variabilitas arus, suhu, dan angin di perairan … · yang relatif tinggi dan terus menerus...
TRANSCRIPT
VARIABILITAS ARUS, SUHU, DAN ANGIN
DI PERAIRAN BARAT SUMATERA SERTA INTER-RELASINYA
DENGAN INDIAN OCEAN DIPOLE MODE (IODM) DAN EL NINO
SOUTHERN OSCILLATION (ENSO)
ASYARI ADISAPUTRA
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
ii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
VARIABILITAS ARUS, SUHU, DAN ANGIN DI PERAIRAN BARAT
SUMATERA SERTA INTER-RELASINYA DENGAN INDIAN OCEAN DIPOLE
MODE (IODM) DAN EL NINO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO)
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk
apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi
yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir
Skripsi ini.
Bogor, Maret 2011
Asyari Adisaputra
C54054101
iii
RINGKASAN
ASYARI ADISAPUTRA. Variabilitas Arus, Suhu dan Angin di Perairan Barat
Sumatera dan Inter-Relasinya dengan Indian Ocean Dipole Mode (IODM)
dan El Nino Southern Oscilation (ENSO). Dibimbing oleh MULIA PURBA.
Di Samudera Hindia terbentuk sistem osilasi yang dikenal dengan Indian Ocean Dipole Mode (IODM). IODM merupakan fenomena yang disebabkan karena terbentuknya dua kutub anomali SPL (suhu permukaan laut) di perairan timur Samudera Hindia dan perairan barat Samudera Hindia (Saji et al., 1999). Di Samudera Pasifik juga terbentuk sistem osilasi yang dikenal dengan El Nino Southern Oscillation (ENSO). Adanya kedua fenomena ini mempengaruhi fluktuasi arus, suhu air laut dan angin di perairan barat Sumatera.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis variabilitas arus dan suhu di perairan barat Sumatera pada kedalaman 5, 25, 55, 75, 125, 155, 175, 250, 446, dan 617 meter pada periode Januari 1979 hingga Desember 2007. Menganalisis variabilitas angin permukaan di perairan barat Sumatera pada periode Januari 1979 hingga Desember 2007. Serta mengkaji hubungan antara variabilitas arus, suhu dan angin permukaan di perairan barat Sumatera dengan IODM dan ENSO.
Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data bulanan rata-rata dengan jangka waktu antara Januari 1979 hingga Desember 2007. Data arus dan suhu diperoleh dari GFDL-NOAA (http://www.gfdl.noaa.gov). Data angin dari ESRL-NOAA (http://www.esrl.noaa.gov). Data Dipole Mode Index (DMI) diperoleh dari JAMSTEC (www.jamstec.go.jp) dan data Southern Oscillation Index (SOI) dari BOM (http://www.bom.gov.au). Stasiun data arus dan angin terletak pada koordinat 5°LS dan 100°BT, sedangkan data suhu terletak pada koordinat 5,26°LS dan 100,5°BT. Pengolahan data untuk menentukan variabilitas temporal arus, suhu, angin, DMI, dan SOI menggunakan perangkat lunak MATLAB R2008a, serta ODV 4.1 untuk melihat sebaran suhu berdasarkan kedalaman. Spektrum densitas energi dihitung dengan metode FFT (Fast Fourier Transform) untuk melihat periode fluktuasi yang dominan dari parameter arus, suhu, angin, DMI dan SOI. Korelasi silang arus, suhu, angin, DMI dan SOI, ditentukan dengan analisis Cross Spectral Analysis dengan bantuan perangkat lunak Statistica 6.0, untuk melihat hubungan antara parameter tersebut.
Pada saat Angin Muson Barat Laut arus dan angin bergerak ke arah tenggara, sedangkan suhu pada lapisan tercampur cenderung lebih tinggi dan lapisan termoklin menjadi lebih tipis. Pergerakan arus ke arah tenggara merupakan representasi dari Arus Sakal Samudera Hindia (ASH). Pada musim ini diduga ASH yang memasuki lokasi studi mendapatkan penyinaran matahari yang relatif tinggi dan terus menerus sehingga membawa massa air yang memiliki suhu yang relatif tinggi. Pada saat Angin Muson Tenggara arus bergerak ke arah barat laut dan barat daya dan angin bergerak ke arah barat laut, sedangkan suhu pada lapisan tercampur cenderung lebih rendah dan lapisan termoklin mejadi lebih tebal. Pergerakan arus ke arah barat laut dan barat daya diduga merupakan representasi dari ASH yang bertemu dengan Arus Khatulistiwa Selatan (AKS) di lokasi penelitian. Pada musim ini AKS yang mengaliri lokasi studi membawa massa air dingin yang berasal dari upwelling yang terjadi di selatan Jawa dan massa air dingin dari bagian utara Australia hingga perairan barat Sumatera. Pada saat Musim Peralihan arus cenderung
iv
bergerak ke arah tenggara, angin lebih cenderung bergerak ke arah barat laut dan suhu pada lapisan permukaan lebih tinggi.
Spektrum densitas energi dari arus dan suhu menunjukkan adanya fluktuasi setengah-tahunan (semi-annual), fluktuasi tahunan (annual), dan fluktuasi antar-tahunan (inter-annual). Spektrum densitas energi angin menunjukkan adanya fluktuasi tahunan, sedangkan spektrum densitas energi DMI dan SOI menunjukkan adanya fluktuasi antar-tahunan. Fluktuasi setengah tahunan lebih disebabkan oleh pengaruh dari perubahan arah Angin Muson yang bertiup di perairan barat Sumatera setiap 6 bulan. Selain itu adanya Jet Wyrtki yang berkembang pada Musim Peralihan ikut mempengaruhi fluktuasi setengah-tahunan pada komponen arus dan suhu (Wyrtki, 1973). Fluktuasi tahunan disebabkan oleh adanya perubahan kecepatan angin pada setiap musimnya. Sedangkan fluktuasi antar-tahunan disebabkan oleh adanya IODM dan SOI yang siklusnya berkisar antara 3 hingga 7 tahun (Saji et al., 1999 dan Kug dan Kang, 2005).
Berdasarkan hasil korelasi silang, fluktuasi komponen zonal arus pada kedalaman 5 meter mempengaruhi fluktuasi setengah-tahunan dan tahunan suhu pada kedalaman 5 meter. Fluktuasi komponen zonal angin di perairan barat Sumatera mempengaruhi terjadinya fluktuasi tahunan komponen zonal arus pada kedalaman 125 meter serta suhu pada kedalaman 5 dan 75 meter, selain itu fluktuasi antar-tahunan pada komponen zonal arus diperairan barat Sumatera juga dipengaruhi oleh adanya fluktuasi komponen zonal angin. Sementara itu fluktuasi komponen meridional angin mempengaruhi fluktuasi tahunan komponen meridional arus pada kedalaman 125 meter serta fluktuasi suhu pada kedalaman 75 meter. Fenomena IODM yang terjadi di perairan barat Sumatera mempengaruhi fluktuasi tahunan komponen zonal arus pada kedalaman 5 meter serta komponen zonal angin. Selain itu fluktuasi antar tahunan komponen zonal arus pada kedalaman 75 meter, suhu pada kedalaman 75 dan 125 meter serta komponen meridional angin di perairan barat Sumatera juga merupakan pengaruh dari adanya fenomena IODM. Adanya fenomena ENSO di Samudera Pasifik juga memiliki pengaruh terhadap fluktuasi arus, suhu dan angin di perairan barat Sumatera. Fenomena ENSO mempengaruhi terjadinya fluktuasi antar-tahunan pada komponen meridional arus pada kedalaman 125 meter. Fluktuasi antar-tahunan suhu pada kedalaman 75 meter serta komponen zonal angin juga dipengaruhi oleh fenomena ENSO.
v
© Hak cipta milik Asyari Adisaputra, tahun 2011
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengurangi dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari
Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam
bentuk apapun, baik cetak, fotocopy, microfilm, dan sebagainya.
vi
VARIABILITAS ARUS, SUHU, DAN ANGIN
DI PERAIRAN BARAT SUMATERA SERTA INTER-RELASINYA DENGAN
INDIAN OCEAN DIPOLE MODE (IODM) DAN EL NINO SOUTHERN
OSCILLATION (ENSO)
Oleh:
ASYARI ADISAPUTRA
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan Fakultas Perikanan dan Ilmu
kelautan
SKRIPSI
DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2011
vii
LEMBARAN PENGESAHAN
Judul : VARIABILITAS ARUS, SUHU, DAN ANGIN DI
PERAIRAN BARAT SUMATERA DAN INTER-RELASI
DENGAN INDIAN OCEAN DIPOLE MODE (IODM) DAN
EL NINO SOUTHERN OSCILLATION (ENSO)
Nama : Asyari Adisaputra
NRP : C54054101
Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan
Menyetujui
Dosen Pembimbing,
Prof. Dr. Ir Mulia Purba, M.Sc
NIP. 19470818 197301 1 001
Mengetahui
Ketua Departemen,
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc
NIP. 19580909 198303 1 003
Tanggal lulus : 10 Februari 2011
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah,
serta inayah yang diberikan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Variabilitas Arus, Suhu, dan Angin di Perairan Barat Sumatera dan
Inter-Relasinya dengan Indian Ocean Dipole Mode (IODM) dan El Nino
Southern Oscillation (ENSO)”.
Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada:
1. Kedua orangtua, serta adik atas segala dukungan dan doanya.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Mulia Purba, M.Sc. selaku pembimbing yang telah sudi
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran selama penyusunan skripsi.
3. Bapak Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, M.Sc. dan Dr. Ir. Henry M. Manik, MT.
selaku penguji tamu atas kritik dan masukannya.
4. GFDL dan ESRL NOAA, JAMSTEC, dan BOM yang telah meyediakan data
yang digunakan dalam penelitian ini.
5. Bapak Mochammad Tri Hartanto, S.Pi atas bantuannya dalam pengolahan
data.
6. Rekan-rekan ITK 42 dan warga ITK atas bantuan, saran, dan
semangatnya.
7. Rekan-rekan Lab. Data Processing Oseanografi yang telah membantu dan
memberikan saran dalam penyusunan skripsi.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Penulis
berharap, skripsi ini dapat memberikan kontribusi informasi dan wawasan yang
berguna bagi penulis dan pihak yang membacanya.
Bogor, Maret 2011
Asyari Adisaputra
ix
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR ISI ................................................................................................. ix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xi
DAFTAR TABEL .......................................................................................... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiv
1. PENDAHULUAN ................................................................................. 1 1.1. Latar Belakang ............................................................................. 1
1.2. Tujuan ......................................................................................... 2
2. TINJAUAN PUSTAKA .......................................................................... 3
2.1. Arus .............................................................................................. 3
2.2. Suhu ............................................................................................. 7
2.3. Angin ............................................................................................ 9
2.4. Indian Ocean Dipole Mode ........................................................... 10
2.5. El Nino Southern Oscillation (ENSO) ............................................ 13
2.6. Variabilitas Arus, suhu, Angin dan Kaitannya terhadap IODM
dan ENSO .................................................................................... 15
3. BAHAN DAN METODE ....................................................................... 17
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian ......................................................... 17
3.2. Data Penelitian ............................................................................. 17
3.2.1. Data Arus dan Suhu ........................................................... 18
3.2.2. Data Angin ........................................................................ 19
3.2.3. Data Dipole Mode Index (DMI) .......................................... 20
3.2.4. Data Southern Oscillation Index (SOI) ............................... 20
3.3. Pengolahan dan Analisis Data ..................................................... 21
3.3.1. Metode Validasi Data .............................................................. 21
3.3.2. Sebaran Temporal .................................................................. 23
3.3.3. Analisis Deret Waktu .............................................................. 23
3.3.3.1. Spektrum Densitas Energi .............................................. 23
3.3.3.2. Korelasi Silang ............................................................... 25
4. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 28
4.1. Validasi Data GFDL dengan Data Insitu (Buoy Triton) .................. 28
4.2. Sebaran Arus ................................................................................ 31
4.3. Sebaran Suhu ............................................................................... 39
4.4. Sebaran Angin .............................................................................. 46
4.5. Kaitan antara Sebaran Arus, Suhu, Angin dengan IODM
dan ENSO ................................................................................... 49
4.6. Spektrum Densitas Energi ............................................................ 57
4.6.1. Spektrum Densitas Energi Arus ......................................... 57
4.6.2. Spektrum Densitas Energi Suhu ........................................ 64
x
4.6.3. Spektrum Densitas Energi Angin ........................................ 69
4.6.4. Spektrum Densitas Energi DMI .......................................... 70
4.6.5. Spektrum Densitas Energi SOI ........................................... 71
4.7. Korelasi Silang ............................................................................. 72
4.7.1. Arus dengan Angin ............................................................ 72
4.7.2. Arus dengan DMI .............................................................. 74
4.7.3. Arus dengan SOI ............................................................... 75
4.7.4. Suhu dengan Arus ............................................................ 77
4.7.5. Suhu dengan Angin ........................................................... 78
4.7.6. Suhu dengan DMI ............................................................. 80
4.7.7. Suhu dengan SOI .............................................................. 82
4.7.8. Angin dengan DMI ............................................................ 83
4.7.9. Angin dengan SOI .............................................................. 84
5. KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 86 5.1. Kesimpulan ................................................................................... 86
5.2. Saran ............................................................................................ 89
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 90
LAMPIRAN ................................................................................................... 93
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Pola Arus bulan Februari ..................................................................... 4
2. Pola Arus bulan April, Juni, dan Agustus ............................................. 5
3. Pola Arus bulan Oktober dan Desember .............................................. 6
4. Equatorial Jet (Jet Wyrtki) di Samudera Hindia pada bulan Mei dan
Oktober ................................................................................................ 7
5. Fenomena IODM Positif dan Negatif .................................................... 12
6. Anomali Sea Surface Temperature (SST) dan Pola Kecepatan Angin
pada Kejadian Indian Ocean Dipole Mode ......................................... 13
7. Perbandingan Keadaan Normal dan Kondisi Ketika El Nino ................ 15
8. Peta Stasiun Lokasi Pengamatan ........................................................ 17
9. Langkah dalam Asimilasi Data ............................................................. 18
10. Grafik perbandingan antara data arus GFDL dengan data arus buoy
TRITON ............................................................................................... 29
11. Grafik perbandingan antara data suhu GFDL dengan data suhu buoy
TRITON ............................................................................................... 31
12. Stickplot Arus Perairan Barat Sumatera Periode 1979 - 1984 .............. 32
13. Stickplot Arus Perairan Barat Sumatera Periode 1985 - 1990 .............. 33
14. Stickplot Arus Perairan Barat Sumatera Periode 1991 - 1996 .............. 34
15. Stickplot Arus Perairan Barat Sumatera Periode 1997 - 2002 .............. 35
16. Stickplot Arus Perairan Barat Sumatera Periode 2003 - 2007 .............. 36
17. Sebaran Temporal Suhu berdasarkan Kedalaman Periode
1979 – 1984 ........................................................................................ 39
18. Sebaran Temporal Suhu berdasarkan Kedalaman Periode 1985 – 1990
1991 – 1996 dan 1997 - 2002 .............................................................. 40
19. Sebaran Temporal Suhu berdasarkan Kedalaman Periode
2003 – 2007 ........................................................................................ 41
20. Sebaran Temporal Suhu per Kedalaman Periode 1979 – 1984, 1985 –
1990 dan 1991 - 1996 .......................................................................... 43
21. Sebaran Temporal Suhu per Kedalaman Periode 1997 – 2002 dan
2003 - 2007 ......................................................................................... 44
22. Sebaran Temporal Angin Periode Januari 1979 – Desember 1984 ...... 46
23. Sebaran Temporal Angin Periode 1985 – 1990, 1991 – 1996 dan
1997 - 2002 ......................................................................................... 47
xii
24. Sebaran Temporal Angin Periode Januari 2003 – Desember 2007 ...... 48
25. Sebaran Temporal Arus, Angin, Suhu, DMI dan SOI Periode Januari 1979
– Desember 1984 ................................................................................ 51
26. Sebaran Temporal Arus, Angin, Suhu, DMI dan SOI Periode Januari 1985
– Desember 1990 ................................................................................ 52
27. Sebaran Temporal Arus, Angin, Suhu, DMI dan SOI Periode Januari 1991
– Desember 1996 ................................................................................ 53
28. Sebaran Temporal Arus, Angin, Suhu, DMI dan SOI Periode Januari 1997
– Desember 2002 ................................................................................ 54
29. Sebaran Temporal Arus, Angin, Suhu, DMI dan SOI Periode Januari 2003
– Desember 2007 ................................................................................ 55
30. Spektrum densitas energi arus kedalaman 5 meter dan 25 meter ........ 57
31. Spektrum densitas energi arus kedalaman 55 meter dan 75 meter ...... 58
32. Spektrum densitas energi arus kedalaman 125 meter dan 155 meter .. 59
33. Spektrum densitas energi arus kedalaman 175 meter dan 250 meter .. 60
34. Spektrum densitas energi arus kedalaman 446 meter dan 617 meter .. 61
35. Spektrum densitas energi suhu pada kedalaman 5, 25, 55, 75 meter .. 64
36. Spektrum densitas energi suhu pada kedalaman 125, 155, 175 dan 250
meter ................................................................................................... 65
37. Spektrum densitas energi suhu pada kedalaman 446 dan 617 meter .. 66
38. Spektrum densitas energi angin ........................................................... 69
39. Spektrum densitas energi Dipole Mode Index (DMI) ............................ 70
40. Spektrum densitas energi Southern Oscillation Index (SOI) ................. 71
xiii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Hasil Validasi antara Komponen Arus GFDL dengan Buoy Triton ........ 29
2. Hasil Validasi antara Komponen Suhu GFDL dengan Buoy Triton ....... 30
3. Hasil Spektrum Densitas Energi Arus .................................................. 62
4. Hasil Spektrum Densitas Energi Suhu ................................................. 67
5. Hasil Spektrum Densitas Energi Angin ................................................. 69
6. Hasil Spektrum Densitas Energi DMI ................................................... 70
7. Hasil Spektrum Densitas Energi SOI .................................................... 72
8. Hasil Korelasi silang antara Angin dengan Arus ................................... 73
9. Hasil Korelasi Silang antara DMI dengan Arus ..................................... 74
10. Hasil Korelasi Silang antara SOI dengan Arus ..................................... 76
11. Hasil Korelasi Silang antara Arus dengan Suhu ................................... 77
12. Hasil Korelasi Silang antara Angin dengan Suhu ................................. 80
13. Hasil Korelasi Silang antara DMI dengan Suhu .................................... 81
14. Hasil Korelasi Silang antara SOI dengan Suhu .................................... 82
15. Hasil Korelasi Silang antara DMI dengan Angin ................................... 83
16. Hasil Korelasi Silang antara SOI dengan Angin ................................... 84
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Grafik Korelasi Silang antara Angin dengan Arus................................. 94
2. Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Arus ................................... 102
3. Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Arus ................................... 110
4. Grafik Korelasi Silang antara Arus dengan Suhu ................................. 118
5. Grafik Korelasi Silang antara Angin dengan Suhu................................ 126
6. Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Suhu .................................. 134
7. Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Suhu .................................. 138
8. Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Angin ................................. 142
9. Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Angin .................................. 144
1
1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Samudera Hindia merupakan bagian dari Great Conveyor Belt yang
memiliki peranan penting dalam penyebaran massa air di lautan. Parameter
yang terdapat di Samudera Hindia seperti arus dan suhu memiliki peran dalam
penyebaran massa air tersebut. Pola arus dan suhu air laut di perairan
Samudera Hindia tidak selamanya stabil. Pada waktu tertentu arus dan suhu air
laut mengalami fluktuasi yang tentunya juga akan mempengaruhi pola arus dan
suhu yang terjadi di Samudera Hindia. Di wilayah Indonesia terbentuk suatu pola
angin yang berganti arah setiap 6 bulannya. Angin ini merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi fluktuasi setengah-tahunan serta tahunan arus dan
suhu di Samudera Hindia.
Di Samudera Hindia terbentuk suatu sistem osilasi yang dikenal dengan
nama Indian Ocean Dipole Mode (IODM). IODM sendiri merupakan fenomena
yang disebabkan karena terbentuknya dua kutub anomali suhu permukaan laut
(SPL) di perairan timur Samudera Hindia dan perairan barat Samudera Hindia
(Saji et al, 1999). Di Samudera Pasifik juga terbentuk sistem osilasi yang dikenal
dengan nama El Nino Southern Oscillation (ENSO). Sistem ini mencakup dua
fenomena (El Nino dan La Nina) yang mempengaruhi pola curah hujan dan
fluktuasi suhu air laut di perairan Indonesia. Indian Ocean Dipole Mode diduga
tidak memiliki hubungan dengan ENSO, namun terkadang antara Indian Ocean
Dipole Mode dengan ENSO dapat saling memicu satu sama lain. Menurut
Susanto et al. (2001) dan Godfrey (2001) terlihat bahwa pada saat terjadi El Nino
terlihat anomali SPL negatif di Samudera Hindia bagian timur (pantai barat
Sumatera) Adanya anomali ini memungkinkan angin muson tenggara yang
2
berhembus di perairan Indonesia menguat sehingga massa air yang terjadi di
selatan Jawa dan barat daya Sumatera mengalami peningkatan.
