bab ii tinjauan pustaka a. gangguan jiwarepository.poltekkes-tjk.ac.id/2432/6/6. bab ii.pdf ·...
Post on 12-Aug-2021
1 Views
Preview:
TRANSCRIPT
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Gangguan Jiwa
1. Definisi Gangguan Jiwa
Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ) adalah orang yang mengalami
gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam
bentuk sekumpulan gejala atau perubahan perilaku yang bermakna, serta
dapat menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi
orang sebagai manusia (Permenkes RI No. 54/2017).
Psikofarmaka adalah berbagai jenis obat yang bekerja pada susunan
saraf pusat. Efek utamanya pada aktivitas mental dan perilaku, yang
biasanya digunakan untuk pengobatan gangguan kejiwaan. Terdapat banyak
jenis obat psikofarmaka dengan farmakokinetik khusus untuk mengontrol
dan mengendalikan perilaku pasien gangguan jiwa. Golongan dan jenis
psikofarmaka ini perlu diketahui perawat agar dapat mengembangkan upaya
kolaborasi pemberian psikofarmaka, mengidentifikasi dan mengantisipasi
terjadinya efek samping, serta memadukan dengan berbagai alternatif terapi
lainnya. Berdasarkan efek klinik, obat psikotropika dibagi menjadi golongan
antipsikotik, antidepresan, antiansietas, dan antimanik (mood stabilizer)
(Yusuf dkk, 2015).
Irwan, dkk (2008) yang dikutip oleh Yulia (2013) menyebutkan obat
antipsikotik merupakan langkah awal untuk mengobati gangguan kejiwaan.
Obat antipsikotik bekerja untuk mengontrol sifat agresif, halusinasi, delusi
dan perubahan-perubahan pola fikir terhadap pasien penderita gangguan
jiwa.
2. Jenis- Jenis Gangguan Jiwa
Pada (Kemenkes RI No. HK.02.02/MENKES/73/2015) tentang
pedoman nasional pelayanan kedokteran jiwa, gangguan jiwa terbagi dalam
beberapa jenis yaitu :
8
a. Delerium
Delerium merupakan Suatu sindrom yang ditandai dengan gangguan
kesadaran dan kognisi yang terjadi secara akut dan berfluktuasi. Adanya
perubahan dalam kognisi defisit memori, disorientasi, gangguan berbahasa
atau gangguan persepsi yang tidak dikaitkan dengan demensia. Gangguan
delerium ini berkembang dalam periode waktu yang pendek, cenderung
berfluktuasi dalam sehari.
b. Demensia
Dimensia Merupakan sindrom akibat penyakit otak, bersifat kronik
progresif, ditandai dengan kemunduran fungsi kognitif multipel, yaitu
fungsi memori, aphasia, apraksia, agnosia, dan fungsi eksekutif. Kesadaran
pada umumnya tidak terganggu, adakalanya disertai gangguan psikologik
dan perilaku.
c. NAPZA
NAPZA (Narkotika, Alkohol, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya)
adalah setiap bahan kimia atau zat yang bila masuk ke dalam tubuh
mempengaruhi susunan saraf pusat yang manifestasinya berupa gejala fisik
dan psikologis.
d. Skizofrenia
Skizofrenia merupakan gangguan jiwa berat yang ditandai dengan
gangguan penilaian realita (waham dan halusinasi). Namun demikian,
skizofrenia merupakan gangguan jiwa yang paling mudah dikenali sehingga
diharapkan dapat dilakukan tatalaksana sedini mungkin untuk menghindari
risiko tersebut. Skizofrenia membutuhkan tata laksana jangka panjang
karena merupakan gangguan yang bersifat menahun (kronis) dan bisa
kambuh. Semakin sering kambuh, makin berat penurunan fungsi yang
terjadi pada Orang Dengan Skizofrenia (ODS). Skizofrenia termasuk dalam
gangguan psikotik.
e. Depresi
Depresi dapat berdiri sendiri atau menjadi bagian dari gangguan
bipolar. Jika berdiri sendiri disebut Depresi Unipolar. Simtom terjadi
9
sekurang-kurangnya dua minggu dan terdapat perubahan dari derajat fungsi
sebelumnya.
f. Gangguan Bipolar (GB)
Gangguan Bipolar (GB) merupakan gangguan jiwa yang bersifat
episodik dan ditandai oleh gejala-gejala manik, hipomanik, depresi, dan
campuran, biasanya rekuren serta dapat berlangsung seumur hidup.
