vulnus morsum ular final

36
BAB 1 PENDAHULUAN Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan berbagai cara yang menghambat respon pada sistem biologis dan dapat menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Keracunan sering dihubungkan dengan pangan atau bahan kimia. Pada kenyataannya bukan hanya pangan atau bahan kimia saja yang dapat menyebabkan keracunan. Di sekeliling kita ada racun alam yang terdapat pada beberapa tumbuhan dan hewan. Salah satunya adalah gigitan ular berbisa yang sering terjadi di daerah tropis dan subtropis. 1 Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia. Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa memiliki sepasang taring pada bagian rahang atas. Pada taring tersebut terdapat saluran bisa untuk menginjeksikan bisa ke dalam tubuh mangsanya secara subkutan atau intramuskular. 1 Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah 1

Upload: wiwit-cuwiwit

Post on 29-Jul-2015

330 views

Category:

Documents


10 download

TRANSCRIPT

Page 1: Vulnus Morsum Ular Final

BAB 1

PENDAHULUAN

Racun adalah zat atau senyawa yang masuk ke dalam tubuh dengan berbagai

cara yang menghambat respon pada sistem biologis dan dapat menyebabkan

gangguan kesehatan, penyakit, bahkan kematian. Keracunan sering dihubungkan

dengan pangan atau bahan kimia. Pada kenyataannya bukan hanya pangan atau bahan

kimia saja yang dapat menyebabkan keracunan. Di sekeliling kita ada racun alam

yang terdapat pada beberapa tumbuhan dan hewan. Salah satunya adalah gigitan ular

berbisa yang sering terjadi di daerah tropis dan subtropis.1

Ular merupakan jenis hewan melata yang banyak terdapat di Indonesia.

Spesies ular dapat dibedakan atas ular berbisa dan ular tidak berbisa. Ular berbisa

memiliki sepasang taring pada bagian rahang atas. Pada taring tersebut terdapat

saluran bisa untuk menginjeksikan bisa ke dalam tubuh mangsanya secara subkutan

atau intramuskular. 1

Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan

mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa tersebut

merupakan ludah yang termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar khusus. Kelenjar

yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi kelenjar ludah parotid yang

terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di belakang mata. Bisa ular tidak hanya

terdiri atas satu substansi tunggal, tetapi merupakan campuran kompleks, terutama

protein, yang memiliki aktivitas enzimatik. 1

Pada setiap kasus yang dilaporkan sebagai gigitan ular, harus dipastikan

apakah gigitan tersebut disebabkan ular berbisa. Hal tersebut dapat ditentukan antara

lain dari luka bekas gigitan yang terjadi. Jika identifikasi sulit ditentukan, gejala dan

tanda akibat gigitan bisa ular menjadi dasar untuk menegakkan diagnosis.2

BAB II

1

Page 2: Vulnus Morsum Ular Final

KASUS

1.1 Identitas

Nama : Tn. Mulyadi

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 37 tahun

Agama : Islam

Status : Sudah menikah

Alamat : Jln. Meranti rt.35

MedRec : 080124

MRS : 22 April 2012

1.2 Anamnesis

Keluhan Utama :

Pasien digigit ular di punggung telapak kaki kanan

Riwayat Perjalanan Penyakit :

Pasien datang dengan keluhan digigit ular di punggung kaki kanan ± 2,5 jam yang

lalu sebelum masuk IGD RSUD Bari saat pasien berjalan mencari ikan di rawa.

Pasien mengaku melihat jenis ular tersebut yaitu jenis ular yg kepalanya menyerupai

sendok. Ketika itu pasien langsung terkejut dan merasakan kesakitan pada punggung

telapak kaki dan melihat dua tanda bekas gigitan ular, bengkak dan kemerahan mulai

timbul setengah jam kemudian, bengkak tersebut sampai pergelangan kaki. Pasien

juga merasakan keram di seluruh tubuh (+), mulut tidak bisa membuka (+), sesak

nafas (-), mata berkunang-kunang (+), mual (+), muntah (+), kelopak mata selalu

turun dan tidak bisa terbuka (+), air ludah banyak (+), susah menelan (+), kencing

berdarah (-).

Riwayat Penyakit Dahulu :

2

Page 3: Vulnus Morsum Ular Final

Riwayat Hipertensi disangkal

Riwayat DM disangkal

1.3 Pemeriksaan Fisik (Tanggal : 26 April 201)

a. Status generalis :

Kesadaran : Compos mentis

Tekanan darah : 100/60 mmHg

Pernapasan : 20x/menit

Nadi : 60x/menit.

Keadaan Spesifik

Kelenjar Getah Bening

Tidak ada pembesaran KGB di submandibular, leher, axilla, dan inguinal, nyeri tekan

(-).

Kepala

Bentuk oval, simetris, deformitas (-), muka sembab (-).

