zulham efendi irfan land cover

11
1 IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT LANDSAT ETM+ OLEH: ZULHAM EFENDI IRFAN/ P0204210513 UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR PROGRAM STUDI PERENCANAAN PENGEMBANGAN WILAYAH KONSENTRASI MANAJEMEN PERENCANAAN 2011

Upload: zulham-efendi-irfan

Post on 03-Aug-2015

185 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT LANDSAT ETM+OLEH: ZULHAM EFENDI IRFAN/ P0204210513UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSARPROGRAM STUDI PERENCANAAN PENGEMBANGAN WILAYAHKONSENTRASI MANAJEMEN PERENCANAAN 20111IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT LANDSAT ETM+ A. Pendahuluan Seiring dengan meningkatnya pengembangan wilayah di Indonesia dan disertai dengan laju pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi setiap tahunnya, telah mengaki

TRANSCRIPT

Page 1: Zulham Efendi Irfan Land Cover

1

IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN MENGGUNAKAN CITRA SATELIT LANDSAT ETM+ OLEH: ZULHAM EFENDI IRFAN/ P0204210513

UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR PROGRAM STUDI PERENCANAAN PENGEMBANGAN WILAYAH

KONSENTRASI MANAJEMEN PERENCANAAN 2011

Page 2: Zulham Efendi Irfan Land Cover

1

IDENTIFIKASI DAN KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN

MENGGUNAKAN CITRA SATELIT LANDSAT ETM+

A. Pendahuluan

Seiring dengan meningkatnya pengembangan wilayah di Indonesia dan disertai

dengan laju pertumbuhan penduduk yang semakin tinggi setiap tahunnya, telah

mengakibatkan tingkat penggunaan lahan secara meluas. Padahal ketersediaan lahan sangat

terbatas dari segi luas dan daya dukungnya terhadap kebutuhan manusia. Sehingga dengan

keterbatasan lahan yang tersedia sering melahirkan konflik-konflik terhadap penggunaan

lahan.

Konflik penggunaan lahan ini terjadi dengan adanya benturan kepentingan antar

sektoral dan pembangunan yang disebabkan oleh pertambahan penduduk. Konflik

penggunaan lahan tersebut bisa dalam bentuk alih fungsi lahan, seperti perubahan lahan

sawah, tegalan, hutan, menjadi daerah pemukiman, pertokoan, perkantoran, jalan dan sarana

perhubungan. Selain melahirkan konflik penggunaan lahan, penggunaan lahan secara besar-

besaran juga telah mengakibatkan menurunnya kualitas lingkungan hidup sebagai akibat dari

pemanfaatan lahan tanpa memperdulikan keseimbangan ekologi. Suatu wilayah bisa jadi

sukses dalam meningkatkan ekonomi daerahnya namun gagal dalam mempertahankan

kelestarian lingkungan. Wujud dari terganggunya ekosistem tersebut dapat dilihat dengan

terjadinya berbagai peristiwa bencana alam dan perubahan iklim secara ekstrim.

Untuk mencegah semakin meluasnya konflik penggunaan lahan dan kerusakan ekologi

maka diperlukan suatu upaya perencanaan yang terpadu, seperti rencana tataguna lahan.

Rencana tataguna lahan sangat diperlukan untuk mewujudkan kondisi pemanfaatan lahan

yang berkelanjutan. Pemanfaatan lahan yang berkelanjutan ini hanya dapat terjadi bila

distribusi dan pemanfaatan berbagai jenis lahan masih mempertimbangkan keseimbangan

antara kebutuhan ekonomi dan ekologi. Untuk mencapai upaya pembuatan rencana tataguna

lahan tersebut maka sangat diperlukan data sumberdaya alam, teknik analisis dan pengolahan

data yang tepat dan cepat serta model pendekatan perencanaan yang komprehensif.

