4. bab i

39
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang Dewasa ini kesehatan reproduksi mendapat perhatian khusus secara global, sejak diangkatnya isu tersebut dalam Konferensi Internasional tentang kependudukan dan Pembangunan (International Conference on Population and Development, ICPD), di Kairo, Mesir, pada tahun 1994. Hal penting dalam konferensi tersebut adalah disepakatinya perubahan paradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan dan pembangunan dari pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas menjadi pendekatan yang terfokus pada kesehatan reproduksi serta upaya pemenuhan hak-hak reproduksi. Dengan demikian pengendalian kependudukan telah bergeser ke arah yang lebih luas, yang meliputi pemenuhan kebutuhan kesehatan reproduksi bagi laki-laki dan perempuan sepanjang siklus hidup, termasuk hak-hak reproduksinya, kesetaraan dan keadilan gender, pemberdayaan perempuan dan penanggulangan kekerasan berbasis gender, serta tanggung jawab laki laki dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi. Selain itu, hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi lainnya, seperti pelayanan antenatal, persalinan, nifas dan pelayanan bagi anak, kesehatan remaja 1

Upload: cuwinih

Post on 25-Jul-2015

262 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: 4. BAB I

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Dewasa ini kesehatan reproduksi mendapat perhatian khusus secara global, sejak

diangkatnya isu tersebut dalam Konferensi Internasional tentang kependudukan dan

Pembangunan (International Conference on Population and Development, ICPD), di

Kairo, Mesir, pada tahun 1994.

Hal penting dalam konferensi tersebut adalah disepakatinya perubahan

paradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan dan pembangunan dari

pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas menjadi pendekatan yang

terfokus pada kesehatan reproduksi serta upaya pemenuhan hak-hak reproduksi.

Dengan demikian pengendalian kependudukan telah bergeser ke arah yang lebih

luas, yang meliputi pemenuhan kebutuhan kesehatan reproduksi bagi laki-laki dan

perempuan sepanjang siklus hidup, termasuk hak-hak reproduksinya, kesetaraan dan

keadilan gender, pemberdayaan perempuan dan penanggulangan kekerasan berbasis

gender, serta tanggung jawab laki laki dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi.

Selain itu, hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi lainnya,

seperti pelayanan antenatal, persalinan, nifas dan pelayanan bagi anak, kesehatan remaja

dan lain-lain, perlu dijamin. Indonesia sebagai salah satu negara yang berpartisipasi

dalam kesepakatan global tersebut telah menindaklanjuti dengan berbagai kegiatan.

Luasnya ruang lingkup kesehatan reproduksi menuntut penanganan secara lintas

program dan lintas sektor serta keterlibatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),

organisasi profesi dan semua pihak yang terkait. Saratnya aspek sosial budaya dalam

kesehatan reproduksi juga menuntut perlunya adaptasi yang sesuai dengan situasi dan

kondisi di Indonesia. Rendahnya pemenuhan hak-hak reproduksi ditandai dengan masih

tingginya

Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian

Bawah Lima Tahun (AKBalita). Masalah lainnya adalah masalah kesehatan reproduksi

perempuan, termasuk perencanaan kehamilan dan persalinan yang aman secara medis

1

Page 2: 4. BAB I

harus menjadi perhatian bersama, bukan hanya kaum perempuan saja karena mempunyai

dampak yang luas sekali dan menyangkut berbagai aspek kehidupan yang menjadi tolok

ukur dalam pelayanan kesehatan.

Selama ini berbagai sektor telah mengembangkan kebijakan dan strateginya

masing-masing. Dengan adanya Komisi Kesehatan Reproduksi sejak tahun 1998 telah

diupayakan koordinasi antar sektor, namun upaya ini belum menghasilkan penanganan

kesehatan reproduksi yang terpadu dan efisien, di samping adanya perubahan sistem

pemerintahan di Indonesia.

Sehubungan dengan hal tersebut perlu dibuat Kebijakan dan Strategi Nasional

Kesehatan Reproduksi sebagai acuan pelaksanaan bagi seluruh pihak terkait, di pusat,

provinsi dan kabupaten/kota.

1.2 Tujuan

Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah untuk :

a. Mengetahui analisa masalah kesehatan reproduksi

b. Mampu untuk memprioritaskan masalah kesehatan

c. Mengetahui kegiatan apa saja yang bisa dilakukan terhadap masalah tersebut

1.3 Manfaat

a. Sebagai bahan diskusi bagi teman-teman pada peminatan Kesehatan

Reproduksi PSIKM Universitas Andalas

b. Sebagai bahan bacaan yang dapat menambah pemahaman mengenai Analisa

masalah kesehatan reproduksi

2

Page 3: 4. BAB I

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kesehatan Reproduksi

2.1.1 Definisi Kesehatan Reproduksi

Menurut WHO kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan fisik, mental dan

sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek

yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Hal ini terkait pada

suatu keadaan dimana manusia dapat menikmati kehidupan seksualnya serta mampu

menjalankan fungsi dan proses reproduksinyasecara sehat dan aman.

Artinya, perempuan dan laki-laki keduanya menjadi perhatian kesehatan

reproduksi. Pada perempuan ditandai dengan mulainya menstruasi, atau pada laki-laki

ditandai dengan terjadinya perubahan suara yang menjadi besar dan mantap. Kesehatan

reproduksi terkait dengan siklus hidup, dimana setiap tahapannya mengandung risiko

yang terkait dengan kesakitan dan kematian. Jadi hak reproduksi merupakan hak setiap

individu/pasangan untuk mendapatkan:

Kemampuan reproduksi

Keberhasilan reproduksi

Keamanan reproduksi

Kondisi yang baik mulai dari bayi dalam kandungan akan berdampak positif

untuk meneruskan generasi berikutnya. Sehatnya seorang bayi sangat tergantung dari

status kesehatan dan gizi dari kedua orang tuanya serta akses mereka pada pelayanan

kesehatan. Pada goal kelima MDGs yaitu meningkatkan kesehatan ibu, targetnya terkait

dengan kesehatan reproduksi yaitu menurunkan 75 persen kematian ibu dalam kurun

waku 1990-2015 dan tercapainya akses secara universal.

