askep gadar icu ird
Post on 24-Jul-2015
808 Views
Preview:
TRANSCRIPT
LAPORAN
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
PADA KLIEN Tn. “AM” DENGAN
POST STABILISASI + LAMINECTOMY FRAKTUR C5
DI RUANG ICU IRD RSUP SANGLAH
DENPASAR BALI
Disusun Oleh
Nama : FORMAN KURNIAWAN
NIM : P. 27220009 124
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNIK KESEHATAN SURAKARTA
JURUSAN KEPERAWATAN
TAHUN 2010
[Type text]
LAPORAN PENDAHULUAN
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
PADA KLIEN DENGAN POST STABILISASI + LAMINECTOMY
FRAKTUR C5
A. Pengertian
Menurut American Academy of Orthopaedic Surgeons (2009), Fraktur
cervical disebut juga fraktur tulang leher merupakan suatu retakan satu atau
lebih dari tujuh ruas-ruas tulang servikal (tulang leher).
B. Etiologi
Fraktur servikal biasanya disebabkan oleh trauma berat (cedera) di leher.
Cedera ini dapat disebabkan oleh tabrakan dan jatuh, trauma menghantam ke
kepala atau leher dan gerakan tiba-tiba memutar leher.
C. Anatomi
Anatomi servikal bagian atas (oksiput-C1-C2) berbeda dengan daerah
servikal bawah (C3-T1). Selain itu, servikal atas lebih mobil dibandingkan
dengan servikal bawah. Servikal 1 atau atlas tidak memiliki corpus dan
processus spinosus. Servikal 1 hanya berupa cincin tulang yang terdiri atas
arcus anterior yang tebal dan arcus posterior yang tipis, dan massa lateralis
pada masing-masing sisinya. Tiap massa lateralis memiliki permukaan sendi
pada aspek atas dan bawahnya. Tulang ini berartikulasi di atas dengan condylus
occipitalis, membentuk articulatio atlanto-occipitalis, tempat berlangsungnya
gerakan mengangguk. Di bawah, tulang ini berartikulasi dengan C2,
membentuk artikulatio atlanto-axialis, tempat berlangsungnya gerakan
memutar kepala.
[Type text]
Servikal 2 atau axis mengandung processus odontoid yang
menggambarkan penggabungan sisa dari badan atlas. Processus odontoid ini
melekat erat pada aspek posterior dari arcus anterior C1 oleh ligamentum
transversum, yang mengstabilkan sendi atlantoaxial.
Stabilitas dari spinal ditentukan oleh ligamentum antara struktur tulang.
Pada bagian frontal, penonjolan condilus occiput disokong oleh massa lateralis
C2. Pada bagian frontal ini, massa lateralis terlihat berbentuk baji, runcing di
tengah dan pinggirnya lebar. Jika struktur tulang terganggu dan terutama jika
terjadi pergeseran baji ke lateral menyebabkan instabilitas spinal.
Penonjolan condilus occiput distabilisasi oleh kapsul occipitoatlantal dan
membrana atlantooccipital anterior dan posterior. Ligamentum nuchae
merupakan struktur yang stabil yang berhubungan dengan kompleks
atlantooccipital axial. Membrana tectorium, ligamentum alar dan apical
menghubungkan occiput ke C2.
Ligamentum dentate terdiri dari ligamentum alar dan apical mengikat
permukaan dorsal lateral dari dens dan berjalan oblik ke permukaan medial
dari condilus occipitalis.
Ligamentum transversum berjalan dari permukaan medial dari salah satu
sisi C1 menuju ke sisi lain. Ligamentum ini pada dasarnya membatasi C2
untuk berotasi disekitar odontoid dalam cincin tertutup tulang. Jika ligamentum
ini ruptur atau jika ada fraktur yang berhubungan dengan odontoid, C1 dapat
bergeser dan menyulitkan batang otak dan medulla spinalis.
D. Patofisiologi
Menurut mekanisme terjadinya cedera, cedera servikal dibagi atas fleksi,
fleksi rotasi, ekstensi, ekstensi rotasi, kompresi vertical, fleksi lateral dan
mekanisme yang belum diketahui jelas.
Cincin C1 merupakan struktur dari spinal. Adanya fraktur menyebabkan
gangguan pada cincin dan karena bentuknya cincin, maka gangguan terjadi
pada lebih dari 1 lokasi. Pecahan-pecahan ini cenderung bergerak ke lateral
dari berat kepala dan kontraksi otot melalui artikulasi, menyebabkan hilangnya
[Type text]
sokongan kepala dari condilus occipitalis. Penentuan stabilitas spinal
merupakan faktor yang penting dalam melakukan evaluasi cedera vertebra.
Stabilitas didefinisikan sebagai kesanggupan vertebra untuk membatasi
displacement pada beban fisiologis. Cedera pada servikal bagian atas
cenderung tidak stabil.
Berdasarkan level anatomi dimana fraktur terjadi, fraktur proccesus
odontoid dibagi 3 tipe yaitu :
1. Tipe I
Terjadi avulsi ujung dens pada sisi insersi dari ligalar. Fraktur ini termasuk
stabil. Sering kali berhubungan dengan dislokasi atlanto occipital.
2. Tipe II
Terjadi pada dasar dari dens dan merupakan fraktur odontoid tersering.
Kebanyakan fraktur ini nonunion.
