229478290 laporan kasus anak asma bronkhial
DESCRIPTION
bacaanTRANSCRIPT
LAPORAN KASUS
Asma Bronkhiale
Oleh :
Ujang Fauzan Zaini, S.Ked
FAA 110 017
Pembimbing :
dr. Sutopo, Sp. RM
dr. Tagor Sibarani
Dibawakan dalam rangka tugas kepaniteraan klinik pada bagian
Rehabilitasi Medik dan Emergency Medicine
KEPANITERAAN KLINIK REHABILITASI MEDIK DAN EMERGENCY
MEDICINE
FK UNPAR/RSUD dr. DORIS SYLVANUS
PALANGKARAYA
2015
BAB I
PENDAHULUAN
Asma merupakan penyakit gangguan inflamasi kronis saluran pernafasan yang
dihubungkan dengan hiperresponsif, keterbatasan aliran udara yang reversible dan
gejala pernafasan. Asma ditandai dengan mengi episodik, batuk, dan sesak di dada
akibat penyumbatan saluran napas. Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus
meningkat di negara maju dan berkembang.
Penyakit asma merupakan kelainan yang sangat sering ditemukan dan
diperkirakan 4–5% populasi penduduk di Amerika Serikat terjangkit oleh
penyakit ini. Asma bronkial terjadi pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada
usia dini. Sekitar separuh kasus timbul sebelum usia 10 tahun dan sepertiga kasus
lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun. Pada usia kanak-kanak terdapat predisposisi
laki-laki : perempuan = 2 : 1 yang kemudian menjadi sama pada usia 30 tahun.
Asma merupakan 10 besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia,
hal itu tergambar dari data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di
berbagai propinsi di Indonesia. SKRT 1986 menunjukkan asma menduduki urutan
ke 5 dari 10 penyebab kesakitan bersama-sama dengan bronkitis kronik dan
emfisema. Pada SKRT 1992, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai
penyebab kematian ke 4 di Indonesia atau sebesar 5,6%. Tahun 1995, prevalensi
asma di Indonesia sekitar 13 per 1.000 penduduk, dibandingkan bronkitis kronik
11 per 1.000 penduduk dan obstruksi paru 2 per 1.000 penduduk.
BAB II
LAPORAN KASUS
I. Primary Survey
An. J, Laki-laki
Vital sign :
Tekanan Darah : Tidak Dilakukan
Nadi : 110x/menit
Pernapasan : 26x/menit
Suhu : 36,7℃Airway : tidak ada tanda sumbatan jalan napas.
Breathing : Spontan, 26 kali/menit dengan jenis pernapasan
abdominotorakal, pergerakan thoraks simetris dan
tidak ditemukan ketinggalan gerak pada salah satu
thoraks.retraksi (-)
Circulation : Nadi 110 kali/menit, reguler, isi cukup, kuat angkat.
CRT < 2 detik.
Dissability : GCS 15 (Eye 5, Motorik 6, Verbal 5), kompos
mentis, pupil isokor +/+ dengan diameter
3mm/3mm.
Evaluasi masalah : Kasus ini merupakan kasus yang termasuk dalam
priority sign yaitu Sesak Napas. Pasien pada kasus
ini diberi label pewarnaan triase dengan warna
kuning.
Tatalaksana awal : Pasien ditempatkan di ruangan non bedah.
II. Identitas Penderita
Nama : An. J
Usia : 3 tahun
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Palangkara
III. Anamnesis
Alloanamnesis dengan Ibu penderita pada tanggal 8 Desember 2015 pukul 11.00 WIB.
1. Keluhan Utama : Sesak Napas
2. Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang dengan keluhan sesak sejak 1 hari SMRS, sesak memberat sejak pagi pukul
08.00 WIB. Sesak muncul perlahan dan semakin lama semakin sesak. Sesak tidak
pengaruhi oleh cuaca.
Batuk Berdahak sejak 2 hari,muntah (+) 2 kali hari ini, muntah lendir, makan dan minum
(+) kuat. Riwayat Asma sejak Usia 1,5 tahun, Riw keluarga Asma (+) waktu kecil.
