju Cheddar. Keju Cheddar yang diperoleh dari pasar
swalayan B menyatakan bahwa presentase hasil yang termasuk dalam kategori
display cukup baik hanya sebesar 33,33 %, sedangkan 66,67 % sisanya masuk
kedalam kategori display tidak baik. Untuk keju Mozarella dan cream cheese
yang diperoleh dari pasar swalayan B mendapatkan hasil yang sama yaitu hasil
yang termasuk kedalam kategori display baik sebesar 66,67 % dan 33,33 %
sisanya masuk kedalam kategori display cukup baik.
Presentase keju Cheddar yang berasal dari pasar swalayan B menunjukkan
hasil yang paling tidak baik dibandingkan jenis keju lainnya. Pada pasar swalayan
A semua produk keju yang dijual disimpan pada lemari pendingin dengan kisaran
suhu 4 – 10 oC dan diletakkan terpisah dengan jenis produk lainnya, sedangkan
pada pasar swalayan B produk keju Mozarella dan cream cheese ditempatkan
pada lemari pendingin dengan kisaran suhu 4 – 10 oC dan diletakkan terpisah
dengan jenis produk lainnya namun untuk produk keju Cheddar hanya disimpan
pada rak tanpa pendingin dan dicampur dengan produk jenis lainnya. Berdasarkan
rekomendasi penyimpanan yang tertera pada kemasan produk keju Mozarella,
keju Cheddar, dan cream cheese dianjurkan untuk disimpan pada kisaran suhu 2 –
47
4 oC. Suhu normal untuk penyimpanan yaitu suhu yang tidak menyebabkan
kerusakan atau penurunan mutu produk. Menurut BPOM (2011), tata letak area
penyimpanan hendaklah sedemikian rupa untuk memungkinkan pemisahan bahan
dari berbagai kategori secara efektif dan teratur serta memungkinkan rotasi stok.
Bahan yang berbeda seharusnya disimpan pada area yang terpisah.
Selain kondisi display, hal penting lain yang harus diperhatikan yaitu
penyimpanan keju sebelum dipajang pada rak display. Sebelum diletakkan pada
display, keju Cheddar, keju Mozarella, dan cream cheese dari pasar swalayan A
disimpan pada rak dengan suhu refrigerasi yaitu kisaran suhu 4 – 10 oC dan
ditumpuk dengan rapih, sedangkan keju Mozarella dan cream cheese dari pasar
swalayan B disimpan pada gudang penyimpanan dengan suhu refrigerasi yaitu
kisaran suhu 4 – 10 oC tanpa ditumpuk dengan rapih. Berbeda dengan keju yang
lainnya, keju Cheddar yang diperoleh dari pasar swalayan B hanya disimpan pada
suhu ruang (25-30 oC) dengan ditumpuk rapih.
5.1.3 Kondisi Produk
Survei kondisi produk pada pasar swalayan di Jatinangor dilakukan
dengan mengamati keadaan fisik kemasan produk, kelengkapan informasi yang
tercantum pada produk, dan lama waktu produk ditarik dari display. Berdasarkan
keadaan fisik kemasan, yang termasuk kedalam kategori produk baik adalah
kemasan tidak mengalami kerusakan, yang termasuk kedalam kategori produk
cukup baik adalah kemasan rusak berupa penyok akibat tekanan atau benturan,
dan yang termasuk kedalam kategori produk tidak baik adalah kemasan rusak
48
berupa sobek atau berlubang. Berdasarkan kelengkapan informasi yang tercantum
pada produk, yang termasuk kedalam kategori produk baik adalah informasi pada
kemasan tercantum lengkap, yang termasuk kedalam kategori produk cukup baik
adalah informasi tercantum lengkap kecuali petunjuk penyimpanan, dan yang
termasuk kedalam kategori produk tidak baik adalah informasi tercantum lengkap
kecuali tanggal kedaluwarsa. Berdasarkan lama waktu produk ditarik dari display,
yang termasuk kedalam kategori produk baik adalah produk ditarik dari display
sebelum mencapai waktu kedaluwarsa, yang termasuk kedalam kategori produk
cukup baik adalah produk ditarik dari display pada saat produk hampir mencapai
waktu kedaluwarsa yaitu satu minggu sebelum waktu kedaluwarsa, dan yang
termasuk kedalam kategori produk tidak baik adalah produk ditarik dari display
saat waktu kedaluwarsa dan saat kemasan produk mengalami kerusakan. Adapun
hasil dari survei pengamatan kondisi produk di pasar swalayan Jatinangor dapat
dilihat pada Gambar 6.
49
Gambar 3. Kondisi Produk Pasar Swalayan di Jatinangor yang dilihat dari
Tiga Aspek yaitu Keadaan Fisik Kemasan, Kelengkapan Informasi, dan
Lama Waktu Produk ditarik dari Display
Keterangan: A: Pasar Swalayan A
B: Pasar Swalayan B
Tabel 3. Kondisi Produk Pasar Swalayan di Jatinangor yang dilihat dari
Tiga Aspek yaitu Keadaan Fisik Kemasan, Kelengkapan Informasi,
dan Lama Waktu Produk ditarik dari Display
Swalayan A Swalayan B
Keadaan fisik
kemasan
tidak ada kerusakan (Baik) tidak ada kerusakan (Baik)
Kelengkapan
informasi
tercantum dengan lengkap
(Baik)
tercantum dengan lengkap
(Baik)
Lama waktu
produk ditarik
dari display
sekitar sebulan sebelum
waktu kedaluwarsa yang
tercantum pada kemasan
(Baik)
hampir mencapai tanggal
kedaluwarsa atau saat
kemasan produk
mengalami kerusakan
(Cukup Baik)
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kondisi produk pada pasar
swalayan A lebih baik dibandingkan kondisi produk yang berasal dari pasar
swalayan B. Hal tersebut dapat dilihat dari presentase yang menunjukan bahwa
Presentase Kondisi Produk
50
hasil yang menyatakan berada dalam kategori baik pada pasar swalayan A lebih
tinggi yaitu sebesar 100 % dibanding pasar swalayan B yaitu presentase baik yang
didapat hanya sebesar 66,67 % dan presentase yang masuk kedalam kategori yang
cukup baik adalah sebesar 33,33 %.
