laporan kasus anak ( asma bronkhial) (1)
DESCRIPTION
asma brochialTRANSCRIPT
BAB I
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. NWA
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 7 Tahun
Alamat : Susukan Giritirto Purwosari
Anak Ke : 1 dari 2 Bersaudara
Ruang perawatan : Anggreak
ANAMNESIS
Anamnesis didapatkan dari auto dan alloanamnesis. Alloanamnesis dilakukan terhadap ibu pasien pada tanggal 2 Maret 2014 pukul 20.00.
Keluhan Utama
Sesak napas sejak 2 hari sebelum masuk Rumah Sakit (SMRS)
Keluhan Tambahan
Batuk berdahak
Riwayat Penyakit Sekarang :
Seorang anak perempuan dibawa orangtuanya ke RS dengan keluhan sesak napas sejak
2hari SMRS. Sesak disertai dengan suara mengi dan diperberat dengan aktifitas fisik seperti
habis berlari. Ibu OS mengakui bahwa sesak dialami sering pada malam dan pagi hari.
Keluhan sesak ini baru dialami anak dan sesak tidak disertai dengan bibir dan tangan
berwarna biru.
Selain itu ibu mengeluhkan anaknya batuk, berdahak berwarna putih kental, tidak
bercampur darah, dan sulit untuk dikeluarkan, sehingga saat tidur anak tidak terlihat nyenyak.
Batuk ini muncul tiba-tiba , setelah aktivitas/berlari, batuk dirasakan lebih sering pada malam
hari, hingga menyebabkan nyeri seperti kram.ibu pasien mengaku setiap udara dingin
terutama pada pagi hari sering bersin dan pilek. Keluhana demam, mual dan muntah
disangkal oleh ibu pasien, BAK dan BAB tidak ada keluhan.
Riwayat Penyakit Dahulu (RPD)
TB paru (-)
Asma (-)
Dermatitis atopik (-)
Rhinitis (+-)
Konjungtivitis (-)
Riwayat Pengobatan
Belum pernah dirawat inap di RS sebelumnya
Belum pernah pengobatan jangka panjang
Riwayat Penyakit Keluarga
Ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa pada kakek pasien
Riwayat Kehamilan
Pemeliharaan Prenatal
• Periksa di : Praktek bidan
• Penyakit kehamilan : -
• Obat-obatan yang sering diminum : Vitamin
Riwayat Kelahiran
Lahir di : Rumah sakit bersalin
Di tolong oleh : Bidan
Berapa bulan dalam kandungan : 9 bulan
Jenis partus : Spontan
Pemeliharaan postnatal
• Periksa di : Bidan
• Keluarga berencana : Ya
Riwayat Alergi
2
Alergi obat (-), alergi cuaca (-), alergi seafood (-), alergi coklat, kacang, susu sapi (-),
alegi debu (+), alergi bulu (-)
Riwayat Psikososial
Ayah perokok (+)
Rumah jendela (-)
Kamar banyak boneka (-)
Pertumbuhan dan Perkembangan Anak
Berat badan lahir : 2800 gram
Panjang badan lahir : Ibu lupa
Miring : Ibu lupa
Tengkurap : Ibu lupa
Tersenyum : Ibu lupa
Duduk : Ibu lupa
Gigi keluar : Ibu lupa
Merangkak : Ibu lupa
Berdiri : 1 tahun
Berjalan : 1 tahun
Berbicara dua suku kata : 1,5 tahun
Masuk TK : 5,5 tahun
Masuk SD : 6,5 tahun
Riwayat Makan Minum Anak
ASI : 0 hari
Dihentikan ASI : 1,5 tahun
Susu sapi/buatan : Iya
Jenis susu buatan : -
Tim saring : 6 bulan
Makanan padat dan lauknya : Ibu lupa
Riwayat Imunisasi
Imunisasi Usia Saat Imunisasi
3
I II III IV
BCG 1 bulan //////// /////// ///////
Polio 1 bulan 2 bulan 3 bulan 4 bulan
Campak 9 bulan ///////// //////// ///////
DPT 2 bulan 3 bulan 4 bulan ///////
Hepatitis B 2 bulan 3 bulan 4 bulan ///////
Kesan : Pasien imunisasi lengkap
PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan pada tanggal : 2 maret 2014 (pukul 20.00 wib)
Keadaan Umum
Kesan sakit : Sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Status Gizi : Gizi kurang
Tanda Vital
Nadi : 104 x/menit (reguler, isi cukup, kuat angkat)
Frekuensi Napas : 56 x/menit
Suhu aksiler : 36,4 ⁰C
Antropometri
Berat badan : 16 kg
Panjang Badan : 130 cm
Rumus Behrman
BB ideal : (Umur dalam tahun x 7) - 5 : 2 = 29
Status gizi : BB sekarang/BB ideal x 100% = 14/29 x 100% = 48,2%
Status Generalis
KEPALA
Bentuk : Normocephal
Rambut : Hitam dan tidak rontok
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), skelra ikterik (-/-)
Hidung : Konka hiperemis (-/-), keluar sekret (-/-), nafas cuping hidung (+/+)
Telinga : Keluar sekret (-/-)
Mulut : Pharynk hiperemis (-), bibir anemis (-/-), bibir sianosis (+/+)
Leher
4
Kelenjar tiroid : Pembesaran (-)
Kelenjar getah bening : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
THORAX
Pulmo
Inspeksi : Dinding dada simetris, retraksi sela iga (+)
Palpasi : Vocal fremitus kiri dan kanan sama
Perkusi : Sonor dikedua lapang paru, batas paru-hepar ICS 5
Auskultasi : Bunyi napas, wheezing (+/+) , ronkhi (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di linea midsternal sinistra intercostal 5
midclavicularis sinistra
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Aukultasi : Bunyi jantung 1&2 murni, tunggal, reguler, murmur (-), gallop (-)
ABDOMEN
Inspeksi : Dinding perut simetris, distensi (-), massa (-), bekas operasi (-),
Auskultasi : Bising usus (+), 8 x/menit
Palpasi :
Epigastrium : Nyeri tekan (-)
Hati : Tidak teraba pembesaran
Limpa : Tidak teraba pembesaran
Ginjal : Balotement (-), nyeri ketok (-)
Perkusi : Timpani pada keempat kuadran abdomen
Extremitas
Superior : Akral hangat, RCT<2 detik, edema (-), sianosis (-), kekuatan motorik : 5 /
5, sensibilitas : normal, refleks fisiologis : normal, refleks patologis : negatif
Inferior : Akral hangat, RCT<2 detik, edema (-), sianosis (-), kekuatan motorik : 5 / 5,
sensibilitas : normal, refleks fisiologis : normal, refleks patologis : negatif
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Hasil Laboratorium Darah
5
Pemeriksaan Hasil Rujukan Satuan
Hemoglobin 12,8 10.0-15.5 g/dl
Leukosit 12.75 4.00-10.00 10^3/uL
Eritrosit 4.71 4.00-5.00 10^6/uL
Trombosit 358 150-46.0 10^3/uL
Hematokrit 37.3 36.0-46.0 Vol%
HITUNG JENIS
Eosinofil 0 2-4 %
Basofil 0 0-1 %
Batang 1 2-5 %
Segmen 90 51-67 %
Limfosit 7 20-35 %
Monosit 2 4-8 %
Hasil Rontgen Toraks:
Kesan : Cor dan pulmo dalam batas normal
DIAGNOSIS KERJA
1. Asma Bronkial
2. Rhinofarimgitis akut
TERAPI
IVFD D5 5 tpm
Nebulizer ventolin1 amp / 8 jam
Drip D 5% + aminophyllin 192 mg/24jam- 8cc
Injeksi Ampicilin 3x500 mg (IV)
Injeksi metilprednisolon 3x16 mg (IV)
PROGNOSIS : Bonam
LEMBAR FOLLOW-UP
Tanggal Perjalanan Penyakit Pengobatan
6
2-3-2014
BB: 16 kg
S
O
Sesak (+), demam (-), batuk ngikil (+). Pilek (-), mual (-), muntah(-), nafsu makan baik, BAK dan BAB tidak ada keluhan
CM, T:36.4°C, Nadi 100x/menit, RR56x/menit.Mata : CA (-/-),SI(-/-),Mulut : Sianosis (-/-), lidah kotor (-/-)Hidung: Nafas cuping hidung (+/+), secret (-/-)Leher: Pembesaran limfonodi (-) Thorak: retraksi dada (+/+), Vesikuler(+), Ronki (-), wheezing (+/+), Abdomen: peristaltic (+), timpani (+) nyeri tekan epigastrik (-)Ekstermitas : akral hangat (+) nadi kuat(+) sianosis (+)
IVFD D5 5 tpm
Nebulizer ventolin1amp/8
jam
Drip aminophyllin 192mg
dalam D5%/24jam - 8cc
Inj. Ampicilin 3x500mg
inj. metilprednisolon 3x16mg
3-4-2014
BB: 16kg
S
O
Sesak (+), demam (-), batuk ngikil (+). Pilek (-), mual (-), muntah(-), nafsu makan baik, BAK dan BAB tidak ada keluhan
CM, T: 36.4°C, Nadi 100x/menit, RR 56x/menit,Mata : CA (-/-),SI(-/-),Mulut : Sianosis (-/-), lidah kotor (-/-)Hidung: Nafas cuping hidung (+/+), secret (-/-)Leher: Pembesaran limfonodi (-) Thorak: retraksi dada (+/+), Vesikuler(+), Ronki (-), wheezing (+/+), Abdomen: peristaltic (+), timpani (+) nyeri tekan epigastrik (-)Ekstermitas : akral hangat (+) nadi kuat(+) sianosis (+)
Terapi lanjut
4-4-2014
BB : 16
kg
S
O
Sesak (-), demam (-), batuk ngikil (+). Pilek (-), mual (-), muntah(-), nafsu makan baik, BAK dan BAB tidak ada keluhan
CM, T: 36.8°C, Nadi 104x/menit, RR 24x/menit,Mata : CA (-/-),SI(-/-),Mulut : Sianosis (-/-), lidah kotor (-/-)Hidung: Nafas cuping hidung (-/-), secret (-/-)Leher: Pembesaran limfonodi (-) Thorak: retraksi dada (-/-), Vesikuler(+), Ronki (-), wheezing (-/-), Abdomen: peristaltic (+), timpani (+) nyeri tekan epigastrik (-)Ekstermitas : akral hangat (+) nadi kuat(+) sianosis (+)
IVFD D5 5 tpm
Nebulizer ventolin1 amp / 8
jam
Drip aminophyllin 96mg
dalam D5% /24jam- 4cc
Inj. Ampicilin 3x500 mg
Inj. metilprednisolon 3x16mg
5-04-2014
BB : 16
S Sesak (-), demam (-), batuk ngikil (+) membaik. Pilek (-), mual (-), muntah(-), nafsu makan baik. Bak dan bab tidak ada keluhan.