Salah satu data sumberdaya alam yang diperlukan dalam penyusunan rencana tataguna

lahan adalah peta tutupan lahan. Peta tutupan lahan yaitu peta yang memberikan informasi

mengenai jenis objek-objek yang tampak di permukaan bumi. Ketepatan informasi tutupan

lahan akan memberikan kemudahan dalam melakukan analisa perencanaan tataguna lahan

atau pengembangan suatu wilayah. Untuk mendapatkan tingkat akurasi yang tinggi dan

mempersingkat waktu perencanaan, pembuatan peta tutupan lahan dapat dilakukan dengan

memanfaatkan teknologi penginderaan jauh yang dalam prosesnya menggunakan perangkat

lunak pengolah citra.

Pada tulisan ini akan dikemukakan proses pembuatan peta tutupan lahan (land cover)

Kabupaten Maros Provinsi Sulawesi Selatan yang merupakan sebagai hasil kegiatan pratikum

dalam membuat peta tutupan lahan.

B. Tujuan Kegiatan

Tujuan kegiatan pratikum ini adalah untuk melatih mahasiswa agar mampu

melakukan proses pengkayaan dan pembuatan klasifikasi citra tutupan lahan Kabupaten

Maros dengan menggunakan software Idrisi 32 dan citra satelit Landsat ETM+.

Page 3: Zulham Efendi Irfan Land Cover

2

C. Tinjauan Pustaka

Land cover dan land use

Land cover (tutupan lahan) dan land use (penggunaan lahan) merupakan dua istilah

yang sering digunakan untuk kajian permukaan bumi. Beberapa sumber memisahkan dengan

tegas batasan keduanya. Lillesand dan Kiefer (1979 dalam Ulfah, 2006) tutupan lahan

berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, sedangkan penggunaan

lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada obyek tersebut.

Pendapat Townshend dan Justice (1981 dalam Ulfah,2006) mengenai penutupan

lahan, yaitu penutupan lahan adalah perwujudan secara fisik (visual) dari vegetasi, benda

alam, dan unsur-unsur budaya yang ada di permukaan bumi tanpa memperhatikan kegiatan

manusia terhadap obyek tersebut.

Barret dan Curtis (1982 dalam Ulfah,2006) mengatakan bahwa permukaan bumi

sebagian terdiri dan kenampakan alamiah (penutupan lahan) seperti vegetasi, salju, dan lain

sebagainya. Dan sebagian lagi berupa kenampakan hasil aktivitas manusia (penggunaan

lahan).

Adapun menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN), penggunaan lahan (land use)

adalah wujud dan kegiatan atau usaha penduduk untuk memanfaatkan tanah untuk memenuhi

kebutuhan, baik materiil maupun spiritual, secara tetap atau berkala oleh instansi badan

hukum atau perorangan (BPN, 2011).

Penginderaan jauh (Remote Sensing)

Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu

objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa

kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lilesand, 2004).

Menurut Lindgren, penginderaan jauh merupakan teknik yang dikembangkan untuk

memperoleh dan menganalisis informasi tentang bumi. Informasi itu berbentuk radiasi

elektromagnetik yang dipantulkan atau dipancarkan dari permukaan bumi (1985 dalam

Sutanto, 1994).

Data spasial adalah data yang memiliki referensi ruang kebumian (georeference)

dimana berbagai data atribut terletak dalam berbagai unit spasial (Wikipedia.org). Data

spasial yang pada umumnya diwujudkan baik sebagai peta analog (dicetak di atas media

kertas) maupun digital merupakan salah satu sumber daya yang termasuk langka dan mahal

pada saat ini. Karena peta analog atau peta digital merupakan gambaran atau potret bentang

alam yang sangat komprehensif, jujur, dan yang terdekat dengan realitas (Prahasta, 2008).

Citra digital hasil penginderaan jauh antara lain citra Quickbird, IKONOS, Landsat TM,

SPOT, NOAA dan lain-lain.

Citra Landsat

Landsat merupakan satelit sumber daya bumi yang pada awalnya bernama ERTS-1

(Earth Resources Technology Satellite) yang diluncurkan pertama kali tanggal 23 Juli 1972.