3. Tipe III
Terjadi ketika garis fraktur meluas ke badan C2.
Segmen fraktur pada fraktur tipe II dan III dapat berpindah ke anterior,
lateral atau posterior. Kebanyakan terjadi pergeseran ke posterior, sehingga
cedera medulla spinalis karena fraktur tipe ini besar (10%). Mekanisme
terjadinya fraktur odontoid, sampai saat ini masih belum jelas.
Cedera medulla spinalis dapat terjadi beberapa menit setelah cedera. Saat
ini, secara histologis medulla spinalis masih normal. Dalam waktu 24-48 jam
kemudian terjadi nekrosis fokal dan inflamasi. Pada waktu cedera terjadi
disrupsi mekanik akson dan neuron. Ini disebut cedera neural primer.
Disamping itu juga terjadi perubahan fisiologis dan patologis progresif akibat
cedera neural sekunder. Mekanisme cedera sekunder terjadi karena
1. Radikal bebas
Radikal bebas ditimbun bila cedera, karena terputusnya reaksi kimia.
Terjadi kerusakan mitokondria yang melepaskan oksigen radikal bebas
atau superoksid. Superoksid dismutase atau SOD dan katalase secara
normal menetralkan oksigen radikal bebas. SOD mengubah superoksid
menjadi H2O2 dan katalase menguraikan H2O2 menjadi O2 dan H2O.
[Type text]
Ditambahkan, otak dan medulla spinalis mengandung anti oksidan dengan
kadar yang tinggi seperti asam askorbat, glutation dan vitamin E yang
mencari radikal bebas. Akibatnya pada jaringan cedera, terjadi
peningkatan produksi radikal bebas, pelepasan antioksidan endogen dan
kerusakan SOD. Ini akan merusak lipid/protein yang menghasilkan radikal
bebas.
2. Influks Ca berlebihan dan eksitotoksisitas.
Ca++ berada dalam cairan ekstraseluler. Bila terjadi cedera, Ca++ akan
masuk ke dalam intrasel dan mengaktifkan enzim yang memecah lipid dan
protein seperti fosfolipase dan protease. Glutamat (neurotransmitter
excitatory) merusak neuron pada tempat masuk Ca++ dan Na di reseptor
NMDA. Pada medulla spinalis yang cedera glutamat dan asam amino lain
dilepaskan ke ekstraseluler. Oleh karena itu penghambat reseptor glutamat
merupakan neuroprotektif pada model trauma. Data terbaru menyarankan
penggunaan opiat untuk mengatur pelepasan glutamat ekstraseluler. Hal
ini menjadi alasan tentang penggunaan reseptor opiat bloker untuk cedera
medulla spinalis.
3. Eicosanoid dan sitokin.
Pada sel yang cedera terjadi pemecahan membran yang melepaskan FFA
terutama asam arakidonat. Enzim siklooksigenase dan lipoksigenase
mengubah arakidonat menjadi prostaglandin dan leukotriene yang
merupakan zat-zat inflamasi yang lepas pada cedera medulla spinalis. Juga
merupakan faktor poten terjadinya pembengkakan sel.
4. Programmed cell death (apoptosis).
Neuron yang kehilangan neurotropik akan mati selama berkembang
sebelum mencapai targetnya. Begitu juga kematian sel akibat kalium yang
rendah, sitokin, HIV dan hormon-hormon tertentu. Oleh karena tipe sel
yang mati memerlukan sintesa protein baru, seringkali disebut programme
cell death. Sel-sel mati ini mempunyai perbedaan patologis dengan
manifestasi sel mengkerut dan kromatin nuclear yang padat. Keadaan ini
[Type text]
disebut apoptosis. Cedera juga dapat memacu mekanisme apoptosis di
dalam medulla spinalis.
Kecacatan yang terjadi setelah cedera medulla spinalis tergantung pada
beratnya cedera. Destruksi dari serabut-serabut saraf yang membawa sinyal
motorik ke tubuh dan ekstremitas akan mengakibatkan kelumpuhan (paralysis).
Begitu juga dengan serabut sensorik. Konsekuensi lain adalah meningkatnya
refleks, hilangnya BAB dan BAK, disfungsi seksual atau menurunnya
kapasitas bernapas, kegagalan refleks batuk dan spastisitas.
E. Pemeriksaan Diagnostik
Diagnosis dapat ditegakkan dengan anamnesa, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan radiologik. Menurut Hanson dkk, kemungkinan besar terjadi
fraktur servikal jika ditemui:
1. Parameter mekanisme cedera : KLL dengan kecepatan yang tinggi,
tabrakan pejalan kaki dengan kendaraan, jatuh dari ketinggian.
2. Parameter penilaian pasien : Fraktur tengkorak, perdarahan intracranial,
tanda neurologis yang mengarah ke spinal, penurunan kesadaran pada saat
pemeriksaan.
Menurut skala Frankel yang telah dimodifikasi, cedera medulla spinalis dibagi
menjadi :
1. A (cedera komplit), bila tidak ada fungsi motorik dan sensorik dibawah
level cedera, khususnya pada segmen S4-S5.
2. B (cedera inkompit), hanya fungsi sensorik yang ada di bawah level
neurologik kadang di segmen S4-S5.