Terapi lanjut
7
kgO CM, T: 36.6°C, Nadi 96x/menit, RR 28x/menit,
Mata : CA (-/-),SI(-/-),Mulut : Sianosis (-/-), lidah kotor (-/-)Hidung: Nafas cuping hidung (+/+), secret (-/-)Leher: Pembesaran limfonodi (-) Thorak: retraksi dada (+/+), Vesikuler(+), Ronki (-), wheezing (+/+), Abdomen: peristaltic (+), timpani (+) nyeri tekan epigastrik (-)Ekstermitas : akral hangat (+) nadi kuat(+) sianosis (+)
6-04-2014 S
O
Sesak (-), demam (-), batuk ngikil (-). Pilek (-), mual (-), muntah(-), nafsu makan baik, BAK dan BAB tidak ada keluhan.
CM, T: 36.7°C, Nadi 88x/menit, RR 24x/menit,Mata : CA (-/-),SI(-/-),Mulut : Sianosis (-/-), lidah kotor (-/-)Hidung: Nafas cuping hidung (+/+), secret (-/-)Leher: Pembesaran limfonodi (-) Thorak: retraksi dada (+/+), Vesikuler(+), Ronki (-), wheezing (+/+), Abdomen: peristaltic (+), timpani (+) nyeri tekan epigastrik (-)Ekstermitas : akral hangat (+) nadi kuat(+) sianosis (+)
Terapi lanjut
8
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DEFINISI
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan
elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsif jalan napas yang
menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat dan
batuk-batuk terutama pada malam hari atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan
obstruksi jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversibel dengan atau
tanpa pengobatan (Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia, 2004). Asma adalah
suatu kelainan berupa inflamasi (peradangan) kronik saluran napas yang menyebabkan
hipereaktivitas bronkus terhadap berbagai rangsangan yang ditandai dengan gejala episodik
berulang berupa mengi, batuk, sesak napas dan rasa berat di dada terutama pada malam dan
atau dini hari yang umumnya bersifat reversibel baik dengan atau tanpa pengobatan
(Keputusan menteri kesehatan republik indonesia nomor 1023/menkes/sk/xi/2008).
Asma adalah inflamasi kronis saluran nafas yg berhubungan dengan hiperreaktivitas
jalan nafas terhadap berbagai rangsangan menyebabkan episode mengi berulang, sesak nafas,
rasa dada tertekan, dan batuk, khususnya pada malam atau dini hari yg berhubungan dengan
penyempitan jalan napas yang luas yg sebagian bersifat reversible (Global Initiative for
Asthma (GINA), 2005).
Secara khas, sebagian besar serangan berlangsung singkat selama beberapa menit hingga
beberapa jam setelah itu, pasien tampak mengalami kesembuhan klinik yang total. Namun
demikian, ada suatu fase ketika pasien mengalami obstruksi jalan napas dengan derajat
tertentu setiap harinya. Fase ini dapat ringan dengan atau tanpa disertai episode yang berat
atau yang lebih serius lagi, dengan obstruksi hebat yang berlangsung selama berhari-hari atau
berminggu-minggu. Keadaan semacam ini dikenal sebagai status asmatikus. Pada beberapa
keadaan yang jarang ditemui, serangan asma yang akut dapat berakhir dengan kematian.
.
ETIOLOGI
Dari sudut etiologik, asma merupakan penyakit heterogenosa. Klasifikasi asma dibuat
berdasarkan rangsangan utama yang membangkitkan atau rangsangan yang berkaitan dengan
9
episode akut. Berdasarkan stimuli yang menyebabkan asma, dua kategori timbal balik dapat
dipisahkan :
1. Asma ekstrinsik imunologik
Ditemukan kurang dari 10% dari semua kasus. Biasanya terlihat pada anak-anak,
umumnya tidak berat dan lebih mudah ditangani daripada bentuk intrinsik. Kebanyakan
penderita adalah atopik dan mempunyai riwayat keluarga yang jelas dari semua bentuk
alergi dan mungkin asma bronkial. Ditandai dengan reaksi alergik yang disebabkan oleh
faktor-faktor pencetus yang spesifik, seperti debu, serbuk bunga, bulu binatang, dan spora
jamur. Asma ekstrinsik sering dihubungkan dengan adanya suatu predisposisi genetik
terhadap alergi.
2. Asma intrinsik imunologik
Ditandai dengan adanya reaksi non alergi yang bereaksi terhadap pencetus yang tidak
spesifik atau tidak diketahui, seperti aspirin dan obat-obat sejenisnya, latihan jasmani,
emosi, cuaca/ udara dingin atau bisa juga disebabkan oleh adanya infeksi saluran
pernafasan dan emosi. Serangan asma ini menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan
berlalunya waktu dan dapat berkembang menjadi bronkhitis kronik dan emfisema.
Beberapa pasien akan mengalami asma gabungan. Dapat terjadi pada segala usia dan ada
kecenderungan untuk lebih sering kambuh dan berat. Lebih sering berkembang ke status
asmatikus.
Banyak penderita mempunyai kedua bentuk asma diatas. Penting untuk ditekankan
bahwa perbedaan ini sering hanya merupakan perkiraan saja dan jawaban terhadap
subklasifikasi yang diberikan biasanya dapat dibangkitkan oleh lebih dari satu jenis
rangsangan. Dengan mengingat hal ini, dapat diperoleh dua kelompok besar, yaitu alergi dan
idiosinkrasi.
Asma alergik seringkali disertai dengan riwayat pribadi dan atau keluarga mengenai
penyakit alergi, seperti rinitis, urtikaria dan ekzema. Reaksi kulit wheal and flare yang positif
terhadap penyuntikan intradermal ekstrak antigen yang terbawa udara, peningkatan kadar IgE
dalam serum dan respons positif terhadap tes provokasi yang meliputi inhalasi antigen
spesifik
Idiosinkrasi disebut sebagai bagian dari populasi pasien asma yang akan memperlihatkan
riwayat alergi pribadi atau keluarga negative, uji kulit negatif, dan kadar IgE serum normal.
10
Oleh sebab itu tidak dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme imunologik yang sudah
jelas. Banyak pasien kelompok ini akan menderita kompleks gejala yang khusus berdasarkan
gangguan saluran napas bagian atas. Gejala awal mungkin hanya berupa gejala flu biasa,
tetapi setelah beberapa hari pasien mulai mengalami mengi paroksismal dan dispnea yang
dapat berlangsung selama berhari-hari samapai berbulan-bulan.
FAKTOR RISIKO
Secara umum faktor risiko asma dibedakan menjadi 2 kelompok faktor genetik dan
faktor lingkungan.
