bab iv analisis dan pembahasan - thesis.binus.ac.idthesis.binus.ac.id/doc/bab4/bab4_06-74.pdf ·...
Post on 08-Mar-2019
215 Views
Preview:
TRANSCRIPT
64
BAB IV
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1. Industri Perusahaan Pembiayaan
4.1.1. Sejarah Perusahaan Pembiayaan di Indonesia
Industri pembiayaan (multifinance) sesungguhnya belumlah terlalu lama di
Indonesia, terutama bila dibandingkan dengan di negara-negara maju. Dari beberapa
sumber, diketahui industri ini mulai tumbuh di Indonesia pada tahun 1974 yang
didasarkan pada Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri, yaitu Menteri
Keuangan, Menteri Perindustrian, dan Menteri Perdagangan.
Setahun setelah dikeluarkannya SKB tersebut, berdirilah PT Pembangunan
Armada Niaga Nasional (PANN) pada tahun 1975. Perusahaan tersebut kemudian
mengganti namanya menjadi PT (Persero) PANN Multi Finance. Melalui Keputusan
Presiden (Keppres) No.61/1988, yang ditindaklanjuti dengan SK Menteri Keuangan
No. 1251/KMK.013/1988, pemerintah membuka lebih luas lagi bagi bisnis
pembiayaan, dengan cakupan kegiatan meliputi leasing, factoring, consumer finance,
modal ventura dan kartu kredit.
Sebagai sesama industri keuangan, perkembangan industri pembiayaan relatif
tertinggal dibandingkan dengan yang lain, perbankan, misalnya. Terlebih lagi bila
dibandingkan dengan perbankan pasca Pakto 1988. Deregulasi yang digulirkan
pemerintah di bidang perbankan telah membuahkan banyak sekali bank, walaupun
dalam skala gurem. Tetapi banyak kalangan menuding, justru Pakto 88 inilah menjadi
65
biang keladi suramnya industri perbankan di kemudian hari. Puncaknya, terjadi pada
tahun 1996 ketika pemerintah melikuidasi 16 bank. Langkah itu ternyata masih
diikuti dengan dimasukkannya beberapa bank lain dalam perawatan Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Meski demikian, perusahaan pembiayaan juga mampu berkembang cukup
mengesankan. Hingga saat ini leasing di Indonesia telah ikut berkiprah dalam
pembiayaan perusahaan. Jenis barang yang dibiayai pun terus meningkat. Jika
sebelumnya hanya terfokus pada pembiayaan transportasi, kini berkembang pada
keperluan kantor, manufaktur, konstruksi dan pertanian. Hal ini mengindikasikan
industri pembiayaan kian dikenal pelaku usaha nasional.
Ada beberapa hal menarik jika kita mencermati konsentrasi dan perkembangan
perusahaan pembiayaan. Pada era 1989, misalnya, industri ini di Indonesia cenderung
berupaya memperbesar aset. Perburuan aset tersebut diantaranya disebabkan
tantangan perekonomian menuntut mereka tampil lebih besar, sehat dan kuat.
Perusahaan yang tidak beranjak dari skala semula, tampak terguncang-guncang dana
akhirnya tutup sama sekali.
Dengan aset dan skala usaha yang besar, muncul anggapan perusahaan lebih
andal dibandingkan yang lain. Bagi yang kapasitasnya memang terbatas, mereka
berupaya agar tetap tampil megah dan gagah. Maka, dimulailah saling lirik dan
penjajakan di antara sesamanya. Skenario selanjutnya, banyak perusahaan leasing
yang melakukan penggabungan menjadi satu grup. Tampaknya, langkah ini
membuahkan hasil positif. Selain modal dan aset menggelembung, kredibilitas dan
penguasaan pasar pun ikut terdongkrak.
66
Namun gairah menggelembungkan aset tersebut berangsur-angsur mulai pudar.
Karena pada tahun berikutnya (1990), industri pembiayaan mulai kembali pada
prinsip dasar ekonomi. Mereka lebih mengutamakan keuntungan yang sebesar-
besarnya.
Sebenarnya, berubahnya orientasi ini dipicu oleh kian sengitnya persaingan di
industri pembiayaan. Akibatnya, kehati-hatian menjadi agak terabaikan. Indikasinya,
persyaratan untuk memperoleh sewa guna usaha menjadi semakin longgar. Bahkan,
kabarnya di Bengkulu, orang bisa mendapatkan sewa guna usaha hanya dengan
menyerahkan selembar kartu tanda penduduk (KTP).
Pada tahun 1991, kembali terjadi perubahan besar-besaran pada perusahaan
pembiayaan. Seiring dengan kebijakan uang ketat (TMP = tight money policy) – yang
lebih dikenal dengan Gebrakan Sumarlin I dan II – suku bunga pun ikut meroket
naik. Akibatnya, banyak kredit yang sudah disetujui terpaksa ditunda pencairannya.
Dari sisi permodalan, TMP membuat perusahaan pembiayaan seperti kehabisan
darah. Aliran dana menjadi macet. Kalaupun ada, harganya tinggi sekali. Itulah
sebabnya banyak di antara mereka yang menggabungkan usahanya. Dengan
bergabung, mereka lebih mudah dalam memperoleh kredit, termasuk dari luar negeri.
4.1.2. Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia
Perusahaan pembiayaan di Indonesia mendirikan sebuah organisasi profesi yang
dinamakan Asosiasi Leasing Indonesia (ALI) pada 2 Juli 1982. Organisasi ini
memiliki nama lain yaitu Asosiasi Lembaga Pembiayaan Indonesia. ALI didirikan
sebagai satu-satunya wadah komunikasi bagi perusahaan-perusahaan pembiayaan. Di
67
sini mereka secara bersama-sama membicarakan dan memecahkan berbagai masalah
yang dihadapi. ALI juga hadir untuk memperjuangkan kepentingan anggotanya
kepada pemerintah. Di sisi lain, organisasi ini juga bermaksud menjadi jembatan
untuk meneruskan keinginan dan bimbingan pemerintah kepada para anggota.
Sederet sasaran ideal menjadi tujuan didirikannya ALI. Paling tidak, pasal 6 AD-
nya menyebutkan lima tujuan utama organisasi ini. Di antaranya memajukan dan
mengembangkan peranan lembaga pembiayaan di Indonesia serta memberikan
sumbangsih bagi kemajuan perekonomian nasional.
Dalam perjalanan sejarahnya, ALI mengalami pasang naik dan pasang surut.
Para pengurus yang silih-berganti berupaya memberikan yang terbaik guna
pemecahan, kemajuan dan perkembangannya. Sejak didirikan, tercatat sudah 12 kali
terjadi pergantian kepengurusan. Sebetulnya, periodisasi kepengurusan ditetapkan
tiap dua tahun. Namun dalam beberapa kasus, terjadi pergantian kepengurusan
sebelum masa jabatan berakhir.
Untuk pertama kalinya ALI dipimpin S. Ranty dan Muchsin Firdaus, masing-
masing sebagai Ketua Umum (Ketum) dan Sekretaris Jenderal (Sekjen). Namun pada
16 Maret 1983, susunannya berubah menjadi Tryana Sjam'un sebagai Ketum dan
D.S. Surianingrat menjadi Sekjen. Berikutnya, periode 1984-1985 ALI dipimpin
Tryana Sjam'un dan Tjiptono Darmadji.
Selanjutnya, pada periode Mei 1987-1989, Tjiptono memimpin ALI sebagai
Ketum. Dia didampingi Indra Wijaya selaku Sekjen. Sedangkan pada 1989-1991,
ALI dipimpin Dewobroto MS dan M.V. Adhiprabawa, masing-masing sebagai
68
Ketum dan Sekjen. Setelah itu, sang Sekjen naik menjadi Ketum pada periode 1991-
1993. Dia didampingi Mustafa I. Jatim sebagai Sekjen.
Agaknya, kaderisasi di tubuh ALI berlangsung lumayan mulus. Hal ini ditandai
dengan duduknya Mustafa sebagai Ketum pada kepengurusan 1993-1995. Waktu itu,
Albertus Banunaek dipercaya menjadi Sekjen. Seperti juga yang lain, Albert
selanjutnya duduk menjadi Ketum pada periode berikutnya (1995-1997). Theresia
Adiwijaya saat itu diberi mandat sebagai Sekjen. Dia sekaligus menjadi wanita
pertama yang duduk di posisi pengurus teras ALI. Pasangan Albert dan Theresia
agaknya cukup mendapat tempat di kalangan anggota. Hal itu dibuktikan dengan
kembali mereka berdua dipercaya menjabat posisi tersebut untuk periode 1997-1999.
Sesuai dengan tujuan didirikannya, ALI terus berupaya memberikan andil dan
peran lebih berarti dalam peningkatan perekonomian nasional. Namun sayangnya ada
saja masalah yang datang menghadang, baik dari kalangan intern maupun ekstern.
Salah satu yang menjadi masalah serius saat itu adalah diterbitkannya Surat Edaran
(SE) Bank Indonesia (BI) No. 28/11/UUPB, tanggal 26 Pebruari 1996. SE yang pada
intinya menegaskan promes yang diterbitkan perusahaan multi finance dikategorikan
macet. Akibatnya, berbekal SE tersebut, banyak bank yang mulai minta perusahaan
pembiayaan segera membayar kembali promesnya, kendati belum jatuh tempo. Ini
artinya, sumber dana perusahaan pembiayaan dari bank pun secara keseluruhan
mengalami kemacetan.
Kalangan perusahaan pembiayaan menilai telah terjadi kesalahpahaman.
Sebetulnya, yang dikelompokkan macet dalam SE BI itu adalah promes lepas yang
tidak menjadi bagian dari akad kredit dengan bank. Dengan demikian, sepanjang
69
promes itu menjadi bagian dari akad kredit, tentu saja tidak dikategorikan macet.
Kesalahpahaman ini terjadi karena orang tidak menghayati makna dari SE BI itu.
Mereka berharap BI secara tegas membagi promes apa saja yang dikategorikan
macet. Jika di sana jelas-jelas disebutkan promes itu bagian dari akad kredit, mestinya
tidak dikategorikan macet. Dengan demikian, multi finance masih mungkin menerima
kucuran kredit bank. Pemerintah juga diminta menjelaskan soal ini lebih rinci lagi.
Pasalnya, melalui SE tersebut, risiko usaha perusahaan pembiayaan secara langsung
dinilai sangat buruk. Padahal, risiko kredit macet di perusahaan pembiayaan sangat
kecil dimana kurang dari 1% dari jumlah keseluruhan kredit bank.
Hambatan berikutnya yang tidak kalah menariknya adalah anjloknya bisnis
akibat hiruk-pikuk pesta demokrasi lima tahunan, Pemilu 1997. Lesunya bisnis secara
umum terjadi karena suasana kampanye Pemilu diwarnai dengan berbagai kerusuhan
dan keributan. Akibatnya, banyak klien bersikap wait and see. Pemilu menurunkan
bisnis perusahaan pembiayaan.
Jika ditelusuri permasalahan yang melibas bisnis multi finance, agaknya lebih
banyak berputar pada sumber pendanaan. Terbitnya SE BI tadi, misalnya, jelas sangat
berpengaruh pada kelangsungan sumber dana bagi perusahaan pembiayaan.
Karenanya, kalangan ini berharap pemerintah membuka kemungkinan bagi mereka
menjaring dana murah secara lebih leluasa. Misalnya, mengizinkan perusahaan dana
pensiun dan asuransi melakukan private placement.
Sejak perusahaan pembiayaan dilarang menerbitkan dan memperpanjang
commercial paper, sumber dana menjadi lebih sulit. Padahal, mereka juga dilarang
menggali dana langsung dari masyarakat. Praktis sumber dana hanya dari bank dan
70
para pemegang saham. Karena keterbatasan dana itulah bisnis pembiayaan menjadi
sulit bersaing.
Sudah saatnya pemerintah meninjau ulang ketentuan sumber dana bagi multi
finance. Pasalnya, ketika bisnis ini lesu darah akibat kurang dana, justru banyak
lembaga keuangan bukan bank (LKBB) yang kelebihan likuiditas. Mereka
kebingungan menyalurkan dananya, sehingga lebih banyak mengendapkan di
deposito yang kurang produktif dan return-nya tidak maksimal. Kalau saja mereka
diizinkan melakukan private placement ke perusahaan pembiayaan, tentu manfaatnya
akan sangat besar.
Masalah lain yang masih terasa akibatnya hingga kini adalah, dampak likuidasi
16 bank terhadap perusahaan pembiayaan. Pasalnya, ada empat bank terlikuidasi
yang ada kaitannya dengan anggota ALI. Namun baik secara sendiri-sendiri maupun
bersama-sama, mereka sudah mengupayakan penyelesaian sebaik-baiknya.
Pada awalnya, tepatnya tanggal 2 Juli 1982 telah dibentuk Asosiasi Leasing
Indonesia (ALI) yang berkedudukan di Jakarta sebagai satu-satunya wadah
komunikasi bagi perusahaan-perusahaan leasing di Indonesia. Kehadiran ALI telah
dirasakan manfaatnya oleh seluruh pelaku usaha leasing di Indonesia dan ALI telah
berhasil melakukan berbagai aktivitas guna kepentingan para anggotanya, termasuk
membantu pengembangan industri usaha leasing di Indonesia bersama pemerintah.
Seiring dengan pertumbuhan sektor usaha jasa pembiayaan dan guna
menampung aspirasi seluruh anggota maka pada tanggal 20 Juli 2000 telah diambil
keputusan untuk mengubah ALI menjadi ASOSIASI PERUSAHAAN
PEMBIAYAAN INDONESIA (APPI).
71
Keputusan diatas sejalan dengan keberadaan usaha para anggota sebagai
perusahaan pembiayaan yang dapat melakukan aktivitas usaha: sewa guna usaha
(leasing), anjak piutang (factoring), pembiayaan konsumen (consumer finance), dan
kartu kredit (credit card).
Dalam perkembangannya pada tanggal 21 Desember 2000 Asosiasi Factoring
Indonesia (AFI) juga telah bergabung ke dalam APPI.
Sesuai dengan tujuan didirikannya, APPI bersama pemerintah terus berupaya
memberikan andil dan peran lebih berarti dalam peningkatan perekonomian nasional
khususnya pada sektor usaha jasa pembiayaan.
Visi APPI dinyatakan sebagai berikut:
1. Mempersatukan, membina dan memberikan pelayanan kepada anggota untuk
memajukan/mengembangkan usaha jasa pembiayaan sesuai dengan wewenang
yang dimiliki dan ketentuan-ketentuan yang berlaku di Indonesia.
2. Meningkatkan kerjasama, pertukaran informasi dan menumbuhkan sikap
kebersamaan diantara para anggota Asosiasi maupun dengan pemerintah atau
pihak ketiga lainnya, sehingga tercipta hubungan yang baik dan harmonis.
3. Memajukan/meningkatkan peranan Lembaga Pembiayaan sebagai salah satu
alternatif pembiayaan di Indonesia serta memberikan sumbangsih bagi kemajuan
perekonomian nasional.
4. Memberikan pendapat maupun saran kepada Pemerintah dalam rangka
menciptakan iklim usaha yang sehat dan kompetitif bagi industri usaha jasa
pembiayaan di Indonesia dan memperjuangkan kepentingan bersama para
anggotanya.
72
5. Mewakili perusahaan-perusahaan pembiayaan di Indonesia dalam kepentingan
pembahasan perkembangan industri pembiayaan baik di dalam maupun di luar
negeri.
Misi APPI dinyatakan sebagai berikut:
1. Menjadikan ASOSIASI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INDONESIA
sebagai wadah utama untuk bertukar pikiran dan informasi, serta
mengumpulkan, mengadakan penelitian dan mengolah bahan-bahan keterangan
yang berhubungan dengan masalah-masalah mengenai Lembaga Pembiayaan
dalam arti seluas-luasnya.
2. Menampung dan membahas masalah-masalah yang dihadapi para anggota
dalam bidang pembiayaan dan bilamana perlu menyampaikan pendapatnya
kepada Instansi Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah dan/atau
lembaga- lembaga lain yang berwenang.
3. Memberikan penerangan, saran, pendidikan, latihan, dan bimbingan serta
pelayanan kepada para anggota, guna meningkatkan kemampuan dan
ketrampilan sumber daya manusia para anggota untuk memenuhi tenaga
professional yang dibutuhkan.
4. Membentuk komite-komite yang dianggap perlu baik ditingkat pusat maupun
daerah dalam rangka melancarkan kegiatan/aktivitas ASOSIASI
PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INDONESIA.
Menggalang kerjasama dan hubungan baik dengan Instansi/Badan/Lembaga
Pemerintah dan Swasta, baik di dalam maupun di luar negeri sepanjang tidak
bertentangan dengan azas dan tujuan ASOSIASI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN
73
INDONESIA, serta dengan cara yang tidak bertentangan dengan perundang-
undangan yang berlaku.
Melakukan usaha-usaha lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan azas dan
tujuan ASOSIASI PERUSAHAAN PEMBIAYAAN INDONESIA.
4.1.3. Direktorat Perbankan dan Usaha Jasa Pembiayaan
Menteri Keuangan Frans Seda dalam suratnya No. D.15.1.2.39 tanggal 23 Mei
1967 menambah jumlah direktorat yang ada pada Direktorat Jenderal Keuangan dari
3 direktorat menjadi 5 direktorat yaitu: Direktorat Moneter Dalam Negeri, Direktorat
Hubungan Internasional, Direktorat Perbankan, Direktorat Perasuransian dan
Direktorat Iuran Pembangunan Daerah. Berdasarkan surat ini Direktorat
Perasuransian tidak mengalami perubahan.
Pada tahun 1974 dikeluarkanlah Keputusan Presiden Nomor 45 tahun 1974 yang
mengganti nama Direktorat Jenderal Keuangan menjadi Direktorat Jenderal Moneter
yang terdiri dari 6 direktorat yaitu: Direktorat Penerimaan Minyak, Direktorat
Lembaga Keuangan, Direktorat Hubungan Keuangan Internasional, Direktorat
Pembangunan Daerah, Direktorat Investasi dan Kekayaan Negara, dan Direktorat
Pembinaan Keuangan Badan Usaha Negara.
Nama Direktorat Jenderal Moneter kemudian diubah menjadi Direktorat Jenderal
Moneter Dalam Negeri yang terdiri dari 4 Direktorat yaitu : Direktorat Lembaga
Keuangan, Direktorat Persero dan Badan Usaha Negara, Direktorat Investasi dan
Kekayaan Negara, dan Direktorat Urusan Pangan dan Penerimaan Bukan Pajak.
Direktorat Lembaga Keuangan terbagi atas: Sub Direktorat Asuransi Jiwa dan Sosial,
74
Sub Direktorat Asuransi Kerugian, dan Sub Direktorat Perbankan dan Jasa
Pembiayaan. Bentuk Struktur organisasi ini diatur dalam Keputusan Presiden nomor
15 tahun 1978 tentang perubahan beberapa pasal dari Keputusan Presiden nomor 45
tahun 1974.
Dikeluarkannya Keputusan Presiden nomor 15 tahun 1984 tanggal 6 Maret 1984
tentang susunan organisasi pada pasal 57 menguraikan bahwa Direktorat Jenderal
Moneter Dalam Negeri terdiri dari: Sekretariat Direktorat Jenderal, Direktorat
Lembaga Keuangan, Direktorat Pembinaan Badan Usaha Negara, Direktorat Urusan
Pangan dan Penerimaan Bukan Pajak, dan Direktorat Dana Investasi. Sub direktorat
yang ada pada Direktorat Lembaga Keuangan tidak mengalami perubahan.