3. Etiologi dan Epidemiologi
Menurut (Yusuf dkk, 2015) penyebab gangguan jiwa dipengaruhi oleh
faktor-faktor yang saling mempengaruhi yaitu sebagai berikut:
a. Faktor somatik (somatogenik)
Faktor somatik (somatogenik) yakni akibat gangguan pada
neuroanatomi, neurofisiologi, dan neurokimia, termasuk tingkat kematangan
dan perkembangan organik, serta faktor pranatal dan perinatal.
b. Faktor psikologik (psikogenik)
Faktor psikologik (psikogenik) yang terkait dengan interaksi ibu dan
anak, peranan ayah, persaingan antarsaudara kandung, hubungan dalam
keluarga, pekerjaan, permintaan masyarakat. Selain itu, faktor intelegensi,
tingkat perkembangan emosi, konsep diri, dan pola adaptasi juga akan
memengaruhi kemampuan untuk menghadapi masalah. Apabila keadaan ini
kurang baik, maka dapat mengakibatkan kecemasan, depresi, rasa malu, dan
rasa bersalah yang berlebihan.
c. Faktor sosial budaya
Faktor sosial budaya yang meliputi faktor kestabilan keluarga, pola
mengasuh anak, tingkat ekonomi, perumahan, dan masalah kelompok
minoritas yang meliputi prasangka, fasilitas kesehatan, dan kesejahteraan
yang tidak memadai, serta pengaruh rasial dan keagamaan.
Dari faktor-faktor ketiga diatas, terdapat beberapa penyebab lain dari
penyebab gangguan jiwa (Yosep, 2013 dalam Sari, 2018 ) diantaranya
adalah sebagai berikut :
10
1) Genetika.
Individu atau angota keluarga yang memiliki atau yang mengalami
gangguan jiwa akan kecenderungan memiliki keluarga yang mengalami
gangguan jiwa, akan cenderung lebih tinggi dengan orang yang tidak
memiliki faktor genetik
2) Sebab biologik.
a) Keturunan.
Peran penyebab belum jelas yang mengalami gangguan jiwa, tetapi sangat
ditunjang dengan faktor lingkungan kejiwaan yang tidak sehat.
b) Temperamen.
Seseorang terlalu peka atau sensitif biasanya mempunyai masalah pada
ketegangan dan kejiwaan yang memiliki kecenderungan akan mengalami
gangguan jiwa.
c) Jasmaniah.
Pendapat beberapa penyidik, bentuk tubuh seorang bisa berhubungan
dengan gangguan jiwa, seperti bertubuh gemuk cenderung menderita
psikosa manik defresif, sedangkan yang kurus cenderung menjadi
skizofrenia.
d) Penyakit atau cedera pada tubuh.
Penyakit jantung, kanker dan sebagainya bisa menyebabkan murung dan
sedih. Serta, cedera atau cacat tubuh tertentu dapat menyebabkan rasa
rendah diri.
3) Sebab psikologik.
Dari pengalaman frustasi, keberhasilan dan kegagalan yang dialami akan
mewarnai sikap, kebiasaan dan sifatnya di kemudian hari.
4) Stress.
Stress perkembangan, psikososial terjadi secara terus menerus akan
mendukung timbulnya gejala manifestasi kemiskinan, pegangguran
perasaan kehilangan, kebodohan dan isolasi.
11
5) Sebab sosio kultural.
a) Cara membesarkan anak yang kaku, hubungan orang tua anak menjadi kaku
dan tidak hangat. Anak setelah dewasa akan sangat bersifat agresif, pendiam
dan tidak akan suka bergaul atau bahkan akan menjadi anak yang penurut.
b) Sistem nilai, perbedaan etika kebudayaan dan perbedaan sistem nilai moral
antara masa lalu dan sekarang akan sering menimbulkan masalah kejiwaan.
c) Ketegangan akibat faktor ekonomi dan kemajuan teknologi, dalam
masyarakat kebutuhan akan semakin meningkat dan persaingan semakin
meningkat. Memacu orang bekerja lebih keras agar memilikinya, jumlah
orang yang ingin bekerja lebih besar sehingga pegangguran meningkat.
6) Perkembangan psikologik yang salah.
Ketidak matangan individu gagal dalam berkembang lebih lanjut. Tempat
yang lemah dan disorsi ialah bila individu mengembangkan sikap atau pola
reaksi yang tidak sesuai, gagal dalam mencapai integrasi kepribadian yang
normal.
1. Tanda dan Gejala Gangguan Jiwa
Tanda dan gejala gangguan jiwa (Yosep, H. Iyus & Sutini, 2014 dalam Sari,
2018) adalah sebagai berikut :
a. Ketegangan (Tension)
Merupakan murung atau rasa putus asa, cemas, gelisah, rasa lemah, histeris,
perbuatan yang terpaksa (Convulsive), takut dan tidak mampu mencapai
tujuan pikiran-pikiran buruk.
b. Gangguan kognisi.
Merupakan proses mental dimana seorang menyadari, mempertahankan
hubungan lingkungan baik, lingkungan dalam maupun lingkungan luarnya
(Fungsi mengenal), Proses kognisi tersebut adalah sebagai berikut:
1) Gangguan persepsi.
Persepsi merupakan kesadaran dalam suatu rangsangan yang dimengerti.
Sensasi yang didapat dari proses asosiasi dan interaksi macam-macam
rangsangan yang masuk(Permenkes RI Nomor 54 tahun 2017)..
12
Tabel 2.1 Gejala-gejala persepsi pada gangguan jiwa
Gejala-gejala persepsi pada gangguan
jiwa
Definisi
Halusinasi Kesalahan persepsi tanpa ada stimulus
(obyek) yang nyata. Halusinasi yang
paling sering terjadi adalah halusinasi
auditorik (pendengaran), ODS
mendengar bisikan yang seringkali
berkomentar atau menyuruh untuk
melakukan tindakan membahayakan
dirinya atau orang lain. Jenis halusinasi
lain adalah halusinasi penglihatan,
penciuman, pengecapan, dan
rabaan/taktil.
