4. bab i
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang
Dewasa ini kesehatan reproduksi mendapat perhatian khusus secara global, sejak
diangkatnya isu tersebut dalam Konferensi Internasional tentang kependudukan dan
Pembangunan (International Conference on Population and Development, ICPD), di
Kairo, Mesir, pada tahun 1994.
Hal penting dalam konferensi tersebut adalah disepakatinya perubahan
paradigma dalam pengelolaan masalah kependudukan dan pembangunan dari
pendekatan pengendalian populasi dan penurunan fertilitas menjadi pendekatan yang
terfokus pada kesehatan reproduksi serta upaya pemenuhan hak-hak reproduksi.
Dengan demikian pengendalian kependudukan telah bergeser ke arah yang lebih
luas, yang meliputi pemenuhan kebutuhan kesehatan reproduksi bagi laki-laki dan
perempuan sepanjang siklus hidup, termasuk hak-hak reproduksinya, kesetaraan dan
keadilan gender, pemberdayaan perempuan dan penanggulangan kekerasan berbasis
gender, serta tanggung jawab laki laki dalam kaitannya dengan kesehatan reproduksi.
Selain itu, hak untuk mendapatkan pelayanan kesehatan reproduksi lainnya,
seperti pelayanan antenatal, persalinan, nifas dan pelayanan bagi anak, kesehatan remaja
dan lain-lain, perlu dijamin. Indonesia sebagai salah satu negara yang berpartisipasi
dalam kesepakatan global tersebut telah menindaklanjuti dengan berbagai kegiatan.
Luasnya ruang lingkup kesehatan reproduksi menuntut penanganan secara lintas
program dan lintas sektor serta keterlibatan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),
organisasi profesi dan semua pihak yang terkait. Saratnya aspek sosial budaya dalam
kesehatan reproduksi juga menuntut perlunya adaptasi yang sesuai dengan situasi dan
kondisi di Indonesia. Rendahnya pemenuhan hak-hak reproduksi ditandai dengan masih
tingginya
Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB) dan Angka Kematian
Bawah Lima Tahun (AKBalita). Masalah lainnya adalah masalah kesehatan reproduksi
perempuan, termasuk perencanaan kehamilan dan persalinan yang aman secara medis
1
harus menjadi perhatian bersama, bukan hanya kaum perempuan saja karena mempunyai
dampak yang luas sekali dan menyangkut berbagai aspek kehidupan yang menjadi tolok
ukur dalam pelayanan kesehatan.
Selama ini berbagai sektor telah mengembangkan kebijakan dan strateginya
masing-masing. Dengan adanya Komisi Kesehatan Reproduksi sejak tahun 1998 telah
diupayakan koordinasi antar sektor, namun upaya ini belum menghasilkan penanganan
kesehatan reproduksi yang terpadu dan efisien, di samping adanya perubahan sistem
pemerintahan di Indonesia.
Sehubungan dengan hal tersebut perlu dibuat Kebijakan dan Strategi Nasional
Kesehatan Reproduksi sebagai acuan pelaksanaan bagi seluruh pihak terkait, di pusat,
provinsi dan kabupaten/kota.
1.2 Tujuan
Adapun tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah untuk :
a. Mengetahui analisa masalah kesehatan reproduksi
b. Mampu untuk memprioritaskan masalah kesehatan
c. Mengetahui kegiatan apa saja yang bisa dilakukan terhadap masalah tersebut
1.3 Manfaat
a. Sebagai bahan diskusi bagi teman-teman pada peminatan Kesehatan
Reproduksi PSIKM Universitas Andalas
b. Sebagai bahan bacaan yang dapat menambah pemahaman mengenai Analisa
masalah kesehatan reproduksi
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kesehatan Reproduksi
2.1.1 Definisi Kesehatan Reproduksi
Menurut WHO kesehatan reproduksi adalah suatu keadaan fisik, mental dan
sosial yang utuh, bukan hanya bebas dari penyakit atau kecacatan dalam segala aspek
yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya. Hal ini terkait pada
suatu keadaan dimana manusia dapat menikmati kehidupan seksualnya serta mampu
menjalankan fungsi dan proses reproduksinyasecara sehat dan aman.
Artinya, perempuan dan laki-laki keduanya menjadi perhatian kesehatan
reproduksi. Pada perempuan ditandai dengan mulainya menstruasi, atau pada laki-laki
ditandai dengan terjadinya perubahan suara yang menjadi besar dan mantap. Kesehatan
reproduksi terkait dengan siklus hidup, dimana setiap tahapannya mengandung risiko
yang terkait dengan kesakitan dan kematian. Jadi hak reproduksi merupakan hak setiap
individu/pasangan untuk mendapatkan:
Kemampuan reproduksi
Keberhasilan reproduksi
Keamanan reproduksi
Kondisi yang baik mulai dari bayi dalam kandungan akan berdampak positif
untuk meneruskan generasi berikutnya. Sehatnya seorang bayi sangat tergantung dari
status kesehatan dan gizi dari kedua orang tuanya serta akses mereka pada pelayanan
kesehatan. Pada goal kelima MDGs yaitu meningkatkan kesehatan ibu, targetnya terkait
dengan kesehatan reproduksi yaitu menurunkan 75 persen kematian ibu dalam kurun
waku 1990-2015 dan tercapainya akses secara universal.
2.1.2 Indikator Target Kesehatan Reproduksi
Indonesia, menetapkan indikator sesuai dengan MDGs sebagai berikut :
1. Menurunkan angka kematian ibu (AKI) dari 390 per 100.000 kelahiran hidup
pada tahun 1990 menjadi 102 pada tahun 2015
3
2. Meningkatkan cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan dari 40,7 persen (1990)
menjadi 100 persen (2015);
3. Seluruh perempuan pernah kawin usia 15-49 tahun menggunakan alat/cara
Keluarga Berencana/KB (universal access )
2.1.3 Landasan Hukum dan Peraturan yang mendukung
1. Undang-undang Nomor 4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
2. Undang-undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Ratifikasi
CEDAW)
3. Undang-undang Nomor 10 tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan
dan Pembangunan Keluarga Sejahtera
4. Undang-undang Nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan
5. Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia
6. Undang-undang Nomor 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan di Daerah
7. Undang-undang Nomor 25 tahun 2000 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah.
8. Undang-undang No.23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
9. Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
10. Undang-undang Nomor 23 tahun 2003 tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
11. Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2000 tentang Pelimpahan
Tugas dan Wewenang.