1. Faktor genetik
Hipereaktivitas
Atopi/alergi bronkus
Faktor yang memodifikasi penyakit genetik
Jenis kelamin
Ras/etnik
2. Faktor lingkungan
Alergen di dalam ruangan (tungau, debu rumah, kucing, alternaria/jamur dll)
Alergen diluar ruangan (alternaria, tepung sari)
Makanan (bahan penyedap, pengawet, pewarna makanan, kacang, makanan laut,
susu sapi, telur)
Obat-obatan tertentu (misalnya golongan aspirin, NSAID, β bloker dll)
Bahan yang mengiritasi (misalnya parfum, household spray, dan lain-lain)
Ekpresi emosi berlebih
Asap rokok dari perokok aktif dan pasif
Polusi udara di luar dan di dalam ruangan
Exercise induced asthma, mereka yang kambuh asmanya ketika melakukan
aktifitas tertentu
Perubahan cuaca
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu dan faktor
lingkungan. Interaksi faktor genetik atau pejamu dengan lingkungan dipikirkan melalui
kemungkinan :
11
Pajanan lingkungan hanya meningkatkan risiko asma pada individu dengan genetik
asma
Baik faktor lingkungan maupun faktor pejamu atau genetik masing-masing
meningkatkan risiko asma
Disini faktor pejamu termasuk predisposisi yang mempengaruhi untuk berkembangnya
asma, yaitu genetik asma, alergik (atopik), hiperreaktivitas bronkus, jenis kelamin dan ras.
Fenotip yang berkaitan dengan asma dikaitkan dengan ukuran subjektif (gejala) dan objektif
(hiperreaktivitas bronkus, kadar IgE serum) dan atau keduanya.
Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan kecenderungan atau predisposisi
asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya eksaserbasi dan atau
menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor lingkungan yaitu allergen,
sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi pernapasan (virus), diet, status
ekonomi dan besarnya keluarga. Alergen dan sensitisasi bahan lingkungan kerja
dipertimbangkan sebagai penyebab utama asma dengan pengertian faktor lingkungan tersebut
pada awalnya mensensitisasi jalan napas dan mempertahankan kondisi asma tetap aktif
dengan mencetuskan serangan asma atau menyebabkan menetapnya gejala.
EPIDEMIOLOGI
Penyakit asma merupakan kelainan yang sangat sering ditemukan dan diperkirakan 4–
5% populasi penduduk di Amerika Serikat terjangkit oleh penyakit ini. Asma bronkial terjadi
pada segala usia tetapi terutama dijumpai pada usia dini. Sekitar separuh kasus timbul
sebelum usia 10 tahun dan sepertiga kasus lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun. Pada usia
kanak-kanak terdapat predisposisi laki-laki : perempuan = 2 : 1 yang kemudian menjadi sama
pada usia 30 tahun.
Asma merupakan 10 besar penyebab kesakitan dan kematian di Indonesia, hal itu
tergambar dari data studi Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di berbagai propinsi di
Indonesia. SKRT 1986 menunjukkan asma menduduki urutan ke 5 dari 10 penyebab
kesakitan bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada SKRT 1992, asma,
bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke 4 di Indonesia atau sebesar
5,6%. Tahun 1995, prevalensi asma di Indonesia sekitar 13 per 1.000 penduduk,
12
dibandingkan bronkitis kronik 11 per 1.000 penduduk dan obstruksi paru 2 per 1.000
penduduk.
Woolcock dan Konthen pada tahun 1990 di Bali mendapatkan prevalensi asma pada anak
dengan hiperreaktivitas bronkus 2,4% dan hiperreaktivitas bronkus serta gangguan faal paru
adalah 0,7%. Studi pada anak usia SLTP di Semarang dengan menggunakan kuisioner
International Study of Asthma and Allergies in Childhood (ISAAC), didapatkan hasil dari
402 kuisioner yang kembali dengan rata-rata umur 13,8 ± 0,8 tahun didapatkan prevalensi
asma (gejala asma 12 bulan terakhir/recent asthma), 6,2% dari 64% diantaranya mempunyai
gejala klasik. Bagian anak FKUI-RSCM melakukan studi prevalensi asma pada anak usia
SLTP di Jakarta pusat pada 1995–1996 dengan mengunakan kuisioner modifikasi dari ATS,
ISAAC dan Robertson, serta melakukan uji provokasi bronkus secara acak. Seluruhnya 1.296
siswa dengan usia 11 tahun 5 bulan – 18 tahun 4 bulan, didapatkan 14,7% dengan riwayat
asma dan 5,8% dengan recent asthma. Tahun 2001, Yunus dkk melakukan studi prevalensi
asma pada siswa SLTP se Jakarta Timur, sebanyak 2.234 anak usia 13–14 tahun melalui
kuisioner ISAAC, pemeriksaan spirometri dan uji provokasi bronkus pada sebagian subjek
yang dipilih secara acak. Dari studi tersebut didapatkan prevalensi asma (recent asthma)
8,9% dan prevalensi kumulatif (riwayat asma) 11,5%.
Tahun 1993 UPF Paru RSUD dr. Sutomo Surabaya melakukan penelitian di lingkungan
37 puskesmas di Jawa Timur dengan menggunakan kuisioner modifikasi ATS, yaitu proyek
pneumobile Indonesia dan Respiratory Sympton questioner of Institute of Respiratory
Medicine, New South Wales dan pemeriksaan arus puncak ekspirasi (APE) menggunakan alat
peak flow meter dan uji bronkodilator. Seluruhnya 6662 responden usia 13 – 70 tahun (rata-
rata 35,6 tahun) mendapatkan prevalensi asma sebesar 7,7 % dengan rincian laki-laki 9,2 %
dan perempuan 6,6 %.
Di Indonesia prevalensi asma pada anak sekitar 10 % pada usia sekolah dasar, dan
sekitar 6,5 % pada usia sekolah menengah pertama.
KLASIFIKASI
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan etiologi, berat penyakit dan pola keterbatasan
aliran udara. Klasifikasi berdasarkan berat penyakit penting bagi pengobatan dan
perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat asma semakin tinggi tingkat
pengobatan.
13
Tabel 1. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gambaran klinis
Derajat
asma
Gejala Gejala
malam
Faal paru
Intermitten Bulanan
Gejala < 1x/minggu
Tanpa gejala diluar serangan
Serangan singkat
≤ 2x/bulan APE ≥ 80%
VEP1 ≥ 80% nilai
prediksi APE ≥ 80%
nilai terbaik
Variabilitas APE <
20%
Persisten
ringan
Mingguan
Gejala > 1x/minggu tetapi <
1x/hari
Serangan dpt mengganggu
aktivitas dan tidur
> 2x/bulan APE > 80%
VEP1 ≥ 80% nilai
prediksi APE ≥ 80%
nilai terbaik
Variabilitas APE 20-
30%
Persisten
sedang
Harian
Gejala setiap hari
Serangan mengganggu
aktivitas dan tidur
membutuhkan bronkodilator
setiap hari
>
1x/minggu
APE 60-80%
VEP1 60-80% nilai
prediksi APE 60-80%
nilai terbaik
Variabilitas APE >
30%
Persisten
berat
Kontinua
Gejala terus menerus
Sering kambuh
Aktivitas fisik terbatas
Sering APE ≤ 60%
VEp1 ≤ 60% nilai
prediksi ≤ 60% nilai
terbaik
Variabilitas APE >
30%
Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan, dan pengobatan yang telah
berlangsung seringkali tidak adekuat. Pengobatan akan mengubah gambaran klinis bahkan
faal paru, oleh karena itu penilaian berat asma pada penderita dalam pengobatan juga harus
mempertimbangkan pengobatan itu sendiri.
14
Tabel 2. klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatan dan Tahapan
pengobatan yang digunakan saat penilaian
Gejala dan faal paru dalam pengobatan Tahap I
intermiten
Tahap 2
persisten
sedang
Tahap 3
persisten
sedang
Tahap I : intermitten
Gejala < 1x/minggu
Serangan singkat
Gejala malam < 2x/bulan
Faal paru normal di luar serangan
Intermiten Persisten
ringan
Persisten
sedang
Tahap II : persisten ringan
Gejala > 1x/minggu, tetapi < 1x/hari,
gejala malam > 2x/bulan, tetapi <
1x/minggu
Faal paru normal diluar serangan
Persisten
ringan
Persisten
sedang
Persisten
berat
Tahap III : persisten sedang
Gejala setiap hari, serangan
mempengaruhi aktivitas dan tidur
Gejala malam > 1x/minggu
60% < VEP1 < 80% nilai prediksi
60% < APE < 80% nilai terbaik
Persisten
sedang
Persisten
berat
Persisten
berat
Tahap IV : persisten berat
Gejala terus menerus, serangan sering,
gejala malam sering
VEP1 ≤ 60% nilai prediksi atau
APE ≤ 60% nilai terbaik
Persisten
berat
Persisten
berat
Persisten
berat
PATOFISIOLOGI
Tanda patofisiologik asma adalah penurunan diameter jalan napas yang disebabkan oleh
kontraksi otot polos, kongesti pembuluh darah, edema dinding bronkus dan sekret kental
yang lengket. Hasil akhir adalah peningkatan resistensi jalan napas, penurunan ekspirasi
paksa (forced expiratory volume) dan kecepatan aliran udara, hiperinflasi paru dan toraks,
15
peningkatan kerja bernapas, perubahan fungsi otot-otot pernapasan, perubahan rekoil elastik
(elastic recoil), penyebaran abnormal aliran darah ventilasi dan pulmonal dengan rasio yang
tidak sesuai dan perubahan gas darah arteri. Pada dasarnya asma diperkirakan sebagai
penyakit saluran napas, sesungguhnya semua aspek fungsi paru mengalami kerusakan selama
serangan akut. Pada pasien yang sangat simtomatik seringkali ditemukan hipertrofi ventrikel
kanan dan hipertensi paru pada elektrokardiografi. Seorang pasien yang dirawat, kapasitas
vital paksa (forced vital capasity) cenderung kurang dari atau sama dengan 50% dari nilai
normal. Volume ekspirasi 1 detik rata-rata 30% atau kurang dari yang diperkirakan,
sementara rata-rata aliran mid ekspiratori maksimum dan minimum berkurang sampai 20%
atau kurang dari yang diharapkan. Untuk mengimbangi perubahan mekanik, udara yang
terperangkap (air trapping) ditemukan dalam jumlah besar.