Ilusi Kesalahan persepsi yang timbul
terhadap stimulus (obyek) yang nyata
Depersonalisasi Mengalami atau merasakan bahwa
dirinya tidak nyata, berubah bentuk,
atau asing
Derealisasi Merasakan bahwa lingkungan
sekitarnya berubah, tidak nyata, atau
asing
2) Gangguan sensasi.
Seorang mengalami gangguan kesadaran akan rangsangan yaitu rasa raba,
rasa kecap, rasa penglihatan, rasa cium, rasa pendengaran dan kesehatan
(Kusumawati, Farida & Hartono, 2010 dalam Sari, 2018).
c. Gangguan kepribadian.
Kepribadian merupakan pola pikiran keseluruhan, perilaku dan perasaan
yang sering digunakan oleh seseorang sebagai usaha adaptasi terus menerus
dalam hidupnya. Gangguan kepribadian misalnya gangguan kepribadian
paranoid, disosial, emosional tak stabil. Gangguan kepribadian masuk dalam
klasifikasi diagnosa gangguan jiwa (Maramis, 2009 dalam Sari, 2018).
13
d. Gangguan pola hidup
Mencakup gangguan dalam hubungan manusia dan sifat dalam keluarga,
rekreasi, pekerjaan dan masyarakat. Gangguan jiwa tersebut bisa masuk
dalam klasifikasi gangguan jiwa kode V, dalam hubungan sosial lain
misalnya merasa dirinya dirugikan atau dialang-alangi secara terus menerus.
Misalnya dalam pekerjaan harapan yang tidak realistik dalam pekerjaan
untuk rencana masa depan, pasien tidak mempunyai rencana apapun
(Maramis, 2009 dalam Sari, 2018).
e. Gangguan perhatian.
Perhatian ialah konsentrasi energi dan pemusatan, menilai suatu proses
kognitif yang timbul pada suatu rangsangan dari luar (Direja, 2011 dalam
Sari, 2018).
f. Gangguan kemauan.
Kemauan merupakan dimana proses keinginan dipertimbangkan lalu
diputuskan sampai dilaksanakan mencapai tujuan (Yosep, H. Iyus & Sutini,
2014 dalam Sari, 2018).
g. Gangguan perasaan atau emosi (Afek dan mood)
Perasaan dan emosi merupakan spontan reaksi manusia yang bila tidak
diikuti perilaku maka tidak menetap mewarnai persepsi seorang terhadap
disekelilingnya atau dunianya. Perasaan berupa perasaan emosi normal
(adekuat) berupa perasaan positif (gembira, bangga, cinta, kagum dan
senang). Perasaan emosi negatif berupa cemas, marah, curiga, sedih, takut,
depresi, kecewa, kehilangan rasa senang dan tidak dapat merasakan
kesenangan (Maramis, 2009 dalam Sari, 2018).
h. Gangguan pikiran atau proses pikiran (berfikir).
Pikiran merupakan hubungan antara berbagai bagian dari pengetahuan
seseorang. Berfikir ialah proses menghubungkan ide, membentuk ide baru,
dan membentuk pengertian untuk menarik kesimpulan. Proses pikir normal
ialah mengandung ide, simbol dan tujuan asosiasi terarah atau koheren
(Kusumawati, Farida & Hartono, 2010 dalam Sari, 2018).
14
i. Gangguan psikomotor
Gangguan psikomotor merupakan gerakan badan dipengaruhi oleh keadaan
jiwa sehinggga afek bersamaan yang megenai badan dan jiwa, juga meliputi
perilaku motorik yang meliputi kondisi atau aspek motorik dari suatu
perilaku. Gangguan psikomotor berupa, aktivitas yang menurun, aktivitas
yang meningkat, kemudian yang tidak dikuasai, berulang-ulang dalam
aktivitas. Gerakan salah satu badan berupa gerakan salah satu badan
berulang-ulang atau tidak bertujuan dan melawan atau menentang terhadap
apa yang disuruh (Yosep, H. Iyus & Sutini, 2014 dalam Sari, 2018).
B. Penatalaksanaan Gangguan Jiwa
Tujuan utama dari terapi gangguan jiwa adalah mengembalikan fungsi
normal pasien dan mencegah kekambuhan penyakitnya. Tidak ada
pengobatan yang spesifik untuk masing-masing jenis gangguan jiwa.
Pengobatan hanya dibedakan berdasarkan tanda gejala apa yang menonjol
pada pasien. Terapi yang bisa dilakukan pada penderita gangguan jiwa
meliputi terapi farmakologi dan non farmakologi.
a. Terapi Farmakologi
a. Delerium
Antipsikotika dapat dipertimbangkan bila ada tanda dan gejala psikosis,
misalnya halusinasi, waham atau sangat agitatif (verbal atau fisik) sehingga
berisiko terlukanya pasien atau orang lain (Kemenkes RI No.
HK.02.02/MENKES/73/2015).