Visi Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan
Menjadi pengelola keuangan negara dan pembina indus tri jasa keuangan beserta
profesi pendukungnya yang bertaraf international, senantiasa dipercaya dan
dibanggakan masyarakat.
Misi Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan
1. Fiskal
• Mengembangkan kebijakan fiskal yg sehat, credible, dan sustainable dalam
lingkup pengelolaan penerimaan negara bukan pajak, pemberian subsidi dan
penerusan pinjaman dana investasi pemerintah, serta pelaksanaan penugasan
khusus dari Menteri Keuangan.
2. Ekonomi
75
• Mengupayakan alternatif pembiayaan dan subsidi yang tepat sasaran untuk
mengatasi permasalahan ekonomi.
• Mendorong mobilisasi dana masyarakat oleh industri jasa keuangan untuk
pembiayaan jangka panjang.
• Menunjang upaya industri jasa keuangan untuk mengatasi berbagai risiko
keuangan yang dihadapi masyarakat dan menyediakan alternatif pembiayaan
usaha masyarakat.
3. Sosial Budaya
• Memberdayakan masyarakat dalam mengembangkan pemanfaatan jasa keuangan
modern.
4. Politik
• Meningkatkan aksesibilitas masyarakat terhadap sumber pembiayaan.
5. Kelembagaan
• Senantiasa memperbaharui diri sesuai tuntutan dan perkembangan mutakhir
dalam penyelenggaraan administrasi dan pelayanan publik.
Tugas dan Fungsi Direktorat Perbankan dan Usaha Jasa Pembiayaan berdasarkan
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 302/KMK.01/2004 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan.
• Tugas
Direktorat Perbankan dan Usaha Jasa Pembiayaan mempunyai tugas menyiapkan
perumusan kebijakan, standardisasi, evaluasi, dan pelaksanaan di bidang usaha jasa
pembiayaan dan tugas di bidang perbankan yang menjadi wewenang Menteri
76
Keuangan di luar kedudukan, tugas, dan kewenangan Menteri Keuangan selaku
pemegang saham.
• Fungsi
Direktorat Perbankan dan Usaha Jasa Pembiayaan menyelenggarakan fungsi :
a. Penelaahan data kelembagaan, investasi, dan divestasi Modal Ventura;
b. Penelaahan data kelembagaan dan jasa serta pembinaan dan pengawasan
Perusahaan Pembiayaan;
c. Pengkajian dan penyiapan rumusan pengaturan di bidang usaha jasa pembiayaan;
d. Analisis data dan penyajian informasi di bidang perbankan yang menjadi
wewenang Menteri Keuangan di luar kedudukan, tugas, dan kewenangan Menteri
Keuangan selaku pemegang saham;
e. Pelaksanaan urusan tata usaha Direktorat.
4.1.4. Regulasi Perusahaan Pembiayaan
Perusahaan pembiayaan dalam kegiatan operasionalnya diatur oleh peraturan
pemerintah terutama dari Bank Indonesia dan Departemen Keuangan. Hal ini
ditujukan untuk memberikan iklim usaha yang kondusif bagi bisnis dan persaingan di
antara perusahaan pembiayaan di Indonesia. Berikut ini disajikan beberapa peraturan
perusahaan pembiayaan yang masih berlaku pada saat ini:
1. Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor KEP-1500/LK/2005
tentang Petunjuk Pelaksanaan Penyusunan dan Penyampaian Laporan Perusahaan
Pembiayaan.
77
2. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 45/KMK.06/2003
tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah bagi Lembaga Keuangan Nonbank
3. Keputusan Direktur Jenderal Lembaga Keuangan Nomor KEP-2833/LK/2003
tentang Pedoman Pelaksanaan Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah pada
Lembaga Keuangan Nonbank.
4. Keputusan Menteri Keuangan Repub lik Indonesia Nomor 185/KMK.06/2002
tentang Penghentian Pemberian Izin Usaha Perusahaan Pembiayaan.
5. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 3/14/DSM tentang Pelaporan Kegiatan Lalu
Lintas Devisa oleh Lembaga Keuangan Nonbank.
6. Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 5/1/DSM tentang Perubahan atas Surat
Edaran Nomor 3/14/DSM tanggal 13 Juni 2001 perihal Pelaporan Kegiatan Lalu
Lintas Devisa oleh Lembaga Keuangan Nonbank.
7. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 448/KMK.017/2000
tentang Perusahaan Pembiayaan.
8. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 172/KMK.06/2002
tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 448/KMK.017/2000
tentang Perusahaan Pembiayaan.
9. Keputusan Bersama Menteri Keuangan Republik Indonesia dan Gubernur Bank
Indonesia Nomor 607/KMK.017/1995 dan 28/9/KEP/GBI tentang Pelaksanaan
Pengawasan Perusahaan Pembiayaan oleh Bank Indonesia.
78
4.2. Perusahaan Pembiayaan: Wahana Ottomitra Multiartha
Tbk
4.2.1. Sejarah Perusahaan
PT Wahana Ottomitra Multiartha Tbk. (WOM Finance) berkedudukan di Jakarta
didirikan dengan nama PT Jakarta Tokyo Leasing berdasarkan Akta Pendirian No.
179 tanggal 23 Maret 1982 yang kemudian diubah dengan Akta Perubahan Naskah
Pendirian No. 96 tanggal 15 Desember 1982, keduanya dibuat di hadapan Kartini
Muljadi, SH, Notaris di Jakarta, dalam akta ini nama perusahaan diubah dari PT
Jakarta Tokyo Leasing menjadi PT Fuji Semeru Leasing yang memfokuskan
bisnisnya pada pembiayaan motor baru khususnya merek Honda. Selanjutnya nama
perusahaan diubah dari PT Fuji Semeru Leasing menjadi PT Wahana Ometraco Multi
Artha berdasarkan Akta Pernyataan Keputusan Rapat No. 225 tanggal 28 April 1997
yang dibuat di hadapan Misahardi Wilamarta, SH, Notaris di Jakarta. Nama
perusahaan diuah kembali dari PT Wahana Ometraco Multi Artha menjadi PT
Wahana Ottomitra Multiartha berdasarkan Akta Pernyataan Keputusan Rapat No. 5
tanggal 15 Maret 2000 yang dibuat di hadapan Anna Wong, SH, Notaris di
Tangerang.
Tahun 2001 Perusahaan memasuki pasar motor bekas. Pada tahun 2003
Perusahaan memasuki pasar modal dengan penerbitan obligasi I WOM Finance
senilai Rp 300 miliar dengan rating idA- (Single A minus) Stable Outlook dari
Pefindo (Pemeringkat Efek Indonesia) yang dilanjutkan dengan penerbitan obligasi II
WOM Finance pada tahun 2005 senilai Rp 500 miliar dengan rating idA- (Single A
79
minus) Stable Outlook. Perusahaan menjadi PT Wahana Ottomitra Multiartha Tbk
berdasarkan Berita Acara Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa No. 35 tanggal
29 September 2004 yang dibuat di hadapan Poerbaningsih Ad i Warsito, SH, Notaris
di Jakarta. Selanjutnya per tanggal 13 Desember 2004, Perusahaan terdaftar di pasar
Bursa Efek Jakarta menjadi Perusahaan Terbuka. Perusahaan melaksanakan berbagai
kebijakan progresif dan kerja sama strategis sehingga Perusahaan berhasil mencatat
prestasi sebagai Perusahaan Multifinance Terbaik untuk kategori aset di atas Rp 500
miliar sampai Rp 1 triliun dari majalah Investor dan InfoBank. Untuk menjaga
pertumbuhan dan menjamin sumber pendanaan di masa depan, di tahun 2004,
manajemen Perusahaan melakukan aliansi dengan PT Bank Internasional Indonesia
Tbk. (BII).
Komposisi permodalan dan kepemilikan saham PT WOM Finance Tbk telah
mengalami perubahan sejak tahun berdirinya sejalan dengan perkembangan bisnis
perusahaan. Terakhir, PT WOM Finance Tbk per 31 Desember 2005 dimiliki oleh
pemegang saham dengan komposisi: PT Bank Internasional Indonesia Tbk (43%),
International Finance Corporation (19%), DBS Nominees (Private) Limited (5%),
Mochamad Thohir (4,83%), Yanto Kasiman (4,83%), Sus ianty Pranata (3,52%),
Widjaya Budiman (1,77%), Benny Wennas (1,21%), dan masyarakat (16,84%).
4.2.2. Budaya Perusahaan
Perusahaan memiliki visi menjadi salah satu perusahaan pembiayaan konsumen
terbaik di Indonesia. Misi Perusahaan adalah mengutamakan kepuasan pelanggan dan
mitra kerja lainnya, membangun kepercayaan dunia perbankan, mengembangkan dan
80
memperluas jaringan usaha terutama di daerah potensial, dan mengoptimalkan kinerja
Perusahaan. Perusahaan memiliki nilai-nilai ”AFFECTION” berupa penghargaan
(Appreciation), rasa kekeluargaan (Family Feeling), antusiasme (Enthusiasm),
kreativitas (Creativity), dapat dipercaya (Trustworthy) dan ketetapan hati
(determination).
Budaya Perusahaan dengan tegas menyatakan keseriusan untuk: belajar
(Learning), berbagi (Sharing) dan pelatihan tambahan untuk peningkatan keahlian
(Coaching). Budaya untuk belajar dan membagi pengetahuan dan keahlian
menjadikan jajaran manajemen (dari puncak hingga staf) terpacu untuk terus belajar
agar bisa berbagi dan memberikan sesuatu bagi yang lain dalam meningkatkan
produktivitas kerja dari waktu ke waktu. Budaya Perusahaan ini akan
mengembangkan sumber daya manusia Perusahaan secara terus-menerus sehingga
terwujud tenaga kerja yang efektif sebagai aset utama Perusahaan. Dengan adanya
kompetensi tinggi dan kinerja yang optimal akan mempermudah manajemen PT
WOM Finance Tbk memasuki persaingan global and meningkatkan imbal hasil yang
optimal kepada para pemegang saham (stakeholders) Perusahaan.
Di sisi lain, WOM Finance mewujudkan kepedulian sosialnya melalui beragam
kegiatan sosial kemasyarakatan di berbagai daerah baik secara mandiri maupun
dengan menjalin kerja sama dengan instansi lainnya. Bertajuk program
HUMANIKASIH, perusahaan selalu melibatkan karyawan secara aktif saat kegiatan
berlangsung bahkan sejak penghimpunan dana. Dengan demikian HUMANIKASIH
sebagai unit kerja yang bertugas mengkoordinasikan kegiatan sosial perusahaan tidak
sekedar menyalurkan bantuan, namun sekaligus ikut memotivasi seluruh karyawan
81
WOM Finance untuk menyisihkan waktu di tengah kesibukan kerja agar dapat
melakukan sesuatu yang berarti bagi sesama dan bagi lingkungan sekitarnya.
4.2.3. Bidang Usaha Perusahaan
WOM Finance saat ini menjalankan usaha pembiayaan konsumen kendaraan
roda dua dengan izin usaha dari Menteri Keuangan Republik Indonesia dalam Surat
Keputusan No. 135/KMK.06/2001 tanggal 20 Maret 2001. Pangsa pasar perusahaan
berkisar 10% dari total sepeda motor yang terjual secara kredit sepanjang tahun 2005.
Sampai dengan tahun 2005, Perusahaan terus memperluas pasar guna peningkatan
pendapatan usaha melalui pembiayaan produk sepeda motor Jepang berbagai merek
selain Honda melalui 92 jaringan cabang yang tersebar di pulau Jawa, Bali, Sumatera,
dan Kalimantan. Hal ini disambut pasar dengan antusias karena memberikan lebih
banyak pilihan merek bagi pelanggan WOM Finance untuk mendapatkan sepeda
motor yang diinginkannya.
Untuk pengembangan usahanya, WOM Finance menerapkan beberapa strategi
sebagai berikut:
a. Terfokus pada kualitas pembiayaan bukan pada kuantitas.
b. Ketat menerapkan kebijakan uang muka (down payment) untuk menjaring
pelanggan secara lebih selektif.
c. Menjalin hubungan baik dengan menerapkan paket insentif menarik bagi dealer.
d. Menjual merek sepeda motor Jepang selain Honda (multibrand).
e. Meningkatkan pelayanan pada dealer dan pelanggan.
82
f. Menggelar program-program reward dan loyalty incentive berskala nasional
maupun atas inisiatif yang diprakarsai kantor-kantor cabang bagi pelanggan.
4.2.4. Struktur Organisasi
Gambar 4.1. Struktur Organisasi
Pada tanggal 31 Desember 2005, susunan Dewan Komisaris dan Direksi PT
WOM Finance Tbk adalah sebagai berikut:
Presiden Komisaris : Suwandi Wiratno
Komisaris : Rita Mas’oen
Komisaris : Garibaldi Thohir
Komisaris : Robbyanto Budiman
Komisaris Independen : Tan Siddharta
Presiden Direktur : Benny Wennas
Board of Commissioners
President Director Benny Wennas
Corporate Secretary
Internal Audit
Finance Director Bellynawaty B.
Marketing Director Ardy Salim
Operation Director Irwan Suryadi
Risk Mgt Director Rudi Gomedi
83
Direktur Keuangan : Bellynawaty
Direktur Pemasaran : Ardy Salim
Direktur Operasional : Irwan Suryadi
Direktur Manajemen Risiko : Rudy Gomedi
Berikut ini profil masing-masing Dewan Komisaris dan Direksi PT WOM
Finance Tbk yaitu:
1. Suwandi Wiratno (Presiden Komisaris)
Kelahiran tahun 1963, Suwandi menduduki posisi Presiden Komisaris di
WOM Finance sejak bulan Juli 2005. Setelah meraih gelar Master of
Business Administration dalam bidang keuangan dari Golden Gate
University, San Fransisco, USA tahun 1987, Suwandi berkarir di bidang
keuangan pada berbagai perusahaan nasional dan internasional, hingga
terakhir menduduki posisi Direktur di PT Pricewaterhouse Coopers FAS.
2. Rita Mas’oen (Komisaris)
Peraih BSc dari Arizona State University, USA ini bergabung sebagai
Komisaris WOM Finance pada pertengahan tahun 2005. Berkarir sejak
tahun 1984 di Arizona, USA, pada tahun 1985, Rita kembali ke Jakarta dan
memilih dunia perbankan. Sebagai rintisan karir perbankannya, Rita
bergabung dengan Citibank NA selama hampir 20 tahun di bagian
teknologi, pemasaran, dan terakhir sebagai Senior Country Operation
Officer membawahi bagian operasional dan teknologi. Di tahun 2005, Rita
kemudian bergabung dengan PT Bank Internasional Indonesia Tbk.
sebagai Chief Operation Officer, Executive Management.
84
3. Garibaldi Thohir (Komisaris)
Garibaldi Thohir kelahiran tahun 1965 ini menjadi Komisaris di WOM
Finance sejak tahun 2003 hingga sekarang. Tahun 2004 tercatat sebagai
Presiden Komisaris. Selain di WOM Finance, Garibaldi Thohir peraih
gelar BSc dari University of Southern California, USA tahun 1988 dan
MBA dari Northrop University, USA tahun 1989, juga aktif memimpin dan
menjalankan berbagai perusahaan yang bergerak di bidang properti, retail,
pertambangan, dan otomotif.
4. Robbyanto Budiman (Komisaris)
Robbyanto Budiman menjadi Komisaris di WOM Finance sejak tahun
1997 hingga sekarang. Sejak tahun 1993 sampai sekarang Robbyanto
menjabat sebagai Direktur Utama PT Wahana Makmur Sejati, main dealer
sepeda motor Honda untuk wilayah Jakarta dan Tangerang. Robbyanto
juga menjabat sebagai komisaris dan direksi di perusahaan lain dalam Grup
Wahana Artha. Kelahiran tahun 1967 ini mulai bekerja untuk Citibank
NA, Jakarta, dengan posisi terakhir sebagai Asset Services Unit Head,
setelah meraih BSc dari University of Southern California, USA pada tahun
1987 dan MBA dari Northrop University, USA pada tahun 1989.
5. Tan Siddharta (Komisaris Independen)
Tan Siddharta kelahiran tahun 1962 ini dipercaya sebagai Komisaris
Independen WOM Finance sejak tahun 2004. Setelah meraih gelar Sarjana
Akuntansi dari Universitas YAI, Jakarta tahun 1987, Beliau memilih
profesi sebagai Akuntan Publik sejak tahun 1999 (terdaftar di Bapepam).
85
Hingga sat ini Beliau telah berpengalaman lebih dari 20 tahun di bidang
audit, akuntansi, manajemen, dan keuangan, serta tercatat sebagai salah
satu Anggota Ikatan Akuntansi Indonesia.
6. Benny Wennas (Presiden Direktur)
Benny Wennas tercatat sebaga i salah satu pendiri WOM Finance. Benny
yang lahir tahun 1955 dipercaya sebagai Presiden Direktur pada akhir
tahun 1999, setelah sebelumnya menduduki posisi Komisaris. Antara
tahun 1978 sampai dengan 1998, Benny berkarir sebagai General Manager
di berbagai perusahaan manufaktur, hingga menduduki posisi Direktur di
beberapa bank swasta nasional. Peraih gelar Sarjana Akuntansi dari
Universitas Trisakti, Jakarta, serta MBA dari University of Hull, England
ini juga mengikuti berbagai program manajemen di beberapa universitas
yaitu Advanced Management Program dari Wharton School, University of
Pennsylvania tahun 2005; Strategic Marketing Management dari Harvard
Business School tahun 1997; Senior Executive Program dari Sasin
Graduate Institute of Business Administration, Bangkok tahun 1995.
7. Bellynawaty Budiman (Direktur Keuangan)
Lahir tahun 1969, Bellynawaty Budiman bergabung dengan WOM Finance
sejak tahun 1997. Peraih gelar BSc di bidang Business Administration
dengan fokus Financial Management dari California State University,
Long Beach, USA ini sebelumnya pernah berkarir di bidang perbankan dan
industri otomotif sejak tahun 1992.
8. Ardy salim (Direktur Pemasaran)
86
Sarjana Teknik Elektro Universitas Atmajaya, Ujung Pandang, kelahiran
tahun 1963 ini bergabung dengan WOM Finance tahun 1999. Ardy pernah
berkarir di bidang retail, financing consumer goods hingga mencapai posisi
Direktur pada tahun 1995. Ardy juga pernah mengikuti program MBA/MT
Kalbe Group antara tahun 1992-1993.
9. Irwan Suryadi (Direktur Operasional)
Meraih Sarjana Akuntansi dari Universitas Jayabaya, Jakarta tahun 1982,
kelahiran tahun 1957 ini bergabung dengan WOM Finance sejak tahun
1997. Konsisten berkarir di bidang akuntansi dan keuangan sejak tahun
1982 di berbagai perusahaan manufaktur, pada tahun 1996 Irwan
menduduki posisi terakhir sebagai General Manager di PT Istana
Kanematsu Indonesia.
10. Rudy Gomedi (Direktur Manajemen Risiko)
Peraih BSc dari California State of Fresno, USA, kelahiran tahun 1966 ini
bergabung dengan WOM Finance pada pertengahan tahun 2005.
Sebelumnya Rudy berkarir di beberapa bank swasta nasional sejak tahun
1991, hingga terakhir menjabat posisi Division Head Corporate Risk
Management. Berbagai pelatihan manajemen yang berkonsentrasi pada
manajemen risiko diikutinya di beberapa negara seperti Singapura,
Hongkong, dan Belanda.
