ii. tinjauan pustaka 2.1. teh herbal sebagai minuman...
TRANSCRIPT
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teh Herbal Sebagai Minuman Fungsional
Pangan fungsional adalah pangan olahan yang mengandung satu atau lebih
komponen pangan yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi fisiologis
tertentu diluar fungsi dasarnya, terbukti tidak membahayakan dan bermanfaat bagi
kesehatan. Pangan fungsional dikonsumsi sebagaimana layaknya makanan atau
minuman, mempunyai karakteristik sensori berupa kenampakan, warna, tekstur dan
cita rasa yang diterima oleh konsumen, tidak memberikan kontradiksi dan efek
samping terhadap metabolisme zat gizi lainnya jika digunakan dalam jumlah yang
dianjurkan (BPOM RI, 2016).
Produk pangan fungsional yang banyak digemari adalah jenis minuman
fungsional karena bersifat praktis. Produk minuman fungsional yang beredar di
pasaran tersedia dalam berbagai bentuk, seperti jus (sari buah), serbuk minuman
cepat larut (minuman instan), serta dalam bentuk teh herbal/ teh celup. Komponen
terbesar dalam minuman fungsional adalah komponen zat non gizi yang terdiri dari
senyawa polifenol, alkaloid serta antioksidan (Sunyoto, 2018).
Teh (Camellia sinensis .L) merupakan salah satu bahan minuman penyegar
yang sudah lama dikenal dan banyak dikonsumsi oleh masyarakat umum. Teh
berasal dari pucuk tanaman teh (Camellia sinensis .L) melalui proses pengolahan
yaitu pemetikan, pelayuan dan pengeringan. Teh dapat dibagi menjadi empat jenis
berdasarkan tingkat oksidasinya yakni teh putih, teh hijau, teh oolong dan teh hitam
atau teh merah. Teh hijau paling banyak dikenal karena memiliki beragam manfaat
6
bagi kesehatan. Teh hijau mengandung 0,34 mg/gram senyawa flavonoid (Lutfiah,
2015).
Teh herbal merupakan istilah umum yang digunakan untuk minuman yang
bukan berasal dari tanaman teh (Camellia sinensis). Teh herbal dapat dibuat dari
kombinasi daun kering, biji, kayu, buah, bunga dan tanaman lain yang memiliki
manfaat. Teh herbal memiliki khasiat yang beragam dalam membantu pengobatan
suatu penyakit tergantung jenis herbal yang digunakan. Teh herbal lebih aman
dikonsumsi karena tidak mengandung alkaloid yang dapat mengganggu kesehatan
seperti kafein (Ravikumar, 2014).
Teh herbal merupakan produk minuman teh, baik dalam bentuk tunggal atau
campuran herbal. Selain dikonsumsi sebagai minuman biasa, teh herbal juga
dikonsumsi sebagai minuman yang berkhasiat untuk meningkatkan kesehatan.
Khasiat yang dimiliki setiap teh herbal berbeda-beda, tergantung bahan bakunya.
Campuran bahan baku yang digunakan merupakan herbal atau tanaman obat yang
secara alami memiliki khasiat untuk membantu mengobati jenis penyakit tertentu.
Teh herbal dapat dikonsumsi sebagai minuman sehat yang praktis tanpa
mengganggu rutinitas sehari-hari (Sunyoto, 2018).
Teh herbal mengandung zat antioksidan berupa polifenol yang berperan
penting dalam pencegahan berbagai macam penyakit. Polifenol dapat menetralisir
radikal bebas yang merupakan suatu produk sampingan dihasilkan dari proses
kimiawi dalam tubuh yang dapat mengganggu kesehatan (Fitrayana, 2014). Teh
herbal biasanya disajikan dalam bentuk kering seperti penyajian teh yang berasal
dari tanaman teh (Camellia sinensis). Kondisi pengeringan harus diperhatikan
7
untuk menghindari hilangnya zat-zat penting. Sehingga, proses pengeringan
menjadi kunci penting dalam keberhasilan pembuatan teh herbal (Fitrayana, 2014).