Fenomena IODM sendiri telah banyak dijadikan topik penelitian
menyangkut hubungannya dengan suhu dan angin yang terdapat di Samudera
Hindia, namun hubungan antara IODM dan variabilitas arus di Samudera Hindia
sendiri belum begitu banyak diketahui. Padahal arus sendiri memiliki peran yang
penting dalam sirkulasi massa air yang terjadi di suatu perairan. Hubungan
antara variabilitas suhu dan angin di Samudera Pasifik dengan ENSO juga telah
banyak diteliti, namun belum diketahui sejauh mana ENSO mempengaruhi pola
arus, suhu dan angin di Samudera Hindia.
Penelitian tentang variabilitas arus, suhu dan angin di perairan barat
Sumatera penting untuk dilakukan, agar dapat menelaah dinamika dan pengaruh
IODM di Samudera Hindia. Selain itu penelitian di perairan barat Sumatera
dapat digunakan dalam memperkirakan hubungan antara IODM yang terjadi di
Samudera Hindia dengan ENSO yang terjadi di Samudera Pasifik.
1.2. Tujuan
Tujuan penelitian ini adalah :
1) Menganalisis variabilitas arus dan suhu di perairan barat Sumatera pada
kedalaman 5, 25, 55, 75, 125, 155, 175, 250, 446, dan 617 meter pada
periode Januari 1979 hingga Desember 2007.
2) Menganalisis variabilitas angin permukaan di perairan barat Sumatera
pada periode Januari 1979 hingga Desember 2007.
3) Mengkaji hubungan antara variabilitas arus, suhu dan angin permukaan di
perairan barat Sumatera dengan IODM dan ENSO.
3
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Arus
Menurut Gross (1990), arus Laut merupakan proses pergerakan massa
air laut secara terus menerus menuju keseimbangan hidrostatis yang akan
menyebabkan perpindahan massa air laut secara horizontal atau vertikal.
Pergerakan massa air laut tersebut dinyatakan sebagai vektor yang memiliki
besaran arah dan kecepatan. Gaya yang bekerja pada arus laut ada dua, yaitu
gaya internal yang meliputi perbedaan densitas air laut, gradien tekanan
mendatar, dan gesekan lapisan air. Kemudian gaya eksternal yang meliputi gaya
gesekan angin, gaya gravitasi, gaya Coriolis, gaya akibat perbedaan tekanan
udara, gaya akibat pergeseran dasar samudera dan gaya tarik matahari dan
bulan yang dipengaruhi oleh tahanan dasar laut.
Secara khusus arus permukaan perairan Indonesia sangat dipengaruhi
oleh angin muson yang berubah setiap setengah tahun. Di belahan bumi bagian
selatan terjadi Angin Muson Tenggara pada bulan Juli hingga Agustus. Pada
musim ini arah arus permukaan bergerak dari timur ke barat, sedangkan pada
bulan November sampai Februari di belahan bumi bagian selatan bertiup Angin
Musion Barat Laut yang mengakibatkan angin permukaan bergerak ke arah
timur (Wyrtki, 1961).
Di Samudera Hindia pada belahan bumi bagian selatan terbentuk
pergerakan massa air yang tetap mengarah ke barat, yang dikenal dengan nama
Arus Khatulistiwa Selatan (AKS). Arus ini mengalir dari lepas pantai selatan
Jawa Timur hingga Madagaskar. Arus ini merupakan arus yang dangkal dengan
kedalaman kurang dari 200 meter. Pada saat terjadi Angin Muson Barat Laut
perairan selatan Jawa, Arus Khatulistiwa Selatan (AKS) didesak ke arah selatan.
Kemudian di perairan selatan Jawa berkembang arus yang berlawanan arah
4
dengan dengan AKS, arus yang terbentuk tersebut merupakan perpanjangan
arus dari pantai barat Sumatera. Arus ini dikenal sebagai Arus Pantai Jawa
(APJ). Arus ini mencapai puncaknya pada bulan Maret, dimana pada saat itu
merupakan akhir Muson Barat Laut (Wyrtki, 1961).
Selain AKS yang bergerak ke arah barat, pada bagian ekuator di
perairan barat Sumatera juga terdapat arus kuat yang bergerak ke arah timur
yang dikenal dengan Arus Sakal Khatulistiwa (Equatorial Counter Current) atau
disingkat ASH. ASH akan bertemu dengan AKS yang berasal dari timur di
perairan bagian barat/barat daya Sumatera. Pada bulan Desember ASH terjadi
di sekitar ekuator, namun ASH juga dapat mencapai wilayah 6°LS walaupun
pada daerah tersebut kecepatan ASH cenderung lebih lambat daripada ketika
terjadi di daerah ekuator. Menurut Wyrtki (1961) pada bulan Januari dan
Februari ketika terjadi Angin Muson Barat Laut, Arus Khatulistiwa Utara (North
Equatorial Current) di bagian utara ekuator akan mendesak ASH ke selatan pada
wilayah 3°LS hingga 5°LS. Selanjutnya pada bulan Maret dan April Arus
Khatulistiwa Utara di bagian utara ekuator melemah dan ASH akan meningkat
dan bergerak pada wilayah 3°LU hingga 5°LS. Pola arus di perairan Indonesia
ditampilkan pada Gambar 1, 2 dan 3.
Gambar 1. Pola Arus di Perairan Asia Tenggara pada Bulan Februari (Wyrtki, 1961)
5
Gambar 2. Pola Arus di Perairan Asia Tenggara pada Bulan a) April b) Juni c) Agustus (Wyrtki, 1961)
a)
b)
c)
6
Gambar 3. Pola Arus di Perairan Asia Tenggara pada Bulan a) Oktober b) Desember (Wyrtki, 1961)
Menurut Wyrtki (1973) pada saat pada bulan April-Mei dan September-
Oktober berkembang Jet Wyrtki (Indian Equatorial Jet) yang ditunjukkan pada
Gambar 4. Seperti terlihat pada Gambar 4 Jet Wyrtki bergerak ke arah timur di
wilayah tropis Samudera Hindia hingga perairan barat Sumatera. Jet Wyrtki
memiliki pengaruh cukup besar dalam merubah karakter massa air di Samudera
Hindia. Tomczak dan Godfrey (1994) berpendapat bahwa Jet Wyrtki juga terlihat
pada bulan Juni. Pada awal April hingga Mei kecepatan Jet Wyrtki dapat
mencapai 0,7 m/detik atau lebih. Sedangkan pada bulan September-Oktober Jet
Wyrtki menjadi lebih cepat dan puncaknya pada bulan November dengan
kecepatan 1,0 – 1,3 m/detik.
a)
b)
7
Gambar 4. Equatorial Jet (Jet Wyrtki) di Samudera Hindia pada bulan a) Mei dan b) Oktober (Wyrtki, 1973)
Wyrtki (1961) mengemukakan bahwa pada bulan Juli hingga Oktober,
Angin Muson Tenggara mendesak poros AKS hingga ke utara dan menyatu
dengan massa air yang berasal dari ASH. Poros AKS yang terdesak hingga ke
utara pada periode tersebut diduga menyebarkan massa air dingin dan
bersalinitas tinggi yang berasal dari upwelling di selatan Jawa menyebar hingga
jauh ke utara.
2.2. Suhu
Suhu adalah suatu besaran fisika yang menyatakan banyaknya bahang
yang terkandung dalam suatu benda. Suhu di laut berkisar antara -2ºC hingga
30ºC dimana pada suhu -2ºC terjadi pembentukan lapisan es sedangkan pada
suhu 30ºC merupakan batas terjadinya proses radiasi dan pertukaran bahang
dengan atmosfer (King, 1963). Suhu memberikan pengaruh terhadap aktivitas
metabolisme, tingkah laku dan perkembangbiakan biota-biota laut (Laevastu dan
Hela, 1970). Secara tidak langsung suhu berpengaruh terhadap daya larut
oksigen yang berpengaruh terhadap respirasi biota-biota tersebut.
a)
b)
8
Penyebaran suhu pada permukaan laut membentuk zona berdasarkan
letak lintang. Semakin mendekati garis khatulistiwa (lintang rendah) suhu akan
semakin meningkat dan sebaliknya, suhu akan semakin menurun mendekati
kutub (lintang tinggi). Hal ini terjadi karena daerah yang paling banyak menerima
sinar matahari terletak antara lintang 10° LU - 10°LS (Weyl,1967).
Secara vertikal suhu di lautan dibagi menjadi tiga zona (Richard dan
Davis, 1991) yaitu:
1. Lapisan permukaan tercampur (mix surface layer) yang merefleksikan
suhu rata-rata tiap lintang. Lapisan ini cenderung homogen oleh
pencampuran massa air. Ketebalan lapisan homogen di perairan
Indonesia berkisar antara 50 – 100 m, dengan suhu berkisar antara 26° -
30° C (Soegiarto dan Birowo, 1975).
2. Lapisan termoklin, dimana terjadi penurunan suhu yang cepat dan
densitas yang meningkat. Hal ini mengakibatkan air di lapisan atas tidak
dapat bercampur dengan air di lapisan bawah. Menurut Gross (1990)
lapisan termoklin yang terdapat pada perairan tropis berada pada
kedalaman 100 hingga 205 meter. Menurut Illahude (1999) lapisan
termoklin secara lebih rinci dapat dibagi menjadi dua lapisan, yaitu
lapisan termoklin atas dan termoklin bawah, dimana perubahan suhu di
termoklin atas lebih cepat dibandingkan termoklin bawah. Kedalaman
lapisan termoklin di Indonesia berkisar antara 100 – 300 m dengan
kisaran suhu antara 9° - 26° C (Soegiarto dan Birowo, 1975). Menurut
Wyrtki (1961) lapisan termoklin di Samudera Hindia berkisar antara 120
sampai dengan 160 meter.
3. Lapisan dalam (deep layer) mencerminkan ciri khas asal massa air tiap
lintang. Lapisan ini dapat mencapai kedalaman 2500m dengan
penurunan suhu yang lambat. Gradien suhu mencapai 0.05 oC/100m
9
(Gross, 1990). Kisaran suhu pada lapisan dalam di perairan Indonesia
berkisar antara 2° - 4° C (Soegiarto dan Birowo, 1975).
Perairan di Indonesia memperlihatkan adanya variasi musiman, variasi
musiman tersebut hanya sebesar 2oC. Pergerakan semu matahari yang
melintasi ekuator memiliki pengaruh terhadap variasi musiman tersebut.
Beberapa perairan seperti Laut Banda, Laut Arafura, laut Timor dan Laut Jawa
kisaran tahunan suhu air permukaannya mencapai 3-4oC. Pada musim barat
terjadi pemanasan di daerah Laut Arafuru dan pantai barat Sumatera, dengan
kisaran suhu 29° - 30° C (Soegiarto dan Birowo, 1975).
2.3. Angin
Angin adalah massa udara yang bergerak mendatar (horizontal) dari
tekanan tinggi mengalir ke tempat bertekanan rendah. Semakin besar
perbedaan tekanan udara maka semakin besar pula kecepatan angin yang
berhembus (Hasse dan Dobson, 1986).
Salah satu faktor penyebab timbulnya angin adalah adanya gradien
tekanan. Gaya gradien tekanan timbul karena adanya perbedaan suhu udara.
Dalam hal ini hubungan antara permukaan bumi dalam menerima energi radiasi
matahari yang sama tapi mempunyai laju pemanasan yang berbeda – beda dari
satu tempat ke tempat yang lain. Faktor lain yang berpengaruh dalam
pembentukan angin adalah gaya Coriolis. Gaya Coriolis timbul akibat rotasi bumi
dan menyebabkan perubahan gerak angin ke arah kanan pada belahan bumi
bagian utara dan pembelokan angin ke arah kiri pada belahan bumi bagian
selatan (Pariwono dan Manan, 1990).
Pola angin yang sangat berperan di Indonesia adalah angin Muson.
Angin muson bertiup ke arah tertentu pada satu masa sedangkan pada masa
lainnya angin bertiup pula pada arah yang berlawanan. Letak geografi Indonesia
10
yang berada di antara Benua Asia dan Benua Australia membuat kawasan ini
paling ideal untuk berkembangnya angin muson. Menurut Wyrtki (1961), sistem
angin muson di Indonesia terbagi menjadi empat golongan yaitu :
1. Angin Muson Timur Laut dan Angin Muson Barat Laut
Muson ini terbentuk pada bulan Desember hingga Februari. Pada bulan-
bulan tersebut tekanan udara yang tinggi berada di Benua Asia
sedangkan di Benua Australia terbentuk tekanan udara yang rendah,
sehingga angin bertiup dari Benua Asia ke Benua Australia. Di belahan
bumi bagian utara (utara ekuator) bertiup Angin Muson Timur Laut,
sedangkan di belahan bumi bagian selatan (selatan ekuator) bertiup
Angin Muson Barat Laut dan di Indonesia dikenal sebagai Musim Barat.
2. Peralihan I
Peralihan pertama terjadi pada bulan Maret hingga Mei. Pada saat Musim
Peralihan kecepatan angin lemah dan arahnya menjadi tidak beraturan.
3. Angin Muson Barat Daya dan Angin Muson Tenggara
Pada bulan Juni hingga Agustus tekanan udara yang rendah terbentuk di
Benua Asia, sedangkan tekanan udara yang tinggi terbentuk di Benua
Australia, sehingga angin bertiup dari Benua Australia ke Benua Asia. Di
belahan bumi bagian utara (utara ekuator) bertiup Angin Muson Barat
Daya, sedangkan di belahan bumi bagian selatan (selatan ekuator)
bertiup Angin Muson Tenggara.
4. Peralihan II
Peralihan kedua terjadi pada bulan September hingga November. Pada
saat Musim Peralihan kecepatan angin lemah dan arahnya menjadi tidak
beraturan.
11
2.4. Indian Ocean Dipole Mode
Saji et al. (1999) melaporkan bahwa terdapat juga osilasi klimatologi di
Samudera Hindia. Fenomena ini ditunjukkan dengan adanya variabilitas internal
dengan SPL negatif atau lebih dingin dari normalnya di pantai barat Sumatera
atau Samudera Hindia bagian timur (90°-110°BT, 10°LS-ekuator) dan anomali
positif di Samudera Hindia bagian barat (50°-70°BT, 10°LS-10°LU). Fenomena
ini bersifat unik dan melekat di Samudera Hindia dan terlihat tidak bergantung
pada ENSO. Fenomena ini dinamakan Indian Ocean Dipole Mode (IODM).
Dipole Mode Index (DMI) dapat digunakan untuk mengidentifikasi fenomena
IODM. Nilai DMI menggambarkan perbedaan anomali suhu permukaan laut dari
dua daerah yaitu bagian barat ekuator dari Samudera Hindia (50° - 70° BT dan
10° LS - 10° LU) dan timur ekuator dari Samudera Hindia (90° - 110° BT dan 10°
LS - ekuator). Nilai DMI yang ekstrim positif menggambarkan terjadinya
fenomena IODM positif dan nilai DMI ekstrim negative menunjukkan terjadinya
fenomena IODM negatif.
Fenomena IODM ditunjukkan pada Gambar 5. Pada waktu normalnya,
angin barat yang lemah bergerak dari sisi bagian timur Afrika (Samudera Hindia
bagian barat) ke pantai barat Sumatera (Samudera Hindia bagian timur).
Sedangkan pada saat terjadinya fenomena IODM positif di pantai barat Sumatera
terbentuk anomali SPL negatif (lebih rendah dari suhu normalnya) yang pada
gambar ditandai dengan warna biru. Sedangkan di pantai timur Afrika terbentuk
anomali SPL positif (suhu permukaan lautnya lebih tinggi dari kondisi normal)
yang ditandai dengan warna merah pada gambar. Kondisi ini menimbulkan
angin timur yang kuat yang bertiup ke pantai timur Afrika, sehingga curah hujan
di atas Afrika berada di atas normal sementara di Indonesia terjadi kekeringan.
Hal sebaliknya terjadi pada saat fenomena IODM negatif (Saji et al., 1999).
12
Vinayachandran et al. (2002) menambahkan IODM positif juga ditandai dengan
pendangkalan lapisan termoklin di S. Hindia bagian timur sedangkan di
Samudera Hindia bagian barat menjadi lebih dalam.
Gambar 5. Fenomena IODM a) IODM Positif b) IODM Negatif (Saji et al., 2001)
Proses terbentuknya IODM ditampilkan pada Gambar 6. Siklus dipole
mode diawali dengan munculnya anomali suhu permukaan laut negatif di sekitar
Selat Lombok hingga Selatan Jawa pada sekitar bulan Mei – Juni. Selanjutnya
pada bulan Juli – Agustus, anomali negatif tersebut terus menguat dan semakin
meluas sampai pantai barat Sumatera, sementara itu di Samudera Hindia bagian
barat muncul pula anomali suhu permukaan laut positif. Adanya perbedaan
tekanan di antara keduanya, semakin memperkuat angin tenggara di sepanjang
ekuator dan pantai barat Sumatera. Proses pembentukan Indian Ocean Dipole
Mode dimulai pada bulan Mei hingga Juni (Gambar 6a). Siklus ini mencapai
puncaknya pada bulan September – Oktober (Gambar 6b) dan selanjutnya
menghilang dengan cepat pada bulan November – Desember (Gambar 6c).
a) b)
13
Menurut Saji et al. (1999) dan Meyers et al. (2006) fenomena IODM
positif terjadi pada tahun 1982, 1983, 1987, 1991, 1994, dan 1997. Sedangkan
fenomena IODM negatif terjadi pada tahun 1980, 1981, 1985, 1989, dan 1992.
Gambar 6. Perkembangan kejadian Indian Ocean Dipole Mode. Evolusi komposit SPL dan anomali kecepatan angin pada bulan a) Mei-Juni b) Juli-Agustus c) September-Oktober d) November-Desember
(Saji et al.,1999)
2.5. El Nino Southern Oscillation (ENSO)
El Nino Southern Oscillation atau ENSO adalah kondisi abnormal iklim di
mana suhu permukaan Samudra Pasifik di pantai Barat Ekuador dan Peru lebih
tinggi dari rata-rata normalnya. Istilah ini pada mulanya digunakan untuk
menamakan arus laut hangat yang terkadang mengalir dari Utara ke Selatan
antara pelabuhan Paita dan Pacasmayo di daerah Peru yang terjadi pada bulan
Desember. Kejadian ini kemudian semakin sering muncul yaitu setiap tiga hingga
tujuh tahun serta dapat mempengaruhi iklim dunia selama lebih dari satu tahun
(Philander, 1990). Fenomena ENSO ini memiliki dua fenomena yang saling
14
berlawanan fase. Dimana fase panas disebut sebagai kondisi El Nino dan fase
dingin disebut sebagai kondisi La Nina.
Parameter yang dapat digunakan untuk melihat adanya fase El Nino dan
La Nina adalah Southern Oscillation Index (SOI). SOI merupakan indeks yang
menggambarkan perbedaan tekanan udara permukaan laut antara Darwin (yang
mewakili Indonesian Low) dengan Tahiti (yang mewakili South Pasific High).
Nilai tersebut didapatkan dengan mengurangi nilai tekanan paras laut di Tahiti
dengan tekanan paras laut di Darwin. Pada saat terjadinya El Nino, nilai Indeks
Osilasi Selatan negatif dalam jangka waktu yang lama, terjadi penurunan
tekanan udara di bawah kondisi normalnya di Tahiti dan terjadi peningkatan
tekanan udara di atas kondisi normalnya di Darwin. Sebaliknya pada saat nilai
Indeks Osilasi Selatan positif dalam jangka waktu yang lama (fase La Nina),
terjadi kenaikan tekanan udara di atas kondisi normalnya di Tahiti dan terjadinya
penurunan tekanan udara di bawah kondisi normalnya di Darwin. Pola inilah
yang dinamakan pola jungkat-jangkit, dimana posisi kedua ujungnya akan selalu
berlawanan. Fenomena Osilasi Selatan ini berkaitan dengan kejadian El Nino,
maka disebut sebagai ENSO (Brown et al., 1989).
Perbandingan kondisi pada saat normal dan terjadi El Nino ditunjukkan
pada Gambar 7. Pada kondisi normal, berhembus angin permukaan di P ini
membangkitkan arus permukaan di Samudera Pasifik yang mengalir dari timur ke
barat. Hal ini mengakibatkan elevasi muka air laut di Samudera Pasifik tropis
bagian barat lebih tinggi dan suhu permukaan laut (SPL) di bagian ini lebih tinggi
jika dibandingkan dengan Samudera Pasifik tropis bagian timur (Gambar 7a).
Melemahnya Angin Pasat menyebabkan terjadinya perubahan arah arus ekuator
yang semula ke arah barat menjadi ke arah timur (Gambar 7b). Perubahan arah
arus ini menyebabkan makin tingginya SPL di Samudera Pasifik tropis bagian
15
timur. Semakin besarnya gradien suhu antara timur-barat membangkitkan angin
baratan yang bertiup dari Pasifik barat ke bagian timurnya. Bertiupnya angin
baratan ini menambah kuatnya perbedaan suhu atau makin bertambahnya suhu
di bagian timur Pasifik. Sirkulasi tersebut terjadi pada kondisi El Nino. Pada
tahun 1997 terjadi pengaruh global dari kejadian ENSO yang menyebabkan
anomali kondisi iklim yang berkepanjangan.