Mata

Eksopthalmus an endopthalmus (-), edema palpebra (-), konjungtiva palpebra pucat

(-), sclera ikterik (-), pupil isokor (-), refleks chaya normal, pergerakan bola mata ke

segala arah baik.

Hidung

Bagian luar tidak ada kelainan, septum nasi dan tulang-tulang dalam perabaan baik,

selaput lendir dalam batas normal, tidak ditemukan penyumbatan dan perdarahan

(epistaksis), pernapasan cuping hidung (-).

Telinga

Pada lubang telinga tidak ada kelainan, nyeri tekan tragus (-), pendengaran baik.

Mulut

3

Page 4: Vulnus Morsum Ular Final

Tonsil tidak ada pembesaran, pucat pada lidah (-), gusi berdarah (-), stomatitis (-),

karies gigi (+).

Leher

Pembesaran kelenjar getah bening (-), JVP (5-2) cmH2O, pembesaran kelenjar tiroid

(-), scar operasi (-)

Dada

Dada simetris kanan dan kiri, retraksi intercostals (-), ginekomastia (-), spider nevi

(-), warna kulit sama dengan sekitar, scar operasi (-).

Paru-paru

Inspeksi : simetris kanan dan kiri, benjolan (-).

Palpasi : stemfremitus normal kanan = kiri, nyeri tekan (-).

Perkusi : sonor di kedua lapangan paru.

Auskultasi : vesikuler (+) normal, wheezing (-), ronkhi (-)

Jantung

Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : ictus cordis tidak teraba

Perkusi : batas atas jantung ICS II, kanan linea parasternalis dextra, kiri linea

midclavicularis sinistra.

Auskultasi : murmur (-), gallop (-).

Abdomen

Inspeksi : datar, massa (-), venektasi vena (-), skar operasi (-).

Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba.

Perkusi : tympani

Auskultasi : bising usus (+).

b. Status Lokalis

4

Page 5: Vulnus Morsum Ular Final

Ekstremitas atas dan bawah

Atas : pucat (-), palmar eritema (-),nyeri otot dan sendi (-), turgor baik,

edema (-).

Bawah : tampak fank mark pada basal metatarso phalanx I dextra, pucat (-),

palmar eritema (-), edema (+), nyeri tekan (+), tugor baik, scar

operasi (+)

Genitalia

Tidak diperiksa

1.5 Diagnosis Kerja

Post Opp Vulnus Morsum Ular.

1.6 Tatalaksana

1. IVFD RL GTT XXV tts/mnt

2. Puasa

3. Pasang NGT

4. Pasang cateter

5. Dexametason 2x2 amp

6. Ketorolac 2amp/kolf

7. Cefotaxim 1 gr <

8. ATS 1500 IV

9. ABU 2 Kolf

10. Fasciotomi.

11. Lakukan list control untuk melihat kemajuan keadaan pasien.

List control

5

Page 6: Vulnus Morsum Ular Final

Tgl Jam Temp Nadi TD RR Input OutputObat-

Obatan

Jenis

Infus

22

April

2012

02.30 37 100 130/80 20

- Skin test cefotaxime,

hasil (-).

- Inj.Ranitidin 1 amp

- O2 4 H20/m

- Inj.Cefotaxime 1gr

- suction

D5% + 2

vial abu gtt

20 x/mnt.

03.00 37 92 140/90 30

03.30 37 78 120/90 26

05.00 36 63 120/70 33 Suction

D5%+ 2

vial au gtt

20 x/mnt

06.00 36 74 130/90 27 Suction

D5%+ 2

vial au gtt

20 x/mnt

09.00 37,1 78 130/90 28- inj.Ketorolac 1amp

- inj.Cefotaxime 1amp

10.00 36,4 77 120/90 27

11.00 37,2 78 120/90 25- inj D40

- inj.Ketorolac 1amp

15.00 36,8 70 130/70 22

Diet

m/p

±80cc

16.00 37,3 74 120/80 23

18.00 37,0 73 130/70 22

19.00 37,2 69 110/80 23

Tgl Jam Temp Nadi TD RR Input Output Obat- Jenis

6

Page 7: Vulnus Morsum Ular Final

Obatan Infus

20.00 37 69 120/70 20

- RL gtt

20x/mn

- NGT+

pasang

21.00 36 66 120/70 20

22.00 36 67 120/90 22

23.00 36 69 120/80 20

24.00 36 69 120/80 20

23

April

2012

01.00 36 78 110/80 17

02.00 36 79 110/70 20

06.00 36 77 110/80 24

Tabel 2.1 List control pasien

BAB III

7

Page 8: Vulnus Morsum Ular Final

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Epidemiologi

Luka akibat gigitan ular dapat berasal dari gigitan ular tidak berbisa maupun

gigitan ular berbisa. Di seluruh dunia setiap tahunnya ditemukan ribuan orang yang

meninggal dunia akibat gigitan ular berbisa. Di Amerika Serikat ditemukan 8000

kasus gigitan ular berbisa per tahunnya dengan 98% gigitan tejadi di daerah

ekstremitas dan 70% disebabkan oleh Rattlesnake. Di bagian emergensi RSUP dr.