Kondisi produk yang didapat dari pasar swalayan A dan pasar swalayan B
tidak ditemukan adanya kerusakan pada kemasan produk. Kemasan yang
digunakan untuk melindungi produk keju Cheddar adalah kemasan alumunium
foil yang digunakan sebagai kemasan primer dan karton tipis sebagai kemasan
sekunder. Keju Cheddar dikemas dengan menggunaan kemasan sekunder
dikarenakan kemasan primer untuk membungkus keju ini sangat tipis yaitu
memiliki ketebalan <0,15 mm tetapi sudah mampu melindungi produk dari uap
air. Menurut penelitian Michael dalam Chuansin et al. (2006), alumunium foil
memiliki sifat perlindungan terhadap air (0.0914 cc/m2 /jam) lebih baik dibanding
polyetilen (0.2472 cc/m2 /jam). Kemasan yang digunakan untuk melindungi keju
Mozarella adalah plastik polyetilen (PE) dengan dikemas vakum. Polyetilen
memiliki ketebalan 0.001 sampai 0.01 inchi dan banyak digunakan untuk
mengemas makanan karena sifatnya thermoplastik sehingga polyetilen mudah
dibuat kantung dengan derajat kerapatan yang baik (Sacharow dan Griffin, 1980).
Pada produk cream cheese kemasan yang digunakan untuk melindungi produk
yaitu Polystyrene (PS). Produk cream cheese hanya dikemas dengan kemasan
Polystyrene saja dan direkatkan dengan selotip/ plastik perekat sehingga potensi
pencemaran dapat terjadi.
51
Informasi pada kemasan produk yang dijual pada pasar swalayan A
maupun pasar swalayan B tercantum dengan lengkap untuk memudahkan
konsumen mengetahui informasi mengenai produk yang hendak dikonsumsi.
Label merupakan suatu bagian penting dari sebuah produk yang membawa
informasi verbal tentang produk atau penjualnya. Label memiliki kegunaan untuk
memberikan infomasi yang jelas dan lengkap baik mengenai kuantitas, isi,
kualitas maupun hal-hal lain yang diperlukan mengenai barang yang
diperdagangkan.
Selain kemasan dan kelengkapan labeling, hal lain yang harus diperhatikan
pada kondisi display adalah lama waktu produk ditarik dari display. Makanan
seharusnya ditarik dari display sebelum tanggal kedaluwarsa yang telah tercantum
pada kemasan, karena apabila produk yang sudah kedaluwarsa tetap dipajang pada
rak display maka akan memepengaruhi kualitas produk lainnya. Pada pasar
swalayan A produk yang dipajang pada display ditarik sebelum produk mencapai
waktu kedaluwarsa yaitu sekitar sebulan sebelum waktu kedaluwarsa yang
tercantum pada kemasan, sedangkan pada pasar swalayan B produk akan ditarik
apabila hampir mencapai tanggal kedaluwarsa yaitu satu minggu sebelum waktu
kedaluwarsa atau pada saat kemasan produk mengalami kerusakan.
5.1.4 Kondisi Distribusi
Survei distribusi produk pada pasar swalayan di Jatinangor dilakukan
dengan mengamati lama waktu pengiriman produk dari tempat produksi hingga
sampai di pasar swalayan Jatinangor, alat transportasi yang digunakan untuk
52
mengirim produk ke pasar swalayan Jatinangor, dan keadaan produk saat proses
pengiriman. Berdasarkan lama waktu pengiriman produk dari tempat produksi
hingga sampai di pasar swalayan Jatinangor, yang termasuk kedalam kategori
distribusi baik adalah produk sampai kurang dari 1 jam, yang termasuk kedalam
kategori distribusi cukup baik adalah produk sampai antara 1 hingga 3 jam, dan
yang termasuk kedalam kategori distribusi tidak baik adalah produk sampai lebih
dari 3 jam. Berdasarkan alat transportasi yang digunakan, yang termasuk kedalam
kategori distribusi baik adalah alat transportasi yang digunakan merupakan mobil
yang dilengkapi box berpendingin dan yang termasuk kedalam kategori distribusi
tidak baik adalah mobil yang digunakan tanpa dilengkapi box berpendingin.
Berdasarkan keadaan produk saat proses pengiriman, yang termasuk kedalam
kategori distribusi baik adalah produk dikemas dengan kemasan tersier seperti
kardus dan ditumpuk rapih dan yang termasuk kedalam kategori distribusi tidak
baik adalah produk ditumpuk rapih tanpa dikemas dengan kemasan tersier seperti
kardus. Adapun hasil dari survei pengamatan kondisi distribusi di pasar swalayan
Jatinangor dapat dilihat pada Gambar 7.