1) Haloperidol mempunyai rekam jejak terpanjang dalam mengobati delirium,
dapat diberikan per oral, IM, atau IV.
2) Dosis Haloperidol injeksi adalah 2-5 mg IM/IV dan dapat diulang setiap 30
menit (maksimal 20 mg/hari).
3) Efek samping parkinsonisme dan akatisia dapat terjadi.
4) Bila diberikan IV, dipantau dengan EKG adanya pemanjangan interval QTc
dan adanya disritmia jantung.
5) Pasien agitasi yang tidak bisa menggunakan antipsikotika (misalnya, pasien
dengan Syndrom Neuroleptic Malignance) atau bila tidak berespons bisa
15
ditambahkan benzodiazepin yang tidak mempunyai metabolit aktif,
misalnya lorazepam tablet 1–2 mg per oral. Kontraindikasi untuk pasien
dengan gangguan pernafasan.
b. Demensia
Tata laksana psikososial ditujukan untuk mempertahankan
kemampuan penderita yang masih tersisa, menghambat progresivitas
kemunduran fungsi kognitif, mengelola gangguan psikologik dan perilaku
yang timbul. Latihan memori sederhana, latihan orientasi realitas, dan
senam otak, dapat membanu menghambat kemunduran fungsi kognitif.
Psikoedukasi terhadap keluarga/caregiver menjadi bagian yang sangat
penting dalam tata laksana pasien. Pemberian obat Anti Demensia seperti
Donepezil dan Rivastigmin bermanfaat untuk menghambat kemunduran
fungsi kognitif pada demensia ringan sampai sedang, tapi tidak dianjurkan
untuk demensia berat. Untuk mengendalikan perilaku agresif dapat
diberikan obat antipsikotik dosis rendah (haloperidol 0,5-1 mg/hari atau
Risperidon 0,5-1 mg/hari). Untuk mengatasi gejala Depresi dapat diberikan
Antidepresan (Sertralin25mg/hari)
(Kemenkes RI No. HK.02.02/MENKES/73/2015).
c. NAPZA
Pada (Kemenkes RI No. HK.02.02/MENKES/73/2015) penanganan kondisi
gawat darurat:
1) Pemberian Antidotum Naloxon HCl (Narcan/Nokoba) atau Naloxone 0.8 mg
IV dan tunggu selama 15 menit. Jika tidak ada respons, berikan Naloxone
1.6 mg IV dan tunggu 15 menit. Jika masih tetap tidak ada respon, berikan
Naloxone 3.2 mg IV dan curigai penyebab lain. Jika pasien berespon,
teruskan pemberian 0.4 mg/jam IV.
2) Memantau dan evaluasi tanda-tanda vital
3) Mengatasi penyulit sesuai dengan kondisi klinis
4) Bila intoksikasi berat rujuk ke ICU
d. Skizofrenia
Ada tiga fase pengobatan dan pemulihan skizofrenia (Ikawati,2011 dalam
Santikara,2017):
16
1) Terapi fase akut
Pada fase ini pasien menunjukkan gejala psikotik yang intensif.
Biasanya pada fase ini ditandai dengan munculnya gejala positif dan negatif.
Pengobatan pada fase ini bertujuan untuk mengendalikan gejala psikotik
sehingga tidak membahayakan terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Terapi utamanya adalah dengan menggunakan obat dan biasanya
dibutuhkan rawat inap. Pemilihan antipsikotik yang benar dan dosis yang
tepat dapat mengurangi gejala psikotik dalam waktu enam minggu.
2) Terapi fase stabilisasi
Pada fase ini pasien masih mengalami gejala psikotik dengan intensitas
yang lebih ringan. Pada fase ini pasien masih memiliki kemungkinan yang
besar untuk kambuh sehingga butuhkan pengobatan yang rutin untuk
menuju ke tahap pemulihan yang lebih stabil.
3) Terapi fase pemeliharaan
Pada fase ini dilakukan terapi jangka panjang dengan harapan dapat
mempertahankan kesembuhan, mengontrol gejala, mengurangi risiko
kekambuhan, mengurangi durasi rawat inap, dan mengajarkan keterampilan
untuk hidup mandiri. Terapinya meliputi obat-obatan, terapi suportif,
pendidikan keluarga dan konseling, serta rehabilitasi pekerjaan dan sosial.
4) Terapi stabilisasi dimulai pada minggu kedua atau ketiga. Terapi stabilisasi
bertujuan untuk meningkatkan sosialisasi serta perbaikan kebiasaaan dan
perasaan. Pengobatan pada tahap ini dilakukan dengan obat-obat
antipsikotik. Terapi pemeliharaan bertujuan untuk mencegah kekambuhan.
Dosis pada terapi pemeliharaan dapat diberikan setengah dosis akut.
Klozapin merupakan antipsikotik yang hanya digunakan apabila pasien
mengalami resistensi terhadap antipsikotik yang lain.
e. Depresi
1) Terapi Fase Akut
Dimulai dari keputusan untuk terapi dan berakhir dengan remisi. Skala
penentuan beratnya depresi (HAM-D dan MADRS) dapat membantu
menentukan beratnya penyakit dan perbaikan gejala.
