"alokasi dana desa: memandirikan desa atau lahan basah korupsi"

11
ALOKASI DANA DESA : MEMANDIRIKAN DESA ATAU LAHAN BASAH KORUPSI ? Oleh : Muhammad Nur Ramadhan Pandu Dewanata A. Pendahuluan Latar Belakang Desa merupakan cikal bakal keberadaan satuan teritorial, dimulai dari satuan pemerintahan yang terbawah, yang pada akhirnya membentuk negara. Di Indonesia terdapat sekitar 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) desa di seluruh Indonesia, 1 desa-desa ini dapat dibedakan menjadi desa biasa dan desa adat. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. 2 Dalam penjelasan umumUU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa memiliki konstruksi penggabungan fungsi self-governing community dengan local self government. 3 Secara sederhana dapat diartikan bahwa desa memiliki otonomi dalam menjalankan kewenangannya. Sejarah perjalanan tata pemerintahan desa selama ini berubah-ubah seiring dengan dinamika kondisi dan situasi politik nasional. 4 Perubahan itu menyesuaikan dengan politik hukum nasional yang dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan. Implikasi berubah-ubahnya politik hukum pemerintahan desa adalah kehancuran kehidupan politik, hukum, ekonomi, dan sosial budaya di desa. 5 Apabila ditinjau secara historis, UUD 1945 sebelum amandemen telah memberikan landasan konstitusional bagi pemerintahan desa, penjelasan Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan bahwa desa merupakan volksgemeenschappen 1 Data ini dipakai dalam Penjelasan Umum UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 2 Lihat Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 3 Lihat Penjelasan tentang UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 4 H.A.W. Widjaja, Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat, dan Utuh, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008, hlm. 7. 5 Didik Sukriono, Politik Hukum Pemerintahan Desa Dalam Perspektif Filosofis, Yuridis, dan Sosiologis, Majalah Ilmu Hukum Kerta Wicaksana, Vol. 17, No. 2, 2011, hlm. 3.

Upload: alsa-indonesia

Post on 26-Jul-2016

222 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: "Alokasi Dana Desa: Memandirikan Desa atau Lahan Basah Korupsi"

ALOKASI DANA DESA : MEMANDIRIKAN DESA ATAU LAHAN

BASAH KORUPSI ?

Oleh :

Muhammad Nur Ramadhan

Pandu Dewanata

A. Pendahuluan

Latar Belakang

Desa merupakan cikal bakal keberadaan satuan teritorial, dimulai dari satuan

pemerintahan yang terbawah, yang pada akhirnya membentuk negara. Di Indonesia terdapat

sekitar 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) desa di seluruh Indonesia, 1 desa-desa ini dapat

dibedakan menjadi desa biasa dan desa adat. Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang

memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan,

kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau

hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan

Republik Indonesia.2 Dalam penjelasan umumUU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, desa

memiliki konstruksi penggabungan fungsi self-governing community dengan local self

government. 3 Secara sederhana dapat diartikan bahwa desa memiliki otonomi dalam

menjalankan kewenangannya.

Sejarah perjalanan tata pemerintahan desa selama ini berubah-ubah seiring dengan

dinamika kondisi dan situasi politik nasional.4 Perubahan itu menyesuaikan dengan politik

hukum nasional yang dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan. Implikasi

berubah-ubahnya politik hukum pemerintahan desa adalah kehancuran kehidupan politik,

hukum, ekonomi, dan sosial budaya di desa.5 Apabila ditinjau secara historis, UUD 1945

sebelum amandemen telah memberikan landasan konstitusional bagi pemerintahan desa,

penjelasan Pasal 18 UUD 1945 menyebutkan bahwa desa merupakan volksgemeenschappen

1 Data ini dipakai dalam Penjelasan Umum UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 2 Lihat Pasal 1 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 3 Lihat Penjelasan tentang UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 4 H.A.W. Widjaja, Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat, dan Utuh, Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2008, hlm. 7. 5 Didik Sukriono, Politik Hukum Pemerintahan Desa Dalam Perspektif Filosofis, Yuridis, dan Sosiologis,

Majalah Ilmu Hukum Kerta Wicaksana, Vol. 17, No. 2, 2011, hlm. 3.