Hasan Sadikin Bandung dalam kurun waktu 1996-1998 dilaporkan sejumlah 180

kasus gigitan ular berbisa. Sementara di RSUD dr. Saiful Anwar Malang dalam kurun

waktu satu tahun (2004) dilaporkan sejumlah 36 kasus gigitan ular berbisa. Kepada

semua kasus gigitan ular tersebut diberikan terapi antiveom dan menunjukkan hasil

yang baik kecuali pada satu kasus yang dibawa ke rumah sakit sudah dalam keadaan

koma dan apnoe. Hal ini sejalan dengan laporan Auerbach (2005) bahwa angka

kematian ditemukan kurang dari 1% pada kasus gigitan ular berbisa yang diberi terapi

antivenom. Estimasi global menunjukkan sekitar 30.000-40.000 kematian akibat

gigitan ular berbisa.3

3.2 Jenis-Jenis Ular Berbisa

Gigitan ular berbahaya jika ularnya tergolong jenis berbisa. Sebenarnya dari

kira – kira ratusan jenis ular yang diketahui hanya sedikit sekali yang berbisa, dan

dari golongan ini hanya beberapa yang berbahaya bagi manusia. 4

Di seluruh dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang

berbisa hanya sekitar 250 spesies. Berdasarkan morfologi gigi taringnya, ular dapat

diklasifikasikan ke dalam 4 familli utama yaitu:

1. Famili Elapidae misalnya ular weling, ular welang, ular sendok, ular anang dan

ular cabai

8

Page 9: Vulnus Morsum Ular Final

2. Familli Crotalidae/ Viperidae, misalnya ular tanah, ular hijau dan ular bandotan

puspo

3. Familli Hydrophidae, misalnya ular laut

4. Familli Colubridae, misalnya ular pohon

Untuk menduga jenis ular yang mengigit adalah ular berbisa atau tidak dapat

dipakai rambu – rambu bertolak dari bentuk kepala ular dan luka bekas gigitan

sebagai berikut:

Ciri – ciri ular tidak berbisa:

1. Bentuk kepala segi empat panjang

2. Gigi taring kecil

3. Bekas gigitan, luka halus berbentuk lengkung

Ciri – ciri ular berbisa:

1. Kepala segi tiga

2. Dua gigi taring besar di rahang atas

3. Dua luka gigitan utama akibat gigi taring

Jenis ular berbisa berdasarkan dampak yang ditimbulkannya yang banyak

dijumpai di Indonesia adalah jenis ular :

1. Hematotoksik, seperti Trimeresurus albolais (ular hijau), Ankistrodon

rhodostoma (ular tanah), aktivitas hemoragik pada bisa ular Viperidae

menyebabkan perdarahan spontan dan kerusakan endotel (racun prokoagulan

memicu kaskade pembekuan)

2. Neurotoksik, Bungarusfasciatus (ular welang), Naya Sputatrix (ular sendok), ular

kobra, ular laut.

Neurotoksin pascasinaps seperti α-bungarotoxin dan cobrotoxin terikat pada

reseptor asetilkolin pada motor end-plate sedangkan neurotoxin prasinaps seperti β-

bungarotoxin, crotoxin, taipoxin dan notexin merupakan fosfolipase-A2 yang

9

Page 10: Vulnus Morsum Ular Final

mencegah pelepasan asetilkolin pada neuromuscular junction. Beberapa spesies

Viperidae, hydrophiidae memproduksi rabdomiolisin sistemik sementara spesies

yang lain menimbulkan mionekrosis pada tempat gigitan.

Gambar 3.1 Bekas gigitan ular (A) Ular tidak berbisa tanpa bekas taring, (B) Ular

berbisa dengan bekas taring.

3.3 Patofisiologi

Bisa ular terdiri dari campuran beberapa polipeptida, enzim dan protein.

Jumlah bisa, efek letal dan komposisinya bervariasi tergantung dari spesies dan usia

ular. Bisa ular bersifat stabil dan resisten terhadap perubahan temperatur.2

Secara mikroskop elektron dapat terlihat bahwa bisa ular merupakan protein

yang dapat menimbulkan kerusakan pada sel-sel endotel dinding pembuluh darah,

sehingga menyebabkan kerusakan membran plasma.2

Komponen peptida bisa ular dapat berikatan dengan reseptor-reseptor yang

ada pada tubuh korban. Bradikinin, serotonin dan histamin adalah sebagian hasil

reaksi yang terjadi akibat bisa ular. Enzim yang terdapat pada bisa ular misalnya

Larginine esterase menyebabkan pelepasan bradikinin sehingga menimbulkan rasa

nyeri, hipotensi, mual dan muntah serta seringkali menimbulkan keluarnya keringat

yang banyak setelah terjadi gigitan. Enzim protease akan menimbulkan berbagai

10

Page 11: Vulnus Morsum Ular Final

variasi nekrosis jaringan. Phospholipase A menyebabkan terjadi hidrolisis dari

membran sel darah merah. Hyaluronidase dapat menyebabkan kerusakan dari

jaringan ikat. Amino acid esterase menyebabkan terjadi KID.