4.2.5. Tata Kelola Perusahaan
87
Prinsip-prinsip tata kelola perusahaan dijalankan WOM Finance untuk
mendorong pengelolaan secara profesional, transparan, dan efisien serta
memberdayakan fungsi dan meningkatkan kemandirian Dewan Komisaris, Direksi,
dan Rapat Umum Pemegang Saham. Tata kelola perusahaan yang baik diharapkan
dapat meningkatkan daya saing perusahaan karena setiap pengambilan keputusan dan
tindakan yang dilakukan perusahaan selalu dilandasi moral yang tinggi, kepatuhan
terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta kesadaran atas tanggung
jawab sosial terhadap stakeholders dan lingkungan sekitar.
Komitmen perusahan untuk memberikan akses keterbukaan informasi,
akuntabilitas, kejujuran, dan tanggung jawab telah dijalankan dengan serius dan
sungguh-sungguh. Langkah- langkah untuk melengkapi penyelengaraan tata kelola
perusahaan secara utuh terus dilakukan meskipun belum sepenuhnya lengkap
sehingga memiliki peraturan dan pelaksanaan yang tertulis dan sistematis.
Dalam kaitan ini perusahaan telah memiliki Komite Audit. Anggota Komite
Audit yang erdiri dari Tan Siddharta, Ting Ananta Setiawan, dan Rachmat
Kurniawan ini menjalankan tugas-tugasnya sejak 1 Juli 2005 hingga RUPS (Rapat
Umum Pemegang Saham) tahun 2007.
Melengkapi perangkat ini perusahaan juga telah menunjuk Komisaris
Independen, Tan Siddharta yang telah berpengalaman lebih dari 20 tahun dalam
bidang audit, akuntansi, manajemen, dan keuangan.
Selanjutnya, Komite Audit, Komisaris Independen, Manajemen Risiko, dan
Internal Audit perusahaan bersama-sama menelaah ketaatan perusahaan terhadap
88
peraturan perundang-undangan, kesesuaian standar, pelaksanaan kebijakan dan
prosedur yang telah ditetapkan.
Pada kesempatan yang sama, perusahaan menjamin hak-hak publik dalam
mendapatkan informasi tentang perusahaan, melalui penyebarluasan informasi
kepada pemegang saham melalui media masa, Public Expose (Keterbukaan
Informasi), dan Rapat Umum Pemegang Saham.
4.3. Analisis Top - Down
4.3.1. Analisis Ekonomi
• Prospek Ekonomi Dunia
Ekonomi global di 2006 diperkirakan tumbuh stabil pada level moderat,
sama seperti tahun 2005 yang mencapai 4,3%. Pertumbuhan ekonomi dunia
masih ditopang oleh ekspansi dari negara industri terutama AS, kawasan Euro dan
Jepang seiring dengan masih tingginya permintaan domestik dan kegiatan investasi.
Dari sisi eksternal, kondisi ini akan memberikan pengaruh yang relatif kondusif bagi
perekonomian Indonesia.
Ekonomi AS dan Jepang akan tumbuh stabil walaupun dihadapkan pada
kebijakan moneter ketat dan masih tingginya harga minyak. Sementara itu, ekonomi
kawasan Euro, akan membaik seiring dengan peningkatan domestik serta peningkatan
kegiatan investasi akibat rendahnya suku bunga. Pertumbuhan ekonomi kawasan
Asia diperkirakan akan tetap tinggi dengan motor penggerak masih pada ekonomi
Cina dan India.
89
Laju inflasi dunia pada 2006 diperkirakan akan melambat. Menurunnya
tekanan inflasi seiring dengan perkiraan masih berlangsungnya respon kebijakan
moneter ketat oleh beberapa bank sentral hingga semester I 2006. Laju inflasi negara
maju diperkirakan relatif rendah mencapai 2%, menurun dibandingkan tahun lalu
yang mencapai 2,2%. Sedangkan inflasi negara berkembang juga rendah,
diperkirakan hanya mencapai 5,7%.
Tabel 4.1. Pertumbuhan Ekonomi dan Laju Inflasi Negara Utama Dunia Pertumbuhan Ekonomi (%)
Negara 2 0 0 0 2 0 0 1 2 0 0 2 2 0 0 3 2 0 0 4 2 0 0 5 2 0 0 6 F
A S 3 .7 0 .8 1 .9 3 .0 4 .4 3 .5 3 .3 E u r o Area 3 .5 1 .6 0 .8 0 .5 2 .0 1 .2 1 .8 J e p a n g 2 .8 0. 4 -0 .3 1 .4 2 .6 2 .0 2 .0 Cina 8 .0 7 .5 8 .3 9 .3 9 .5 9 .0 8 .2 Inggris 3 .9 2 .3 1 .8 2 .2 3 .1 1 .9 2 .2 Dunia 4 .8 2 .4 3 .0 4 .0 5 .1 4 .3 4 .3
Laju Inflasi (%) Negara 2 0 0 0 2 0 0 1 2 0 0 2 2 0 0 3 2 0 0 4 2 0 0 5 2006 F
A S 3 .4 2 .8 1 .6 2 .3 2 .7 3 .1 2 .8 J e p a n g -0 .9 -0 .7 -1 -0 .2 0 -0 .4 -0 .1 E u r o Area 2 .1 2 .3 2 .3 2 .1 2 .1 2 .1 1 .8 Inggris 0 .8 1 .2 1 .3 1 .4 1 .3 2 .0 1 .9 China 0 .4 0 .7 -0 .8 1 .2 3 .9 3. 0 3 .8 Sumber : Data Biro Pusat Statistik (BPS)
Harga komoditi non migas diperkirakan akan menurun yang disebabkan oleh
meningkatnya pasokan komoditas tersebut terutama untuk produk pertanian, logam
dan non logam. Sementara itu, harga komoditas migas masih akan meningkat.
Menurut Laporan Ekonomi Bulanan Juli 2006 dari KADIN (Kamar Dagang dan
Industri Indonesia), harga minyak dunia meningkat hingga posisi US$ 78 per barrel
di pertengahan Juli 2006. Tetap tingginya harga minyak, sebagai salah satu downside
risk yang dihadapi perkembangan ekonomi global, disebabkan oleh antara lain : (i)
masih tingginya permintaan minyak dari AS dan Cina; (ii) kondisi pasar minyak
90
dunia yang cenderung ketat; (iii) peningkatan penawaran minyak dari negara OPEC
tidak mampu mengimbangi pertumbuhan permintaan minyak dunia; dan (iv) masih
tingginya ketidakpastian pasokan minyak seiring dengan tidak menentunya situasi
politik dan keamanan di Timur Tengah. Masalah ini sangat berpotensi menekan
pertumbuhan ekonomi dunia dan meningkatkan laju inflasi.
Sejalan dengan stabilnya pertumbuhan ekonomi global, volume perdagangan
dunia diperkirakan juga tumbuh stabil di level 7,4%. Hal ini akan memberikan ruang
yang cukup bagi ekspansi ekspor Indonesia.
Kebijakan moneter ketat diperkirakan masih akan diterapkan oleh beberapa bank
sentral hingga semester II 2006. The Fed diperkirakan akan menaikkan suku
bunganya hingga kisaran 4,5%-5%. Sementara itu, European Central Bank (ECB)
diperkirakan mempertahankan tingkat suku bunganya untuk meningkatkan kinerja
perekonomian. Sebaliknya, Bank of England (BOE) diperkirakan akan menerapkan
kebijakan moneter longgar.
• Prospek Ekonomi Indonesia
Ekonomi Indonesia di tahun 2006 diperkirakan akan tumbuh relatif moderat
mencapai 5%-5,7%. Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi akan sangat
ditentukan oleh kinerja investasi dan konsumsi.
Pertumbuhan ekonomi masih akan bertumpu pada konsumsi yang bersumber
dari meningkatnya pengeluaran seiring dengan perkiraan mulai pulihnya daya beli
masyarakat memasuki semester II 2006 terkait dengan rencana kenaikan gaji dan
kenaikan upah minimum propinsi.
91
Tabel 4.2. Pertumbuhan Ekonomi dari Sisi Permintaan (%) atas dasar Harga Konstan 2000 (2003 – 2006 F)
Rincian 2003 2004 2005 2006 F
Total Konsumsi 4.55 4.60 4.41 4.0 - 5.0
- Rumah Tangga 3.89 4.94 3.95 3.0 - 4.0
- Pemerintah 9.97 1.95 8.06 13.0 - 14.0
Pembentukan Modal Tetap Dom. Bruto 1.04 15.71 9.93 8.4 - 9.4
Ekspor Brg & Jasa 8.19 8.47 8.6 7.4 - 8.4
Impor Brg & Jasa 2.73 24.95 12.35 9.1 - 10.0
PDB 4.88 5.13 5.60 5.0 – 5.7
Sumber : BI dan BPS
Penurunan daya beli masyarakat serta nilai tukar rupiah yang belum stabil
diperkirakan akan menyebabkan pertumbuhan konsumsi rumah tangga melamban
menjadi 3%-4% dibandingkan tahun lalu yang mencapai 3,95%. Kinerja konsumsi
swasta yang melemah terlihat dari survei konsumen BI akhir tahun 2005 yang
menunjukkan masih pesimisnya keyakinan konsumen akan kondisi ekonomi saat ini
serta ekspektasi konsumen dalam 6 bulan ke depan. Namun demikian, penerapan
kebijakan peningkatan penghasilan tidak kena pajak mulai 1 Januari 2006 berpotensi
meningkatkan konsumsi.
Perlambatan konsumsi total tampaknya dapat dihindari karena adanya stimulus
fiskal dari pemerintah yang mendorong pertumbuhan konsumsi pemerintah sehingga
diperkirakan menjadi 13%-14%. Peningkatan konsumsi pemerintah berasal dari
belanja pegawai seiring dengan pemberian gaji ke 13 serta peningkatan dana alokasi
umum. Konsumsi pemerintah akan dapat tumbuh lebih tinggi lagi jika kucuran dana
rehabilitasi Aceh dapat terealisasikan. Total konsumsi tahun 2006 diperkirakan
tumbuh relatif stabil mencapai 4%-5%.
92
Jika dilihat dari sisi penawaran, beberapa sektor ekonomi diperkirakan akan
tumbuh melambat di tahun 2006. Bagi produsen, penurunan daya beli masyarakat,
kenaikan cost of capital serta kenaikan biaya produksi akan mempengaruhi tingkat
produksinya.
Tabel 4.3. Pertumbuhan Ekonomi dari Sisi Penawaran (%) atas dasar Harga Konstan 2000 (2003 – 2006 F)
Rincian 2003 2004 2005 2006 F
Pertanian 4.34 4.06 2.49 1.9 - 2.9
Pertambangan & Penggalian (0.88) (4.61) 1.59 (1.9) - (0.9)
Industri Pengolahan 5.33 6.19 4.63 5.1 - 6.1
Listrik, Gas & Air Bersih 5.88 5.91 6.49 8.3 - 9.3
Bangunan 6.67 8.17 7.34 5.4 - 6.4
Perdagangan, Hotel & Restoran 5.3 5.8 8.59 7.6 - 8.6
Pengangkutan & Komunikasi 11.57 12.7 12.97 10.5 - 11.5
Keuangan, Sewa & Jasa 7.02 7.72 7.12 7.0 - 8.0
Jasa-jasa 3.86 4.91 5.16 4.2 - 5.2
PDB 4.88 5.13 5.60 5.0 - 5.7
Sumber : BI dan BPS
Pertumbuhan sektor pertanian diperkirakan mencapai 1,9%-2,9% di tahun 2006,
relatif stabil seperti tahun 2005. Namun demikian, jika upaya pemerintah dalam
meningkatkan produksi padi tidak optimal, maka pertumbuhan diperkirakan akan
lebih lambat. Sub sektor perkebunan diperkirakan akan meningkat seiring dengan
perluasan perkebunan kelapa sawit.
Sektor pertambangan & penggalian diperkirakan masih akan tumbuh negatif di
tahun 2006. Hal ini disebabkan produksi minyak mentah hanya 1 juta barel per hari,
lebih rendah dari tahun 2005 yang mencapai 1,075 barel per hari akibat tidak ada
93
eksplorasi sumur minyak baru. Sedangkan kinerja pertambangan non migas relatif
stagnan akibat tidak adanya investor baru yang masuk, padahal kenaikan permintaan
domestik maupun internasional akan komoditas tambang sangat besar.
Sektor industri pengolahan di tahun 2006 diperkirakan akan cenderung stagnan,
pada kisaran 5,1-6,1% akibat penurunan daya beli masyarakat. Perlambatan
pertumbuhan diperkirakan akan terjadi sepanjang semester I 2006 dan berangsur-
angsur membaik pada semester II 2006, sejalan dengan perbaikan daya beli
masyarakat dan stimulus dari pemerintah.
Subsektor yang akan tumbuh tinggi antara lain adalah industri makanan
minuman dan industri kimia akibat masih cukup tingginya konsumsi makanan.
Industri logam dasar, besi & baja dan semen akan meningkat seiring dengan
implementasi proyek infrastruktur pemerintah terutama pendidikan dan kesehatan
serta proyek transmisi gas Sumatera Selatan–Jawa Barat. Industri tekstil juga
berpeluang meningkat akibat kebijakan Uni Eropa dan AS yang membatasi ekspor
TPT Cina.
Sementara itu, industri alat angkutan akan mengalami penurunan. Gabungan
Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) memperkirakan penjualan mobil
akan menurun dari 530 ribu unit di tahun 2005 menjadi hanya 450-500 ribu.
Penjualan sepeda motor hanya akan tumbuh 5%-7%, anjlok tajam dari sekitar 17% di
tahun lalu.
Sektor listrik, gas & air bersih diperkirakan akan tumbuh stabil pada kisaran
8,3%-9,3% yang disebabkan pertumbuhan sektor industri yang juga stabil.
Pembangunan pembangkit listrik non migas seperti PLTA Musi di Bengkulu, PLTU
94
Tarahan di Lampung, PLTA Renun di Sumut serta PLTP Lahendong di Sulut masih
berlangsung. Jika proyek-proyek tersebut dapat diselesaikan pada triwulan III 2006,
maka pertumbuhan sektor ini akan lebih tinggi lagi.
Sektor bangunan diperkirakan akan tumbuh melambat di tahun 2006 hanya
5,4%-6,4%, yang disebabkan naiknya suku bunga kredit dan kenaikan harga jual
rumah. Asosiasi Kontraktor Indonesia memperkirakan kegiatan konstruksi di 2006
akan menurun. Perusahaan Real Estat Indonesia juga memperkirakan bisnis properti
akan melambat terutama sektor komersial. Namun demikian, sektor ini diperkirakan
akan membaik sejak triwulan III 2006 seiring dengan menurunnya suku bunga dan
perkiraan realisasi pembangunan proyek infrastruktur pemerintah.
Sektor perdagangan, hotel & restoran di tahun 2005 diperkirakan tumbuh
melambat menjadi 7,6%-8,6%. Asosiasi Pengusaha Ritel memperkirakan volume
penjualan diperkirakan tumbuh 10%-15%, jauh lebih rendah dibandingkan tahun
2005 yang mencapai 20%. Pengusaha Pemasok Pasar Modern memperkirakan
pasokan barang kebutuhan sehari-hari ke pasar modern akan menurun hingga 20%
pada 2006 akibat penurunan daya beli.
Secara keseluruhan, sektor pengangkutan dan komunikasi diperkirakan tumbuh
10,5%-11,5%. Sub sektor pengangkutan diperkirakan akan tumbuh melamban
dibanding tahun 2005 akibat meningkatnya ongkos transportasi dan melambatnya
kegiatan ekonomi. Di tahun 2006, angkutan udara diperkirakan akan tumbuh lebih
rendah akibat adanya penurunan jumlah penumpang seiring dengan adanya kebijakan
pembatasan usia pesawat yang menyebabkan penurunan jumlah pesawat yang
95
beroperasi. Sedangkan angkutan darat diperkirakan akan tumbuh tinggi di triwulan II
2006 seiring dengan reformasi kebijakan di sektor perhubungan.
Sementara itu, sub sektor komunikasi diperkirakan akan tetap tumbuh tinggi
seiring dengan masih terbukanya peluang di bidang telekomunikasi. Asosiasi Telepon
Seluler memperkirakan jumlah pelanggan meningkat menjadi 50,3 juta orang di 2006
dari 40 juta di tahun 2005.
Sektor keuangan, sewa dan jasa diperkirakan tumbuh melamban 7%-8%. Di sub
sektor bank, perlambatan pertumbuhan disebabkan menurunnya NIM (Net Interest
Margin) akibat peningkatan suku bunga deposito lebih tinggi dari suku bunga kredit,
menurunnya permintaan kredit seiring dengan melemahnya kegiatan ekonomi serta
lebih selektifnya perbankan dalam melakukan ekspansi kredit akibat kenaikan NPL.
Sub sektor lembaga keuangan bukan bank diperkirakan juga akan melambat
akibat kenaikan suku bunga yang berdampak negatif pada nilai tambah lembaga
keuangan bukan bank terutama perusahaan pembiayaan konsumen dan leasing.
Kegiatan investasi swasta dalam tahun 2006 diperkirakan akan mengalami
penurunan dibanding tahun lalu, hanya mencapai 8,4%-8,9%. Penurunan investasi ini
terkait dengan lesunya prospek dunia usaha akibat melemahnya daya beli masyarakat
pasca kenaikan harga BBM. Selain itu juga pengusaha dihadapkan pada peningkatan
cost of capital sebagai akibat dari kenaikan suku bunga. Ketidakpastian prospek
usaha ini menyebabkan pelaku usaha bersikap menunggu. Data dari survei BI
mengindikasikan adanya perlambatan siklus pertumbuhan investasi terjadi sejak
triwulan IV 2005.
96
Melemahnya kegiatan swasta diperkirakan akan dapat diimbangi oleh kegiatan
investasi pemerintah. Dorongan stimulus fiskal yang memiliki efek pengganda besar
terhadap perekonomian diharapkan akan menjadi tulang punggung kegiatan investasi
tahun 2006.
Dilihat dari sisi pembiayaan, kegiatan investasi di tahun 2006 diperkirakan akan
cukup berat. Kredit perbankan diperkirakan hanya akan tumbuh 15%-20% dengan
lebih banyak pada kredit konsumsi, sedangkan alternatif pembiayaan dari non
perbankan juga akan lebih seret.
Pembiayaan investasi dari luar negeri diperkirakan baru akan terjadi pada
semester II 2006, sejalan dengan perkiraan mulai membaiknya kondisi makro
ekonomi dan mulai bergulirnya proyek-proyek kerjasama bilateral dengan investor
asing.
Selain itu, faktor nilai tukar rupiah yang belum stabil juga berperan dalam
menahan laju investasi yang disebabkan menurunnya kemampuan impor. Kuatnya
pengaruh nilai tukar terhadap investasi disebabkan tingginya kandungan impor
barang modal dalam kegiatan investasi.
Kegiatan ekspor barang dan jasa diperkirakan akan tumbuh melamban dibanding
tahun 2005, yaitu hanya mencapai 7,4%-8,4%. Kinerja ekspor tersebut sangat terkait
dengan stabilnya pertumbuhan volume perdagangan dunia di tahun 2006 serta terus
melemahnya daya saing.