3. C (cedera inkomplit), beberapa fungsi motorik ada dibawah level cedera
dan lebih dari setengah otot dibawah pada level ini mempunyai kekuatan
otot kurang dari 3.
4. D (cedera inkomplit), fungsi motorik ada dibawah level cedera dan
kebanyakan otot kekuatannya lebih dari 3.
5. E (Fungsi motorik dan sensorik normal).
[Type text]
Pemeriksaan X foto cervical merupakan pemeriksaan rutin di IGD yang
dilakukan pada pasien dengan riwayat nyeri atau trauma di leher.3
Pemeriksaan radiologi pada cedera leher meliputi:
1. X foto servikal 3 posisi : AP, lat dan odontoid (open mouth view)
2. CT Scan dari basis cranii sampai torakal atas (T1-2), potongan axial 1 mm
3. MRI untuk mengevaluasi medulla spinalis.
Pemeriksaan CT scan dapat mendeteksi fraktur servikal pada pasien yang
beresiko tinggi sekitar 10 %. Dengan pemeriksaan fisik dapat dideteksi adanya
fraktur servikal sebanyak 0,2% pada pasien yang beresiko rendah. Sepuluh
persen pasien dengan fraktur di basis cranii, wajah atau torakal bagian atas
mengalami fraktur servikal. (Hanson et all, 2000).
Pada masa akut dapat terjadi spinal shock. Spinal shock ini ditandai
dengan hilangnya somatic motor, sensorik dan fungsi simpatetik otonom
karena cedera medulla spinalis. Makin berat cedera medulla spinalis dan makin
tinggi level cedera, durasi spinal shock makin lama dan makin besar pula.
Spinal shock ini timbul beberapa jam sampai beberapa bulan setelah cedera
medulla spinalis. Untuk mencegah keraguan apakah gejala yang ditemukan
akibat spinal shock atau bukan, direkomendasikan guideline :
1. Berasumsi bahwa somatik motor dan defisit sensorik yang berhubungan
dengan spinal shock hanya terjadi kurang dari 1 jam setelah cedera.
2. Berasumsi bahwa refleks dan komponen otonom dari spinal shock dapat
terjadi beberapa hari sampai beberapa bulan, tergantung beratnya cedera
medulla spinalis.
3. Menyimpulkan bahwa defisit motorik dan sensorik yang menetap lebih
dari 1 jam setelah cedera disebabkan oleh perubahan patologis jarang
karena efek fisiologis dari spinal shock.
F. Penatalaksanaan
Manajemen awal di IGD, dimulai dengan ABC. Pada lesi servikal
bagian atas, ventilasi spontan akan hilang, sehingga mungkin perlu intubasi.
Atasi syok bila ada. Lakukan pemeriksaan yang teliti, apakah ada cedera
[Type text]
medulla spinalis. Bila dicurigai ada cedera servikal dilakukan imobilisasi.
Imobilisasi dapat dilakukan dengan backboard, cervical ortosis, bantal pasir,
dan tape on forehead. Ada 2 jenis collar neck, yaitu soft collars dan reinforced
(Philadelphia type) collar. Soft collar minimal membatasi pergerakan leher.
Biasanya hanya digunakan pada spinal yang stabil, seperti pada spasme otot
servikal. Hard collar bentuknya mirip soft collar, terbuat dari polietilen, untuk
memberikan tambahan sokongan, tapi collar ini juga hanya minimal membatasi
pergerakan leher. Philadelphia collar biasanya digunakan untuk fraktur servikal
tanpa pergeseran atau dengan pergeseran yang minimal. Collar ini membatasi
gerakan leher lebih baik dibanding soft collar. Terutama membatasi pergerakan
servikal bagian atas.
Pemeriksaan radiologi diawali dengan foto polos servikal, kemudian dapat
dilakukan CT Scan / MRI. Di samping itu kemungkinan multi trauma harus
dipikirkan. Bila diagnosa tegak, segera berikan terapi. Kemudian diputuskan
apakah perlu dilakukan tindakan operatif. Bila tidak ada indikasi, dianjurkan
perawatan pada neuro intensive care, karena dapat terjadi beraneka ragam
komplikasi. Pemberian steroid harus sesegera mungkin. Bila cedera terjadi
sebelum 8 jam, metil prednisolon dosis tinggi 30 mg/kgBB intravena perlahan
selama 15 menit. Disusul 45 menit kemudian infus 5,4 mg/kgBB/jam selama
23 jam. Tetapi jika terapinya diberikan 3-8 jam setelah cedera, infus dianjurkan
berakhir sampai 48 jam. Trial klinik menunjukkan kemaknaan statistik
terhadap perbaikan neurologis jangka panjang. Metilprednisolon bekerja
menghambat peroksidase dan sekunder akan meningkatkan asam arakidonat.
Untuk mengobati edema medulla spinalis dapt diberikan manitol 0,25-1,0
gr/kgBB.
Pada lesi medulla spinalis setinggi servikal dan torakal dapat terjadi
vasodilatasi perifer akibat terputusnya intermediolateral kolumna medulla
spinalis. Akibatnya terjadi hipotensi. Ini dapat diatasi dengan pemberian
simpatomimetik agents, seperti dopamine atau dobutamin. Bradikardi
simptomatis dapat diberikan atropin.