Satelit ini mengorbit bumi selaras matahari (Sun Synchronous). Satelit Landsat 1-7

merupakan proyek dari NASA. Ada 7 satelit yang telah diluncurkan sejak tahun 1972, yaitu:

1. Landsat 1 1972-1978 MSS

2. Landsat 2 1975-1982 MSS

3. Landsat 3 1978-1983 MSS

4. Landsat 4 1982-1987 MSS, TM

5. Landsat 5 1985-present MSS, TM

6. Landsat 6 1993 hilang pada saat peluncuran

7. Landsat 7 1999-sekarang, ETM+

Page 4: Zulham Efendi Irfan Land Cover

3

Sensor Landsat 1,2,dan 3 mempunyai lebar cakupan rekaman 185 Km dengan

ketinggian orbit 920 Km. Landsat 1 dan 2 membawa sensor RBV (Return Beam Vidicon) dan

MSS (Multispektral Scanner). Landsat 3 ditambah saluran termal sebesar 10.4- 12.6 μm.

Generasi selanjutnya Landsat 4 dan 5 disamping tersedia empat sensor MSS juga ditambah

sensor TM (Thematic Mapper), dan untuk Landsat 6 ditambahkan ETM (Enhance Thematic

Mapper) dengan penambahan saluran termal sebesar 10.4-12.6 μm disertai dengan perubahan

ketinggian orbit menjadi 705 Km.

Landsat ETM+ memiliki panjang gelombang yag cakupannya luas, termasuk sinar

tampak, sinar infrared, dan band thermal. Band thermal meliputi band 6A dan band 6B yang

dapat mendeteksi suhu permukaan di bumi.

Untuk jenis, panjang gelombang serta fungsi dari saluran/band yang terdapat pada

landsat dapat dilihat pada tabel di bawah ini:

Tabel 1. Panjang Gelombang yang Digunakan pada Setiap Saluran Landsat

Saluran/

band gelombang

Panjang

gelombang

(μm)

Fungsi

Saluran 1 Gelombang biru 0.45-0.52 Membedakan kejernihan air dan membedakan antara tanah

dengan tanaman.

Saluran 2 Gelombang hijau 0.52-0.60 Mendeteksi tanaman.

Saluran 3 Gelombang merah 0.63-0.69 Membedakan tipe tanaman lebih dari band 1 dan 2.

Saluran 4 Gelombang

inframerah dekat 0.76-0.90

Meneliti biomas tanaman, dan membedakan batas tanah-

tanaman dan daratan-air.

Saluran 5 Gelombang

inframerah pendek 1.55-1.75

Menunjukan kandungan air tanaman dan tanah, berguna

untuk membedakan tipe tanaman dan kesehatan tanaman,

serta membedakan antara awan, salju, dan es.

Saluran 6 Gelombang

inframerah termal 10.40-12.50

Bergunan untuk mencari lokasi kegiatan geothermal,

mengukur tingkat stress tanaman, kebakaran, dan

kelembaban tanah.

Saluran 7 Gelombang

inframerah pendek 2.08-2.35

Berhubungan dengan mineral, ratio antara band 5 dan 7

berguna untuk mendeteksi batuan dan deposit mineral.

(Sumber: Purwadhi, 2001)

Klasifikasi citra

Klasifikasi citra digital merupakan suatu proses penyusunan, pengurutan, atau

pengelompokkan semua piksel kedalam beberapa kelas (kelompok) berdasarkan suatu kriteria

atau kategori objek yang bertujuan untuk menghasilkan “peta tematik” (Prahasta, 2008).

Setiap piksel yang terdapat di dalam setiap kelas hasil klasifikasi diasumsikan memiliki

karakteristik yang homogen.

Tujuan proses ini adalah untuk mengekstrak pola-pola respon spektral (terutama yang

dominan) yang terdapat didalam citra itu sendiri, pada umumnya berupa kelas-kelas penutup

lahan (land cover) dan tata guna lahan (land use).

Didalam proses pengklasifikasian citra digital ini, secara umum dikenal dua kelompok

metode yaitu klasifikasi tidak terawasi (unsupervised classification) dan klasifikasi terawasi

(supervised classification).

Pada metode klasifikasi tidak terawasi proses klasifikasi digunakan untuk

mengelompokkan piksel-piksel citra berdasarkan aspek statistik (matematis) semata, tanpa

ada kelas-kelas yang didefinisikan sendiri oleh pengguna (training sites/areas). Sedangkan

klasifikasi terawasi merujuk pada keberadaan kelas-kelas yang didefinisikan oleh pengguna

(Prahasta, 2008).