2.1.2 Indikator Target Kesehatan Reproduksi

Indonesia, menetapkan indikator sesuai dengan MDGs sebagai berikut :

1. Menurunkan angka kematian ibu (AKI) dari 390 per 100.000 kelahiran hidup

pada tahun 1990 menjadi 102 pada tahun 2015

3

Page 4: 4. BAB I

2. Meningkatkan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan dari 40,7 persen (1990)

menjadi 100 persen (2015);

3. Seluruh perempuan pernah kawin usia 15-49 tahun menggunakan alat/cara

Keluarga Berencana/KB (universal access )

2.1.3 Landasan Hukum dan Peraturan yang mendukung

1. Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

2. Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai

Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Ratifikasi

CEDAW)

3. Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan

dan Pembangunan Keluarga Sejahtera

4. Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan

5. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia

6. Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan di Daerah

7. Undang-undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan

Daerah.

8. Undang-undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

9. Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

10. Undang-undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Penghapusan

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)

11. Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2000 tentang Pelimpahan

Tugas dan Wewenang.

12. Inpres Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarus-Utamaan Gender

13. Kepmenkes Nomor 433/Menkes/SK/V/1998 tentang Pembentukan

Komisi Kesehatan Reproduksi

14. Kepmenkes No. 131/II/2004 tentang Sistem Kesehatan Nasional

4

Page 5: 4. BAB I

2.2 Analisis Situasi Kesehatan Reproduksi

2.2.1 Kesehatan Ibu dan Anak

1. Angka Kematian Ibu (AKI)

Indonesia masih sangat tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN

lainnya. Pada tahun 1994 (SDKI) AKI di Indonesia adalah 390 per 100.000 kelahiran

hidup. Penurunan AKI tersebut sangat lambat, yaitu menjadi 334 per 100.000 pada tahun

1997 (SDKI) dan 307 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2002-2003), sementara pada

tahun 2010 ditargetkan menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup dan akhirnya menjadi

102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015.

2.2.2 Penyebab kematian maternal dapat dikategorikan sebagai berikut :

1. Penyebab langsung

Penyebab langsung kematian ibu terjadi pada umumnya sekitar persalinan dan 90

% terjadi oleh karena komplikasi. Penyebab langsung kematian adalah :

1) Perdarahan

2) Eklamsia

3) Infeksi

4) Komplikasi puerperium

5) Abortus

6) Trauma obstetrik

7) Emboli obstetrik

8) Partus lama/macet dan lainnya.

2. Penyebab tidak langsung

Penyebab tidak langsung kematian maternal adalah rendahnya status gizi,

rendahnya status kesehatan serta adanya faktor risiko kehamilan pada ibu. SKRT 2001

menunjukkan bahwa 34% ibu hamil mengalami kurang energi kronis (KEK), sedangkan

40% menderita anemia gizi besi (AGB). SDKI 2002-2003 menunjukkan bahwa 22,4%

ibu masih dalam keadaan “4 terlalu” yaitu 4,1% kehamilan terjadi pada ibu berumur

kurang dari 18 tahun (terlalu muda), 3,8% terjadi pada ibu berumur lebih dari 34 tahun

5

Page 6: 4. BAB I

(terlalu tua), 5,2% persalinan terjadi dalam interval waktu kurang dari 2 tahun (terlalu

sering) dan 9,3% ibu hamil mempunyai paritas lebih dari 3 (terlalu banyak).

Penyebab mendasar kematian maternal dipengaruhi oleh kondisi geografis,

penyebaran penduduk, kondisi sosial ekonomi, budaya, kondisi bias gender dalam

masyarakat dan keluarga dan tingkat pendidikan masyarakat pada umumnya. Rendahnya

pengetahuan, rendahnya pendapatan kepala keluarga, menyebabkan keterlambatan

dalam mawas diri. Keterlambatan sebagai berikut:

1) Terlambat mengenali tanda bahaya dan mengambil keputusan untuk segera

mencari pertolongan.

2) Terlambat mencapai fasilitas pelayanan kesehatan yang mampu memberikan

pertolongan persalinan.

3) Terlambat memperoleh pertolongan yang memadai di fasilitas

pelayanan kesehatan.

2. Angka Kematian Bayi (AKB)

Indonesia sebesar 35 per 1000 kelahiran hidup (SDKI, 2002-2003) masih di atas

negara-negara seperti Malaysia (10), Thailand (20), Vietnam(18), Brunei (8) dan

Singapura (3). Walaupun demikian AKB tersebut sudah menurun sebesar 41% selama

15 tahun ini yaitu dari 59 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1989-1992, menjadi 35

per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1998-2002 (SDKI).

Menurut DinkesAngka Kematian Bayi (AKB) menjadi 35/1000 kelahiran hidup

pada tahun 2010 (Dinas kesehatan Provinsi Lampung, 2006 : 1). Sedangkan penyebab

kematian neonatal karena BBLR 29%, asfiksia 27%, masalah pemberian minum 10%,

tetanus 10%, gangguan hematologi 6%, infeksi 5% dan lain-lain 13% (Rachmawaty,

2006 : 1)

Sekitar 40% kematian bayi tersebut terjadi pada bulan pertama kehidupannya.

Penyebab kematian pada masa perinatal/neonatal pada umumnya berkaitan dengan

kesehatan ibu selama hamil, kesehatan janin selama di dalam kandungan dan proses

pertolongan persalinan yang diterima ibu/bayi, yaitu asfiksia, hipotermia karena

prematuritas/ BBLR,

6

Page 7: 4. BAB I

trauma persalinan dan tetanus neonatorum.

Penyebab kematian neonatal di Indonesia adalah :

1. BBLR

2. Asfiksia

3. Tetanus

4. Masalah pemberian minum

5. Infeksi

6. Gangguan hematologik, dan lain-lain.

Sedangkan penyebab kematian balita adalah sebagai berikut :

1) Gangguan saluran nafas

2) Diare

3) Penyakit syaraf

4) Tifus

5) Gangguan saluran cerna, dan gangguan lainnnya.

2.2.2 Keluarga Berencana

Angka Kesuburan Total (Total Fertility Rate/TFR) menurut pada kurun waktu

1967-1970 adalah 5,6. Angka kesuburan total ini dalam waktu dua puluh lima tahun

telah turun menjadi hampir setengahnya, yaitu 2,8 pada periode 1995-1997 (SDKI,

1997). Berdasarkan SDKI 2002-2003, TFR saat ini sebesar 2,6 per perempuan.