[Type text]
Jika terjadi gangguan pernapasan pada cedera servikal, merupakan indikasi
perawatan di ICU. Tromboemboli dapat terjadi karena imobilitas. Insidensnya
dilaporkan cukup tinggi, yaitu lebih dari 70 % pada penderita cedera spinal.
Karenanya American College of Chest Psysician menganjurkan profilaksis
dengan pneumatic stocking (kompresi intermitten) dan terapi koagulan dimulai
setelah 72 jam, dengan pemberian heparin 5000 u (2 kali sehari) s.c atau
menggunakan antikoagulan oral dengan INR 2-3. Profilaksis ulkus peptikum
diperlukan karena insidens ulcer stress sampai 29% tanpa profilaksis. Dapat
diberikan H2 reseptor antagonis atau antasid.
Tonus kandung kencing mungkin menghilang pada pasien cedera spinal
oleh karena syok spinal. Pada pasien ini digunakan kateter Foley untuk
mengeluarkan urin dan memantau fungsi ginjal. Untuk fraktur atlas dan
proccesus odontoid tindakan bedah ditujukan untuk stabilisasi dan imobilisasi
dengan menggunakan modifikasi halo treatment.
Indikasi operasi pada cedera medulla spinalis adalah :
1. Perburukan progresif karena retropulsi tulang diskus atau hematoma
epidural.
2. Untuk restorasi dan realignment kolumna vertebralis
3. Dekompresi struktur saraf untuk penyembuhan
4. Vertebra yang tidak stabil.
Rehabilitasi untuk fraktur servikal memerlukan waktu yang lama, beberapa
bulan sampai tahunan, tergantung beratnya cedera. Terapi fisik dapat dilakukan
latihan untuk menguatkan kembali daerah leher dan memberikan tindakan
pencegahan untuk melindungi cedera ulang. Selain itu dianjurkan untuk
mengubah gaya hidup yang dapat menyebabkan fraktur servikal. Mandi air
hangat dan kompres hangat dapat digunakan untuk mengurangi rasa tidak enak
di leher. Kadang digunakan kantong es atau ice massage. Setelah penggunaan
neck splint, surgical collar atau spinal brace selama beberapa bulan, fisio
terapist membantu menggerakkan leher kembali , dengan menggunakan
gerakan terbatas dan pijatan yang lembut, ketika dianggap aman untuk itu.
[Type text]
Dianjurkan juga untuk menggunakan bantal yang dapat memberikan sokongan
yang khusus untuk leher.
Pada cedera medulla spinalis, rehabilitasi ditujukan untuk mengurangi
spastisitas, kelemahan otot dan kegagalan koordinasi motorik. Terapi fisik dan
strategi rehabilitasi yang lain juga penting untuk mempertahankan fleksibilitas
dan kekuatan otot dan untuk reorganisasi fungsi saraf. Penting juga
memaksimalkan penggunaan serat saraf yang tidak rusak.
G. Komplikasi
Kebanyakan kematian pada cedera medulla spinalis akut disebabkan karena
komplikasi dan berhubungan dengan defisit neurologis. Kerusakan neurologik
pada cervical bagian atas dapat menyebabkan pasien bergantung pada
ventilator. Komplikasi akut dibagi menjadi komplikasi hiperakut dan
komplikasi sub akut seperti pada tabel berikut.
1. Komplikasi hiperakut cedera medulla spinalis
a. Hipotensi / shock (efek simpatektomi, perdarahan)
b. Bradikardi dengan atau tanpa hipovolemi.
c. Hipotermi atau demam (dengan atau tanpa infeksi)
d. Hipoventilasi / gagal napas
- Occiput-C2 : Kehilangan seluruh fungsi respirasi, kelemahan
n.cranialis
- C3-C4 : Diafragma dan interkostal; mempertahankan fungsi
farings dan larings
- C5-T1 : Interkostal, mempertahankan diafragma.
- T2-T12 : Kehilangan fungsi interkostal bervariasi (hati-hati
berhubungan dengan ARDS sekunder pada aspirasi dan
tenggelam pada saat cedera)
2. Komplikasi sub akut cedera medulla spinalis
a. Gagal napas sekunder (sumbatan lender, atelektasis, peneumoni,
emboli paru).
b. Trombosis vena dalam
[Type text]
c. Disfungsi bladder dan bowel
d. Dekubitus (hati-hati penggunaan spine board yang lama untuk
prosedur diagnostik atau terapi)
H. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Data fokus.
- Aktifitas dan istirahat : kelumpuhan otot terjadi kelemahan selama
syok spinal
- Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat melakukan perubahan
posisi, hipotensi, bradikardia ekstremitas dingin atau pucat.
- Eliminasi : inkontenensia defekasi dan berkemih, retensi urine,
distensi perut, peristaltik usus hilang.
- Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut
cemas, gelisah dan menarik diri.
- Pola makan : mengalami distensi perut, peristaltik usus hilang.
- Pola kebersihan diri : sangat ketergantungan dalam melakukan
ADL.
- Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki,
paralisis flasid, hilangnya sensai dan hilangnya tonus otot,
hilangnya reflek, perubahan reaksi pupil, ptosis.
- Nyeri/kenyamanan : nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah
trauma, dan mengalami deformitas pada derah trauma.
- Pernapasan : napas pendek, ada ronkhi, pucat, sianosis.
- Keamanan : suhu yang naik turun.
b. Pemeriksaan diagnostik.