53
Gambar 4. Kondisi Distribusi Pasar Swalayan di Jatinangor yang dilihat
dari Tiga Aspek yaitu Lama Waktu Pengiriman Produk dari Tempat
Produksi Hingga Sampai di Pasar Swalayan Jatinangor, Alat Transportasi
yang Digunakan, dan Keadaan Produk Saat Proses Pengiriman
Keterangan: A: Pasar Swalayan A
B: Pasar Swalayan B
Swalayan A Swalayan B
Lama waktu
pengiriman produk
> 3 jam (Mozarella)
(Tidak Baik)
1-3 jam (Cheddar, CC)
(Cukup Baik)
> 3 jam (Mozarella) (Tidak
Baik)
1-3 jam (Cheddar, CC)
(Cukup Baik)
Alat transportasi
yang digunakan
mobil yang dilengkapi
box berpendingin (Baik)
mobil yang dilengkapi box
berpendingin (Baik)
Keadaan produk
saat proses
pengiriman
dikemas dengan kemasan
tersier seperti kardus dan
ditumpuk rapih (Baik)
dikemas dengan kemasan
tersier seperti kardus dan
ditumpuk rapih (Baik)
Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa kondisi distribusi cream cheese
yang diperoleh dari swalayan A, cream cheese dari swalayan B, keju Cheddar
dari swalayan A, dan keju Cheddar dari swalayan B memiliki presentasi nilai
yang sama yaitu menunjukkan 66,67 % kategori baik dan 33,33 % termasuk
kategori cukup baik. Dari presentase yang didapat maka nilai tersebut lebih baik
Presentase Kondisi Distribusi
54
dibandingkan kondisi distribusi keju Mozarella yang berasal dari pasar swalayan
A dan keju Mozarella yang berasal dari pasar swalayan B yaitu menunjukkan
presentase yang termasuk ke dalam kategori baik yang didapat sebesar 66,67 %
dan presentase yang masuk kedalam kategori yang tidak baik adalah sebesar
33,33%.
Rentang waktu pengiriman produk terbagi menjadi tiga kategori yaitu satu
jam (baik), satu hingga tiga jam (cukup baik), dan lebih dari tiga jam (tidak baik).
Rentang waktu yang digunakan ditujukan untuk mengukur seberapa lama waktu
tempuh produk dari produsen hingga sampai ke pasar swalayan. Keju dapat
beresiko mengalami kerusakan apabila alat transportasi yang digunakan untuk
mengirim produk tidak dilengkapi pendingin sehingga produk tidak disimpan
sesuai pada tempat yang disarankan pada saran penyimpanan. Selain itu, apabila
alat transportasi yang digunakan tidak terdapat alat pendingin maka akan
berpengaruh pada lama waktu tempuh perjalanan, apabila semakin lama waktu
pengiriman maka resiko produk mengalami kerusakan juga semakin tinggi.
Keju merupakan makanan ready to eat yang harus disimpan pada suhu
dingin. Menurut Pasalu dkk. (2013), penyimpanan dan penjualan makanan siap
santap seharusnya dilakukan pada suhu dibawah 7oC atau di atas 60
oC. Sehingga
apabila kendaraan yang digunakan untuk mengirim keju tidak dilengkapi
pendingin maka dapat memperbesar resiko kerusakan keju, karena selain
mempertahankan kualitas produk pendinginan juga dapat menghambat kerusakan
makanan karena dengan penyimpanan pada suhu 4 oC pertumbuhan bakteri dan
proses biokimia dapat diperhambat.
55
Lama waktu perjalanan tiap produk berbeda – beda tergantung tempat
produksi dari masing – masing produk. Keju Mozarella yang dibeli dari pasar
swalayan A maupun pasar swalayan B dikirim dari Malang, sehingga untuk
mengirimkan produk dari Malang ke Jatinangor membutuhkan waktu lebih dari 3
jam. Berbeda dengan keju Mozarella, produk keju Cheddar dan cream cheese
masing – masing dikirim dari Bekasi dan Jakarta sehingga waktu tempuh dari
masing – masing perusahaan hanya sekitar satu hingga tiga jam saja. Lama waktu
tempuh untuk mengirim produk tidak berpengaruh pada kualitas produk keju
Mozarella, cream cheese, dan keju Cheddar karena sarana transportasi yang
digunakan sudah dilengkapi dengan pendingin dengan menggunakan suhu sesuai
dengan saran penyimpanan produk, sehingga potensi produk mengalami
kerusakan selama distribusi rendah.
5.2 Analisa Mutu Mikrobiologi Keju di Swalayan Jatinangor
5.2.1 Escherichia coli
Berdasarkan data yang diperoleh, rata-rata jumlah E. coli yang terdeteksi
pada masing - masing sampel keju yang diamati berbeda. Rata-rata jumlah E. coli
yang tertinggi terdapat pada sampel cream cheese yang diperoleh dari pasar
swalayan A, cream cheese yang diperoleh dari pasar swalayan B, dan keju
Cheddar yang diperoleh dari pasar swalayan B. Adapun hasil perhitungan jumlah
rata – rata E. coli yang terdapat pada sampel keju yang diperoleh dari pasar
swalayan di Jatinangor dapat dilihat pada Tabel 9.
56
Tabel 4. Hasil Pengamatan E. coli pada Keju di Pasar Swalayan Jatinangor
Dibandingkan dengan SNI
Sampel ∑ Koloni rata – rata
SNI TPC (cfu/g)
Cheddar A 1 × 101 1 × 10
1
Cheddar B 2 × 101 1 × 10
1
Mozarella A 1 × 101 1 × 10
1
Mozarella B 1 × 101 1 × 10
1
Cream Cheese A 2 × 101 1 × 10
1
Cream Cheese B 2 × 101 1 × 10
1
Keterangan: A: Pasar Swalayan A
B: Pasar Swalayan B
Hasil yang didapat menunjukkan bahwa jumlah E. coli yang terdapat pada
produk cream cheese yang diperoleh dari pasar swalayan A, cream cheese yang
diperoleh dari pasar swalayan B, dan keju Cheddar yang diperoleh dari pasar
swalayan B lebih tinggi dari batas standar yang telah ditetapkan oleh SNI
7388:2009 yaitu maksimal 1 × 101 cfu/gram. Sedangkan pada sampel lainnya juga
ditemukan keberadaan E. coli namun masih memenuhi batas SNI 7388:2009. Hal
ini sesuai dengan penelitian Najand dan Ghanbarpour (2006) yang mengisolasi
E. coli sebanyak 99% dari 77 sampel keju lunak domestik Iran. Adetunji (2010)
melaporkan keju wara (keju lunak Afrika Barat) terkontaminasi E. coli O157:H7.