Page 2: "Alokasi Dana Desa: Memandirikan Desa atau Lahan Basah Korupsi"

yang mempunyai susunan asli dan kedudukannya dihormati oleh Republik Indonesia. 6

Bahkan UU Nomor 1 Tahun 1945 tentang Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional

Daerah mengakui kewenangan otonom desa misalnya pada pemungutan pajak kendaraan dan

rooiver gooningen.7

Kedudukan desa sebagai daerah otonom pada masa Orde Lama tidak berlanjut pada

masa Orde Baru, berlakunya UU Nomor 5 Tahun 1979 tentang Desa membuat desa kurang

mendapat kebebasan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Karena dalam

undang-undang tersebut desa tidak lagi ditempatkan sebagai daerah otonom, melainkan

diposisikan sebagai unit administrasi pemerintahan yang berada pada tingkatan paling bawah.

Akibatnya bagi desa secara politik dan sosial budaya menurut Didik Sukriono adalah

hilangnya basis sosial (kepemimpinan, pranata sosial, lembaga-lembaga adat) dan hilangnya

pengetahuan dan kearifan lokal milik masyarakat desa.8 Yando Zakaria menggambarkannya

sebagai upaya Orde Baru untuk meluluhlantakkan struktur masyarakat desa yang berbasis

kearifan lokal.9

Pada tahun 2012, pemerintah dan DPR memiliki pandangan bahwa aturan mengenai

desa dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah tidak memadai. 10

Sehingga desa diatur dalam undang-undang sendiri, yakni Undang-Undang Nomor 6 Tahun

2014 yang selanjutnya disebut UU Desa. UU Desa memuat dua asas utama yang berbeda

dengan UU Desa sebelumnya, yakni asas rekoginisi dan asas subsidiaritas. Rekognisi

melahirkan pengakuan terhadap keanekaragaman kultural, sedangkan subsidiaritas terkait

dengan relasi hubungan antara negara dengan desa setelah didudukkan, dimana negara tidak

lagi mengontrol desa secara penuh tapi harus memposisikan desa itu sanggup mengelola

dirinya sendiri.11

Adanya asas rekognisi dan subsidiaritas mengakibatkan adanya pengakuan atas

kewenangan berdasarkan hak asal usul dan kewenangan skala lokal desa. Pemberian

kewenangan ini harus diikuti dengan penyerahan sumber daya kepada desa agar kewenangan

yang dimiliki dapat dilaksanakan dengan baik. Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Sutoro

Eko, bahwa asas rekognisi bukan saja mengakui dan menghormati terhadap keragaman desa,

6 Lihat penjelasan Pasal 18 UUD 1945 sebelum amandemen. Volksgemeenschappen tidak didefinisikan oleh

pembentuk undang-undang dasar, volksgemeenschappen hanya dicontohkan sebagai desa di Jawa dan Bali,

nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, dan sebagainya. 7 Muhammad Yasin, et. al, Anotasi UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, Jakarta: PATTIRO, 2015, hlm. 3. 8 Didik Sukriono, Op. Cit, hlm. 3. 9 Loc. Cit, hlm. 5. 10 Ibid, hlm. 11. 11Ibid, hlm. 43.

Page 3: "Alokasi Dana Desa: Memandirikan Desa atau Lahan Basah Korupsi"

kedudukan, kewenangan dan hak asal-usul maupun susunan pemerintahan, namun UU Desa

juga melakukan redistribusi ekonomi dalam bentuk alokasi dana dari APBN maupun

APBD.12 Untuk menjawab kebutuhan tersebut, Pasal 72 UU Desa menyebutkan bahwa desa

mendapatkan pemasukan dari alokasi dana desa dari pemerintah pusat dan juga alokasi dana

desa dari kabupaten/kota.13 Alokasi dana desa yang dianggarkan oleh pemerintah pusat dalam

APBN kemudian ditransfer melalui APBD Kabupaten/Kota untuk selanjutnya disalurkan ke

APB Desa.14 Berdasarkan Rincian Dana Desa Per Kabupaten dan Kota yang dikeluarkan oleh

Kementerian Keuangan Tahun 2015, total Penetapan Alokasi Dana Desa Tahun Anggaran

2015 mencapai 9 (sembilan) trilyun rupiah untuk seluruh kabupaten dan kota di Indonesia.