Berikut merupakan standar mutu teh kering:
Tabel 1. Standar Mutu Teh Kering
No. Jenis Uji Satuan Persyaratan
1. Keadaan air seduhan
1.1. Warna - Hijau kekuningan sampai
merah kecoklatan
1.2. Bau - Khas teh bebas bau asing
1.3. Rasa - Khas teh bebas bau asing
2. Kadar air %, b/b Maks. 8
3. Kadar ekstrak dalam air %, b/b Min. 32
4. Kadar abu total %, b/b Maks. 8
5. Kadar abu larut dalam air dari
abu total
%, b/b Min. 45
6. Kadar abu tak larut dalam
asam
%, b/b Maks. 1
7. Alkalinitas abu larut dalam air
(sebagai KOH)
%, b/b 1-3
8. Serat kasar %, b/b Maks. 16
9. Cemaran logam
9.1. Timbal (Pb) mg/kg Maks. 20
9.2. Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 150,0
9.3. Seng (Zn) mg/kg Maks. 40,0
9.4. Timah (Sn) mg/kg Maks. 40,0
9.5. Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0,03
10. Cemaran arsen (As) mg/kg Maks. 1,0
11. Cemaran mikroba
11.1. Angka lempeng total koloni/g Maks. 3x103
11.2. Bakteri Coliform APM/g < 3
Catatan : Jenis uji 4 sampai dengan 8 : adbk (atas dasar berat kering)
(Sumber : Badan Standarisasi Nasional, 2013)
Tanaman obat dalam bentuk kering yang diformulasikan menjadi teh herbal
dapat dimanfaatkan untuk konsumsi sehari-hari, skala rumah tangga maupun
industri. Berbagai herbal atau tanaman obat sebenarnya dapat diolah menjadi teh
herbal kering. Pengolahan semua jenis tanaman obat biasanya berbeda dalam hal
8
lama dan besarnya suhu saat pengeringan karena disesuaikan dengan karakteristik
bahan segar. Herbal kering tersebut selanjutnya dicampur dengan komposisi
tertentu sesuai dengan jenis teh herbal yang akan disajikan. Lalu diseduh dengan
air panas dan air seduhannya diminum. Pengolahan lanjutan dari teh herbal kering
biasanya dilakukan melalui proses ekstraksi menjadi ekstrak cair atau kental dan
proses enkapsulasi menjadi teh instan (Wahyuningsih, 2011).
2.2. Antioksidan sebagai Komponen Fungsional
Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat reaksi oksidasi
dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Antioksidan
berperan sebagai pemberi elektron, memiliki berat molekul yang kecil dan mampu
menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi dengan mencegah terbentuknya
radikal. Antioksidan juga merupakan suatu sistem imun dalam tubuh yang berperan
dalam menangkal kerusakan sel tubuh yang disebabkan oleh radikal bebas, yaitu
jika jumlah radikal bebas melebihi jumlah antioksidan alami dalam tubuh, maka
saat itulah antioksidan tambahan dari luar tubuh dibutuhkan (Winarsi, 2011).
Menurut Winarsi (2011) berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan
digolongkan menjadi 3 kelompok, yaitu :
1) Antioksidan primer, disebut juga antioksidan enzimatis. Antioksidan yang
tergolong antioksidan primer meliputi enzim superoksida dismutase (SOD),
katalase, dan glutation peroksidase (GSH-Px). Sebagai antioksidan, enzim-
enzim tersebut menghambat pembentukan radikal bebas dengan cara memutus
9
reaksi berantai (polimerisasi), kemudian mengubahnya menjadi produk yang
lebih stabil.
2) Antioksidan sekunder, disebut juga antioksidan eksogenus atau non-enzimatis.
Antioksidan sekunder meliputi vitamin E, vitamin C, karoten, flavonoid, asam
urat, bilirubin, dan albumin. Kerja sistem antioksidan non-enzimatik yaitu
dengan cara memotong reaksi oksidasi berantai dari radikal bebas atau dengan
cara menangkapnya. Akibatnya, radikal bebas tidak akan bereaksi dengan
komponen seluler.
3) Antioksidan tersier, meliputi enzim DNA-repair dan metionin sulfoksida
reduktase. Enzim-enzim ini berungsi dalam perbaikan biomolekuler yang rusak
akibat reaktvitas radikal bebas.
Berikut merupakan reaksi penangkapan radikal DPPH :
Gambar 1. Reaksi penghambatan radikal bebas oleh DPPH
(Winarsi, 2011)
Pengujian aktivitas antioksidan dapat dilakukan secara in vitro dengan
metode DPPH (2,2 difenil-1-pikrilhidrazil). Metode DPPH memberikan informasi
reaktivitas senyawa yang diuji dengan suatu radikal stabil. DPPH memberikan
serapan kuat pada panjang gelombang 517 nm dengan warna violet gelap. Proses
10
reduksi ditandai dengan perubahan atau pemudaran warna larutan dari warna ungu
pekat (senyawa radikal bebas) menjadi warna kuning (senyawa radikal bebas yang
tereduksi oleh antioksidan). Semakin kuning perubahan warna larutan, maka
aktivitas antioksidan yang dihasilkan dari suatu senyawa akan semakin kuat
(Lutfiah, 2015).
Pemudaran warna pada larutan akan mengakibatkan peningkatan nilai
absorbansi sinar tampak dari spektrofotometer, sehingga semakin tinggi nilai
absorbansi maka semakin besar aktivitas antioksidan yang dihasilkan. Penetapan
aktivitas antioksidan ditunjukkan dengan nilai IC50 sebagai besarnya konsentrasi
larutan uji yang dapat meredam DPPH (radikal bebas) sebanyak 50%. Semakin
rendah nilai IC50 yang dihasilkan menunjukkan semakin baik aktivitas antioksidan
dari sampel hasil pengujiannya (Damar dkk., 2014).
Metode DPPH menggunakan IC50 sebagai parameter untuk menentukan
konsentrasi senyawa antioksidan yang mampu menghambat 50% oksidasi.