Pada penelitian Alper dan Nesrin (2013), E. coli ditemukan pada semua spesimen
keju putih segar Turki.
Hasil yang dinyatakan positif terdapat E. coli ditandai dengan adanya
pertumbuhan koloni berwarna hijau metalik pada media EMB agar. Menurut
Atlas (1993), karakteristik koloni E. coli yang tumbuh pada media EMB agar,
biasanya berwarna merah metalik atau hijau metalik, berbeda dengan famili
Enterobactericeae lainnya seperti Salmonella dan Proteus jika tumbuh pada media
57
ini akan menampakan koloni yang berwarna merah muda tanpa disertai
karakteristik metalik pada permukaan koloninya.
Berdasarkan hasil survei dari berbagai aspek kondisi yaitu meliputi
kondisi sanitasi, kondisi display/ penyimpanan, dan kondisi produk dapat dilihat
bahwa kondisi pasar swalayan A lebih baik dibandingkan pasar swalayan B,
sedangkan kondisi distribusi antara pasar swalayan A dengan pasar swalayan B
menunjukan hasil yang sama. Hasil penelitian yang diperoleh menunjukkan
bahwa kondisi display/ penyimpanan dan kondisi produk dinilai dapat
memberikan kualitas mutu mikrobiologi produk yang berbeda.
Keju Cheddar yang diperoleh dari pasar swalayan B menunjukan hasil
yang melebihi batas SNI 7388:2009. Hal ini disebabkan karena kondisi display /
penyimpanan keju Cheddar yang disimpan pada rak tidak berpendingin dan
karena pada saat keju Cheddar disimpan di gudang penyimpanan sebelum
dipajang pada rak display, gudang penyimpanan juga tidak dilengkapi pendingin.
Menurut Pasalu dkk. (2013), kebiasaan menyimpan atau menjajakan makanan
selama beberapa jam pada suhu kamar, terutama makanan siap santap berisiko
tinggi (pH > 4,5 dan Aw > 0,85) dapat menimbulkan risiko bahaya bagi
kesehatan. Penyimpanan dan penjualan makanan siap santap seharusnya
dilakukan pada suhu dibawah 7oC atau di atas 60
oC (Pasalu dkk., 2013).
Kesesuaian tempat penyimpanan berpengaruh pada kualitas produk terutama mutu
mikrobiologi produk. Hal tersebut dikarenakan penyimpanan pada suhu selain
suhu yang dianjurkan dapat mempercepat pertumbuhan bakteri patogen yang
terdapat pada pangan. Menurut Garbutt (1997), suhu memiliki pengaruh yang
58
sangat penting terhadap fase adaptasi pertumbuhan mikroorganisme. Ketika suhu
mendekati suhu minimum maka dapat mengurangi kecepatan pertumbuhan dan
dapat memperpanjang fase adaptasi.
Cream cheese yang diperoleh dari pasar swalayan A maupun pasar
swalayan B juga menunjukan hasil E. coli yang melebihi batas yang ditetapkan
pada SNI 7388:2009. Hal ini disebabkan karena kondisi sanitasi dan kondisi
produk itu sendiri. Keju ini dikemas dengan kemasan polistirena (PS). Menurut
BPOM (2008), polistirena bersifat kaku, transparan, rapuh, inert secara kimiawi,
dan merupakan insulator yang baik. Selain itu, menurut Sulchan dan Endang
(2007) menyatakan bahwa kemasan PS bersifat sangat amorphous dan tembus
cahaya, mempunyai indeks refraksi tinggi, sukar ditembus oleh gas kecuali uap
air. Karena sifatnya tersebut, maka masih memungkinkan adanya resiko cemaran
pada produk yang dikemas. Penggunaan kemasan yang kurang sesuai dapat
mempercepat pertumbuhan bakteri yang sudah terdapat pada cream cheese karena
apabila kemasan tidak mampu melindungi produk dari faktor eksternal seperti uap
air maka selama penyimpanan memungkinkan kondisi produk akan berubah.
Potensi keberadaan E. coli pada keju lunak lebih tinggi dibandingkan keju
semi keras maupun keju keras dikarenakan bahan baku pembuatan keju lunak
biasanya menggunakan susu tanpa melalui proses pasteurisasi. Apabila susu yang
digunakan tidak melalui proses pasteurisasi maka masih memungkinkan terdapat
bakteri patogen. Meskipun saat pengolahan sudah dapat dipastikan bahwa
mikroba yang terdapat pada produk masih sesuai batas standar yang telah
ditetapkan oleh Badan Standar Nasional, namun apabila faktor eksternal
59
mendukung pertumbuhan bakteri tersebut maka bakteri yang terdapat pada produk
dapat menjadi lebih banyak. Keju yang menggunakan susu pasteurisasi beresiko
lebih rendah untuk terkontaminasi karena suhu pasteurisasi mampu menghambat
atau membunuh bakteri patogen. Hal ini sesuai dengan pendapat Sudarwanto
(2012), yang menyatakan bahwa bakteri patogen akan mati pada proses
pasteurisasi yang sempurna. Menurut Hobbs dan Roberts (1997), tujuan dari
pasteurisasi adalah untuk membunuh bakteri patogen dan bakteri non patogen
(pembusuk atau perusak), sekaligus untuk meningkatkan mutu susu.