IV. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum: Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos Mentis
GCS : Eye (4), Motorik (6), Verbal (5).
2. Tanda vital :
Tensi : Tidak dilakukan
Nadi : 110x/menit, reguler, isi cukup, kuat angkat
Suhu : 36,7°C, aksila
Respirasi : 26x/menit, abdominotorakal.
3. Kepala : Normocephal
Palpebra tidak edema, konjungtiva tidak anemis, sklera tidak
ikterik. NCH +/+, sianosis pada bibir (-)
4. Leher : Trakea di tengah, pembesaran KGB (-), peningkatan JVP (-).
5. Thoraks :
a. Paru
Inspeksi : Simetris, tidak ada ketinggalan gerak, frekuensi napas 26
kali/menit, jenis pernapasan abdominotorakal
Palpasi : Fremitus +/+ normal
Auskultasi : Suara napas vesikuler pada kedua lapang paru, ronki (-/-),
wheezing (+/+).
b. Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Teraba pada SIC III midklavikula sinistra
Auskultasi : Frekuensi jantung 110 kali/menit, reguler, S1-S2 tunggal, tidak ada
murmur dan gallop
6. Abdomen : Cembung, distensi (-), bising usus (+) normal, Hepar dan lien TTB,
timpani (+), NT (-)
7. Ekstremitas : Akral hangat, CRT < 2 detik. Sianosis (-)
V. Diagnosis Banding
Asma Bronkhial
Bronkities
Bronkiolitis
VI. Diagnosis Kerja
Asma Bronkhiale
VII. Penatalaksanaan
Nebulizer Combivent 1/3 Respul + NaCl 0,9%
• Ceterizin Syr 1 X ½ Cth.
• Meptin Syr 2 X ½ Cth
• Ctm 1 mg, Salbutamol 0,5 mg, Gg 1/3 tab, Dexa 0,15 mg, Mf. Pulv DTD X S3 dd 1 Tab
• Observasi keadaan umum dan vital sign
BAB III
PEMBAHASAN
Pasien An. J datang ke IGD RSUD dr. Doris Sylvanus Palangka Raya, kegawatan pada
kasus ini adalah Sesak Napas.
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan
elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan batuk-
batuk terutama pada malam hari atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi
jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau tanpa pengobatan
(Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia, 2004
Secara khas, sebagian besar serangan berlangsung singkat selama beberapa menit hingga
beberapa jam setelah itu, pasien tampak mengalami kesembuhan klinik yang total. Namun
demikian, ada suatu fase ketika pasien mengalami obstruksi jalan napas dengan derajat tertentu
setiap harinya. Fase ini dapat ringan dengan atau tanpa disertai episode yang berat atau yang
lebih serius lagi, dengan obstruksi hebat yang berlangsung selama berhari-hari atau berminggu-
minggu. Keadaan semacam ini dikenal sebagai status asmatikus. Pada beberapa keadaan yang
jarang ditemui, serangan asma yang akut dapat berakhir dengan kematian.
Dari sudut etiologik, asma merupakan penyakit heterogenosa. Klasifikasi asma dibuat
berdasarkan rangsangan utama yang membangkitkan atau rangsangan yang berkaitan dengan
episode akut. Berdasarkan stimuli yang menyebabkan asma, dua kategori timbal balik dapat
dipisahkan :
1. Asma ekstrinsik imunologik
Ditemukan kurang dari 10% dari semua kasus. Biasanya terlihat pada anak-anak, umumnya
tidak berat dan lebih mudah ditangani daripada bentuk intrinsik. Kebanyakan penderita
adalah atopik dan mempunyai riwayat keluarga yang jelas dari semua bentuk alergi dan
mungkin asma bronkial. Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh faktor-faktor
pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, dan spora jamur. Asma
ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik terhadap alergi.