Semakin kecil nilai IC50, maka semakin tinggi aktivitas antioksidan. Semakin kecil
nilai IC50 maka semakin besar potensi aktivitas antioksidan. Nilai IC50 ≤ 50 ppm
memiliki intensitas kekuatan antioksidan yang sangat kuat, > 50–200 ppm kuat, >
200 – 600 ppm lemah dan > 600 ppm sangat lemah (Molyneux, 2004).
Menurut Damar dkk. (2014) antioksidan memiliki sifat terdegradasi dan
teroksidasi dengan adanya faktor lingkungan yang disebabkan oleh suhu tinggi,
paparan cahaya, logam peroksida, teroksidasi oleh oksigen dan tidak mudah
terdispersi dalam bahan kering. Senyawa antioksidan sangat mudah mengalami
perubahan. Berbagai jenis pengolahan mengakibatkan hilangnya senyawa
11
antioksidan yang terdapat pada suatu sampel (Lutfiah, 2015).
2.3. Flavonoid sebagai Antioksidan Alami
Flavonoid merupakan senyawa terbesar dari golongan fenol alam.
Flavonoid dimiliki oleh sebagian besar tumbuhan hijau dan biasanya terkonsentrasi
pada biji, buah, kulit buah, kulit kayu, daun, dan bunga. Bagi tumbuhan, senyawa
flavonoid berperan dalam pertahanan diri terhadap hama dan penyakit, interaksi
dengan mikrobia, dormansi biji, pelindung dari radiasi sinar UV. Manfaat flavonoid
antara lain untuk melindungi struktur sel, meningkatkan efektifitas vitamin C,
antiinflamasi, mencegah keropos tulang dan sebagai antibiotik (Haris, 2011).
Flavonoid berupa zat warna merah, ungu, biru, dan sebagian zat warna
kuning pada tumbuhan. Menurut Redha (2010), beberapa bentuk flavonoid adalah
isoflavon, antosianidin, flavan, flavonol, flavon dan flavonon. Flavonoid
mempunyai kerangka dasar dengan 15 atom karbon, dimana dua cincin benzen (C6)
terikat pada satu rantai propan (C3) sehingga membentuk suatu susunan (C6-C3-C6)
dengan struktur 1,3-diarilpropan.
Struktur kimia flavonoid dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Struktur flavonoid
(Redha, 2010)
12
Flavonoid merupakan senyawa polar karena mempunyai sejumlah gugus
hidroksil sehingga akan larut dalam pelarut polar seperti etanol, metanol, butanol,
air. Sebaliknya, aglikon flavonoid yang kurang polar seperti isoflavon, flavanon
dan flavon serta flavonol yang termetoksilasi cenderung lebih mudah larut dalam
pelarut seperti eter dan kloroform. Flavonoid efektif digunakan sebagai antioksidan
dengan cara mendonasikan atom hidrogennya atau melalui kemampuannya dalam
mengkelat logam. Semakin banyak substitusi gugus hidroksi pada flavonoid, maka
aktivitas antiradikalnya semakin besar (Haris, 2011).
Flavonoid terbukti mempunyai efek biologis antioksidan yang sangat kuat
sebagai antioksidan yang dapat menghambat penggumpalan keping-keping sel
darah, merangsang pembentukan produksi nitrit oksida (NO) yang berperan
melebarkan pembuluh darah dan juga menghambat pertumbuhan sel kanker
(Winarsi, 2011). Flavonoid memiliki sifat rentan terhadap proses pemanasan.
Proses pemanasan dapat mengakibatkan penurunan kadar total flavonoid sebesar
15% ̶ 78%. Flavonoid merupakan senyawa fenol yang memiliki sistem aromatik
yang terkonjugasi. Sistem aromatik terkonjugasi mudah rusak pada suhu tinggi
(Saadah dkk., 2017).
Analisa kandungan total flavonoid dilakukan dengan menambahkan
perekasi AlCl3 yang akan membentuk ikatan kompleks dengan gugus hidroksi dari
senyawa flavonoid. Perubahan ini diketahui melalui nilai absorbansi pada daerah
sinar tampak yang diukur menggunakan spektrofotometer. Perubahan warna secara
visual menjadi kuning pekat menunjukkan banyaknya kandungan senyawa
flavonoid dalam suatu bahan (Lutfiah, 2015).
13
2.4. Triterpenoid sebagai Senyawa Fungsional
Triterpenoid adalah senyawa metabolit sekunder turunan terpenoid yang
kerangka karbonnya berasal dari enam satuan isoprena (2-metilbuta-1,3-diene)
yaitu kerangka karbon yang dibangun oleh enam satuan C5 dan diturunkan dari
hidrokarbon C asiklik, yaitu skualena. Senyawa ini berbentuk siklik atau asiklik dan
sering memiliki gugus alkohol, aldehida, atau asam karboksilat (Widiyati, 2006).