Gambar 7. Perbandingan kondisi di Samudera Pasifik pada saat a) normal dan b) terjadi El Nino (NOAA, 2004)
2.6. Variabilitas Arus, Suhu, Angin serta Kaitannya terhadap IODM dan ENSO
Westerly wind burst di Ekuatorial Barat Samudera Hindia membangkitkan
arus Jet Wyrtki ke timur pada musim-musim peralihan (Sprintall et al., 2000).
Pada bulan Oktober - November (peralihan II) arus Jet Wyrtki yang terbentuk
lebih lemah daripada musim peralihan I (April - Mei). Akibat arus Jet Wyrtki
tersebut maka terbentuklah gelombang Kelvin yang menyebabkan
penenggelaman massa air atau downwelling di pantai barat Sumatera (Wyrtki,
1973). Gelombang Kelvin yang terbentuk tersebut akan merambat dan
membentur pantai barat Sumatera dalam waktu lebih kurang sebulan.
Menurut Thompson et al. (2006) IODM mempengaruhi adanya variasi
antar-tahunan pada suhu di perairan barat Sumatera. Pada saat IODM positif
a) b)
16
suhu menurun karena adanya angin kuat yang menekan Jet Wyrtki, sedangkan
pada saat IODM negatif terjadi hal yang sebaliknya.
ENSO juga mempengaruhi penaikan massa air (upwelling) di selatan
Jawa dan barat daya Sumatera. Pada saat periode El Nino, Angin Muson
Tenggara yang berhembus di perairan Indonesia bagian selatan menguat
sehingga terjadi peningkatan upwelling di selatan Jawa dan barat daya Sumatera
(Susanto et al. 2001). Menurut Farita (2006) dan Holiludin (2009) energi
variabilitas suhu terbesar di Samudera Hindia (perairan selatan Jawa dan
perairan barat Sumatera) terdapat pada lapisan termoklin.
Saji et al. (1999) menyatakan bahwa IODM merupakan suatu fenomena
sistem kopel atmosfer-laut yang mempunyai mekanisme fisis yang hampir sama
dengan ENSO, tetapi secara statistik tidak bergantung pada ENSO.
Ketidakbergantungan ini ditunjukkan oleh adanya kejadian IODM pada tahun
1961 dan 1967 yang tidak terkait dengan ENSO. Sedangkan Godfrey (2001)
menyimpulkan bahwa terlihat anomali SPL negatif di Samudera Hindia bagian
timur (pantai barat Sumatera) pada saat El Nino. Adanya anomali ini
memungkinkan menguatnya angin timuran di daerah tersebut. Hal ini sesuai
dengan evolusi kejadian IODM yang dikemukakan oleh Saji et al. (1999).
Pernyataan tersebut memperlihatkan adanya korelasi yang kuat antara ENSO
dan IODM, serta mengisyaratkan adanya hubungan yang kompleks antara
keduanya.
Webster dan Torrence (1999) mengemukakan bahwa anomali SPL
Samudera Hindia dan Samudera Pasifik bagian tengah dan timur secara umum
sefasa dalam skala waktu antar tahunan. Ini mengindikasikan bahwa jika di
Samudera Pasifik dalam kondisi hangat, maka demikian juga yang terjadi di
Samudera Hindia bagian timur. Ini menunjukan adanya keterkaitan antara ENSO
dan IODM.
17
3. METODE PENELITIAN
3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian berada di perairan barat Sumatera pada posisi geografis
5°LS dan 100°BT untuk data arus dan angin, serta 5,26°LS dan 100,5°BT untuk
data suhu (Gambar 8). Pengolahan dan analisis data dilakukan pada bulan
September 2009 sampai Maret 2010 di Laboratorium Data Processing, Bagian
Oseanografi, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Gambar 8. Peta lokasi stasiun pengamatan
3.2. Data Penelitian
Penelitian ini menggunakan lima jenis data, yaitu data arus, data suhu,
data angin, data Dipole Mode Index (DMI) dan data Southern Oscillation Index
(SOI). Kelima data ini merupakan data dalam bulanan rata-rata yang telah
mengalami perata-rataan oleh penyedia data.
18
3.2.1. Data Arus dan Suhu
Data arus dan suhu diambil dari situs Geophysical Fluid Dynamic
Laboratory (GFDL) NOAA (http://www.gfdl.noaa.gov). Data ini merupakan data
observasi kelautan dari tahun 1976 hingga tahun 2006 (XBT, ARGO, CTD, MRB,
OSD, dan MBT) dan data atmosferik reanalisis (NCEP/NCAR) yang di
asimilasikan ke dalam sistem coupled ensemble.
Sistem asimilasi yang dilakukan untuk mendapatkan data tersebut terdiri
atas sebuah ensemble filter yang diaplikasikan ke climate coupled model GFDL
generasi kedua (CM2) (Delworth et al., 2006). Langkah-langkah bagaimana data
asimilasi bekerja untuk memperbaharui perkiraan dari data sebelumnya
ditampilkan pada Gambar 9. Langkah 1 adalah memperbarui fungsi densitas
probabilitas (PDF) di lokasi pengamatan sebagai pengamatan yang baru
(dilambangkan dengan panah berlabel langkah 1). Panah 1 menunjukkan bahwa
PDF sebelum di lokasi pengamatan diganti dengan pengamatan baru dan panah
2 mempresentasikan pergeseran dari rata-rata ensemble sebelumnya pada
pengamatan yang baru di lokasi pengamatan. Langkah kedua yaitu
menggunakan distribusi korelasi untuk mendistribusikan kenaikan pengamatan
ke titik grid yang berpengaruh. Panah 3 merupakan proses memperbarui PDF
titik grid.
Gambar 9. Langkah dalam Asimilasi Data (Zhang et al., 2007)
19
Data arus dan suhu tersedia dalam bulanan rata-rata. Data ini memiliki 50
tingkat kedalaman, dimana pada 22 tingkat kedalaman paling atas memiliki
perbedaan kedalaman sebesar 10 meter. Data ini memiliki resolusi spasial
sebesar 1° x 1°. Pada daerah lintang sedang hingga rendah resolusi spasial
pada lintang akan menjadi lebih tinggi hingga akhirnya mencapai 1/3° pada
daerah dekat ekuator, sedangkan resolusi spasial untuk bujur tetap 1°. Data
arus dan suhu memiliki format NetCDF, yang kemudian diekstrak untuk
mendapatkan nilai komponen zonal dan meridional arus serta nilai suhu.
Data arus dan suhu yang digunakan dalam penelitian ini adalah data arus
dan suhu pada kedalaman 5, 25, 55, 75, 125, 155, 175, 250, 446, dan 617 meter.
Data ini dianggap mewakili keadaan pada lapisan permukaan tercampur, lapisan
termoklin dan lapisan dalam. Pengambilan data arus dan suhu pada kedalaman
tersebut mengacu pada Holilludin (2009) yang menyatakan bahwa lapisan
permukaan tercampur di perairan barat Sumatera mencapai kedalaman 50
meter, sedangkan lapisan termoklin berkisar antara 75 hingga 150 meter. Data
arus yang digunakan dalam penelitian ini berada pada posisi 5°LS dan 100°BT.
Sedangkan untuk data suhu berada pada posisi 5,26°LS dan 100,5°BT (Gambar
8).
3.2.2. Data Angin
Data angin merupakan data dari Earth System Research Laboratory
(ESRL), Physical Science Division NOAA (http://www.esrl.noaa.gov). Data ini
adalah hasil proses reanalisis dari proses analisa data mulai dari tahun 1948
sampai dengan sekarang. Data angin dari ESRL merupakan data yang terdiri
atas komponen zonal (u) dan meridional (v) pada ketinggian 10 meter diatas
permukaan laut. Data yang tersedia berupa rata-rata dalam 6 jam, harian dan
bulanan. Data ini memiliki resolusi spasial sebesar 2,5° x 2,5°.
20
Data angin yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kecepatan
angin yang telah dirata-ratakan oleh ESRL NOAA menjadi data kecepatan angin
bulanan rata-rata dari Januari 1979 hingga Desember 2007. Data yang
digunakan dalam penelitian ini berada pada koordinat 5° LS dan 100° BT. Data
yang diperoleh dalam format NetCDF yang kemudian akan diekstrak sehingga
menghasilkan nilai komponen zonal (u) dan meridional (v) angin yang
selanjutnya akan diolah menjadi arah dan kecepatan angin.
3.2.3. Data Dipole Mode Index (DMI)
Data DMI diunduh pada tanggal 7 Maret 2009. Data ini diambil dari situs
Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology (www.jamstec.go.jp).
Data yang tersedia merupakan data bulanan mulai dari bulan Maret 1958 hingga
Agustus 2008.
Nilai dari DMI ditentukan melalui perbedaan anomali suhu permukaan laut
dari dua daerah yaitu bagian barat ekuator dari Samudera Hindia (50° - 70° BT
dan 10° LS - 10° LU) dan timur ekuator dari Samudera Hindia (90° - 110° BT dan
10° LS - ekuator). Anomali suhu permukaan laut dari bagian barat yang
dikurangi dengan anomali suhu permukaan laut bagian timur akan menghasilkan
nilai Dipole Mode Index tersebut (JAMSTEC, 2001).
3.2.4. Data Southern Oscillation Index (SOI)
Data SOI diambil dari situs Australian Government Bureau of Meteorology
(http://www.bom.gov.au). Data diunduh pada tanggal 5 Maret 2009. Data yang
didapatkan berupa data bulanan dari Januari 1979 hingga Desember 2007.
Metode yang digunakan Australian Government Bureau of Meteorology
dalam perhitungan SOI bergantung pada perbedaan anomali Mean Sea Level
Pressure (MSLP) antara Darwin dan Tahiti. Nilai SOI dihitung sebagai berikut :
21
……………………………..(1)
dimana,
SOI : Southern Oscillation Index
Pdiff : Rata-rata MSLP Tahiti – Rata-rata MSLP Darwin
Pdiffav : Rata-rata Pdiff jangka panjang pada bulan yang ditentukan
SD (Pdiff) : Standar deviasi jangka panjang Pdiff pada bulan tersebut
3.3. Pengolahan dan Analisis Data
3.3.1. Metode Validasi Data
Validasi data merupakan proses pengecekan atau perhitungan dengan
membandingkan antara data pemodelan dengan data observasi, sebelum data
tersebut diterima dan diolah untuk keperluan selanjutnya. Hal tersebut dilakukan
agar data model yang akan digunakan adalah data yang sahih. Proses validasi
kedua data tersebut dilakukan dengan menentukan nilai Root Mean Square Error
(RMSE) dan Standar Error.
Root Mean Square Error (RMSE) adalah suatu nilai statistik yang
digunakan untuk mengukur perbedaan antara nilai yang diprediksi oleh model
atau sebuah penduga dengan nilai-nilai sebenarnya dari hasil yang diamati
menjadi model atau perkiraan (Pearson, 1984).
Dalam statistik, nilai Standar Error dan Root Mean Square Error
digunakan untuk memvalidasi data guna mengetahui seberapa besar perbedaan
atau tingkat kesalahan dalam pengolahan data baik dari hasil pengolahan data
observasi (lapangan) maupun dari hasil pengolahan pemodelan. Data yang akan
divalidasi adalah data asimilasi arus dan suhu yang berasal dari Geophysical
Fluid Dynamic Laboratory (GFDL) NOAA, dengan data arus dan suhu Insitu yang
berasal dari data buoy TRITON.
)( diff
diffavdiff
PSD
PPSOI 10
22
Data arus yang tersedia dari buoy TRITON mulai 26 Oktober 2001 hingga
20 Maret 2003 serta 9 Juli 2004 hingga 11 September 2005. Sedangkan data
suhu yang tersedia dari buoy TRITON mulai 26 Oktober 2001 hingga 1 Juni 2003
serta 9 Juli 2004 hingga 31 Desember 2007. Data arus dan suhu dari buoy
TRITON memiliki resolusi temporal 2 jam namun data arus hanya memiliki 1 level
kedalaman. Data arus yang akan divalidasi adalah data asimilasi (GFDL)
kedalaman 5 meter terhadap data arus insitu (TRITON) pada kedalaman 5
meter. Sedangkan untuk data suhu yang akan di validasi adalah data asimilasi
(GFDL) pada kedalaman 25 meter terhadap data insitu (TRITON) pada
kedalaman 25 meter.
Persamaan yang digunakan untuk perhitungan validasi adalah sebagai
berikut (Pearson,1984) :
1. Standard Error (SE)
………………………........(2)
2. Root Mean Squared Error (RMSE)
……………………………………………………(3)
dimana:
y = Data Parameter Observasi (buoy TRITON)
x = Data Parameter asimilasi (GFDL NOAA)
n = Jumlah Pasangan Data
Apabila nilai SE dan RMSE memiliki kisaran perbedaannya mendekati 0
maka kedua data bisa digunakan karena memiliki tingkat kesalahan yang kecil
atau bisa dikatakan kedua data tersebut tidak berbeda nyata.
22
1
xx
yyxxyy
nSE
n
xyRMSE
2
23
3.3.2. Sebaran Temporal
Data yang akan ditampilkan sebaran temporalnya adalah data arus, suhu,
angin, Dipole Mode Index (DMI) dan Southern Oscillation Index (SOI). Data
tersebut merupakan data bulanan rata-rata. Data arus, suhu dan angin yang
diperoleh memiliki format NetCDF, sehingga data tersebut harus dibuka terlebih
dahulu dengan memakai perangkat lunak Ocean Data View (ODV).
Data arus dan angin terdiri atas komponen zonal (u) dan komponen
meridional (v). Dari komponen zonal dan meridional tersebut akan didapatkan
vektor arus dan angin yang menunjukkan arah dan kecepatan arus maupun
angin. Sebaran temporal arus pada kedalaman 5 meter, 25 meter, 55 meter, 75
meter, 125 meter, 155 meter, 175 meter, 250 meter, 446 meter, dan 617 meter
serta angin akan ditampilkan dalam bentuk stickplot. Pembuatan stickplot arus
ini menggunakan perangkat lunak Matlab 7.0.1.
Sebaran temporal vertikal suhu pada kedalaman 5 meter, 25 meter, 55
meter, 75 meter, 125 meter, 155 meter, 175 meter, 250 meter, 446 meter, dan
617 meter akan tampilkan dalam bentuk grafik domain waktu menggunakan
perangkat lunak Matlab 7.0.1. Sebaran temporal suhu berdasarkan kedalaman
ditampilkan menggunakan perangkat lunak Ocean Data View (ODV). Sebaran
temporal DMI dan SOI ditampilkan dalam bentuk grafik domain waktu
menggunakan perangkat lunak Matlab 7.0.1.
3.3.3. Analisis Deret Waktu
3.3.3.1. Spektrum Densitas Energi
Spektrum densitas energi digunakan untuk mengetahui periode fluktuasi
yang nilai densitas energinya signifikan dari parameter arus, suhu, angin, DMI
dan SOI. Spektrum densitas arus dan suhu dicari untuk kedalaman 5 meter, 25
meter, 55 meter, 75 meter, 125 meter, 155 meter, 175 meter, 250 meter, 446
24
meter, dan 617 meter. Kedalaman tersebut dianggap mewakili lapisan
tercampur, lapisan termoklin dan lapisan dalam. Dengan mengambil acuan
Holilludin (2009) kedalaman 5, 25, dan 55 meter mewakili lapisan tercampur,
kedalaman 75, 125, 155, dan 175 meter mewakili lapisan termoklin dan
kedalaman 250, 446, dan 617 meter mewakili lapisan dalam. Hal ini dilakukan
untuk untuk melihat kemungkinan adanya spektrum densitas energi yang
signifikan pada periode fluktuasi yang berbeda pada kedalaman yang mewakili
tiga lapisan ini. Untuk parameter arus dan angin, spektrum densitas energi yang
ditentukan untuk komponen zonal dan meridional.
Sebelum menentukan nilai spektrum densitas energi, harus ditentukan
komponen fouriernya terlebih dahulu. Komponen fourier X(fk) dapat ditentukan
dengan menggunakan metode Fast Fourier Transform (FFT) yang diberikan
oleh (Bendat dan Piersol, 1971):
…………………………..(4)
dimana :
X(fk) : komponen fourier data deret waktu (xt) pada frekuensi ke-k (fk)
N : jumlah Pengamatan
h : selang waktu subsample data (30 hari)
i : (bilangan imajiner)
t : 0, 1, 2, …., N
1
0
2N
N
tkN
ktiXhfX exp)(
25
Dari komponen fourier X(fk) tersebut, nilai spektrum densitas energi (Sx)
dapat dicari dengan rumus (Bendat dan Piersol, 1971):
………….........…………………………….(5)
dimana :
Sx(fk) : nilai spektrum densitas energi satu rekaman data deret waktu (xt) pada
frekuensi ke-k (fk)
X(fk) : komponen fourier dari data deret waktu (xt) pada frekuensi ke-k (fk)
h : selang waktu subsample data (30 hari)
N : jumlah pengamatan
3.3.3.2. Korelasi Silang
Analisis korelasi silang digunakan untuk mengetahui adanya hubungan
antara fluktuasi kedua parameter. Analisis korelasi silang akan dilakukan
sembilan kali, yaitu : antara komponen arus zonal dan meridional dengan
komoponen angin zonal dan meridional, komponen arus zonal dan meridional
dengan DMI, komponen arus zonal dan meridional dengan SOI, suhu dengan
arus, suhu dengan komponen angin zonal dan meridional, suhu dengan DMI,
suhu dengan SOI, komponen angin zonal dan meridional dengan DMI, serta
komponen angin zonal dan meridional dengan SOI.
Untuk analisis korelasi silang ini komponen arus dan suhu menggunakan
data pada kedalaman 5 meter untuk mewakili lapisan tercampur, kedalaman 75
dan 125 meter untuk mewakili lapisan termoklin, dan kedalaman 617 meter untuk
mewakili lapisan dalam. Pengambilan kedalaman ini menggunakan acuan dari
penelitian Holilludin (2007).
Analisis korelasi silang terdiri dari kospektrum densitas energi, koherensi
dan beda fase. Kospektrum densitas energi adalah perkalian energi yang
22kkx fX
N
hfS )(
26
signifikan pada periode fluktuasi yang sama pada kedua parameter yang saling
mempengaruhi. Koherensi menunjukan nilai keeratan antara periode fluktuasi
yang terjadi pada dua variabel. Hubungan yang tidak erat antara periode dari
fluktuasi kedua parameter akan digambarkan dengan nilai koherensi yang
rendah sedangkan hubungan yang erat akan digambarkan dengan nilai
koherensi yang tinggi. Beda fase menunjukan beda waktu yang terjadi pada dua
periode fluktuasi yang kospektrum energi silangnya signifikan. Nilai beda fase
positif menunjukan bahwa fluktuasi pada variabel x terjadi lebih dahulu
dibandingkan dengan fluktuasi yang terjadi pada y. Sedangkan beda fase
negatif menunjukkan bahwa fluktuasi pada variabel y terjadi lebih dahulu
dibandingkan dengan fluktuasi yang terjadi pada variabel x (Bendat dan Piersol,
1971).
Nilai kospektrum densitas energi silang (Sxy(fk)) dapat dihitung dengan
rumus yang diberikan oleh Bendat dan Piersol, 1971
………………………………….(6)
dimana :
Sxy(fk) : spektrum densitas energi silang pada frekuensi ke-k (fk)
fk : k/Nh,k = 0,1, 2, …………………., N-1
X(fk) : komponen Fourier dari data deret waktu (xt) pada frekuensi ke –k (fk)
Y(fk) : komponen Fourier dari data deret waktu (yt) pada frekuensi ke –k (fk)
h : selang waktu subsample data (30 hari)
N : jumlah data
)(*)()( kkkxy fYfXN
hfS
2
27
Fungsi koherensi pangkat dua (γ2xy(fk)) ditentukan dengan rumus :
….……...………………………...(7)
dimana :
2xy(fk) : nilai koherensi pada frekuensi ke-k (fk)
Sxy (fk) : spektrum densitas energi silang pada frekuensi ke-k (fk)
Sx(fk) : spektrum densitas energi dari X(fk) pada frekuensi ke –k (fk)
Sy(fk) : spektrum densitas energi dari Y(fk) pada frekuensi ke –k (fk)
Nilai beda fase ditentukan dengan rumus :
…………………………………(8)
Keterangan :
θxy(fk) : beda fase pada frekuensi ke-k (fk)
Qxy(fk) : bagian imaginer dari Sxy(fk)
Cxy(fk) : bagian nyata dari Sxy(fk)
Pada program Statistica 6.0 satuan dari beda fase adalah tan-1. Untuk
mengubah satuan tersebut menjadi satuan waktu (hari) nilai beda fase tersebut
diubah terlebih dahulu ke dalam bentuk derajat (°). Nilai yang didapatkan
kemudian dibagi dengan 360, kemudian dikalikan dengan periode dari fluktuasi
tersebut (bulan). Untuk mengubahnya menjadi satuan hari nilai tersebut
kemudian dikalikan dengan 30 (hari), dengan rumus :
……………….(9)
Dimana θxy(fk) : beda fase (tan-1)
)()(
)()(
2
2
kykx
kxy
kxy
fSfS
fSf
)f(C
)f(Qtan)f(
kxy
kxy
kxy1
harix)bulan(fluktuasiperiodex)f(arctan
fasebedakxy
30360
28
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Validasi Data GFDL dengan Data Insitu (Buoy TRITON)
Hasil validasi data arus di bagian barat Samudera Hindia dapat dilihat
pada Tabel 1 serta Gambar 10. Pada komponen zonal (u) didapatkan nilai SE
sebesar 0.11958 dan RMSE sebesar 0.20680, sedangkan untuk komponen
meridional (v) didapatkan nilai SE sebesar 0.04767 dan RMSE sebesar 0.09415.