Pada kasus yang berat bisa ular dapat menyebabkan kerusakan permanen,

gangguan fungsi bahkan dapat terjadi amputasi pada ekstremitas. Bisa ular dari famili

Crotalidae/Viperidae bersifat sitolitik yang menyebabkan nekrosis jaringan,

kebocoran vaskular dan terjadi koagulopati. Komponen dari bisa ular jenis ini

mempunyai dampak hampir pada semua sistem organ.2

Bisa ular dari famili Elapidae dan Hydrophidae terutama bersifat sangat

neurotoksik, dan mempunyai dampak seperti kurare yang memblok neurotransmiter

pada neuromuscular junction. Aliran dari bisa ular di dalam tubuh, tergantung dari

dalamnya taring ular tersebut masuk ke dalam jaringan tubuh.2

3.4 Manifestasi Klinis

Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jaringan yang luas dan

hemolisis. Gejala dan tanda yang menonjol berupa nyeri hebat dan tidak sebanding

sebesar luka, edema, eritem, petekia, ekimosis, bula dan tanda nekrosis jaringan.

Dapat terjadi perdarahan di peritoneum atau perikardium, udem paru, dan syok berat

karena efek racun langsung pada otot jantung. Ular berbisa yang terkenal adalah ular

tanah, bandotan puspa, ular hijau dan ular laut. Ular berbisa lain adalah ular kobra

dan ular welang yang biasanya bersifat neurotoksik. Gejala dan tanda yang timbul

karena bisa jenis ini adalah rasa kesemutan, lemas, mual, salivasi, dan muntah. Pada

pemeriksaan ditemukan ptosis, refleks abnormal, dan sesak napas sampai akhirnya

terjadi henti nafas akibat kelumpuhan otot pernafasan. Ular kobra dapat juga

menyemprotkan bisanya yang kalau mengenai mata dapat menyebabkan kebutaan

sementara.4

Diagnosis gigitan ular berbisa tergantung pada keadaan bekas gigitan atau

luka yang terjadi dan memberikan gejala lokal dan sistemik sebagai berikut : 5

11

Page 12: Vulnus Morsum Ular Final

1. Gejala lokal : edema, nyeri tekan pada luka gigitan, ekimosis (dalam 30 menit –

24 jam)

2. Gejala sistemik : hipotensi, kelemahan otot, berkeringat, mengigil, mual,

hipersalivasi, muntah, nyeri kepala, dan pandangan kabur

3. Gejala khusus gigitan ular berbisa :

a. Hematotoksik: perdarahan di tempat gigitan, paru, jantung, ginjal, peritoneum,

otak, gusi, hematemesis dan melena, perdarahan kulit (petekie, ekimosis),

hemoptoe, hematuri, koagulasi intravaskular diseminata (KID).

b. Neurotoksik: hipertonik, fasikulasi, paresis, paralisis pernapasan, ptosis

oftalmoplegi, paralisis otot laring, reflek abdominal, kejang dan koma.

c. Kardiotoksik: hipotensi, henti jantung, koma.

d. Sindrom kompartemen: edema tungkai dengan tanda – tanda 5P (pain, pallor,

paresthesia, paralysis pulselesness).

Menurut Schwartz, gigitan ular dapat di klasifikasikan sebagai berikut:6

Derajat Venerasi Luka gigit Nyeri Udem/ Eritem Tanda sistemik0 0 + +/- <3cm/12> 0I +/- + + 3-12 cm/12 jam 0II + + +++ >12-25 cm/12 jam +

Neurotoksik,Mual, pusing, syok

12

Page 13: Vulnus Morsum Ular Final

III ++ + +++ >25 cm/12 jam ++Syok, petekia,

ekimosisIV +++ + +++ >ekstrimitas ++

Gangguan faal ginjal,

Koma, perdarahanTabel 3.1 Klasifikasi gigitan ular

Kepada setiap kasus gigitan ular perlu dilakukan :

1. Anamnesis lengkap: identitas, waktu dan tempat kejadian, jenis dan ukuran ular,

riwayat penyakit sebelumnya.