Senyawa golongan triterpenoid menunjukkan aktivitas farmakologi yang
signifikan, seperti antiviral, antibakteri, antiinflamasi, sebagai inhibisi terhadap
sintesis kolesterol dan sebagai antikanker (Nurlaily et al., 2010). Sedangkan bagi
tumbuhan yang mengandung senyawa triterpenoid terdapat nilai ekologi karena
senyawa ini bekerja sebagai antifungus, insektisida, antipemangsa, antibakteri dan
antivirus (Widiyati, 2006).
Uji kualittaif triterpenoid dilakukan menggunakan metode Lieberman–
Burchard (LB) yaitu 2 mg ekstrak kering dilarutkan dalam anhidrida asetat,
dipanaskan sampai mendidih, didinginkan dan kemudian 1 ml H2SO4 pekat
ditambahkan pada tabung reaksi, terbentuk warna merah atau ungu menunjukkan
kandungan triterpenoid. Secara kuantitatif dapat diketahui menggunakan
kromatografi lapis tipis (Harborne, 1996).
2.5. Pegagan (Centella asiatica L. Urban) sebagai Herbal Potensial
Pegagan termasuk tanaman herba tahunan, tanpa batang dengan rimpang
pendek dan stolon yang melata, panjang 10 cm ̶ 80 cm. Tumbuhan ini berdaun
tunggal, tersusun dalam roset yang terdiri dari 2 ̶ 10 daun, tangkai daun panjang
14
sampai 50 mm, helai daun berbentuk ginjal, lebar, bundar dan garis tengah 1 cm ̶ 7
cm, pinggir daun bergeringgit terutama ke arah pangkal daun (Seevaratnam et al.,
2012).
Gambar 3. Tanaman pegagan
(Sumber : Yulianti, 2018)
Pegagan mengandung berbagai zat kimia yang bermanfaat bagi manusia.
Menurut Rahman et al. (2013) ekstrak pegagan memiliki aktivitas antioksidan yang
sangat kuat dengan nilai IC50 sebesar 35,56 ppm. Senyawa antioksidan yang
terkandung dalam pegagan terdiri dari antioksidan enzim maupun antioksidan
vitamin. Antioksidan enzim pada pegagan terdiri dari superoksida dismutase,
katalase dan gluthation peroxidase. Sedangkan antioksidan vitamin pada pegagan
berupa vitamin C dan vitamin E. Selain itu, aktivitas antioksidan pada pegagan juga
dihasilkan oleh ß karoten dan flavonoid. Kandungan flavonoid pada ekstrak
pegagan sebesar 14,6 µg/g (Rahman et al., 2013).
Flavonoid merupakan senyawa antioksidan alami. Flavonoid dan fitosterol
merupakan kandungan gizi yang terdapat dalam pegagan. Flavonoid pada pegagan
terdiri dari kuersetin dan kaempferol. Senyawa-senyawa fitosterol yang terdapat
pada tumbuhan antara lain sitosterol, stigmasterol dan kampesterol. Ketiga senyawa
fitosterol tersebut terbukti mampu bekerja baik untuk mengurangi kolesterol total
15
dan LDL kolesterol dalam darah (Seevaratnam et al., 2012).
Disamping senyawa antioksidan, pegagan juga mengandung saponin seperti
asiaticosida, asam asiatat, dan madecassoside, triterpen acid, carotenoid, garam
K, Na, Ca, Fe, fosfor, vallerine, tannin, resin, pektin, gula, minyak lemak, kalsium
oksalat dan amygladin. Bahan-bahan aktif tersebut secara umum terdapat pada
organ daun tepatnya pada jaringan palisade parenkim (Nurlaily et al., 2012).
Kandungan triterpenoid saponin dalam pegagan berkisar 1% ̶ 8%. Unsur
utama dalam triterpenoid saponin adalah asiatikosida dan madekassosida.
Asiatikosida mampu bekerja sebagai detoksifikasi pada hati dan merupakan marker
dalam penentuan standar bahan baku pada pegagan. Madekassosida memiliki peran
penting karena mampu memperbaiki keruskan sel dengan merangsang sintesis
kolagen (Mahendra, 2006). Kandungan triterpenoid dalam ekstrak pegagan sebesar
6,17 mg/mL yang terdiri dari senyawa asam asiatik, asam madekasik, asiatikosida
dan madekasosida (Rahman et al., 2013).
Daun pegagan banyak dimanfaatkan sebagai tanaman obat, sayuran segar,
lalapan atau dibuat jus. Penggunaan pegagan dapat meningkatkan fungsi kognitif
dengan cara memperbaiki sistem daya ingat bagi orang-orang yang mengalami
kemunduran fungsi otak dan daya ingat. Masyarakat Sunda biasa mengkonsumsi
antanan (pegagan) sebagai lalapan terutama bagi orang yang menderita kepikunan.
Pegagan bersifat Brain Tonic sehingga sering disebut sebagai makanan otak.
Pegagan mampu meningkatkan kemampuan mental, meningkatkan IQ dan
meningkatkan kemampuan saraf memori (BPOM RI, 2010).