12. Inpres Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarus-Utamaan Gender
13. Kepmenkes Nomor 433/Menkes/SK/V/1998 tentang Pembentukan
Komisi Kesehatan Reproduksi
14. Kepmenkes No. 131/II/2004 tentang Sistem Kesehatan Nasional
4
2.2 Analisis Situasi Kesehatan Reproduksi
2.2.1 Kesehatan Ibu dan Anak
1. Angka Kematian Ibu (AKI)
Indonesia masih sangat tinggi bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN
lainnya. Pada tahun 1994 (SDKI) AKI di Indonesia adalah 390 per 100.000 kelahiran
hidup. Penurunan AKI tersebut sangat lambat, yaitu menjadi 334 per 100.000 pada tahun
1997 (SDKI) dan 307 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2002-2003), sementara pada
tahun 2010 ditargetkan menjadi 125 per 100.000 kelahiran hidup dan akhirnya menjadi
102 per 100.000 kelahiran hidup pada tahun 2015.
2.2.2 Penyebab kematian maternal dapat dikategorikan sebagai berikut :
1. Penyebab langsung
Penyebab langsung kematian ibu terjadi pada umumnya sekitar persalinan dan 90
% terjadi oleh karena komplikasi. Penyebab langsung kematian adalah :
1) Perdarahan
2) Eklamsia
3) Infeksi
4) Komplikasi puerperium
5) Abortus
6) Trauma obstetrik
7) Emboli obstetrik
8) Partus lama/macet dan lainnya.
2. Penyebab tidak langsung
Penyebab tidak langsung kematian maternal adalah rendahnya status gizi,
rendahnya status kesehatan serta adanya faktor risiko kehamilan pada ibu. SKRT 2001
menunjukkan bahwa 34% ibu hamil mengalami kurang energi kronis (KEK), sedangkan
40% menderita anemia gizi besi (AGB). SDKI 2002-2003 menunjukkan bahwa 22,4%
ibu masih dalam keadaan “4 terlalu” yaitu 4,1% kehamilan terjadi pada ibu berumur
kurang dari 18 tahun (terlalu muda), 3,8% terjadi pada ibu berumur lebih dari 34 tahun
5
(terlalu tua), 5,2% persalinan terjadi dalam interval waktu kurang dari 2 tahun (terlalu
sering) dan 9,3% ibu hamil mempunyai paritas lebih dari 3 (terlalu banyak).
Penyebab mendasar kematian maternal dipengaruhi oleh kondisi geografis,
penyebaran penduduk, kondisi sosial ekonomi, budaya, kondisi bias gender dalam
masyarakat dan keluarga dan tingkat pendidikan masyarakat pada umumnya. Rendahnya
pengetahuan, rendahnya pendapatan kepala keluarga, menyebabkan keterlambatan
dalam mawas diri. Keterlambatan sebagai berikut:
1) Terlambat mengenali tanda bahaya dan mengambil keputusan untuk segera
mencari pertolongan.
2) Terlambat mencapai fasilitas pelayanan kesehatan yang mampu memberikan
pertolongan persalinan.
3) Terlambat memperoleh pertolongan yang memadai di fasilitas
pelayanan kesehatan.
2. Angka Kematian Bayi (AKB)
Indonesia sebesar 35 per 1000 kelahiran hidup (SDKI, 2002-2003) masih di atas
negara-negara seperti Malaysia (10), Thailand (20), Vietnam(18), Brunei (8) dan
Singapura (3). Walaupun demikian AKB tersebut sudah menurun sebesar 41% selama
15 tahun ini yaitu dari 59 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1989-1992, menjadi 35
per 1000 kelahiran hidup pada tahun 1998-2002 (SDKI).
Menurut DinkesAngka Kematian Bayi (AKB) menjadi 35/1000 kelahiran hidup
pada tahun 2010 (Dinas kesehatan Provinsi Lampung, 2006 : 1). Sedangkan penyebab
kematian neonatal karena BBLR 29%, asfiksia 27%, masalah pemberian minum 10%,
tetanus 10%, gangguan hematologi 6%, infeksi 5% dan lain-lain 13% (Rachmawaty,
2006 : 1)
Sekitar 40% kematian bayi tersebut terjadi pada bulan pertama kehidupannya.
Penyebab kematian pada masa perinatal/neonatal pada umumnya berkaitan dengan
kesehatan ibu selama hamil, kesehatan janin selama di dalam kandungan dan proses
pertolongan persalinan yang diterima ibu/bayi, yaitu asfiksia, hipotermia karena
prematuritas/ BBLR,
6
trauma persalinan dan tetanus neonatorum.
Penyebab kematian neonatal di Indonesia adalah :
1. BBLR
2. Asfiksia
3. Tetanus
4. Masalah pemberian minum
5. Infeksi
6. Gangguan hematologik, dan lain-lain.
Sedangkan penyebab kematian balita adalah sebagai berikut :
1) Gangguan saluran nafas
2) Diare
3) Penyakit syaraf
4) Tifus
5) Gangguan saluran cerna, dan gangguan lainnnya.
2.2.2 Keluarga Berencana
Angka Kesuburan Total (Total Fertility Rate/TFR) menurut pada kurun waktu
1967-1970 adalah 5,6. Angka kesuburan total ini dalam waktu dua puluh lima tahun
telah turun menjadi hampir setengahnya, yaitu 2,8 pada periode 1995-1997 (SDKI,
1997). Berdasarkan SDKI 2002-2003, TFR saat ini sebesar 2,6 per perempuan.