Ekspor barang non migas diperkirakan tumbuh moderat 15%-17%. Dari sisi
internal, tantangan bagi kinerja ekspor antara lain : (a) ekonomi biaya tinggi yang
menghambat daya saing ekspor; (b) lemahnya iklim usaha sehingga menghambat
97
investasi; dan (c) rendahnya akses terhadap prasarana terutama transportasi
mengakibatkan inefisiensi perdagangan.
Sejalan dengan melambannya kegiatan ekonomi, kegiatan impor barang dan jasa
diperkirakan juga akan melambat dan tumbuh pada kisaran 9%-10%. Selain itu,
potensi penurunan impor juga disebabkan oleh melemahnya/tidak stabilnya nilai
tukar rupiah. Sementara itu, impor barang non migas diperkirakan akan tumbuh pada
kisaran 16%-18%.
Komoditas ekspor yang diperkirakan akan meningkat di tahun 2006 antara lain
produk mesin/peralatan mesin, lemak dan minyak hewan dan nabati, batubara, karet
& barang dari karet, pakaian jadi non rajutan, nikel, barang rajutan dan bubur
kayu/pulp.
Jepang masih merupakan tujuan utama ekspor terbesar Indonesia di 2005 yang
mencapai USD9,62 miliar (14,5%) diikuti AS sebesar USD9,46 miliar (14,4%) dan
Singapura sebesar USD7,10 miliar (10,7%).
Laju inflasi 2006 diperkirakan akan jauh menurun dibandingkan tahun 2005.
Secara statistik, inflasi IHK tahunan masih akan tinggi hingga mencapai 2 digit
hingga triwulan III 2006. Namun di triwulan IV diperkirakan mulai menurun menjadi
sekitar 9% hingga akhir tahun 2006.
Laju inflasi keseluruhan di 2006 diperkirakan mencapai 7%-9% seiring dengan
rencana kenaikan TDL (tarif dasar listrik) di triwulan I 2006 serta kenaikan harga
dasar gabah di triwulan II 2006. Namun demikian, kebijakan administered price
lainnya seperti kenaikan cukai rokok, elpiji dan tarif telepon lokal berpotensi
98
meningkatkan inflasi lebih tinggi lagi. Laju administered price diperkirakan akan
menurun menjadi 6% setelah di tahun 2005 mencapai 32,5%.
Nilai tukar rupiah yang belum stabil berpotensi akan meningkatkan inflasi
melalui kenaikan biaya impor serta kenaikan biaya produksi. Sedangkan ekspektasi
inflasi masyarakat dalam 6 bulan ke depan masih berada pada level yang tinggi yang
diindikasikan survei penjualan eceran dan survei konsumen.
Pada kelompok volatile foods diasumsikan tidak terjadi gangguan pasokan dan
distribusi sehingga diperkirakan inflasi kelompok ini kembali normal sekitar 7% di
akhir tahun 2006, setelah di tahun 2005 mencapai 14%.
Inflasi inti diperkirakan akan tetap stabil di level 7% pada akhir tahun 2006.
Perkiraan ini didorong oleh makin menyempitnya kesenjangan output seiring dengan
perkiraan pasokan barang yang dapat mengimbangi permintaan, walaupun ekspektasi
inflasi masih tinggi.
Nilai tukar rupiah ditahun 2006 diperkirakan berkisar pada Rp9.500-
Rp10.000/USD.
Dari sisi permintaan, valas masih didominasi permintaan pelaku domestik
terutama sektor korporasi. Sejalan dengan penurunan kegiatan ekonomi di tahun
2006, permintaan valas akan juga melamban. Penurunan tajam pembelian valas akan
diperkirakan terjadi pada kelompok industri otomotif dan industri logam.
Dari sisi pasokan, stok valas banyak ditopang oleh aliran dana investasi
portofolio sehingga dapat mengimbangi permintaan valas domestik. Imbal hasil yang
rupiah yang cukup tinggi merupakan faktor penarik aliran dana asing. Namun
demikian, investasi portofolio tersebut sangat sensitif pada sentimen jangka pendek.
99
Kenaikan biaya dana menyebabkan suku bunga kredit meningkat meskipun
dengan laju yang lamban. Di tahun 2006, suku bunga kredit diperkirakan akan terus
meningkat, berkisar pada 17,5%-18,5% seiring dengan masih tingginya SBI akibat
tingginya inflasi. Namun per 5 September 2006, BI menurunkan rate SBI menjadi
11.25% sehingga suku bunga kredit mengalami penurunan pula dengan harapan dapat
mendorong pertumbuhan usaha yang bergerak di sektor riil.
Dibandingkan tahun 2004, perbankan di tahun 2005 mengalami penurunan
kinerja. Namun di triwulan IV 2005, kinerja perbankan mulai berangsur membaik
dibandingkan triwulan III 2005. Sementara di tahun 2006 prospek perbankan akan
sedikit suram.
Pertumbuhan kredit di tahun 2005 mencapai 24,3%, lebih tinggi dari yang
ditargetkan sebesar 22%. Di tahun 2006 kredit diperkirakan tumbuh pada kisaran
20%. Dilihat per sektor, kredit pada sektor industri yang berorientasi ekspor dan
perdagangan ritel akan mendominasi penyaluran kredit. Dilihat per jenis, kredit
konsumsi akan tetap tumbuh tinggi, di atas 25% dengan kecenderungan meningkat
akibat melemahnya sektor riil.
Pertumbuhan dana diperkirakan tumbuh tinggi lebih dari 10%, seiring dengan
meningkatnya suku bunga. Jika dilihat menurut jenis, deposito akan tumbuh tinggi
seiring dengan meningkatnya suku bunga deposito dan shifting dari tabungan ke
deposito, sedangkan dana jenis tabungan akan terkontraksi.
Terhambatnya ekspansi kredit perbankan, secara langsung akan memperkecil
LDR (Loan to Deposits Ratio) dan sebaliknya akan memperbesar GWM (Giro Wajib
Minimum), dan sebagai akibatnya modal bank akan semakin terkikis. Ketika modal
100
bank mulai menyusut, uluran modal asing menjadi semakin menarik, dan hal yang
mungkin dapat terjadi, kepemilikan bank nasional oleh pihak asing akan semakin
marak pada 2006.
Prospek ekonomi makro Indonesia juga dipengaruhi beberapa faktor risiko yang
berdampak kurang menguntungkan (downside risk) antara lain :
1. Harga minyak yang masih tinggi dan cenderung tidak stabil.
Harga minyak di tahun 2006 masih cenderung bergejolak, walaupun diperkirakan
menurun. Potensi kembali melonjaknya harga minyak berasal dari berkurangnya
pasokan dari negara penghasil minyak, sementara permintaan minyak dunia
meningkat seiring dengan peningkatan volume perdagangan dunia. Meningkatnya
harga minyak berdampak pada kenaikan harga komoditas internasional. Hal ini
berakibat kemampuan melakukan impor bahan baku dan barang modal
diperkirakan akan menurun sehingga berpengaruh pada kegiatan investasi dan
kinerja sektor. Tingginya harga minyak juga menekan kondisi neraca pembayaran
yang pada akhirnya akan menekan nilai tukar rupiah. Di sisi lain, dengan
kemampuan fiskal sangat terbatas, naiknya harga minyak berakibat naiknya
kembali harga BBM dalam negeri. Jika hal-hal ini terjadi, maka akselerasi
pertumbuhan ekonomi ke depan akan semakin melambat.
2. Ketidakpastian pelaksanaan Kebijakan Pemerintah di bidang Investasi dan Ekspor.
Arah ekonomi ke depan sangat dipengaruhi oleh kinerja investasi. Komitmen
pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi merupakan faktor penentu bagi
kesinambungan pertumbuhan ekonomi selanjutnya. Langkah nyata perbaikan iklim
investasi sangat diperlukan guna menjaga persepsi positif pelaku ekonomi dan
101
usaha. Keberhasilan Infrastructure Summit tahun 2006 serta implementasi Paket
Insentif 1 Oktober 2005 dan Paket Investasi terbaru yang dituangkan dalam
Instruksi Presiden No.3 tahun 2006 yang antara lain mengatur penyederhanaan
proses pembentukan perusahaan dan izin usaha, akan menentukan arah kegiatan
investasi. Hal ini disebabkan dalam paket tersebut sektor pendukung kegiatan
investasi seperti fiskal, perdagangan serta perhubungan mendapat prioritas. Namun
jika langkah tersebut dan hambatan yang terjadi tidak ditangani serius, akan
berakibat pada penurunan kinerja ekonomi secara keseluruhan.
3. Tingginya pengangguran dan rentannya pasar tenaga kerja.
Melambannya ekonomi diperkirakan akan meningkat pengangguran secara tajam.
Kondisi pasar tenaga kerja masih sangat rentan terhadap perubahan dan gejolak
sosial yang disebabkan antara lain rendahnya tingkat pendidikan pekerja,
peningkatan kesempatan kerja hanya terjadi pada sektor informal sedangkan sektor
formal berjalan lamban serta tingkat upah minimum hanya mencukupi kebutuhan
dasar.
4. Peningkatan Global Imbalance.
Dengan perkiraan akan berakhirnya siklus kebijakan moneter ketat AS pada
triwulan III 2006, ekonomi AS akan dihadapkan pada masalah global imbalance.
Kondisi ini berisiko terhadap pelemahan nilai tukar US dolar. Pelemahan US dolar
diperkirakan akan meningkatkan volatilitas kurs di negara berkembang termasuk
Indonesia.
5. In-konsistensi kebijakan.
102
Kebijakan ekonomi seringkali tidak konsisten dengan penerapan strategi kebijakan.
Seringkali penerapan beberapa kebijakan di waktu yang sama, namun orientasinya
saling berlawanan.
Tabel 4.4. Tabel Analisis Ekonomi Tingkat Pertumbuhan Dampak untuk WOMF
Optimis
Amerika menurunkan suku bunga
Investor asing masuk ke Indonesia
Pertumbuhan ekonomi mencapai 6% - 7%
Nilai tukar rupiah dibawah 9000 per dolar US$
Harga minyak dunia dibawah $60 per barrel
Inflasi dibawah 8%
Baik untuk WOMF melakukan
ekspansi bisnis dan dapat
growth sampai 30% atau lebih
Most
Likely
Suku bunga Amerika tetap
Pertumbuhan ekonomi antara 5% - 6%
Nilai tukar rupiah antara 9000 – 9500 per dolar US$
Harga minyak dunia berada pada $ 60 - $70 per barrel
Inflasi diantara 8% - 10%
Pertumbuhan WOMF akan
berada pada tingkat normal
yaitu sekitar 20% wa ktu yang
cukup baik untuk ekspansi
Pesimis
Amerika menaikkan suku bunga
Pertumbuhan ekonomi hanya 4% - 5%
Nilai tukar rupiah diatas 9500 per dolar U$
Harga minyak dunia diatas $ 70 per barrel
Inflasi diatas 10%
Pertumbuhan WOMF akan
berada pada kisaran 5% - 10%,
lebih selektif dalam ekspansi
bisnis dan prinsip kehati-hatian
dalam pemberian kredit
pembiayaan konsumen
ditingkatkan
Berikut ini pengujian hipotesa untuk mengetahui adanya atau tidak adanya hubungan
antara imbal hasil IHSG, pertumbuhan ekonomi, laju GDP, laju inflasi, laju SBI rate
1 bulan, laju nilai tukar rupiah dan laju harga BBM Premium dengan imbal hasil
indeks harga saham sektor keuangan.
Pengujian hipotesa (data kwartalan dari Maret 1999 sampai dengan Juni 2006)
1. Hipotesis:
103
H0: Tidak ada hubungan linier antara variabel X dan variabel Y (ß1 = ß2 = ß3 = ß4
= ß5 = ß6 = ß7 = 0)
Ha: Ada hubungan linier antara variabel X dan variabel Y (ß ? 0)
2. Tingkat signifikan a yang akan digunakan = 5%
3. Jumlah sampel = 30 ( data kwartalan per Maret 1999 sampai dengan Juni 2006)
4. Teknik statistik uji yang sesuai : t-statitistik dan F-test statistik
5. Nilai kritis dari tabel: t0,025(df=30-7-1)= t0,025(df=22)= 2,0739 (buku Levine hal.844)
F5%(df1=7,df2=30-7-1)= F5%(7,22)= 2,46 (buku Levine hal.847)
6. Mengumpulkan data dan menghitung nilai sampel dari statistik uji yang telah
ditentukan. Berdasarkan atas summary output (hasil) perhitungan yang dilakukan
dengan software SPSS versi 12.0. dan program excel template dari buku ”Aczel”
Statistic, maka dapat diketahui ß dan koefisien korelasi (r) untuk masing-masing
variabel X terhadap variabel Y.
Tabel 4.5. Hasil Analisis Regresi Descriptive Statistics
Mean Std. Deviation N INDEX FIN .058518 .2122253 30 IHSG .053377 .1765313 30 PERTUMB.EK. .039480 .0228512 30 GDP .039311 .0362508 30 INFLASI .021088 .0214634 30 SBI .129723 .0576530 30 KURS .009445 .0958518 30 BBM .056511 .1731198 30
104
Correlations
1.000 .911 .018 -.336 -.008 -.044 -.768 .014.911 1.000 -.008 -.454 -.072 -.025 -.633 .089.018 -.008 1.000 -.096 -.003 -.858 -.015 .123
-.336 -.454 -.096 1.000 .069 .107 .303 .103-.008 -.072 -.003 .069 1.000 .201 -.026 .705-.044 -.025 -.858 .107 .201 1.000 -.017 -.020-.768 -.633 -.015 .303 -.026 -.017 1.000 -.089.014 .089 .123 .103 .705 -.020 -.089 1.000
. .000 .462 .035 .483 .410 .000 .471.000 . .482 .006 .353 .448 .000 .319.462 .482 . .307 .494 .000 .469 .259.035 .006 .307 . .359 .287 .052 .294.483 .353 .494 .359 . .143 .445 .000.410 .448 .000 .287 .143 . .464 .459.000 .000 .469 .052 .445 .464 . .320.471 .319 .259 .294 .000 .459 .320 .
30 30 30 30 30 30 30 3030 30 30 30 30 30 30 3030 30 30 30 30 30 30 3030 30 30 30 30 30 30 3030 30 30 30 30 30 30 3030 30 30 30 30 30 30 3030 30 30 30 30 30 30 3030 30 30 30 30 30 30 30
INDEX FINIHSGPERTUMB.EK.GDPINFLASISBIKURSBBMINDEX FINIHSGPERTUMB.EK.GDPINFLASISBIKURSBBMINDEX FINIHSGPERTUMB.EK.GDPINFLASISBIKURSBBM
Pearson Correlation
Sig. (1-tailed)
N
INDEX FIN IHSGPERTUMB.
EK. GDP INFLASI SBI KURS BBM
Besar hubungan (korelasi) linier antar variabel laju indeks harga saham sektor
keuangan dengan variabel bebas diurutkan dari terbesar ke terkecil:
ü Imbal hasil IHSG = 0,911
Multiple Regression Results Laju Indeks Saham Sektor Keuangan 0 1 2 3 4 5 6 7
Intercept IHSG PertumbEkonomi GDP Inflasi SBI Kurs BBM
? = b 0.04473 0.98536 -0.6431 0.9083 2.6293 -0.602 -0.7046 -0.3506 s(b) 0.09042 0.09139 1.0239 0.3589 0.8277 0.4191 0.1528 0.0985
t 0.49463 10.782 -0.6281 2.5307 3.1768 -1.4364 -4.6097 -3.5584 p-
value 0.6258 0.0000 0.5364 0.0190 0.0044 0.1649 0.0001 0.0018
VIF 2.0662 4.3457 1.3438 2.5052 4.6348 1.7039 2.3102 ANOVA Table Source SS df MS F FCritical p-value R 0.9688 Regn. 1.22578 7 0.1751 47.934 2.4638 0.0000 s 0.0604 Error 0.08037 22 0.0037 Total 1.30615 29 0.045 R2 0.9385 Adjusted R2 0.9189
105
ü Laju nilai tukar rupiah = 0,768 (tanda ’-’ hanya menunjukkan arah hubungan
yang berlawanan)
ü Laju GDP = 0,336 (tanda ’-’ hanya menunjukkan arah hubungan yang
berlawanan)
ü Laju tingkat bunga SBI 1 bulan = 0,044 (tanda ’-’ hanya menunjukkan arah
hubungan yang berlawanan)
ü Pertumbuhan Ekonomi = 0,018
ü Laju harga BBM premium = 0,014
ü Laju inflasi = 0,008 (tanda ’-’ hanya menunjukkan arah hubungan yang
berlawanan)
Analisis:
• Terjadi korelasi yang cukup kuat antara variabel imbal hasil IHSG dengan
variabel laju nilai tukar rupiah (korelasi antar variabel tersebut di atas 0,5). Hal ini
menandakan adanya multikolinieritas, atau korelasi di antara kedua variabel bebas
tersebut.
• Tingkat signifikan koefisien korelasi satu sisi dari output (diukur dari
probabilitas) menghasilkan angka yang bervariasi, dengan catatan variabel
pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, laju SBI rate 1 bulan dan laju harga BBM
premium tidak berkorelasi secara signifikan (mempunyai nilai signifikansi di atas
0,05) dengan variabel lainnya.
106
• R2 = 0,9385 berarti 93,85% laju indeks saham sektor keuangan bisa dijelaskan
oleh variabel imbal hasil IHSG, pertumbuhan ekonomi, laju GDP, laju inflasi,
laju SBI rate 1 bulan, laju nilai tukar rupiah dan laju harga BBM Premium.
• Standard error of estimate (s) = 0,0604 lebih kecil daripada standar deviasi imbal
hasil indeks saham sektor keuangan = 0,2122, maka model regresi lebih baik
digunakan sebagai prediktor imbal hasil indeks saham sektor keuangan daripada
rata-rata imbal hasil indeks saham sektor keuangan itu sendiri.
• Menggambarkan (interpretasi) model persamaan regresi berganda
Y= 0,045 + 0,985X1 - 0,643X2 + 0,908X3 + 2,629X4 - 0,602X5 - 0,705X6 -
0,351X7 + e
Dimana: Y = Imbal hasil indeks saham sektor keuangan
X1 = Imbal hasil IHSG
X2 = Pertumbuhan Ekonomi
X3 = Laju GDP
X4 = Laju inflasi
X5 = Laju tingkat bunga SBI 1 bulan
X6 = Laju nilai tukar rupiah
X7 = Laju harga BBM premium
Persamaan tersebut berarti:
- Konstanta sebesar 0,045 menyatakan bahwa jika tidak ada imbal hasil IHSG,
pertumbuhan ekonomi, laju GDP, laju inflasi, laju SBI rate 1 bulan, laju nilai
107
tukar rupiah dan laju harga BBM Premium, maka laju indeks saham sektor
keuangan adalah sebesar 0,045
- Koefisien regresi X1 sebesar 0,985 menyatakan bahwa setiap penambahan
(karena tanda +) 1% imbal hasil IHSG akan meningkatkan laju indeks saham
sektor keuangan sebesar 0,0099
- Koefisien regresi X2 sebesar 0,643 menyatakan bahwa setiap penurunan
(karena tanda -) 1% pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan laju indeks
saham sektor keuangan sebesar 0,0064
- Koefisien regresi X3 sebesar 0,908 menyatakan bahwa setiap penambahan
(karena tanda +) 1% laju GDP akan meningkatkan laju indeks saham sektor
keuangan sebesar 0,0091
- Koefisien regresi X4 sebesar 2,629 menyatakan bahwa setiap penambahan
(karena tanda +) 1% laju inflasi akan meningkatkan laju indeks saham sektor
keuangan sebesar 0,0263
- Koefisien regresi X5 sebesar 0,602 menyatakan bahwa setiap penurunan
(karena tanda -) 1% laju tingkat bunga SBI 1 bulan akan meningkatkan laju
indeks saham sektor keuangan sebesar 0,0060
- Koefisien regresi X6 sebesar 0,705 menyatakan bahwa setiap penurunan
(karena tanda -) 1% laju nilai tukar rupiah akan meningkatkan laju indeks
saham sektor keuangan sebesar 0,0071
- Koefisien regresi X7 sebesar 0,351 menyatakan bahwa setiap penurunan
(karena tanda -) 1% laju harga BBM premium akan meningkatkan laju indeks
saham sektor keuangan sebesar 0,0035
108
- Uji t untuk menguji signifikansi konstanta dan tujuh variabel lainnya.