2. Asma intrinsik imunologik
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak
spesifik atau tidak diketahui, seperti aspirin dan obat-obat sejenisnya, latihan jasmani, emosi,
cuaca/ udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran pernafasan dan
emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu
dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema. Beberapa pasien akan
mengalami asma gabungan. Dapat terjadi pada segala usia dan ada kecenderungan untuk
lebih sering kambuh dan berat. Lebih sering berkembang ke status asmatikus.
Banyak penderita mempunyai kedua bentuk asma diatas. Penting untuk ditekankan bahwa
perbedaan ini sering hanya merupakan perkiraan saja dan jawaban terhadap subklasifikasi yang
diberikan biasanya dapat dibangkitkan oleh lebih dari satu jenis rangsangan. Dengan mengingat
hal ini, dapat diperoleh dua kelompok besar, yaitu alergi dan idiosinkrasi.
Asma alergik seringkali disertai dengan riwayat pribadi dan atau keluarga mengenai
penyakit alergi, seperti rinitis, urtikaria dan ekzema. Reaksi kulit wheal and flare yang positif
terhadap penyuntikan intradermal ekstrak antigen yang terbawa udara, peningkatan kadar IgE
dalam serum dan respons positif terhadap tes provokasi yang meliputi inhalasi antigen spesifik
Idiosinkrasi disebut sebagai bagian dari populasi pasien asma yang akan memperlihatkan
riwayat alergi pribadi atau keluarga negative, uji kulit negatif, dan kadar IgE serum normal. Oleh
sebab itu tidak dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme imunologik yang sudah jelas.
Banyak pasien kelompok ini akan menderita kompleks gejala yang khusus berdasarkan
gangguan saluran napas bagian atas. Gejala awal mungkin hanya berupa gejala flu biasa, tetapi
setelah beberapa hari pasien mulai mengalami mengi paroksismal dan dispnea yang dapat
berlangsung selama berhari-hari samapai berbulan-bulan.
Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok faktor genetik dan faktor
lingkungan.
1. Faktor genetik
Hipereaktivitas
Atopi/alergi bronkus
Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
Jenis kelamin
Ras/etnik
2. Faktor lingkungan
Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur dll)
Alergen diluar ruangan (alternaria, tepung sari)
Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut,
susu sapi, telur)
Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, β bloker dll)
Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray, dan lain-lain)
Ekpresi emosi berlebih
Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan
aktifitas tertentu
Perubahan cuaca
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan sesak napas.
Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan pada asma alergik
mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi
pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih
kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa
disertai mengi, dikenal dengan istilah cough variant ashtma. Bila hal yang terkahir ini dicurigai,
perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau uji provokasi
bronkus dengan metakolin.
Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala asma tidak
jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala terhadap faktor pencetus non-
alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas ataupun perubahan
cuaca.
Pada pasien didapatkan keluhan sesak napas, Batuk Berdahak sejak 2 hari, muntah (+) 2 kali
muntah lendir.
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa batuk, sesak
napas, mengi, rasa berat di dada dan variabilitas yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang
baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran
faal paru terutama reversibiltas kelainan faal paru akan lebih meningkatkan nilai diagnostic
Riwayat penyakit atau gejala :
1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
2. Gejala berupa batuk berdahak, sesak napas, rasa berat di dada.
3. Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari.
4. Diawali oleh factor pencetus yang bersifat individu.
5. Responsif terhadap pemberian bronkodilator.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit
1. Riwayat keluarga (atopi).
2. Riwayat alergi/atopi.
3. Penyakit lain yang memberatkan.
4. Perkembangan penyakit dan pengobatan.
Pemeriksaan fisik
o Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pada asma ringan dan sedang tidak
ditemukan kelainan fisik di luar serangan.
o Pada inspeksi terlihat pernapasan cepat dan sukar, disertai batuk-batuk paroksismal,
kadang-kadang terdengar suara mengi, ekspirasi memanjang, terlihat retraksi daerah
supraklavikular, suprasternal, epigastrium dan sela iga. Pada asma kronik bentuk toraks
emfisematous, bongkok ke depan, sela iga melebar, diameter anteroposterior toraks
bertambah.
o Pada perkusi terdengar hipersonor seluruh toraks, terutama bagian bawah posterior.