Data SDKI ini menunjukkan penurunan tingkat fertilitas. Cakupan pelayanan KB
(Contraceptive Prevalence Rate, CPR) pada tahun 1987 adalah 48%, yang meningkat
menjadi 57% pada tahun 1997 dan 60,3% pada tahun 2002. Partisipasi pria baik dalam
ber-KB maupun dalam pemeliharaan kesehatan ibu dan anak termasuk pencegahan
kematian maternal hingga saat ini masih rendah. Indikatornya antara lain masih sangat
rendahnya kesertaan KB pria, yaitu hanya lebih kurang 4,4 %. Secara rinci angka ini
meliputi penggunaan kondom 0,9%, vasektomi 0,4%, sanggama terputus 1,5% dan
pantang berkala 1,6%(SDKI 2002-2003).
7
Dari segi pemenuhan terhadap kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan KB,
tingkat unmeet need masih cukup tinggi. Menurut hasil SDKI 1997 tercatat sebanyak
9,7%, sedangkan berdasarkan hasil pencapaian program tahun 2001 tercatat sebanyak
14,6% yang kebutuhan KB nya tidak terpenuhi. Keadaan ini menunjukkan bahwa upaya
menurunkan tingkat unmeet need memerlukan upaya yang jauh lebih besar lagi.
Harapan tahun 2001 turun menjadi 8 % dan tahun 2004 turun menjadi 6,5%. Namun,
seperti dikemukakan di atas, sekitar 65% ibu hamil mempunyai satu atau lebih keadaan
"4 terlalu" (terlalu muda, tua, sering dan banyak).
Menurut SDKI 2002-2003 keadaan “4 terlalu” didapatkan pada 22,4% dari
seluruh persalinan. Hal ini menunjukkan bahwa masih jauh lebih banyak terjadi
kehamilan walaupun angka unmet need hanya 8,6% yang juga sekaligus menunjukkan
bahwa kesadaran ber-KB pada pasangan yang paling membutuhkan pelayanan KB
(karena umur isteri terlalu muda/tua, masih mempunyai anak kurang dari 2 tahun, atau
mempunyai anak lebih dari 3) belum mantap.
Menurut perundangan yang berlaku saat ini, tindakan aborsi di luar tindakan
medis adalah illegal. Diperkirakan aborsi terkomplikasi yang menjadi penyebab
kematian ibu adalah sebesar 15%. Masih tingginya angka kejadian aborsi merupakan
refleksi banyaknya kasus kehamilan yang tidak dikehendaki. Berdasarkan hasil survei
tentang kejadian aborsi di 10 kota besar dan 6 kabupaten tahun 2000 ditemukan bahwa
alasan melakukan aborsi untuk klien di kota karena cukup jumlah anak (43,7%) disusul
karena belum siap menikah (24,3%). Sedangkan di kabupaten persentase tertinggi alasan
aborsi adalah karena masih sekolah (46,5%), disusul dengan jumlah anak yang sudah
cukup.
2.2.3 Pencegahan Infeksi Menular Seksual (HIV/AIDS)
Dari berbagai penelitian terbatas diketahui angka prevalensi ISR di Indonesia
cukup tinggi, misalnya penelitian pada 312 perempuan klien KB di Jakarta Utara (1997):
angka prevalensi ISR 24,7%, dengan infeksi klamidia yang tertinggi, yaitu 10,3%,
kemudian trikhomonas 5,4%, dan gonore 0,3%. Penelitian lain di Surabaya pada 599
8
perempuan hamil didapatkan infeksi virus herpes simpleks sebesar 9,9%, klamidia 8.2%,
trikhomonas 4,8%, gonore 0,8% dan sifilis 0,7%.
Suatu survei di 3 puskesmas di Surabaya (1999) pada 194 perempuan
pengunjung KIA/KB diperoleh proporsi tertinggi infeksi trikhomonas 6,2%, kemudian
sifilis 4,6%, dan klamidia 3,6%. Berdasarkan hasil base-line survey yang dilakukan oleh
Lembaga Demografi Universitas Indonesia (LDUI) di 4 (empat) provinsi (Jatim, Jateng,
Jabar dan Lampung) pada tahun 1999, menunjukkan bahwa:
1) hanya 42% remaja yang mengetahui tentang HIV/AIDS
2) hanya 24% remaja mengetahui tentang IMS
3) hanya 55% mengetahui tentang proses kehamilan
4) 53% remaja tidak mengetahui bahwa sekali saja berhubungan dapat
mengakibatkan kehamilan
5) 45% remaja beranggapan bahwa HIV/AIDS bisa disembuhkan
6) 42% beranggapan orang yang nampak sehat tidak mungkin mengidap
HIV/AIDS.
2.2.4 Kesehatan Reproduksi Remaja
Survei Depkes tahun 1995/1996 pada remaja 13-19 tahun di Jawa Barat dan Bali
didapatkan angka 7% dan 5% kehamilan pada remaja. Data tentang kehamilan tidak
dikehendaki (KTD) dari beberapa sumber ada!ah: 61% pada usia 15-19 tahun (N=1310,
SDKI oleh Pradono 1997), diantaranya sebesar 12,2% (N=98 orang) melakukan
pengguguran dimana 7,2% ditolong oleh dokter dan bidan, 10,2% oleh dukun dan 70,4%
tanpa pertolongan.
Berdasarkan hasil base-line survey yang dilakukan oleh LDUI di 4 (empat)
provinsi (Jatim, Jateng, Jabar dan Lampung) pada tahun 1999, menunjukkan bahwa:
1) hanya 42% remaja mengatakan HIV tidak ditularkan oleh orang yang tampak
sehat.