Penggunaan istilah terawasi disini mempunyai arti berdasarkan suatu referensi

Page 5: Zulham Efendi Irfan Land Cover

4

penunjang, dimana kategori objek-objek yang terkandung pada citra telah dapat diidentifikasi.

Klasifikasi ini memasukkan setiap piksel citra tersebut kedalam suatu kategori objek yang

sudah diketahui.

Proses klasifikasi disebut tidak terawasi, bila dalam prosesnya tidak menggunakan

suatu referensi penunjang apapun. Hal ini berarti bahwa proses tersebut hanya dilakukan

berdasarkan perbedaan tingkat keabuan setiap piksel pada citra. Klasifikasi citra tak terawasi

mencari kelompok-kelompok (cluster) piksel-piksel, kemudian menandai setiap piksel

kedalam sebuah kelas berdasarkan parameter-parameter pengelompokkan awal yang

didefinisikan oleh penggunanya.

D. Metode Pelaksanaan

Pada kegiatan pratikum ini akan dilalui empat tahapan proses pengolahan data, yaitu

tahap pembuatan citra komposit, klasifikasi citra menggunakan metode Supervised,

klasifikasi citra menggunakan metode Unsupervised, dan deliniasi luas Kabupaten Maros.

Diagram alir untuk pratikum ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Data yang akan diolah merupakan data yang bersumber dari Citra satelit Landsat

ETM+ yang diakuisisi tahun 2002 dan mencakup wilayah Kabupaten Maros dan sekitarnya.

Proses pengolahan data dilakukan dengan menggunakan software Idrisi vesi 32 .

Diagram Alir Klasifikasi Tutupan Lahan

Gambar 1 : Diagram Alir Klasifikasi Tutupan Lahan

E. Hasil dan Pembahasan

Pada pratikum ini, citra yang digunakan adalah citra landsat ETM+ meliputi wilayah

Kabupaten Maros dan sekitarnya. Luas cakupan citra tersebut adalah 76.217 x 57.933 m =

4415.479,461 km2 atau 441.547,9 Ha. Citra tersebut telah teregistrasi koordinatnya dalam

bentuk koordinat UTM (universal Transverse Mercator) dengan koordinat sudut kiri bawah

(x,y) 761678 mT, 9421809 mU dan sudut kanan atas (x,y) 837895 mT, 9479742 mU.

Citra yang digunakan terdiri dari tiga band saja, yaitu band 1 (biru), band 2 (hijau) dan

CITRA LANDSAT ETM+

KLASIFIKASI UNSUPERVISED

DELINIASI LUAS KABUPATEN

MAROS

KLASIFIKASI SUPERVISED

PETA TEMATIK TUTUPAN LAHAN

COMPOSITE BAND 1,2,3.

PETA KLASIFIKASI TUTUPAN LAHAN

Page 6: Zulham Efendi Irfan Land Cover

5

(Composite Band 3,2,1)

BAND 1 (BIRU)

BAND 2 (HIJAU)

BAND 3 (MERAH)

band 3 (merah). Secara berurutan proses dan hasil pratikum pembuatan peta klasifikasi

tutupan lahan Kabupaten Maros dapat diperhatikan pada uraian berikut ini.

Langkah pertama yang dilakukan adalah membuat komposit citra, komposit ini dibuat

dengan cara melakukan paduan citra band 1, band 2 dan band 3 yang telah tersedia dengan

menggunakan software Idrsi32. Komposit ini dibuat untuk mempertajam kontras citra,

sehingga perpaduan dari band citra tersebut dapat memperjelas penampakan objek-objek

dalam citra yang dipresentasikan dalam bentuk warna dan nilai digit yang berbeda-beda (DN)

dari masing-masing band yang telah dikomposit. Hasil komposit band 1,2 dan 3 dapat dilihat

pada gambar di bawah ini:

Gambar 2: Proses Pembuatan Citra Composite

Dengan hasil komposit yang telah dibuat, identifikasi terhadap tutupan lahan sudah

bisa dilakukan dengan cara menginterpretasikan warna-warna yang tampak di dalam citra

komposit tersebut. Selain pemahaman warna, pengetahuan terhadap lokasi juga diperlukan

dalam menginterpretasi jenis penampakan yang terdapat di dalam citra komposit. Hal tersebut

diperlukan agar hasil yang diperoleh dari interpretasi citra benar-benar sesuai dengan

kenyataan di lapangan, meskipun setelah itu pengujian atau verifikasi di lapangan tetap

dilakukan.