Hal lainnya juga dapat dipengaruhi oleh karakteristik kimia yaitu aw atau
aktivitas air. Nilai aw rata – rata cream cheese adalah 0,9885, sedangkan menurut
Supardi dan Sukamto (1999) aw minimum untuk pertumbuhan bakteri E. coli
adalah 0,96. Menurut Waluyo (2001), pada nilai aktivitas air sama dengan 0
berarti molekul air yang bersangkutan sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas
dalam proses kimia, sedangkan nilai aktivitas air sama dengan 1 berarti potensi air
dalam proses kimia pada kondisi maksimal. Cream cheese yang diteliti juga
memiliki tanggal kedaluwarsa pada 16 Mei 2017, sehingga ada kemungkinan
hasil E. coli pada cream cheese yang diteliti ini melebihi standar SNI 7388:2009
karena sudah hampir mendekati waktu kedaluwarsa.
E. coli merupakan bakteri indikator adanya kontaminasi feses sehingga
memungkinkan adanya patogen yang lain. Menurut Altalhi dan Hassan (2009),
E. coli digunakan sebagai indikator yang dapat dipercaya terhadap kontaminasi
feses dan kemungkinan adanya mikroorganisme enteropatogenik dan/atau
toksigenik sehingga E. coli dikenal sebagai agen penyebab diare dan penyakit-
60
penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne illness). Hal tersebut tidak
sesuai, karena meskipun pada penelitian ditemukan keberadaan E. coli namun
keberadaan bakteri patogen lainnya tidak dapat ditemukan.
Tidak semua spesies E. coli bersifat patogen, namun keberadaan bakteri
E. coli pada bahan pangan merupakan indikator bahwa pangan tersebut
terkontaminasi feses sehingga memungkinan adanya keberadaan bakteri patogen
lainnya. Keberadaan E.coli pada produk siap santap beresiko menyebabkan
keracunan makanan. Menurut Nurwantoro dan Djarijah (1997) bakteri E. coli
yang terdapat pada makanan atau minuman yang masuk kedalam tubuh manusia
dapat menyebabkan penyakit seperti kolera, disentri, gastroenteritis, diare dan
berbagai penyakit saluran pencernaan lain. Pencemaran oleh E. coli pada produk
keju dapat terjadi selama proses pengolahan keju hingga saat penyimpanan. Pada
saat proses pengolahan, pencemaran oleh E. coli dapat berasal dari air yang
digunakan selama proses pengolahan. Air yang terkontaminasi koliform
merupakan sumber utama pencemaran karena bakteri ini dapat bertahan selama 6
bulan dalam sedimen air dan sepanjang musim dingin (Manning, 2010).
Selain itu, sumber kontaminasi E.coli saat proses pengolahan dapat
ditemukan apabila kondisi sanitasi lingkungan pengolahan dan pekerja cukup
baik. Menurut Depkes (2006), faktor utama yang mempengaruhi kontaminasi
E. coli pada makanan adalah higiene dan sanitasi. Faktor higiene meliputi
beberapa aspek seperti kebersihan tubuh penjamah serta perilaku penjamah
selama mengolah makanan. Sedangkan sanitasi mencakup fasilitas sanitasi,
manajemen limbah, dan sanitasi peralatan. Menurut penelitian Hatta (2014),
61
kontaminasi E. coli sebanyak 40% ditemukan pada tangan pekerja. Hal tersebut
disebabkan karena terjadinya perpindahan feses melalui pekerja lewat kontak
langsung dengan bahan pangan. Sanitasi pekerja perlu diperhatikan karena pekerja
sering bersentuhan langsung dengan produk sehingga berpotensi lebih tinggi
sebagai agen pemindah mikroba patogen. Salah satu cara untuk mencegah resiko
tersebut yaitu dengan menjaga higiene pekerja. Tujuan praktik higiene tangan
adalah mengeliminasi secara cepat flora transien dan memberikan aktivitas
antimikroba terhadap flora residen (Jurnaa 2005). Menurut Cahyaningsih et al.
(2009), mencuci tangan sebelum bekerja dan tidak mencuci tangan dengan sabun
setelah dari toilet memiliki hubungan yang nyata dengan jumlah angka kuman
dalam makanan. Menurut Montville et al. (2002), risiko yang terkait dengan
berbagai teknik pencucian tangan mengindikasikan bahwa mencuci tangan yang
dikerjakan secara benar dapat mengurangi risiko kontaminasi bakteri pada tangan.
Penelitian di India menunjukkan bahwa pencucian tangan dengan air dan sabun
dapat mereduksi 43% bakteri patogen pada tangan pelajar (Tambekar et al.,
2007).
5.2.2 Salmonella sp.
Dari semua sampel keju yang telah diteliti diperoleh hasil bahwa tidak
terdapat keberadaan Salmonella pada keju yang diperoleh dari pasar swalayan A
maupun pasar swalayan B. Adapun hasil pengamatan Salmonella pada keju yang
diperoleh dari pasar swalayan Jatinangor dapat dilihat pada Tabel 10.
62
Tabel 5. Hasil Pengamatan Salmonella sp. pada Keju di Pasar Swalayan
Jatinangor Dibandingkan dengan SNI
Sampel Hasil SNI
Cheddar A negatif negatif
Cheddar B negatif negatif
Mozarella A negatif negatif
Mozarella B negatif negatif
Cream Cheese A negatif negatif
Cream Cheese B negatif negatif
Keterangan: A: Pasar Swalayan A
B: Pasar Swalayan B
Hasil yang menunjukkan bahwa tidak ditemukannya keberadaan
Salmonella pada seluruh sampel keju yang diperoleh dari pasar swalayan A dan
pasar swalayan B telah sesuai dengan batas standar yang ditetapkan oleh SNI
7388:2009 yaitu hasil pengujian Salmonella pada semua produk keju harus negatif
per 25 gram. L. monocytogenes dan Salmonella perlu diperhatikan karena
keberadaan bakteri patogen ini memiliki resiko yang lebih berbahaya dari E. coli.