2) hanya 24% remaja mengetahui tentang IMS
3) hanya 55% mengetahui tentang proses kehamilan
9
4) 53% remaja tidak mengetahui bahwa sekali saja berhubungan dapat
mengakibatkan kehamilan
5) 46% remaja beranggapan bahwa HIV/AIDS bisa disembuhkan
6) 26% remaja mengatakan kondom tidak dapat mencegah HIV/AIDS
7) 57,1% remaja puteri mengidap anemia (SKRT 1995)
8) 23% remaja kekurangan energi kalori (survay Bali, Jabar, 1995)
9) 74% kebiasaan makan tidak teratur (Survai SMU Surabaya, 1998)
10) 10. 61% kehamilan yang tidak diinginkan pada remaja usia 15-19 tahun dengan
melakukan solusi 12 % dari mereka melakukan aborsi yang dilakukan di:
dilakukan sendiri 70%
dilakukan dukun 10%
tenaga medis 7%
11) Hanya 45,1% remaja mempunyai pengetahuan yang baik tentang organ
reproduksi, pubertas, menstruasi dan kebersihan diri
12) hanya 16% remaja yang mengetahui tentang masa subur
Masalah reproduksi remaja selain berdampak secara fisik, juga dapat
berpengaruh terhadap kesehatan mental dan emosi, keadaan ekonomi dan kesejahteraan
sosial dalam jangka panjang. Dampak jangka panjang tersebut tidak hanya berpengaruh
terhadap remaja itu sendiri, tetapi juga terhadap keluarga, masyarakat dan bangsa pada
akhirnya.
Permasalahan kesehatan reproduksi pada remaja dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1) Perilaku berisiko
2) kurangnya akses pelayanan kesehatan
3) kurangnya informasi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan
4) banyaknya akses pada informasi yang salah tanpa tapisan
5) masalah IMS termasuk infeksi HIV/AIDS,
6) tindak kekerasan seksual, seperti pemerkosaan, pelecehan seksual dan transaksi
seks komersial,
7) kehamilan dan persalinan usia muda yang berisiko kematian ibu dan bayi, dan
10
8) kehamilan yang tak dikehendaki, yang seringkali menjurus kepada aborsi yang
tidak aman dan komplikasinya.
9) kehamilan remaja kurang dari 20 tahun berisiko kematian ibu dan bayi 2-4 kali
lebih tinggi dibanding ibu berusia 20-35 tahun.
Penyebab mendasar dari keadaan tersebut adalah :
1) rendahnya pendidikan remaja
2) kurangnya keterampilan petugas kesehatan
3) kurangnya kesadaran semua pihak akan pentingnya penanganan kesehatan
remaja
2.2.5 Kesehatan Reproduksi Usia Lanjut
Menurut hasil Sensus Penduduk tahun 2000, jumlah perempuan yang berusia 50
tahun dan memasuki usia menopause sebanyak 15,5 juta orang sedangkan laki-laki yang
berusia di atas 55 tahun dan diperkirakan telah memasuki usia andropause adalah
sebesar 14,2 juta orang. Diperkirakan pada tahun 2002 menurut perhitungan stastistik
jumlah perempuan yang hidup dalam usia menopause adalah 30,3 juta dan jumlah laki-
laki di usia andropause akan mencapai 24,7 juta orang.
Masalah kesehatan reproduksi pada usia menopause adalah terjadi penurunan
atau hilangnya estrogen yang akan menyebabkan perempuan mengalami banyak keluhan
dan gangguan yang seringkali dapat mengganggu aktivitas sehari-hari bahkan
menurunkan kualitas hidupnya. Gangguan kesehatan yang akan timbul pada masa
menopause antara lain nyeri tulang dan sendi, nyeri waktu sanggama, meningkatnya
insiden penyakit jantung koroner, insiden keganasan, dementia tipe Alzheimer, dan
banyak lagi gangguan kesehatan lainnya sebagai akibat kurangnya perhatian terhadap
kesehaatn reproduksi yang dapat mengganggu produktivitas lanjut usia.
Pada laki-laki gangguan kesehatan yang terjadi pada masa andropause yang
berkaitan dengan penurunan fungsi hormon androgen dan testosteron adalah impotensi,
keluhan tulang dan sendi, pembesaran kelenjar ataupun kanker kelenjar prostat.
11
Keterbatasan data yang ada pada kesehatan usia lanjut bukan berarti bahwa kesehatan
reproduksi usia lanjut tidak bermasalah.
2.2.6 Gender dan Kekerasan terhadap Perempuan
Bias gender dalam keluarga dan diskriminasi terhadap perempuan masih tinggi,
sehingga perempuan belum memperoleh hak untuk mencapai derajat kesehatan tertinggi
yang mungkin dicapainya. Keadaaan ini sangat merugikan kesehatan perempuan, seperti
gangguan pertumbuhan, gangguan terhadap janin yang dikandungnya (bila sedang
hamil). Dengan adanya sifat kodrati yang khas pada perempuan yaitu hamil, melahirkan,
haid dan menyusui yang tidak dimiliki oleh kaum laki-laki, menyebabkan derajat
kesehatan reproduksi masayarakat sangat ditentukan oleh keadaan kesehatan perempuan.
Oleh karena itu perempuan merupakan kelompok rawan dalam kesehatan reproduksi
sehingga perlu mendapat perhatian khusus. Nilai-nilai sosial budaya juga
menomorduakan anak perempuan misalnya, di dalam memperoleh asupan gizi dan
kesempatan mengenyam pendidikan karena yang dinomorsatukan adalah anak laki-laki.
Perempuan seringkali terpaksa menikah pada usia muda karena tekanan ekonomi
atau orangtua yang mendorongnya untuk cepat menikah, agar terlepas dari beban
ekonomi. Kurangnya hak perempuan dalam pengambilan keputusan terutama untuk
kepentingan kesehatan dirinya misalnya dalam ber-KB, menentukan kapan akan hamil,
memilih bidan sebagai penolong persalinan atau mendapat pertolongan segera di rumah
sakit ketika diperlukan, di samping kurangnya kesempatan untuk mendapatkan
penghasilan bagi keluarga.
Anak perempuan masih belum diprioritaskan untuk sekolah, sehingga tingkat
pendidikan perempuan secara rata rata masih jauh lebih rendah daripada laki laki. Hal
ini mengakibatkan sulitnya memberikan informasi tentang kesehatan reproduksi dan
tentang kesehatan secara umum. Apabila pendidikan perempuan cukup tinggi, maka
perempuan dapat meningkatkan rasa percaya diri, wawasan dan kemampuan untuk
mengambil keputusan yang baik bagi diri dan keluarga, termasuk yang berkaitan dengan
kesehatan reproduksi.