PATOLOGI ANATOMI
Gambaran makroskopik yang penting dari asma yang lanjut adalah : (1) Mukus
penyumbat dalam bronki, (2) Inflamasi paru yang berlebihan, tetapi bukan emfisema yang
nyata, dan (3) Kadang-kadang terdapat daerah bronkiektasis terutama dalam kasus yang
berhubungan dengan aspergilosis. Jalan udara seringkali tersumbat oleh mukus, yang terdiri
dari sel yang mengalami deskuamasi. Musin sering mengandung komponen seroprotein yang
timbul dari reaksi peradangan hebat dalam submukosa. Dinding bronki tampak lebih tebal
dari biasa. Apabila eksudat supuratif terdapat dalam lumen, maka superinfeksi dan bronkitis
harus diwaspadai.
Secara mikroskopik terdapat hiperplasia dari kelenjar mucus, bertambah tebalnya otot
polos bronkus dan hipertofi serta hiperplasia dari sel goblet mukosa. Daerah-daerah yang
tidak mengandung epitel respirasi sering ditemukan, ditambah dengan edema subepitel.
Pertambahan jumlah limfosit peradangan yang agak banyak, terutama eosinofil terdapat pada
mukosa yang edema. Sumbatan di dalam jalan napas mengandung : (1) Gulungan sel epitel
yang lepas dan sekret protein yang membentuk spiral Curschmann, (2) Eosinofil yang padat
dengan kristal Charcot-Leyden, (3) kristal Charcot-Leyden bebas yang dilepaskan oleh
eosinofil, dan (4) Debris seluler. Superinfeksi bakteri dapat membentuk perubahan anatomi
kearah bronkitis.
PATOGENESIS
16
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Berbagai sel inflamasi berperan,
terutama sel mast, eosinofil, limfosit T, makrofag, neutrofil, sel epitel.
1. Inflamasi akut
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor antara lain virus,
iritan, alergen yang dapat menginduksi respons inflamasi akut.
Reaksi asma tipe cepat dan spasmogenik
Jika ada pencetus terjadi peningkatan tahanan saluran napas yang cepat dalam 10–
15 menit. Alergen akan terikat pada IgE yang menempel pada sel mast dan terjadi
degranulasi sel mast tersebut. Degranulasi tersebut mengeluarkan performed mediator
seperti histamin protease dan newly generated mediator seperti leukotrien,
prostaglandin dan platelet activating factor yang menyebabkan kontraksi otot polos,
sekresi mukus dan vasodilatasi. Reaksi tersebut dapat hilang segera, baik secara
spontan maupun dengan bronkodilator seperti simpatomimetik. Perubahan ini dapat
dicegah dengan pemberian kromoglikat atau antagonis H1 dan H2 sebelumnya.
Keadaan ini tidak dipengaruhi oleh pemberian kortikosteroid beberapa saat
sebelumnya. Tetapi pemberian kortikosteroid untuk beberapa hari sebelumnya dapat
mencegah reaksi ini.
Reaksi fase lambat dan lama
Reaksi ini timbul antara 6–9 jam setelah provokasi alergen dan melibatkan
pengerahan serta aktivasi eosinofil, sel CD4+, netrofil dan makrofag. Patogenesis
reaksi yang tergantung pada IgE, biasanya berhubungan dengan pengumpulan netrofil
4–8 jam setelah rangsangan. Reaksi lamabat ini mungkin juga berhubungan dengan
reaktivasi sel mast. Leukotrien, prostaglandin dan tromboksan mungkin juga
mempunyai peranan pada reaksi lambat karena mediator ini menyebabkan kontraksi
otot polos bronkus yang lama dan edema submukosa. Reaksi lambat dapat dihambat
oleh pemberian kromiglikat, kortikosteroid, dan ketotifen sebelumnya.
2. Inflamasi kronik
Asma yang berlanjut yang tidak dobati atau kurang terkontrol berhubungan dengan
inflamasi di dalam dan disekitar bronkus. Berbagai sel terlibat dan teraktivasi, seperti
limfosit T, eosinofil, makrofag, sel mast, sel epitel, fibroblas dan otot polos bronkus. Pada
otopsi ditemukan infiltrasi bronkus oleh eosinofil dan sel mononuklear. Sering ditemukan
sumbatan bronkus oleh mukus yang lengket dan kental. Sumbatan bronkus oleh mukus
17
ini bahkan dapat terlihat sampai alveoli. Infiltrasi eosinofil dan sel-sel mononuklear
terjadi akibat factor kemotaktik dari sel mast seperti ECF-A dan LTB4. Mediator PAF
yang dihasilkan oleh sel mast, basofil dan makrofag yang dapat menyebabkan hipertrofi
otot polos dan kerusakan mukosa bronkus serta menyebabkan bronkokonstriksi yang
lebih kuat. Kortikosteroid biasanya memberikan hasil yang baik. Diduga, ketotifen dapat
juga mencegah fase ketiga ini.
Airway remodeling
Pada asma terdapat saling ketergantungan antara proses inflamasi dan remodeling.
Infiltrasi sel-sel inflamasi terlibat dalam proses remodeling, juga komponen lainnya
seperti matriks ekstraselular, membran retikular basal, matriks interstitial, fibrogenic
growth factor, protease dan inhibitornya, pembuluh darah, otot polos, kelenjar mukus.
Perubahan struktur yang terjadi :
1. Hipertrofi dan hiperplasia otot polos jalan napas.
2. Hipertrofi dan hiperplasia kelenjar mukus
3. Penebalan membran retikular basal
4. Pembuluh darah meningkat
5. Matriks ekstraselular fungsinya meningkat
6. Perubahan struktur parenkim
7. Peningkatan fibrogenic growth factor menjadikan fibrosis
Airway remodeling merupakan fenomena sekunder dari inflamasi atau merupakan
akibat inflamasi yang terus menerus. Konsekuensi klinis airway remodeling adalah
peningkatan gejala dan tanda asma seperti hiperreaktivitas jalan napas, masalah
distenbilitas/regangan jalan napas dan obstruksi jalan napas. Sehingga pemahaman
airway remodeling bermanfaat dalam manajemen asma terutama pencegahan dan
pengobatan dari proses tersebut.
GAMBARAN KLINIK
18
Gambaran klinis asma klasik adalah serangan episodik batuk, mengi, dan sesak napas.
Pada awal serangan sering gejala tidak jelas seperti rasa berat di dada, dan pada asma alergik
mungkin disertai pilek atau bersin. Meskipun pada mulanya batuk tanpa disertai sekret, tetapi
pada perkembangan selanjutnya pasien akan mengeluarkan sekret baik yang mukoid, putih
kadang-kadang purulen. Ada sebagian kecil pasien asma yang gejalanya hanya batuk tanpa
disertai mengi, dikenal dengan istilah cough variant ashtma. Bila hal yang terkahir ini
dicurigai, perlu dilakukan pemeriksaan spirometri sebelum dan sesudah bronkodilator atau uji
provokasi bronkus dengan metakolin.
Pada asma alergik, sering hubungan antara pemajanan alergen dengan gejala asma tidak
jelas. Terlebih lagi pasien asma alergik juga memberikan gejala terhadap faktor pencetus
non-alergik seperti asap rokok, asap yang merangsang, infeksi saluran napas ataupun
perubahan cuaca.
Lain halnya dengan asma akibat pekerjaan. Gejala biasanya memburuk pada awal
minggu dan membaik menjelang akhir minggu. Pada pasien yang gejalanya tetap memburuk
sepanjang minggu, gejalanya mungkin akan membaik bila pasien dijauhkan dari lingkungan
kerjanya, seperti sewaktu cuti misalnya. Pemantauan dengan alat peak flow meter atau uji
provokasi dengan bahan tersangka yang ada di lingkungan kerja mungkin diperlukan untuk
menegakkan diagnosis.
DIAGNOSIS
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa asma tidak terdiagnosis di seluruh dunia,
disebabkan berbagai hal antara lain gambaran klinis yang tidak khas dan beratnya penyakit
yang sangat bervariasi, serta gejala yang bersifat episodik sehingga penderita tidak merasa
perlu berobat ke dokter. Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala
berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabilitas yang berkaitan dengan
cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan
pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama reversibiltas kelainan faal paru akan
lebih meningkatkan nilai diagnostik.