Nilai SE dan RMSE tersebut dapat dikatakan cukup besar karena nilai SE dan
RMSE yang hampir sama dengan kisaran nilai komponen arus insitu (TRITON).
Pada grafik perbandingan antara komponen zonal meskipun nilai antara
komponen arus insitu (TRITON) dengan komponen arus hasil asimilasi (GFDL)
memiliki perbedaan yang cukup besar, namun secara umum keduanya
membentuk pola fluktuasi yang hampir mirip.
Perubahan fluktuasi naik turunnya komponen arus baik pada data insitu
(TRITON) maupun pada data asimilasi (GFDL) terjadi secara serentak. Pada
saat data insitu menunjukkan komponen zonal arus turun begitu pula yang terjadi
pada komponen zonal arus dari data asimilasi. Perbedaaan pola fluktuasi hanya
terlihat pada beberapa waktu yaitu pada akhir tahun 2002 dan awal tahun 2005.
Pada akhir tahun 2002 nilai komponen zonal arus pada data insitu menunjukkan
pola yang stagnan bahkan relatif turun sedangkan pada komponen zonal dari
data asimilasi menunjukkan pola kenaikan. Hal sebaliknya terjadi pada akhir
tahun 2005, nilai komponen zonal dari data insitu menunjukkan pola yang
meningkat dengan tajam, sedangkan komponen zonal dari data asimilasi
menunjukkan pola yang menurun.
Pada komponen meridional arus fluktuasi yang terbentuk antara data
insitu (TRITON) dengan data asimilasi (GFDL) tidak menunjukkan pola yang
bersamaan seperti halnya yang terjadi pada komponen zonal arus. Namun pada
29
komponen meridional ini perbedaan antara nilai dari data insitu dengan dari data
asimilasi tidak terlalu berbeda jauh. Hal ini dapat dilihat dari nilai rata-rata dari
komponen meridional dari keduanya yang memiliki perbedaan tidak terlalu jauh.
Tabel 1. Hasil Validasi antara Komponen Arus GFDL dengan Buoy TRITON
Validasi Arus
Komponen Zonal (u) Komponen Meridional (v)
Statistik Triton GFDL Triton GFDL
Max (m/s) 0.42023 0.15075 0.12325 0.04096
Min (m/s) -0.24321 -0.35598 -0.15864 -0.16774
Rata-rata (m/s) 0.09375 -0.04189 -0.03197 -0.03804
RMSE 0.20680 0.09415
Standar error (SE) 0.11958 0.04767
Gambar 10. Grafik perbandingan antara data arus GFDL dengan data arus buoy TRITON a) Komponen Zonal Arus b) Komponen Meridional Arus
a)
b)
30
Adanya pola fluktuasi yang mirip antara komponen zonal dan meridional
arus dari data GFDL dengan komponen zonal dan meridional arus dari buoy
TRITON (insitu) menunjukkan bahwa data GFDL yang digunakan dalam
penelitian ini cukup valid untuk digunakan dalam pengamatan variabilitas arus di
perairan barat Sumatera.
Hasil validasi data suhu di bagian barat Samudera Hindia dapat dilihat
pada Tabel 2 serta Gambar 11. Validasi data suhu antara data GFDL dengan
data TRITON (Insitu) di bagian barat Samudera Hindia menghasilkan nilai RMSE
sebesar 0.58030 dan SE sebesar 0.46693. Nilai suhu dari data institu (TRITON)
dengan dari data asimilasi (GFDL) memiliki perbedaan yang relatif besar, namun
pada Juni hingga Juli 2002, Juni hingga Desember 2006, serta Juli hingga
Desember 2007 suhu dari data GFDL memiliki nilai yang hampir sama dengan
suhu dari data TRITON. Secara umum pola fluktuasi suhu yang terbentuk pada
suhu dari data GFDL dan suhu dari data TRITON memiliki pola yang mirip. Pada
saat fluktuasi suhu dari data TRITON meningkat suhu dari data GFDL juga
meningkat, begitu juga sebaliknya.
Tabel 2. Hasil Validasi antara Komponen Suhu GFDL dengan Buoy TRITON
Validasi Suhu
Statistik Triton GFDL
Max (°C) 29.88693 30.64100
Min (°C) 27.08069 26.44500
Rata-rata (°C) 28.83329 29.17806
RMSE 0.58030
Standar error (SE) 0.46693
31
Gambar 11. Grafik perbandingan antara data suhu GFDL dengan data suhu
buoy TRITON
Kesamaan pola fluktuasi dan nilai suhu yang hampir mirip antara data
suhu dari GFDL dengan data suhu dari buoy TRITON (insitu) menunjukkan
bahwa data suhu dari GFDL yang digunakan dalam penelitian ini cukup valid
untuk digunakan dalam pengamatan variabilitas suhu di perairan barat Sumatera.
4.2. Sebaran Arus
Sebaran arah dan kecepatan arus di perairan barat Sumatera pada
kedalaman 5 meter, 25 meter, 55 meter, 75 meter, 125 meter, 155 meter, 250
meter, 446 meter dan 617 meter ditampilkan dalam bentuk stickplot masing-
masing pada Gambar 12, 13, 14, 15 dan 16. Dari gambar tersebut dapat dilihat
bahwa pada kedalaman 5 dan 25 meter pola arus lebih bervariasi, sedangkan
pada kedalaman 55 dan setelahnya arah arus menunjukkan pola yang lebih
beraturan.
32
Gambar 12. Stickplot Arus Perairan Barat Sumatera pada Januari 1979 hingga Desember 1984 a) 5 meter b) 25 meter c) 55 meter d) 75 meter e) 125 meter f) 155 meter g) 175 meter h) 250 meter i) 446 meter j) 617 meter Ket : Skala kecepatan arus pada kedalaman 446 dan 617 meter diperbesar 10 kali lipat (0,01 m/s)
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
i)
j)
33
Gambar 13. Stickplot Arus Perairan Barat Sumatera pada Januari 1985 hingga Desember 1990 a) 5 meter b) 25 meter c) 55 meter d) 75 meter e) 125 meter f) 155 meter g) 175 meter h) 250 meter i) 446 meter j) 617 meter Ket : Skala kecepatan arus pada kedalaman 446 dan 617 meter diperbesar 10 kali lipat (0,01 m/s)
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
i)
j)
34
Gambar 14. Stickplot Arus Perairan Barat Sumatera pada Januari 1991 hingga Desember 1996 a) 5 meter b) 25 meter c) 55 meter d) 75 meter e) 125 meter f) 155 meter g) 175 meter h) 250 meter i) 446 meter j) 617 meter Ket : Skala kecepatan arus pada kedalaman 446 dan 617 meter diperbesar 10 kali lipat (0,01 m/s)
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
i)
j)
35
Gambar 15. Stickplot Arus Perairan Barat Sumatera pada Januari 1997 hingga Desember 2002 a) 5 meter b) 25 meter c) 55 meter d) 75 meter e) 125 meter f) 155 meter g) 175 meter h) 250 meter i) 446 meter j) 617 meter Ket : Skala kecepatan arus pada kedalaman 446 dan 617 meter diperbesar 10 kali lipat (0,01 m/s)
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
i)
j)
36
Gambar 12. Stickplot Arus Perairan Barat Sumatera pada Januari 2002 hingga Desember 2007 a) 5 meter b) 25 meter c) 55 meter d) 75 meter e) 125 meter f) 155 meter g) 175 meter h) 250 meter i) 446 meter j) 617 meter Ket : Skala kecepatan arus pada kedalaman 446 dan 617 meter diperbesar 10 kali lipat (0,01 m/s)
a)
b)
c)
d)
e)
f)
g)
h)
i)
j)
37
Pada lapisan permukaan (kedalaman 5 hingga 55 meter) terlihat arus
lebih dominan bergerak ke arah tenggara. Secara umum pada saat bertiup Angin
Muson Barat Laut (November-Februari) arus bergerak ke arah tenggara. Pada
saat bertiup Angin Muson Tenggara (Juni-Agustus) arah arus pada kedalaman 5
dan 25 meter lebih dominan bergerak ke arah barat daya dan pada kedalaman
55 meter arus lebih dominan bergerak ke arah barat laut. Sedangkan pada
musim peralihan I dan II arus lebih condong bergerak secara tidak beraturan
dengan arah menuju ke tenggara maupun ke arah barat laut.
Pada lapisan termoklin (75 meter hingga 175 meter) arus di perairan
barat Sumatera pada saat bertiup Angin Muson Barat Laut dan saat peralihan
juga lebih dominan bergerak ke arah tenggara. Hanya pada Angin Muson
Tenggara arus terkadang bergerak ke arah barat laut. Hal yang sama juga
terjadi pada lapisan dalam (250 meter hingga 617 meter) pada sepanjang
tahunnya arus lebih dominan bergerak ke arah tenggara, dan diselingi ke arah
barat laut pada saat Angin Muson Tenggara.
Pergerakan arus ke arah tenggara pada saat Angin Muson Barat Laut
dan ke arah barat laut pada saat Angin Muson Tenggara di lapisan permukaan (5
dan 25 meter) diduga merupakan pengaruh dari adanya angin muson yang
berubah arah setiap enam bulan sekali. Hal yang sama juga dikemukakan
Martono et al. (2008) yang menyatakan bahwa arus permukaan laut di perairan
Samudera Hindia sangat dipengaruhi oleh adanya sistem Angin muson. Selain
itu pergerakan arus ke arah tenggara diduga juga merupakan representasi dari
ASH yang telah membentur pantai barat Sumatera. Hasil ini sesuai dengan
Wyrtki (1961) yang menunjukkan bahwa pada lokasi penelitian, ASH yang
berasal dari Samudera Hindia bagian barat (perairan timur Afrika) bergerak ke
arah tenggara.
38
Pergerakan arus ke arah barat daya pada saat Angin Muson Tenggara
diduga merupakan AKS yang mencapai daerah penelitian dan kemudian bertemu
dengan ASH. Hal ini sesuai dengan Wyrtki (1961) yang menyatakan bahwa
pada akhir Angin Muson Tenggara poros AKS terdorong ke arah utara sehingga
bertemu dengan ASH. Pada saat musim peralihan arus lebih dominan bergerak
ke arah tenggara. Hal ini diduga merupakan representasi dari Jet Wyrtki. Wyrtki
(1973) menyatakan bahwa pada saat peralihan terbentuk Jet Wyrtki yang
bergerak ke arah tenggara di perairan barat Sumatera.
Pergerakan arus di lapisan termoklin dan lapisan dalam juga merupakan
representasi dari adanya AKS, ASH dan Jet Wyrtki yang terdapat di perairan
Samudera Hindia. Hal ini berarti data arus yang berasal dari GFDL NOAA yang
digunakan dalam penelitian ini cukup mewakili adanya sirkulasi arus di perairan
barat Sumatera.
Dari gambar 12, 13, 14, 15 dan 16 terlihat bahwa Arus di perairan barat
Sumatera memiliki fluktuasi setengah-tahunan (semi-annual) dan fluktuasi
tahunan (annual). Fluktuasi setengah-tahunan ditunjukkan dengan adanya
pergantian arah arus setiap 6 bulan di lapisan permukaan. Hal ini diduga
merupakan pengaruh dari sistem Angin Muson yang bergerak di perairan barat
Sumatera, serta adanya Jet Wyrtki yang berkembang pada saat peralihan.
Sedangkan fluktuasi tahunan ditunjukkan dengan adanya variasi arah dan
kecepatan arus di setiap musimnya. Martono et al. (2008) juga menyatakan
bahwa variabilitas arus di perairan barat Sumatera dipengaruhi oleh adanya
Angin Muson.
39
4.3. Sebaran Suhu
Sebaran temporal suhu air laut berdasarkan kedalaman di perairan barat
Sumatera pada periode Januari 1979 hingga Desember 2007 disajikan pada
Gambar 15 dan 16. Pada Gambar tersebut terlihat adanya stratifikasi suhu yang
jelas. Lapisan permukaan diwakili oleh isoterm 27oC, 28oC, 29oC dan 30oC.
Pada lapisan yang dibatasi isoterm tersebut suhu relatif stabil walaupun diselingi
dengan beberapa fluktuasi. Lapisan termoklin batas atas diwakili oleh isoterm 26
oC, sedangkan pada lapisan termoklin batas bawah diwakili oleh isoterm 11 oC.
Pada lapisan tercampur tersebut terlihat adanya fluktuasi suhu yang cukup
besar. Lapisan dalam diwakili oleh isoterm yang berada di bawah lapisan
termoklin, yaitu 8 oC hingga 11 oC.
Gambar 17. Sebaran Temporal Suhu berdasarkan Kedalaman pada Januari 1979 – Desember 1984
40
Gambar 18. Sebaran Temporal Suhu berdasarkan Kedalaman a) Januari 1985 – Desember 1990 b) Januari 1991 – Desember 1996 c) Januari 1997 – Desember 2002
a)
c)
b)
41
Gambar 19. Sebaran Temporal Suhu berdasarkan Kedalaman pada Januari
2003 – Desember 2007
Dari Gambar 17, 18 dan 19 secara umum terlihat bahwa pada saat Angin
Muson Barat Laut (Desember – Maret) lapisan tercampur memiliki suhu yang
relatif tinggi, begitu pula pada Musim Peralihan I (April – Mei). Pada periode
Angin Muson Tenggara (Juni – Agustus) suhu lapisan tercampur terlihat
menurun, dan kemudian mulai meningkat kembali pada Musim Peralihan II
(September – November).
Dari Gambar 17, 18 dan 19 terlihat adanya fluktuasi naik turunnya isoterm
pada lapisan termoklin. Pada periode Angin Muson Barat Laut lapisan termoklin
bagian atas terlihat lebih tenggelam dibandingkan dengan pada saat Musim
Peralihan I dan II. Lapisan termoklin bagian atas terangkat pada saat periode
Angin Muson Tenggara sedangkan lapisan termoklin bagian bawah terlihat lebih
tenggelam sehingga mengakibatkan lapisan termoklin menjadi lebih tebal. Pada
periode Angin Muson Tenggara (Juni - Agustus) pada tahun 1982, 1993, 1997
dan 2006 terlihat adanya pendangkalan lapisan termoklin hingga batas atas
lapisan termoklin mencapai kedalaman ± 50 meter, dan batas bawah mencapai
kedalaman hingga lebih dari 150 meter.
42
Saat Angin Muson Tenggara pada tahun 1982, 1993, 1994, 1997, 2002,
2006 dan 2007 suhu pada lapisan permukaan cukup rendah. Suhu yang relatif
rendah tersebut terjadi bersamaan dengan terangkatnya lapisan termoklin.
Menurunnya suhu permukaan dan terangkatnya lapisan termoklin pada saat
Angin Muson Tenggara diduga diakibatkan oleh adanya massa air dingin yang
berasal dari upwelling dan terbawa oleh AKS. Susanto et al. (2001)
menyebutkan bahwa pada bulan Juni hingga Oktober terjadi upwelling di
perairan selatan Jawa dan barat Sumatera. Menurut Wyrtki (1961) Angin Muson
Tenggara yang terjadi pada bulan Juni hingga Oktober mendesak poros AKS ke
utara dan menyebarkan massa air dari proses upwelling hingga ke daerah
penelitian.
Sebaran temporal suhu per kedalaman di perairan barat Sumatera
ditampilkan pada Gambar 20 dan 21. Dari gambar sebaran temporal suhu per
kedalaman terlihat bahwa kedalaman 5, 25 dan 55 meter merupakan lapisan
tercampur, karena pada lapisan ini suhu tidak terlalu berfluktuasi. Berdasarkan
gambar 17 dan 18 juga terlihat bahwa pada waktu tertentu kedalaman 55 meter
memiliki fluktuasi yang cukup besar. Hal ini menunjukkan bahwa dalam waktu
tertentu kedalaman 55 meter menjadi lapisan termoklin bagian atas. Hal yang
sama juga ditemukan Holiludin (2009) di perairan barat Sumatera fluktuasi suhu
yang cukup besar terjadi pada kedalaman 55, 75, 125, 155, dan 175 meter. Hal
ini menunjukkan bahwa lapisan kedalaman dari 55 hingga 175 meter merupakan
lapisan termoklin. Pada kedalaman 250, 446 dan 617 meter fluktuasi yang
terjadi pada lapisan sebelumnya berkurang. Hal ini menunjukkan bahwa lapisan
ini merupakan lapisan dalam.
43
Gambar 20. Sebaran Temporal Suhu per Kedalaman a) Januari 1979 – Desember 1984 b) Januari 1985 – Desember 1990 c) Januari 1991 – Desember 1996
a)
b)
c)
44
Gambar 21. Sebaran Temporal Suhu per Kedalaman a) Januari 1997 –
Desember 2002 b) Januari 2003 – Desember 2007
Pada lapisan permukaan fluktuasi suhu relatif stabil, namun pada waktu
tertentu lapisan ini mengalami penurunan yang cukup ekstrim. Suhu lapisan
tercampur terlihat meningkat pada periode Angin Muson Barat Laut (Desember –
Februari) dan Musim Peralihan, puncaknya terjadi pada Maret hingga Mei. Hal
tersebut terlihat jelas pada tahun 1979, 1983, 1987, 1998, 2002, dan 2005. Suhu
yang relatif meningkat pada periode Angin Muson Barat Laut ini diduga
diakibatkan oleh adanya Arus Sakal Samudera Hindia (ASH). Dalam
pergerakannya disepanjang ekuator ASH mendapatkan penyinaran matahari
yang relatif tinggi dan terus menerus sehingga membawa massa air yang
memiliki suhu yang relatif tinggi (Wyrtki, 1961). Pada musim peralihan pertama
dan kedua terlihat suhu juga relatif tinggi, hal ini diduga akibat adanya Jet Wyrtki
a)
b)
45
yang berkembang pada saat Musim Peralihan (Maret – Mei dan September –
November). Jet Wyrtki memiliki peran besar dalam mengakumulasikan massa
air yang hangat ke perairan barat Sumatera.
Pada saat periode Angin Muson Tenggara suhu di lapisan permukaan
cenderung menurun bila dibandingkan dengan musim lainnya. Menurut Wyrtki
(1961), pada bulan Juli hingga Oktober poros Arus Khatulistiwa Selatan (AKS)
tergeser oleh Angin Muson Tenggara hingga ke arah utara. AKS yang terdesak
hingga utara tersebut mempengaruhi penyebaran massa air dingin yang berasal
dari upwelling yang terjadi di perairan barat Sumatera dan di selatan Jawa serta
massa air dingin dari bagian utara Australia hingga perairan barat Sumatera.
Selain itu rendahnya suhu pada periode ini diakibatkan oleh udara dingin yang
terbawa oleh Angin Muson Tenggara menuju ke daerah penelitian.
Pada lapisan termoklin terlihat adanya fluktuasi menipis dan menebal.
Namun pada lapisan termoklin fluktuasi yang terlihat terjadi berulang setiap
setengah tahunnya. Hal tersebut dapat dilihat dengan adanya satu bukit dan
satu lembah yang terjadi setiap enam bulan (Gambar 17, 18 dan 19 serta
Gambar 20 dan 21). Hal tersebut diduga terjadi karena adanya pengaruh dari
arah dan kekuatan angin yang bertiup pada Angin Muson Tenggara, Angin
Muson Barat Laut dan Musim Peralihan. Selain itu Jet Wyrtki yang berkembang
pada musim peralihan juga mempengaruhi adanya fluktuasi setengah tahunan
pada suhu di perairan barat Sumatera. Holilludin (2009) menyatakan bahwa
fluktuasi setengah-tahunan suhu di perairan barat Sumatera menggambarkan
variasi suhu yang terjadi selama pergantian musim, dari Musim Peralihan ke
Musim Peralihan berikutnya
Selain fluktuasi setengah tahunan suhu di perairan barat Sumatera juga
memiliki fluktuasi tahunan yang ditunjukkan oleh adanya perubahan pada lapisan
termoklin bagian atas setiap tahunnya. Menurut Holliludin (2009) pada Muson
46
Tenggara angin bertiup kencang dalam waktu yang lama sehingga menyebabkan
penaikan massa air dari lapisan yang dalam ke lapisan yang lebih atas,
kemudian membuat batas atas dan batas bawah lapisan termoklin menjadi lebih
dangkal.
4.4. Sebaran Angin
Sebaran arah dan kecepatan angin di perairan barat Sumatera
ditampilkan dalam bentuk stickplot pada Gambar 22, 23 dan 24. Dari gambar
tersebut terlihat bahwa arah angin bergerak lebih kuat dan lebih lama ke arah
tenggara. Pada bulan Desember hingga Maret angin bertiup dari arah barat laut
menuju ke tenggara. Pada bulan Juli hingga November angin cenderung bertiup
ke arah barat laut. Sedangkan pada bulan April hingga Juni angin cenderung
tidak teratur, namun cenderung bergerak ke arah barat laut.