2. Pemeriksaan fisik: status umum dan lokal serta perkembangannya setiap 12 jam.

3.4.1 Gambaran klinis gigitan beberapa jenis ular, yaitu : 3

1. Gigitan Elapidae

a. Efek lokal (kraits, mambas, coral snake dan beberapa kobra) timbul berupa

sakit ringan, sedikit atau tanpa pembengkakkan atau kerusakan kulit dekat

gigitan. Gigitan ular dari Afrika dan beberapa kobra Asia memberikan

gambaran sakit yang berat, melepuh dan kulit yang rusak dekat gigitan

melebar.

b. Semburan kobra pada mata dapat menimbulkan rasa sakit yang berdenyut,

kaku pada kelopak mata, bengkak di sekitar mulut dan kerusakan pada lapisan

luar mata.

c. Gejala sistemik muncul 15 menit setelah digigit ular atau 10 jam kemudian

dalam bentuk paralisis dari urat – urat di wajah, bibir, lidah dan tenggorokan

sehingga menyebabkan sukar bicara, kelopak mata menurun, susah menelan,

otot lemas, sakit kepala, kulit dingin, muntah, pandangan kabur dn mati rasa

di sekitar mulut. Selanjutnya dapat terjadi paralis otot pernapasan sehingga

lambat dan sukar bernapas, tekanan darah menurun, denyut nadi lambat dan

tidak sadarkan diri. Nyeri abdomen seringkali terjadi dan berlangsung hebat.

13

Page 14: Vulnus Morsum Ular Final

Pada keracunan berat dalam waktu satu jam dapat timbul gejala – gejala

neurotoksik. Kematian dapat terjadi dalam 24 jam.

2. Gigitan Viperidae

a. Efek lokal timbul dalam 15 menit atau setelah beberapa jam berupa bengkak

dekat gigitan untuk selanjutnya cepat menyebar ke seluruh anggota badan,

rasa sakit dekat gigitan

b. Efek sistemik muncul dalam 5 menit atau setelah beberapa jam berupa

muntah, berkeringat, kolik, diare, perdarahan pada bekas gigitann (lubang dan

luka yang dibuat taring ular), hidung berdarah, darah dalam muntah, urin dan

tinja. Perdarahan terjadi akibat kegagalan faal pembekuan darah. Beberapa

hari berikutnya akan timbul memar, melepuh, dan kerusakan jaringan,

kerusakan ginjal, edema paru, kadang – kadang tekanan darah rendah dan nadi

cepat. Keracunan berat ditandai dengan pembengkakkan di atas siku dan lutut

dalam waktu 2 jam atau ditandai dengan perdarahan hebat.

3. Gigitan Hidropiidae

a. Gejala yang muncul berupa sakit kepala, lidah terasa tebal, berkeringat dan

muntah

b. Setelah 30 menit sampai beberapa jam biasanya timbul kaku dan nyeri

menyeluruh, spasme pada otot rahang, paralisis otot, kelemahan otot

ekstraokular, dilatasi pupil, dan ptosis, mioglobulinuria yang ditandai dengan

urin warna coklat gelap (gejala ini penting untuk diagnostik), ginjal rusak,

henti jantung

4. Gigitan Rattlesnake dan Crotalidae

a. Efek lokal berupa tanda gigitan taring, pembengkakan, ekimosis dan nyeri

pada daerah gigitan merupakan indikasi minimal ang perlu dipertimbangkan

untuk memberian poli valen crotalidae antivenin

b. Anemia, hipotensi dan trobositopenia merupakan tanda penting

14

Page 15: Vulnus Morsum Ular Final

5. Gigitan Coral Snake

Jika terdapat toksisitas neurologis dan koagulasi, diberikan antivenin (Micrurus

fulvius antivenin).

3.5 Pemeriksaan penunjang3

1. Pemeriksaan darah: Hb, Leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit, waktu

perdarahan, waktu pembekuan, waktu protobin, fibrinogen, APTT, D-dimer, uji

faal hepar, golongan darah dan uji cocok silang

2. Pemeriksaan urin: hematuria, glikosuria, proteinuria (mioglobulinuria)

3. EKG

4. Foto dada

3.6 Diagnosis Banding

Diagnosis banding untuk snakebite antara lain :

1. Scorpion Sting

2. Sengatan serangga

3.7 Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan pada kasus gigitan ular berbisa adalah3

1. Menghalangi/ memperlambat absorbsi bisa ular

2. Menetralkan bisa ular yang sudah masuk ke dalam sirkulasi darah

3. Mengatasi efek lokal dan sistemik

Usahakan membuang bisa sebanyak mungkin dengan menoreh lubang bekas

masuknya taring ular sepanjang dan sedalam ½ cm, kemudian dilakukan pengisapan

mekanis. Bila tidak tersedia alatnya, darah dapat diisap dengan mulut asal mukosa

mulut utuh tak ada luka. Bisa yang tertelan akan dinetralkan oleh cairan pencernaan.

Selain itu dapat juga dilakukan eksisi jaringan berbentuk elips karena ada dua bekas

15

Page 16: Vulnus Morsum Ular Final

tusukan gigi taring, dengan jarak ½ cm dari lubang gigitan, sampai kedalaman fasia

otot.