- Sinar x spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur
atau dislok).
- CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas.
- MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal.
[Type text]
- Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru.
- AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya
ventilasi.
3. Diagnosa keperawatan.
a. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot
diafragma.
Tujuan perawatan : pola nafas efektif setelah diberikan oksigen.
Kriteria hasil : ventilasi adekuat, PaO2 > 80, PaCo2 < 45, RR = 16-20
x/mt, tanda sianosis (–).
Intervensi keperawatan :
1) Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak. Rasional :
pasien dengan cedera cervicalis akan membutuhkan bantuan untuk
mencegah aspirasi/ mempertahankan jalan nafas.
2) Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah, jenis dan
karakteristik sekret. Rasional : jika batuk tidak efektif, penghisapan
dibutuhkan untuk mengeluarkan sekret, dan mengurangi resiko
infeksi pernapasan.
3) Kaji fungsi pernapasan. Rasional : trauma pada C5-6 menyebabkan
hilangnya fungsi pernapasan secara partial, karena otot pernapasan
mengalami kelumpuhan.
4) Auskultasi suara napas. Rasional : hipoventilasi biasanya terjadi
atau menyebabkan akumulasi sekret yang berakibat pnemonia.
5) Observasi warna kulit. Rasional : menggambarkan adanya
kegagalan pernapasan yang memerlukan tindakan segera
6) Kaji distensi perut dan spasme otot. Rasional : kelainan penuh pada
perut disebabkan karena kelumpuhan diafragma
7) Anjurkan pasien untuk minum minimal 2000 cc/hari. Rasional :
membantu mengencerkan sekret, meningkatkan mobilisasi sekret
sebagai ekspektoran.
[Type text]
8) Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume tidal dan kekuatan
pernapasan. Rasional : menentukan fungsi otot-otot pernapasan.
Pengkajian terus menerus untuk mendeteksi adanya kegagalan
pernapasan.
9) Pantau analisa gas darah. Rasional : untuk mengetahui adanya
kelainan fungsi pertukaran gas sebagai contoh : hiperventilasi PaO2
rendah dan PaCO2 meningkat.
10) Berikan oksigen dengan cara yang tepat : metode dipilih sesuai
dengan keadaan isufisiensi pernapasan.
11) Lakukan fisioterapi nafas. Rasional : mencegah sekret tertahan.
b. Diagnosa keperawatan : kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan
kelumpuhan.
Tujuan perawatan : selama perawatan gangguan mobilisasi bisa
diminimalisasi sampai cedera diatasi dengan pembedahan.
Kriteria hasil : tidak ada kontrakstur, kekuatan otot meningkat, pasien
mampu beraktifitas kembali secara bertahap.
Intervensi keperawatan :
1) Kaji secara teratur fungsi motorik. Rasional : mengevaluasi
keadaan secara umum
2) Instruksikan pasien untuk memanggil bila minta pertolongan.
Rasional memberikan rasa aman
3) Lakukan log rolling. Rasional : membantu ROM secara pasif
4) Pertahankan sendi 90 derajad terhadap papan kaki. Rasional
mencegah footdrop
5) Ukur tekanan darah sebelum dan sesudah log rolling. Rasional :
mengetahui adanya hipotensi ortostatik
6) Inspeksi kulit setiap hari. Rasional : gangguan sirkulasi dan
hilangnya sensai resiko tinggi kerusakan integritas kulit.
[Type text]
7) Berikan relaksan otot sesuai pesanan seperti diazepam. Rasional :
berguna untuk membatasi dan mengurangi nyeri yang berhubungan
dengan spastisitas.
c. Diagnosa keperawatan : gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan
dengan adanya cedera.
Tujuan keperawatan : rasa nyaman terpenuhi setelah diberikan
perawatan dan pengobatan.
Kriteria hasil : melaporkan rasa nyerinya berkurang.
Intervensi keperawatan :
1) Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-5. Rasional : pasien melaporkan
nyeri biasanya diatas tingkat cedera.
2) Bantu pasien dalam identifikasi faktor pencetus. Rasional : nyeri
dipengaruhi oleh; kecemasan, ketegangan, suhu, distensi kandung
kemih dan berbaring lama.
3) Berikan tindakan kenyamanan. Rasional : memberikan rasa
nayaman dengan cara membantu mengontrol nyeri.
4) Dorong pasien menggunakan tehnik relaksasi. Rasional :
memfokuskan kembali perhatian, meningkatkan rasa kontrol.
5) Berikan obat antinyeri sesuai pesanan. Rasional : untuk
menghilangkan nyeri otot atau untuk menghilangkan kecemasan
dan meningkatkan istirahat.
[Type text]
LAPORAN KASUS
ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT
PADA KLIEN Tn. “AM” DENGAN
POST STABILISASI + LAMINECTOMY FRAKTUR C5
DI RUANG ICU IRD RSUP SANGLAH
DENPASAR BALI
A. Pengkajian
1. Identitas pasien
Nama : Tn “AM”
Umur : 36 tahun
Alamat : Dusun Gesing Kecamatan Banjar Buleleng
Agama : Hindu
Pekerjaan : Petani
No RM : 01. 39. 60. 11
Tanggal pengkajian : 12 Juli 2010
Dx Medis :
2. Pengkajian
A (Airway)
Jalan nafas bebas terpasang ETT, tidak terdengar suara gargling ataupun
stridor, wheezing +, ronchi +.