Tidak ditemukannya Salmonella pada keju yang dieliti ditandai dengan tidak
ditemukanya koloni berwarna hitam yang dicirikan sebagai Salmonella, menurut
Nugraha et al. (2012) isolat Salmonella pada media SSA pada suhu 37 oC
memiliki kenampakan yang cembung, transparan, dan bercak hitam dibagian
pusat.
Tidak ditemukannya Salmonella pada keju sejalan dengan penelitian
Carvalho et al. (2009) yang mendeteksi pada keju minas frescal yang diproduksi
oleh usaha rumah tangga di kota Gerais Minas, Brazil, tidak terdapat kontaminasi
Salmonella spp. Namun hal tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan
oleh Alper dan Nesrin (2013) bahwa ditemukannya Salmonella spp. pada dua
spesimen keju putih segar Turki. Hal ini dapat dikaitkan dengan bahan baku yang
63
digunakan untuk membuat keju putih Turki tersebut menggunakan susu mentah
tanpa pasteurisasi. Menurut Garbaj et al. (2007), proses pasteurisasi susu dapat
menekan kontaminasi E. coli dan Salmonella spp. pada keju mozarella di Provinsi
Tripoli, Libya. Bakteri Salmonella akan mati pada suhu 60 oC selama 15 – 20
menit melalui pasteurisasi, pendidihan, dan khlorinasi (Departemen Kesehatan RI,
2006).
Keberadaan Salmonella pada produk siap santap beresiko menyebabkan
penyakit Salmonellosis. Salmonellosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh
bakteri Salmonella spp. dan dapat menyerang baik pada hewan maupun manusia
atau zoonosis (Office International Des Epizootis, 2000). Berdasarkan SNI
7388:2009 tentang batas maksimum cemaran mikroba dalam pangan menyatakan
bahwa pangan yang tercemar Salmonella sp. apabila tertelan dapat mengakibatkan
infeksi usus yang diikuti oleh diare, mual, kedinginan, dan sakit kepala. Jumlah
Salmonella sp. yang dapat menyebabkan salmonellosis yaitu antara 107 -10
9 sel/g.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Alper dan Nesrin (2013)
dan Carvalho et al. (2009) dapat diketahui bahwa pencemaran oleh Salmonella
dapat ditemukan pada bahan baku pembuatan keju itu sendiri. Kontaminasi pada
susu oleh bakteri patogen dapat terjadi baik secara langsung maupun tidak
langsung melalui ambing sapi, tubuh sapi, udara/lingkungan di tempat pemerahan,
peralatan yang digunakan, dan pekerja yang melakukan pemerahan susu
(Nurwantoro dan Djarijah, 1997). Menurut Fernandez (2009), susu mentah dapat
mengandung beragam mikroorganisme patogen, termasuk Salmonella spp
(khususnya Salmonella typhimurium dan Salmonella dublin, serotipe yang virulen
64
untuk manusia), Escherichia coli O157, Listeria monocytogenes, dan
Campylobacter spp. yang berasal dari hewan perah, lingkungan, pekerja, dan
peralatan susu. Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian Akoso (2000) yang
melaporkan bahwa di Indonesia pada tahun 1988 terdapat kasus salmonellosis di
Semarang yang telah menyebabkan kematian sekelompok anak sapi perah. Selain
itu menurut penelitian D’Aoust (2000), kontaminasi Salmonella spp. pada industri
pengolahan susu terjadi terutama akibat sanitasi peralatan yang tidak memadai.
5.2.3 Listeria monocytogenes
Dari semua sampel keju yang telah diteliti diperoleh hasil bahwa tidak
terdapat keberadaan Listeria monocytogenes pada keju yang diperoleh dari pasar
swalayan A maupun pasar swalayan B. Adapun hasil pengamatan
L. monocytogenes pada keju yang diperoleh dari pasar swalayan Jatinangor dapat
dilihat pada Tabel 11.
Tabel 6. Hasil Pengamatan L. monocytogenes pada Keju di Pasar Swalayan
Jatinangor Dibandingkan dengan SNI
Sampel Hasil
SNI 24 jam 48 jam
Cheddar A negatif negatif negatif
Cheddar B negatif negatif negatif
Mozarella A negatif negatif negatif
Mozarella B negatif negatif negatif
Cream Cheese A negatif negatif negatif
Cream Cheese B negatif negatif negatif
Keterangan: A: Pasar Swalayan A
B: Pasar Swalayan B
Hasil yang menunjukkan bahwa tidak ditemukannya keberadaan
L. monocytogenes saat pengamatan 24 jam dan 48 jam setelah inkubasi pada
65
seluruh sampel keju yang diperoleh dari pasar swalayan A dan pasar swalayan B
telah sesuai dengan batas standar yang ditetapkan oleh SNI 7388:2009 yaitu hasil
pengujian L. monocytogenes pada semua produk keju harus negatif per 25 gram.
Hal ini ditandai dengan tidak terdapat pertumbuhan koloni yang mencirikan
L. monocytogenes pada media agar selektif (Oxford agar), L. monocytogenes
ditandai dengan koloni berwarna hitam dengan dikelilingi zona sekeliling jernih.