Gambar 22. Sebaran Temporal Angin Periode Januari 1979 – Desember 1984
47
Gambar 23. Sebaran Temporal Angin a) Januari 1985 – Desember 1990 b) Januari 1991 – Desember 1996 c) Januari 1997 – Desember 2002
a)
b)
c)
48
Gambar 24. Sebaran Temporal Angin Periode Januari 2003 – Desember 2007
Pada saat Angin Muson Barat Laut (Desember – Februari) angin
permukaan di perairan barat Sumatera bergerak ke arah tenggara, sedangkan
pada saat Angin Muson Tenggara (Juni – Agustus) angin permukaan di perairan
barat Sumatera bergerak ke arah barat laut. Pada saat awal Musim Peralihan
angin cenderung bergerak ke arah barat laut. Hal ini sesuai dengan Wyrtki
(1961) yang mengatakan bahwa pergerakan angin ke arah tenggara pada saat
Angin Muson Barat Laut terjadi akibat terbentuknya tekanan yang tinggi di Benua
Asia, sehingga angin bergerak dari Benua Asia ke Benua Australia. Hal
sebaliknya terjadi pada saat Angin Muson Tenggara pusat tekanan tinggi berada
di Benua Australia, sehingga angin bergerak dari Benua Australia ke Benua Asia.
Dari fluktuasi komponen zonal dan meridional angin yang bertiup di
perairan barat Sumatera terlihat bahwa nilai komponen zonal angin lebih besar
dibandingkan dengan nilai komponen meridional angin. Hal ini menunjukkan
bahwa pada perairan barat Sumatera komponen angin yang paling berpengaruh
adalah komponen zonal angin. Wilopo (2005), Farita (2006) dan Holilludin
(2009) juga menyatakan bahwa di perairan selatan Jawa dan perairan barat
Sumatera fluktuasi komponen zonal angin lebih besar dibandingkan dengan
fluktuasi komponen meridional angin.
49
Dari Gambar 22, 23 dan 24 terlihat bahwa arah angin akan menuju ke
suatu arah selama beberapa bulan dalam rentang waktu satu tahun. Kemudian
pada tahun berikutnya di bulan yang sama angin akan kembali menuju ke arah
tersebut. Angin akan memiliki kecepatan yang berbeda pada musim yang sama,
pada periode Muson Barat Laut pada suatu tahun angin akan memiliki kecepatan
yang berbeda dengan kecepatan angin pada musim yang sama di tahun
berikutnya. Bila dilihat pola arah angin ini hampir selalu sama pada tahun-tahun
berikutnya. Selain itu pada musim yang sama kecepatan angin di perairan barat
Sumatera selalu berfluktuasi sehingga kecepatannya tidak selalu sama. Hal ini
berarti bahwa angin memiliki fluktuasi tahunan. Selain itu terdapat fluktuasi
setengah-tahunan dari komponen angin yang ditunjukkan dengan perubahan
arah setiap 6 bulan. Hal yang sama ditemukan Farita (2006) dan Holilludin
(2009) yang menyatakan bahwa selain memiliki fluktuasi tahunan angin di
perairan barat Sumatera juga memiliki fluktuasi setengah-tahunan.
4.5. Kaitan antara sebaran arus, suhu, angin, dengan IODM dan ENSO
Sebaran temporal arus, suhu, angin DMI di perairan barat Sumatera serta
SOI bulanan rata-rata periode Januari 1979 hingga Desember 2007 ditampilkan
pada Gambar 25, 26, 27, 28 dan 29. Nilai DMI menggambarkan terjadinya
fenomena IODM. Fenomena IODM positif ditandai dengan nilai DMI yang
menunjukkan nilai positif yang ekstrim, dan sebaliknya fenomena IODM negatif
ditandai dengan nilai DMI yang menunjukkan nilai negatif yang ekstrim.
Sedangkan nilai SOI menggambarkan terjadinya fenomena ENSO. Fenomena
El Nino digambarkan dengan SOI yang bernilai negatif.
Dari Gambar 25, 26, 27, 28 dan 29 dapat dilihat bahwa fenomena IODM
positif terjadi pada tahun 1982 (Juni-September), 1983 (Juni-September), 1987
50
(Juni-November), 1991 (Juni), 1994 (Juni-September), 1997 (September-
Desember), 2002 (September-Desember), dan 2006 (September-Desember).
Sedangkan fenomena IODM negatif terjadi pada tahun 1980 (Juni-Desember),
1981 (Juni-Desember), 1985 (Januari), 1989 (Maret-Juni), 1992 (Maret-
September), 1996 (Juni-Desember) dan 1998 (September-Desember). Hal yang
sama juga ditemukan oleh Saji et al. (1999) dan Meyers et al. (2006) fenomena
IODM positif terjadi pada tahun 1982, 1983, 1987, 1991, 1994, dan 1997 dan
fenomena IODM negatif terjadi pada tahun 1980, 1981, 1985, 1989, dan 1992.
Sedangkan fenomena ENSO terjadi pada tahun Juni-Desember 1982, Januari-
Juni1987, Mei-September 1991, Juni 1997 hingga Maret 1998, Februari 2005
dan Mei-November 2006. Pada tahun tersebut SOI memiliki nilai ekstrim negatif.
Secara umum pada saat terjadi IODM positif suhu pada lapisan
permukaan dan lapisan termoklin di perairan barat Sumatera menjadi lebih
rendah dibandingkan pada saat biasanya. Selain itu lapisan permukaan
tercampur pada periode ini menjadi lebih tipis dan disertai dengan naiknya
lapisan termoklin, sehingga lapisan termoklin menjadi lebih dangkal. IODM
positif juga ditandai dengan meningkatnya kecepatan angin yang bertiup di
perairan barat Sumatera. Perubahan kecepatan juga terjadi pada komponen
arus, dimana fenomena IODM positif menyebabkan bertambahnya kecepatan
pada arus. Thompson et al. (2006) dan Vinayachandran et al. (2002) juga
menyatakan bahwa IODM mempengaruhi adanya variasi antar-tahunan pada
suhu di perairan barat Sumatera.
51
Gambar 25. Sebaran Temporal Arus, Angin, Suhu, DMI dan SOI Periode Januari 1979 – Desember 1984 a) Arus b) Suhu c) Angin d) DMI e) SOI
a)
b)
c)
d)
e)
52
Gambar 26. Sebaran Temporal Arus, Angin, Suhu, DMI dan SOI Periode Januari 1985 – Desember 1990 a) Arus b) Suhu c) Angin d) DMI e) SOI
a)
b)
c)
d)
e)
53
Gambar 27. Sebaran Temporal Arus, Angin, Suhu, DMI dan SOI Periode Januari 1991 – Desember 1996 a) Arus b) Suhu c) Angin d) DMI e) SOI
a)
b)
c)
d)
e)
54
Gambar 28. Sebaran Temporal Arus, Angin, Suhu, DMI dan SOI Periode Januari 1997 – Desember 2002 a) Arus b) Suhu c) Angin d) DMI e) SOI
a)
b)
c)
d)
e)
55
Gambar 29. Sebaran Temporal Arus, Angin, Suhu, DMI dan SOI Periode Januari 2003 – Desember 2007 a) Arus b) Suhu c) Angin d) DMI e) SOI
a)
b)
c)
d)
e)
56
Pada saat IODM positif suhu menurun karena adanya angin kuat yang
menekan Jet Wyrtki, sedangkan pada saat IODM negatif terjadi hal yang
sebaliknya. IODM positif juga ditandai dengan pendangkalan lapisan termoklin di
Samudera Hindia bagian timur (perairan barat Sumatera) sedangkan di
Samudera Hindia bagian barat (perairan timur Afrika) menjadi lebih dalam. Hal
yang sama juga ditemukan Holilludin (2009) pada saat IODM positif, di perairan
barat Sumatera lapisan tercampur menjadi lebih tipis dan lapisan termoklin naik
sehingga menjadi lebih dangkal. Batas atas lapisan termoklin terlihat berada
pada kedalaman kurang dari 50 m dan batas bawah lapisan termoklin berada
pada kedalaman 150 m
Pada saat terjadi fenomena ENSO terlihat adanya penurunan suhu di
lapisan permukaan dan termoklin di perairan barat Sumatera pada tahun
1982,1987,1991,1997, 2005 dan 2006 (Gambar 25, 26, 27, 28 dan 29). Godfrey
(2001) serta Webster dan Torrence (1999) juga menyatakan bahwa pada saat El
Nino terlihat adanya anomali negatif pada suhu di perairan barat Sumatera,
sehingga terlihat adanya keterkaitan antara suhu di Samudera Pasifik dengan
suhu di Samudera Hindia. Selain itu kecepatan angin yang bertiup di perairan
barat Sumatera juga mengalami peningkatan walaupun tidak signifikan seperti
pada saat fenomena IODM positif. Susanto et al. (2001) dan Godfrey (2001)
menyatakan bahwa pada saat terjadi El Nino di Samudera Pasifik Angin Muson
Tenggara yang terbentuk di perairan barat Sumatera mengalami peningkatan.
Hal yang sama seperti angin juga terjadi pada komponen arus.
Pada tahun 1982 (Gambar 25), 1991 (Gambar 27), 1997 (Gambar 28),
dan 2006 (Gambar 29) terlihat fenomena IODM positif terjadi bersamaan dengan
terjadinya ENSO. Pada tahun tersebut DMI bernilai ekstrim positif, sedangkan
SOI bernilai ekstrim negatif. Pada tahun-tahun tersebut suhu yang terdapat di
perairan barat Sumatera menurun, sedangkan kekuatan angin dan arus
57
meningkat. Namun pada hal ini belum diketahui keterkaitan antara IODM
dengan ENSO. Saji et al. (1999) menyatakan bahwa IODM merupakan suatu
fenomena atmosfer-laut yang mempunyai mekanisme fisis yang hampir sama
dengan ENSO, tidak bergantung pada ENSO.
4.6. Spektrum Densitas Energi
4.6.1. Spektrum Densitas Energi Arus
Spektrum densitas energi arus komponen zonal dan meridional
ditampilkan pada Gambar 30, 31, 32, 33 dan 34 serta Tabel 3.
Spektral analisis arus komponen u kedalaman 5 meter
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
Den
sit
as E
nerg
i (m
/det)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Spektral analisis arus komponen v kedalaman 5 meter
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
Den
sit
as E
nerg
i (m
/det)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Spektral analisis arus komponen u kedalaman 25 meter
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
Den
sit
as E
nerg
i (m
/det)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Spektral analisis arus komponen v kedalaman 25 meter
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
Den
sit
as E
nerg
i (m
/det)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Gambar 30. Spektrum densitas energi arus kedalaman 5 meter dan 25 meter a) komponen zonal 5 meter b) komponen meridional 5 meter c) komponen zonal 25 meter d) komponen meridional 25 meter
6 bulan
12 bulan
6 bulan
12 bulan
6 bulan
12 bulan
6 bulan
a) b)
c) d)
58
Spektral analisis arus komponen u kedalaman 55 meter
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
De
ns
ita
s E
ne
rgi
(m/d
et)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Spektral analisis arus komponen v kedalaman 55 meter
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
De
ns
ita
s E
ne
rgi
(m/d
et)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Spektral analisis arus komponen u kedalaman 75 meter
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
De
ns
ita
s E
ne
rgi
(m/d
et)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Spektral analisis arus komponen v kedalaman 75 meter
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
De
ns
ita
s E
ne
rgi
(m/d
et)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Gambar 31. Spektrum densitas energi arus kedalaman 55 meter dan 75 meter
a) komponen zonal 5 meter b) komponen meridional 5 meter c) komponen zonal 25 meter d) komponen meridional 25 meter
6 bulan
12 bulan
6 bulan
12 bulan
6 bulan
12 bulan
6 bulan
a)
b)
c)
d)
59
Spektral analisis arus komponen u kedalaman 125 meter
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
De
ns
ita
s E
ne
rgi
(m/d
et)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Spektral analisis arus komponen v kedalaman 125 meter
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
De
ns
ita
s E
ne
rgi
(m/d
et)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Spektral analisis arus komponen u kedalaman 155 meter
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
De
ns
ita
s E
ne
rgi
(m/d
et)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Spektral analisis arus komponen v kedalaman 155 meter
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
De
ns
ita
s E
ne
rgi
(m/d
et)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Gambar 32. Spektrum densitas energi arus kedalaman 125 meter dan 155 meter
a) komponen zonal 125 meter b) komponen meridional 125 meter c) komponen zonal 155 meter d) komponen meridional 155 meter
6 bulan
29 bulan
6 bulan
6 bulan
29 bulan
6 bulan
a)
b)
c)
d)
60
Spektral analisis arus komponen u kedalaman 175 meter
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.00
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.07
0.08
De
ns
ita
s E
ne
rgi
(m/d
et)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Spektral analisis arus komponen v kedalaman 175 meter
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.00
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.07
0.08
De
ns
ita
s E
ne
rgi
(m/d
et)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Spektral analisis arus komponen u kedalaman 250 meter
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.00
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.07
0.08
De
ns
ita
s E
ne
rgi
(m/d
et)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Spektral analisis arus komponen v kedalaman 250 meter
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.00
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.07
0.08
De
ns
ita
s E
ne
rgi
(m/d
et)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Gambar 33. Spektrum densitas energi arus kedalaman 175 meter dan 250 meter
a) komponen zonal 175 meter b) komponen meridional 175 meter c) komponen zonal 250 meter d) komponen meridional 250 meter
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
a)
b)
c)
d)
61
Spektral analisis arus komponen u kedalaman 446 meter
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.00
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.07
0.08
De
ns
ita
s E
ne
rgi
(m/d
et)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Spektral analisis arus komponen v kedalaman 446 meter
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.00
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.07
0.08
De
ns
ita
s E
ne
rgi
(m/d
et)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Spektral analisis arus komponen u kedalaman 617 meter
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.00
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.07
0.08
De
ns
ita
s E
ne
rgi
(m/d
et)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Spektral analisis arus komponen v kedalaman 617 meter
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.00
0.01
0.02
0.03
0.04
0.05
0.06
0.07
0.08
De
ns
ita
s E
ne
rgi
(m/d
et)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Gambar 34. Spektrum densitas energi arus kedalaman 446 meter dan 617 meter
a) komponen zonal 446 meter b) komponen meridional 446 meter c) komponen zonal 617 meter d) komponen meridional 617 meter
6 bulan
6 bulan
6 bulan
6 bulan
a)
b)
c)
d)
62
Tabel 3. Hasil Spektrum Densitas Energi Arus
Kedalaman Komponen Periode (Bulan) Spektrum Densitas Energi
Yang Signifikan (m/det)2/siklus/bulan
Keterangan
5 meter u
6.00 0.5180 Setengah-tahunan
12.00 0.6214 Tahunan
v 6.00 0.1860 Setengah-tahunan
25 meter
u 6.00 0.5378 Setengah-tahunan
12.00 0.2192 Tahunan
v 6.00 0.1705 Setengah-tahunan
12.00 0.0738 Tahunan
55 meter
u 6.00 0.3827 Setengah-tahunan
12.00 0.0647 Tahunan
v 6.00 0.1171 Setengah-tahunan
12.00 0.0516 Tahunan
75 meter u
6.00 0.3088 Setengah-tahunan
12.00 0.0548 Tahunan
v 6.00 0.0962 Setengah-tahunan
125 meter
u 6.00 0.1404 Setengah-tahunan
29.00 0.0236 Antar-tahunan
v 6.00 0.0391 Setengah-tahunan
29.00 0.0085 Antar-tahunan
155 meter
u 6.00 0.0958 Setengah-tahunan
v 6.00 0.0210 Setengah-tahunan
29.00 0.0028 Antar-tahunan
175 meter u 6.00 0.0754 Setengah-tahunan
v 6.00 0.0170 Setengah-tahunan
250 meter u 6.00 0.0542 Setengah-tahunan
v 6.00 0.0127 Setengah-tahunan
446 meter u 6.00 0.0603 Setengah-tahunan
v 6.00 0.0186 Setengah-tahunan
617 meter u 6.00 0.0472 Setengah-tahunan
v 6.00 0.0157 Setengah-tahunan
Dari grafik spektrum densitas energi arus serta Tabel 3, secara umum
terlihat bahwa energi densitas yang signifikan terdapat pada periode 6 bulan dan
12 bulan. Pada kedalaman 5 meter dan 25 meter terlihat energi densitas yang
signifikan ada pada periode 6 bulan dan 12 bulan. Pada kedalaman 55 meter
nilai energi densitas yang signifikan terdapat pada periode 6 bulan dan 12 bulan.
Pada kedalaman 75 meter terlihat nilai energi densitas yang signifikan terdapat
63
pada periode 6 bulan dan 12 bulan. Pada kedalaman 125 meter dan 155 meter
nilai energi densitas yang signifikan terdapat pada periode 6 bulan dan 29 bulan.
Pada kedalaman 175 , 250, 446 dan 617 meter nilai energi densitas yang
signifikan berada pada periode 6 bulan.
Dari hasil spektrum densitas energi terlihat bahwa arus di perairan barat
Sumatera memiliki fluktuasi setengah tahunan (semi-annual), tahunan (annual),
dan antar-tahunan (inter-annual). Fluktuasi arus diduga sangat dipengaruhi oleh
Angin Muson yang bertiup pada daerah penelitian. Periode fluktuasi 6 bulan
(setengah-tahunan) diduga karena adanya perubahan arah angin setiap 6 bulan,
serta Jet Wyrtki yang berkembang setiap musim peralihan. Periode fluktuasi 12
bulan (tahunan) diduga karena kecepatan angin pada musim yang sama tidak
selalu sama. Kecepatan angin pada saat Muson Barat Laut pada suatu tahun
belum tentu sama dengan kecepatan angin pada musim barat di tahun berikut
atau sebelumnya. Sedangkan periode fluktuasi 14,5 bulan dan 29 bulan (antar-
tahunan) diduga dipengaruhi oleh adanya fluktuasi IODM yang terjadi di
Samudera Hindia. Martono et al. (2008) juga mengamati bahwa variabilitas arus
di perairan Samudera Hindia, dipengaruhi oleh angin muson dan IODM yang
berkembang di Samudera Hindia.
Dari Tabel 3 nilai spektrum densitas energi terlihat bahwa nilai energi
densitas paling besar ada pada kedalaman 5 meter. Namun seiring dengan
bertambahnya kedalaman nilai energi densitas semakin menurun pula. Dari nilai
tersebut terlihat bahwa energi densitas terbesar terdapat pada lapisan
permukaan. Komponen zonal arus memiliki nilai energi densitas yang lebih
besar dibandingkan dengan nilai energi densitas dari komponen meridional. Hal
ini berarti fluktuasi komponen zonal arus lebih bervariasi dibandingkan dengan
komponen meridional arus. Hal ini terjadi karena di perairan barat Sumatera
fluktuasi komponen zonal angin lebih besar dibandingkan dengan fluktuasi
64
komponen meridionalnya. Hal ini juga ditemukan oleh Wilopo (2005), Farita
(2006) dan Holilludin (2009).
4.6.2. Spektrum Densitas Energi Suhu
Spektrum densitas energi suhu di perairan barat Sumatera untuk
kedalaman 5 meter, 25 meter, 55 meter, 75 meter, 125 meter, 155 meter, 175
meter, 250 meter, 446 meter, dan 617 meter ditampilkan pada Gambar 35, 36,
37 dan Tabel 4.
Spektral Analisis Suhu Kedalaman 5 meter
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0
10
20
30
40
Den
sit
as E
nerg
i (m
/det)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Spektral Analisis Suhu Kedalaman 25 meter
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0
10
20
30
40
Den
sit
as E
nerg
i (m
/det)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Spektral Analisis Suhu Kedalaman 55 meter
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0
10
20
30
40
Den
sit
as E
nerg
i (m
/det)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Spektral Analisis Suhu Kedalaman 75 meter
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0
50
100
150
200
250
300
350
Den
sit
as E
nerg
i (m
/det)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Gambar 35. Spektrum densitas energi suhu pada kedalaman
a) 5 meter b) 25 meter c) 55 meter d) 75 meter
12 bulan
6 bulan
34.8 bulan
18.32 bulan
12 bulan
6 bulan
34.8 bulan
18.32 bulan
58 bulan
12 bulan
6 bulan
18.32 bulan
26.77 bulan
6 bulan
18.32 bulan
26.77 bulan 12 bulan
58 bulan
a) b)
c) d)
65
Spektral Analisis Suhu Kedalaman 125 meter
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0
50
100
150
200
250
300
350
De
ns
ita
s E
ne
rgi
(m/d
et)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Spektral Analisis Suhu Kedalaman 155 meter
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0
50
100
150
200
250
300
350
De
ns
ita
s E
ne
rgi
(m/d
et)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Spektral Analisis Suhu Kedalaman 175 meter
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0
10
20
30
40
50
60
70
De
ns
ita
s E
ne
rgi
(m/d
et)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Spektral Analisis Suhu Kedalaman 250 meter
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0
10
20
30
40
50
60
70
De
ns
ita
s E
ne
rgi
(m/d
et)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Gambar 36. Spektrum densitas energi suhu pada kedalaman
a) 125 meter b) 155 meter c) 175 meter d) 250 meter
6 bulan
29 bulan
6 bulan
6 bulan
29 bulan
6 bulan
29 bulan
a)
b)
c)
d)
66
Spektral Analisis Suhu Kedalaman 446 meter
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
De
ns
ita
s E
ne
rgi
(m/d
et)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Spektral Analisis Suhu Kedalaman 617 meter
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
2.5
3.0
3.5
4.0
De
ns
ita
s E
ne
rgi
(m/d
et)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Gambar 37. Spektrum densitas energi suhu pada kedalaman
a) 446 meter b) 617 meter
Dari grafik spektrum densitas energi (Gambar 35, 36, dan 37) serta Tabel
4 terlihat bahwa pada lapisan permukaan (kedalaman 5 hingga 55 meter)
densitas energi yang dominan terjadi pada periode 12 bulan. Pada lapisan
termoklin bagian atas yang diwakili oleh kedalaman 75 meter terlihat nilai
densitas energi terbesar berada pada periode 58 bulan. Sedangkan untuk
lapisan termoklin (125, 155 dan 175 meter) serta lapisan dalam (250, 446 dan
617 meter) nilai energi densitas yang signifikan berada pada periode 6 bulan.