Berdasarkan probabilitas: Jika probabilitas (p-value) > 0,05, maka H0 diterima
Jika probabilitas (p-value) < 0,05, maka H0 ditolak
• Dilihat dari baris p-value di atas, variabel yang memiliki cukup bukti untuk
menolak H0 adalah variabel imbal hasil IHSG, laju GDP, laju inflasi, laju nilai
tukar rupiah dan laju harga BBM Premium kecuali pertumbuhan ekonomi dan
laju SBI rate 1 bulan. Untuk laju IHSG, laju inflasi, laju nilai tukar rupiah dan laju
harga BBM berpengaruh sangat signifikan terhadap laju indeks saham sektor
keuangan karena p-value nya < 0,01. Sedangkan pertumbuhan ekonomi dan laju
SBI rate 1 bulan berpengaruh tidak signifikan terhadap laju indeks saham sektor
keuangan karena p-value nya > 0,05.
• Dengan tingkat signifikan a yang digunakan = 5%, maka nilai kritis dari
distribusi t diperkirakan + 2,0739. Jika t-statistik di antara -2,0739 dan +2,0739,
maka H0 diterima dan begitupula sebaliknya. Dari baris t di atas, variabel yang
memiliki t-statistik di antara -2,0739 dan +2,0739 adalah variabel pertumbuhan
ekonomi (-0,6281 ) dan laju SBI rate 1 bulan (-1.4364) yang berpengaruh tidak
signifikan terhadap imbal hasil indeks saham sektor keuangan.
• Dengan tingkat signifikan a yang digunakan = 5%, maka nilai kritis dari
distribusi F diperkirakan 2,4638. Karena Fstat = 46,03 > Fkritis = 2,4638, atau
tingkat probabilitas (p-value) = 0,0000 < a = 0,05, maka diperoleh cukup bukti
untuk menolak H0.
109
Kesimpulan:
Ha: ß ≠ 0 (Ada hubungan linier antara variabel X dan variabel Y), yang artinya
adanya hubungan antara imbal hasil IHSG, pertumbuhan ekonomi, laju GDP, laju
inflasi, laju SBI rate 1 bulan, laju nilai tukar rupiah dan laju harga BBM Premium
dengan imbal hasil indeks harga saham sektor keuangan.
Model persamaan regresi berganda yang diperoleh di atas dapat dipakai untuk
memprediksi imbal hasil indeks saham sektor keuangan dimana PT. WOMF
merupakan salah satu perusahaan yang bergerak di sektor keuangan bukan bank.
4.3.2. Analisis Industri
Walaupun kehadiran perusahaan pembiayaan (multifinance) di Indonesia
tergolong relatif baru dibandingkan negara-negara lain khususnya negara maju,
industri ini telah menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Dimulai pada 1974
yang dilandasi oleh Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri (Menteri Keuangan,
Menteri Industri dan Menteri Perdagangan). Terakhir atas dasar Keputusan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 172/KMK.06/2002, jenis usaha pembiyaan
meliputi leasing (sewa guna usaha), factoring (anjak piutang), kartu kredit, dan
consumer finance (pembiayaan konsumen).
Dari sisi aset, pertumbuhan perusahaan pembiayaan tergolong cukup tinggi
dengan peningkatan rata-rata 28,26% per tahun dalam kurun waktu 2000-2005.
Kenaikan tertinggi terjadi pada 2004 yakni sebesar 57,49%, dengan total asset
110
Rp70,90 triliun. Sedangkan pada 2005 posisi aset meningkat lagi menjadi Rp96,50
triliun, dari Rp70,90 triliun pada 2004, atau meningkat 22,31%.
35.80 37.30 39.9050.10
78.90
96.50
0.00
20.00
40.00
60.00
80.00
100.00
120.00
2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tahun
Rp
Tri
liun
Gambar 4.2. Perkembangan Aset Perusahaan Pembiayaan
Perkembangan industri pembiayaan yang cukup pesat tidak lepas dari dukungan
lingkungan ekonomi yang kondusif, antara lain karena peningkatan konsumsi total
dan konsumsi masyarakat serta suku bunga SBI yang cenderung stabil.
Meskipun dalam jangka waktu 5 tahun mendatang, sektor investasi dan ekspor-
impor lebih menentukan pertumbuhan ekonomi, namun konsumsi diperkirakan masih
tetap meningkat dari tahun ke tahun. Jika pada 2005 konsumsi tumbuh 4,7%, pada
2009 konsumsi diperkirakan akan tumbuh 6,3%. Meskipun sedikit lebih rendah dari
pertumbuhan konsumsi total, konsumsi masyarakat diperkirakan juga akan naik dari
tahun ke tahun. Jika pada tahun 2005 konsumsi masyarakat tumbuh 5,0%, pada 2009,
konsumsi masyarakat diharapkan dapat tumbuh 5,6%.
Perkembangan Industri Pembiayaan dilihat dari Jenis Pembiayaan
111
Sejalan dengan peningkatan aset, total pembiayaan pun mengalami kenaikan
sebesar 8,91% per tahun dalam kurun waktu 2000–2005, dengan kenaikan terbesar
pada tahun 2003 yang mencapai 77,35%.
Tabel 4.6. Nilai Kegiatan Usaha Pembiayaan dalam Triliun Rupiah
Uraian 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Sewa Guna Usaha 7.70 9.60 9.20 10.70 17.20 32.00 Pembiayaan Anjak Piutang 2.60 1.50 2.40 8.00 2.00 3.00 Pembiayaan Kartu Kredit 0.60 1.30 2.00 0.10 0.05 1.50 Pembiayaan Konsumen 55.90 32.40 20.40 41.50 67.80 66.00 Total Pembiayaan 66.80 44.80 34.00 60.30 87.05 102.50 Sumber: Departemen Keuangan
Pembiayaan konsumen menunjukkan peranan yang sangat penting sebagai motor
penggerak industri pembiayaan mulai tahun 2000 seiring dengan meningkatnya
konsumsi masyarakat. Pada tahun 2005, pembiayaan konsumen memberikan
kontribusi hingga 64,39% terhadap total pembiayaan. Bandingkan pembiayaan
lainnya seperti sewa guna usaha yang hanya mencapai 31,22%, anjak piutang 2,93%,
dan kartu kredit 1,46%.
Dibandingkan sektor konsumen, sektor corporate tidak menunjukkan
perkembangan yang signifikan. Hal tersebut disebabkan oleh dua alasan utama yaitu:
tingginya cost of fund yang membuat perusahaan pembiayaan sulit bersaing dengan
perbankan yang menawarkan bunga yang lebih rendah, serta sangat diperlukannya
sumber daya manusia dengan keahlian khusus yaitu analisa yang tajam serta
pengetahuan industri yang baik. Penyebab lain yang tidak kalah pentingnya adalah
tingginya risiko pada sektor corporate. Dilihat dari sisi kolektibilitas, pembiayaan
konsumen memiliki NPL yang paling kecil (0.9%) dibandingkan dengan anjak
112
piutang (54.9%), sewa guna usaha (7.8%) dan kartu kredit (2.4%) per 31 Desember
2004. Namun demikian, sektor korporat mempunyai potensi untuk berkembang
seiring dengan membaiknya indikator ekonomi makro. Sewa guna usaha dan anjak
piutang diperkirakan akan mulai bergerak pada semester pertama 2006.
Berbeda dengan sektor korporat, sebagai penggerak utama industri pembiayaan
sektor konsumen mencetak pertumbuhan yang signifikan. Pada 2004 misalnya,
pertumbuhan pembiayaan konsumen mencapai 63,37% walaupun pada 2005
mengalami penurunan sebesar 2,66% dibandingkan 2004. Sementara dalam kurun
waktu 2000-2005, pembiayaan konsumen tumbuh 18,07%. Pertumbuhan yang cukup
signifikan ini tidak lepas dari dukungan tingginya konsumsi masyarakat terutama
pada sektor otomotif.
Pada 2005 misalnya, total penjualan mobil di Indonesia mencapai 533 ribu unit.
Diperkirakan 20% dari pembelian tersebut dilakukan secara tunai, dan sisanya
sebanyak 80% dibayar secara kredit dimana 75%-nya dibiayai oleh perusahaan
pembiayaan. Sementara pada periode yang sama penjualan sepeda motor tercatat 5
juta unit yang 70 persen diantaranya dibeli secara kredit. Dengan demikian, dapat
diperkirakan betapa besar peranan perkembangan sektor otomotif pada industri
pembiayaan..
Permintaan mobil dan sepeda motor diperkirakan masih akan tinggi dan terus
meningkat dalam beberapa tahun kedepan mengingat masih relatif buruknya
infrastruktur dan sarana transportasi di Indonesia serta masih relatif rendahnya tingkat
penetrasi pasar mobil maupun sepeda motor dibandingkan jumlah penduduk.
Diperkirakan tingkat penetrasi mobil di Indonesia baru mencapai 30:1 (setiap 30
113
penduduk memiliki 1 unit mobil). Sementara tingkat penetrasi pasar sepeda motor
diperkirakan mencapai 12:1 . Angka ini jauh lebih rendah dibanding tingkat penetrasi
sepeda motor di Thailand yang mencapai angka 5:1. Menyikapi permintaan sepeda
motor yang semakin besar, pabrik sepeda motor pun terus meningkatkan
produksinya. Pada tahun 2005 produksi sepeda motor mencapai 5,6 juta unit, naik
21% dibandingkan tahun 2004 namun tahun 2006 diprediksi mengalami penurunan
produksi menjadi 4,8 juta unit mengingat pada semester I 2006, penjualan sepeda
motor mengalami penurunan sekitar 26,2% menjadi 1,81 juta unit dari 2,45 juta unit
pada semester I 2005.
Tingginya permintaan masyarakat dan peningkatan produksi kendaraan bermotor
menjanjikan keuntungan yang besar bagi perusahaan pembiayaan. Apalagi jika dilihat
dari pemberian rate yang cukup tinggi (sebesar 16% - 19% untuk mobil baru, 18% -
26% untuk mobil bekas dan 26% - 30% untuk sepeda motor, serta risiko yang rendah
dengan Bukti Pemilikan Kendaraan Bermotor (BPKB) sebagai jaminan, pembiayaan
konsumen sektor otomotif khususnya sepeda motor masih akan terus diminati.
Beberapa perusahaan yang mendominasi pembiayaan sepeda motor di Indonesia
antara lain Federal International Finance (FIF), Adira Finance, Wahana Ottomitra
Multiartha (WOM) Finance dan Mandala Finance (Investor Indonesia).
Pendanaan Industri Pembiayaan Indonesia
Sumber dana perusahaan pembiayaan di Indonesia masih didominasi oleh
pendanaan dari Bank dengan porsi sebesar 69,01% diikuti oleh pinjaman lainnya
sebesar 16,23%, obligasi sebesar 14,26%, serta pinjaman subordinasi sebesar 0,50%
per 31 Desember 2005.
114
Tabel 4.7. Posisi Kewajiban Perusahaan Pembiayaan menurut Sumber Dana dalam Miliar Rupiah
Keterangan 2000 2001 2002 2003 2004 2005 A. Pinjaman yang Diterima 1. Dalam Negeri 17,124 17,916 16,616 15,629 21,532 29,503 a. Bank 11,303 14,200 13,185 14,667 20,798 25,037 b. Lainnya 5,821 3,716 3,431 962 734 4,466 2. Luar Negeri 12,472 11,013 9,795 11,688 22,969 31,305 a. Bank 7,573 6,950 5,615 6,886 18,623 24,195 b. Lainnya 4,899 4,063 4,180 4,802 4,346 7,110 Subtotal 29,596 28,929 26,411 27,317 44,501 60,808 - Bank 18,876 21,150 18,800 21,553 39,421 49,232 - Lainnya 10,720 7,779 7,611 5,764 5,080 11,576 B. Obligasi 843 749 1,677 4,003 8,861 10,171 C. Pinjaman Subordinasi 1. Dalam Negeri 450 453 303 226 230 241 2. Luar Negeri 1,260 1,757 1,672 1,707 1,928 117 Subtotal 1,710 2,210 1,975 1,933 2,158 358 D. Total 32,149 31,888 30,063 33,253 55,520 71,337 Sumber: Bank Indonesia
Pinjaman dari bank mendominasi sumber pendanaan dengan total mencapai
Rp49.232 miliar pada tahun 2005, naik 24,89% dibandingkan tahun 2004 sebesar
Rp39.421 miliar. Tren ini didukung oleh suku bunga pinjaman bank yang relatif
rendah mengikuti suku bunga SBI yang masih berkisar 12,75%. Selain itu, bank lebih
memilih untuk menyalurkan kredit otomotifnya melalui perusahaan pembiayaan
dengan alasan jaringan perusahaan pembiayaan yang lebih luas dan preferensi
masyarakat yang lebih memilih perusahaan pembiayaan karena servis yang
ditawarkan lebih baik, jika ditinjau dari kecepatan, pelayanan dan kemudahan.
Sedangkan dilihat dari perkembangannya, jenis pendanaan obligasi mengalami
kenaikan yang sangat besar pada periode 2000–2005 yaitu 184,42% per tahun,
dibandingkan dengan pinjaman bank yang berada pada angka 26,83% per tahun,
pinjaman lainnya yang mencapai 1,33% per tahun sedangkan pinjaman subordinasi
115
mengalami kemerosotan sebesar 13,18% per tahun. Per 31 Desember 2005, jumlah
obligasi mencapai angka Rp10,171 miliar, naik 14,78% jika dibandingkan dengan
periode yang sama tahun sebelumnya yang hanya mencapai Rp8,861 miliar. Tren ini
disebabkan karena tenor obligasi yang lebih panjang, sehingga perusahaan
pembiayaan beramai-ramai untuk menerbitkan obligasi sebagai salah satu sumber
pendanaannya.
Kerjasama Bank & Perusahaan Pembiayaan
Hubungan antara perusahaan pembiayaan dan bank tidak hanya sebatas penerima
dan pemberi kredit namun lebih dari itu, kongsi antara perusahaan pembiayaan dan
bank akhir - akhir ini telah menjadi suatu tren di kalangan industri pembiayaan.
Didasari oleh pertimbangan ekonomi, simbiosis mutualisme antara bank dan
perusahaan pembiayaan diharapkan dapat menciptakan peluang bisnis yang lebih
besar ketimbang apabila keduanya berdiri sendiri-sendiri. Bank melihat perusahaan
pembiayaan sebagai potensi untuk memperluas jaringan dan memperkuat posisinya
untuk bersaing pada penyaluran kredit konsumtif. Selain itu ketatnya peraturan
mengenai penyaluran kredit oleh bank juga menjadi salah satu faktor pemicu
terjadinya kongsi antara bank dan perusahaan pembiayaan.
Perusahaan pembiayaan pun mendapatkan beberapa keuntungan antara lain
terjaganya likuiditas, meningkatnya kredibilitas, potensi untuk dapat melakukan cross
selling dengan memanfaatkan nasabah bank, dan potensi untuk meningkatkan service
dengan memanfaatkan fasilitas yang tersedia di bank.
Akusisi perusahaan pembiayaan oleh bank yang ramai dibicarakan adalah akusisi
75% saham Adira Finance oleh Bank Danamon dan akuisisi 43% saham Wahana
116
Otomitra Multiartha (WOM) oleh Bank Internasional Indonesia (BII). BII bahkan
berencana untuk mengambil sisa hak pembelian saham WOM hingga 67%. Berikut
ini terdapat 13 bank di Indonesia yang memiliki saham perusahaan pembiayaan yaitu:
Tabel 4.8. Perusahaan Pembiayaan yang dimiliki Bank per Desember 2005
No. Nama Bank Perusahaan Pembiayaan Kepemilikan Saham (%)
1 Bank Negara Indonesia BNI Multi Finance 99.98 Pembiayaan Artha Negara 3.90
2 Bank BNP Paribas Utama Leasing Indonesia 99.96 3 Bank Bumi Arta Balimor Finance 9.00 4 Bank Central Asia BCA Finance 99.58 5 Bank Danamon Adira Dinamika Multi Finance 75.00 6 Bank Niaga Saseka Gelora Finance 85.78 7 Bank Panin Clipan Finance Indonesia 39.80
DKB Panin Finance 20.00 Verena Oto Finance 24.98
8 Bank Resona Perdania Resona Indonesia Finance 76.00 9 Bank Sumitomo Mitsui Indonesia Exim SB Leasing 15.00
10 Bank UFJ Indonesia U Finance Indonesia 80.00 11 Bank Internasional Indonesia BII Finance Center 99.99
Wahana Ottomitra Multiartha 43.00 12 Bank Rakyat Indonesia UFJ BRI Finance 45.00 13 Permatabank Bali Tunas Finance 60.00
KDLC Bancbali Finance 15.00 Sumber: Bank Indonesia
Para Pemain dalam Industri Pembiayaan Indonesia
Dari 236 perusahaan pembiayaan yang memiliki izin dari Departemen
Keuangan, hanya 131 perusahaan yang melakukan kegiatan usaha. Oleh karena
persaingan yang ketat untuk memperebutkan pangsa pasar, hanya perusahaan
pembiayaan yang memiliki manajemen dan strategi bisnis yang baik yang dapat
bertahan. Selama tahun 2006, terdapat 19 perusahaan pembiayaan yang izinnya
dicabut oleh Departemen Keuangan sehingga jumlah pemainnya berkurang menjadi
210 perusahaan.
117
245 245244
239
237236
230
232
234
236
238
240
242
244
246
2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tahun
Jum
lah
Gambar 4.3. Jumlah Perusahaan Pembiayaan
Dari 131 perusahaan pembiayan yang beroperasi aktif per 31 Desember 2005,
62,70% atau sebesar Rp39,97 triliun pembiayaan dimiliki oleh perusahaan patungan
(joint venture) di mana 20,44% dikuasai oleh Jepang, sisanya dikuasai oleh swasta
nasional sebesar 36,18% atau Rp22,49 triliun, dan BUMN sebesar 1,11% atau Rp0,69
triliun. Ditinjau dari sudut asetnya, perusahaan patungan (joint venture) menguasai
66,81% atau Rp59,4 triliun, swasta nasional sebesar 31,27% atau Rp27,8 triliun, dan
BUMN sebesar 1,92% atau Rp1,7 triliun.
Gambar 4.4. Pangsa Pembiayaan menurut Kepemilikan 2005
Patungan (JV), 62.70%
Swasta Nasional, 36.18%
BUMN, 1.11%
Total Pembiayaan: Rp 62.16 triliun (131 perusahaan)
118
Gambar 4.5. Aset Perusahaan Pembiayaan menurut Kepemilikan 2005
Dilihat dari asetnya, 10 besar perusahaan keuangan menguasai 59,91%
dibandingkan dengan seluruh perusahaan pembiayaan yang berjumlah 130
perusahaan. Sedangkan dilihat dari total pembiayaan, 10 besar perusahaan keuangan
menguasai 54,45% pangsa pasar.