Penelitian ilmiah menunjukkan khasiat pegagan diantaranya merevitalisasi
16
sel tubuh dan kesuburan wanita, revitalisasi pembuluh darah, menurunkan tekanan
darah, mengatasi peradangan, efek anti-inflamasi, anti-neoplastik, efek pelindung
tukak lambung, menurunkan tekanan dinding pembuluh, mempercepat
penyembuhan luka, demam, penambah nafsu makan, menyegarkan badan,
peningkatan kecerdasan, serta mengobati lepra, gangguan perut dan rematik
(BPOM RI, 2010).
2.6. Karakteristik, Kandungan Kimia dan Manfaat Bunga Krisan
Krisan merupakan tanaman bunga hias berupa perdu dengan sebutan lain
seruni atau bunga emas yang berasal dari dataran Cina. Secara morfologi pada
gambar 4. tanaman krisan berbatang tegak, berstruktur lunak, dan berwarna hijau
dengan 5 macam bentuk bunga, yaitu bungga tunggal, anemone, pompon, dekoratif,
dan besar. Selaput buah krisan ketika masih muda berwarna putih, dan berwarna
hitam setelah tua. Biji yang dihasilkan dari buah krisan berbentuk lonjong,
berukuran kecil dan berwarna hitam (Steenis, 1978 dikutip Martini, 2014).
Gambar 4. Morfologi tanaman krisan
(Sumber: Yulianti, 2018)
Kandungan kimia daun dan bunga krisan adalah saponin, disamping itu
17
daunnya mengandung alkaloida dan tanin, sedang bunganya juga mengandung
karoten dan minyak atsiri. Beberapa kandungan senyawa alaminya yang berpotensi
seperti flavonoid, triterpenoid, dan caffeoylquinic acid derivatives telah diisolasi
pada beberapa penelitian sebelumnya (Prakash et al., 2014).
Menurut Sun et al. (2010) bunga krisan mengandung beberapa senyawa
terpenoid dan flavonoid. Berikut ini kandungan flavonoid pada ekstrak bunga
krisan (C. morifolium Ramat).
Tabel 2. Kandungan flavonoid pada ekstrak bunga krisan
Senyawa Flavonoid Kadar (mg/ g)
Vitexin-2-O- rhamnoside 0.10 ± 0.01
Quercetin-3-galactoside 2.46 ± 0.02
Luteolin-7-glucoside 50.59 ± 0.94
Quercetin-3- glucoside 1.33 ± 0.09
Quercitrin 21.38 ± 0.80
Myricetin 2.13 ± 0.08
Luteolin 5.22 ± 0.48
Apigenin 0.70 ± 0.10
Kaempferol 0.14 ± 0.02
Total 83.95 ± 2.77
(Sumber: Sun et al., 2010)
Kegunaan tanaman krisan yang utama adalah sebagai bunga hias, yaitu
bunga pot dan bunga potong. Selain sebagai bunga hias, krisan merupakan
tumbuhan obat tradisional. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta telah
mengembangkan krisan menjadi teh krisan, keripik krisan, permen dan penghasil
racun serangga. Bunga krisan bermanfaat untuk meredakan influenza dan demam
serta mencegah sakit tenggorokan (BPTP Yogyakarta, 2009)
Bunga krisan (Chrysanthemum morifolium Ramat) juga sudah lama
digunakan untuk mengobati berbagai penyakit, seperti demam, sakit kepala, batuk,
dan gangguan penglihatan secara tradisional. Krisan (Chrysanthemum indicum L.)
18
telah diketahui dan digunakan sebagai teh herbal di Thailand dan Tiongkok. Bahkan
tanaman ini telah terkenal sebagai tanaman yang bermanfaat dalam menjaga
kesehatan, seperti teh bunga krisan (Xie et al., 2009).
Bunga krisan dapat mengobati influenza bahkan membersihkan liver
terutama jika dikonsumsi dalam bentuk teh. Teh bunga krisan dibuat melalui proses
pengeringan sebelum diseduh dengan air panas. Teh bunga krisan juga
dimanfaatkan sebagai bahan relaksasi, menyembuhkan panas dalam, melancarkan
peredaran darah serta menyerap racun dalam tubuh. Hal ini disebabkan karena
kandungan antioksidan dalam bunga potong krisan. Bunga potong krisan juga
mengandung minyak atsiri yang dapat digunakan sebagai pengharum ruangan dan
bahan anti serangga (Direktorat Budidaya dan Pascapanen Florikultura, 2013).
2.7. Teh Herbal Campuran Daun Pegagan dan Bunga Krisan
Pembuatan teh herbal campuran daun pegagan dan bunga krisan dilakukan
melalui tahap pemetikan daun segar, pelayuan, pengeringan dan pencampuran
(Anggraini dkk., 2014).
Berikut adalah tahapan pembuatannya:
1. Pemetikan dan seleksi
Pemetikan daun pegagan dilakukan terhadap daun muda berwarna hijau
sedang hingga hijau tua dengan ukuran diameter daun 3 cm ̶ 5 cm. Pemetikan bunga
krisan dilakukan terhadap bunga kuning berukuran sedang. Tujuan pemetikan ini
adalah sebagai pengadaan bahan baku.