Data SDKI ini menunjukkan penurunan tingkat fertilitas. Cakupan pelayanan KB

(Contraceptive Prevalence Rate, CPR) pada tahun 1987 adalah 48%, yang meningkat

menjadi 57% pada tahun 1997 dan 60,3% pada tahun 2002. Partisipasi pria baik dalam

ber-KB maupun dalam pemeliharaan kesehatan ibu dan anak termasuk pencegahan

kematian maternal hingga saat ini masih rendah. Indikatornya antara lain masih sangat

rendahnya kesertaan KB pria, yaitu hanya lebih kurang 4,4 %. Secara rinci angka ini

meliputi penggunaan kondom 0,9%, vasektomi 0,4%, sanggama terputus 1,5% dan

pantang berkala 1,6%(SDKI 2002-2003).

7

Page 8: 4. BAB I

Dari segi pemenuhan terhadap kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan KB,

tingkat unmeet need masih cukup tinggi. Menurut hasil SDKI 1997 tercatat sebanyak

9,7%, sedangkan berdasarkan hasil pencapaian program tahun 2001 tercatat sebanyak

14,6% yang kebutuhan KB nya tidak terpenuhi. Keadaan ini menunjukkan bahwa upaya

menurunkan tingkat unmeet need memerlukan upaya yang jauh lebih besar lagi.

Harapan tahun 2001 turun menjadi 8 % dan tahun 2004 turun menjadi 6,5%. Namun,

seperti dikemukakan di atas, sekitar 65% ibu hamil mempunyai satu atau lebih keadaan

"4 terlalu" (terlalu muda, tua, sering dan banyak).

Menurut SDKI 2002-2003 keadaan “4 terlalu” didapatkan pada 22,4% dari

seluruh persalinan. Hal ini menunjukkan bahwa masih jauh lebih banyak terjadi

kehamilan walaupun angka unmet need hanya 8,6% yang juga sekaligus menunjukkan

bahwa kesadaran ber-KB pada pasangan yang paling membutuhkan pelayanan KB

(karena umur isteri terlalu muda/tua, masih mempunyai anak kurang dari 2 tahun, atau

mempunyai anak lebih dari 3) belum mantap.

Menurut perundangan yang berlaku saat ini, tindakan aborsi di luar tindakan

medis adalah illegal. Diperkirakan aborsi terkomplikasi yang menjadi penyebab

kematian ibu adalah sebesar 15%. Masih tingginya angka kejadian aborsi merupakan

refleksi banyaknya kasus kehamilan yang tidak dikehendaki. Berdasarkan hasil survei

tentang kejadian aborsi di 10 kota besar dan 6 kabupaten tahun 2000 ditemukan bahwa

alasan melakukan aborsi untuk klien di kota karena cukup jumlah anak (43,7%) disusul

karena belum siap menikah (24,3%). Sedangkan di kabupaten persentase tertinggi alasan

aborsi adalah karena masih sekolah (46,5%), disusul dengan jumlah anak yang sudah

cukup.

2.2.3 Pencegahan Infeksi Menular Seksual (HIV/AIDS)

Dari berbagai penelitian terbatas diketahui angka prevalensi ISR di Indonesia

cukup tinggi, misalnya penelitian pada 312 perempuan klien KB di Jakarta Utara (1997):

angka prevalensi ISR 24,7%, dengan infeksi klamidia yang tertinggi, yaitu 10,3%,

kemudian trikhomonas 5,4%, dan gonore 0,3%. Penelitian lain di Surabaya pada 599

8

Page 9: 4. BAB I

perempuan hamil didapatkan infeksi virus herpes simpleks sebesar 9,9%, klamidia 8.2%,

trikhomonas 4,8%, gonore 0,8% dan sifilis 0,7%.

Suatu survei di 3 puskesmas di Surabaya (1999) pada 194 perempuan

pengunjung KIA/KB diperoleh proporsi tertinggi infeksi trikhomonas 6,2%, kemudian

sifilis 4,6%, dan klamidia 3,6%. Berdasarkan hasil base-line survey yang dilakukan oleh

Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LDUI) di 4 (empat) provinsi (Jatim, Jateng,

Jabar dan Lampung) pada tahun 1999, menunjukkan bahwa:

1) hanya 42% remaja yang mengetahui tentang HIV/AIDS

2) hanya 24% remaja mengetahui tentang IMS

3) hanya 55% mengetahui tentang proses kehamilan

4) 53% remaja tidak mengetahui bahwa sekali saja berhubungan dapat

mengakibatkan kehamilan

5) 45% remaja beranggapan bahwa HIV/AIDS bisa disembuhkan

6) 42% beranggapan orang yang nampak sehat tidak mungkin mengidap

HIV/AIDS.

2.2.4 Kesehatan Reproduksi Remaja

Survei Depkes tahun 1995/1996 pada remaja 13-19 tahun di Jawa Barat dan Bali

didapatkan angka 7% dan 5% kehamilan pada remaja. Data tentang kehamilan tidak

dikehendaki (KTD) dari beberapa sumber ada!ah: 61% pada usia 15-19 tahun (N=1310,

SDKI oleh Pradono 1997), diantaranya sebesar 12,2% (N=98 orang) melakukan

pengguguran dimana 7,2% ditolong oleh dokter dan bidan, 10,2% oleh dukun dan 70,4%

tanpa pertolongan.

Berdasarkan hasil base-line survey yang dilakukan oleh LDUI di 4 (empat)

provinsi (Jatim, Jateng, Jabar dan Lampung) pada tahun 1999, menunjukkan bahwa:

1) hanya 42% remaja mengatakan HIV tidak ditularkan oleh orang yang tampak

sehat.