12
Data tentang tindak kekerasan terhadap perempuan, khususnya di dalam rumah
tangga masih belum banyak diketahui, namun demikian ada indikasi hal tersebut
merupakan fenomena gunung es karena berbagai kasus tersebut cukup sering terjadi
walaupun jarang mengemuka. Data yang berasal dari Kalyanamitra periode 1997-1999
menunjukkan bahwa selama tahun 1997 telah terjadi 299 perkosaan, 46 pelecehan
seksual dan 42 kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga. Angka tersebut meningkat
cukup signifikan di tahun 1998 dan 1999 dengan jumlah kasus secara keseluruhan
adalah 673 kasus perkosaan, 96 pelecehan seksual dan 66 tindak kekerasan dalam rumah
tangga. Kekerasan tersebut dilakukan tidak saja oleh pasangan hidup, namun juga oleh
anggota keluarga lainnya, tanpa dapat dibendung oleh perempuan itu sendiri. Bentuk-
bentuk tindak kekerasan tidak saja secara fisik, namun juga dapat berupa non-fisik
seperti pelecehan, penghinaan, makian dan penghardikan. Bentuk tindak kekerasan
lainnya adalah :
1) perdagangan perempuan dan anak yang merupakan bentuk eksploitasi
perempuan dalam aspek ekonomi:
Perempuan dan anak dijadikan pengemis
Pembantu rumah tangga
Maupun pekerja tanpa upah
2) Sementara eksploitasi perempuan dan anak dalam aspek komersial:
Perempuan dan anak yang dilacurkan
Menjadi bintang film porno/foto porno
mailordered-bride (dikawinkan dengan orang yang tidak kenal dari luar
negeri).
3) Bentuk-bentuk eksploitasi perempuan dan anak dalam aktivitas ekonomi yang
marak akhir-akhir ini adalah:
Perempuan sebagai penjual obat NAPZA
Diperdagangkan (trafficking)
Penjualan organ tubuh (bagi anak).
13
Kekerasan terhadap perempuan juga merupakan masalah serius dalam
perempuan juga bidang kesehatan karena bidang kesehatan karena melemahkan energi
perempuan, mengikis kesehatan fisik dan harga diri perempuan. Di samping
menyebabkan luka-luka, kekerasan juga memperbesar risiko jangka panjang, cacat fisik,
penyalahgunaan obat dan alkohol serta depresi. Perempuan dengan riwayat
penganiayaan fisik dan seksual juga meningkat risikonya untuk mengalami kehamilan
yang tidak diinginkan, penyakit menular seksual dan hasil kehamilan yang kurang baik.
Rendahnya kualitas hidup perempuan di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi
dapat mengakibatkan rentannya perempuan terhadap tindak kekerasan.
2.3 Prioritas Masalah Kesehatan
Dalam pelaksanaan kegiatan organisasi kita tidak terlepas dari pentingnya sebuah
perencanaan. Salah satu aspek perncanaan sebagai langkah yang pertama adalah
menentukan prioritas masalah (problem priority). Kita sering sudah dapat menjaring
beberapa data yang merupakan temuan permasalahan yang dihadapi di lapangan, tetapi
kita terbentur pada masalah keterbatasan ketersediaan sumber daya, keterbatasan, biaya,
dan keterbatasan waktu. Sehingga kita perlu berpikir menentukan masalah mana yang
akan kita selesaiakan terlebih dahulu.
Dalam menentukan prioritas masalah, terdapat beberapa pertanyaan petunjuk
(guidance question) yang dapat digunakan, yaitu :
1. Apa prioritas utama berdasarkan pemikiran dan kebutuhan yang diidentifikasi
selama analisa situasi ?
2. Apa yang diketahui mengenai prioritas-prioritas tersebut ?
3. Apakah sumber daya tersedia dan dapat diakses untuk menjalankan prioritas
tersebut?
4. Apakah ada orang, kelompok, atau organisasi lain yang lebih mampu
melaksanakan prioritas tersebut?
5. Siapa yang sudah atau sedang terlibat dalam pekerjaan berkaitan dengan
prioritas tersebut ?
6. Siapa partner yang potensial ?
14
Tahapan penentuan prioritas masalah dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Tim harus menetapkan beberapa masalah yang ada berdasarkan analisis situasi,
baik dengan mengkaji data yang ada pada laporan, catatan, maupun melalui
hasil survei langsung. Jumlah masalah yang ditetapkan harus disesuaikan
dengan kemampuan yang dimiliki oleh staf.
b. Selanjutnya, tim menentukan kriteria untuk menyaring masalah yang telah
diidentifikasi. Perlu diingat bahwa kriteria tidak saling terkait dan harus
berbeda secara jelas. Tim dapat menetapkan minimal 3 kriteria dan maksimal 5
kriteria.
c. Tim kemudian menentukan kepentingan relatif (pembobotan) masing-
masing)kriteria yang terpilih. Perbandingan antarkriteria dilakukan secara
vertikal. Kriteria yang paling penting diberi bobot paling tinggi, misalnya 5
(jika skala yang dipakai 1 sampai 5) dan kriteria yang kurang penting diberi
bobot rendah sesuai kepentingan relatifnya :
1= tidak penting
2= kurang penting
4= penting
5= sangat penting
Perlu diingat bahwa hanya ada satu kriteria yang mendapat bobot paling tinggi.