Riwayat penyakit atau gejala :
19
1. Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan.
2. Gejala berupa batuk berdahak, sesak napas, rasa berat di dada.
3. Gejala timbul/memburuk terutama malam/dini hari.
4. Diawali oleh factor pencetus yang bersifat individu.
5. Responsif terhadap pemberian bronkodilator.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan dalam riwayat penyakit
1. Riwayat keluarga (atopi).
2. Riwayat alergi/atopi.
3. Penyakit lain yang memberatkan.
4. Perkembangan penyakit dan pengobatan.
Serangan batuk dan mengi yang berulang lebih nyata pada malam hari atau bila ada
beban fisik sangat karakteristik untuk asma. Walaupun demikian cukup banyak asma anak
dengan batuk kronik berulang, terutama terjadi pada malam hari ketika hendak tidur, disertai
sesak, tetapi tidak jelas mengi dan sering didiagnosis bronkitis kronik. Pada anak yang
demikian, yang sudah dapat dilakukan uji faal paru (provokasi bronkus) sebagian besar akan
terbukti adanya sifat-sifat asma.
Batuk malam yang menetap dan yang tidak tidak berhasil diobati dengan obat batuk
biasa dan kemudian cepat menghilang setelah mendapat bronkodilator, sangat mungkin
merupakan bentuk asma.
Pemeriksaan fisik
o Gejala asma bervariasi sepanjang hari sehingga pada asma ringan dan sedang tidak
ditemukan kelainan fisik di luar serangan.
o Pada inspeksi terlihat pernapasan cepat dan sukar, disertai batuk-batuk paroksismal,
kadang-kadang terdengar suara mengi, ekspirasi memanjang, terlihat retraksi daerah
supraklavikular, suprasternal, epigastrium dan sela iga. Pada asma kronik bentuk
toraks emfisematous, bongkok ke depan, sela iga melebar, diameter anteroposterior
toraks bertambah.
o Pada perkusi terdengar hipersonor seluruh toraks, terutama bagian bawah posterior.
Daerah pekak jantung dan hati mengecil.
o Pada auskultasi bunyi napas kasar/mengeras, pada stadium lanjut suara napas
melemah atau hampir tidak terdengar karena aliran udara sangat lemah. Terdengar
juga ronkhi kering dan ronkhi basah serta suara lender bila sekresi bronkus banyak.
20
o Pada serangan ringan, mengi hanya terdengar pada waktu ekspirasi paksa. Mengi
dapat tidak terdengar (silent chest) pada serangan yang sangat berat disertai gejala
sianosis, gelisah, sukar bicara, takikardi, hiperinflasi dan penggunaan obat bantu
napas.
o Tinggi dan berat badan perlu diperhatikan dan bila mungkin bila hubungannya dengan
tinggi badan kedua orang tua. Asma sendiri merupakan penyakit yang dapat
menghambat perkembangan anak. Gangguan pertumbuhan biasanya terdapat pada
asma yang sangat berat. Anak perlu diukur tinggi dan berat badannya pada tiap kali
kunjungan, karena akibat pengobatan sering dapat dinilai dari perbaikan
pertumbuhannya.
Uji faal paru
Berguna untuk menilai asma meliputi diagnosis dan penatalaksanaannya. Pengukuran
faal paru digunakan untuk menilai :
1. Derajat obstruksi bronkus
2. Menilai hasil provokasi bronkus
3. Menilai hasil pengobatan dan mengikuti perjalanan penyakit.
Pemeriksaan faal paru yang penting pada asma adalah PEFR, FEV1, PVC,
FEV1/FVC. Sebaiknya tiap anak dengan asma di uji faal parunya pada tiap kunjungan.
“peak flow meter” adalah yang paling sederhana, sedangkan dengan spirometer
memberikan data yang lebih lengkap. Volume kapasitas paksa (FVC), aliran puncak
ekspirasi (PEFR) dan rasio FEV1/FVC berkurang > 15% dari nilai normalnya.
Perpanjangan waktu ekspirasi paksa biasanya ditemukan, walaupun PEFR dan
FEV1/FVC hanya berkurang sedikit. Inflasi yang berlebihan biasanya terlihat secara
klinis, akan digambarkan dengan meningginya isi total paru (TLC), isi kapasitas residu
fungsional dan isi residu. Di luar serangan faal paru tersebut umumnya akan normal
kecuali pada asma yang berat. Uji provokasi bronkus dilakukan bila diagnosis masih
diragukan. Tujuannya untuk menunjukkan adanya hiperreaktivitas bronkus. Uji Provokasi
bronkus dapat dilakukan dengan :
1. Histamin
2. Metakolin
3. Beban lari
4. Udara dingin
21
5. Uap air
6. Alergen
Yang sering dilakukan adalah cara nomor 1, 2 dan 3. Hiperreaktivitas positif bila
PEFR, FEV1 turun > 15% dari nilai sebelum uji provokasi dan setelah diberi
bronkodilator nilai normal akan tercapai lagi. Bila PEFR dan FEV1 sudah rendah dan
setelah diberi bronkodilator naik > 15% yang berarti hiperreaktivitas bronkus positif dan
uji provokasi tidak perlu dilakukan.
Foto rontgen toraks
Tampak corakan paru yang meningkat. Atelektasis juga sering ditemukan.
Hiperinflasi terdapat pada serangan akut dan pada asma kronik. Rontgen foto sinus
paranasalis perlu juga bila asmanya sulit dikontrol.
Pemeriksaan darah eosinofil dan uji tuberkulin
Pemeriksaan eosinofil dalam darah, sekret hidung dan dahak dapat menunjang
diagnosis asma. Dalam sputum dapat ditemukan kristal Charcot-Leyden dan spiral
Curshman. Bila ada infeksi mungkin akan didapatkan leukositosis polimormonuklear.
Uji kulit alergi dan imunologi
1. Komponen alergi pada asma dapat diidentifikasi melalui pemeriksaan uji kulit atau
pengukuran IgE spesifik serum.
2. Uji kulit adalah cara utama untuk mendignosis status alergi/atopi, umumnya
dilakukan dengan prick test. Alergen yang digunakan adalah alergen yang banyak
didapat di daerahnya. Walaupun uji kulit merupakan cara yang tepat untuk diagnosis
atopi, dapat juga mendapatkan hasil positif palsu maupun negative palsu. Sehingga
konfirmasi terhadap pajanan alergen yang relevan dan hubungannya dengan gejala
klinik harus selalu dilakukan. Untuk menentukan hal itu, sebenarnya ada pemeriksaan
yang lebih tepat, yaitu uji provokasi bronkus dengan alergen yang bersangkutan.
Reaksi uji kulit alergi dapat ditekan dengan pemberian antihistamin
3. Pemeriksaan IgE spesifik dapat memperkuat diagnosis dan menentukan
penatalaksaannya. Pengukuran IgE spesifik dilakukan pada keadaan uji kulit tidak
dapat dilakukan (antara lain dermatophagoism, dermatitis/kelainan kulit pada lengan
tempat uji kulit dan lain-lain). Pemeriksaan kadar IgE total tidak mempunyai nilai
dalam diagnosis alergi/atopi.
22
DIAGNOSIS BANDING
Penyakit paru kronik yang berhubungan dengan bronkiektasis dan fibrosis kistik.
Kelainan trakea dan bronkus misalnya laringotrakeomalasia dan stenosis bronkus.
Tuberkulosis paru ditandai dengan batuk berdahak selama kurang lebih 2 minggu disertai
dengan keringat malam, demam dan penurunan BB.
Bronkitis kronik. Bronkitis kronik ditandai dengan batuk kronik yang mengeluarkan
sputum 3 bulan dalam setahun untuk sedikitnya 2 tahun. Penyebab batuk kronik seperti
tuberkulosis, bronkitis atau keganasan harus disingkarkan dahulu. Gejala utama batuk
disertai sputum biasanya didapatkan pada pasien berumur > 35 tahun dan perokok berat.
Gejalanya dimulai dengan batuk pagi hari, lama-kelamaan disertai mengi dan
menurunnya kemampuan kegiatan jasmani.pada stadium lanjut dapat ditemukan sianosis
dan tanda-tanda kor pulmonal. Tidak ditemukan eosinofilia, suhu biasanya tinggi dan
tidak herediter.
Asma kardial. Dispnea paroksismal terutama malam hari dan biasanya didapatkan tanda-
tanda kelainan jantung.
PENATALAKSANAAN
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan mempetahankan kualitas
hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam melakukan aktivitas
sehari-hari. Tujuan penatalaksanaan tersebut merefleksikan pemahaman bahwa asma adalah
gangguan kronik progresif dalam hal inflamasi kronik jalan napas yang menimbulkan
hiperresponsif dan obstruksi jalan napas yang bersifat episodik. Sehingga penatalaksanaan
asma dilakukan melalui berbagai pendekatan yang dapat dilaksanakan, mempunyai manfaat,
aman dan terjangkau.
Tatalaksana pasien asma adalah manajemen kasus untuk meningkatkan dan
mempertahankan kualitas hidup agar pasien asma dapat hidup normal tanpa hambatan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari (asma terkontrol).