2) hanya 24% remaja mengetahui tentang IMS

3) hanya 55% mengetahui tentang proses kehamilan

9

Page 10: 4. BAB I

4) 53% remaja tidak mengetahui bahwa sekali saja berhubungan dapat

mengakibatkan kehamilan

5) 46% remaja beranggapan bahwa HIV/AIDS bisa disembuhkan

6) 26% remaja mengatakan kondom tidak dapat mencegah HIV/AIDS

7) 57,1% remaja puteri mengidap anemia (SKRT 1995)

8) 23% remaja kekurangan energi kalori (survay Bali, Jabar, 1995)

9) 74% kebiasaan makan tidak teratur (Survai SMU Surabaya, 1998)

10) 10. 61% kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja usia 15-19 tahun dengan

melakukan solusi 12 % dari mereka melakukan aborsi yang dilakukan di:

dilakukan sendiri 70%

dilakukan dukun 10%

tenaga medis 7%

11) Hanya 45,1% remaja mempunyai pengetahuan yang baik tentang organ

reproduksi, pubertas, menstruasi dan kebersihan diri

12) hanya 16% remaja yang mengetahui tentang masa subur

Masalah reproduksi remaja selain berdampak secara fisik, juga dapat

berpengaruh terhadap kesehatan mental dan emosi, keadaan ekonomi dan kesejahteraan

sosial dalam jangka panjang. Dampak jangka panjang tersebut tidak hanya berpengaruh

terhadap remaja itu sendiri, tetapi juga terhadap keluarga, masyarakat dan bangsa pada

akhirnya.

Permasalahan kesehatan reproduksi pada remaja dapat dikelompokkan sebagai berikut:

1) Perilaku berisiko

2) kurangnya akses pelayanan kesehatan

3) kurangnya informasi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan

4) banyaknya akses pada informasi yang salah tanpa tapisan

5) masalah IMS termasuk infeksi HIV/AIDS,

6) tindak kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, pelecehan seksual dan transaksi

seks komersial,

7) kehamilan dan persalinan usia muda yang berisiko kematian ibu dan bayi, dan

10

Page 11: 4. BAB I

8) kehamilan yang tak dikehendaki, yang seringkali menjurus kepada aborsi yang

tidak aman dan komplikasinya.

9) kehamilan remaja kurang dari 20 tahun berisiko kematian ibu dan bayi 2-4 kali

lebih tinggi dibanding ibu berusia 20-35 tahun.

Penyebab mendasar dari keadaan tersebut adalah :

1) rendahnya pendidikan remaja

2) kurangnya keterampilan petugas kesehatan

3) kurangnya kesadaran semua pihak akan pentingnya penanganan kesehatan

remaja

2.2.5 Kesehatan Reproduksi Usia Lanjut

Menurut hasil Sensus Penduduk tahun 2000, jumlah perempuan yang berusia 50

tahun dan memasuki usia menopause sebanyak 15,5 juta orang sedangkan laki-laki yang

berusia di atas 55 tahun dan diperkirakan telah memasuki usia andropause adalah

sebesar 14,2 juta orang. Diperkirakan pada tahun 2002 menurut perhitungan stastistik

jumlah perempuan yang hidup dalam usia menopause adalah 30,3 juta dan jumlah laki-

laki di usia andropause akan mencapai 24,7 juta orang.

Masalah kesehatan reproduksi pada usia menopause adalah terjadi penurunan

atau hilangnya estrogen yang akan menyebabkan perempuan mengalami banyak keluhan

dan gangguan yang seringkali dapat mengganggu aktivitas sehari-hari bahkan

menurunkan kualitas hidupnya. Gangguan kesehatan yang akan timbul pada masa

menopause antara lain nyeri tulang dan sendi, nyeri waktu sanggama, meningkatnya

insiden penyakit jantung koroner, insiden keganasan, dementia tipe Alzheimer, dan

banyak lagi gangguan kesehatan lainnya sebagai akibat kurangnya perhatian terhadap

kesehaatn reproduksi yang dapat mengganggu produktivitas lanjut usia.

Pada laki-laki gangguan kesehatan yang terjadi pada masa andropause yang

berkaitan dengan penurunan fungsi hormon androgen dan testosteron adalah impotensi,

keluhan tulang dan sendi, pembesaran kelenjar ataupun kanker kelenjar prostat.

11

Page 12: 4. BAB I

Keterbatasan data yang ada pada kesehatan usia lanjut bukan berarti bahwa kesehatan

reproduksi usia lanjut tidak bermasalah.

2.2.6 Gender dan Kekerasan terhadap Perempuan

Bias gender dalam keluarga dan diskriminasi terhadap perempuan masih tinggi,

sehingga perempuan belum memperoleh hak untuk mencapai derajat kesehatan tertinggi

yang mungkin dicapainya. Keadaaan ini sangat merugikan kesehatan perempuan, seperti

gangguan pertumbuhan, gangguan terhadap janin yang dikandungnya (bila sedang

hamil). Dengan adanya sifat kodrati yang khas pada perempuan yaitu hamil, melahirkan,

haid dan menyusui yang tidak dimiliki oleh kaum laki-laki, menyebabkan derajat

kesehatan reproduksi masayarakat sangat ditentukan oleh keadaan kesehatan perempuan.

Oleh karena itu perempuan merupakan kelompok rawan dalam kesehatan reproduksi

sehingga perlu mendapat perhatian khusus. Nilai-nilai sosial budaya juga

menomorduakan anak perempuan misalnya, di dalam memperoleh asupan gizi dan

kesempatan mengenyam pendidikan karena yang dinomorsatukan adalah anak laki-laki.

Perempuan seringkali terpaksa menikah pada usia muda karena tekanan ekonomi

atau orangtua yang mendorongnya untuk cepat menikah, agar terlepas dari beban

ekonomi. Kurangnya hak perempuan dalam pengambilan keputusan terutama untuk

kepentingan kesehatan dirinya misalnya dalam ber-KB, menentukan kapan akan hamil,

memilih bidan sebagai penolong persalinan atau mendapat pertolongan segera di rumah

sakit ketika diperlukan, di samping kurangnya kesempatan untuk mendapatkan

penghasilan bagi keluarga.

Anak perempuan masih belum diprioritaskan untuk sekolah, sehingga tingkat

pendidikan perempuan secara rata rata masih jauh lebih rendah daripada laki laki. Hal

ini mengakibatkan sulitnya memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi dan

tentang kesehatan secara umum. Apabila pendidikan perempuan cukup tinggi, maka

perempuan dapat meningkatkan rasa percaya diri, wawasan dan kemampuan untuk

mengambil keputusan yang baik bagi diri dan keluarga, termasuk yang berkaitan dengan

kesehatan reproduksi.