Pada dasarnya pemberian bobot dapat dilakukan berdasarkan konsensus
anggota tim.
d. Tahap berikutnya adalah menentukan skor masing-masing alternatif masalah
terhadap masing-masing kriteria yang sudah ditentukan. Skot ditentukan
berdasarkan perbandingan antara alternatif masalah secara horizontalterhadap
masing-masing kriteria. Skor dapat diberikan 1 sampai 10. Selain konsensus,
penetapan skor dapat dilakukan dengan menghitung rata-rata skor yang
diberikan oleh setiap anggota tim.
e. Skor tersebut selanjutnya dikalikan dengan bobot dan hasilnya dijumlahkan
sehingga diperoleh skor total untuk masing-masing alternatif. Perbedaan jumlah
akhir antar alternatif baru dianggap bermakna jika lebih besar dari 5%.1
15
2.4 Teknik menentukan prioritas masalah
Teknik skoring digunakan apabila sumber data yang kita miliki bersifat
kuantitatif (berbentuk angka absolute, presentase, rata-rata). Pada cara ini pemilihan
prioritas dilakukan dengan memberikan score (nilai) untuk berbagai parameter tertentu
yang telah ditetapkan. Parameter yang dimaksud adalah :
Prevalensi penyakit (prevalence) atau besarnya masalah
Kenaikan atau meningkatnya prevalensi (rate of increase)
Keinginan masyarakat untuk menyelesaikan masalah tersebut (degree of
unmeet need)\
Keuntungan sosial yang diperoleh bila masalah tersebut diatasi (social
benefit)
Teknologi yang tersedia dalam mengatasi masalah (technical feasibility)
Sumber daya yang tersedia yang dapat digunakan untuk mengatasi masalah
(resources avaibility).
Dalam teknik ini ada beberapa metode yang dapat digunakan yaitu :
a. Metode USG (Urgency, Seriousness, and Growth)
Metode USG merupakan salah satu cara menetapkan urutan prioritas masalah
dengan teknik scoring. Proses untuk metode USG dilaksanakan dengan memperhatikan
urgensi dari masalah, keseriusan masalah yang dihadapi, serta kemungkinan
berkembangnya masalah tersebut semakin besar. Hal tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut :
Urgensi
Adalah tingkat kegawatan sebuah masalah, artinya apabila masalah tidak
segera ditanggulangi akan semakin gawat. Urgensi dilihat dari tersedianya
waktu, mendesak atau tidak masalah tersebut diselesaikan. Contoh : Kasus
perdarahan lebih gawat jika dibandingkan dengan patah tulang.
Seriousness
Adalah tingkat keseriusan sebuah masalah, yakni dengan melihat dampak
masalah tersebut terhadap produktifitas kerja, pengaruh terhadap
keberhasilan, membahayakan system atau tidak. Apabila masalah tidak
16
diselesaikan dengan cepat akan berakibat serius pada masalah lainnya.
Contoh : Kekurangan kalori protein pada balita jauh lebih serius jika
dibandingkan dengan kasus kekurangan zat yodium pada wanita dewasa.
Growth
Adalah besar atau luasnya masalah berdasarkan pertumbuhan atau
perkembangan, yakni apakah masalah tersebut berkembang sedemikian rupa
sehingga sulit untuk dicegah. Artinya apabila masalah tersebut tidak segera
diatasi pertumbuhannya akan berjalan terus. Contoh: kasus malaria
pertumbuhannya jauh lebih cepat dibandingkan dengan masalah kekurangan
gizi.
Penggunaan metode USG dalam penentuan prioritas masalah dilaksanakan
apabila pihak perencana telah siap mengatasi masalah yang ada, serta hal yang sangat
dipentingkan adalah aspek yang ada dimasyarakat dan aspek dari masalah itu sendiri.
Langkah-langkah cara menentukan prioritas masalah dengan metode USG :
1. Persiapan
a. Persiapan gugus tugas
Pembagian pekerjaan atau gugus tugas perlu dilaksanakan sebelum
pertemuan dimulai, dimana ditentukan siapa yang akan menjadi
pimpinan proses USG, siapa yang melakukan tugas sebagai notulis dan
orang yang menulis di flipchart, siapa yang melakukan scoring dan
menghitung hasilnya untuk menetukan ranking, serta siapa yang
membacakan hasilnya.
Susunan petugas untuk metode teknik scoring dengan metode USG,
yakni sebagai berikut :
- Pimpinan USG
- Petugas pencatat flipchart
- Petugas scoring dan rangking
- Personil yang bertugas sebagai notulis.
b. Persiapan ruang pertemuan
17
Ruang pertemuan yang kan digunakan sebaiknya mengunakan ruangan
yang cukup luas dan nyaman. Meja dan tempat duduk diatur setengah
lingkaran atau seperti huruf U yang terbuka ujungnya atau meja bundar
(round table), dimana pada ujung meja yang terbuka ditempatkan
flipchart atau papan tulis atau white board.
c. Persiapan peralatan/ sarana
Sarana atau peralatan yang diperlukan dalam proses kegiatan ini adalah :
- Daftar hadir
- Kertas flipchart, papan tuis atau whiteboard lengkap dengan alat
tulisnya
- Alat tulis di masing-masing meja
- Kalkulator
d. Peserta
Sebelum melakukan pemilihan atau seleksi untuk peserta, beberapa hal
yang perlu dijelaskan oleh pimpinan atau yang akan memimpin
pelaksanaan metode USG yaitu :
- Peserta yang akan bergabung dalam kelompok USG, karena
kemampuan mereka untuk melakukan analisis dan mempunyai
kemampuan untuk menyelesaikan masalah.
- Menekankan pentingnya tugas kelompok
- Memberikan petunjuk kegunaan hasil pertemuan
- Memberikan sambutan yang bersifat hangat dan ramah, selanjutnya
tentukan siapa yang akan diundang atau dilibatkan dalam pertemuan
untuk melakukan proses metode USG
- Jumlah peserta berkisar antara 7-10 peserta
e. Data yang dibutuhkan
Data atau informasi yang dibutuhkan dalam pelaksanaan metode USG
yakni sebagai berikut :
- Hasil analisa situasi
- Informasi tentang sumber daya yang dimiliki
18
- Dokumen-dokumen tentang perundang-undangan, peraturan, serta
kebijakan pemerintah yang berlaku
2. Proses dinamika kelompok
Sebelum memasuki proses atau langkah inti pada pelaksanaan metode USG,
pimpinan kelompok metode USG memberikan sambutan dalam bentuk kata
pengantar yang berisi :
- Ucapan selamat datang pada pserta USG
- Penjelasan tentang teknik scoring, proses terutama menyangkut
jalannya proses, dengan menekankan pentingnya untuk menciptakan
suasana kerjasama, saling pengertian dan kesatuan pandangan dari
setiap peserta dalam melaksanakan setiap tahapan proses.
- Tujuan pertemuan diadakan, yakni berorientasi pada masalah dan
pemecahan masalah.