B (Breathing)
Pernapasan ventilasi mekanik dengan bantuan alat ventilator (CPAP, FiO2
40%, Peep 5), pergerakan dada simetris kiri dan kanan, tidak tampak
adanya jejas didada, tidak tampak iktus cordis. Suara nafas vesikuler pada
paru-paru kiri dan kanan, bunyi perkusi sonor. Pada palpasi tidak teraba
krepitasi, pengembangan dada simetris kanan dan kiri.
[Type text]
C (Circulation)
Warna kulit sawo matang, turgor baik, CRT < 2 detik, nadi kuat 89
kali/menit, tidak ditemukan tanda-tanda perdarahan.
Klien terpasang IVFD NaCl 0,9% 20 gtt makro/menit.
D (Disability)
Klien sadar, pupil isokor, GCS 13 (E4 V4 M5)
E (Exposure)
Tampak jejas di leher dan bagian punggung.
F (Five Intervention)
1. NGT
Terpasang NGT
2. ECG monitor
Tensi 138/79 mmHg, nadi 89 x/menit, respirasi 16 x/menit, Saturasi
O2 98%, gambaran EKG sinus ritme.
3. Kateter
Terpasang DC, produksi urine +
4. Pulse oxymetri
Tidak terpasang saturasi oksigen
5. Laboraturium AGD
pH 7.34 pCO2 66.00
pO2 153 Hct 26.00%
HCO3- 35.60 mmol/L TCO2 37.60 mmol/L
BE 8.60 mmol/L
Natrium 128.00 mmol/L Kalium 3.90 mmol/L
CT Scan Kepala
RO Thoracho Lumbal AP
RO Cervical AP/Lat
RO Thorax AP
[Type text]
G (Get vital sign and give comfort measure)
Tanda – tanda vital : Tensi 138/79 mmHg
Nadi 89 kali/menit
Respirasi rate 16 kali/menit
Saturasi O2 98%
H (History & Head to Toe)
- History (SAMPLE)
S (sign symptoms)
Tidak Sadar Setelah terjatuh dari pohon sejak 1 hari sebelum masuk
RS
A (Allergies)
Keluarga mengatakan klien mengatakan tidak mempunyai riwayat
alergi obat ataupun makanan tertentu.
M (Medications)
Kluarga mengatakan klien tidak sedang menjalani terapi medis
lainnya.
Di ruang ICU kliem mendapatkan terapi :
Ceftriaxone 3x1 gr
Metyl prednisolone 2x125 mg
Ranitidine 3x1 amp
P (Post Medical History)
Kluarga mengatakan klien belum pernah di rawat di RS sebelumnya,
dan klien klien tidak mempunyai riwayat penyakit kronis atau penyakit
menahun lainnya.
[Type text]
L (Last oral intake)
Keluarga mengatakan klien makan minum terakhir sekitar 1 hari yang
lalu sebelum dibawa ke rumah sakit. Saat ini klien mendapat diit cair
per NGT.
E (Event leading to injury or illness)
Klien masuk RS dalam keadaan tidak sadar, rujukan RS Graha dengan
Dx Paraplegi, os dikeluhkan tidak sadar setelah jatuh dari pohon
setinggi 10m satu hari sebelum masuk RS.
- Pengkajian (head to toe terfokus)
1) Mata
Anemis -/- Ikterik -/-
Refleks pupil +/+ Oedema palpebra -/-
2) THT
Klien terpasang ventilator
3) Leher
Tidak terdapat kelainan, pembesaran kelenjar –
Klien terpasang collar neck
4) Thoraks
Inspeksi
Bentuk dada simetris, tidak tampak iktus cordis, tidak ada jejas,
pergerakan dada kiri dan kanan simetris.
Auskultasi
Suara nafas vesikuler, ronchi +/+, wheezing +/+, Bunyi Jantung
reguler,
S1 S2 +/+
Perkusi Pulmo : resonan, Cor : Pekak
[Type text]
Palpasi
Pengembangan dada simetris, tidak teraba krepitasi costae
5) Abdomen
Inspeksi
Bentuk abdomen cembung, tampak distensi abdomen, tidak tampak
penonjolan dan pembesaran massa di daerah abdomen, tidak
tampak pulsasi di sekitar umbilikus.
Auskultasi
Bising usus menurun
Perkusi Tympani
Palpasi
Tidak teraba adanya pembesaran masa, tidak terdapat nyeri tekan
abdomen.
6) Extremitas
Fungsi motorik
3 3
0 0
Inspeksi
Tidak tampak jejas pada daerah ekstremitas atas dan bawah.
Palpasi
Area ekstremitas akral teraba hangat.
I (Inspect posterior)
Tidak tampak kelainan bentuk tulang belakang, ditemukan jejas di daerah
servikal.
[Type text]
B. Analisa Data
No Tanggal Data Masalah Etiologi
1. 12-07-2010 DS
DO
- Distensi abdomen
- Penggunaan otot bantu
pernafasan abdominal
- Ronchi (+), weezing
(+), sekret (+)
- Hasil laboratorium
AGD pCO2 66.00
Pola napas
tidak efektif
Kelumpuhan
otot diafragma
2. 12-07-2010 DS
Keluarga mengatakan
kedua tangan klien bisa
bergerak tetapi kedua kaki
klien tidak bisa
digerakkan.