Tujuan :
Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma;
Mencegah eksaserbasi akut;
23
Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin;
Mengupayakan aktivitas normal termasuk exercise;
Menghindari efek samping obat;
Mencegah terjadinya keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel;
Mencegah kematian karena asma.
Khusus anak, untuk mempertahankan tumbuh kembang anak sesuai potensi
genetiknya.
Dalam penatalaksanaan asma perlu adanya hubungan yang baik antara dokter dan pasien
sebagai dasar yang kuat dan efektif, hal ini dapat tercipta apabila adanya komunikasi yang
terbuka dan selalu bersedia mendengarkan keluhan atau pernyataan pasien, ini merupakan
kunci keberhasilan pengobatan.
Ada 5 (lima) komponen yang dapat diterapkan dalam penatalaksanaan asma, yaitu:
KIE dan hubungan dokter-pasien
Identifikasi dan menurunkan pajanan terhadap faktor risiko;
Penilaian, pengobatan dan monitor asma;
Penatalaksanaan asma eksaserbasi akut, dan
Keadaan khusus seperti ibu hamil, hipertensi, diabetes melitus, dll
Pada prinsipnya penatalaksanaan asma klasifikasikan menjadi: 1) Penatalaksanaan asma
akut/saat serangan, dan 2) Penatalaksanaan asma jangka panjang.
1. Penatalaksanaan asma akut (saat serangan)
Serangan akut adalah episodik perburukan pada asma yang harus diketahui oleh pasien.
Penatalaksanaan asma sebaiknya dilakukan oleh pasien di rumah dan apabila tidak ada
perbaikan segera ke fasilitas pelayanan kesehatan. Penanganan harus cepat dan disesuaikan
dengan derajat serangan. Penilaian beratnya serangan berdasarkan riwayat serangan
termasuk gejala, pemeriksaan fisik dan sebaiknya pemeriksaan faal paru, untuk selanjutnya
diberikan pengobatan yang tepat dan cepat.
Pada serangan asma obat-obat yang digunakan adalah :
Bronkodilator (β2 agonis kerja cepat dan ipratropium bromida)
24
Kortikosteroid sistemik
Pada serangan ringan obat yang digunakan hanya β2 agonis kerja cepat yang sebaiknya
diberikan dalam bentuk inhalasi. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan secara sistemik.
Pada dewasa dapat diberikan kombinasi dengan teofilin/aminofilin oral. Pada keadaan
tertentu (seperti ada riwayat serangan berat sebelumnya) kortikosteroid oral
(metilprednisolon) dapat diberikan dalam waktu singkat 3- 5 hari. Pada serangan sedang
diberikan β2 agonis kerja cepat dan kortikosteroid oral. Pada dewasa dapat ditambahkan
ipratropium bromida inhalasi, aminofilin IV (bolus atau 14 drip). Pada anak belum diberikan
ipratropium bromida inhalasi maupun aminofilin IV. Bila diperlukan dapat diberikan oksigen
dan pemberian cairan IV Pada serangan berat pasien dirawat dan diberikan oksigen, cairan
IV, β2 agonis kerja cepat ipratropium bromida inhalasi, kortikosteroid IV, dan aminofilin IV
(bolus atau drip). Apabila β2 agonis kerja cepat tidak tersedia dapat digantikan dengan
adrenalin subkutan. Pada serangan asma yang mengancam jiwa langsung dirujuk ke ICU.
Pemberian obat-obat bronkodilator diutamakan dalam bentuk inhalasi menggunakan
nebuliser. Bila tidak ada dapat menggunakan IDT (MDI) dengan alat bantu (spacer).
25
26
Serangan asma dan penanggulangannya
o Serangan asma yang ringan biasanya cukup diobati dengan obat bronkodilator oral
atau aerosol, bahkan ada yang demikian ringannya hingga tidak memerlukan
pengobatan.
o Serangan asma yang sedang dan akut perlu pengobatan dengan obat yang kerjanya
cepat, misalnya bronkodilator aerosol atau bronkodilator subkutan seperti adrenalin.
o Pada serangan ringan akut tidak diperlukan kortikosteroid tetapi pada serangan ringan
kronik atau serangan sedang mungkin diperlukan tambahan kortikosteroid dan
bronkodilator. Pada serangan sedang oksigen sudah perlu diberikan 1–2 liter/menit.
27
o Pada serangan asma yang berat bila gagal dengan bronkdilator aerosol atau subkutan
dan kortikosteroid perlu teofilin intravena, oksigen dan koreksi keseimbangan cairan,
asam-basa dan elektrolit. Bila upaya-upaya tersebut gagal atau diduga akan gagal,
keadaan jiwa anak mungkin terancam, berarti anak tersebut sudah masuk dalam
keadaan status asmatikus.
2. Penatalaksanaan asma jangka panjang
Penatalaksanaan asma jangka panjang bertujuan untuk mengontrol asma dan mencegah
serangan. Pengobatan asma jangka panjang disesuaikan dengan klasifikasi beratnya asma.
Prinsip pengobatan jangka panjang meliputi: 1) Edukasi; 2) Obat asma (pengontrol dan
pelega); dan Menjaga kebugaran.
1. Edukasi
Edukasi yang diberikan mencakup :
Kapan pasien berobat/ mencari pertolongan
− Mengenali gejala serangan asma secara dini
− Mengetahui obat-obat pelega dan pengontrol serta cara dan waktu penggunaannya
− Mengenali dan menghindari faktor pencetus
− Kontrol teratur
Alat edukasi untuk dewasa yang dapat digunakan oleh dokter dan pasien adalah pelangi
asma, sedangkan pada anak digunakan lembaran harian.
28
2. Obat asma
Obat asma terdiri dari obat pelega dan pengontrol. Obat pelega diberikan pada saat
serangan asma, sedangkan obat pengontrol ditujukan untuk pencegahan serangan asma dan
diberikan dalam jangka panjang dan terus menerus. Untuk mengontrol asma digunakan anti
inflamasi (kortikosteroid inhalasi). Pada anak, kontrol lingkungan mutlak dilakukan sebelum
diberikan kortikosteroid dan dosis diturunkan apabila dua sampai tiga bulan kondisi telah
terkontrol.
Obat asma yang digunakan sebagai pengontrol antara lain :
o Inhalasi kortikosteroid
o β2 agonis kerja panjang
o antileukotrien
o teofilin lepas lambat
Medikasi asma ditujukan untuk mengatasi dan mencegah gejala obstruksi jalan napas,
terdiri dari pengontrol dan pelega.
29
a. Pengontrol (controller)
Pengontrol adalah medikasi asma jangka panjang untuk mengontrol asma, diberikas
setiap hari untuk mencapai dan mempertahankan keadaan asma terkontrol pada asma
persisten. Pengontrol sering disebut pencegah. Yang termasuk obat pengotrol :
Kortikosteroid inhalasi
Kortikosteroid sistemik
Sodium kromoglikat
Nedokromil sodium
Metilsantin
Agonis beta-2 kerja lama, inhalasi
Agonis beta-2 kerja lama, oral
Leukotrien modifier
Antihistamin generasi ke dua (antagonis-H1)
b. Pelega (reliever)
Prinsipnya adalah untuk mendilatasi jalan napas melalui relaksasi otot polos,
memperbaiki dan atau menghambat bronkokonstriksi yang berkaitan dengan gejala akut,
seperti mengi, rasa berat di dada dan batuk, tidak memperbaiki inflamasi jalan napas.
Termasuk pelega adalah :
Agonis beta-2 kerja singkat
Kortikosteroid sistemik (steroid sistemik digunakan sebagai obat pelega bila
penggunaan bronkodilator yang lain sudah optimal tetapi hasil belum tercapai,
penggunaannya dikombinasikan dengan bronkodilator lain).
Antikolinergik
Aminofilin
Adrenalin
Medikasi asma dapat diberikan melalui berbagai cara, yaitu inhalasi, oral dan parenteral
(subkutan, intramuskular dan intravena). Kelebihan pemberian medikasi langsung ke jalan
napas adalah :
1. Lebih efektif untuk dapat mencapai konsentrasi tinggi di jalan napas
2. Efek sistemik minimal atau dihindarkan
30
3. Beberapa obat hanya dapat diberikan melalui inhalasi, karena tidak terabsorbsi pada
pemberian oral (antikolinergik dan kromolin). Waktu kerja bronkodilator adalah cepat
bila diberikan secara inhalasi daripada oral.