Dari spektrum densitas densitas energi terlihat bahwa nilai densitas
energi suhu terlihat mulai dari kedalaman 5 meter hingga 125 meter nilai densitas
energi cenderung meningkat, dan mencapai nilai maksimum pada kedalaman
125 meter. Kemudian pada kedalaman 155 meter hingga 617 meter spektrum
densitas energi cenderung kembali menurun. Hal yang sama juga ditemukan
6 bulan
12 bulan
6 bulan
34 bulan
a)
b)
67
Farita (2006) dan Holiludin (2009), dimana lapisan termoklin memiliki nilai energi
variabilitas suhu yang paling besar. Besarnya variabilitas energi pada lapisan
termoklin diduga karena pengaruh dari massa air dingin yang berasal dari
upwelling perairan selatan Jawa dan perairan barat Sumatera lebih terasa pada
lapisan ini dibandingkan dengan lapisan lainnya. Karena adanya massa air dingin
ini maka fluktuasi suhu yang terlihat pada lapisan termoklin menjadi sangat jelas.
Tabel 4. Hasil Spektrum Densitas Energi Suhu
Kedalaman Periode (Bulan) Spektrum Densitas Energi
Yang Signifikan (m/det)2/siklus/bulan
Keterangan
5 meter
6.00 4.3903 Setengah-tahunan
12.00 31.9632 Tahunan
18.32 5.0414 Antar-tahunan
34.80 5.5682 Antar-tahunan
25 meter
6.00 5.7013 Setengah-tahunan
12.00 31.7021 Tahunan
18.32 5.1472 Antar-tahunan
34.80 5.0911 Antar-tahunan
55 meter
6.00 25.5801 Setengah-tahunan
12.00 39.7975 Tahunan
18.32 23.1520 Antar-tahunan
26.77 19.4498 Antar-tahunan
58.00 38.7337 Antar-tahunan
75 meter
6.00 85.6689 Setengah-tahunan
12.00 60.3046 Tahunan
18.32 46.8978 Antar-tahunan
26.77 48.4864 Antar-tahunan
58.00 96.9669 Antar-tahunan
125 meter 6.00 301.9866 Setengah-tahunan
29.00 24.3919 Antar-tahunan
155 meter 6.00 125.0254 Setengah-tahunan
29.00 16.7301 Antar-tahunan
175 meter 6.00 68.3065 Setengah-tahunan
29.00 7.6467 Antar-tahunan
250 meter 6.00 14.1880 Setengah-tahunan
446 meter 6.00 3.8050 Setengah-tahunan
12.00 0.3304 Tahunan
617 meter 6.00 2.6190 Setengah-tahunan
34.80 0.3402 Antar-tahunan
68
Dari Gambar 35, 36, dan 37 serta Tabel 4, terlihat bahwa suhu di
perairan barat Sumatera memiliki fluktuasi setengah-tahunan (semi-annual),
fluktuasi tahunan (annual) dan fluktuasi antar-tahunan (inter-annual). Fluktuasi
tersebut diduga karena pengaruh dari beberapa faktor seperti angin, Jet Wyrtki
dan IODM. Fluktuasi tahunan ditemukan pada lapisan permukaan, dimana pada
lapisan permukaan terjadi pola suhu yang berulang tiap tahunnya. Pada saat
Angin Muson Barat Laut suhu di lapisan permukaan tercampur lebih hangat
dibandingkan biasanya, sedangkan pada saat Angin Muson Tenggara suhu di
lapisan permukaan tercampur lebih rendah daripada biasanya. Hal ini diduga
disebabkan oleh adanya ASH yang melewati daerah penelitian. Menurut Wyrtki
(1961), dalam pergerakannya disepanjang ekuator ASH mendapatkan
penyinaran matahari yang relatif tinggi dan terus menerus sehingga membawa
massa air yang memiliki suhu yang relatif tinggi.
Fluktuasi antar-tahunan terlihat pada lapisan termoklin bagian atas (55
dan 75 meter), hal ini diduga akibat adanya pengaruh dari IODM yang
mengakibatkan penipisan dan pendangkalan lapisan termoklin. Karena adanya
pendangkalan tersebut maka diduga lapisan atas termoklin mencapai kedalaman
55 meter. Menurut Vinayachandran et al. (2002) pada saat terjadi IODM lapisan
termoklin di Samudera Hindia menjadi lebih dangkal.
Fluktuasi setengah-tahunan ditemukan mulai kedalaman 75 meter hingga
kedalaman 617 meter. Fluktuasi setengah-tahunan ini diduga akibat adanya
pengaruh dari Jet Wyrtki. Menurut Wyrtki (1973), Jet wyrtki ini membawa massa
air hangat yang akan memperdalam lapisan permukaan pada musim peralihan.
Selain itu fluktuasi setengah-tahunan ini juga dipengaruhi oleh adanya angin
muson yang berganti arah setiap musimnya.
69
4.6.3. Spektrum Densitas Energi Angin
Spektrum densitas energi dari komponen zonal dan meridional dari angin
ditunjukkan pada Gambar 38 dan Tabel 5.
Spektral Analisis Angin Komponen Zonal
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0
100
200
300
400
500D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/b
ula
n
Spektral Analisis Angin Komponen Meridional
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0
100
200
300
400
500
De
ns
ita
s E
ne
rgi
(m/d
et)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Gambar 38. Spektrum densitas energi angin a) komponen zonal b) komponen meridional
Tabel 5. Hasil Spektrum Densitas Energi Angin
Parameter Periode (Bulan) Spektrum Densitas Energi
(m/det)2/siklus/bulan Keterangan
u angin 12.00 484.8393 Tahunan
v angin 12.00 414.8738 Tahunan
Dari Gambar 38 dan Tabel 5 terlihat bahwa terlihat bahwa densitas energi
angin yang dominan di perairan barat Sumatera hanya berada pada periode 12
bulan. Hal ini berarti bahwa angin di perairan barat Sumatera hanya memiliki
fluktuasi tahunan (annual). Fluktuasi tahunan (annual) pada komponen angin
12 bulan
12 bulan
a)
b)
70
diduga diakibatkan karena perbedaan tekanan udara pada musim yang sama di
setiap tahunnya tidak selalu sama.
Dari spektrum densitas energi dapat dilihat bahwa nilai energi densitas
dari komponen zonal angin lebih besar daripada komponen meridional angin.
Hal ini berarti bahwa fluktuasi komponen zonal angin lebih besar daripada
komponen meridional angin. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dari Wilopo
(2005), Farita (2006) dan Holilludin (2009), yang menyatakan bahwa nilai
densitas energi komponen zonal angin di perairan Samudera Hindia memiliki nilai
yang lebih besar dibandingkan dengan komponen meridional angin.
4.6.3. Spektrum Densitas Energi Indian Ocean Dipole Mode (IODM)
Spektrum densitas energi dari Indian Ocean Dipole Mode (IODM)
ditampilkan pada Gambar 39 dan Tabel 6.
Spektral Analisis Dipole Mode Index
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0
5
10
15
20
25
30
35
40
De
ns
ita
s E
ne
rgi
(m/d
et)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Gambar 39. Spektrum Densitas Energi Dipole Mode Index (DMI)
Tabel 6. Hasil Spektrum Densitas Energi IODM
Parameter Periode (Bulan) Spektrum Densitas Energi
(m/det)2/siklus/bulan Keterangan
IODM 18.32 13.96399 1,5 Tahun
38.67 38.91816 3 Tahun
18.3 bulan
38.67 bulan
71
Dari Gambar 39 dan Tabel 6 terlihat bahwa IODM memiliki nilai energi
densitas yang relatif besar pada periode 18,3158 bulan, dan 38,6667 bulan. Hal
ini menunjukkan bahwa Indian Ocean Dipole Mode memiliki fluktuasi antar-
tahunan (inter-annual). Terlihat dari Tabel 6 nilai energi densitas IODM yang
relatif signifikan berada pada periode 1,5 tahunan dengan nilai energi densitas
sebesar 13,96399 dan pada periode 3 tahunan dengan nilai energi densitas
sebesar 38,91816. Periode 3 tahunan merupakan representasi dari siklus IODM
yang berulang sekitar 3 tahun.
Menurut Thompson et al. (2006) pada saat terjadi IODM positif terbentuk
anomali angin yang kuat dan kemudian menghambat terjadinya Jet Wyrtki yang
biasanya berkembang pada saat musim peralihan. Akibat dari terjadinya anomali
angin tersebut juga akan menyebabkan AKS menjadi berkembang. AKS
kemudian akan membawa massa air dingin yang berasal dari upwelling yang
terjadi di perairan selatan Jawa dan perairan barat Sumatera menuju ke daerah
penelitian.
4.6.3. Spektrum Densitas Energi El Nino Southern Oscillation (ENSO)
Hasil dari spektrum densitas energi El Nino Southern Oscillation (ENSO)
ditampilkan pada Gambar 40 Dan Tabel 7.
Spektral Analisis Southern Oscillation Index
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0
500
1000
1500
2000
2500
De
ns
ita
s E
ne
rgi
(m/d
et)
2/S
iklu
s/b
ula
n
Gambar 40. Spektrum Densitas Energi Southern Oscillation Index (SOI)
29 bulan
58 bulan
116 bulan
72
Tabel 7. Hasil Spektrum Densitas Energi ENSO
Parameter Periode (Bulan) Spektrum Densitas Energi
(m/det)2/siklus/bulan Keterangan
ENSO
29.00 2231.864 2,5 tahun
58.00 2135.163 5 tahun
116.00 1665.503 10 tahun
Dari Gambar 40 dan Tabel 7 di atas dapat dilihat bahwa memiliki fluktuasi
antar-tahunan (inter-annual). Terlihat pada Tabel 7 nilai energi densitas dari
ENSO yang relatif signifikan berada pada periode 29 bulan dengan nilai energi
densitas sebesar 2231,864 kemudian pada periode 58 bulan dengan nilai energi
densitas sebesar 2135,163 dan pada periode 1665,503. Nilai energi densitas
yang signifikan pada periode 29 dan 58 bulan menunjukkan bahwa fluktuasi
ENSO terjadi antara 2 hingga 5 tahun. Hal yang sama ditemukan oleh Kug dan
Kang (2005) yang mengatakan bahwa ENSO terjadi setiap 3 hingga 5 tahun.
4.7. Korelasi Silang
4.7.1. Arus dengan Angin
Hasil korelasi silang antara angin dengan arus di perairan barat Sumatera
ditampilkan pada Tabel 8 dan Lampiran 1. Nilai densitas energi yang cukup
tinggi berada pada korelasi silang antara angin dengan arus pada lapisan
termoklin. Pada korelasi silang antara komponen zonal angin dengan arus pada
kedalaman 125 meter didapatkan nilai densitas energi silang sebesar -2.05669
pada periode 12 bulan dengan koherensi sebesar 0.899582. Selain itu pada
periode 29 bulan juga terlihat nilai densitas energi silang yang cukup tinggi
sebesar -0.67171 dengan nilai koherensi sebesar 0.920959. Sedangkan pada
korelasi silang antara komponen meridional angin dengan arus pada kedalaman
125 juga didapatkan nilai densitas energi yang cukup tinggi pada periode 12
73
bulan dengan nilai densitas energi sebesar -1.21409 dan koherensinya sebesar
0.823416.
Tabel 8. Hasil Korelasi Silang antara Angin dengan Arus
Parameter Periode (/Bulan)
Densitas Energi Silang yang Signifikan
Koherensi Kuadrat
Beda Fase
tan -1 waktu
u angin
u arus 5 meter 12.00 16.94572 0.967671 -0.12258 -7 Hari
v angin
v arus 5 meter
6.00 -0.71530 0.980263 -1.94509 -31 Hari
12.00 -2.98547 0.733867 -3.01176 -72 Hari
21.75 -0.18608 0.708713 -2.17246 -118 Hari
u angin
u arus 75 meter
6.00 -0.34600 0.974785 -1.79074 -30 Hari
12.00 -3.13629 0.944463 -2.24762 -66 Hari
18.32 -0.23954 0.804221 -2.40722 -103 Hari
29.00 -0.50084 0.708794 -2.49300 -165 Hari
49.71 -0.69137 0.772533 -3.04692 -297 Hari
v angin
v arus 75 meter
6.00 -0.78616 0.986290 -2.16160 -32 Hari
12.00 -1.15335 0.963387 -1.98675 -63 Hari
18.32 -0.11830 0.630144 -2.54716 -105 Hari
49.71 -0.36649 0.838121 -2.73258 -289 Hari
u angin
u arus 125 meter
6.00 -0.77783 0.950653 -2.39882 -34 Hari
12.00 -2.05669 0.899582 2.33998 67 Hari
29.00 -0.67171 0.920959 3.01574 173 Hari
v angin
v arus 125 meter
6.00 -0.79715 0.969971 -2.67669 -35 Hari
12.00 -1.21409 0.823416 2.28159 66 Hari
29.00 -0.28746 0.851713 -2.97102 -172 Hari
58.00 -0.26989 0.787722 3.05716 347 Hari
u angin
u arus 617 meter
6.00 -0.188841 0.924961 1.88876 31 Hari
12.00 -0.709179 0.933160 -2.31591 -67 Hari
v angin
v arus 617 meter
6.00 0.085623 0.981872 1.41976 27 Hari
12.00 -0.404817 0.984987 -2.51533 -68 Hari
Hubungan yang erat antara angin dengan arus terdapat pada lapisan
termoklin. Hal ini diduga terjadi karena pada saat Angin Muson Tenggara
bertiup, angin akan mendesak poros AKS yang merupakan arus di perairan
dangkal (dengan kedalaman kurang dari 200 meter) hingga mencapai lokasi
penelitian dan akan bertemu dengan ASH. Menurut Wyrtki (1961) dan Martono
74
et al. (2008) arus di perairan Samudera Hindia dipengaruhi oleh adanya Angin
Muson yang bertiup di daerah tersebut.
4.7.2. Arus dengan DMI
Hasil korelasi silang antara Dipole Mode Index (DMI) dengan komponen
arus zonal dan meridional di perairan barat Sumatera ditampilkan pada Tabel 9
dan Lampiran 2.
Tabel 9. Hasil Korelasi Silang antara IODM dengan Arus
Parameter Periode (/Bulan)
Densitas Energi Silang yang Signifikan
Koherensi Kuadrat
Beda Fase
tan -1 waktu
DMI
Arus Zonal 5 meter
12.00 -0.713864 0.758477 2.76954 70 Hari
18.32 -0.492249 0.599101 3.03912 110 Hari
34.80 -0.352802 0.323284 2.50069 198 Hari
49.71 -0.344952 0.300259 2.26306 274 Hari
Arus Meridional 5
meter
12.00 -0.145364 0.571847 -3.07891 -72 Hari
26.77 0.093470 0.380446 -0.40804 -50 Hari
49.71 0.116175 0.150143 0.33153 76 Hari
87.00 -0.124520 0.499033 2.56749 499 Hari
Arus Zonal 75 meter
8.49 -0.141511 0.605759 2.75402 49 Hari
12.00 0.165144 0.638818 0.65831 33 Hari
18.32 0.197592 0.661289 0.77826 58 Hari
49.71 0.659541 0.730905 0.30628 70 Hari
Arus Meridional 75
meter
18.32 -0.115215 0.651114 -2.59183 -105 Hari
49.71 -0.467832 0.812870 -2.94931 -295 Hari
Arus Zonal 125 meter
18.32 0.288326 0.797086 0.59534 47 Hari
49.71 0.410053 0.872511 -0.42095 -94 Hari
Arus Meridional 125 meter
14.50 -0.098487 0.544881 -2.56736 -83 Hari
29.00 -0.174557 0.526004 3.13420 174 Hari
49.71 -0.231378 0.571958 2.57266 285 Hari
Arus Zonal 617 meter
8.29 0.037607 0.820286 -0.42151 -16 Hari
12.00 0.039171 0.665718 0.50601 27 Hari
17.40 0.039071 0.238240 0.18424 15 Hari
38.67 -0.111508 0.401820 -2.36318 -216 Hari
Arus Meridional 617 meter
6.00 0.014368 0.408210 0.55916 14 Hari
12.00 -0.020471 0.720967 -2.63387 -69 Hari
18.32 0.010431 0.188869 0.98525 54 Hari
34.80 0.062622 0.700993 0.66470 139 Hari
75
Dari Tabel 9 dapat dilihat bahwa nilai densitas energi silang yang
signifikan berada pada korelasi silang antara DMI dengan komponen zonal arus
pada kedalaman 75 meter dengan periode 4 tahun, dengan nilai densitas energi
silang sebesar 0.659541, dan koherensi sebesar 0.730905. Selain itu nilai
densitas energi silang yang cukup tinggi berada pada korelasi silang antara DMI
dengan komponen zonal arus pada kedalaman 5 meter dengan nilai densitas
energi silang sebesar -0.713864 dan koherensi sebesar 0.758477.
Adanya hubungan antara DMI dengan arus pada pada kedalaman 5 dan
75 meter diduga terjadi karena pada saat terjadi IODM positif angin zonal yang
bertiup di perairan barat Sumatera akan menguat, sehingga akan mempengaruhi
arus permukaan yang terjadi di perairan barat Sumatera. Adanya penguatan
angin akibat IODM juga akan menekan Jet Wyrtki yang berkembang pada saat
musim peralihan. Hal yang sama juga ditemukan oleh Thompson et al. (2006)
pada saat IODM positif adanya angin kuat yang menekan Jet Wyrtki akan
mengakibatkan penurunan suhu di perairan barat Sumatera. Angin juga akan
mendesak poros AKS ke utara, sehingga pada saat IODM positif terjadi AKS
akan mencapai lokasi penelitian.
4.7.3. Arus dengan SOI
Hasil korelasi silang antara SOI dengan arus di perairan barat Sumatera
ditampilkan pada Tabel 10 dan Lampiran 3. Nilai densitas energi silang yang
signifikan terdapat pada korelasi silang antara SOI dengan arus meridional pada
kedalaman 125 meter. Dengan nilai densitas energi silang sebesar 3.829728
dan nilai koherensinya sebesar 0.789921. Hal ini diduga terjadi karena pada
saat terjadi ENSO di Samudera Pasifik, angin yang bertiup di perairan barat
Sumatera akan mengalami peningkatan. Peningkatan angin tersebut akan
76
mendesak poros AKS yang merupakan arus dangkal dengan kedalaman kurang
dari 200 meter. Poros AKS akan terdesak ke utara hingga mencapai lokasi
penelitian. Godfrey (2001) juga mengemukakan bahwa pada saat terjadi El Nino
angin di Samudera Hindia di bagian timur menguat.
Tabel 10. Hasil Korelasi Silang antara ENSO dengan Arus
Parameter Periode (/Bulan)
Densitas Energi Silang yang Signifikan
Koherensi Kuadrat
Beda Fase
tan -1 waktu
ENSO
Arus Zonal 5 meter
18.32 2.47650 0.569991 -0.44199 -36 Hari
29.00 7.16525 0.913937 -0.76048 -90 Hari
Arus Meridional 5
meter
6.00 1.05884 0.448812 1.12968 24 Hari
20.47 2.23616 0.694777 0.54069 48 Hari
29.00 -2.12511 0.837946 2.41504 163 Hari
58.00 -1.68919 0.649357 2.36657 324 Hari
Arus Zonal 75 meter
6.00 -1.73291 0.505287 -2.10731 -32 Hari
12.00 2.23565 0.635120 -0.75634 -37 Hari
18.32 -1.51364 0.613912 3.07037 110 Hari
29.00 -3.90349 0.550912 -2.32582 -161 Hari
116.00 -3.96540 0.770369 -3.02965 -693 Hari
Arus Meridional 75
meter
6.00 1.07573 0.500788 0.96311 22 Hari
12.00 -1.63292 0.593138 2.69289 69 Hari
49.71 3.35418 0.741309 0.19635 46 Hari
Arus Zonal 125 meter
6.00 -1.96954 0.424214 -2.79442 -35 Hari
29.00 -6.48725 0.803830 -3.07239 -174 Hari
116.00 -3.62261 0.556847 2.42295 653 Hari
Arus Meridional 125
meter
6.00 1.044008 0.429323 0.35029 9 Hari
12.00 1.095747 0.721930 0.68065 34 Hari
29.00 3.829728 0.789921 0.15054 20 Hari
58.00 2.173378 0.597225 0.08851 24 Hari
Arus Zonal 617 meter
9.16 -0.513101 0.758290 2.58432 52 Hari
12.00 0.510242 0.674446 -0.69722 -35 Hari
29.00 -0.755059 0.728663 1.92567 151 Hari
18.32 -0.251014 0.520968 1.97347 366 Hari
Arus Meridional 617
meter
29.00 -0.213462 0.593901 2.31850 66 Hari
6.00 0.378773 0.847598 -0.97089 -106 Hari
20.47 -0.230409 0.258183 -2.25893 -274 Hari
29.00 -0.302521 0.616451 -3.05549 -695 Hari
77
4.7.4. Suhu dengan Arus
Hasil korelasi silang antara arus komponen zonal dan meridional dengan
suhu di perairan barat Sumatera ditampilkan pada Tabel 11 dan Lampiran 4.