18.49%
6.72%6.04%5.89%
4.61%
4.26%
4.05%
3.51%3.30% 3.04%
Central Java Astra Sedaya FIF GE Finance Oto MultiarthaDipo Star Orix BAF Caterpillar Summit Oto
Gambar 4.6. 10 Besar Total Aset Perusahaan Pembiayaan 2005
Patungan (JV), 66.81%
Swasta Nasional, 31.27%
BUMN, 1.92%
Total Aset: Rp 88.90 triliun (131 perusahaan)
119
8.23%
7.55%
6.88%
5.67%5.61%
4.82%
4.68%
4.68%
3.86% 2.48%
Astra Sedaya GE Finance FIF Dipo Star Oto MultiarthaOrix BAF Caterpillar Summit Oto Mitsui Leasing
Gambar 4.7. 10 Besar Total Pembiayaan Perusahaan Pembiayaan 2005
Baik dilihat dari aset maupun total pembiayaan, Astra Sedaya Finance, GE
Finance Indonesia dan Federal International Finance (FIF) (ketiganya berada dibawah
bendera Astra Internasional) selalu berada di posisi 5 besar. Data ini menunjukkan
bahwa urutan atas perusahaan pembiayaan masih dimiliki oleh pemegang merek
kendaraan bermotor. Seiring dengan tingginya perkembangan pembiayaan konsumen
khususnya sektor otomotif, perusahaan pembiayaan pemegang merek kendaraan
mempunyai competitive advantage dibandingkan perusahaan pembiayaan lain dalam
sektor ini.
Sedangkan menurut rating perusahaan pembiayaan atas dasar laporan keuangan
per Desember 2004-2005 yang dikeluarkan oleh Infobank, Wahana Ottomitra
Multiartha (WOMF) mendapatkan peringkat pertama untuk kategori perusahaan
pembiayaan besar dengan aset Rp1 triliun ke atas yang diikuti oleh Oto
Multiartha(OMA). WOMF berhasil memadukan unsur profitabilitas, solvabilitas dan
120
likuiditas dalam menjalankan usahanya, dengan kata lain WOMF ekspansif dalam
mencari profit. OMA berada di peringkat kedua karena kemampuannya
menghasilkan melakukan efisiensi usaha dibandingkan perusahaan pembiayaan lain.
pembiayaan/aset OMA mencapai angka 85,50%, cukup tinggi bila dibandingkan rata-
rata industri pembiayaan yang hanya mencapai angka 70,24% sedangkan
pembiayaan/kewajiban OMA mencapai angka 107,43%, angka yang cukup tinggi
jika dibandingkan rata-rata industri pembiayaan yang berada pada angka 86,14%.
Tren perkembangan industri pembiayaan diperkirakan masih akan terus
meningkat seiring dengan meningkatnya konsumsi masyarakat, mengingat penggerak
utama perkembangan industri pembiayaan adalah pembiayaan konsumen terutama
sektor otomotif. Namun demikian terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan
terkait dengan perkembangan industri pembiayaan antara lain:
1. Persaingan yang cukup ketat pada pembiayaan konsumen sektor otomotif
membuat perusahaan pembiayaan berlomba- lomba untuk memberikan
kemudahan dalam pembiayaan otomotif. Hal ini dikhawatirkan akan memicu
persaingan yang tidak sehat yang akan merugikan industri pembiayaan, sehingga
diperlukan penerapan pengelolaan risiko dan prinsip kehati-hatian untuk
mengantisipasi timbulnya kredit bermasalah (NPL).
2. Walaupun sektor corporate belum menunjukkan pertumbuhan yang signifikan,
sektor korporat diperkirakan akan berangsur-angsur bergerak pada semester kedua
2006. Anjak piutang salah satunya, mempunyai potensi yang cukup baik karena
membaiknya indikator ekonomi makro, namun demikian faktor- faktor pendukung
121
untuk menunjang perkembangan sektor ini harus dipersiapkan terlebih dahulu,
misalnya penetapan landasan hukum yang jelas mengenai penilaian agunan.
3. Pendanaan dari sektor perbankan masih akan terus meningkat mengingat kredit
dari bank masih merupakan sumber utama pendanaan perusahaan pembiayaan.
Tren hubungan antara bank dan perusahaan pembiayaan pun tidak hanya sebatas
memberikan dan menerima kredit tetapi telah melangkah lebih jauh ke arah
kerjasama yang dilandasi oleh nilai ekonomis. Akuisisi yang dilakukan oleh
Danamon terhadap Adira dan BII terhadap WOM memberikan gambaran yang
cukup jelas akan terus berlangsungnya tren simbiosis mutualisme antara dua
institusi keuangan ini. Untuk kalangan perbankan, faktor utama yang harus
dipertimbangkan dalam menggandeng perusahaan pembiayaan adalah memilih
perusahaan pembiayaan yang sudah mapan dan mempunyai manajemen yang
baik, karena jika tidak, bank tidak akan mendapatkan nilai tambah (added value)
yang signifikan.
4.3.3. Analisis Pasar
Bila diamati industri sepeda motor selama beberapa tahun terakhir, bisnis ini
menunjukkan perkembangan secara spektakuler. Setelah terpuruk sangat dalam pada
masa krisis dengan penurunan penjualan sebesar 72,05% dari 1,85 juta unit pada
tahun 1997 menjadi 518 ribu unit pada tahun 1998, pasca krisis industri ini kembali
tumbuh melesat dengan tingkat pertumbuhan luar biasa, sehingga pada tahun 2001,
jumlah penjualan sepeda motor telah melampaui penjualan pada masa sebelum krisis.
122
Pada tahun 2005, penjualan sepeda motor bahkan telah mencapai angka lebih
dari 5,09 juta unit, telah melampaui 1,75 kali penjualan pada tahun 1997. Tidak
hanya itu, sejalan dengan pesatnya pertumbuhan industri sepeda motor di Indonesia,
Indonesia juga dibanjiri oleh merk-merk sepeda motor dari berbagai negara terutama
Cina. Diperkirakan, setidaknya terdapat lebih dari 200 merk sepeda motor yang
beredar di Indonesia selama 3 tahun terakhir, dengan berbagai segmen pasar dan
harga.
Saat ini Indonesia adalah produsen sepeda motor ke-3 terbesar setelah Cina dan
India. Tahun 2005, Cina memproduksi 12,5 juta unit sepeda motor, disusul oleh
India dengan 6 juta unit dan Indonesia 5,1 juta unit. Namun, pada tahun 2006, kalau
Cina memproduksi 12,9 juta unit dan India 6,5 juta unit, Indonesia diperkirakan akan
menurun menjadi 4,5 juta unit oleh karena dampak kenaikan harga BBM serta suku
bunga perbankan yang mulai memukul industri sepeda motor.
Tabel 4.9. Perkiraan Produksi Sepeda Motor di Asia dalam unit
Tingginya permintaan terhadap sepeda motor di Indonesia juga dipacu oleh
maraknya lembaga pembiayaan yang mengucurkan dana untuk pembiayaan
pembelian sepeda motor. Diperkirakan terdapat sekitar 30 bank pemerintah maupun
123
swasta nasional dan sekitar 131 perusahaan pembiayaan (multifinance) yang
mengalokasikan sebagian dananya untuk pembiayaan pembelian sepeda motor.
Fenomena ini paling tidak merupakan salah satu indikasi sangat atraktifnya
bisnis sepeda motor di Indonesia. Dengan angka pertumbuhan yang cukup fantastis
dalam beberapa tahun terakhir ini, prospek industri sepeda motor dalam beberapa
tahun ke depan diperkirakan masih akan sangat cerah.
Ada beberapa faktor yang menjadi pendorong prospektifnya industri sepeda
motor di Indonesia. Pertama, masih sangat besarnya potensi pasar yang tersedia.
Kedua, berkembangnya ojek sebagai alternatif sarana transportasi umum di
Indonesia. Ketiga, semakin terjangkaunya harga sepeda motor sehingga
meningkatnya aksesibilitas masyarakat terhadap kepemilikan sepeda motor.
Keempat, sepeda motor merupakan salah satu alternatif alat transportasi baik karena
infrastruk tur transportasi yang kurang memadai maupun karena relatif tidak
terjangkaunya harga mobil oleh sebagian besar masyarakat. Kelima, menjamurnya
lembaga pembiayaan maupun bank yang bermain di sektor pembiayaan pembelian
sepeda motor dengan proses dan persyaratan yang mudah, cepat dan dengan tingkat
bunga yang relatif rendah sehingga meningkatkan akses masyarakat terhadap
pemilikan sepeda motor.
Perkembangan Industri
Tingkat persaingan dalam industri sepeda motor cukup ketat. Menurut Asosiasi
Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), saat ini terdapat sekitar 77 perusahaan
assembling, manufaktur dan importir sepeda motor di Indonesia yang tercatat di
Departemen Perindustrian dan Perdagangan (Deperindag). Dari jumlah tersebut, 6
124
diantaranya merupakan angggota AISI yakni Honda, Yamaha, Suzuki, Kawasaki,
Kymco, dan Piaggio; dan 71 perusahaan lainnya di luar keanggotaan AISI. Anggota
AISI umumnya memproduksi sendiri produknya, bahkan sebagian diekspor ke luar
negeri, sementara perusahaan di luar anggota AISI pada umumnya mengimpor
sepeda motor dalam bentuk CBU (Completely Built Up), CKD (Completely Knock
Down), atau IKD (Incompletely Knock Down). Dari 71 merek di luar anggota AISI
yang terdaftar di Deperindag, saat ini kurang dari 10 merek yang masih bertahan
beroperasi yang terdiri dari merk motor asal Cina, Korea, dan Malaysia. Sepeda
motor asal Cina yang sukses menembus pasar Vietnam, Malaysia, dan Filipina, yang
beberapa waktu lalu gencar memasuki pasar Indonesia, meskipun murah ternyata
kalah bersaing dengan produk rakitan Indonesia.
Sebagian besar industri perakitan sepeda motor yang tersebar di Jabotabek (49
unit), dan Jatim (11 unit). Sisanya tersebar di propinsi lainnya. Diperkirakan, total
kapasitas produksi industri sepeda motor Indonesia saat ini mencapai 6,5 juta unit per
tahun. Volume produksi terbesar dimiliki grup Astra yang mencapai 2,65 juta unit per
tahun, diikuti oleh Yamaha dengan volume 1,24 juta unit per tahun, dan Suzuki 1,1
juta unit per tahun. Para produsen lainnya, seperti Kawasaki, volume produksinya
pada tahun 2005 bahkan berkurang disbanding tahun 2004. Jika pada 2004 Kawasaki
masih mampu memproduksi 107.449 unit sepeda motor, pada 2005 hanya menjadi
78.767 unit. Para pemain lainnya dalah Kymco dan Vespa yang volume produksinya
pada 2005 bahkan tak sampai 15.000-an unit.
125
Gambar 4.8. Produksi Sepeda Motor Indonesia dan menurut Merek (Anggota AISI)
Di luar anggota Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) kapasitas
produksi terbesar dimiliki Kanzen yang mencapai 45 ribu unit per tahun. Dengan
kapasitas produksi yang cukup besar tersebut, saat ini hampir seluruh kebutuhan
sepeda motor di dalam negeri dipasok oleh produk rakitan di dalam negeri.
Produksi sepeda motor sampai dengan Juli 2006 akan dikuasai oleh Honda
dengan memiliki pangsa pasar sebesar 50,03% kemudian disusul dengan Yamaha
sebesar 36,09%, Suzuki sebesar 12,29%, dan Kawasaki sebesar 1% sedangkan yang
lainnya memiliki pangsa pasar kurang dari 1% di antaranya Kanzen sebesar 0,40%,
Kymco sebesar 0,18%, dan Piaggio sebesar 0,01%. Perebutan pangsa pasar
menyebabkan perusahaan yang memproduksi sepeda motor harus menyesuaikan
produksi sepeda motornya dengan permintaan pasar yang tersegmentasi dengan
begitu ketat.
126
Gambar 4.9. Produksi Sepeda Motor dari Januari sampai dengan Juli 2006
Industri sepeda motor Indonesia didukung oleh sekitar 200 industri komponen
(sebagian besar merupakan industri komponen sepeda motor), yang terkonsentrasi di
Jabotabek dan Jawa Timur (Surabaya, Sidoarjo, dan Pasuruan). Jumlah ini jauh lebih
sedikit dibandingkan Thailand yang telah memiliki sekitar 1.500 industri komponen.
Disamping itu, sebagian besar industri komponen Indonesia merupakan industri kecil.
Dari 200 industri komponen yang ada, sebanyak 7 perusahaan diantaranya
merupakan industri mesin sepeda motor dan body parts mobil, 11 perusahaan industri
yang memproduksi axle, brake, clutch, transmission, steering, dan shock absorber,
dan 182 perusahaan industri komponen strata dua yakni pressed part, glass, radiator,
muffler, electrical, rubber & plastic, dan casting.
127
Dengan dukungan industri komponen tersebut, sepeda motor rakitan Indonesia
memiliki kandungan komponen lokal yang cukup tinggi, mencapai 90%. Kandungan
lokal yang cukup tinggi ini ditambah ketatnya persaingan industri sepeda motor,
menyebabkan semakin murahnya harga sepeda motor di dalam negeri dibanding
tingkat inflasi yang terjadi.
Perkembangan Penjualan dan Penguasaan Pangsa Pasar
Penjualan sepeda motor mengalami pertumbuhan yang sangat mengesankan
pasca krisis. Pada tahun 2000 dan 2001, penjualan sepeda motor masing-masing
meningkat 66,74% dan 68,55% dengan penjualan 979.422 unit dan 1,65 juta unit.
Pada tahun 2003, penjualan sepeda motor telah mencapai angka 2,82 juta unit,
meningkat 21,82% dibanding tahun 2002. Realisasi penjualan tahun 2004 mencapai
3,90 juta unit kemudian disusul dengan tahun 2005 yang mencapai 5,09 juta unit
sedangkan sampai dengan Juli 2006, penjualan sepeda motor mencapai 2,20 juta unit.
Gambar 4.10. Penjualan Sepeda Motor di Indonesia
128
Meskipun jumlah pemain di industri ini relatif banyak, lebih dari 90% pangsa
pasar sepeda motor dikuasai oleh anggota AISI yang berarti anggota non AISI yang
jumlahnya sepuluh kalinya hanya menguasai sekitar 10%. Pada tahun 2003, Anggota
AISI menguasai 91,3% pasar sepeda motor dengan total penjualan 2,82 juta unit.
Pada tahun 2004 diperkirakan penjualan anggota AISI akan mencapai 3,90 juta unit
atau meningkat 38,13% dibanding tahun 2003. Sementara penjualan anggota non
AISI tahun 2004 mencapai 400 ribu unit atau meningkat 49% dibanding tahun 2003.
Relatif tingginya daya saing produk anggota AISI disebabkan kualitas produk dan
layanan purna jual yang relatif jauh lebih baik dibanding anggota non AISI. Pada
tahun 2005, anggota AISI menguasai pangsa pasar 98,10% sedangkan anggota non
AISI mencapai 1,90%.
Gambar 4.11. Penguasaan Pangsa Pasar Sepeda Motor menurut Merk
Berdasarkan merk, pangsa pasar terbesar pada tahun 2003 dikuasai Honda
(51%), Suzuki (18,9%), dan Yamaha (18,6%). Perebutan pangsa pasar pada ketiga
129
pemain ini tampak cukup ketat. Pangsa pasar Honda mengalami penurunan yang
cukup tajam dibanding tahun 2002 yakni dari 60,5% menjadi 51%. Sebaliknya, pada
periode yang sama, pangsa pasar Suzuki meningkat dari 18,5% menjadi 18,9%. Yang
menarik adalah Yamaha yang sempat kehilangan pangsa pasar yang cukup tajam dari
24,9% menjadi 19,3% pada tahun 2001 dan 15,9% pada tahun 2002, pada tahun 2003
kembali berhasil meningkatkan pangsa pasarnya menjadi 18,6%, mengancam posisi
Suzuki sebagai penguasa pangsa pasar kedua terbesar. Pada tahun 2004, Honda
kembali memimpin pasar dengan share 48,8%. Yamaha yang sharenya meningkat
cukup signifikan menjadi 19,8%, berhasil menggeser Suzuki dari posisi kedua
terbesar yang hanya sebesar 18,7%. Pada tahun 2005, Honda menguasai pasar
sebesar 51,98%, Yamaha sebesar 24,03%, dan Suzuki sebesar 21,48%.
Gambar 4.12. Penjualan Sepeda Motor Tahun 2005 menurut Merk dan Jenisnya
Dilihat dari jenis sepeda motor, pada tahun 2005 penjualan terbesar didominasi
bebek 88,5%, diikuti sport 6,8%, skuter 3,6% dan bisnis 1,1%. Honda memimpin
130
pasar bebek dengan share 54%, diikuti Suzuki 23% dan Yamaha 20%. Di kelas sport
Yamaha memimpin pasar dengan share 47,9% diikuti Honda 43,5%. Cukup besarnya
pangsa pasar di kelas bebek menyebabkan industri sepeda motor di segmen ini
mengalami perkembangan yang sangat progresif. Pertama kali dirilis dengan
kapasitas mesin 50 cc, kini motor bebek hadir dengan kapasitas yang jauh lebih besar,
yakni 125 cc yang selama ini didominasi motor sport. Honda mempelopori kelas
bebek 125 cc dengan Honda Kirana dan Karisma. Sementara Suzuki tampil dengan
Shogun 125 R, dan Kawasaki meluncurkan Blitz Joy 125. Sementara Yamaha masih
bertahan di kelas 110 cc.
Prospek Pasar
Dengan pertumbuhan penjualan yang mencapai 30 hingga lebih dari 50% per
tahun, potensi pasar sepeda motor di Indonesia masih sangat besar. Ini disebabkan
masih relatif rendahnya tingkat kepemilikan sepeda motor di Indonesia dibandingkan
jumlah penduduk. Dengan total penduduk 230 juta jiwa pada tahun 2005, jumlah
kepemilikan sepeda motor baru mencapai 34,57 juta unit yang berarti satu sepeda
motor dimiliki 15 orang penduduk. Padahal, menurut hitungan AISI, pasar sepeda
motor baru akan mencapai titik jenuh apabila kepemilikan sepeda motor sudah
mencapai 5 orang per sepeda motor.
131
12.6 13.05 13.5615.34
18.06
23.31
28.96
34.57
0
5
10
15
20
25
30
35
40
1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005
Tahun
Pop
ulas
i (ju
ta u
nit)
Gambar 4.13. Populasi Sepeda Motor di Indonesia
Bila dilihat penyebaran sepeda motor pada masing-masing wilayah kepolisian
daerah, terlihat bahwa sebagian besar wilayah masih memiliki tingkat kepadatan
sepeda motor yang relatif rendah. Terdapat 9 wilayah Polda yang memiliki rasio
diatas 1:5 hingga 1:10; 3 wilayah memiliki rasio 1:10 hingga 1:15; dan 11 wilayah
Polda yang memiliki rasio diatas 1:15. Sementara itu, hanya terdapat 3 wilayah Polda
yang tingkat kepemilikan sepeda motornya sudah jenuh dengan tingkat kepadatan
dibawah 1:5 yakni DKI Jakarta 1:3, Bali 1:3 dan DI Yogyakarta 1:5.