Pengobatan Sesuai Berat Asma
Berat asma Medikasi pengontrol harian Alternatif / pilihan lain Alternatif lain
Asma intermiten Tidak perlu
Asma persisten ringan
Steroid inhalasi
(200-400_g BD/hari atau ekivalennya)
Teofilin lepas lambat kromolin
Leukotriene modifiers
Asma persisten sedang
Kombinasi inhalasi steroid (400-800_g BD/hari atau ekivalennya & LABA
Steroid inhalasi
(400-800_g BD/hari atau ekivalennya) ditambah teofilin lepas lambat atau steroid inhalasi (400-800_g BD/hari atau ekivalennya) ditambah LABA oral atau steroid inhalasi (400-800_g BD/hari atau ekivalennya) ditambah leukotriene modifiers
Ditambah LABA oral atau ditambah teofilin lepas lambat
Asma persisten berat Kombinasi Inhalasi steroid (>800_g BD atau ekivalennya) dan LABA ditambah ≥ ditambah dibawah ini :
Teofilin lepas lambat
Leukotriene modifiers
Steroid oral
Prednisolon / metil prednisolon selang sehari 10 mg ditambah LABA oral, ditambah teofilin lepas lambat
Bronkodilator simpatomimetik seperti juga bronkodilator lainnya, disamping dipakai
untuk mengobati serangan asma juga dipakai sebagai obat untuk mengatasi serangan asma.
Dianjurkan memakai beta-2 selektif. Bentuk aerosol (inhalasi) merupakan cara pencegah dan
penggagal serangan asma yang baik dan cepat kerjanya. Simpatomimetik sering
dikombinasikan dengan dengan teofilin peroral. Dengan dosis tengah, efek bronkodilatasinya
bersifat aditif sedangkan efek sampingnya lebih sedikit. Pada penggunaan jangka panjang,
misalnya asma kronik atau persisten, teofilin obat tunggal atau kombinasi dengan
31
simpatomimetik merupakan obat yang harus dipakai lebih dahulu sebelum ditambah dengan
obat lain dalam rangka mencegah kambuhnya serangan asma.
Kortikosteroid merupakan obat penting dalam pencegahan asma dan hendaknya
dipertimbangkan bila hasil pengobatan dengan bronkodilator tidak memadai. Dosis prednison
1–2 mg/kgBB/hari, biasanya tidaj memberikan efek samping. Pemberian kortikosteroid
jangka pendek pada waktu serangan asma dapat mencegah keadaan yang lebih gawat dan
perawatan di rumah sakit tidak diperlukan. Anak yang telah mendapat terapi kortikosteroid
lama dengan dosis rumatan, bila mendapat serangan asma akut dosis kortikosteroid perlu
ditinggikan. Pada asma yang persisten atau kronik, pemberian kortikosteroid mungkin
diperlukan.. Jika terpaksa menggunakan kortikostreroid jangka panjang harus diberikan
secara inhalasi. Pada bayi dan anak kecil serangan asma mungkin lebih banyak disebabkan
oleh udem mukosa dan sekresi bronkus daripada bronkospasme. Pemberian kortikosteroid
mungkin sangat berguna.
Disodium kromogikat (DSCG) inhalasi, salah satu kerjanya adalah mencegah
degranulasi sel mast merupakan onat untuk mencegah serangan asma, terutama bila diberikan
secara teratur (Bernstein, 1981). Bila diberikan sebelum kegiatan jasmani dapat mencegah
asma yang diinduksi aktivitas fisik Pada asma ringan dan sedang efektifitas pencegahannya
sama dengan teofilin, efek samping lebih sedikit (Hambleton dkk 1977, Furukawa dkk 1984).
Obat pencegahan yang ideal untuk anak adalah obat yang diberikan secara oral 1–2
kali/hari. Ketotifen yang salah satu kerjanya memperkuat dinding sel mast sehingga
mencegah keluarnya mediator dilaporkan dapat merupakan obat pencegahan peroral yang
dapat diberikan 2 kali/hari.
Terapi imnulogik tidak dianjurkan sebagai tindakan rutin (Lichtenstein 1978). Tetapi
tindakan ini yang salah satu tugasnya membentuk antibodi penghalang perlu dipertimbangkan
bila tindakan-tindakan lainnya telah dusahakan semaksimal mungkin dan tidak memberikan
hasil.
Penatalaksanaan asma berguna untuk mengontrol penyakit. Asma dikatakan terkontrol
bila :
1. Gejala minimal (sebaiknya ridak ada), termasuk gejala malam.
2. Tidak ada keterbatasan aktivitas termasuk latihan fisik
32
3. Kebutuhan bronkodilator (agonis beta2 kerja singkat) minimal (idealnya tidak
diperlukan).
4. Variasi harian APE < 20%
5. Nilai APE normal atau mendekati normal
6. Efek samping obat minimal (tidak ada)
7. Tidak ada kunjungan ke unit gawat darurat
Integrasi dari pendekatan-pendekatan tersebut dikenal dengan program penatalaksanaan
asma, yang meliputi 7 komponen, yaitu :
1. Edukasi
2. Menilai dan memonitor berat asma secara berkala
3. Identifikasi dan mengendalikan faktor pencetus
4. Merencanakan dan memberikan pengobatan jangka panjang
5. Menetapkan pengobatan pada serangan akut
6. Kontrol secara teratur
7. Pola hidup sehat
Ke 7 hal tersebut di atas, juga disampaikan kepada penderita dengan bahasa yang mudah
dan dikenal (dalam istilah) dengan “7 langkah mengatasi asma”, yaitu :
1. Mengenal seluk beluk asma
2. Menentukan klasifikasi
3. Mengenali dan meghindari pencetus
4. Merencanakan pengobatan jangka panjang
5. Mengatasi serangan asma dengan tepat
6. Memeriksakan diri secara teratur
7. Menjaga kebugaran dan berolahraga
Aktivitas fisik tidak dilarang bahkan dianjurkan tetapi diatur. Jalan yang dapat ditempuh
supaya dapat tetap beraktivitas adalah :
1. Menambah toleransi secara bertahap, menghindari percepatan gerak yang mendadak,
Mengalihkan macam kegiatan, misalnya lari, naik ke sepeda, berenang.
2. Bila mulai batuk-batuk istirahat dahulu sebentar, minum air dan kemudian bila batuk-
batuk sudah mereda kegiatan dapat dimulai kembali.
3. Ada beberapa orang yang memerlukan makan obat atau menghirup obat aerosol
dahulu beberapa waktu sebelum kegiatan olahraga.
33
Untuk menjadi pasien asma, ada 2 faktor yang berperan yaitu faktor genetik dan faktor
lingkungan. Ada beberapa proses yang terjadi sebelum pasien menjadi asma:
1. Sensitisasi, yaitu seseorang dengan risiko genetik dan lingkungan apabila terpajan
dengan pemicu (inducer/sensitisizer) maka akan timbul sensitisasi pada dirinya.
2. Seseorang yang telah mengalami sensitisasi maka belum tentu menjadi asma. Apabila
seseorang yang telah mengalami sensitisasi terpajan dengan pemacu (enhancer) maka
terjadi proses inflamasi pada saluran napasnya. Proses inflamasi yang berlangsung
lama atau proses inflamasinya berat secara klinis berhubungan dengan
hiperreaktivitas bronkus.
3. Setelah mengalami inflamasi maka bila seseorang terpajan oleh pencetus (trigger)
maka akan terjadi serangan asma (mengi).
Faktor-faktor pemicu antara lain: Alergen dalam ruangan: tungau debu rumah, binatang
berbulu (anjing, kucing, tikus), alergen kecoak, jamur, kapang, ragi serta pajanan asap rokok;
pemacu: Rinovirus, ozon, pemakaian b2 agonis; sedangkan pencetus: Semua faktor pemicu
dan pemacu ditambah dengan aktivitas fisik, udara dingin, histamin dan metakolin
PENCEGAHAN
Secara skematis mekanisme terjadinya asma digambarkan sebagai berikut:
Sehubungan dengan asal-usul tersebut, upaya pencegahan asma dapat dibedakan
menjadi 3 yaitu:
1. Pencegahan primer
2. Pencegahan sekunder
3. Pencegahan tersier
Pencegahan primer ditujukan untuk mencegah sensitisasi pada bayi dengan risiko
asma (orangtua asma), dengan cara :
Penghindaran asap rokok dan polutan lain selama kehamilan dan masa
perkembangan bayi/anak
34
Diet hipoalergenik ibu hamil, asalkan / dengan syarat diet tersebut tidak
mengganggu asupan janin
Pemberian ASI eksklusif sampai usia 6 bulan
Diet hipoalergenik ibu menyusui
Pencegahan sekunder ditujukan untuk mencegah inflamasi pada anak yang telah
tersentisisasi dengan cara menghindari pajanan asap rokok, serta allergen dalam ruangan
terutama tungau debu rumah.
Pencegahan tersier ditujukan untuk mencegah manifestasi asma pada anak yang telah
menunjukkan manifestasi penyakit alergi. Sebuah penelitian multi senter yang dikenal
dengan nama ETAC Study (early treatment of atopic children) mendapatkan bahwa
pemberian Setirizin selama 18 bulan pada anak atopi dengan dermatitis atopi dan IgE
spesifik terhadap serbuk rumput (Pollen) dan tungau debu rumah menurunkan kejadian
asma sebanyak 50%. Perlu ditekankan bahwa pemberian setirizin pada penelitian ini
bukan sebagai pengendali asma (controller).