12

Page 13: 4. BAB I

Data tentang tindak kekerasan terhadap perempuan, khususnya di dalam rumah

tangga masih belum banyak diketahui, namun demikian ada indikasi hal tersebut

merupakan fenomena gunung es karena berbagai kasus tersebut cukup sering terjadi

walaupun jarang mengemuka. Data yang berasal dari Kalyanamitra periode 1997-1999

menunjukkan bahwa selama tahun 1997 telah terjadi 299 perkosaan, 46 pelecehan

seksual dan 42 kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga. Angka tersebut meningkat

cukup signifikan di tahun 1998 dan 1999 dengan jumlah kasus secara keseluruhan

adalah 673 kasus perkosaan, 96 pelecehan seksual dan 66 tindak kekerasan dalam rumah

tangga. Kekerasan tersebut dilakukan tidak saja oleh pasangan hidup, namun juga oleh

anggota keluarga lainnya, tanpa dapat dibendung oleh perempuan itu sendiri. Bentuk-

bentuk tindak kekerasan tidak saja secara fisik, namun juga dapat berupa non-fisik

seperti pelecehan, penghinaan, makian dan penghardikan. Bentuk tindak kekerasan

lainnya adalah :

1) perdagangan perempuan dan anak yang merupakan bentuk eksploitasi

perempuan dalam aspek ekonomi:

Perempuan dan anak dijadikan pengemis

Pembantu rumah tangga

Maupun pekerja tanpa upah

2) Sementara eksploitasi perempuan dan anak dalam aspek komersial:

Perempuan dan anak yang dilacurkan

Menjadi bintang film porno/foto porno

mailordered-bride (dikawinkan dengan orang yang tidak kenal dari luar

negeri).

3) Bentuk-bentuk eksploitasi perempuan dan anak dalam aktivitas ekonomi yang

marak akhir-akhir ini adalah:

Perempuan sebagai penjual obat NAPZA

Diperdagangkan (trafficking)

Penjualan organ tubuh (bagi anak).

13

Page 14: 4. BAB I

Kekerasan terhadap perempuan juga merupakan masalah serius dalam

perempuan juga bidang kesehatan karena bidang kesehatan karena melemahkan energi

perempuan, mengikis kesehatan fisik dan harga diri perempuan. Di samping

menyebabkan luka-luka, kekerasan juga memperbesar risiko jangka panjang, cacat fisik,

penyalahgunaan obat dan alkohol serta depresi. Perempuan dengan riwayat

penganiayaan fisik dan seksual juga meningkat risikonya untuk mengalami kehamilan

yang tidak diinginkan, penyakit menular seksual dan hasil kehamilan yang kurang baik.

Rendahnya kualitas hidup perempuan di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi

dapat mengakibatkan rentannya perempuan terhadap tindak kekerasan.

2.3 Prioritas Masalah Kesehatan

Dalam pelaksanaan kegiatan organisasi kita tidak terlepas dari pentingnya sebuah

perencanaan. Salah satu aspek perncanaan sebagai langkah yang pertama adalah

menentukan prioritas masalah (problem priority). Kita sering sudah dapat menjaring

beberapa data yang merupakan temuan permasalahan yang dihadapi di lapangan, tetapi

kita terbentur pada masalah keterbatasan ketersediaan sumber daya, keterbatasan, biaya,

dan keterbatasan waktu. Sehingga kita perlu berpikir menentukan masalah mana yang

akan kita selesaiakan terlebih dahulu.

Dalam menentukan prioritas masalah, terdapat beberapa pertanyaan petunjuk

(guidance question) yang dapat digunakan, yaitu :

1. Apa prioritas utama berdasarkan pemikiran dan kebutuhan yang diidentifikasi

selama analisa situasi ?

2. Apa yang diketahui mengenai prioritas-prioritas tersebut ?

3. Apakah sumber daya tersedia dan dapat diakses untuk menjalankan prioritas

tersebut?

4. Apakah ada orang, kelompok, atau organisasi lain yang lebih mampu

melaksanakan prioritas tersebut?

5. Siapa yang sudah atau sedang terlibat dalam pekerjaan berkaitan dengan

prioritas tersebut ?

6. Siapa partner yang potensial ?

14

Page 15: 4. BAB I

Tahapan penentuan prioritas masalah dapat dilakukan sebagai berikut :

a. Tim harus menetapkan beberapa masalah yang ada berdasarkan analisis situasi,

baik dengan mengkaji data yang ada pada laporan, catatan, maupun melalui

hasil survei langsung. Jumlah masalah yang ditetapkan harus disesuaikan

dengan kemampuan yang dimiliki oleh staf.

b. Selanjutnya, tim menentukan kriteria untuk menyaring masalah yang telah

diidentifikasi. Perlu diingat bahwa kriteria tidak saling terkait dan harus

berbeda secara jelas. Tim dapat menetapkan minimal 3 kriteria dan maksimal 5

kriteria.

c. Tim kemudian menentukan kepentingan relatif (pembobotan) masing-

masing)kriteria yang terpilih. Perbandingan antarkriteria dilakukan secara

vertikal. Kriteria yang paling penting diberi bobot paling tinggi, misalnya 5

(jika skala yang dipakai 1 sampai 5) dan kriteria yang kurang penting diberi

bobot rendah sesuai kepentingan relatifnya :

1= tidak penting

2= kurang penting

4= penting

5= sangat penting

Perlu diingat bahwa hanya ada satu kriteria yang mendapat bobot paling tinggi.