Tabel 11. Hasil Korelasi Silang antara Arus dengan Suhu
Parameter Periode (/Bulan)
Densitas Energi Silang yang Signifikan
Koherensi Kuadrat
Beda Fase
tan -1 waktu
zonal 5 meter
suhu 5
meter
6.00 0.966721 0.949636 0.85291 20 Hari
12.00 1.986027 0.970714 1.10143 48 Hari
18.32 0.292496 0.653234 0.34196 29 Hari
29.00 0.334399 0.698558 -0.05199 -7 Hari
meridional 5 meter
6.00 -0.422471 0.956676 -2.06912 -32 Hari
12.00 0.665717 0.763135 0.67425 34 Hari
29.00 -0.086727 0.520398 3.10995 174 Hari
zonal 75 meter
suhu 75
meter
12.00 -1.31757 0.962182 2.40262 67 Hari
29.00 -1.01488 0.756570 2.77699 169 Hari
58.00 -0.92286 0.648534 2.61527 334 Hari
meridional 75 meter
12.00 0.431094 0.922230 -1.15395 -49 Hari
29.00 0.425128 0.787835 -0.29104 -39 Hari
58.00 0.621334 0.721242 -0.29865 -80 Hari
zonal 125 meter
suhu
125 meter
6.00 -1.79635 0.985515 1.85242 31 Hari
29.00 -0.59118 0.952551 2.49618 165 Hari
meridional 125
meter
6.00 1.112638 0.980888 -1.23757 -25 Hari
10.55 0.240293 0.869328 -0.56042 -26 Hari
29.00 0.313786 0.904133 -0.76079 -90 Hari
zonal 617 meter suhu
617
meter
6.00 -0.254741 0.986154 2.38847 34 Hari
meridional 617
meter 6.00 0.171863 0.982775 -0.54598 -14 Hari
Dari Tabel 11 di atas terlihat bahwa nilai densitas enersi silang terbesar
berada pada korelasi silang antara komponen zonal arus pada kedalaman 5
meter dengan suhu pada kedalaman 5 meter dengan periode 12 bulan serta
pada periode 6 bulan dengan nilai densitas energi silang sebesar 0.966721 dan
koherensinya sebesar 0.949636. Nilai densitas energi silangnya sebesar
1.986027 dengan koherensinya sebesar 0.970714. Hal ini berarti bahwa
fluktuasi komponen zonal arus mempengaruhi terjadinya fluktuasi tahunan suhu
78
pada kedalaman 5 meter (lapisan permukaan tercampur) di perairan barat
Sumatera.
Adanya nilai densitas energi silang dan koherensi yang cukup tinggi pada
periode 6 dan 12 bulan pada korelasi silang antara arus dengan suhu diduga
karena adanya perbedaan suhu yang terjadi pada saat Angin Muson Tenggara
dan Angin Muson Barat Laut. Pada saat Angin Muson Tenggara poros AKS
terdesak ke utara dan membawa massa air dingin yang berasal dari upwelling
sehingga mengakibatkan adanya penurunan suhu di perairan barat Sumatera.
Sedangkan pada saat Angin Muson Barat Laut suhu di perairan barat Sumatera
menjadi lebih tinggi karena adanya massa air hangat yang dibawa oleh ASH.
Hal ini diperkuat oleh Wyrtki (1961) yang menyatakan bahwa Angin Muson
Tenggara mendesak poros AKS ke utara dan menyebarkan massa air dari
proses upwelling hingga ke lokasi penelitian. Sedangkan pada saat Muson Barat
Laut ASH mendapatkan penyinaran matahari yang relatif tinggi dan terus menrus
di sepanjang ekuator sehingga ASH membawa massa air hangat ke bagian barat
Sumatera.
4.7.5. Suhu dengan Angin
Hasil korelasi silang antara Angin komponen zonal dan meridional dengan
suhu ditampilkan pada Tabel 12 dan Lampiran 5. Nilai densitas energi silang
yang tinggi terdapat pada korelasi silang antara komponen zonal angin dengan
suhu pada kedalaman 75 meter, dengan nilai densitas energi silang sebesar
163.7602 pada periode 12 bulan dengan koherensi sebesar 0.937393, selain itu
pada nilai densitas energi silang yang tinggi juga terdapat pada korelasi silang
antara komponen zonal angin dengan suhu pada kedalaman 5 meter pada
periode 12 bulan dengan nilai densitas energi sebesar 68.52437 dan koherensi
79
sebesar 0.985318. Nilai densitas energi silang yang tinggi juga terdapat pada
korelasi silang antara komponen meridional angin dengan suhu pada kedalaman
75 meter pada periode 12 bulan dengan nilai densitas energi silang sebesar
-154.748 dan koherensi sebesar 0.957313. Hubungan yang erat antara
komponen zonal angin dengan suhu juga terdapat pada kedalaman 5 meter
pada periode 12 bulan. Hal ini terlihat dari nilai koherensi yang sangat tinggi
yaitu sebesar 0.985318. Pada kedalaman 75 meter komponen zonal angin juga
mempengaruhi suhu pada periode 2,5 tahun.
Periode 12 bulan yang didapatkan pada korelasi silang atara angin
dengan suhu karena adanya pola suhu yang berulang pada setiap tahun, pada
muson tenggara lapisan tercampur cenderung lebih tipis dan lebih dingin.
Sedangkan pada muson barat laut lapisan tercampur menjadi lebih tebal dan
hangat. Hal ini diduga karena adanya respon dari variasi tahunan angin muson
yang mempengaruhi Arus Sakal Samudera Hindia. Pada muson barat laut ASH
akan membawa massa air hangat, sedangkan pada muson tenggara akan terjadi
penaikan massa air yang akan mengakibatkan lapisan tercampur menjadi lebih
dingin dan lebih tipis. Fluktuasi antar-tahunan suhu diduga disebabkan oleh
adanya fluktuasi angin akibat terjadinya IODM. Menurut Thompson et al. (2006)
pada saat IODM positif suhu menurun karena adanya angin kuat yang menekan
Jet Wyrtki, sedangkan pada saat IODM negatif terjadi hal yang sebaliknya
80
Tabel 12. Hasil Korelasi Silang antara Angin dengan Suhu
Parameter Periode (/Bulan)
Densitas Energi Silang yang Signifikan
Koherensi Kuadrat
Beda Fase
tan -1 waktu
angin zonal
Suhu 5
meter
6.00 4.64374 0.925193 -0.64833 -16 Hari
12.00 68.52437 0.985318 0.98299 44 Hari
18.32 7.69766 0.758210 -0.04550 -4 Hari
34.80 6.86584 0.675602 -0.25276 -41 Hari
angin
meridional
6.00 -5.9308 0.940311 2.26156 33 Hari
12.00 -77.3979 0.990696 -2.31212 -67 Hari
20.47 -8.2659 0.873493 2.95255 122 Hari
34.80 -9.2423 0.934427 2.79104 204 Hari
angin zonal
Suhu
75
meter
6.00 24.8891 0.924263 -0.25518 -7 Hari
12.00 163.7602 0.937393 0.14727 8 Hari
18.32 24.4176 0.835587 0.14383 12 Hari
29.00 33.8810 0.964883 0.21836 30 Hari
58.00 42.6716 0.699598 0.02807 8 Hari
angin meridional
6.00 -37.200 0.989211 2.65096 35 Hari
12.00 -154.748 0.957313 3.12893 72 Hari
18.32 -24.798 0.813882 3.13542 110 Hari
29.00 -23.123 0.941260 -2.70174 -168 Hari
58.00 -47.475 0.940053 -3.04762 -347 Hari
angin zonal
Suhu
125 meter
4.00 -8.12016 0.829179 2.48904 23 Hari
6.00 42.23860 0.953074 -0.53297 -14 Hari
12.00 -8.91805 0.046610 -2.61320 -69 Hari
38.67 17.43593 0.634075 0.03145 6 Hari
angin meridional
6.00 -56.3861 0.981687 2.36713 33 Hari
12.00 11.5932 0.078531 0.36251 20 Hari
20.47 -10.0469 0.652163 -2.98557 -122 Hari
34.80 -18.3322 0.746465 -3.12024 -209 Hari
angin zonal
Suhu 617
meter
6.00 -1.98276 0.910565 -2.03105 -32 Hari
12.00 7.49037 0.763565 0.24053 13 Hari
58.00 -1.93546 0.647760 -2.66966 -336 Hari
angin meridional
6.00 4.74116 0.983771 0.87015 20 Hari
12.00 -7.07251 0.760175 -3.02799 -72 Hari
34.80 -1.20260 0.599107 2.23632 191 Hari
58.00 1.98322 0.746331 0.49002 126 Hari
4.7.6. Suhu dengan DMI
Hasil korelasi silang antara DMI dengan suhu di perairan barat Sumatera
ditampilkan pada Tabel 13 dan Lampiran 6.
81
Tabel 13. Hasil Korelasi Silang antara DMI dengan Suhu
Parameter Periode (/Bulan)
Densitas Energi Silang yang Signifikan
Koherensi Kuadrat
Beda Fase
tan -1 waktu
DMI
5 meter
9.67 -2.1036 0.556243 -3.08026 -58 Hari
12.00 -3.9976 0.719703 -2.41387 -68 Hari
18.32 -8.0225 0.952864 -2.93889 -109 Hari
38.67 -11.4497 0.796025 2.96261 230 Hari
75 meter
10.55 1.9947 0.704312 -1.07180 -41 Hari
12.00 -6.5065 0.568799 3.04430 72 Hari
18.32 -22.8354 0.841407 -2.90783 -109 Hari
26.77 -16.4918 0.710069 -2.84697 -158 Hari
49.71 -45.4504 0.734464 3.02729 297 Hari
125 meter
14.50 -3.3815 0.371779 2.45626 82 Hari
18.32 -7.5115 0.688116 -3.11722 -110 Hari
38.67 -27.2057 0.828870 2.93195 229 Hari
617 meter
12.00 -0.396929 0.788336 3.10064 72 Hari
26.77 -0.405051 0.150964 2.53859 153 Hari
34.80 -0.808645 0.279694 2.10702 187 Hari
58.00 1.725530 0.499873 0.38029 100 Hari
Dari Tabel 13 diatas nilai densitas energi silang terbesar terdapat pada
korelasi silang antara DMI dengan suhu pada kedalaman 75 meter pada periode
4 tahun, dan dengan nilai koherensi sebesar 0.734464. Serta pada kedalaman
125 meter dengan nilai densitas energi silang sebesar -27.2057 dan
koherensinya sebesar 0.828870.
Hubungan yang cukup erat antara suhu dengan DMI terjadi pada lapisan
termoklin. Hal ini diduga karena kedalaman dan suhu di lapisan termoklin
terpengaruh oleh adanya IODM. Pada saat terjadi IODM positif terjadi
pendangkalan lapisan termoklin di perairan barat Sumatera. Hal yang sma juga
dikemukan oleh Thompson et al. (2006) dan Vinayachandran et al. (2002) yang
menyatakan bahwa IODM mempengaruhi adanya variasi antar-tahunan pada
suhu di perairan barat Sumatera. Pada saat IODM positif suhu menurun karena
adanya angin kuat yang menekan Jet Wyrtki, sedangkan pada saat IODM negatif
terjadi hal yang sebaliknya. IODM positif juga ditandai dengan pendangkalan
82
lapisan termoklin di Samudera Hindia bagian timur (perairan barat Sumatera)
sedangkan di Samudera Hindia bagian barat (perairan timur Afrika) menjadi lebih
dalam.
4.7.7. Suhu dengan SOI
Hasil korelasi antara suhu di perairan barat Sumatera dengan SOI
ditampilkan pada Tabel 14 dan Lampiran 7.
Tabel 14. Hasil Korelasi Silang antara SOI dengan Suhu
Parameter Periode (/Bulan)
Densitas Energi Silang yang Signifikan
Koherensi Kuadrat
Beda Fase
tan -1 waktu
SOI
5 meter
12.00 -58.4637 0.604674 2.50961 68 Hari
18.32 39.2155 0.750376 -0.31579 -26 Hari
29.00 41.7268 0.711267 -0.96135 -106 Hari
69.60 -20.3798 0.147677 3.10603 418 Hari
75 meter 29.00 310.5839 0.855408 0.39095 51 Hari
58.00 370.5795 0.730258 0.30764 82 Hari
125 meter
6.00 65.3548 0.453456 -0.86230 -20 Hari
8.29 -32.1118 0.579552 -3.08781 -49 Hari
20.47 58.6764 0.833764 -0.25510 -24 Hari
29.00 161.3871 0.731658 -0.62895 -77 Hari
43.50 125.9194 0.645091 -0.57414 -108 Hari
617 meter
6.00 -5.6602 0.460804 -2.21468 -33 Hari
18.32 3.6923 0.542158 -0.10902 -9 Hari
29.00 -9.7632 0.730480 -2.10069 -156 Hari
58.00 -15.5620 0.620162 -2.53389 -331 Hari
Dari Tabel 17 dapat dilihat bahwa nilai densitas energi silang tertinggi
berada pada korelasi silang antara SOI dengan suhu pada kedalaman 75 meter
pada periode 2,5 dan 5 tahun dengan nilai koherensi masing-masing sebesar
0.855408 dan 0.30258. Pada saat terjadi ENSO terjadi penguatan angin zonal di
perairan barat Sumatera, diduga angin zonal tersebut akan mendesak poros AKS
hingga ke daerah penelitian. AKS tersebut akan membawa massa air dingin
yang berasal dari proses upwelling hingga sampai ke lokasi penelitian.
83
Hal yang sama juga ditemukan oleh Susanto et al. (2001) dan Godfrey
(2001) yang menyatakan bahwa pada saat terjadi El Nino di Samudera Pasifik,
Angin Muson Tenggara yang terbentuk di perairan barat Sumatera akan
mengalami peningkatan.
4.7.8. Angin dengan DMI
Hasil korelasi silang antara DMI dengan angin di perairan barat Sumatera
ditampilkan pada Tabel 15 dan Lampiran 8.
Tabel 15. Hasil Korelasi Silang antara DMI dengan Angin
Parameter Periode (/Bulan)
Densitas Energi Silang yang Signifikan
Koherensi Kuadrat
Beda Fase
tan -1 Waktu
DMI
Angin zonal
12.00 -20.7876 0.741601 2.95222 72 Hari
18.32 -12.4847 0.751878 -2.92952 -109 Hari
49.71 -31.5976 0.790740 -2.95021 -296 Hari
Angin meridional
12.00 19.11000 0.709320 -0.06336 -4 Hari
19.33 14.41548 0.845332 0.20334 19 Hari
49.71 28.54657 0.907782 -0.20309 -48 Hari
Dari korelasi silang antara DMI dengan angin baik zonal dan meridional
terlihat bahwa nilai densitas energi silang tertinggi ada pada korelasi silang
antara komponen angin zonal dengan DMI pada periode 12 bulan dengan
koherensi sebesar 0.741601 dan komponen angin meridional dengan DMI pada
periode 1,5 tahun dengan nilai koherensi sebesar 0.845332. Hal ini berarti
bahwa fluktuasi antar tahunan dari IODM mempengaruhi terjadinya fluktuasi
komponen meridional angin di perairan barat Sumatera. Hal ini sama seperti
pada sebaran temporal DMI dan stickplot angin (Gambar 25, 26, 27, 28 dan 29),
pada saat terjadi IODM positif yang ditandai dengan nilai DMI yang ekstrim
positif, kecepatan angin di perairan barat Sumatera lebih besar dibandingkan
saat biasanya.
84
Menurut Saji dan Yamagata (2002) terbentuknya kutub suhu permukaan
di Samudera Hindia menyebabkan terjadinya perubahan terhadap angin
permukaan yang bertiup di atas Samudera Hindia, terutama pada komponen
zonal. Sistem IODM dan angin zonal ini saling mempengaruhi satu sama lain.
4.7.9. Angin dengan SOI
Hasil korelasi silang antara SOI dengan angin di bagian barat Sumatera
ditampilkan pada Tabel 16 dan Lampiran 9.
Tabel 16. Hasil Korelasi Silang antara SOI dengan Angin
Parameter Periode (/Bulan)
Densitas Energi Silang yang Signifikan
Koherensi Kuadrat
Beda Fase
tan -1 Waktu
SOI
Angin Zonal
8.49 -30.1658 0.572685 -2.80964 -50 Hari
12.43 37.2035 0.309100 1.31972 55 Hari
14.50 39.1584 0.492740 0.35131 24 Hari
20.47 92.2974 0.696184 0.10028 10 Hari
29.00 195.9817 0.831059 0.13984 19 Hari
49.71 245.2789 0.839390 0.17672 42 Hari
Angin Meridional
2.18 -18.230 0.929508 -2.77890 -13 Hari
2.50 -24.442 0.872024 3.12325 15 Hari
8.49 20.678 0.738418 0.22464 9 Hari
11.60 15.363 0.719838 -1.46831 -54 Hari
20.47 -103.721 0.729738 2.81761 120 Hari
29.00 -144.192 0.797589 3.07137 174 Hari
58.00 -202.934 0.799008 -2.96078 -345 Hari
Dari Tabel 16 terlihat bahwa nilai densitas energi silang tertinggi berada
pada korelasi silang antara SOI dengan angin zonal pada periode 4 dan 2,5
tahun. Dengan nilai koherensi masing-masing sebesar 0.839390 dan 0.831059.
Hal ini berarti bahwa fluktuasi antar-tahunan komponen zonal angin di perairan
barat Sumatera dipengaruhi oleh adanya fluktuasi antar-tahunan ENSO. Pada
sebaran temporal antara SOI dengan stickplot angin, terlihat bahwa pada saat
terjadi ENSO, kecepatan angin di perairan barat Sumatera lebih tinggi
85
dibandingkan biasanya. Hal ini diduga karena pada saat terjadi ENSO, gradien
suhu yang terbentuk antara Samudera Pasifik bagian timur dengan Samudera
Pasifik bagian barat menjadi semakin besar. Perbedaan suhu tersebut akan
membangkitkan angin zonal di Samudera Pasifik tropis yang kemudian akan
mempengaruhi angin yang terjadi di Indonesia.
Godfrey (2001) dan Susanto et. al. (2001) menyatakan bahwa pada saat
terjadi El Nino terlihat adanya penguatan angin zonal pada Samudera Hindia
bagian timur (perairan barat Sumatera), akibat adanya anomali dari suhu di
daerah tersebut.
86
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan
Pada saat Angin Muson Barat Laut arus dan angin bergerak ke arah
tenggara, sedangkan suhu pada lapisan tercampur cenderung lebih tinggi
dibandingkan biasanya dan lapisan termoklin menjadi lebih tipis. Pada saat
Angin Muson Tenggara arus bergerak ke arah barat laut dan barat daya dan
angin bergerak ke arah barat laut, sedangkan suhu pada lapisan tercampur
cenderung lebih rendah dan lapisan termoklin mejadi lebih tebal. Pada saat
Musim Peralihan arus cenderung bergerak ke arah tenggara, angin lebih
cenderung bergerak ke arah barat laut dan suhu pada lapisan permukaan lebih
tinggi.
Arus pada kedalaman 5 dan 25 meter (lapisan permukaan) lebih
bervariasi dan lebih kuat dibandingkan dengan arus pada kedalaman 55, 75,
125, 155, 175 446 dan 617 meter (lapisan termoklin dan lapisan dalam). Arus
pada lapisan termoklin dan lapisan dalam lebih dominan bergerak ke arah
tenggara sepanjang tahunnya. Arus yang bergerak ke arah tenggara merupakan
representasi dari Arus Sakal Samudera Hindia (ASH) dan Jet Wyrtki yang telah
membentur pantai barat Sumatera. Sedangkan arus yang bergerak ke arah
barat laut dan barat daya merupakan representasi dari Arus Khatulistiwa Selatan
(AKS) yang mencapai daerah penelitian pada puncak Angin Muson Tenggara
dan bertemu dengan ASH.