17
2) Terapi Fase Lanjutan
Tujuan pengobatan pada fase ini adalah tercapainya remisi dan mencegah
relaps. Remisi yaitu bila HAM-D ≤ 7 atau MADRS ≤ 8, bertahan paling
sedikit 3 minggu. Dosis obat sama dengan fase akut.
3) Terapi Fase Rumatan
Tujuan untuk mencegah rekurensi.Hal yang perlu dipertimbangkan adalah
risiko rekuren, biaya dan keuntungan perpanjangan terapi. Pasien yang telah
tiga kali atau lebih mengalami episode depresi atau dua episode berat
dipertimbangkan terapi pemeliharaan jangka panjang. Antidepresan yang
telah berhasil mencapai remisi dilanjutkan dengan dosis yang sama selama
masa pemeliharaan.
f. Gangguan Bipolar (GB)
Tujuan terapi gangguan bipolar adalah untuk mencegah kekambuhan
episode mania, hipomania, atau depresi, mempertahankan fungsi-fungsi
normal, dan untuk mencegah episode lebih lanjut mania atau depresi
(Drayton & Weinstein 2008 dalam Wahana, 2018).
2. Terapi Non Farmakologi
Terapi non farmakologi pada penderita gangguan jiwa meliputi
pendekatan psikososial dan ECT (Electro Convulsive Therapy). Peningkatan
kualitas hidup dan kesembuhan pasien gangguan jiwa akan lebih baik jika
diberikan juga terapi non farmakologi disamping terapi obat. Kombinasi
kedua terapi ini akan mampu memberikan manfaat yang banyak bagi pasien.
Pendekatan psikososial bertujuan untuk memberikan dukungan emosional
kepada pasien sehingga pasien mampu meningkatkan fungsi sosial dan
pekerjaannya dengan lebih baik. Ada beberapa jenis pendekatan psikososial
yang biasa dilakukan pada pasien gangguan jiwa,
a. Program for Assertive Community Treatment (PACT),
b. intervensi keluarga,
c. terapi perilaku kognitif (cognitive behavioural therapy),
d. dan pelatihan keterampilan sosial (Ikawati, 2011 dalam santikara, 2017).
18
Penggolongan obat pada pasien Gangguan jiwa yaitu:
a) Antipsikotik tipikal (FGA)
Antipsikotik tipikal merupakan antipsikotik generasi lama yang
mempunyai aksi untuk mengeblok reseptor dopamin D2. Antipsikotik jenis
ini lebih efektif untuk mengatasi gejala positif yang muncul. Efek samping
ekstrapiramidal banyak ditemukan pada penggunaan antipsikotik tipikal
sehingga muncul antipsikotik atipikal yang lebih aman. Contoh obat-obatan
yang termasuk dalam antipsikotik tipikal diantaranya adalah
chlorpromazine, haloperidol, trifluoperazine, aripiprazole dan perfenazine
(Ikawati, 2011 dalam Santikara, 2017:8).
b) Antipsikotik atipikal (SGA)
Antipsikotik atipikal adalah generasi baru yang banyak muncul pada
tahun 1990an. Aksi obat ini yaitu menghambat reseptor 5-HT2 dan memiliki
efek blokade pada reseptor dopamin yang rendah. Antipsikotik atipikal
merupakan pilihan pertama dalam terapi skizofrenia karena efek
sampingnya yang cenderung lebih kecil jika dibandingkan dengan
antipsikotik tipikal. Antipsikotik atipikal menunjukkan penurunan dari
munculnya efek samping karena penggunaan obat Universitas Sumatera
Utara dan masih efektif diberikan untuk pasien yang telah resisten terhadap
pengobatan. Antipsikotik ini efektif untuk mengatasi gejala baik positif
maupun negatif. Contoh obat termasuk antipsikotik atipikal adalah clozapin,
risperidon, dan quetiapin (Ikawati, 2011 dalam Santikara, 2017:8 ).
c) Antidepresan
Obat-obat antidepresan adalah obat yang digunakan untuk mengurangi
gangguan depresi, ansietas berat, dan depresi psikosis.Meskipun mekanisme
kerja obat-obat antidepresan ini belum sepenuhnya diketahui, tetapi telah
diketahui bahwa obat-obat ini mengadakan interaksi dengan dua
neurotransmitter yaitu norepinefrin dan serotonin yang mengatur alam
perasaan (mood), rangsangan konsentrasi, sensory processing, dan nafsu.
Bunuh diri selalu merupakan perhatian utama ketika menangani pasien
dengan depresi. Obat-obat seperti mirtazepin, escitalopram, nefazodone,
amitriptyline, fluoxetin, sertaline, dan maprotilin adalah obat-obat yang
19
sering digunakan untuk pasien yang berisiko tinggi melakukan bunuh diri,
karena obat-obat ini tidak mengakibatkan over dosis yang fatal
dibandingkan obat-obat lain. Obat-obat ini memerlukan waktu beberapa
minggu untuk dapat dirasakan efek terapeutiknya. Oleh karena itu, dalam
waktu ini pasien perlu dimonitor dengan baik karena pasien masih
cenderung melakukan bunuh diri atau menghentikan sendiri obat-obatnya
karena tidak merasakan depresinya membaik (andri, 2009 dalam sakti,
2011).