Usaha menghambat absorbsi dapat dilakukan dengan memasang tourniket

beberapa centimeter di proksimal gigitan atau di proksimal pembengkakan yang

terlihat, dengan tekanan yang cukup untuk menghambat aliran vena tapi lebih rendah

dari tekanan arteri. Tekanan dipertahankan dua jam. Penderita diistirahatkan supaya

aliran darah terpacu. Dalam 12 jam pertama masih ada pengaruh bila bagian yang

tergigit direndam dalam air es atau didinginkan dengan es.

Untuk menetralisir bisa ular dilakukan penyuntikan serum bisa ular intravena

atau intra arteri yang memvaskularisasi daerah yang bersangkutan. Serum polivalen

ini dibuat dari darah kuda yang disuntik dengan sedikit bisa ular yang hidup di daerah

setempat. Dalam keadaan darurat tidak perlu dilakukan uji sensitivitas lebih dahulu

karena bahaya bisa lebih besar dari pada bahaya syok anafilaksis.

Pengobatan suportif terdiri dari infus NaCl, plasma atau darah dan pemberian

vasopresor untuk menanggulangi syok. Mungkin perlu diberikan fibrinogen untuk

memperbaiki kerusakan sistem pembekuan. Dianjurkan juga pemberian

kortikosteroid.

Bila terjadi kelumpuhan pernapasan dilakukan intubasi, dilanjutkan dengan

memasang respirator untuk ventilasi. Diberikan juga antibiotik spektrum luas dan

vaksinasi tetanus. Bila terjadi pembengkakan hebat, biasanya perlu dilakukan

fasiotomi untuk mencegah sindrom kompartemen. Bila perlu, dilakukan upaya untuk

mengatasi faal ginjal. Nekrotomi dikerjakan bila telah tampak jelas batas kematian

jaringan, kemudian dilanjutkan dengan cangkok kulit. Bila ragu – ragu mengenai

jenis ularnya, sebaiknya penderita diamati selama 48 jam karena kadang efek

keracunan bisa timbul lambat. Gigitan ular tak berbisa tidak memerlukan pertolongan

khusus, kecuali pencagahan infeksi. 4,7

3.7.1 Tindakan Pelaksanaan

16

Page 17: Vulnus Morsum Ular Final

1. Sebelum penderita dibawa ke pusat pengobatan, beberapa hal yang perlu

diperhatikan adalah

a. Penderita diistirahatkan dalam posisi horizontal terhadap luka gigitan

b. Penderita dilarang berjalan dan dilarang minum minuman yang mengandung

alkohol

c. Apabila gejala timbul secara cepat sementara belum tersedia antibisa, ikat

daerah proksimal dan distal dari gigitan. Kegiatan mengikat ini kurang

berguna jika dilakukan lebih dari 30 menit pasca gigitan. Tujuan ikatan adalah

untuk menahan aliran limfe, bukan menahan aliran vena atau ateri.

2. Setelah penderita tiba di pusat pengobatan diberikan terapi suportif sebagai

berikut:

a. Penatalaksanaan jalan napas

b. Penatalaksanaan fungsi pernapasan

c. Penatalaksanaan sirkulasi: beri infus cairan kristaloid

d. Beri pertolongan pertama pada luka gigitan: verban ketat dan luas diatas luka,

imobilisasi (dengan bidai)

e. Ambil 5 – 10 ml darah untuk pemeriksaan: waktu trotombin, APTT, D-dimer,

fibrinogen dan Hb, leukosit, trombosit, kreatinin, urea N, elektrolit (terutama

K), CK. Periksa waktu pembekuan, jika >10 menit, menunjukkan

kemungkinan adanya koagulopati

f. Apus tempat gigitan dengan dengan venom detection

g. Beri SABU (Serum Anti Bisa Ular, serum kuda yang dilemahkan), polivalen

1 ml berisi:

i. 10-50 LD50 bisa Ankystrodon

ii. 25-50 LD50 bisa Bungarus

iii. 25-50 LD50 bisa Naya Sputarix

iv. Fenol 0.25% v/v

17

Page 18: Vulnus Morsum Ular Final

Teknik pemberian: 2 vial @5ml intravena dalam 100 ml NaCl 0,9% atau

Dextrose 5% dengan kecapatan 40-80 tetes/menit. Maksimal 100 ml (20 vial).

Infiltrasi lokal pada luka tidak dianjurkan.

Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema hebat pada

bagian luka. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan Way3,4,6

Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12 jam, jika

derajat meningkat maka diberikan SABU

Derajat II: 3-4 vial SABU

Derajat III: 5-15 vial SABU

Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU

Derajat Beratnya evenomasi

Taring atau gigi

Ukuran zona edema/ eritemato

kulit (cm)

Gejala sistemik

Jumlah vial venom

0 Tidak ada + <2 - 0I Minimal + 2-15 - 5II Sedang + 15-30 + 10III Berat + >30 ++ 15IV Berat + <> +++ 15

Tabel 3.2 Pedoman terapi SABU menurut Luck

Pedoman terapi SABU menurut Luck3,6

1. Monitor keseimbangan cairan dan elektrolit

2. Ulangi pemeriksaan darah pada 3 jam setelah pemberiann antivenom

a. Jika koagulopati tidak membaik (fibrinogen tidak meningkat, waktu

pembekuan darah tetap memanjang), ulangi pemberian SABU. Ulangi

pemeriksaan darah pada 1 dan 3 jam berikutnya, dst.

b. Jika koagulopati membaik (fibrinogen meningkat, waktu pembekuan

menurun) maka monitor ketat kerusakan dan ulangi pemeriksaan darah untuk

memonitor perbaikkannya. Monitor dilanjutkan 2x24 jam untuk mendeteksi

18

Page 19: Vulnus Morsum Ular Final

kemungkinan koagulopati berulang. Perhatian untuk penderita dengan gigitan

Viperidae untuk tidak menjalani operasi minimal 2 minggu setelah gigitan

3. Terapi suportif lainnya pada keadaan :

a. Gangguan koagulopati berat: beri plasma fresh-frizen (dan antivenin)

b. Perdarahan: beri tranfusi darah segar atau komponen darah, fibrinogen,

vitamin K, tranfusi trombosit

c. Hipotensi: beri infus cairan kristaloid

d. Rabdomiolisis: beri cairan dan natrium bikarbonat

e. Monitor pembengkakan local dengan lilitan lengan atau anggota badan

f. Sindrom kompartemen: lakukan fasiotomi

g. Gangguan neurologik: beri Neostigmin (asetilkolinesterase), diawali dengan

sulfas atropin

h. Beri tetanus profilaksis bila dibutuhkan

i. Untuk mengurangi rasa nyeri berikan aspirin atau kodein, hindari penggunaan

obat – obatan narkotik depresan

4. Terapi profilaksis

a. Pemberian antibiotika spektrum luas. Kuman terbanyak yang dijumpai adalah

P.aerugenosa, Proteus,sp, Clostridium sp, B.fragilis

b. Beri toksoid tetanus

c. Pemberian serum anti tetanus: sesuai indikasi

3.7.2 Fasciotomy

Tujuan dari terapi sindrom kompartemen dalah mengurangi defisit fungsi

neurogis dengan lebih dulu mengembalikan aliran darah local, biasanya dengan bedah

dekompresi. Tindakan nonoperatif tertentu mungkin bias berhasil seperti

menghilangkan selubung eksternal. Jika hal tersebut tidak berhasil maka tindakan

operasi dekompresi perlu dipertimbangkan. Indikasi mutlak untuk operasi dekompresi

sulit untuk ditentukan, tiap pasien dan tiap sindrom kompartemen memiliki

individualitas yang berpengaruh pada cara untuk menindakinya.

19

Page 20: Vulnus Morsum Ular Final

Berbeda dengan kompleksitas diagnosis, terapi kompartemen sindrom sederhana yaitu

fasciotomi kompartemen yang terlibat. Walaupun fasciotomi disepakati sebagai terapi

yang terbaik, namun beberapa hal, seperti timing, masih diperdebatkan. Semua ahli

bedah setuju bahwa adanya disfungsi neuromuskular adalah indikasi mutlak untuk melakukan

fasciotomi. Penanganan sindroma kompartemen meliputi :

1. Terapi Medikal/non operatif. 

Pemilihan secara medical terapi digunakan apabila masih menduga suatu sindroma

kompartemen, yaitu :

a. Menempatkan kaki setinggi jantung, untuk mempertahankan ketinggian kompartemen yang

minimal, elevasi dihindari karena dapat menurunkan aliran darah dan akan lebih

memperberat iskemia.

b. Pada kasus penurunan ukuran kompartemen, gips harus di buka dan pembalut kontriksi

dilepas.

c. Pada kasus gigitan ular berbisa, pemberian anti racun dapat menghambat

perkembangan sindroma kompartemen.

d. Mengoreksi hipoperfusi dengan cairan kristaloid dan produk darah.

e. Pada peningkatan isi kompartemen, diuretik dan pemakainan manitol dapat mengurangi

tekanan kompartemen. Manitol mereduksi edema seluler, dengan memproduksi kembali

energi seluler yang normal dan mereduksi sel otot yang nekrosis melalui kemampuan dari

radikal bebas.

2. Terapi operatif untuk sindroma kompartemen apabila tekanan intrakompartemen

lebih dari 30mmHg memerlukan tindakan yang cepat dan segera dilakukan fasciotomi.