2. Pencucian
19
Tahapan ini bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang terdapat pada
permukaan bahan kemudian ditiriskan hingga air yang menempel pada bahan
berkurang.
3. Pelayuan
Proses pelayuan bertujuan untuk menginaktifkan enzim polifenol oksidase
dan menurunkan kandungan air dalam bahan. kondisi pelayuan dilakukan pada
suhu dan waktu tertentu hingga dapat menurunkan kadar air sebanyak 30% ̶ 40%
dari kadar air awal bahan.
4. Pengeringan
Pengeringan adalah cara untuk mengeluarkan sebagian air dari suatu bahan
pangan dengan cara menguapkan sebagian besar air yang terkandung dalam bahan
pangan dengan menggunakan energi panas. Tujuan pengeringan adalah untuk
mendapatkan produk yang tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam
waktu yang lebih lama. Berkurangnya kadar air dan terhentinya reaksi enzimatik
akan mencegah penurunan mutu atau perusakan simplisia (Prasetio dan Inoriah,
2013).
Setiap komoditas pangan memiliki suhu dan waktu terbaik yang berbeda-
beda untuk dilakukan pengeringan. Menurut Muchtadi dan Sugiono (2013) suhu
pengeringan tergantung pada jenis herbal dan cara pengeringannya. Kemampuan
bahan untuk melepaskan air dari bagian permukaan semakin besar seiring dengan
peningkatan suhu udara pengering yang digunakan. Herbal dapat dikeringkan pada
suhu 300C ̶ 900C, tetapi suhu terbaik adalah tidak melebihi 600C (Kencana, 2015).
Bahan pangan yang dikeringkan umumnya mempunyai nilai gizi yang lebih
20
rendah dibandingkan dengan bahan segarnya. Selama pengeringan juga dapat
terjadi perubahan warna, tekstur, aroma, dan karakteristik lainnya. Perubahan-
perubahan tersebut dapat diatasi dengan cara memberikan perlakuan pendahulaun
terhadap bahan pangan yang akan dikeringkan. Setelah dikeringkan, warna bahan
pangan biasanya berubah menjadi coklat disebabkan oleh reaksi-reaksi browning,
baik enzimatik maupun non enzimatik (Muchtadi dan Sugiono, 2013).
Reaksi pencoklatan enzimatik dipengaruhi oleh enzim yang terdapat dalam
bahan pangan. Enzim yang bertanggung jawab dalam reaksi pencoklatan enzimatis
adalah oksidase atau fenolase, fenoloksidase, tirosinase, polifenolase, atau
katekolase. Enzim-enzim tersebut dalam tanaman dikenal sebagai polifenol
oksidase yang jika dibiarkan di udara terbuka akan bereaksi dengan oksigen
sehingga menyebabkan reaksi oksidase yang dikatalis oleh enzim polifenol
oksidase (Winarno dan Kristiono, 2016).
Pencoklatan pada bahan pangan dapat juga disebabkan oleh reaksi Maiilard.
Reaksi maiilard terjadi karena reaksi kimia asam amino dengan karbohidrat
khususnya pereduksi gula. Jika gugus karbonil dari glukosa bereaksi dengan gugus
nukleofilik grup amino dari protein, maka akan menghasilkan polimer nitrogen
(melanoidin) yang berwarna coklat (Winarno, 2007).
Zat warna atau pigmen pada tanaman sebagian besar terdiri dari klorofil dan
karotenoid. Pigmen dapat mengalami degradasi terutama karena pemanasan.
Klorofil akan mengalami pembongkaran dan berubah menjadi feofitin karena
kehilangan ion Mg2+ sehingga warna yang tampak bukan kehijauan melainkan hijau
kecoklatan. Menurut Clydedale dan Francis (1976) dikutip Rachmawati (2015),
21
reaksi feofitinasi merupakan reaksi pembentukan feofitin yang menghasilkan warna
hijau kecoklatan.
5. Pencampuran/ formulasi
Proses ini bertujuan untuk mendapatkan efek sinergis antara daun pegagan
dan bunga krisan sebagai minuman fungsional. Kandungan bioaktif pada setiap
bahan herbal berbeda dengan bahan lainnya, sehingga diharapkan dapat
meningkatkan khasiat dan fungsi secara fisiologis. Daun pegagan dan bunga krisan
mengandung senyawa flavonoid dan triterpenoid. Flavonoid berperan sebagai
antioksidan sedangkan triterpenoid memberikan efek fisiologis dalam
meningkatkan fungsi kognitif.
kelemahan dari daun pegagan adalah adanya kandungan vallerin yang
memberi rasa pahit dan sepat, sehingga penambahan bunga krisan diharapkan dapat
menutupi senyawa vallerin dengan kandungan minyak atsiri dan senyawa volatil
lainnya yang dapat memperkaya cita rasa dan aroma dari teh herbal yang dihasilkan.