d) Antiansietas
Obat antiansietas mempunyai beberpa sinonim, antara lain
psikoleptik, transquilizer minor dan anksioliktik. Gejala antiansietas
umumnya berkaitan dengan depresi dan terutama pada gangguan distimia,
gangguan panik, gangguan pola makan, dan banyak gangguan kepribadiaan
lainnya. Jenis obat yang digunakan dalam pengobatan ini adalah diazepam,
klordiazepoksoid, lorazepam, merlopam dan alpraazolam (andri, 2009
dalam sakti, 2011).
e). Antiepilepsi
Pengunaan obat antiepilepsi dalam pengobatan gangguan jiwa ini
dimungkinkan untuk menanggulangi konvulsi (kejang klonus hebat) dan
berdaya sodatif (meredakan). Jenis obat antiepilepsi yang digunakan adalah
Carbamazepin, benzodiazepin dan oxacarbazepine (andri, 2009 dalam sakti,
2011).
f). Penstabil mood (mood stabilizer).
Mood stabilizing drugs adalah obat yang dipakai untuk menangani
gangguan bipolar (manik atau manikdepresif) dengan menstabilkan alam
perasaan pasien. Obat-obat ini juga dipakai untuk menangani serangan
mania yang akut. Litium adalah obat pilihan sebagai mood stabilizer. Dosis
litium per oral dapat dari 900-3600 mg per hari. Kadar litium dalam darah
(litium serum) perlu dimonitor tiap 2-3 hari. Litium serum di bawah 0,5
mEq/L dianggap kurang menghasilkan efek terapeutik dan kadar litium
dalam darah sebesar 1,5 mEq/L dianggap toksik (andri, 2009 dalam sakti,
2011).
20
g). Antiparkinson
Antiparkinson juga merupakan salah satu obat yang diresepkan pada
pasien gangguan jiwa, pada penelitian ini obat antiparkinson yang
digunakan adalah Trihexilpenidil. Dimana obat ini untuk menurunkan
aktivitas asetikolin dalam otak untuk menjaga keseimbangan sistem motorik
ekstrapiramidal. Trihexilpenidil diberikan karena lebih efektif daalam
menangani efek samping EPS (ekstrapiramidal), khususnya parkinson
ketika pengurangan dosis antipsikotik tidak mengurangi gejala EPS tersebut
(Nugroho, 2012).
21
Tahap 1 : Episode pertama psikosis
Mencoba Antipsikotik tunggal
Antipsikotik atipikal (SGA) sebagai drug of choice. Dimulai dengan dosis rendah
antipsikotik
dan monitoring efek samping serta sensitifitas pasien terhadap pengobatan
Respon parsial atau tidak ada
Tahap 2
Tipikal atau atipikal tunggal
(bukan antipsikotik pada Tahap 1)
Respon parsial atau tidak ada
Tahap 3
CLOZAPINE
Respon parsial atau tidak ada
Tahap 4
CLOZAPINE
+
(FGA, SGA atau ECT)
Tidak ada respon
Tahap 5
Tipikal atau atipikal tunggal
(tidak digunakan pada Tahap 1 atau 2)
Tahap 6
Terapi kombinasi
Contoh : SGA + FGA, Kombinasi dari SGA,
(FGA atau SGA) + ECT, (FGA + SGA) + agen lain (seperti mood stabilizer)
Keterangan:
FGA : Antipsikotik tipikal
SGA : Antipsikotik atipikal
ECT : Electro Convulsive Therapy
Gambar 2.1 Alur Penatalaksanaan Terapi Gangguan Jiwa (Dipiro, 2008).
22
C. Apotek
1. Definisi Apotek
Apotek adalah sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan
praktek kefarmasian oleh Apoteker. Tenaga Kefarmasian adalah tenaga
yang melakukan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Apoteker dan
Tenaga Teknis Kefarmasian. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah
lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker.
Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam
menjalankan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli
Madya Farmasi dan Analis Farmasi Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota
dapat mengatur persebaran Apotek di wilayahnya dengan memperhatikan
akses masyarakat dalam mendapatkan pelayanan kefarmasian (Pemenkes
No. 9/2017:4).
2. Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek
Standar Pelayanan Kefarmasian adalah tolak ukur yang dipergunakan
sebagai pedoman bagi tenaga kefarmasian dalam menyelenggarakan
pelayanan kefarmasian. Pelayanan Kefarmasian adalah suatu pelayanan
langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang berkaitan dengan
sediaan farmasi dengan maksud mencapai hasil yang pasti untuk
meningkatkan mutu kehidupan pasien. Pelayanan farmasi klinik di apotek
merupakan bagian dari pelayanan kefarmasian yang langsung dan
bertanggung jawab kepada pasien berkaitan dengan sediaan farmasi, alat
kesehatan, dan bahan medis habis pakai dengan maksut mencapai hasil yang
pasti untuk meningkatkan kualitas hidup pasien (Permenkes RI No.
73/2016:3). Pelayanan farmasi klinik meliputi:
a. Pengkajian dan pelayanan Resep.
b. Dispensing.
c. Pelayanan Informasi Obat (PIO).
d. Konseling.
e. Pelayanan Kefarmasian di rumah (home pharmacy care).
f. Pemantauan Terapi Obat (PTO).