Dengan perhitungan pasar sepeda motor akan mencapai titik jenuh pada saat
kepemilikan sepeda motor mencapai 5 orang per sepeda motor, potensi pasar sepeda
motor yang masih tersedia secara nasional pada tahun 2005 mencapai 11,43 juta unit.
Potensi pasar sepeda motor terbesar di Jawa Barat & Banten 7,7 juta unit, Jawa
Timur 3 juta unit, Jawa Tengah 2,8 juta unit, Sulsel 1,7 juta unit, Sumut 1,2 juta unit,
132
Lampung 1 juta unit, Sumsel 1 juta unit, NTT 719 ribu unit, NTB 617 ribu unit, dan
Sumbar 552 ribu unit. Di lapis berikutnya dengan potensi pasar antara 300 hingga
500 ribu unit adalah Sulawesi Tenggara, Bengkulu & Bangka Belitung, Kalbar, Riau,
Papua, Sulut dan Nanggroe Aceh Darussalam.
Tabel 4.10. Tingkat Kepadatan Sepeda Motor Dan Pangsa Pasar
Besarnya potensi pasar sepeda motor juga menyebabkan ketatnya tingkat
persaingan di sektor pembiayaan kendaraan bermotor. Ketatnya persaingan ditandai
133
dengan semakin relatif mudahnya persyaratan kredit sepeda motor sehingga
meningkatnya aksesibilitas masyarakat terhadap kredit sepeda motor, proses kredit
yang sangat cepat bahkan hanya dalam 1 hari terutama oleh perusahaan pembiayaan,
maraknya jumlah bank dan perusahaan pembiayaan yang menawarkan kredit sepeda
motor. Saat ini terdapat sekitar 30 bank yang bermain di sektor konsumtif dan 131
perusahaan pembiayaan dengan total pembiayaan Rp102,50 triliun pada tahun 2005.
Perusahaan pembiayaan yang cukup agresif dalam penyaluran kredit sepeda
motor diantaranya adalah PT Wahana Otomitra Multiartha Tbk (WOMF) dengan
total pembiayaan Rp 1,32 triliun pada tahun 2005, Federal International Finance
(FIF) Rp 4,20 triliun, dan Adira Finance Rp 740 miliar. Ekspektasi dan optimisme
yang tinggi dari industri sepeda motor untuk penjualan tahun 2005, ketiga perusahaan
pembiayaan di atas memiliki kontribusi yang sangat penting dalam perkembangan
pembiayaan otomotif khususnya sepeda motor nasional.
Dalam beberapa tahun ke depan industri sepeda motor hampir dapat dipastikan
masih sangat prospektif untuk dikembangkan. Potensi pasar Indonesia yang sangat
besar membuat Indonesia juga menjadi incaran produsen sepeda motor asing untuk
pasar sepeda motor sehingga merupakan tantangan bagi industri lokal untuk
meningkatkan daya saingnya.
Diantara produk asing yang saat ini gencar memasuki pasar Indonesia adalah
Modenas dari Malaysia. Di negara asalnya, Modenas yang menguasai 39% pangsa
pasar Malaysia, termasuk salah satu sepeda motor lokal yang cukup diperhitungkan.
Hingga tahun 2005, Modenas telah memproduksi 10 merk yang produknya di ekspor
ke berbagai negara seperti Turki, Yunani, Iran, Brunei Darussalam dan Indonesia.
134
Modenas masuk ke pasar Indonesia pada tahun 2002 dengan fokus penjualan
Sumatera Utara, Riau dan Sumbar. Pada tahun 2005, dengan semakin meningkatnya
penjualan, Modenas mulai masuk ke pasar Jabotabek, Jawa Barat dan Surabaya
dengan target penjualan 12 ribu unit. Di masa depan, Modenas bisa menjadi ancaman
serius bagi produk lokal Indonesia. Ini disebabkan, sepeda motor yang menggunakan
teknologi Kawasaki Jepang ini, memiliki banyak keunggulan, yakni pasokan spare
part yang cukup terjamin, pelayanan purna jual, harga dan kualitas yang kompetitif,
dan memiliki kedekatan wilayah dengan Indonesia sehingga mempermudah
memasarkan suku cadang. Keunggulan lain adalah selain mendapat dukungan
industri komponen yang kuat, Modenas juga telah memiliki pusat penelitian dan
pengembangan untuk mendukung pengembangan teknologi dan produk.
Tantangan lain yang dihadapi industri sepeda motor Indonesia adalah masih
belum memadainya dukungan industri komponen untuk industri perakitan sepeda
motor. Sehingga, seringkali ketika terjadi lonjakan permintaan sepeda motor yang
cukup besar, permintaan industri perakitan sepeda motor tidak dapat dipenuhi secara
maksimal oleh industri komponen. Akibatnya, permintaan yang terjadi tidak dapat
dipenuhi oleh pabrikan lokal, sehingga harus dipasok dari produk impor.
4.3.4. Analisis Risiko Usaha
Berikut ini beberapa risiko usaha yang dihadapi oleh perusahaan baik secara
mikro maupun makro yang dapat mempengaruhi usaha yaitu:
1. Risiko Mikro
a. Risiko Pembiayaan – Non Performing Loan (NPL)
135
Risiko pembiayaan timbul jika nasabah/debitur mengalami kesulitan dalam
membayar angsuran dari fasilitas pembiayaan yang diterima nasabah. Risiko ini
dapat terjadi apabila kelayakan nasabah dan piutang tidak dikelola dengan baik.
Apabila ketidaklancaran pembayaran angsuran pokok maupun bunga dialami
dalam jumlah yang cukup besar maka akan berdampak terhadap pendapatan dan
kelangsungan usaha.
b. Risiko Pendanaan - Liquidity
Risiko pendanaan dapat timbul jika perusahaan mengalami kesulitan dalam
mendapatkan sumber pendanaan baik berupa pinjaman maupun pembiayaan
bersama. Kesulitan mendapatkan sumber pendanaan eksternal ini dapat
mempengaruhi perkembangan usaha dalam memberikan fasilitas pembiayaan
kepada nasabah.
c. Risiko Persaingan
Sejak terjadinya krisis di Indonesia di mana pembiayaan untuk sektor lainnya
mengalami hambatan sedangkan pembiayaan untuk kendaraan bermotor masih
dapat berkembang pesat, hal ini mengakibatkan banyaknya perusahaan
pembiayaan beralih maupun memfokuskan diri kepada sektor kendaraan
bermotor. Kondisi tersebut mengakibatkan semakin ketatnya persaingan dalam
sektor usaha pembiayaan kendaraan bermotor sehingga dapat berdampak terhadap
pendapatan dan pangsa pasar perusahaan.
d. Risiko Operasional
136
Terdapat risiko operasional seperti risiko yang berkaitan dengan sistem, prosedur,
serta kontrol antara lain seperti tidak berfungsinya sistem komputer perusahaan
atau terjadinya kesalahan prosedur kerja yang berdampak kepada kualitas
pelayanan dan kelancaran operasional. Hal tersebut selanjutnya mengakibatkan
menurunya kinerja pelayanan terhadap nasabah dan daya saing perusahaan.
e. Risiko Teknologi
Terdapat risiko teknologi, mengingat dalam usaha pembiayaan, perusahaan sangat
tergantung pada sistem teknologi informasi, sehingga tidak berfungsinya sistem
teknologi informasi dengan baik akan berdampak pada kinerja operasional
perusahaan.
2. Risiko Makro
a. Risiko Perekonomian
Risiko perekonomian merupakan risiko yang timbul sehubungan dengan
perubahan kondisi perekonomian nasional secara umum seperti tingkat
pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, tingkat suku bunga, dan fluktuasi nilai
tukar rupiah terhadap mata uang asing. Risiko ini dapat mempengaruhi secara
langsung maupun tidak langsung kepada perusahaan yang selanjutnya dapat
mempengaruhi kegiatan operasional dan pendapatan perusahaan.
b. Risiko Sosial dan Keamanan
Gejolak sosial dan keamanan dapat berdampak luas pada sektor ekonomi.
Gejolak ini dapat mengakibatkan turunnya berbagai kegiatan di berbagai sektor
137
industri termasuk sektor kendaraan bermotor. Apabila hal tersebut terjadi maka
dapat mempengaruhi kegiatan usaha dan menurunkan pendapatan perusahaan.
c. Risiko Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter yang diterapkan oleh pemerintah sangat mempengaruhi
permintaan dan penawaran sumber dana yang tersedia di masyarakat. Jika
perusahaan tidak dapat mengantisipasi dengan tepat penerapan kebijakan moneter
tersebut maka perusahaan dapat menghadapi risiko kesulitan mendapatkan
pendanaan dengan tingkat suku bunga yang layak. Hal ini dapat berakibat
menurunya kinerja dan perkembangan perusahaan.
d. Risiko Perubahan Kurs
Meskipun perusahaan tidak memiliki fasilitas pinjaman dalam valuta asing,
namun dengan adanya perubahan nilai tukar mata uang rupiah terhadap valuta
asing lainnya dalam jangka waktu yang relatif lama akan berdampak langsung
terhadap sebagian harga kendaraan bermotor. Apabila terjadi kenaikan harga
akibat dari perubahan kurs tersebut maka dapat mempengaruhi daya beli
masyarakat terutama masyarakat menengah ke bawah yang merupakan pangsa
pasar perusahaan. Sebagai akibat dari semakin melemahnya daya beli tersebut
akan berdampak pada kegiatan pembiayaan perusahaan.
3. Penanggulangan Risiko
Untuk menanggulangi risiko makro (perekonomian, sosial dan keamanan,
kebijakan moneter dan perubahan kurs) dan mikro (NPL, Liquidity, Persaingan,
Operasional dan Teknologi) yang dihadapi oleh Perusahaan, manajemen WOMF
138
memutuskan untuk membentuk Divisi Risk Management, karena manajemen
berkeyakinan bahwa struktur manajemen risiko yang kuat akan dapat mengevaluasi
risiko dan tingkat pengembalian untuk menghasilkan pendapatan yang
berkesinambungan, mengurangi fluktuasi pendapatan serta meningkatkan nilai bagi
pemegang saham. Pada pertengahan tahun 2005, Divisi Risk Management WOMF
dikepalai oleh Bapak Rudy Gomedi yang merupakan mantan Division Head
Corporate Risk Management Bank Internasional Indonesia (BII) telah berpengalaman
di bank swasta nasional sejak tahun 1991.
Tugas dari divisi ini adalah melakukan penilaian risiko, evaluasi dan perbaikan
yang berkesinambungan atas manajemen serta memberikan informasi sebagai dasar
pengambilan keputusan manajemen Perusahaan. Untuk menanggulangi risiko mikro
di atas, WOMF melakukan tindakan seperti melakukan assessment dan evaluasi
sistem dan prosedur Perusahaan (salah satunya adalah kebijakan pemberian kredit
pembiayaan konsumen), meningkatkan kinerja keuangan Perusahaan dan pengelolaan
sumber pendanaan yang baik, meningkatkan dan mengembangkan kompetensi dan
kualitas karyawan melalui program pengembangan/training, mempertahankan dan
meningkatkan kualitas kerja (value added) Perusahaan. Untuk menanggulangi risiko
makro yang berubah dari waktu ke waktu, WOMF melakukan monitoring secara
berkelanjutan atas kondisi makro di Indonesia dan memberikan feedback kepada
manajemen guna pengambilan keputusan tindakan managerial selanjutnya.
4.3.5. Analisis Perusahaan
4.3.5.1. Analisis SWOT
139
1. Internal Factors
a. Strengths (Kekuatan)
• Pemegang saham didukung oleh institusi keuangan yaitu BII sebesar 43%
dan IFC sebesar 19%.
• Menjadi salah satu perusahaan pembiayaan konsumen terbaik di Indonesia
kategori asset Rp500 miliar-Rp1 triliun.
• Fokus Perusahaan hanya pada pembiayaan sepeda motor Jepang.
• Perusahaan sebagai organisasi pembelajar dengan budaya organisasi
berupa learning, sharing, dan coaching serta values beruapa AFFECTION
yaitu Appreciation, Family, Feeling, Enthusiasm, Creativity, Trustworthy,
dan determinatION.
• Didukung oleh 3.709 dealer dan lebih dari 1.500 dealer resmi yang
tersebar di seluruh Indonesia.
• Dukungan dan hubungan yang harmonis dengan dunia perbankan seperti
Bank Mandiri, Bank Negara Indonesia, Bank Lippo, Bank Mega, DBS,
Bank Rakyat Indonesia, Bank Niaga, Bank International Indonesia, Bank
NISP, Bank Central Asia, Bank Panin, Bank Danamon dengan jumlah lini
kredit Rp5,6 triliun.
• Rating obligasi versi Pefindo idA- (Stable Outlook).
• Didukung oleh 93 cabang yang beroperasi di seluruh Indonesia dengan
cabang utama di Pulau Jawa sebesar 76% dan di Sumatera sebesar 15%.
140
• Menerapkan prinsip manajemen keuangan yang hati-hati dan prinsip
pengenalan nasabah dalam memberikan kredit pembiayaan konsumen.
• Pertumbuhan pendapatan selama 3 tahun terakhir (2003-2005) sebesar
1,28x dan laba bersih tumbuh sebesar 1,43x.
• Aset perusahaan tumbuh sebesar 1,03x selama 2003-2005 dengan
komposisi hutang sebesar 61% per 2005 mengalami perbaikan
dibandingkan dengan 2003 sebesar 74%.
• Sistim manajemen yang kuat dan orang-orang yang kompeten dalam
bidang usaha pembiayaan.
b. Weaknesses (Kelemahan)
• Tingginya tingkat suku bunga yang diterapkan oleh PT WOMF
dibandingkan dengan pesaing lainnya.
• Belum tersedianya program regenerasi senior top management (CEO)
• Sistem Teknologi Informasi yang secara kemampuan masih lemah jika
dibandingkan dengan besarnya perusahaan yang sekarang ini sudah
mengarah pada multi-branches.
• Struktur pendanaan dari luar berupa obligasi meningkat drastis di dua
tahun terakhir 2005-2006.
2. External Factors
a. Opportunities (Peluang)
• Penjualan sepeda motor secara nasional meningkat sebesar 5,27x secara
rata-rata tahunan setelah masa krisis dari 1998-2005.
141
• 70% penjualan motor nasional dibiayai secara kredit.
• Rata-rata pertumbuhan pembiayaan selama 5 tahun terakhir (2001-2005)
di atas 80%.
• Tingkat penetrasi sepeda motor di Indonesia baru mencapai 13:1
dibandingkan dengan Thailand yang telah mencapai 5:1.
b. Threats (Ancaman)
• Persaingan dengan 236 perusahaan pembiayaan yang lain.
• Maraknya produk sepeda motor yang bermerk selain Jepang seperti merk
dari Cina dengan harga yang jauh lebih murah dari motor Jepang.
• Keadaan politik yang belum stabil di Indonesia mempengaruhi keadaan
makro ekonomi.
• Adanya perang harga dan uang muka dari para pesaing usaha pembiayaan
yang tidak mengutamakan keamanan usaha.
4.3.5.2. Analisis Laporan Keuangan
Kami melakukan analisis laporan keuangan secara tahunan dari tahun 2001
sampai dengan tahun 2005 (lihat lampiran 2) dan secara kuartalan dari Maret 2005
sampai dengan Juni 2006 (lihat lampiran 3).
Likuiditas WOM selama lima tahun terakhir menunjukkan kinerja yang bagus
dimana current ratio mengalami peningkatan dari 1,09x pada tahun 2001 menjadi
9,07x pada tahun 2005. Hal ini dikarenakan WOM selalu menjaga arus kasnya
dengan baik dari keuntungan yang baik pula. Secara quarterly, tahun 2005
142
menunjukkan tingkat likuiditas yang bagus namun di Quarter kedua tahun 2006
mengalami penurunan dibanding tahun 2005. Hal ini dikarenakan adanya
penambahan hutang bank bersih sebesar Rp 346 miliar.
WOM memiliki struktur modal yang kuat sehingga kewajiban WOM dapat
dipenuhi dari arus kas internal WOMF. Per Desember 2005 hutang WOM mencapai
Rp 835 miliar yang terdiri dari Rp 800 miliar hutang obligasi dan Rp 35 miliar
pinjaman bank (Bank NISP, Tbk.). Risiko pembiayaan kembali dari obligasi WOM
adalah kecil karena masa jatuh tempo obligasi terdistribusi dalam periode 2005-2009.
Dalam periode tersebut tidak ada pokok obligasi jatuh tempo yang nilainya lebih dari
Rp 190 miliar, maka risiko refinancing WOM tersebut minimal. Debt ratio WOM
selama lima tahun terakhir mengalami penurunan dari 0,9x total asset pada tahun
2001 menjadi 0,61x total asset pada tahun 2005 dan 0,79x total asset pada Quarter II
tahun 2006.
Debt to equity ratio dan net debt to equity ratio WOM mengalami penurunan
dari sekitar 8x pada tahun 2001 menjadi sekitar 1,5x pada tahun 2005. Hal ini
dikarenakan WOM telah melunasi sebagian besar outstanding pinjamannya per
Desember 2005. Per Quarter II tahun 2006 mengalami peningkatan dari sekitar 1,5x
per Desember 2005 menjadi sekitar 3,7x karena WOM menambah peminjaman dari
bank pihak ketiga untuk pembiayaan kendaraan bermotor sebesar Rp 346 miliar dan
menerbitkan obligasi III pada tanggal 7 Juni 2006 sebesar Rp 825 miliar dengan
rating idA- (Single A minus) Stable Outlook dari Pefindo.
Untuk long term debt to equity (capitalization) ratio baru muncul di tahun 2003
karena WOM mengeluarkan obligasi senilai Rp 300 miliar pada tanggal 31 Oktober
143
2003. Per Desember 2004 mengalami penurunan dikarenakan WOM meningkatkan
modal ditempatkan dan disetor penuh dari Rp 100 miliar (Rp 1.000,- per lembar
saham) menjadi Rp 200 miliar (Rp 100,- per lembar saham). Per 2005 mengalami
peningkatan karena WOM kembali mengeluarkan obligasi II pada tanggal 26 Mei
2005 dan dengan struktur pemilik saham yang baru (akuisisi oleh konsorsium BII
pada bulan Mei 2006) akan meningkatkan kredit perusahaan menjadi lebih baik dari
sebelumnya. Per Quarter II tahun 2006 mengalami peningkatan karena WOM
menerbitkan obligasi III pada tanggal 7 Juni 2006 sebesar Rp 825 miliar.
Laba bersih WOM terus meningkat dalam dua tahun terakhir karena ekspansi
yang cepat dan perolehan marjin laba yang stabil. Penyaluran pinjaman secara agresif
ditambah dengan kemampuan WOM dalam pengendalian biaya merupakan faktor
utama yang meningkatkan pendapatan dalam lima tahun terakhir. Laba bersih terus
meningkat mencapai Rp 165 miliar di tahun 2005 dari hanya Rp 5 miliar di tahun
2001, sejalan dengan meningkatnya pendapatan menjadi sebesar Rp 719 miliar di
tahun 2005 dari Rp 71 miliar di tahun 2001.
Marjin laba bersih WOM naik hingga 23% di tahun 2005 dari hanya 7% di tahun
2001 terutama karena kemampuan WOM menekan kenaikan biaya di bawah
pertumbuhan pendapatan. Meski rasio biaya terhadap pendapatan WOM lebih tinggi
dari para pesaing (FIF dan Adira), namun WOM masih menikmati marjin yang cukup
baik pada laba bersih. Per Quarter II tahun 2006, WOM mengalami penurunan baik
marjin laba kotor maupun marjin laba bersih masing-masing menjadi 79% dan 14%.