Tujuannya untuk menurunkan tekanan dengan memperbaiki perfusi otot. Apabila tekanannya

kurang dari 30mmHg, tungkai dapat diobservasi dengan cermat dan diperiksa lagi pada jam-jam

berikutnya, kalau keadaan tungkai itu membaik, evaluasi klinik yang berulang-ulang dilanjutkan

hingga bahaya telah terlewati. Kalau tidak ada perbaikan, atau kalau tekanan

kompartemen meningkat, fasiotomi harus segera dilakukan.

Keberhasilan dekompresi untuk perbaikan perfusi adalah 6 jam. Ada dua teknik dalam

fasciotomi yaitu teknik insisi tunggal dan insisiganda. Tidak ada keuntungan yang utama dari

20

Page 21: Vulnus Morsum Ular Final

kedua teknik ini. Insisi ganda pada tungkai bawah paling sering digunakan karena lebih

aman dan lebih efektif, sedangkan insisi tunggal membutuhkan diseksi yang lebih luas

dan resiko kerusakan arteri dan vena peroneal.

Pada tungkai bawah, fasiotomi dapat berarti membuka ke empat kompartemen, kalau perlu

dengan mengeksisi satu segmen fibula. Luka harus dibiarkan terbuka, kalau terdapat nekrosis

otot,dapat dilakukan debridemen, kalau jaringan sehat, luka dapat di jahit ( tanpa regangan ), atau

dilakukan pencangkokan kulit Terapi untuk sindrom kompartemen akut maupun kronik

biasanya adalah operasi. Insisi panjang dibuat pada fascia untuk menghilangkan tekanan yang

meningkat di dalamnya. Luka tersebut dibiarkan terbuka (ditutup dengan pembalut steril) dan

ditutup pada operasi kedua, biasanya 5 hari kemudian. kalau terdapat nekrosis otot, dapat

dilakukan debridemen, kalau jaringan sehat, luka dapat di jahit (tanpa regangan ), atau skin graft

mungkin diperlukan untuk menutup luka ini.

Indikasi untuk melakukan operasi dekompresi antara lain:

1. Adanya tanda-tanda sindrom kompartemen seperti nyeri hebat

2. Gambaran klinik yang meragukan dengan resiko tinggi (pasien koma, pasien dengan

masalah psikiatrik, dan dibawah pengaruh narkotik) dengan tekanan jaringan lebih dari

30mmHg pada pasien yang diharapkan memiliki tekanan jaringan yang normal. Bila ada

indikasi, operasi dekompresi harus segera dilakukan karena penundaan akan meningkatkan

kemungkinan kerusakan jaringan intrakompartemen sebagaimana terjadinya

komplikasi. Waktu adalah inti dari diagnosis dan terapi sindrom kompartemen. Kerusakan

nervus permanen mulai setelah 6 jam terjadinya hipertensi intrakompartemen.

Jika dicurigai adanya sindrom kompartemen, pengukuran tekanan dan konsultasi yang

diperlukan harus segera dilakukan secepatnya. Beberapa teknik telah diterapkan untuk

operasi dekompresi untuk semua sindrom kompartemen akut. Prosedur ini dilakukan

tanpa torniket untuk mencegah terjadinya periode iskemia yang berkepanjangan dan

operator juga dapat memperkirakan derajat dari sirkulasi lokal yang akan didekompresi.

Setiap yang berpotensi membatasi ruang, termasuk kulit,dibuka di sepanjang

daerah kompartemen, semua kelompok otot harus lunak pada palpasi setelah prosedur selesai.

21

Page 22: Vulnus Morsum Ular Final

Debridemant otot harus seminimal mungkin selama operasi dekompresi kecuali

terdapat otot yang telah nekrosis.8

3.8 Prognosis

Gigitan ular berbisa berpotensi menyebabkan kematian dan keadaan yang

berat, sehingga perlu pemberian antibisa yang tepat untuk mengurangi gejala.

Ekstremitas atau bagian tubuh yang mengalami nekrosis pada umumnya akan

mengalami perbaikan, fungsi normal, dan hanya pada kasus-kasus tertentu

memerlukan skin graft.2

BAB IV

KESIMPULAN

Bisa adalah suatu zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan

mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Beberapa ciri ular

22

Page 23: Vulnus Morsum Ular Final

berbisa adalah bentuk kepala segitiga, ukuran gigi taring kecil, dan pada luka bekas

gigitan terdapat bekas taring.

Berdasarkan sifatnya pada tubuh mangsa, bisa ular dapat dibedakan menjadi

bisa hemotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi jantung dan sistem pembuluh

darah; bisa neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf dan otak; dan

bisa sitotoksik, yaitu bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan.

Dalam menghadapi kasus gigitan ular berbisa diperlukan tata laksana yang

cepat, baik dalam menegakkan diagnosis maupun terapinya, oleh karena dapat

menimbulkan kecacatan dan mengancam jiwa

23