Namun sejalan dengan visi pemerintah untuk membangun Indonesia dari pinggiran dalam

kerangka NKRI sehingga anggaran tersebut ditambah menjadi Rp. 20.766,2 miliar.

Sedangkan alokasi dana desa yang dianggarkan oleh pemerintah kabupaten/kotadalam APBD

didapatdari dana perimbangan pusat-daerah. Pada Pasal 72 ayat (4) UU Desa, pemerintah

kabupaten/kota wajib menganggarkan paling sedikit 10% (sepuluh persen) dari dana

perimbangan yang diterima untuk alokasi dana desa dalam APBD kabupaten/kota.15

Secara umum alokasi dana desa memang memberikan manfaat yang sangat besar bagi

desa, yakni mendorong kemandirian desa dan mengurangi kesenjangan keuangan antara

daerah kabupaten/kota dan desa. Namun alokasi dana desa juga dapat menimbulkan political

shock bagi pemerintah desa dalam menjalankan kewenangannya, mengingat struktur

masyarakat desa yang berbasis kearifan lokal sudah tidak dalam konditsi yang baik akibat

hubungan pusat-daerah yang sentralistik. Political shock tersebut dapat berujung pada moral

hazard bagi pemerintah desa untuk melakukan korupsi. Pada tahun 2007 APDESI (Asosiasi

Pemerintahan Desa) mencatat angka korupsi bantuan desa 16 dari APBN/APBD sebesar

7,8%. 17 Padahal pemerintahan desa pada tahun 2007 tidak terlalu diberikan mendapat

kebebasan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, karena desa diatur dalam

UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Potensi korupsi yang dilakukan

pemerintah desa pada saat ini tentu jauh lebih besar, karena pemerintahan desa dijalankan

berdasarkan asas rekognisi dan subsidiaritas yang termuat dalam UU Desa.

12 Sutoro Eko, Regulasi Baru, Desa Baru: Ide, Misi, dan Semangat UU Desa, Jakarta: Kementerian Desa, PDT,

dan Transmigrasi RI, 2015, hlm. 41. 13 Lihat Pasal 72 ayat (1) huruf b & hurufd UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 14 Lihat Pasal 6 PP Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan

Belanja Negara. 15 Lihat Pasal 72 ayat (4) UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 16 Bantuan desa berbeda dengan alokasi dana desa. Bantuan desa tidak diberikan kepada desa setiap tahun. 17 Sutoro Eko,Regulasi Baru, Desa Baru: Ide, Misi, dan Semangat UU Desa,Op. Cit, hlm. 65.

Page 4: "Alokasi Dana Desa: Memandirikan Desa atau Lahan Basah Korupsi"

Berdasarkan permasalahan di atas penulis tertarik untuk mengkaji alokasi dana desa.

Pertama, penulis akan menjelaskan terlebih dahulu mengenai politik hukum pemerintahan

desa dan alokasi dana desa dalam UU Desa. Kedua, akan dijelaskan pula mengenai

pengawasan terhadap penggunaan alokasi dana desa. Dari dua poin pembahasan tersebut

akan dapat disimpulkan apakah alokasi dana desa secara konseptual memandirikan desa atau

akan menjadi lahan basah bagi pemerintah desa.

Rumusan Masalah

Melihat latar belakang di atas, bagian pembahasan berusaha untuk menjawab rumusan

masalah sebagai berikut :

1. Apakah secara konseptual alokasi dana desa memandirikan desa atau menjadi

lahan basah korupsi ?

2. Apakah pengawasan terhadap penggunaan alokasi dana desa dapat mencegah

potensi korupsi ?

B. Pembahasan

Politik Hukum Pemerintahan Desa dan Alokasi Dana Desa

Politik hukum atau legal policy diartikan oleh Satjipto Rahardjo sebagai aktivitas

memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum

tertentu dalam masyarakat. 18 Tidak jauh berbeda dengan pendapat sebelumnya, Teuku

Mohammad Radie mendefinisikan politik hukum sebagai suatu pernyataan kehendak

penguasa negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya, dan mengenai arah

perkembangan hukum yang dibangun.19 Sehingga dapat disimpulkan bahwa politik hukum

digunakan oleh pemerintah untuk mengarahkan hukum agar mencapai tujuan negara.