2.8. Ekstrak Teh Herbal Campuran Daun Pegagan dan Bunga Krisan
Ekstrak adalah sediaan kering, kental atau cair yang diperoleh dengan
mengekstraksi senyawa aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani
menggunakan pelarut yang sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut
diuapkan dan massa serbuk yang tersisa diperlakukan sedemikian rupa sehingga
memenuhi standar baku yang telah ditetapkan (Voight, 1994).
Berdasarkan sifat-sifatnya, ekstrak dapat dikelompokkan menjadi:
22
a. Ekstrak cair (extractum fluidum) adalah ekstrak yang memiliki konsistensi cair
dan mudah dituang;
b. Ekstrak encer (extractum tenue) adalah ekstrak yang memiliki konsistensi
seperti madu dan mudah dituang;
c. Ekstrak kental (extractum spissum) adalah ekstrak yang memiliki konsistensi
liat dalam keadaan dingin, tidak dapat dituang dengan kandungan air mencapai
30%;
d. Ekstrak kering (extractum siccum) adalah ekstrak yang memiliki konsistensi
kering dan mudah digosokkan dengan kandungan lembab dan tidak lebih dari
5% (Voight, 1994).
Ekstrak teh herbal campuran daun pegagan dan bunga krisan dibuat dengan
proses maserasi menggunakan pelarut etanol 70%. Proses ekstraksi ini bertujuan
untuk mendapatkan kandungan fitokimia terutama antioksidan dan flavonoid yang
tinggi sehingga memiliki potensi yang baik sebagai suplemen ataupun minuman
fungsional.
2.8.1. Ekstraksi Senyawa Aktif dan Pelarutnya
Ekstraksi (penyarian) adalah proses pemisahan dimana komponen-
komponen terlarut dari suatu campuran dipisahkan dari komponen yang tidak
terlarut dengan pelarut yang sesuai (Leniger dan Beverloo, 1975 dikutip Djamil,
2017). Prinsip ekstraksi adalah melarutkan senyawa polar dalam pelarut polar dan
senyawa non polar dalam senyawa non polar. Faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap proses ekstraksi adalah lama ekstraksi, suhu, jenis pelarut, titik didih, sifat
toksik dan sifat korosif terhadap pelaratan ekstraksi (Khopkar, 2008).
23
Proses ekstraksi dirancang untuk mengurangi konsentrasi komponen di
dalam suatu aliran dan meningkatkan konsentrasi komponen tersebut di dalam
aliran lainnya. Sebelum dilakukan ekstraksi maka tumbuhan dapat dikeringkan
terlebih dahulu. Pengeringan tersebut harus dilakukan dalam keadaan terkontrol
untuk mencegah terjadinya perubahan kimia yang terlalu banyak (Harborne, 1996).
Rusdi (1988) menyatakan bahwa simplisia tumbuhan dikeringkan pada
temperatur kamar dan terhindar dari sinar matahari langsung untuk selanjutnya
dihaluskan sampai derajat kehalusan yang sesuai dan diekstraksi dengan pelarut
organik. Persiapan bahan baku yang mencakup pengeringan bahan sampai kadar air
tertentu dan penggilingan, dimaksudkan untuk mempermudah proses ekstraksi
yang akan dilakukan. Bahan yang akan diekstraksi sebaiknya berukuran seragam
untuk mempermudah kontak antar bahan dengan pelarut sehingga ekstraksi berjalan
dengan baik.
Simplisia daun pegagan dan bunga krisan mengandung zat aktif yang dapat
larut dan yang tidak dapat larut dalam pelarut. Zat aktif tersebut misalnya alkaloid,
glikosida, terpenoid, flavonoid, dan lain-lain. Selama proses ekstraksi, bahan aktif
dari suatu tumbuhan tergantung pada tekstur, kadar air, bahan dan jenis senyawa
yang diisolasi (Harborne, 1996).
Proses ekstraksi daun pegagan untuk mendapatkan zat antioksidan biasanya
menggunakan proses maserasi. Maserasi merupakan teknik untuk mengekstrak
simplisia yang mengandung senyawa kimia yang mudah larut dalam cairan pelarut.
Prinsip maserasi adalah perendaman serbuk simplisia dalam cairan pelarut yang
sesuai pada temperatur kamar dan terlindung dari cahaya (Khopkar, 2008).
24
Metode maserasi sangat menguntungkan karena mudah dan sederhana
pengerjaannya, pengaruh suhu dapat dihindari, suhu yang tinggi memungkinkan
terdegradasinya senyawa-senyawa metabolit sekunder. Metode ini juga digunakan
untuk mengekstrak sampel yang relatif mudah rusak oleh panas sedangkan
kerugiannya adalah menggunakan pelarut dalam jumlah banyak (Khopkar, 2008).
Tahapan-tahapan pada proses maserasi adalah sebagai berikut:
a. Cairan pelarut akan masuk ke dalam sel sehingga menyebabkan dinding sel
membengkak;
b. Senyawa yang terdapat pada dinding sel akan lepas dan larut karena adanya
perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dan di luar sel;
c. Terjadinya proses difusi yaitu senyawa yang konsentrasinya tinggi akan
terdesak keluar dan diganti oleh pelarut dengan konsentrasi rendah.