DO
- Kelemahan umum (+)
- Ketergantungan total
(+)
- Kekuatan otot
3 3
0 0
- Mobilisasi (-)
- Os terpasang collar
neck
Kerusakan
mobilitas
fisik
Kelumpuhan
[Type text]
C. Diagnosa Keperawatan
1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelumpuhan.
D. Intervensi
Dx Tujuan Intervensi Rasional
1. Pola nafas efektif
Kriteria hasil
- Ventilasi adekuat
- PaO2 > 80
- PaCo2 < 45
- RR = 16-20 x/mt
- Sianosis (–)
- Pertahankan jalan
nafas; posisi kepala
tanpa gerak.
- Lakukan
penghisapan lendir
bila perlu, catat
jumlah, jenis dan
karakteristik sekret.
- Kaji fungsi
pernapasan.
- Rasional : pasien
dengan cedera
cervicalis akan
membutuhkan
bantuan untuk
mencegah aspirasi/
mempertahankan
jalan nafas.
- Rasional : jika batuk
tidak efektif,
penghisapan
dibutuhkan untuk
mengeluarkan
sekret, dan
mengurangi resiko
infeksi pernapasan.
- Rasional : trauma
pada C5-6
menyebabkan
hilangnya fungsi
pernapasan secara
partial, karena otot
pernapasan
mengalami
kelumpuhan.
[Type text]
- Auskultasi suara
napas.
- Observasi warna
kulit.
- Kaji distensi perut
dan spasme otot.
diafragma.
- Anjurkan pasien
untuk minum
minimal 2000
cc/hari.
- Pantau analisa gas
darah.
- Berikan oksigen
dengan cara yang
tepat
- Rasional :
hipoventilasi
biasanya terjadi atau
menyebabkan
akumulasi sekret
yang berakibat
penemonia.
- Rasional :
menggambarkan
adanya kegagalan
pernapasan yang
memerlukan
tindakan segera.
- Rasional : kelainan
penuh pada perut
disebabkan karena
kelumpuhan
- Rasional :
membantu
mengencerkan
sekret.
- Rasional : untuk
mengetahui adanya
kelainan fungsi
pertukaran gas.
- Rasional : metode
dipilih sesuai
dengan keadaan
isufisiensi
pernapasan.
[Type text]
2. Tidak ada
kontraktur, kekuatan
otot meningkat,
pasien mampu
beraktifitas kembali
secara bertahap
- Kaji secara teratur
fungsi motorik.
- Instruksikan pasien
untuk memanggil
bila minta
pertolongan.
- Lakukan log rolling.
- Pertahankan sendi
90 derajad terhadap
papan kaki.
- Ukur tekanan darah
sebelum dan
sesudah log rolling.
- Inspeksi kulit setiap
hari.
- Kolaborasi dalam
pemberian relaksan
otot seperti
diazepam.
- Rasional :
mengevaluasi
keadaan secara
umum.
- Rasional
memberikan rasa
aman.
- Rasional :
membantu ROM
secara pasif.
- Rasional mencegah
footdrop.
- Rasional :
mengetahui adanya
hipotensi ortostatik.
- Rasional : gangguan
sirkulasi dan
hilangnya sensai
resiko tinggi
kerusakan integritas
kulit.
- Rasional : berguna
untuk membatasi
dan mengurangi
nyeri yang
berhubungan dengan
spastisitas.
[Type text]
E. Implementasi
Tanggal No Dx Implementasi Respon
12
Agust
2010
1,2
1
1
1
1
1
- Observasi keadaan umum
dan TTV
- Mempertahankan jalan nafas;
posisi kepala tanpa gerak
dengan collar neck
- Mengkaji fungsi pernafasan
- Melakukan suction
- Memberikan diit cair per
NGT
- Melakukan pemantauan hasil
AGD
S
Tidak terkaji
O
- TD : 119/65 mmHg
N : 80 x/menit
SpO2 : 99%
- Slim +
- Pernafasan
abdominal
- Ventilasi mekanik
dengan ventilator
CPAP, FiO2 40%,
Peep 5
- Hasil AGD
pH 7.34
pCO2 66.00
pO2 153
Hct 26.00%
HCO3- : 35.60
mmol/L
TCO2 : 37.60
mmol/L
BE 8.60 mmol/L
12
Agust
2010
1,2
2
2
2
2
- Observasi TTV
- Melakukan personal hygiene
- Mengkaji fungsi motorik
- Melakukan inspeksi dan
masase kulit
- Log roll, mempertahankan
S
O
- TD : 119/65 mmHg
N : 80 x/menit
SpO2 : 99%
[Type text]
2
2
sendi 90 derajad terhadap
papan kaki.
- Memberikan bantalan udara
- Melakukan kolaborasi dalam
pemberian obat sesuai
indikasi.