Pada dasarnya pemberian bobot dapat dilakukan berdasarkan konsensus

anggota tim.

d. Tahap berikutnya adalah menentukan skor masing-masing alternatif masalah

terhadap masing-masing kriteria yang sudah ditentukan. Skot ditentukan

berdasarkan perbandingan antara alternatif masalah secara horizontalterhadap

masing-masing kriteria. Skor dapat diberikan 1 sampai 10. Selain konsensus,

penetapan skor dapat dilakukan dengan menghitung rata-rata skor yang

diberikan oleh setiap anggota tim.

e. Skor tersebut selanjutnya dikalikan dengan bobot dan hasilnya dijumlahkan

sehingga diperoleh skor total untuk masing-masing alternatif. Perbedaan jumlah

akhir antar alternatif baru dianggap bermakna jika lebih besar dari 5%.1

15

Page 16: 4. BAB I

2.4 Teknik menentukan prioritas masalah

Teknik skoring digunakan apabila sumber data yang kita miliki bersifat

kuantitatif (berbentuk angka absolute, presentase, rata-rata). Pada cara ini pemilihan

prioritas dilakukan dengan memberikan score (nilai) untuk berbagai parameter tertentu

yang telah ditetapkan. Parameter yang dimaksud adalah :

Prevalensi penyakit (prevalence) atau besarnya masalah

Kenaikan atau meningkatnya prevalensi (rate of increase)

Keinginan masyarakat untuk menyelesaikan masalah tersebut (degree of

unmeet need)\

Keuntungan sosial yang diperoleh bila masalah tersebut diatasi (social

benefit)

Teknologi yang tersedia dalam mengatasi masalah (technical feasibility)

Sumber daya yang tersedia yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah

(resources avaibility).

Dalam teknik ini ada beberapa metode yang dapat digunakan yaitu :

a. Metode USG (Urgency, Seriousness, and Growth)

Metode USG merupakan salah satu cara menetapkan urutan prioritas masalah

dengan teknik scoring. Proses untuk metode USG dilaksanakan dengan memperhatikan

urgensi dari masalah, keseriusan masalah yang dihadapi, serta kemungkinan

berkembangnya masalah tersebut semakin besar. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai

berikut :

Urgensi

Adalah tingkat kegawatan sebuah masalah, artinya apabila masalah tidak

segera ditanggulangi akan semakin gawat. Urgensi dilihat dari tersedianya

waktu, mendesak atau tidak masalah tersebut diselesaikan. Contoh : Kasus

perdarahan lebih gawat jika dibandingkan dengan patah tulang.

Seriousness

Adalah tingkat keseriusan sebuah masalah, yakni dengan melihat dampak

masalah tersebut terhadap produktifitas kerja, pengaruh terhadap

keberhasilan, membahayakan system atau tidak. Apabila masalah tidak

16

Page 17: 4. BAB I

diselesaikan dengan cepat akan berakibat serius pada masalah lainnya.

Contoh : Kekurangan kalori protein pada balita jauh lebih serius jika

dibandingkan dengan kasus kekurangan zat yodium pada wanita dewasa.

Growth

Adalah besar atau luasnya masalah berdasarkan pertumbuhan atau

perkembangan, yakni apakah masalah tersebut berkembang sedemikian rupa

sehingga sulit untuk dicegah. Artinya apabila masalah tersebut tidak segera

diatasi pertumbuhannya akan berjalan terus. Contoh: kasus malaria

pertumbuhannya jauh lebih cepat dibandingkan dengan masalah kekurangan

gizi.

Penggunaan metode USG dalam penentuan prioritas masalah dilaksanakan

apabila pihak perencana telah siap mengatasi masalah yang ada, serta hal yang sangat

dipentingkan adalah aspek yang ada dimasyarakat dan aspek dari masalah itu sendiri.

Langkah-langkah cara menentukan prioritas masalah dengan metode USG :

1. Persiapan

a. Persiapan gugus tugas

Pembagian pekerjaan atau gugus tugas perlu dilaksanakan sebelum

pertemuan dimulai, dimana ditentukan siapa yang akan menjadi

pimpinan proses USG, siapa yang melakukan tugas sebagai notulis dan

orang yang menulis di flipchart, siapa yang melakukan scoring dan

menghitung hasilnya untuk menetukan ranking, serta siapa yang

membacakan hasilnya.

Susunan petugas untuk metode teknik scoring dengan metode USG,

yakni sebagai berikut :

- Pimpinan USG

- Petugas pencatat flipchart

- Petugas scoring dan rangking

- Personil yang bertugas sebagai notulis.

b. Persiapan ruang pertemuan

17

Page 18: 4. BAB I

Ruang pertemuan yang kan digunakan sebaiknya mengunakan ruangan

yang cukup luas dan nyaman. Meja dan tempat duduk diatur setengah

lingkaran atau seperti huruf U yang terbuka ujungnya atau meja bundar

(round table), dimana pada ujung meja yang terbuka ditempatkan

flipchart atau papan tulis atau white board.

c. Persiapan peralatan/ sarana

Sarana atau peralatan yang diperlukan dalam proses kegiatan ini adalah :

- Daftar hadir

- Kertas flipchart, papan tuis atau whiteboard lengkap dengan alat

tulisnya

- Alat tulis di masing-masing meja

- Kalkulator

d. Peserta

Sebelum melakukan pemilihan atau seleksi untuk peserta, beberapa hal

yang perlu dijelaskan oleh pimpinan atau yang akan memimpin

pelaksanaan metode USG yaitu :

- Peserta yang akan bergabung dalam kelompok USG, karena

kemampuan mereka untuk melakukan analisis dan mempunyai

kemampuan untuk menyelesaikan masalah.

- Menekankan pentingnya tugas kelompok

- Memberikan petunjuk kegunaan hasil pertemuan

- Memberikan sambutan yang bersifat hangat dan ramah, selanjutnya

tentukan siapa yang akan diundang atau dilibatkan dalam pertemuan

untuk melakukan proses metode USG

- Jumlah peserta berkisar antara 7-10 peserta

e. Data yang dibutuhkan

Data atau informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan metode USG

yakni sebagai berikut :

- Hasil analisa situasi

- Informasi tentang sumber daya yang dimiliki

18

Page 19: 4. BAB I

- Dokumen-dokumen tentang perundang-undangan, peraturan, serta

kebijakan pemerintah yang berlaku

2. Proses dinamika kelompok

Sebelum memasuki proses atau langkah inti pada pelaksanaan metode USG,

pimpinan kelompok metode USG memberikan sambutan dalam bentuk kata

pengantar yang berisi :

- Ucapan selamat datang pada pserta USG

- Penjelasan tentang teknik scoring, proses terutama menyangkut

jalannya proses, dengan menekankan pentingnya untuk menciptakan

suasana kerjasama, saling pengertian dan kesatuan pandangan dari

setiap peserta dalam melaksanakan setiap tahapan proses.