Pemerintahan desa memiliki politik hukum tersendiri, karena politik hukum

pemerintahan desa merupakan cara yang dipakai oleh pemerintah untuk mencapai tujuan

tertentu. Politik hukum pemerintahan desa sendiri berubah-ubah dari waktu ke waktu

mengikuti perubahan UU Desa. Menurut Ateng Syarifudin, politik hukum pemerintahan desa

yang paling mutakhir adalah sebagai berikut :20

1. Desa atau yang disebut dengan nama lain adalah suatu keatuan masyarakat hukum

yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa,

18 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991, hlm. 352-353. 19 Mahfud MD, Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional, Disampaikan pada Seminar

Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen yang diselenggarakan oleh BPHN

Depkumham RI 29-31 Mei 2006 di Mercure Accor Hotel, Jakarta. 20 Ateng Syarifuddin, Republik Desa, Bandung: Alumni, 2010, hlm. 90-91.

Page 5: "Alokasi Dana Desa: Memandirikan Desa atau Lahan Basah Korupsi"

sebagaimana dimaksud dalam pasal 18 UUD 1945. Landasan pemikiran dalam

pengaturan mengenai pemerintahan desa adalah keanekaragaman, partisipasi,

otonomi asli, demokrasi dan pemberdayaan masyarakat;

2. Penyelenggaraan pemerintahan desa merupakan sub sistem dari sistem

penyelenggaraan pemerintahan sehingga desa memiliki kewenangan untuk

menagtur dan mengurus kepentingan masyarakatnya. Kepala desa

bertanggungjawab pada badan permusyawaratan desa dan menyampaikan laporan

pelaksanaan tugas tersebut kepada bupati/ walikota;

3. Desa dapat melakukan perbuatan hukum, baik hukum publik maupun hukum

perdata, memiliki kekayaan, harta benda, dan bangunan serta dapat dituntut dan

menuntut di muka pengadilan. Untuk itu kepala desa dengan persetujuan BPD

mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum dan mengadakan

perjanjian yang saling menguntungkan;

4. Sebagai perwujudan demokrasi, di desa dibentuk BPD atau sebutan lain yang

sesuai dengan budaya yang berkembang di desa yang bersangkutan, yang

berfungsi sebagai lembaga legislasi dan pengawasan dalam hal pelaksanaan

peraturan desa, anggran pendapatan dan belanja desa, peraturan kepala desa dan

keputusan desa;

5. Di desa dibentuk lembaga masyarakat desa lainnya sesuai dengan kebutuhan desa.

Lembaga dimaksud merupakan mitra pemerintah desa dalam rangka

pemeberdayaan masyarakat desa;

6. Desa memiliki sumber pembiayaan berupa pendapatan desa, bantuan pemerintah

dan pemerintah daerah, pendapatan lain-lain yang sah, sumbangan pihak ketiga

dan pinjaman desa;

7. Berdasarkan hak asal-usul desa yang bersangkutan, kepala desa mempunyai

wewenang untuk mendamaikan perkara / sengketa dari para warganya;

8. Dalam upaya meningkatkan dan mempercepat pelayanan kepada masyarakat yang

bercirikan perkotaan dibentuk kelurahan yang berada di dalam daerah kabupaten

atau kota.

Sedangkan Sutoro Eko menyatakan bahwa UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa memiliki

perspektif yang berbeda apabila dibandingkan dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur

desa dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagai berikut :21

21 Sutoro Eko, et. al, Desa Membangun Indonesia, Yogyakarta: FPPD, 2014, hlm. 11.

Page 6: "Alokasi Dana Desa: Memandirikan Desa atau Lahan Basah Korupsi"

Desa Lama Desa Baru

Payung hukum UU No. 32/2004 dan PP No. 72/2005 UU No. 6 Tahun 2015

Asas utama Desentralisasi-residualitas Rekognisi-subsidiaritas

Kedudukan Sebagai organ pemerintahan yang

berada dalam sistem pemerintahan

kabupaten/kota (local state

government)

Sebagai pemerintahan masyarakat,

hybrid antara self governing community

dan local self government.