Tidak ditemukannya keberadaan L. monocytogenes pada semua sampel
keju yang diamati sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fadhilah dkk.,
(2014), sebanyak 30 sampel keju Gouda yang terdiri atas 15 sampel keju Gouda
produksi lokal dan 15 sampel keju Gouda impor tidak ditemukan keberadaan L.
monocytogenes. Namun hal tersebut berbeda dengan penelitian yang dilakukan
oleh Nwachukwu et al. (2009), yang telah mendeteksi keberadaan L.
monocytogenes pada keju Gouda yang diproduksi di Nigeria. Sedangkan
penelitian lainnya didapat enam dari 30 sampel keju impor yang masuk ke
Indonesia mengandung Listeria. Dari enam sampel positif mengandung Listeria
tersebut empat sampel terkonfirmasi sebagai L. monocytogenes (Iswan, 2009).
Keberadaan L. monocytogenes pada produk siap santap beresiko
menyebabkan penyakit listeriosis. Listeriosis pada manusia tidak ditandai dengan
serangkaian gejala yang unik karena penyakit yang timbul tergantung status dan
kondisi pertahanan tubuh inangnya. Terdapat dua bentuk gejala klinis yang
diakibatkan oleh infeksi L. monocytogenes yaitu listerial gastroenteritis (listeriosis
bentuk saluran pencernaan) dan invasive listeriosis (listeriosis bentuk invasif).
Gejala klinis yang ditimbulkan oleh listeriosis bentuk saluran pencernaan di
66
antaranya mual, muntah, kram perut, dan diare. Listeriosis bentuk invasif diakui
sebagai foodborne disease yang serius karena tingkat keparahan gejala dan tingkat
kematian yang tinggi yaitu 20-30% (Garrido et al., 2008). Gejala klinis yang
ditimbulkan oleh listeriosis bentuk invasif yaitu meningitis, meningoensefalitis,
dan septikemia, serta pada wanita hamil dapat mengakibatkan kluron/abortus,
kematian pada bayi yang baru lahir atau persalinan prematur (Delgado, 2008).
L. monocytogenes dapat ditemukan pada berbagai jenis pangan mentah
dan pangan olahan, susu dan produk olahan susu (Kells et al., 2004). Menurut
Doyle et al. (2001), L. monocytogenes dapat bertahan hidup pada proses
pembuatan dan pematangan keju. Sifat L. monocytogenes yang tahan terhadap pH
rendah (sampai pH 4,4), tahan terhadap konsentrasi garam yang tinggi, dan
kemampuan untuk tumbuh pada suhu dingin memungkinkan bakteri ini dapat
bertahan hidup selama proses pembuatan keju dan pada proses pemeraman keju
(Lomonaco et al., 2009). Namun pertumbuhan L. monocytogenes dapat terhambat
oleh pertumbuhan starter laktat. Bakteri asam laktat yang ditambahkan pada
pembuatan keju akan memfermentasi laktosa pada susu menjadi asam laktat
sehingga dapat menurunkan pH.
Pada saat proses penyimpanan, L. monocytogenes masih dapat tumbuh.
Menurut Fraizer dan Westhoof (1988), pada suhu 4oC dengan kandungan zat besi,
L. monocytogenes masih dapat tumbuh. L. monocytogenes merupakan bakteri
psikrofilik yaitu bakteri yang menyukai suhu dingin untuk pertumbuhannya,
karena memiliki membran sel yang mempunyai kondisi yang baik pada suhu
dingin. Namun apabila ditemukan keberadaan L. monocytogenes pada keju maka
67
menandakan bahwa proses pengolahan keju tersebut terdapat kesalahan. Menurut
Fraizer et al. (1988), bakteri ini mati pada suhu pasteurisasi, sehingga jika masih
bisa didapatkan pada susu yang telah dipasteurisasi menandakan adanya
kesalahan penanganan saat ataupun pasca pasteurisasi. Selain itu, kebersihan dari
peralatan yang tidak terjaga dengan baik akan menjadi salah satu sumber
kontaminasi L. monocytogenes (NSM, 2005).
Susu dapat terkontaminasi L. monocytogenes dari hewan yang terinfeksi
L. monocytogenes. Hewan dapat terinfeksi L. monocytogenes karena memakan
silase atau pakan yang terkontaminasi L. monocytogenes. Menurut Nightingale et
al. (2004), susu dapat terkontaminasi L. monocytogenes melalui kontaminasi
silang dari lingkungan peternakan, peralatan yang digunakan saat pemerahan, dan
melalui pekerja yang terkontaminasi L. monocytogenes.
Tidak ditemukannya L. monocytogenes pada produk keju yang diteliti
disebabkan oleh kombinasi dari faktor-faktor preservatif (penghambat) pada keju
selama proses pengolahan. Menurut Ryser dan Marth (2007), inaktivasi
L. monocytogenes dapat terjadi akibat dari kombinasi efek antilisteria yang ada
pada keju seperti pH rendah, aktivitas air yang rendah, serta suhu pada
pemrosesan. Penurunan pH disebabkan karena penambahan kultur starter bakteri
asam laktat (BAL) pada saat pengolahan keju. Kombinasi dari faktor-faktor
preservatif selama proses pembuatan keju dikenal dengan multiple hurdle
technology. Menurut Leistner (2000), multiple hurdle technology merupakan
konsep preservasi pada bahan makanan dengan menerapkan kombinasi faktor-
faktor preservatif seperti suhu, aktivitas air, pH, potensial redoks, dan bahan
68
preservasi. Penerapan multiple hurdle technology pada bahan makanan dapat
mengeliminasi, menginaktifkan atau setidaknya dapat menghambat pertumbuhan
mikroba yang tidak diinginkan karena tidak dapat mengatasi hambatan tersebut
(Fadhilah dkk., 2014).