- Tujuan pertemuan diadakan, yakni berorientasi pada masalah dan

pemecahan masalah.

3. Langkah inti pelaksanaan USG

a. Penyusunan daftar masalah

- Setiap peserta pertemuan diminta mengemukakan masalah bagian

yang diwakili

- Pimpinan USG menginstruksikan kepada petugas pencatat untuk

mencatat setiap masalah yang dikemukakan dilembar flipchart atau

papan tulis atau white board.

19

Page 20: 4. BAB I

LEMBAR FLIPCHARTMisal :Nama Anggota Unit/ bagian Masalah yang dikemukakanAhmad Bina Program prilaku PHBS masyarakat rendah (A)Roni Umum mutu pelayanan BP rendah (B)Robi upakes perhatian keluarga pada bumil rendah (C)Sinta KIA-KB .......... (D)Rita IGD ........... (E)

b. Klarifikasi masalah

- Lakukan klarifikasi masalah yang telah diidentifikasi dalam rangka

menentukan prioritas masalah.

- Setiap anggota dimintai penjelasan (klarifikasi) maksud dari maslah

yang dikemukakan

- Setelah diklarifikasi, maka tulis masalah hasil dari klarifikasi tersebut

c. Membandingkan antar masalah

- Bandingkan masalah yang diperoleh, sebagai contoh masalah A

sampai E menurut kriteria urgensi (Urgency), keseriusan

(seriousness) dan kemungkinan berkembangnya masalah (Growth)

- Tulis frekuensi kemunculan tiap masalah setelah diperbandingkan,

frekuensi ini dianggap sebagai nilai atau skor masalah. Kemudian

jumlahkan skor yang diperoleh tiap masalah berdasarkan kriteria

Urgency, Seriousness dan Growth.

LEMBAR FLIPCHARTDiperoleh hasil perbandingan sebagai berikut :

20

Page 21: 4. BAB I

Aspek urgency Aspek seriousness Aspek growthA = 3B = 3C = 0D = 1E = 3

A = 3B = 3C = 0D = 1E = 3

A = 3B = 3C = 0D = 1E = 2

Hasil Skoring

Masalah Urgency Seriousness Growth TotalABCDE

33013

33013

33012

99038

Misal

Aspek urgency Aspek seriousness Aspek GrowthA/B = BA/C = AA/D = AA/E = AB/C = BB/D = BB/E = EC/D = DC/E = ED/E = E

A/B = BA/C = AA/D = AA/E = AB/C = BB/D = BB/E = EC/D = DC/E = ED/E = E

A/B = BA/C = AA/D = AA/E = AB/C = BB/D = BB/E = BC/D = DC/E = ED/E = E

d. Penyusunan prioritas masalah

Menyusun prioritas masalah berdasarkan hasil langkah 3. Misalnya dari

hasil langkah 3 pada contoh, maka dapat disusun prioritas masalah

dengan urutan sebagai berikut :

- Masalah A

- Masalah B

21

Page 22: 4. BAB I

- Masalah E

- Masalah D

- Masalah C

Kelebihan dan kekurangan penggunaan metode USG :

1. Kelebihan

- Merupakan pandangan orangbanyak dengan kemampuan sama

sehingga dapat di pertanggug jawabkan

- Diyakini bahwa hasil prioritas dapat memberikan hasil yang objektif

- Identifikasi dapat dilanjutkan, terutama untuk penyelesai dalam

bentuk penyelesaian dengan pengelolalaan manajemen atau tidak.

2. Kekurangan

- Dengan metode USG lebih banyak berdasar asumsi dengan suatu

keterbatasan tertentu yang melemahkan eksistensi permasalahan

- Jika asumsi yang disepakati lebih banyak dengan keterbatasan, maka

hasilnya akan bersifat lebih subjektif

b.Metode MCUA (Multi Criteria Utility Assesment)

MCUA ( Multiple Criteria Utility Assesssment) adalah suatu metode yang

digunakan untuk membantu tim pemecahan masalah dalam mengambil keputusan dari

beberapa alternatif yang ada. Dalam metode MCUA, yang dimaksud dengan kriteria

adalah suatu batasan yang digunakan untuk menyaring alternatif masalah sesuai dengan

kebutuhan. Adapun kriteria yang dimaksud dapat dibedakan atas 2 aspek yaitu kriteria

dampak (effect criteria) dan kriteria solusi (solution criteria).

Pada metode ini parameter diletakkan pada baris dan harus ada kesepakatan

mengenai kriteria dan bobot yang akan digunakan. Metode ini memakai lima kriteia

untuk penilaian masalah tetapi masing-masing kriteria diberikan bobot penilaian dan

dikalikan dengan penilaian masalah yang ada. Cara untuk menentukan bobot dari

masing-masing kriteria dengan diskusi, argumentasi dan justifikasi.

Kriteria yang dipakai terdiri dari :

- Emergency : kegawatan menimbulkan kesakitan atau kematian

22

Page 23: 4. BAB I

- Greetes member : menimpa orag banyak, insiden/ prevalensi

- Expanding scope : mempunyai ruang lingkup besar diluar kesehatan

- Feasibility : kemungkinan dapat/ tidaknya dilakukan

- Policy : kebijakan pemerintah daerah/ nasional

Beberapa contoh untuk kriteria dampak pelayanan adalah tingkat kepentingan

(urgency), tingkat kegawatan (seriousness), tingkat perkembangan (growth), serta

pengaruhnya terhadap kesehatan pasien, serta pengaruhnya terhadap kesehatan

masyarakat, sedangkan contoh untuk kriteria solusi antara lain dapat berupa kemudahan,

ketersediaan biaya, komitmen, ketersediaan waktu, dan kejelasan. Kriteria solusi

digunakan pada tahap penentuan alternatif pemecahan masalah.