- Fungsi motorik
3 3 0 0
- Kesadaran somnolen
- Injeksi metyl
prednisolone
2x125mg
13
Agust
2010
1,2
1
1
1
1
1
- Observasi keadaan umum
dan TTV
- Mempertahankan jalan nafas;
posisi kepala tanpa gerak
dengan collar neck
- Mengkaji fungsi pernafasan
- Melakukan suction
- Memberikan diit cair per
NGT
- Melakukan pemantauan hasil
AGD
S
Tidak terkaji
O
- Klien tampak
gelisah
- TD : 110/68 mmHg
N : 93 x/menit
SpO2 : 99%
- Slim +, Pernafasan
abdominal
- Ventilasi mekanik
dengan ventilator
PC SIMV, FiO2
40%, Peep 5
- Hasil AGD
pH 7.42
pCO2 52.00
pO2 124
Hct 26.00%
HCO3- : 33.70
mmol/L
TCO2 : 35.30
mmol/L
BE 8.20 mmol/L
[Type text]
13
Agust
2010
1,2
2
2
2
2
2
2
- Observasi TTV
- Melakukan personal hygiene
- Mengkaji fungsi motorik
- Melakukan inspeksi dan
masase kulit
- Log roll, mempertahankan
sendi 90 derajad terhadap
papan kaki.
- Memberikan bantalan udara
- Melakukan kolaborasi dalam
pemberian obat sesuai
indikasi.
S
O
- TD : 110/68 mmHg
N : 93 x/menit
SpO2 : 99%
- Fungsi motorik
3 3
0 0
- Injeksi
Metyl prednisolone
2x125mg,
Lapibal 3x1 amp
- Drip
Dobutamin 3 µ
Fentonyl 300mg/24
jam
14
Agust
2010
1,2
1
1
1
1
1
- Observasi keadaan umum
dan TTV
- Mempertahankan jalan nafas;
posisi kepala tanpa gerak
dengan collar neck
- Mengkaji fungsi pernafasan
- Melakukan suction
- Memberikan diit cair per
NGT
- Melakukan pemantauan hasil
AGD
S
Tidak terkaji
O
- TD : 139/70 mmHg
N : 65 x/menit
SpO2 : 99%
- Slim +
- Pernafasan
abdominal
- Ventilasi mekanik
dengan ventilator
CPAP, FiO2 40%,
Peep 5
- Hasil AGD
[Type text]
pH 7.50
pCO2 44.00
pO2 106
Hct 26.00%
HCO3- : 34.30
mmol/L
TCO2 : 35.70
mmol/L
BE 10.10 mmol/L
14
Agust
2010
1,2
2
2
2
2
2
2
- Observasi TTV
- Melakukan personal hygiene
- Mengkaji fungsi motorik
- Melakukan inspeksi dan
masase kulit
- Log roll, mempertahankan
sendi 90 derajad terhadap
papan kaki.
- Memberikan bantalan udara
- Melakukan kolaborasi dalam
pemberian obat sesuai
indikasi.
S
O
- KU Apatis
- TD : 139/70 mmHg
N : 65 x/menit
SpO2 : 99%
- Fungsi motorik
3 3
0 0
- Injeksi metyl
prednisolone
2x125mg
Lapibal 3x1 amp
- Drip
Dobutamin 3 µ
Fentonyl 300mg/24
jam
[Type text]
F. Evaluasi
Dx Tanggal Evaluasi
1. 15 Juli 2010 S
Tidak terkaji
O
- Ventilasi dengan thrakeostomy dan ventilator
CPAP, FiO2 40%, Peep 5
- Ventilasi tidak adekuat
- TD : 121/58 mmHg
N : 71 x/menit
Respirasi 18x/menit
SpO2 : 96%
TVS 9
- Slim +
- Ronchi (+) wheezing (+)
- Sianosis (-)
- Hasil AGD
pH 7.54 pCO2 36.00
pO2 131.00 Hct 24.00%
HCO3- : 30.80 mmol/L
TCO2 : 31.90 mmol/L
BE 7.70 mmol/L
A
Masalah teratasi sebagian
P
Intervensi dan implementasi lanjutkan
2. 02 Juli 2010 S
Keluarga mengatakan kedua kaki klien masih
belum bisa digerakkan.
O
- Klien tampak gelisah, kesadaran apatis
[Type text]
- TD : 121/58 mmHg
N : 71 x/menit
SpO2 : 96%
Respirasi 18x/menit
TVS 9
- Fungsi motorik
3 3 0 0
- Mobilisasi (-)
- Tingkat ketergantungan total
A
Masalah belum teratasi
P
Intervensi dan implementasi lanjutkan.
[Type text]
DAFTAR PUSTAKA
Hudak and Gallo. (1994). Critical Care Nursing, A Holistic Approach, JB
Lippincott company, Philadelpia.
Khosama, Herlyani. (2005). Diagnosis Dan Penatalaksanaan Trauma Medulla
Spinalis. Retrieved Maret 29, 2010 from
http://neurology.multiply.com/journal/item/27
Marilyn, E Doengoes, et all. (2000), Rencana Asuhan Keperawatan, pedoman
untuk perencanaan dan pendokumentasian perawatan pasien. Jakarta : EGC.
Reksoprodjo Soelarto, (1995), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Jakarta : Binarupa
Aksara.
Bare, Brenda, G., & Smeltzer, Suzanne, C. (2002). Buku Ajar Keperawatan
Medikal-Bedah Brunner & Suddarth Vol. 3 Edisi 8. Jakarta : EGC.
Suddarth Doris Smith, (1991), The lippincott Manual of Nursing Practice, fifth
edition, JB Lippincott Company, Philadelphia.
Sjamsuhidajat. R (1997), Buku ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.
[Type text]
top related