Penanggulangan serangan asma lebih penting ditujukan untuk mencegah serangan
asma bukan untuk mengatasi serangan asma. Pencegahan serangan asma terdiri atas :
Menghindari faktor-faktor pencetus
Obat-obatan dan terapi imunologi
Penggunaan obat-obatan atau tindakan untuk mencegah dan meredakan atau reaksi-
reaksi yang akan atau sudah timbul oleh pencetus tadi.
Macam-macam pencetus asma :
1. Alergen
Faktor alergi dianggap mempunyai peranan penting pada sebagian besar anak dengan
asma (William dkk 1958, Ford 1969). Disamping itu hiperreaktivitas saluran napas juga
merupakan factor yang penting. Sensitisasi tergantung pada lama dan intensitas hubungan
dengan bahan alergenik sehingga dengan berhubungan dengan umur. Pada bayi dan anak
kecil sering berhubungan dengan isi dari debu rumah. Dengan bertambahnya umur makin
banyak jenis alergen pencetusnya. Asma karena makanan biasanya terjadi pada bayi dan
anak kecil.
2. Infeksi
35
Biasanya infeksi virus, terutama pada bayi dan anak kecil. Virus penyebab biasanya
respiratory syncytial virus (RSV) dan virus parainfluenza. Kadang-kadang juga dapat
disebabkan oleh bakteri, jamur dan parasit.
3. Cuaca
Perubahan tekanan udara (Sultz dkk 1972), suhu udara, angin dan kelembaban (Lopez
dan Salvagio 1980) dihubungkan dengan percepatan dan terjadinya serangan asma.
4. Iritan
Hairspray, minyak wangi, asap rokok, cerutu dan pipa, bau tajam dari cat, SO2, dan
polutan udara yang berbahaya lainnya, juga udara dingin dan air dingin.Iritasi hidung dan
batuk dapat menimbulkan refleks bronkokonstriksi (Mc. Fadden 1980). Udara kering
mungkin juga merupakan pencetus hiperventilasi dan kegiatan jasmani (strauss dkk 1978,
Zebailos dkk 1978).
5. Kegiatan jasmani
Kegiatan jasmani yang berat dapat menimbulkan serangan pada anak dengan asma
(Goldfrey 1978, Eggleston 1980). Tertawa dan menangis dapat merupakan pencetus.
Pada anak dengan faal paru di bawah normal sangat rentan terhadap kegiatan jasmani.
6. Infeksi saluran napas bagian atas
Disamping infeksi virus saluran napas bagian atas, sinusitis akut dan kronik dapat
mempermudah terjadinya asma pada anak (Rachelesfsky dkk 1978). Rinitis alergi dapat
memperberat asma melalui mekanisme iritasi atau refleks.
7. Refluks gastroesofagitis
Iritasi trakeobronkial karena isi lambung dapat memberatkan asma pada anak dan orang
dewasa (Dess 1974).
8. Psikis
Tidak adanya perhatian dan tidak mau mengakui persoalan yang berhubungan dengan
asma oleh anak sendiri atau keluarganya akan memperlambat atau menggagalkan usaha-
usaha pencegahan. Dan sebaliknya jika terlalu takut terhadap serangan asma atau hari
depan anak juga tidak baik, karena dapat memperberat serangan asma. Membatasi
aktivitas anak, anak sering tidak masuk sekolah, sering bangun malam, terganggunya
irama kehidupan keluarga karena anak sering mendapat serangan asma, pengeluaran uang
36
untuk biaya pengobatan dan rasa khawatir, dapat mempengaruhi anak asma dan
keluarganya.
Berbagai pencetus serangan asma dan cara menghindarinya perlu diketahui dan
diajarkan pada si anak dan keluarganya, debu rumah dan unsur di dalamnya merupakan
pencetus yang sering dijumpai pada anak. Pada 76,5% anak dengan asma yang berobat di
poliklinik Subbagian Pulmonologi Anak Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI RSCM Jakarta,
debu rumah diduga sebagai pencetusnya.
Serangan asma setelah makan atau minum zat yang tidak tahan, dapat terjadi tidak
lama setelah makan, tetapi dapat juga terjadi beberapa waktu setelahnya.
Komplikasi
Bila serangan asma sering terjadi dan telah berlangsung lama, maka akan terjadi
emfisema dan mengakibatkan perubahan bentuk toraks yaitu toraks membungkuk ke depan
dan memanjang. Pada foto rontgen toraks terlihat diafragma letak rendah, gambaran jantung
menyempit, corakan hilus kiri dan kanan bertambah. Pada asma kronik dan berat dapat terjadi
bentuk dada burung dara dan tampak sulkus Harrison.
Bila sekret banyak dan kental, salah satu bronkus dapat tersumbat sehingga dapat
terjadi atelektasis pada lobus segmen yang sesuai. Bila atelektasis berlangsung lama dapat
berubah menjadi bronkiektasis dan bila ada infeksi terjadi bronkopneumonia. Serangan asma
yang terus menerus dan beberapa hari serta berat dan tidak dapat diatasi dengan obat-obatan
disebut status asmatikus. Bila tidak dtolong dengan semestinya dapat menyebabkan gagal
pernapasan, gagak jantung, bahkan kematian.
Prognosis dan perjalanan klinis
Mortalitas akibat asma jumlahnya kecil. Gambaran yang paling akhir menunjukkan
kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang jumlahnya kira-kira 10
juta penduduk. Angka kematian cenderung meningkat di pinggiran kota dengan fasilitas
kesehatan terbatas.
Informasi mengenai perjalanan klinis asma menyatakan bahwa prognosis baik
ditemukan pada 50–80% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan dan timbul pada
masa kanak-kanak. Jumlah anak yang masih menderita asma 7–10 tahun setelah diagnosis
37
pertama bervariasi dari 26–78% dengan nilai rata-rata 46%, akan tetapi persentase anak yang
menderitaahun asmanya sudah menghilang
BAB III
38
PEMBAHASAN
Teori Fakta
Anamnesis dan pemeriksaan fisik :
asma merupakan kumpulan
tanda dan gejala wheezing
(mengi) dan atau batuk dengan
karakteristik yang timbul
secara episodik dan atau
kronik, cenderung pada malam
hari/dini hari (nocturnal),
musiman, adanya faktor
pencetus di antaranya aktivitas
fisik dan bersifat reversibel baik
secara spontan maupun
dengan pengobatan.
Pasien anak permpuan mengeluh batuk
berdahak berwarna putih kental, tidak
bercampur darah, dan sulit untuk
dikeluarkan, sehingga saat tidur
berbunyi banyak lendir. Batuk ini
muncul tiba-tiba , setelah
aktivitas/berlari, batuk dirasakan lebih
sering pada malam hari, hingga
menyebabkan nyeri seperti kram,sesak
disertai dengan bunyi mengi , sesak
baru pertama kali muncu
Riwayat asma (+)
Riwayat demam (-)
Wheezing (+/+)
Riwayat keluarga (+)
Pemeriksaan penunjang :
Pada Infeksi biasanya terdapat
leukositosis
Faal Paru
Spirometri
Pemeriksaan Hasil
Hemoglobin 12,8
Leukosit 12.75
Eritrosit 4.71
Trombosit 358
Hematokrit 37.3
HITUNG JENIS
Eosinofil 0
Basofil 0
Batang 1
Segmen 90
Limposit 7
Monosit 2
Penatalaksanaan : : IVFD D5 5 tpmm
39
Injeksi Ampicilin 3x500 mg
Injeksi metilprednisolon 3x16 mg
Nebulizer ventolin1 amp / 8 jam
Drip D 5% + aminophyllin 192 mg/24jam- 8cc
Prognosis :
Informasi mengenai perjalanan klinis
asma menyatakan bahwa prognosis
baik ditemukan pada 50 – 80% pasien,
khususnya pasien yang penyakitnya ringan
dan timbul pada masa kanak-kanak.
Bonam
40
BAB IV
KESIMPULAN
1. Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran napas yang melibatkan banyak sel dan elemennya.
2. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperresponsif jalan napas yang menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak napas, dada terasa berat danbatuk-batuk terutama pada malam hari atau dini hari.
3. Obat asma digunakan untuk menghilangkan dan mencegah timbulnya gejala dan obstruksi saluran pernafasan.
4. Prognosis baik ditemukan pada 50 – 80% pasien, khususnya pasien yang penyakitnya ringan dan timbul padamasa kanak-kanak.
41
Daftar pustaka
1. Danusaputro H. Ilmu Penyakit Paru, 2000 ; 197 – 209.
2. Sundaru H, Sukamto, Asma Bronkial, Departemen Ilmu Penyakit
Dalam Fakulas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, juni
2006 ; 247.
3. Nelson WE. Ilmu Kesehatan Anak.Terjemahan Wahab S. Vol I:
Jakarta. Penerbit EGC. 1996:775.
4. Ramailah S. Asma Mengetahui Penyebab, Gejala dan Cara
Penanggulangannya, Bhuana Ilmu Populer, Gramedia. Jakarta. 2006.
5. PDPI. ASMA pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia. PDPI. 2003.
6. Rahajoe N, Supriyanto B, Setyanto DB,. Buku Ajar Respirologi Anak. IDAI: Jakarta.
2012
42