Beberapa kesalahan dalam penggunaan dan interpretasi MCUA dapat berupa:

a. Pemilihan kriteria kurang tajam, oleh sebab itu kriteria yang digunakan harus

saling tidak berhubungan.

b. Pemilihan alternatif masalah kurang tepat. Seringkali pemilihan alternatif

tidak dikerjakan dengan benar dan jumlah alternatif masalah seringkali

dikembangkan hanya sekedar untuk mencukupi proses pelaksanaan MCUA.

c. Terlalu banyak menggunakan kriteria sehingga menyulitkan dan membuat

kriteria menjadi kurang tajam.

d. Ketika memberikan bobot pada kriteria, terdapat kecenderungan nilai-nilai

yang mengelompok dalam kisaran yang sempit dan biasanya angkanya tinggi.

e. Tidak menggunakan kisaran angka yang penuh.

f. Selisih angka yang kecil pada hasil perhitungan terakhir seringkali

dianggap sudah bermakna, padahal mungkin hasilnya akan lebih baik dari

sebuah perkiraan.

g. Seringkali kita lupa bahwa hasil perhitungan tidak lebih baik dari asumsi atau

perkiraan.

Tata Cara penggunaan Matriks MCUA

Matriks MCUA terdiri dari beberapa kolom dan baris. Dalam kolom pertama

terdapat kriteria, kolom kedua terdapat bobot, dan dalam kolom ketiga terdapat masalah.

23

Page 24: 4. BAB I

Banyaknya kolom masalah bergantung pada banyaknya masalah yang lolos klarifikasi

dan konfirmasi dalam langkah pertama.

Tabel 2.2.1 Matriks MCUA untuk penentuan prioritas masalah

Kriteria BobotMasalah

Masalah 1 Masalah 2 Masalah 3 Masalah 4 Masalah 5 Masalah 6

Skor SxB Skor SxB Skor SxB Skor SxB Skor SxB Skor SxB

1.

2.

3.

4.

5.

Jumlah

SxB

Keterangan: S: Skor, B: Bobot

Berikut langkah-langkah tata cara penggunaan matriks MCUA dalam penentuan

prioritas masalah :

1. Menetapkan kriteria

Tentukan kriteria yang akan digunakan. Kriteria disini adalah sesuatu hal

yang dianggap sebagai akibat atau pengaruh yang sangat signifikan dan

spesifik dari masalah terhadap pasien ataupun masyarakat sehingga kita dapat

membedakan masalah mutu tersebut. Pengaruh atau akibat terhadap pasien,

misalnya biaya yang akan dibayar, lama perawatan atau pengobatan, harus

istirahat, tidak dapat mencari nafkah, harus dirujuk, dan lain-lain. Pengaruh

kepada masyarakat, misalnya cepat menular atau tidak, menimbulkan

kerugian masyarakat, sulit atau mudah mengatasinya, apakah masalah mutu

itu merupakan prioritas lokal, regional atau nasional. Setiap kriteria yang

24

Page 25: 4. BAB I

dipilih harus mempunyai perbedaan yang spesifik dan tajam sehingga tidak

terjadi tumpang tindih. Sebaiknya cukup memilih sebanyak 3-5 kriteria saja.

2. Memberikan bobot kriteria

Lakukan pembobotan atau penentuan kepentingan relatif dari setiap kriteria

yang dipilih. Dengan kata lain, kriteria terpenting menurut kelompok jaminan

mutu layanan kesehatan, akan diberi bobot tertinggi dan yang kurang penting

diberi bobot terendah. Misalnya kisaran pembobotan 1-10, artin ya bobot yang

terendah 1 yang tertinggi 10, sedang kriteria lainnya akan mendapat bobot

yang mencerminkan kepentingan relatif dari masing-masing kriteria terhadap

kriteriaa yang tertinggi. Hanya satu kriteria yang akan diberi bobot tertinggi

dan hanya satu kriteria pula yang diberi bobot terendah. Kisaran pemberian

bobot akan bergantung pada kesepakatan dalam kelompok jaminan mutu

layanan kesehatan apakah menggunakan kisaran 1-7, kisaran 1-5, atau lain

sebagainya.

3. Membuat skor masing-masing kriteria terhadap masing-masing masalah

Kemudian setiap kriteria diberi skor terhadap masing-masing masalah untuk

mengestimasi besarnya pengaruh masalah terhadap kriteria. Apabila

pengaruhnya besar, diberi skor yang lebih tinggi, sedang apabila pengaruhnya

kurang, diberi skor yang lebih kecil, misalnya, kisaran angka pemberian skor

1-10, 1-7, 1-5, dan lain-lain.

4. Mengalikan nilai skor dengan bobot (S x bobot)

Jumlahkan hasil perkalian tersebut masing-masing masalah, kemudian

masalah dengan jumlah perkalian tertinggi akan dipilih menjadi prioritas

masalah yang akan dipecahkan.

5. Pemberian skor dan bobot tidak mencapai konsensus

Apabila rapat kelompok jaminan mutu layanan kesehatan tidak mencapai

konsensus dalam pemberian nilai skor dan bobot kriteria, maka perhitungan

skor dan bobot didapat dengan menentukan rata-rata hitung dari nilai-nilai

yang diberikan oleh masing-masing anggota kelompok. Setelah penentuan

25

Page 26: 4. BAB I

prioritas masalah ditetapkan, langkah berikutnya adalah membuat pernyataan

masalah terhadap masalah mutu yang telah ditetapkan prioritasnya.

Matriks MCUA ini juga mempunyai keterbatasan, antara lain :

1. Kesalahan penggunaan matriks MCUA dalam menentukan prioritas

- Kriteria-kriteria yang digunakan kurang atau tidak tajam sehingga saling

tumpang tindih.

- Terlalu banyak kriteria sehingga perbedaannya menjadi kurang atau tidak

tajam.

- Pemilihan alternatif yang kurang atau tidak tepat atau tidak memenuhi

kepentingan perhitungan saja.

2. Kesalahan interpretasi matriks MCUA dalam penentuan prioritas

- Menganggap perbedaan yang kecil sebagai perbedaan yang bermakna

(perbedaan harus ≥5%).

- Terlalu percaya pada metode perhitungan matematika, padahal hasil

akhirnya tidak lebih dari asumsi semata.

- Tidak menggunakan semua angka yang terdapat dalam kisaran. Saat

memberi skor pada kriteria terdapat kecenderungan pemberian skor yang

terlalu ketat pada nilai-nilai tinggi yang terlalu berdekatan (10, 9, 8)

sehingga terjadi pengelompokan nilai dengan kisaran yang sempit dan

nilainya biasanya tinggi. (Imbalo S. Pohan, 2007: 265)

26