Posisi dari peran

kabupaten/kota

Pemerintah kabupaten/kota

mempunyai kewenangan yang besar

dan luas dalam mengatur dan

mengurus desa.

Pemerintah kabupaten/kota mempunyai

kewenangan terbatas dan strategis

dalam mengatur dan mengurus desa;

termasuk mengatur dan mengurus

bidang urusan desa yang tidak perlu

ditangani langsung oleh pusat.

Politik tempat Lokasi: Desa sebagai lokasi proyek

dari atas

Arena: Desa sebagai arena bagi

masyarakat desa untuk

menyelenggarakan pemerintahan,

pembangunan, pemberdayaan dan

kemasyarakatan

Posisi dalam

pembangunan

Objek Subjek

Model

pembangunan

Government driven development atau

community driven development

Village driven development

Pendekatan dan

tindakan

Imposisi dan mutilasi sektoral Fasilitasi, emansipasi, dan konsolidasi

Berdasarkan pendapat dari dua orang ahli yang telah disebutkan di atas, dapat

disimpulkan bahwa alokasi dana desa merupakan perwujudan politik hukum pemerintahan

desa yang paling mutakhir, karena desa memiliki sumber pendanaan berupa alokasi dana desa

dari APBN maupun APBD. Alokasi dana desa menjadikan desa sebagai subjek pembangunan

dan meneguhkan model pembangunan Village driven development. Alokasi dana desa yang

disalurkan oleh pemerintah kabupaten/kota membuat desa leluasa untuk mengelola dana

sesuai dengan RAPB Desa. Dengan adanya alokasi dana desa, desa diharapkan berperan

dalam mewujudkan tujuan negara, yakni memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan

kehidupan bangsa.

Page 7: "Alokasi Dana Desa: Memandirikan Desa atau Lahan Basah Korupsi"

Dimuatnya alokasi dana desa dalam UU Desa tidak dapat dilepaskan dari asas

rekognisi dan subsidiaritas yang menjadi “nafas” bagi pemerintahan desa. Dalam UU Desa,

asas rekognisi didefinisikan sebagai pengakuan terhadap hak asal usul.22 Sedangkan secara

teoritis, definisi rekognisi dibagi menjadi dua menurut Axel Honneth, yakni : (a)

menghormati kesamaan status dan posisi; (b) menghargai keberagaman atau keunikan. 23

Tujuan dari rekognisi menurut Honneth adalah untuk mencapai keadilan sosial, karena itu

rekognisi dimengerti untuk mencapai keadilan budaya (cultural justice), dan redistribusi

untuk menjamin keadilan ekonomi (economic justice).24 Berkaitan dengan asas rekognisi,

asas subsidiaritas dalam UU Desa didefinisikan sebagai penetapan kewenangan berskala

lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat desa.25Definisi

tersebut dilengkapi dengan makna subsidiaritas menurut Sutoro Eko sebagai berikut :26

1. urusan lokal atau kepentingan masyarakat setempat yang berskala lokal lebih baik

ditangani oleh organisasi lokal,dalam hal ini desa, yang paling dekat dengan

masyarakat.

2. negara bukan menyerahkan kewenangan seperti asas desentralisasi, melainkan

menetapkan kewenangan lokal berskala desa menjadi kewenangan desa melalui

undang-undang.

3. pemerintah tidak melakukan campur tangan (intervensi) dari atas terhadap

kewenangan lokal desa, melainkan melakukan dukungan dan fasilitasi terhadap

desa.

Dalam Pasal 19 UU Desa, kewenangan desa ditetapkan oleh pemerintah sebagai berikut :

1. kewenangan berdasarkan hak asal usul;27

2. kewenangan lokal berskala desa;28

3. kewenangan yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi, atau

pemerintah kabupaten/kota;

4. kewenangan lain yang ditugaskan oleh pemerintah, pemerintah daerah provinsi,

atau pemerintah kabupaten/kota.