5.3 Analisa Aktivitas Air Produk Keju di Swalayan Jatinangor
Aktivitas air (aw) merupakan salah satu faktor yang sangat mempengaruhi
kerusakan pangan. Hal ini disebabkan karena aw menggambarkan ketersediaan air
dalam bahan yang dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikrorganisme.
Aktivitas air bahan pangan adalah jumlah air bebas yang terkandung dalam bahan
pangan yang dapat digunakan oleh mikroba untuk pertumbuhannya (Sakti dkk.,
2016). Menurut Syarief dan Halid (1993), nilai aw merupakan jumlah air bebas di
dalam bahan pangan yang dapat digunakan untuk pertumbuhan mikroba dan
berlangsungnya reaksi kimia dan biokimia.
Menurut Purnomo (1995), aktivitas air (aw) merupakan parameter yang
sangat berguna untuk menunjukkan kebutuhan air atau hubungan air dengan
mikroorganisme dan aktivitas enzim. Analisis nilai aw bertujuan untuk mengetahui
pengaruh aw produk yang dianalisis terhadap pertumbuhan mikroorganisme. Hasil
analisa aktivitas air (aw) dapat dilihat pada Tabel 12.
69
Tabel 7. Hasil Pengamatan Nilai aw pada Keju di Pasar Swalayan
Jatinangor
Sampel Nilai Rata – Rata Aw Standar Devisiasi
Cheddar A 0,943 ±0,010
Cheddar B 0,944 ±0,001
Mozarella A 0,965 ±0,006
Mozarella B 0,968 ±0,002
Cream Cheese A 0,989 ±0,001
Cream Cheese B 0,989 ±0,002
Keterangan: A: Pasar Swalayan A
B: Pasar Swalayan B
Berdasarkan hasil pengujian aw dengan menggunakan aw meter, didapat
bahwa sampel keju yang di ukur memiliki nilai aw berkisar antara 0.943 hingga
0.989 dengan nilai aw tertinggi yaitu pada produk cream cheese yang diperoleh
dari pasar swalayan A maupun pasar swalayan B dengan nilai aw rata – rata
sebesar 0,989. Nilai aw yang terendah didapat oleh produk keju Cheddar yang
diperoleh dari pasar swalayan A dengan nilai aw rata – rata sebesar 0,943. Pada
nilai aktivitas air sama dengan 0 berarti molekul air yang bersangkutan sama
sekali tidak dapat melakukan aktivitas dalam proses kimia, sedangkan nilai
aktivitas air sama dengan 1 berarti potensi air dalam proses kimia pada kondisi
maksimal (Waluyo, 2001).
Umumnya keju lunak memiliki nilai aw yang lebih tinggi dibandingkan
keju keras dan keju semi keras. Hal tersebut dikarenakan keju lunak memiliki
nilai kadar air yang paling tinggi dibandingkan keju lainnya, diikuti keju semi
keras, dan kadar air paling tinggi adalah keju keras. Menurut Lisa dkk. (2015),
hubungan kadar air dengan aktivitas air ditunjukkan dengan kecenderungan
bahwa semakin tinggi kadar air maka semakin tinggi pula nilai aw nya.
70
Kadar air dalam bahan pangan ikut menentukan kesegaran dan daya awet
bahan pangan tersebut, kadar air yang tinggi mengakibatkan mudahnya bakteri,
kapang, dan khamir untuk berkembang biak, sehingga akan terjadi perubahan
pada bahan pangan (Winarno, 1997). Dalam bahan pangan air dapat dijumpai
dalam bentuk air bebas dan air terikat dengan derajat keterikatan yang beragam.
Air yang berbentuk bebas sangat mudah menguap karena biasanya terdapat pada
permukaan bahan pangan. Menurut Sudarmadji, et al (2003) Air yang terdapat
dalam bentuk bebas dapat membantu terjadinya proses kerusakan bahan pangan
misalnya proses mikrobiologi, kimiawi, enzimatik, bahkan aktivitas serangga
perusak. Sedangkan telah diterima secara umum bahwa air terikat didefinisikan
sebagai bagian dari kadar air produk yang akan tetap berada dalam bahan ini
dalam kondisi tak berubah (terikat) setelah dilakukan prosedur pengeringan biasa
seperti pembekuan, dehidrasi kimia, dan lain-lain.
71
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1 Kesimpulan
1) Berdasarkan hasil analisis mutu mikrobiologi pada beberapa produk keju
di 2 pasar swalayan Jatinangor, tidak ditemukan adanya bakteri
Salmonella dan L. monocytogenes (negatif), namun ditemukan E. coli
sebesar 2 × 101
cfu/gram pada sampel cream cheese yang diperoleh dari
pasar swalayan A, cream cheese yang diperoleh dari pasar swalayan B,
dan keju Cheddar yang diperoleh dari pasar swalayan B dengan jumlah
melebihi batas standar yang ditetapkan pada SNI 7388:2009.
2) Produk keju yang disimpan pada suhu penyimpanan yang tidak sesuai
dengan saran penyimpanan dapat mempercepat pertumbuhan mikroba
patogen yang sudah terdapat pada produk.
3) Rata – rata nilai Aw yang tertinggi yaitu cream cheese yang diperoleh dari
pasar swalayan A dan cream cheese yang diperoleh dari pasar swalayan B
dengan nilai 0,989, sedangkan nilai rata – rata nilai Aw yang terendah yaitu
keju Cheddar yang diperoleh dari pasar swalayan A dengan nilai 0,943.
6.2 Saran
1) Perlu dilakukan penelitian untuk membandingkan mutu mikrobiologi pada
keju yang terdapat pada pasar swalayan dengan pasar tradisional atau
warung – warung yang terdapat di Jatinangor.