3. Langkah inti pelaksanaan USG
a. Penyusunan daftar masalah
- Setiap peserta pertemuan diminta mengemukakan masalah bagian
yang diwakili
- Pimpinan USG menginstruksikan kepada petugas pencatat untuk
mencatat setiap masalah yang dikemukakan dilembar flipchart atau
papan tulis atau white board.
19
LEMBAR FLIPCHARTMisal :Nama Anggota Unit/ bagian Masalah yang dikemukakanAhmad Bina Program prilaku PHBS masyarakat rendah (A)Roni Umum mutu pelayanan BP rendah (B)Robi upakes perhatian keluarga pada bumil rendah (C)Sinta KIA-KB .......... (D)Rita IGD ........... (E)
b. Klarifikasi masalah
- Lakukan klarifikasi masalah yang telah diidentifikasi dalam rangka
menentukan prioritas masalah.
- Setiap anggota dimintai penjelasan (klarifikasi) maksud dari maslah
yang dikemukakan
- Setelah diklarifikasi, maka tulis masalah hasil dari klarifikasi tersebut
c. Membandingkan antar masalah
- Bandingkan masalah yang diperoleh, sebagai contoh masalah A
sampai E menurut kriteria urgensi (Urgency), keseriusan
(seriousness) dan kemungkinan berkembangnya masalah (Growth)
- Tulis frekuensi kemunculan tiap masalah setelah diperbandingkan,
frekuensi ini dianggap sebagai nilai atau skor masalah. Kemudian
jumlahkan skor yang diperoleh tiap masalah berdasarkan kriteria
Urgency, Seriousness dan Growth.
LEMBAR FLIPCHARTDiperoleh hasil perbandingan sebagai berikut :
20
Aspek urgency Aspek seriousness Aspek growthA = 3B = 3C = 0D = 1E = 3
A = 3B = 3C = 0D = 1E = 3
A = 3B = 3C = 0D = 1E = 2
Hasil Skoring
Masalah Urgency Seriousness Growth TotalABCDE
33013
33013
33012
99038
Misal
Aspek urgency Aspek seriousness Aspek GrowthA/B = BA/C = AA/D = AA/E = AB/C = BB/D = BB/E = EC/D = DC/E = ED/E = E
A/B = BA/C = AA/D = AA/E = AB/C = BB/D = BB/E = EC/D = DC/E = ED/E = E
A/B = BA/C = AA/D = AA/E = AB/C = BB/D = BB/E = BC/D = DC/E = ED/E = E
d. Penyusunan prioritas masalah
Menyusun prioritas masalah berdasarkan hasil langkah 3. Misalnya dari
hasil langkah 3 pada contoh, maka dapat disusun prioritas masalah
dengan urutan sebagai berikut :
- Masalah A
- Masalah B
21
- Masalah E
- Masalah D
- Masalah C
Kelebihan dan kekurangan penggunaan metode USG :
1. Kelebihan
- Merupakan pandangan orangbanyak dengan kemampuan sama
sehingga dapat di pertanggug jawabkan
- Diyakini bahwa hasil prioritas dapat memberikan hasil yang objektif
- Identifikasi dapat dilanjutkan, terutama untuk penyelesai dalam
bentuk penyelesaian dengan pengelolalaan manajemen atau tidak.
2. Kekurangan
- Dengan metode USG lebih banyak berdasar asumsi dengan suatu
keterbatasan tertentu yang melemahkan eksistensi permasalahan
- Jika asumsi yang disepakati lebih banyak dengan keterbatasan, maka
hasilnya akan bersifat lebih subjektif
b.Metode MCUA (Multi Criteria Utility Assesment)
MCUA ( Multiple Criteria Utility Assesssment) adalah suatu metode yang
digunakan untuk membantu tim pemecahan masalah dalam mengambil keputusan dari
beberapa alternatif yang ada. Dalam metode MCUA, yang dimaksud dengan kriteria
adalah suatu batasan yang digunakan untuk menyaring alternatif masalah sesuai dengan
kebutuhan. Adapun kriteria yang dimaksud dapat dibedakan atas 2 aspek yaitu kriteria
dampak (effect criteria) dan kriteria solusi (solution criteria).
Pada metode ini parameter diletakkan pada baris dan harus ada kesepakatan
mengenai kriteria dan bobot yang akan digunakan. Metode ini memakai lima kriteia
untuk penilaian masalah tetapi masing-masing kriteria diberikan bobot penilaian dan
dikalikan dengan penilaian masalah yang ada. Cara untuk menentukan bobot dari
masing-masing kriteria dengan diskusi, argumentasi dan justifikasi.
Kriteria yang dipakai terdiri dari :
- Emergency : kegawatan menimbulkan kesakitan atau kematian
22
- Greetes member : menimpa orag banyak, insiden/ prevalensi
- Expanding scope : mempunyai ruang lingkup besar diluar kesehatan
- Feasibility : kemungkinan dapat/ tidaknya dilakukan
- Policy : kebijakan pemerintah daerah/ nasional
Beberapa contoh untuk kriteria dampak pelayanan adalah tingkat kepentingan
(urgency), tingkat kegawatan (seriousness), tingkat perkembangan (growth), serta
pengaruhnya terhadap kesehatan pasien, serta pengaruhnya terhadap kesehatan
masyarakat, sedangkan contoh untuk kriteria solusi antara lain dapat berupa kemudahan,
ketersediaan biaya, komitmen, ketersediaan waktu, dan kejelasan. Kriteria solusi
digunakan pada tahap penentuan alternatif pemecahan masalah.