23
g. Monitoring Efek Samping Obat (MESO).
Pengkajian dan Pelayanan Resep meliputi administrasi, kesesuaian
farmasetik dan pertimbangan klinis (Permenkes RI No. 73/2016:15).
Kajian administratif meliputi:
1) Nama pasien, umur, jenis kelamin dan berat badan.
2) Nama dokter, nomor Surat Izin Praktik (SIP), alamat, nomor telepon dan
paraf.
3) Tanggal penulisan Resep.
Kajian kesesuaian farmasetik meliputi:
1) Bentuk dan kekuatan sediaan.
2) Stabilitas.
3) kompatibilitas (ketercampuran Obat).
Pertimbangan klinis meliputi:
1) Ketepatan indikasi dan dosis Obat.
2) Aturan, cara dan lama penggunaan Obat.
3) Duplikasi dan/atau polifarmasi.
4) Reaksi Obat yang tidak diinginkan (alergi, efek samping Obat, manifestasi
klinis lain).
5) Kontra indikasi.
6) Interaksi.
3. Apotek Siaga
Apotek siaga bekerja sama dengan seorang dokter spesialis kejiwaan
dan dokter umum. Sasaran utama apotek siaga adalah pasien dengan
gangguan kejiwaan. Apotek ini menyediakan obat untuk pasien gangguan
jiwa. Apotek siagapun melayani resep dari dalam apotek dan resep dari luar
apotek.
24
4. Resep adalah permintaan tertulis dari dokter atau dokter gigi, kepada
apoteker, baik dalam bentuk paper maupun electronic untuk menyediakan
dan menyerahkan obat bagi pasien sesuai peraturan yang berlaku. Pelayanan
Resep dimulai dari penerimaan, pemeriksaan ketersediaan, penyiapan
Sediaan Farmasi, Alat Kesehatan, dan Bahan Medis Habis Pakai termasuk
peracikan Obat, pemeriksaan, penyerahan disertai pemberian informasi.
Pada setiap tahap alur pelayanan Resep dilakukan upaya pencegahan
terjadinya kesalahan pemberian Obat (medication error) (Permenkes RI No.
73/2016:3).
5. Indikator Peresepan WHO 1993
Menurut WHO 1993 indikator peresepan merupakan indikator praktik
peresepan untuk mengukur kinerja penyedia layanan kesehatan terkait
dengan penggunaan obat yang tepat atau tidak tepat.
Indikator Peresepan Menurut WHO meliputi:
a. Rata-rata jumlah item perlembar resep
Rata-rata jumlah item perlembar resep bertujuan untuk mengukur tingkat
polifarmasi obat, dimana pasien diresepkan rata-rata 3,3 item obat per
lembar resep.
b. Persentase peresepan obat dengan nama generik
Persentase peresepan obat dengan nama generik bertujuan untuk mengukur
kecenderungan peresepan tersebut dengan obat generic.
c. Persentase peresepan dengan daftar obat esensial atau formularium
Persentase peresepan dengan daftar obat esensial atau formularium
bertujuan untuk mengetahui kecenderungan peresepan sesuai obat esensial
nasional atau formularium sarana pelayanan kesehatan.
D. Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN)
Daftar Obat Esensial Nasional merupakan daftar obat terpilih yang
paling dibutuhkan dan harus tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan sesuai
dengan fungsi dan tingkatnya. Pada daftar obat esensial nasional obat yang
tercantum didalamnya (Menkes RI No. HK.01.07/MENKES/395/2017:3).
25
Tabel 2.2 Daftar Obat Esensial Nasional
No Golongan Obat Nama Obat Bentuk Sediaan dan
Kekuatan
1. Antipsikotik
Haloperidol
Tab 1,5 mg, 2 mg, 5 mg
Cairan inj i.m 5 mg/ml
(HCL)
Cairan inj i.m 50 mg/ml
(dekanoat)
Tts 2 mg/ ml
Flufenazine
Cairan inj i.m 25 mg/ml
(dekanoat)
Klorpromazine
Tab sal selaput 25 mg,
100 mg
Cairan inj i.m 5 mg/ ml
Klozapin Tab 25 mg, 100 mg
Risperidon Tab 1 mg. 2 mg
2. Antidepresi Amitriptilin Tab Sal Selaput 25 mg
Fluoksetin Kaps 10 mg
Tab 20 mg
3. Antiansietas Diazepam Tab 2 mg, 5 mg
Cairan Inj i.m 5 mg/ ml
Lorazepam Tab 0,5 mg, 1 mg, 2 mg
4. Antiepilepsi Fenitoin Kaps 100 mg
Cairan Inj 50 mg/ 2,5 mg
Fenobarbital Tab 30 mg, 100 mg
Karbamazepin Sir 100 mg/ 5 ml
Tab 200 mg
Magnesium Sulfat Cairan inj i.v 20 %
Cairan inj i,v 40 %
5. Antiparkinson Benserazid Tab 25 mg
Levodova Tab 100 mg
26
E. Kerangka Teori
Kerangka teori adalah konsep-konsep teori yang digunakan atau
berhubungan dengan penelitian yang akan dilaksanakan (Notoadmojo,S,2010)
.