Dari interpretasi citra komposit di atas diperoleh hasil sebagai berikut:

Warna hitam/gelap sebagai presentasi air sungai/laut

warna Kelabu Tua sebagai presentasi kebun/ladang

Warna Merah-Keunguan sebagai presentasi sawah

Warna Hijau Cerah sebagai presentasi semak/hutan jarang

Warna Putih Cerah sebagai presentasi awan

Page 7: Zulham Efendi Irfan Land Cover

6

Warna Hijau Tua sebagai presentasi Hutan lebat dan

Warna Merah Spot-spot sebagai presentasi pemukiman/kawasan industri

Setelah proses pembuatan dan interpretasi terhadap citra komposit dilakukan, proses

berikutnya adalah membuat klasifikasi citra. Pembuatan klasifikasi citra dapat dilakukan

dengan dua metode, yaitu metode terbimbing (supervised method) dan metode tidak

terbimbing (unsupervised method).

Pada metode terbimbing, teknik klasifikasi citra yang dipakai adalah teknik pemisahan

nilai digit (DN) berdasarkan nilai batas tertentu (gray-level thresholding). Dalam hal ini akan

dilakukan klasifikasi air dan daratan dari citra yang memiliki tingkat kontras warna yang lebih

baik. Berdasarkan proses pengamatan, maka citra band 2 memiliki kontras yang sangat baik

dibanding citra band 1 dan 3. Perbedaan kontras ini terjadi karena masing-masing band citra

memiliki panjang gelombang dan tingkat rekfletansi yang berbeda atas hasil pemotretan

objek-objek bumi.

Dengan menggunakan citra band 2, dilakukan identifikasi batas nilai digit (DN) citra

yang akan digunakan sebagai batas pemisah antara air dan daratan. Untuk mempermudah

identifikasi batas nilai tersebut maka dapat digunakan tools histogram yang terdapat pada

software idrisi32. Histogram akan mempresentasikan seluruh nilai-nilai digit yang terdapat

dalam sel citra kedalam bentuk grafik batang. Nilai-nilai digit tersebut merupakan presentasi

dari penampakan objek-objek bumi yang ada di dalam citra. Berdasarkan pengamatan dari

hasil histogram, diperoleh batas nilai digit pemisah antara air dan daratan adalah 15. Dengan

demikian semua nilai digit mulai dari 0 hingga dibawah 15 dikategorikan kedalam kelas air,

sedangkan nilai digit mulai dari 15 hingga dibawah 256 dikategorikan kedalam kelas daratan.

Dengan menggunakan tool reclass pada Idrisi32 maka hasil klasifikasi air dan daratan untuk

citra band 2 dapat dilihat pada gambar berikut ini:

Gambar 3: Proses Pembuatan Peta Klasifikasi Air_Darat

Air Darat

LEGENDA

Peta Air_Darat

CITRA BAND2

HISTOGRAM CITRA BAND2

Page 8: Zulham Efendi Irfan Land Cover

7

Adapun klasifikasi citra menggunakan metode tidak terbimbing dilakukan dengan

membuat beberapa cluster yang diwakilkan oleh warna tertentu dari citra komposit yang telah

dibuat sebelumnya. Hasil pembuatan cluster dari citra komposit dapat dilihat di bawah ini:

Gambar 4: Proses Pembuatan Peta Cluster

Dari hasil cluster di atas dapat diperhatikan bahwa cluster yang dibuat hanya

ditentukan sebanyak lima buah kategori cluster dengan tampilan warna yang berbeda yaitu

cluster1, cluste2, cluste3, cluste4 dan cluste5. Kategori cluster yang telah ada tersebut belum

memberikan makna apa-apa terhadap peta klasifikasi tutupan lahan yang akan dibuat. Oleh

karena itu harus dilakukan interpretasi terlebih dahulu terhadap kategori cluster yang telah

dibuat dengan cara menyesuaikan pemahaman lokasi di peta dan menggunakan hasil

interpretasi citra komposit yang telah dibuat di atas. Adapun hasil interpretasi terhadap

kategori cluster tersebut adalah sebagai berikut:

Cluster1 mewakili : laut/tambak

Cluster2 mewakili : semak

Cluster3 mewakili : kebun

Cluster4 mewakili : hutan

Cluster5 mewakili : sawah

Hingga tahap ini, peta yang telah dihasilkan adalah peta klasifikasi air_darat dan peta

cluster. Peta cluster yang telah ada belum mencerminkan peta klasifikasi tutupan lahan, sebab

pada peta tersebut laut dan tambak masih diklasifikasikan dalam satu kelas. Untuk

menjadikan keduanya berbeda kelas dalam peta klasifikasi tutupan lahan yang akan dibuat,

maka perlu dilakukan overlay antara peta cluster dengan peta klasifikasi air_darat yang telah

dibuat sebelumnya. Sehingga hasil overlay dari kedua peta inilah yang disebut sebagai peta

klasifikasi tutupan lahan sebagaimana tampak di bawah ini:

Peta cluster

(Composite Band 3,2,1)

Gambar 5: Peta Tutupan Lahan

Page 9: Zulham Efendi Irfan Land Cover

8

Peta klasifikasi tutupan lahan di atas masih mencakup area Kabupaten Maros dan

sekitarnya. Untuk mendapatkan luas masing-masing jenis tutupan lahan Kabupaten Maros

maka perlu dilakukan delineasi peta yang mencakup Kabupaten Maros saja. Delineasi

tersebut dilakukan dengan cara melakukan overlay peta klasifikasi tutupan lahan dengan peta

administrasi Kabupaten Maros yang telah disediakan dalam pratikum ini. Dari hasil overlay

yang telah dibuat, kemudian dihitung luas masing-masing jenis tutupan lahan yang mencakup

Kabupaten Maros dengan menggunakan perintah menu Analysis>Database Query>Area pada

Idrisi32. Akhir dari proses ini telah menghasilkan sebuah peta tematik tutupan lahan

Kabupaten Maros sebagaimana dapat dilihat dibawah ini:

Jenis Tutupan Lahan Kabupaten Maros

Laut Tambak Semak Kebun Hutan Sawah

Luas (Ha) 191347.3089014 10187.3993870 43498.9778785 33852.5607918 28911.7191355 27683.3689422

Gambar 6: Peta Tematik Tutupan Lahan Kabupaten Maros

F. Implikasi

Berdasarkan uraian di atas, dapat diperhatikan bahwa peta tematik tutupan lahan

Kabupaten Maros dengan secara cepat bisa dibuat dengan menggunakan teknologi informasi

geospasial. Dari sisi perencanaan, teknologi ini sangat perlu digunakan dan dijadikan sebagai

salah satu alat untuk menganalisis segala hal yang menyangkut dengan kebutuhan informasi

spasial terutama pada saat menyusun rencana tata ruang suatu wilayah. Selain informasi yang

dihasilkan dengan tingkat akurasi yang kuat, penggunaan teknologi informasi geospasial juga

bisa mempersingkat waktu perencanaan dan mengurangi sejumlah biaya yang tidak

diperlukan lagi dalam perencanaan.

PETA TUTUPAN LAHAN KABUPATEN MAROS

Page 10: Zulham Efendi Irfan Land Cover

9

Ada beberapa implikasi yang muncul bila teknologi informasi geospasial ini hendak

dijadikan sebagai salah satu referensi informasi dalam pengambilan kebijakan perencanaan

atau pengembangan wilayah, yaitu:

1. Membentuk infrastruktur dan sistem informasi geospasial terpadu.

Agar tidak terbentuk ego sektoral dalam pengembangan data dan informasi spasial maka

perlu disediakan infrastruktur dan sistem informasi geospasial terpadu. Dengan demikian

data dan informasi geospasial hanya dikembangkan oleh satu badan/pihak saja,

sedangkan pihak-pihak lain diberikan hak untuk mengakses data dan informasi geospasial

yang telah dikembangkan tersebut. Hal ini perlu dilakukan untuk menghindari timbulnya

inkonsistensi data dan informasi geospasial antar pihak-pihak yang melakukan

perencanaan atau pengembangan wilayah.