Beberapa kesalahan dalam penggunaan dan interpretasi MCUA dapat berupa:
a. Pemilihan kriteria kurang tajam, oleh sebab itu kriteria yang digunakan harus
saling tidak berhubungan.
b. Pemilihan alternatif masalah kurang tepat. Seringkali pemilihan alternatif
tidak dikerjakan dengan benar dan jumlah alternatif masalah seringkali
dikembangkan hanya sekedar untuk mencukupi proses pelaksanaan MCUA.
c. Terlalu banyak menggunakan kriteria sehingga menyulitkan dan membuat
kriteria menjadi kurang tajam.
d. Ketika memberikan bobot pada kriteria, terdapat kecenderungan nilai-nilai
yang mengelompok dalam kisaran yang sempit dan biasanya angkanya tinggi.
e. Tidak menggunakan kisaran angka yang penuh.
f. Selisih angka yang kecil pada hasil perhitungan terakhir seringkali
dianggap sudah bermakna, padahal mungkin hasilnya akan lebih baik dari
sebuah perkiraan.
g. Seringkali kita lupa bahwa hasil perhitungan tidak lebih baik dari asumsi atau
perkiraan.
Tata Cara penggunaan Matriks MCUA
Matriks MCUA terdiri dari beberapa kolom dan baris. Dalam kolom pertama
terdapat kriteria, kolom kedua terdapat bobot, dan dalam kolom ketiga terdapat masalah.
23
Banyaknya kolom masalah bergantung pada banyaknya masalah yang lolos klarifikasi
dan konfirmasi dalam langkah pertama.
Tabel 2.2.1 Matriks MCUA untuk penentuan prioritas masalah
Kriteria BobotMasalah
Masalah 1 Masalah 2 Masalah 3 Masalah 4 Masalah 5 Masalah 6
Skor SxB Skor SxB Skor SxB Skor SxB Skor SxB Skor SxB
1.
2.
3.
4.
5.
Jumlah
SxB
Keterangan: S: Skor, B: Bobot
Berikut langkah-langkah tata cara penggunaan matriks MCUA dalam penentuan
prioritas masalah :
1. Menetapkan kriteria
Tentukan kriteria yang akan digunakan. Kriteria disini adalah sesuatu hal
yang dianggap sebagai akibat atau pengaruh yang sangat signifikan dan
spesifik dari masalah terhadap pasien ataupun masyarakat sehingga kita dapat
membedakan masalah mutu tersebut. Pengaruh atau akibat terhadap pasien,
misalnya biaya yang akan dibayar, lama perawatan atau pengobatan, harus
istirahat, tidak dapat mencari nafkah, harus dirujuk, dan lain-lain. Pengaruh
kepada masyarakat, misalnya cepat menular atau tidak, menimbulkan
kerugian masyarakat, sulit atau mudah mengatasinya, apakah masalah mutu
itu merupakan prioritas lokal, regional atau nasional. Setiap kriteria yang
24
dipilih harus mempunyai perbedaan yang spesifik dan tajam sehingga tidak
terjadi tumpang tindih. Sebaiknya cukup memilih sebanyak 3-5 kriteria saja.
2. Memberikan bobot kriteria
Lakukan pembobotan atau penentuan kepentingan relatif dari setiap kriteria
yang dipilih. Dengan kata lain, kriteria terpenting menurut kelompok jaminan
mutu layanan kesehatan, akan diberi bobot tertinggi dan yang kurang penting
diberi bobot terendah. Misalnya kisaran pembobotan 1-10, artin ya bobot yang
terendah 1 yang tertinggi 10, sedang kriteria lainnya akan mendapat bobot
yang mencerminkan kepentingan relatif dari masing-masing kriteria terhadap
kriteriaa yang tertinggi. Hanya satu kriteria yang akan diberi bobot tertinggi
dan hanya satu kriteria pula yang diberi bobot terendah. Kisaran pemberian
bobot akan bergantung pada kesepakatan dalam kelompok jaminan mutu
layanan kesehatan apakah menggunakan kisaran 1-7, kisaran 1-5, atau lain
sebagainya.
3. Membuat skor masing-masing kriteria terhadap masing-masing masalah
Kemudian setiap kriteria diberi skor terhadap masing-masing masalah untuk
mengestimasi besarnya pengaruh masalah terhadap kriteria. Apabila
pengaruhnya besar, diberi skor yang lebih tinggi, sedang apabila pengaruhnya
kurang, diberi skor yang lebih kecil, misalnya, kisaran angka pemberian skor
1-10, 1-7, 1-5, dan lain-lain.
4. Mengalikan nilai skor dengan bobot (S x bobot)
Jumlahkan hasil perkalian tersebut masing-masing masalah, kemudian
masalah dengan jumlah perkalian tertinggi akan dipilih menjadi prioritas
masalah yang akan dipecahkan.
5. Pemberian skor dan bobot tidak mencapai konsensus
Apabila rapat kelompok jaminan mutu layanan kesehatan tidak mencapai
konsensus dalam pemberian nilai skor dan bobot kriteria, maka perhitungan
skor dan bobot didapat dengan menentukan rata-rata hitung dari nilai-nilai
yang diberikan oleh masing-masing anggota kelompok. Setelah penentuan
25
prioritas masalah ditetapkan, langkah berikutnya adalah membuat pernyataan
masalah terhadap masalah mutu yang telah ditetapkan prioritasnya.
Matriks MCUA ini juga mempunyai keterbatasan, antara lain :
1. Kesalahan penggunaan matriks MCUA dalam menentukan prioritas
- Kriteria-kriteria yang digunakan kurang atau tidak tajam sehingga saling
tumpang tindih.
- Terlalu banyak kriteria sehingga perbedaannya menjadi kurang atau tidak
tajam.
- Pemilihan alternatif yang kurang atau tidak tepat atau tidak memenuhi
kepentingan perhitungan saja.
2. Kesalahan interpretasi matriks MCUA dalam penentuan prioritas
- Menganggap perbedaan yang kecil sebagai perbedaan yang bermakna
(perbedaan harus ≥5%).
- Terlalu percaya pada metode perhitungan matematika, padahal hasil
akhirnya tidak lebih dari asumsi semata.
- Tidak menggunakan semua angka yang terdapat dalam kisaran. Saat
memberi skor pada kriteria terdapat kecenderungan pemberian skor yang
terlalu ketat pada nilai-nilai tinggi yang terlalu berdekatan (10, 9, 8)
sehingga terjadi pengelompokan nilai dengan kisaran yang sempit dan
nilainya biasanya tinggi. (Imbalo S. Pohan, 2007: 265)
26