22 Lihat Penjelasan atas UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 23 Axel Honneth,The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflict, Cambridge: Polity, hlm.

47. 24 Ibid. 25 Lihat Penjelasan atas UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. 26 Sutoro Eko, et. al,Desa Membangun Indonesia, Op. Cit, hlm. 31. 27 Sebagai contoh pranata dan hukum adat, tanah kas desa, kelembagaan, dan sebagainya. 28 Sebagai contoh pasar desa, jalan desa, perpustakaan desa, dan sebagainya.

Page 8: "Alokasi Dana Desa: Memandirikan Desa atau Lahan Basah Korupsi"

Alokasi dana desa apabila ditinjau dari asas rekognisi menjadikan desa sebagai subjek

pembangunan, karena desa tidak lagi diposisikan sebagai unit administrasi pemerintahan

yang paling bawah. Tujuannya adalah untuk mempersempit kesenjangan pembangunan

antara desa dan wilayah perkotaan,sehingga menjamin keadilan ekonomi bagi masyarakat

desa. Apabila alokasi dana desa terlihat inheren (melekat) dengan asas rekognisi, maka asas

subsidiaritas ditopang oleh alokasi dana desa. Karena kewenangan yang dimiliki oleh

pemerintah desa akan dijalankan dengan mudah dan leluasa ketika terdapat alokasi dana desa.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa alokasi dana desa merupakan cara yang digunakan

pemerintah untuk mewujudkan desa yang mandiri, otonomi, demokratis, lokalitas, partisipasi,

emansipatoris, dan seterusnya.

Pengawasan terhadap Penggunaan Alokasi Dana Desa

Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya, alokasi dana desa terbagi menjadi

dua, yakni alokasi dana desa dari pemerintah pusat dan juga alokasi dana desa dari

kabupaten/kota. Kedua jenis alokasi dana desa merupakan bagian dari APBD kabupaten/kota,

karena tercantum di dalam APBD. Alokasi dana desa dari pemerintah pusat akan menjadi

bagian dari APBD ketika telah ditransfer kepada pemerintah daerah dan pemerintah daerah

wajib mencantumkannya ke dalam APBD. Karena dalam Pasal 3 ayat (6) UU Nomor 17

Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, semua penerimaan yang menjadi hak dalam tahun

anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan ke dalam APBD.29 Ketentuan dalam UU

Keuangan Negara diperkuat dengan Pasal 285 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang

Pemerintahan Daerah yang menyebutkan bahwa dana desa yang digolongkan sebagai

pendapatan daerah.30

Dalam APBN 2015 alokasi dana desa dianggarkan sebesar Rp. 9.066,2 miliar, namun

sejalan dengan visi pemerintah untuk membangun Indonesia dari pinggiran dalam kerangka

NKRI sehingga anggaran tersebut ditambah menjadi Rp. 20.766,2 miliar.31 Dari data tersebut

terlihat keseriusan pemerintah untuk melakukan pembangunan terhadap desa itu sendiri.

Mekanisme penyaluran dan pengelolaan dana desa beserta pelaporan dana desa menjadi

sangat vital dalam pembangunan desa. Sehingga dibutuhkan koordinasi yang baik antara

pemerintah desa dengan pemerintah pusat dan daerah.

29 Lihat Pasal 3 ayat (6) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. 30 Lihat Pasal 285 ayat (2) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. 31 Laporan Biro Analisa dan Pelaksanaan APBN dalam Jurnal Setjen DPR, hlm.2

Page 9: "Alokasi Dana Desa: Memandirikan Desa atau Lahan Basah Korupsi"

Mekanisme penyaluran dana desa dalam PP Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana

Desa yang Bersumber dari APBN jo PP Nomor 22 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas PP

Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari APBN. Penyaluran dana

desa dilakukan secara bertahap, dengan ketentuan sebagai berikut :32

a. tahap I pada bulan April sebesar 40%

b. tahap II pada bulan Agustus sebesar 40%

c. tahap III pada bulan Oktober sebesar 20%

Penyaluran secara bertahap sebagaimana yang disebutkan di atas membuat pemerintah desa

menggunakan dana tersebut dengan seksama dan tidak menggunakan dana tersebut dengan

sembarangan. Penyaluran yang bertahap tersebut diperkuat dengan kewajiban bagi

pemerintah desa untuk membuat laporan realisasi penggunaan dana desa kepada

bupati/walikota setiap semester.33 Kewajiban untuk melaporkan realisasi penggunaan dana

desa membuat pemerintah desa semakin berhati-hati dalam menggunakan dana desa, karena

apabila terdapat penyelewengan dana desa tentu dapat diketahui lebih awal. Dari kedua

mekanisme tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat upaya pencegahan korupsi dari

peraturan pemerintah tersebut.

C. Penutup

Kesimpulan

Alokasi dana desa merupakan pengejawantahan dari asas rekognisi dan asas

subsidiaritas yang terkandung di dalam UU Desa. Alokasi dana desa melekat dengan asas

rekognisi, maka asas subsidiaritas ditopang oleh alokasi dana desa. Karena kewenangan yang

dimiliki oleh pemerintah desa akan dijalankan dengan mudah dan leluasa ketika terdapat

alokasi dana desa.

Kemudahan dan keluasaan yang diberikan kepada pemerintah desa tentu harus diikuti

dengan pengawasan dari pemerintah. Penyaluran alokasi dana desa dilakukan secara

bertahap, yakni dengan tiga tahapan, diharapkan pemerintah desa menggunakan dana tersebut

dengan seksama dan tidak menggunakannya dengan sembarangan. Hal tersebut ditambah

dengan kewajiban untuk membuat laporan realisasi penggunaan dana desa kepada

bupati/walikota setiap semester. Dengan demikian pemerintah desa akan berhati-hati dalam

menggunakan alokasi dana desa dan penyelewengan dana akan lebih cepat terdeteksi.

32 Lihat Pasal 16 ayat (1) PP Nomor 22 Tahun 2015. 33 Lihat Pasal 24 ayat (1) PP Nomor 60 Tahun 2014

Page 10: "Alokasi Dana Desa: Memandirikan Desa atau Lahan Basah Korupsi"

Saran

Satu lagi hal terpenting bagi permasalahan alokasi dana desa yaitu perlu untuk

disiapkan kualitas sumber daya manusia yang bermutu dalam pemerintah desa oleh

pemerintah. Perlu pelatihan bagi kepala desa dan perangkat desa dalam merencanakan,

menggunakan, maupun melaporkan realisasi penggunaan dana desa. Sehingga dana desa

dapat digunakan oleh pemerintah desa untuk pembangunan desa yang optimal.

Page 11: "Alokasi Dana Desa: Memandirikan Desa atau Lahan Basah Korupsi"

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ateng Syarifuddin, Republik Desa, Bandung: Alumni, 2010.

Axel Honneth,The Struggle for Recognition: The Moral Grammar of Social Conflict, Cambridge:

Polity, 1995.

H.A.W. Widjaja, Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat, dan Utuh, Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2008.

Muhammad Yasin, et. al, Anotasi UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, Jakarta: PATTIRO, 2015.

Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, 1991.

Sutoro Eko, et. al, Desa Membangun Indonesia, Yogyakarta: FPPD, 2014

_________, Regulasi Baru, Desa Baru: Ide, Misi, dan Semangat UU Desa, Jakarta: Kementerian

Desa, PDT, dan Transmigrasi RI, 2015.

Lain-lain

Didik Sukriono, Politik Hukum Pemerintahan Desa Dalam Perspektif Filosofis, Yuridis, dan

Sosiologis, Majalah Ilmu Hukum Kerta Wicaksana, Vol. 17, No. 2, 2011.

Laporan Biro Analisa dan Pelaksanaan APBN.

Mahfud MD, Politik Hukum Menuju Pembangunan Sistem Hukum Nasional, Disampaikan pada

Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut UUD 1945 Hasil Amandemen yang

diselenggarakan oleh BPHN Depkumham RI 29-31 Mei 2006 di Mercure Accor Hotel, Jakarta.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang Bersumber dari Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara jo Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2015 tentang

Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 60 Tahun 2014 tentang Dana Desa yang

Bersumber dari APBN.