2. Pengembangan sumberdaya manusia.

Selain infrastruktur yang harus disiapkan, pemakaian teknologi sistem informasi

geospasial juga memerlukan sumberdaya manusia yang handal. Dengan ketersediaan

sumberdaya manusia yang handal maka data-data spasial yang dikelola dan diolah akan

menjadi suatu informasi yang benar-benar mengandung subtansi informasi yang

terkandung di dalam data spasial tersebut. Oleh karena itu perlu dilakukan pengembangan

sumberdaya manusia dengan cara memberikan pelatihan dan pendidikan yang

berhubungan dengan teknologi dan ilmu sistem informasi geospasial.

3. Ketersediaan dana.

Tahap awal pengembangan sistem informasi geospasial tentu membutuhkan dana yang

relatif besar. Dana tersebut digunakan untuk pembangunan infrastruktur dan

kelengkapannya, pelatihan dan pendidikan sumberdaya manusia, serta biaya operasional

bagi staf yang melakukan pengolahan data. Namun setelah tahap awal berjalan, dana

yang dibutuhkan untuk periode berikutnya semakin mengecil. Sebab dana pada periode

berikutnya hanya digunakan untuk membiayai biaya operasional saja, seperti honor staf

pengelola dan pengolah data, biaya pembelian citra satelit, biaya percetakan, biaya survey

lapangan, biaya perawatan, serta biaya lainnya yang mendukung untuk operasional sistem

informasi geospasial.

G. Penutup

Berdasarkan hasil pratikum pembuatan peta klasifikasi tutupan lahan Kabupaten

Maros, dapat disimpulkan bahwa peran teknologi penginderaan jauh atau sistem informasi

geospasial sangat diperlukan dalam proses analisis spasial. Selain menghemat biaya dan

waktu, pemanfaatan teknologi penginderaan jauh atau sistem informasi geospasial bisa

menghasilkan data dan informasi yang sangat akurat dan relevan. Sehingga dapat dijadikan

sebagai acuan dalam membuat kebijakan atau perencanaan pengembangan suatu wilayah.

Page 11: Zulham Efendi Irfan Land Cover

10

DAFTAR PUSTAKA

Al-Tamini, Salam dan Al-Bakri, J. T. 2005. Comparison Between Supervised and

Unsupervised Classifications for Mapping Land Use/Cover in Ajloun Area. Jourdan

Journal of Agricultural Sciences,Volume , No 1, 2005.

Howard, J. A., 1996. Penginderaan Jauh Untuk Sumberdaya Hutan (teori dan Aplikasi).

Gadjah Mada University Press. Bulaksumur, Yogyakarta.

http://id.wikipedia.org/wiki/Sistem_informasi_geografis, diakses pada tanggal 04 September

2011.

http://www.bpn.go.id/artikel, diakses pada tanggal 04 September 2011.

Kiefer T. M. dan Lillesand R. W., 2004. Penginderaan Jauh dan Interpretasi Citra (terj).

Gadjah Mada University Press. Bulaksumur, Yogyakarta.

Prahasta, Eddy, 2008. REMOTE SENSING Praktis Penginderaan Jauh & Pengolahan Citra

Digital dengan Perangkat Lunak ER Mapper, Bandung: Penerbit INFORMATIKA.

Sutanto, Penginderaan Jauh Jilid II, Edisi 2, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1994.

Ulfah, Latifa, 2006. Skripsi: Analysis Quickbird Imagery Using Supervised and Unsupervised

Classification, www.gunadarma.ac.id. Didownload pada tanggal 02 September 2011.

Purwadhi, F. S. H., 2001. Interpretasi Citra Digital. Penerbit PT. Gramedia Widiasarana

Indonesia, Jakarta.