Suhu air laut pada kedalaman 5 dan 25 meter di perairan barat Sumatera
cenderung stabil dan berkisar antara 27 hingga 30oC. Suhu pada kedalaman 55,
75, 125, 155 dan 175 meter, sehingga diperkirakan bahwa batas atas lapisan
termoklin di perairan barat Sumatera mencapai kedalaman 55 meter dan batas
bawahnya hingga kedalaman 175 meter. Pada kedalaman 250, 446 dan 617
87
meter suhu air laut di perairan barat Sumatera cenderung sangat stabil dengan
kisaran suhu antara 8 oC hingga 11 oC. Suhu yang relatif tinggi dan
tenggelamnya lapisan termoklin pada saat Angin Muson Barat Laut dan Musim
Peralihan merupakan pengaruh dari ASH dan Jet Wyrtki yang membawa massa
air hangat. Sedangkan suhu yang rendah dan naiknya lapisan termoklin pada
saat Angin Muson Tenggara dipengaruhi oleh massa air dingin yang berasal dari
upwelling dan dibawa oleh AKS ke daerah penelitian.
Pada saat terjadi IODM dan ENSO, suhu di lapisan permukaan
cenderung menurun secara drastis, batas atas lapisan termoklin naik sehingga
lapisan termoklin menjadi lebih tebal. Sedangkan kecepatan angin mengalami
peningkatan dibandingkan saat biasanya.
Spektrum densitas energi arus menunjukkan nilai spektrum densitas
energi yang dominan pada periode 6 dan 12 bulan untuk lapisan tercampur,
periode 6 dan 29 bulan pada lapisan termoklin dan 6 bulan pada lapisan dalam.
Fluktuasi setengah-tahunan disebabkan oleh adanya perubahan arah angin,
serta Jet Wyrtki yang berkembang pada saat Musim Peralihan. Fluktuasi
tahunan disebabkan oleh adanya perubahan kecepatan angin yang akan
mempengaruhi kecepatan arus. Sedangkan fluktuasi antar tahunan disebabkan
oleh adanya IODM dan ENSO. Nilai spektrum densitas energi arus terbesar ada
pada komponen zonal di kedalaman 5 meter.
Spektrum densitas energi suhu menunjukkan nilai spektrum densitas
energi yang signifikan pada periode 12 bulan (5 – 55 meter), 58 bulan (75 meter),
dan 6 bulan (126 – 617 meter). Fluktuasi setengah-tahunan merupakan
pengaruh dari Jet Wyrtki. Fluktuasi tahunan ditunjukkan oleh adanya pola suhu
yang berulang tiap tahunnya, sedangkan fluktuasi antar-tahunan merupakan
88
pengaruh dari IODM dan ENSO. Nilai spektrum densitas energi suhu terbesar
terdapat pada kedalaman 125 meter.
Spektrum densitas energi angin menunjukkan adanya fluktuasi tahunan
yang disebabkan karena perubahan kecepatan angin pada setiap musim yang
tidak sama. Spektrum densitas energi DMI menunjukkan periode 1,5 dan 3
tahun yang merupakan representasi dari siklus IODM. Sedangkan pada
spektrum densitas SOI menunjukkan periode 2.5, 5, dan 10 tahun yang juga
merupakan representasi dari siklus ENSO.
Berdasarkan hasil korelasi silang, fluktuasi komponen zonal arus pada
kedalaman 5 meter mempengaruhi fluktuasi setengah-tahunan dan tahunan suhu
pada kedalaman 5 meter. Fluktuasi komponen zonal angin di perairan barat
Sumatera mempengaruhi terjadinya fluktuasi tahunan komponen zonal arus pada
kedalaman 125 meter serta suhu pada kedalaman 5 dan 75 meter, selain itu
fluktuasi antar-tahunan pada komponen zonal arus diperairan barat Sumatera
juga dipengaruhi oleh adanya fluktuasi komponen zonal angin. Sementara itu
fluktuasi komponen meridional angin mempengaruhi fluktuasi tahunan komponen
meridional arus pada kedalaman 125 meter serta fluktuasi suhu pada kedalaman
75 meter.
Fenomena IODM yang terjadi di perairan barat Sumatera mempengaruhi
fluktuasi tahunan komponen zonal arus pada kedalaman 5 meter serta
komponen zonal angin. Selain itu fluktuasi antar tahunan komponen zonal arus
pada kedalaman 75 meter, suhu pada kedalaman 75 dan 125 meter serta
komponen meridional angin di perairan barat Sumatera juga merupakan
pengaruh dari adanya fenomena IODM.
Adanya fenomena ENSO di Samudera Pasifik juga memiliki pengaruh
terhadap fluktuasi arus, suhu dan angin di perairan barat Sumatera. Fenomena
ENSO mempengaruhi terjadinya fluktuasi antar-tahunan pada komponen
89
meridional arus pada kedalaman 125 meter. Fluktuasi antar-tahunan suhu pada
kedalaman 75 meter serta komponen zonal angin juga dipengaruhi oleh
fenomena ENSO.
5.2. Saran
Untuk melihat adanya fluktuasi antar-tahunan arus, suhu dan angin serta
hubungannya terhadap Indian Ocean Dipole Mode (IODM) dan El Nino Southern
Oscillation (ENSO) agar lebih detail, diperlukan adanya data-data arus, suhu,
angin, DMI, dan SOI dengan rataan mingguan dan dalam jangka waktu yang
panjang. Hal ini bertujuan agar terlihat pengaruh yang lebih jelas dari pengaruh
IODM dan ENSO terhadap fluktuasi parameter-parameter tersebut.
90
DAFTAR PUSTAKA
Australian Government Bureau of Meteorology [BOM]. 2009. Southern Oscillation Index (SOI)
http://www.bom.gov.au/climate/current/soihtm1.shtml [5 Maret 2009] Bendat, J. S. dan A. G. Piersol. 1971. Random Data Analysis and Measurement
Procedures. John Wiley and Sons Inc. New York. Brown, E., A.Colling., D. Park, J. Phillips, D. Rothery, dan J. Wright. 1989. Ocean
Circullation. The Open University. Milton Keynes. England. Delworth, T. L., A. Rosati, dan R. J. Stouffer. 2006. GFDL's CM2 Global Coupled
Climate Models. Part I: Formulation and simulation characteristics. J. Climate. 19(5):643-674.
Farita, Y. 2006. Variabilitas Suhu Di Perairan Selatan Jawa Barat dan
Hubungannya Dengan Angin Muson, Indian Ocean Dipole Mode dan El Nino Southern Oscillation. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.
Godfrey, J.S. 1996. The effect of the Indonesian throughflow on ocean
circulation and heat exchange with the atmosphere: A Review. J. Geophys. Res. 101: 12,217-12,238.
Gross, M. 1990. Oceanography sixth edition. Prentice-Hall, Inc. Englewood Cliff.
New Jersey Hasse, L., dan F. Dobson. 1986. Introductory Physics of the Atmosphere and
Ocean. Reidel Publishing Company. Dordrecht. Holland. Holiludin. 2009. Variabilitas Suhu dan Salinitas di Perairan Barat Sumatera dan
Hubungannya dengan Angin Muson dan IODM (Indian Ocean Dipole Mode). Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.
Ilahude, A.G. 1999. Pengantar ke Oseanologi Fisika. P3O-LIPI. Jakarta Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology [JAMSTEC]. 2009.
Indian Ocean Dipole (IOD) http://www.jamstec.go.jp/frcgc/research/d1/iod/HTML/Dipole%20Mode%20Index.html [7 Maret 2009]
Japan Agency for Marine-Earth Science and Technology [JAMSTEC]. 2009. New Moored Buoy Network TRITON. http://www.jamstec.go.jp/jamstec/TRITON [14 Oktober 2009]
King, A. H. 1963. Introduction to Oceanography. McGraw Hill Book Company,
Inc. San Fransisco. New York. Kug, J.S. dan I.S. Kang. 2005. Interactive Feedback between ENSO and the
Indian Ocean. J. Climate. 19:1,784-1,801.
91
Laevastu, T. dan I. Hela. 1970. Fisheries Oceanography: New Ocean Environtmental Series. Coward and Gerrish Ltd, Larkhall, Bath. England.
Martono, Halimurrahman, R. Komarudin, Syarief, S. Priyanto, dan D. Nugraha. 2008. Studi Variabilitas Lapisan Atas Perairan Samuder Hindia Berbasis Model Laut. Ringkasan Eksekutif. Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Jakarta
McLellan, H. J. 1965. Elements of Physical Oceanography. Pergamon Press Ltd.
New York. Meyers, G., P. McIntosh, L. Pigot, dan M. Pook. The Years of El Nino, La Nina
and Interactions with the Tropical Indian Ocean. J. Climate. 20:2,872-2,880.
National Oceanic and Atmospheric Administration-Earth Science Research
Laboratory [NOAA-ESRL]. 2009. NCEP/NCAR Reanalysis 1 : Surface. http://www.esrl.noaa.gov/psd/data/gridded/data.ncep.reanalysis.surface.html [5 Agustus 2009]
National Oceanic and Atmospheric Administration-Geophysical Fluid Dynamic
Laboratory [NOAA-GFDL]. 2009. Ocean Data Assimilation Experiment. ftp://nomads.gfdl.noaa.gov/gfdl_cm2_1/Fv_NetCDF_test/pp/ocean_interp/ts/monthly/ [29 Juli 2009]
Pariwono, J.I dan E. Manan. 1990. Diktat Kuliah Meteorologi Laut. IPB. Bogor Philander, S. G. H. 1990. El Nino, La Nina, and the Southern Oscillation.
Academic Press, Inc. New York. Pond, S. dan G. L. Pickard. 1983. Introductory Dynamical Oceanography 2nd
edition. Pergamon Press. New York. Richard, A. dan J. R. Davis. 1991. Oceanography an Introduction to The Marine
Environment. WMC Brown Publishers. Iowa. USA. Saji, N. H., B. N. Goswami, P. N. Vinayachandran dan T. Yamagata. 1999. A
Dipole Mode in the Tropical Indian Ocean. Nature. 401:360-363. Saji, N.H. dan T. Yamagata. 2003. Possible Impacts of Indian Ocean Dipole
Mode Events on Global Climate. Clim. Res. 25:151 – 169. Soegiarto, A. dan Birowo, S. 1975. Atlas Oseanografi Perairan Indonesia dan
Sekitarnya. No 1. LON-LIPI. Jakarta, Indonesia. Sprintall, J., A.L. Gordon, R. Murtugudde dan D. Susanto. 2000. A Semiannual
Indian Ocean Forced Kelvin Wave Observed in the Indonesian Seas in May 1997. J. Geophys. Res. 105(C7):17,217 – 17,230.
Stewart, R.H. 2002. Introduction to Physical Oceanography. Departement of
Oceanography. Texas A & M University. Texas
92
Susanto, D., A.L. Gordon dan Q. Zheng. 2001. Upwelling along the coast of java and Sumatera and its relation to ENSO. Geophys. Res. Lett. 28(8):1,599-1,602.
Svedrup, H.U. 1945. Oceanography for Meteologists. George Allen and Unwin
Ltd. London.
Svedrup, H.V, M.W. Jhonson dan R.H Fleming. 1946. The Oceans, Their Physic, Chemistry and General Biology. Prentice-Hall. Inc. Englewood. New York.
Thompson, B., C. Gnanaseelan dan P. S. Salvekar. 2006. Variability in the Indian
Ocean Circulation and Salinity and Its Impact on SST Anomalies During Dipole Events. J. Mar. Res. 64:853–880
Tomczak, M, dan J. S. Godfrey. 1994. Regional Oceanography: An Introduction.
Pergamon Press. Oxford. England. Troup, A. J., 1965. The Southern Oscillation. Quart. J. Roy. Meteor. Soc. 91:
490-506. Vinayachandran, P.N., S. Lizuka dan T. Yamagata. 2002. Indian Ocean Dipole
Mode Event in A Ocean General Circulation Model. Deep-Sea. Res II. 49: 1,573-1,596.
Webster, P. J. dan C. Torrence. 1999. Interdecadal Changes in the ENSO–
Monsoon System. J. Climate. 12:2,679-2,690 Wilopo, M. D. 2005. Karakter Fisik Oseanografi di Perairan Barat Sumatera dan
Selatan Jawa-Sumbawa dari Data Satelit Multi Sensor. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB. Bogor.
Wyrkti, K. 1961. Physical Oceanography of South East Asian Water. Naga
Report. Vol 2. Scripps Institution of Oceanography. The University of California. La Jolla. California.
Wyrtki, K. 1973. An Equatorial Jet in the Indian Ocean. Science. 181:262-264. Zhang, S., M. J. Harrison, A. Rosati, and A. Wittenberg. 2007. System design
and evaluation of coupled ensemble data assimilation for global oceanic climate studies. Mon. Wea. Rev. 135(10): p 3541-3564
LAMPIRAN
94
Lampiran 1. Grafik Korelasi Silang antara Angin dengan Arus
Grafik Korelasi Silang antara Angin Zonal dengan Arus Zonal (5 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-5
0
5
10
15
20D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
95
Lampiran 1. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara Angin Meridional dengan Arus Meridional (5 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-3.0
-2.5
-2.0
-1.5
-1.0
-0.5
0.0
0.5D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
96
Lampiran 1. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara Angin Zonal dengan Arus Zonal (75 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-3.5
-3.0
-2.5
-2.0
-1.5
-1.0
-0.5
0.0
0.5D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
Be
da F
as
e (
tan
-1)
97
Lampiran 1. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara Angin Meridional dengan Arus Meridional (75 meter)
a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-1.2
-1.0
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0.0
0.2
De
nsit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
98
Lampiran 1. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara Angin Zonal dengan Arus Zonal (125 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-2.5
-2.0
-1.5
-1.0
-0.5
0.0
0.5D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
99
Lampiran 1. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara Angin Meridional dengan Arus Meridional (125 meter)
a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-1.4
-1.2
-1.0
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0.0
0.2
De
nsit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
100
Lampiran 1. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara Angin Zonal dengan Arus Zonal (617 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-0.8
-0.7
-0.6
-0.5
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1
0.0
0.1D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
101
Lampiran 1. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara Angin Meridional dengan Arus Meridional (617 meter)
a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-0.5
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1
0.0
0.1
De
nsit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
102
Lampiran 2. Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Arus
Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Arus Zonal (5 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-0.8
-0.7
-0.6
-0.5
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1
0.0
0.1D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
KO
HE
RE
NS
I K
UA
DR
AT
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
103
Lampiran 2. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Arus Meridional(5 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-0.15
-0.10
-0.05
0.00
0.05
0.10
0.15D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
104
Lampiran 2. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Arus Zonal (75 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
-0.2
-0.1
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7D
en
sit
as E
nerg
i (m
/det)
2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
105
Lampiran 2. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Arus Meridional (75 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
-0.5
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1
0.0
0.1D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
106
Lampiran 2. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Arus Zonal (125 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
-0.1
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
-3
-2
-1
0
1
2
3
Be
da F
as
e (
tan
-1)
107
Lampiran 2. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Arus Meridional (125 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
-0.25
-0.20
-0.15
-0.10
-0.05
0.00
0.05D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
108
Lampiran 2. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Arus Zonal (617 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
-0.12
-0.10
-0.08
-0.06
-0.04
-0.02
0.00
0.02
0.04D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
109
Lampiran 2. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Arus Meridional (617 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
-0.04
-0.02
0.00
0.02
0.04
0.06
0.08D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
110
Lampiran 3. Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Arus
Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Arus Zonal (5 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-2
0
2
4
6
8D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
111
Lampiran 3. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Arus Meridional (5 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-3
-2
-1
0
1
2
3D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
112
Lampiran 3. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Arus Zonal (75 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-5
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
113
Lampiran 3. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Arus Meridional (75 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-2
-1
0
1
2
3
4D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
114
Lampiran 3. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Arus Zonal (125 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-7
-6
-5
-4
-3
-2
-1
0
1D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
115
Lampiran 3. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Arus Meridional (125 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-1
0
1
2
3
4D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
116
Lampiran 3. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Arus Zonal (617 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0.0
0.2
0.4
0.6D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
117
Lampiran 3. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Arus Meridional (617 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-0.4
-0.3
-0.2
-0.1
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
118
Lampiran 4. Grafik Korelasi Silang antara Arus dengan Suhu
Grafik Korelasi Silang antara Arus Zonal (5 Meter) dengan Suhu (5 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
119
Lampiran 4. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara Arus Meridional (5 Meter) dengan Suhu (5 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-0.6
-0.4
-0.2
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
120
Lampiran 4. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara Arus Zonal (75 Meter) dengan Suhu (75 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-1.4
-1.2
-1.0
-0.8
-0.6
-0.4
-0.2
0.0
0.2
0.4D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
121
Lampiran 4. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara Arus Meridional (75 Meter) dengan Suhu (75 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-0.2
-0.1
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
122
Lampiran 4. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara Arus Zonal (125 Meter) dengan Suhu (125 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-2.0
-1.5
-1.0
-0.5
0.0
0.5D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
123
Lampiran 4. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara Arus Meridional (125 Meter) dengan Suhu (125 meter)
a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-0.2
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
1.2
De
nsit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
Be
da F
as
e (
tan
-1)
124
Lampiran 4. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara Arus Zonal (617 Meter) dengan Suhu (617 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-0.30
-0.25
-0.20
-0.15
-0.10
-0.05
0.00
0.05D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
125
Lampiran 4. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara Arus Meridional (617 Meter) dengan Suhu (617 meter)
a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-0.05
0.00
0.05
0.10
0.15
0.20
De
nsit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
126
Lampiran 5. Grafik Korelasi Silang antara Angin dengan Suhu
Grafik Korelasi Silang antara Angin Zonal dengan Suhu (5 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-10
0
10
20
30
40
50
60
70D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
127
Lampiran 5. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara Angin Meridional dengan Suhu (5 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-80
-70
-60
-50
-40
-30
-20
-10
0
10D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
128
Lampiran 5. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara Angin Zonal dengan Suhu (75 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-50
0
50
100
150
200D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
129
Lampiran 5. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara Angin Meridional dengan Suhu (75 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Period
-160
-140
-120
-100
-80
-60
-40
-20
0
20D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Period
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
130
Lampiran 5. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara Angin Zonal dengan Suhu (125 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-10
0
10
20
30
40
50D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
Be
da F
as
e (
tan
-1)
131
Lampiran 5. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara Angin Meridional dengan Suhu (125 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-60
-50
-40
-30
-20
-10
0
10
20D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
132
Lampiran 5. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara Angin Zonal dengan Suhu (617 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-2
0
2
4
6
8D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
133
Lampiran 5. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara Angin Meridional dengan Suhu (617 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-8
-6
-4
-2
0
2
4
6D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
134
Lampiran 6. Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Suhu
Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Suhu (5 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-12
-10
-8
-6
-4
-2
0
2D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
135
Lampiran 6. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Suhu (75 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-50
-40
-30
-20
-10
0
10D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
136
Lampiran 6. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Suhu (125 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-30
-25
-20
-15
-10
-5
0
5D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
137
Lampiran 6. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Suhu (617 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-1.0
-0.5
0.0
0.5
1.0
1.5
2.0D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
138
Lampiran 7. Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Suhu
Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Suhu (5 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
-60
-40
-20
0
20
40
60D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
139
Lampiran 7. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Suhu (75 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
-50
0
50
100
150
200
250
300
350
400D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
140
Lampiran 7. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Suhu (125 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
-50
0
50
100
150
200D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
141
Lampiran 7. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Suhu (617 meter) a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
-20
-15
-10
-5
0
5D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
142
Lampiran 8. Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Angin
Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Angin Zonal a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-35
-30
-25
-20
-15
-10
-5
0
5D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
143
Lampiran 8. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Angin Meridional a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-5
0
5
10
15
20
25
30D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
Be
da F
as
e (
tan
-1)
144
Lampiran 9. Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Angin
Grafik Korelasi Silang antara SOI dengan Angin Zonal a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-50
0
50
100
150
200
250D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
145
Lampiran 9. (Lanjutan)
Grafik Korelasi Silang antara DMI dengan Angin Meridional a) Kospektrum Densitas Energi b) Koherensi Kuadrat c) Beda Fase
a) Kospektrum Densitas Energi
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-250
-200
-150
-100
-50
0
50D
en
sit
as
En
erg
i (m
/de
t)2/S
iklu
s/B
ula
n
b) Koherensi Kuadrat
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
0.0
0.2
0.4
0.6
0.8
1.0
Ko
here
ns
i K
uad
rat
c) Beda Fase
0 50 100 150 200 250 300 350
Periode (Bulan)
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
Be
da F
as
e (
tan
-1)
146
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Curup, provinsi Bengkulu pada tanggal
22 Maret 1988 dari pasangan ayah Sukarman dan ibu Sutitah.
Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.
Pada Tahun 2005 penulis menyelesaikan pendidikan di
Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Curup . Pada Tahun
yang sama penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi
Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB). Setelah melewati Tingkat Persiapan
Bersama (TPB) selama satu tahun akhirnya penulis di terima di Departemen Ilmu
dan Teknologi Kelautan.
Selama menempuh pendidikan sarjana di IPB penulis aktif di Himpunan
Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA-IPB) 2007-2009 sebagai
Dewan Formatur dan mengikuti berbagai kepanitiaan.
Dalam kegiatan perkuliahan penulis pernah menjadi asisten mata kuliah
mata kuliah Oseanografi Fisik pada tahun ajaran 2008/2009, 2009/2010, dan
2010/2011.
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, penulis menyelesaikan skripsi
dengan judul ”Variabilitas Arus, Suhu dan Angin di Perairan Barat Sumatera dan
Inter-Relasinya dengan IODM (Indian Ocean Dipole Mode) dan ENSO (El Nino
Southern Oscillation)”.