Daerah pekak jantung dan hati mengecil.
o Pada auskultasi bunyi napas kasar/mengeras, pada stadium lanjut suara napas melemah
atau hampir tidak terdengar karena aliran udara sangat lemah. Terdengar juga ronkhi
kering dan ronkhi basah serta suara lender bila sekresi bronkus banyak.
o Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Mengi dapat
tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat disertai gejala sianosis,
gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan obat bantu napas.
o Tinggi dan berat badan perlu diperhatikan dan bila mungkin bila hubungannya dengan
tinggi badan kedua orang tua. Asma sendiri merupakan penyakit yang dapat menghambat
perkembangan anak. Gangguan pertumbuhan biasanya terdapat pada asma yang sangat
berat. Anak perlu diukur tinggi dan berat badannya pada tiap kali kunjungan, karena
akibat pengobatan sering dapat dinilai dari perbaikan pertumbuhannya.
Pada pasien didapatkan respirarasi rate cepat, terdapat napas cuing hidung, dan pada
auskultasi terdapat wheezing +/+.
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempetahankan kualitas
hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas
sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma adalah
gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas yang menimbulkan
hiperresponsif dan obstruksi jalan napas yang bersifat episodik. Sehingga penatalaksanaan asma
dilakukan melalui berbagai pendekatan yang dapat dilaksanakan, mempunyai manfaat, aman dan
terjangkau.
Tatalaksana Pasien Asma
Tatalaksana pasien asma adalah manajemen kasus untuk meningkatkan dan mempertahankan
kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas
sehari-hari (asma terkontrol).
Tujuan :
Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma;
Mencegah eksaserbasi akut;
Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin;
Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise;
Menghindari efek samping obat;
Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel;
Mencegah kematian karena asma.
Khusus anak, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai potensi genetiknya.
Dalam penatalaksanaan asma perlu adanya hubungan yang baik antara dokter dan pasien
sebagai dasar yang kuat dan efektif, hal ini dapat tercipta apabila adanya komunikasi yang
terbuka dan selalu bersedia mendengarkan keluhan atau pernyataan pasien, ini merupakan kunci
keberhasilan pengobatan.
Ada 5 (lima) komponen yang dapat diterapkan dalam penatalaksanaan asma, yaitu:
− KIE dan hubungan dokter-pasien
− Identifikasi dan menurunkan pajanan terhadap faktor risiko;
− Penilaian, pengobatan dan monitor asma;
− Penatalaksanaan asma eksaserbasi akut, dan
− Keadaan khusus seperti ibu hamil, hipertensi, diabetes melitus, dll
Pada prinsipnya penatalaksanaan asma
Penatalaksanaan asma akut (saat serangan)
Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui oleh pasien.
Penatalaksanaan asma sebaiknya dilakukan oleh pasien di rumah dan apabila tidak ada
perbaikan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan. Penanganan harus cepat dan disesuaikan
dengan derajat serangan. Penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat serangan termasuk
gejala, pemeriksaan fisik dan sebaiknya pemeriksaan faal paru, untuk selanjutnya diberikan
pengobatan yang tepat dan cepat.
Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah :
• bronkodilator (β2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromida)
• kortikosteroid sistemik
Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya β2 agonis kerja cepat yang sebaiknya
diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan secara sistemik. Pada
dewasa dapat diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral. Pada keadaan tertentu (seperti
ada riwayat serangan berat sebelumnya) kortikosteroid oral (metilprednisolon) dapat diberikan
dalam waktu singkat 3- 5 hari. Pada serangan sedang diberikan β2 agonis kerja cepat dan
kortikosteroid oral. Pada dewasa dapat ditambahkan ipratropium bromida inhalasi, aminofilin IV
(bolus atau 14 drip). Pada anak belum diberikan ipratropium bromida inhalasi maupun
aminofilin IV. Bila diperlukan dapat diberikan oksigen dan pemberian cairan IV Pada serangan
berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan IV, β2 agonis kerja cepat ipratropium
bromida inhalasi, kortikosteroid IV, dan aminofilin IV (bolus atau drip). Apabila β2 agonis kerja
cepat tidak tersedia dapat digantikan dengan adrenalin subkutan. Pada serangan asma yang
mengancam jiwa langsung dirujuk ke ICU. Pemberian obat-obat bronkodilator diutamakan
dalam bentuk inhalasi menggunakan nebuliser. Bila tidak ada dapat menggunakan IDT (MDI)
dengan alat bantu (spacer).