Gambar 2.2 Kerangka Teori
(Sumber : WHO, 1993 dan Permenkes RI No. 73 Tahun 2016).
Farmakologi
Non Farmakologi
1. Antipsikotik
a.Antipsikotik Tipikal
b. Antipsikotik Atipikal
2.Antiepilepsi
3.Antidepresi
4. Antiansietas
5.Penstabil mood (lithium)
6. Antiparkinson
1. Psikoterapi individual
2. Terapi Kelompok
3. Terapi intervensi keluarga
4. Terapi perilaku kognitif
5. Terapi Pelatihan keterampilan
sosial
Dengan Resep
Aspek indikator peresepan (WHO,
1993).
1.Jumlah item obat perlembar resep.
2.Persentase peresepan obat dengan nama
generik.
3.Persentase peresepan obat sesuai
DOEN.
Aspek klinis standar pelayanan
kefarmasian di apotek (Permenkes No.
73/2016).
1. kesesuaian dosis obat.
2. kesesuaian Aturan pakai obat.
3. kesesuaian Lama penggunaan obat.
Gangguan Jiwa
Terapi
27
F. Kerangka Konsep
Kerangka konsep adalah kerangka hubungan antara konsep yang
diamati atau diukur melalui penelitian yang akan dilakukan (Notoadmojo, S,
2010 )
Gambar 2.3 Kerangka Konsep.
Peresepan obat pada
pasien gangguan jiwa
a. Presentasi jumlah karakteristik responden
terdiri dari (jenis kelamin,dan usia) pada
pasien gangguan jiwa.
b. Persentase rata-rata jumlah item obat pada
pasien gangguan jiwa.
c. Persentase golongan obat pada pasien
gangguan jiwa berdasarkan efek
farmakologinya.
d. Persentase peresepan obat generik pada
pasien gangguan jiwa.
e. Persentase kesesuaian dosis obat pada
pasien gangguan jiwa berdasarkan
(Medscape).
f. Persentase kesesuaian aturan pakai obat
pada pasien gangguan jiwa berdasarkan
(Medscape)
g. Persentase kesesuaian lama penggunaan
obat dalam satu resep berdasarkan
(Saraswati dkk, 2019).
h. Persentase obat penyerta pada pasien
gangguan jiwa.
i. Persentase obat yang diresepkan sesuai
Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN).
28
G. Definisi Operasional
Tabel 2.3 Definisi Operasional
No Variabel Definisi
Operasional
Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
1. Jenis
kelamin
Identitas
gender
responden.
Observasi
Resep
Checklist 1.laki-laki
2.perempuan
Nominal
2. Usia Lama hidup
pasien
dihitung
sejak lahir
sampai saat
dilakukan
pengambilan
data oleh
peneliti.
Observasi
Resep
Checklist 1. Dewasa muda
(18-35 tahun)
2. Dewasa
menengah (36-
59 tahun)
3. Lanjut usia (≥
60 tahun)
(Lestari,
2014)
Ordinal
3. Jumlah
item obat
Jenis obat
dalam satu
kali
peresepan
Observasi
Resep
Checklist 1. 1 item
2. 2 item
3. 3 item
4. 4 item
5. 5 item
Nominal
4. Golonga
n obat
pada
pasien
gangguan
jiwa
berdasark
an efek
farmakol
oginya.
Jenis obat
yang
digunakan
berdasarkan
efek
farmakologi
nya
Observasi
Resep
Checklist 1. Golongan
Antipsikotik
2.Golongan
Antidepresi
3.Golongan
Antiansietas
4.Golongan
Antiepilepsi
5.Golongan
penstabil mood
6.Golongan
Antiparkinson
Nominal
5. Peresepa
n obat
generik
Jumlah obat
yang sesuai
dengan
nama
kandungan
zat aktifnya
Observasi
Resep
Checklist 1. Generik
2. Non Generik
Nominal
6
.
Obat
penyerta
Jenis obat
penyertayan
g diresepkan
Observasi
Resep
Checklist 1.Ada
2.Tidak Ada
Nominal
7. Lama
pengguna
an obat
Lama
penggunaan
obat dalam
satu resep
Observasi
Resep
Checklist 1.≤ 1 Bulan
2. 1-3 bulan
3. 4-6 bulan
4.7-12 bulan
5. ≥12 bulan
(Saraswati
dkk, 2019)
Ordinal
8. Dosis dosis obat Observasi Checklist 1.Sesuai Nominal
29
No Variabel Definisi
Operasional
Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
obat yang
digunakan
dalam
peresepan
Resep 2.Tidak sesuai
(Medscape)
9. Aturan
pakai
aturan
pemakaian
obat dalam
peresepan
Observasi
Resep
Checklist 1.Sesuai
2.Tidak sesuai
(Medscape)
Nominal
10. Obat
yang
diresepka
n sesuai
(DOEN)
Obat yang
sesuai atau
tidak dengan
DOEN
Observasi
Resep
Checklist 1. Sesuai
2. Tidak sesuai
Nominal
top related