Peristiwa ini berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi antara
larutan di dalam dan di luar sel;
d. Endapan yang diperoleh dipisahkan dan filtratnya diuapkan.
Pemilihan pelarut dalam proses maserasi akan memberikan efektivitas yang
tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam dalam pelarut
tersebut. Syarat utama pelarut untuk ekstraksi senyawa organik adalah non toksik,
tidak mudah terbakar (nonflammable), mudah untuk diuapkan, dan harga relatif
murah (Khopkar, 2008).
Pelarut untuk ekstraksi senyawa organik terdiri dari beberapa jenis yaitu :
1. Golongan pelarut yang memiliki densitas lebih rendah dari air, seperti dietil
eter, etil asetat, dan hidrokarbon (light petroleum, heksan, dan toluene);
25
2. Golongan pelarut yang mengandung senyawa klorin, seperti diklorometan.
Pelarut ini memiliki toksisitas yang rendah, tetapi mudah membentuk emulsi;
3. Golongan pelarut yang memiliki densitas lebih tinggi dari air, seperti metanol,
etanol, etil asetat, aseton, asetonitril dengan air atau HCl.
Senyawa alkoholik seperti etanol, metanol, dan propanol merupakan pelarut
yang digunakan untuk mengekstraksi semua golongan flavonoid. sedangkan pelarut
yang lebih polar digunakan untuk mengekstraksi glikosida flavonoid (Miryanti,
2011).
2.8.2. Penguapan dan pemekatan
Penguapan adalah proses terbentuknya uap air dari permukaan cairan.
Faktor-faktor yang memepengaruhi penguapan adalah suhu, waktu, kelembaban,
cara penguapan dan konsentrasi. Kecepatan terbentuknya uap tergantunga atas
terjadinya difusi uap melalui lapisan batas di atas cairan yang bersangkutan,
kecepatan penguapan tergantung pada kecepatan pemindahan panas (Depkes,
1986).
Pengentalan dapat dilakukan melalui penguapan dengan alat Vaccum rotary
evaporator dimana ekstrak cair dapat diubah menjadi bentuk esktrak kental yang
konsistensinya liat dan kandungan air menjadi lebih rendah dibandingkan dengan
estrak cair (Voight, 1994). Prinsip alat vaccum rotary evaporator adalah putaran
labu dalam sebuah pemanas pada temperatur dan kecepatan putar tertentu, cairan
yang terkandung dalam ekstrak akan diuapkan. Pengaturan kedalaman celupan ke
dalam penangas air, suhu penangas, hampa udara dan suhu pendingin akan
menentukan tercapainya kondisi optimal sehingga proses pengentalan ekstrak dapat
26
berlangsung cepat dan dalam temperatur yang tidak terlalu tinggi (Voight, 1994).
2.9. Warna sebagai Karakteristik Fisik pada Ekstrak Teh Herbal
Karakteristik fisik dapat diamati dari intensitas warna yang dihasilkan suatu
bahan atau produk. Warna merupakan sifat suatu bahan pangan yang dianggap
berasal dari penyebaran spektrum sinar. Warna bukan merupakan suatu zat atau
benda melainkan suatu pantulan karena adanya rangsangan dari seberkas energi
radiasi yang jatuh ke indera mata. Intensitas warna terbagi menjadi tiga parameter
yaitu L*, a* dan b* (Winarno, 2007).
Parameter nilai L* merupakan atribut yang menunjukkan tingkat kecerahan
suatu bahan atau produk. Nilai L* memiliki kisaran nilai 0 ̶ 100, dimana nilai L*
yang mendekati 0 menunjukkan sampel memiliki kecerahan rendah (gelap),
sedangkan nilai L* yang mendekati 100 menunjukkan sampel memiliki kecerahan
tinggi (terang) (Hutching, 1999).
Nilai a* menunjukkan derajat kemerahan atau kehijauan suatu sampel.
Notasi a* menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai a*
positif dari 0 sampai +80 untuk warna merah dan nilai a* negatif dari 0 sampai -80
untuk warna hijau (Hutching, 1999).
Nilai b* menunjukkan derajat kekuningan atau kebiruan suatu sampel.
Notasi b* menyatakan warna kromatik campuran kuning-biru dengan nilai b*
positif dari 0 sampai +70 untuk warna kuning dan nilai b* negatif dari 0 sampai -
70 untuk warna biru (Hutching, 1999).
27
Berdasarkan nilai a* dan nilai b*, dapat diperoleh nilai 0HUE sebagai
atribut yang menunjukkan derajat visual warna yang terlihat. Nilai 0HUE diperoleh
dari hasil perhitungan invers tangen perbandingan antara nilai b* dan nilai a*
(Hutching, 1999). Nilai 0HUE yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan
diagram kisaran daerah warna nilai 0HUE sehingga dapat diketahui warna dari suatu
bahan pangan.