Serangan asma dan penanggulangannya
o Serangan asma yang ringan biasanya cukup diobati dengan obat bronkodilator oral atau
aerosol, bahkan ada yang demikian ringannya hingga tidak memerlukan pengobatan.
o Serangan asma yang sedang dan akut perlu pengobatan dengan obat yang kerjanya cepat,
misalnya bronkodilator aerosol atau bronkodilator subkutan seperti adrenalin.
o Pada serangan ringan akut tidak diperlukan kortikosteroid tetapi pada serangan ringan
kronik atau serangan sedang mungkin diperlukan tambahan kortikosteroid dan
bronkodilator. Pada serangan sedang oksigen sudah perlu diberikan 1–2 liter/menit.
o Pada serangan asma yang berat bila gagal dengan bronkdilator aerosol atau subkutan dan
kortikosteroid perlu teofilin intravena, oksigen dan koreksi keseimbangan cairan, asam-
basa dan elektrolit. Bila upaya-upaya tersebut gagal atau diduga akan gagal, keadaan jiwa
anak mungkin terancam, berarti anak tersebut sudah masuk dalam keadaan status
asmatikus.
BAB IV
KESIMPULAN
Demikian telah dilaporkan suatu kasus kolelitiasis dari seorang pasien laki-laki An. J usia
3 tahun dengan keluhan utamasesak napas.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, dan pemeriksaan fisik. Selama perawatan,
An. J diberikan terapi Nebulizer Combivent 1/3 respul + NaCl 0,9%, merupakan obat
berisi albuterol dan ipratorium bromida sebagai terapi pada penyakit saluran napas
obstruksi atau sumbatan, seperti PPOK atau asma. Combivent bekerja dengan cara
melebarkan saluran napas Bronkus dengan demikian keluhan sesak napas berangsur
menghilang, kontraindikasi kardiomiopati obstruktif hipertrofi, takiaritmia, hipersensitif
terhadap atropin. Ceterizin Syr 1 X ½ Cth antihistamin selektif, antagonis reseptor H1
perifer yang mempunyai efek sedatif yang rendah pada dosis aktif dan mempunyai sifat
tambahan sebagai anti alergi. Ceterizin bekerja menghambat pelepasan histamin pada
fase awal dan mengurangi migrasi sel inflamasi. Indikasi penyakit alergi, rhinitis alergi,
dan urtikaria idiopatik kronis. Kontra indikasinya penderita yang hipersensitif terhadap
ceterizine, karena kurangnya data klinis, ceterizine jangan digunakan selama semester
pertama kehamilan atau saat menyusui, ceterizine jangan digunakan untuk bayi dan anak-
anak dibawah usia 2 tahun. Meptin Syr 2 X ½ Cth, Ctm 1 mg, Salbutamol 0,5 mg, Gg 1/3
tab, Dexa 0,15 mg, Mf. Pulv DTD X S3 dd 1 Tabdiberikan dengan tujuan
Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma. Observasi keadaan umum dan vital sign.
DAFTAR PUSTAKA
1. Sudoyo AW., Setiyohadi B., Awi I., K=Simadibrata KM., Setiati S. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid III. Edisi V. Jakarta: Interna Publishing. 2010.
2. Rengganis, I. Diagnosis Dan Tatalaksana Asma Bronkhiale . Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FK UI: Jakarta, Volume: 58; No.11; Nopember 2008.
3. Depkes RI. Laporan nasional riset kesehatan dasar (Riskesdas). Jakarta : Departemen
Kesehatan RI ; 2013.