Hal ini dikarenakan adanya peningkatan beban pinjaman dan beban nisbah sehingga
mengurangi laba sebesar Rp 48 miliar.
144
RoA juga cenderung meningkat mencapai 12,9% pada tahun 2005 dibandingkan
dengan 2,8% pada tahun 2001. Namun, RoE tercatat sebesar 31% tahun 2005 turun
dari 37% dan 75% pada tahun 2004 dan 2003. Kami melihat bahwa pada saat WOM
menerbitkan saham baru di tahun 2004 dengan total dana segar Rp 210 miliar,
sehingga RoE menurun di tahun yang sama. Penyaluran pembiayaan yang agresif
serta kemampuan WOM menjaga marjin operasional tetap tinggi membuat
perusahaan memperoleh laba yang memuaskan. Dalam lima tahun terakhir, total
piutang bersih berkembang sebesar CAGR 67% sementara laba bersih tumbuh
sebesar CAGR 147% selama kurun waktu 2001-2005. RoA dan RoE yang dicapai
WOM (total assets Rp 1,6 triliun) tidak jauh berbeda dengan yang dicapai oleh
perusahaan pembiayaan motor yang besar lainnya seperti FIF (total assets diatas Rp 5
triliun) yang mempunyai RoA dan RoE pada tahun 2005 masing-masing sebesar
10,3% dan 40,5%.
Earnings per share saham WOM mengalami penurunan dari Rp 336,- pada
tahun 2001 menjadi Rp 82,51 pada tahun 2005. Hal ini dikarenakan WOM go public
sejak 13 Desember 2004 dan penurunan nilai nominal saham dari Rp 1000,- per
lembar saham menjadi Rp 100,- per lembar saham pada tahun 2004 sehingga jumlah
lembar saham yang beredar bertambah. EPS per Quarter II tahun 2006 (Rp 30,02)
mengalami penurunan dibanding Quarter II tahun 2005 (Rp 45,28) dikarenakan
penurunan laba bersih perusahaan terutama diakibatkan peningkatan beban pinjaman
dan beban nisbah.
Price Earnings Ratio WOM per Quarter II tahun 2006 (16,53 x) mengalami
penurunan dibanding Quarter II tahun 2005 (17,19 x). Hal ini dikarenakan harga
145
saham WOM di pasar modal mengalami penurunan harga rata-rata 36% dari Rp
778,40 menjadi Rp 496,35 dan laba bersih WOM mengalami penurunan 30% dari Rp
86 miliar menjadi Rp 60 miliar.
Perseroan mengelola aset secara produktif dengan tujuan agar aset dapat
dimanfaatkan secara optimal sehingga dapat menghasilkan pendapatan yang besar
untuk memperoleh laba. Kemampuan untuk memperoleh dan mengadministrasi
pembiayaan secara efisien adalah kunci untuk menghasilkan perputaran aset yang
tinggi. Rasio pendapatan terhadap aktiva terus meningkat dalam lima tahun terakhir
hingga mencapai 0,61x pada tahun 2003 dari 0,39x pada tahun 2001 sebelum
kemudian turun menjadi 0.56X pada tahun 2005. Yang patut dicatat adalah rasio
pendapatan terhadap aktiva yang dicapai WOM tidak jauh berbeda dengan yang
dicapai oleh perusahaan pembiayaan motor yang besar lainnya seperti FIF yang
mempunyai rasio 0.58X pada tahun 2005. Rasio pendapatan terhadap total aktiva
tetap bersih (Fixed assets turnover/FAT) meningkat dari 16,35x pada tahun 2001
menjadi 24,67x pada tahun 2005. Accounts receivable turnover (ART) meningkat
dari 0,43x pada tahun 2001 menjadi 0,69x pada tahun 2005. Namun per Quarter II
tahun 2006 (AT 0,2x dan ART 0,22x) mengalami penurunan dibanding Quarter II
tahun 2005 (AT 0,3x dan ART 0,36x). Hal ini dikarenakan terjadi peningkatan total
assets (85%) dan total piutang pembiayaan konsumen (48%) yang melebihi
peningkatan pendapatan (12%). Per Quarter II tahun 2006 (FAT 15,35x) mengalami
peningkatan dibanding Quarter II tahun 2005 (FAT 12,98x) dikarenakan penurunan
net fixed asset dan peningkatan pendapatan.
146
Menurut informasi WOM kepada salah satu perusahaan sekuritas, tingkat provisi
WOM cukup rendah yakni hanya mencapai 20,6% dari pinjaman tidak produktif
(NPL) WOM di tahun 2005. Namun dengan meningkatnya beban provisi,
pertumbuhan laba akan melambat dalam beberapa tahun ke depan. Manajemen telah
menegaskan keinginan untuk meningkatkan biaya provisi hingga 3,5% dari piutang
kotor di tahun 2006.
Jadi dari hasil analisis laporan keuangan di atas, kami menyimpulkan bahwa
kinerja dan kapasitas yang dimiliki WOM masih bagus dan berprospek baik di masa
yang akan datang dengan catatan kondisi makroekonomi Indonesia lebih baik dan
kondusif. Namun berdasarkan pendapat beberapa ahli ekono mi Indonesia seperti
mantan Menteri Koordinator Perekonomian Rizal Ramli menilai bahwa pemerintah
Indonesia mengabaikan sektor riil secara sistemis sehingga ekonomi Indonesia hanya
akan stagnan dan semakin tertinggal dari negara Asia lainnya. International
Monetary Fund juga mengingatkan adanya potensi munculnya kesulitan terhadap
perekonomian global ekonomi di masa mendatang (Harian Kompas, Kamis 14
September 2006 hal 19). Pada tahun 2006, kinerja Perusahaan dilihat dari bottom
linenya (laba bersih) mengalami penurunan baik pada Quarter I maupun pada Quarter
II masing sebesar -40% dan -30% dibanding Quarter I dan Quarter II tahun 2005.
Oleh karena itu, kami tidak terlalu optimis dan tidak terlalu pesimis dalam melakukan
analisa fundamental atas WOM dan memutuskan dasar investasi bagi para investor.
147
4.3.5.3. Analisis Harga Saham
Kami melakukan analisis teknikal terhadap harga saham PT Wahana Ottomitra
Multiartha Tbk (WOMF) secara mingguan sejak perusahaan ini go public pada
tanggal 13 Desember 2004 hingga 7 Agustus 2006 dengan beberapa indikator berikut
ini:
1. Perbandingan IHSG dan IHSS Keuangan dengan Harga Saham WOMF
Pergerakan IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) dengan pergerakan IHSS
(Indeks Harga Saham Sektoral) Keuangan menunjukan tren yang relatif sama
terhadap pergerakan harga saham PT Wahana Ottomitra Multiartha Tbk di mana
saham ini aktif diperdagangkan mulai pada saat go public hingga bulan Mei 2005
dan selanjutnya volume transaksi saham ini kurang aktif diperdangangkan di
Bursa Efek Jakarta. Saham WOMF cenderung lagging baik terhadap IHSG
maupun IHSS Keuangan kecuali pada saat Desember 2004-pertengahan Januari
2005, akhir Juni-Oktober 2005, pertengahan Desember 2005-Januari 2006, dan
April-pertengahan Mei 2006 saham ini mengalami leading terhadap IHSG
maupun IHSS Keuangan. Harga saham perdana WOMF per 13 Desember 2004
sebesar Rp700 dan mengalami penurunan sebesar Rp230 (32,86%) menjadi
Rp470 per 7 Agustus 2006 dalam jangka waktu 20 bulan sehingga saham WOMF
menunjukan tren bearish.
148
Gambar 4.14. Perbandingan IHSG dengan Harga Saham WOMF
149
Gambar 4.15. Perbandingan IHSS Keuangan dengan Harga Saham WOMF
150
2. Analisis Mingguan Saham WOMF Atas Dasar Moving Average 15 Harian
Pergerakan saham WOMF selama tahun 2006 cenderung berada dalam kisaran
Rp 400,- dan Rp 525,- per lembar saham walaupun sempat menembus angka
Rp610,- pada minggu ke-3 bulan April 2006. Volume perdagangan selama tahun
2006 berkisar dari 1.114 sampai dengan 7.381.500 lot saham dengan volume yang
aktif diperdagangkan selama bulan April 2006. Di tahun 2005, saham WOMF
mencapai puncak pada harga Rp 870,- pada 4 Maret 2005 dengan volume
perdagangan 9.137 lot saham, setelah itu saham WOMF menunjukan tren bearish
hingga penutupan di harga Rp 500,- pada 29 Desember 2005 dengan volume
perdagangan 633.000 lot saham walaupun sempat mengalami titik terendah pada
18 Nopember 2005 dengan nilai Rp 380,- per lembar saham. Pada penutupan
perdagangan 4 Agustus 2006, saham ini diperdagangkan pada harga tertinggi
Rp475,-, harga terendah Rp 460,-, kemudian ditutup pada harga Rp 460,- dengan
volume perdagangan sebesar 1.350.500 lot saham di mana garis moving average
telah menunjukan crossing ke bawah. Tingkat support berada di level Rp 400,-
dan resistence berada di level Rp525.
Gambar 4.16. Analisis MA15 Terhadap WOMF
151
3. Analisis Mingguan Saham WOMF Atas Dasar Bolliger Bands 20 Harian
Atas dasar analisis bollinger bands 20 harian terhadap saham WOMF, volatilitas
harga terbesar terjadi pada pertengahan bulan Agustus-Desember 2005 kemudian
diikuti dengan gerakan bollinger bands menyempit pada bulan Januari-Mei 2006.
Hal ini mengindikasikan break out pada saat memasuki bulan Juni 2006 dari
gerakan bearish yang diciptakan pada April-Mei 2006. Break out tercipta pada
tanggal 15 Juni 2006 yaitu pada harga penutupan Rp 410,- per lembar saham.
Gambar 4.17. Analisis Bollinger Bands 20 Harian
4. Analisis Mingguan Saham WOMF Atas Dasar MACD 9 Harian
Analisis harga saham WOMF dengan menggunakan MACD (Moving Average
Convergence/Divergence) menunjukan tren oversold yang ditunjukkan oleh
angka -25 dan -50. Kondisi oversold dimulai dari bulan Agustus 2005 sampai
dengan akhir 2 Desember 2005 dengan harga penutupan Rp 500,- kemudian
disusul dengan kondisi stagnan hingga 29 Maret 2006 dengan harga penutupan
Rp 485,- dan harga terendah yang pernah dicapai per 15 Juni 2006 sebesar Rp
400,-. Hal ini merupakan sinyal untuk melakukan akumulasi terhadap saham
152
WOMF di mana harga saham per 4 Agustus 2006 sebesar Rp 460,-. Bila kondisi
pasar saham mendapat sentimen positif, harga saham WOMF akan berpengaruh
pula menjadi terapresiasi.
Gambar 4.18. Analisis MACD 9 Harian
5. Analisis Mingguan Saham WOMF Atas Dasar Momentum 12 Harian
Atas dasar analisis Momentum 12 harian, saham WOMF mencapai titik tertinggi
pada 13 April 2006 sebesar Rp 600,- kemudian mengalami penurunan pada 15
Juni 2006 sebesar Rp 400,- disusul dengan reversal tren menjadi Rp 460,- per 4
Agustus 2006. Titik momentum pembelian sebenarnya harus dieksekusi di titik
terendah Rp 400,- per 15 Juni 2006 namun jika ekspetasi investor positif, harga
saham WOMF akan berlanjut menuju Rp 500,-.
153
Gambar 4.19. Analisis Momentum 12 Harian
6. Analisis Mingguan Saham WOMF Atas Dasar On Balance Volume
Bila kita melihat pada pergerakan volume yang terjadi pada saham WOMF,
terdapat indikator yang tidak mengalami pergerakan yang berarti karena transaksi
perdagangan saham WOMF di bursa efek berada dalam range terendah pada 18
Feb 2005 sebesar 1.036 lot saham dan tertinggi pada 29 April 2005 sebesar
8.958.500 lot saham. Selama tahun 2006, terendah pada 13 April 2006 sebesar
1.352 lot saham dan tertinggi pada 21 April 2006 sebesar 7.381.500 lot saham.
Pada tanggal 15 Juni 2006 harga saham WOMF sebesar Rp 400,- dengan volume
1.250.000 lot saham dan pada tanggal 4 Agustus 2006 menyentuh level Rp 460,-
dengan volume 1.350.500 lot saham. Saham WOMF diperkirakan akan berada di
antara level Rp 400,- dan Rp 600,-.
154
Gambar 4.20. Analisis On Balance Volume
7. Analisis Mingguan Saham WOMF Atas Dasar Performance
Harga perdana saham WOMF per 13 Desember 2004 sebesar Rp700 dan harga
penutupan per 29 Desember 2005 sebesar Rp500, mengalami penurunan sebesar
28,57% dan pada tanggal 4 Agustus 2006 sebesar Rp460, mengalami penurunan
yang lebih drastic lagi sebesar 34,29% dari harga saham perdana WOMF.
Downtrend yang terjadi pada saham WOMF menimbulkan sentimen negatif di
kalangan investor setelah penerbitan saham perdana karena tidak memberikan
tingkat imbal hasil yang diharapkan.
155
Gambar 4.21. Analisis Performance
8. Analisis Mingguan Saham WOMF Atas Dasar RSI 14 Harian
Harga saham WOMF per 13 April 2006 sebesar Rp600 menyetuh level di atas 70
yang akan menjadi resistance level kemudian harga saham WOMF per 15 Juni
2006 sebesar Rp400 menyentuh level di bawah 30 yang akan menjadi support
level selama tahun 2006 sehingga harga penutupan sebesar Rp460 per 4 Agustus
2006 merupakan indikasi potensi kenaikan hingga Rp500 karena pada harga
tersebut belum menyentuh level 50-70 dengan syarat pasar modal memiliki
sentimen yang positif. Jika sebaliknya, harga saham WOMF akan jatuh menuju
support level sebesar Rp400.
156
Gambar 4.22. Analisis Relative Strength Index 14 Harian
9. Analisis Mingguan Saham WOMF Atas Dasar Stochastics 5 Harian
Pada tanggal 6 Mei 2005, harga saham WOMF sebesar Rp760 terdepresiasi
hingga tanggal 18 Nopember 2005 menyetuh level Rp380. Pada periode ini
indikator stochastic bergerak mixed antara garis %K (pink) dengan garis %D
(merah) kemudian dari periode Desember 2005 sampai dengan Maret 2006
bergerak sangat sempit yang menunjukan indikasi stagnan pada harga saham
WOMF. Sejak dari 14 Juli 2005 sampai dengan 4 Agustus 2006, pergerakan
harga saham WOMF berada di atas level 75 di mana hal ini menunjukan suatu
indikasi penurunan harga saham WOMF secara berkesinambungan dari harga
saham perdananya. Pada tanggal 4 Agustus 2006 yang merupakan tanggal cutoff,
indikator menunjukan garis %K bersimpangan dengan garis %D dengan garis %K
berada di atas garis %D. Hal ini menunjukan sinyal ketidakpastian dari investor
tergantung pada situasi pasar apakah positif atau negatif. Jika positif, harga
saham WOMF akan terapresiasi dan sebaliknya akan terdepresiasi dari harga
cutoff per 4 Agustus 2006.
157
Gambar 4.23. Analisis Stochastics 5 Harian
10. Analisis Mingguan Saham WOMF Atas Dasar Volume
Pada 4 Maret 2005 saham WOMF menyentuh level tertinggi setelah IPO (Initial
Public Offering) yaitu sebesar Rp870 diikuti dengan volume sebesar 9.137 lot
saham kemudian pada tanggal 29 Juli 2005 harga tertinggi saham WOMF
menyetuh level Rp750 dengan volume 3.121 lot saham diikuti dengan tanggal 2
Desember 2005 harga tertinggi sebesar Rp540 dengan volume 1.114 lot saham,
dan pada tanggal 7 April 2006 menyentuh level tertinggi sebesar Rp580 dengan
volume 1.801 lot saham. Saham WOMF dapat terapresiasi tanpa diikuti oleh
volume yang kuat. Hal ini merupakan indikasi pergerakan saham WOMF
memiliki tren yang lemah.
158
Gambar 4.24. Analisis Volume
11. Analisis Mingguan Saham WOMF Atas Dasar Accumulation/Distribution
Bergerak dari harga perdana sebesar Rp700 per 13 Desember 2004 kemudian
mengalami downtrend hingga menyentuh level terendah pada harga Rp 380 per
18 Nopember 2005 dengan volume sebesar 509.000 lot saham kemudian diikuti
periode stagnasi mulai dari Desember 2005-Maret 2006 dalam kisaran harga
Rp475-Rp510. Pada 15 Juni 2006 harga saham WOMF menyentuh level
terendah sebesar Rp400 selanjutnya tanggal 4 Agustus 2006 harga saham berbalik
kembali menjadi Rp460. Harga saham WOMF selama 2006 diperkirakan akan
bergerak dalam range Rp400 sebagai support level dan Rp600 sebagai resistance
level.
159
Gambar 4.25. Analisis Accumulation/Distribution
4.3.6. Proyeksi 5 tahun ke depan
Dari hasil performance WOM per Quarter II tahun 2006, kondisi pasar dan
industri otomotif serta makroekonomi mengalami penurunan dan pelambatan
ekonomi, kami mengasumsikan kenaikan pendapatan WOM sebesar 25% untuk tahun
ke-1 sampai dengan tahun ke-4. Untuk menghitung terminal value pada tahun ke-5
dan selanjutnya, kami mengasumsikan kenaikan pendapatan WOM sebesar 10%
(dalam tahap stable growth). Adapun dasar penentuan asumsi ini kami ambil dari
rata-rata data historis dari tahun 2004 sampai dengan tahun 2005 setelah WOM
melakukan IPO sahamnya.
Tabel 4.11. Proyeksi Neraca 2006 – 2010 dalam miliar rupiah
Keterangan 2005A 2006F 2007F 2008F 2009F 2010F Aktiva Lancar 1.537 1.770 2.213 2.766 3.458 3.804 Aktiva Tetap 37 56 70 87 109 120 Hutang Jangka Pendek 170 306 382 478 597 657 Hutang Jangka Panjang 790 1.602 1.602 1.602 1.602 1.602 Ekuitas 615 615 615 615 615 615
160
Tabel 4.12. Proyeksi Laba Rugi 2006 – 2010 dalam miliar rupiah
Keterangan 2005A 2006F 2007F 2008F 2009F 2010F Pendapatan 719 899 1.124 1.405 1.756 1.931 Beban Bunga Pinjaman 109 114 143 178 223 245 Laba Kotor 610 785 981 1.226 1.533 1.686 Beban Usaha 375 444 554 693 866 953 Laba Bersih 235 341 427 533 666 733
4.3.7. Analisis Fundamental Saham:PT Wahana Ottomitra Multiartha Tbk
Model CAPM digunakan untuk menghitung required return dari investor (biaya
modal atau cost of equity atau re) adalah sebagai berikut:
Asumsi untuk tahun 2006:
rf = Risk free - suku bunga SBI bulan September 2006 = 11 %
rm = Risk premium Negara Indonesia – lihat pada lampiran 7 = 12.3%
B = Beta leverage WOMF = 1.69
re = rf + ß (rm - rf)
= 11 + (1.69. (12.3 – 11))
= 11 + (1.69 (1.3))
re = 13.197%
Untuk tahun 2007 sampai dengan tahun 2010, kami lakukan perhitungan yang
sama dengan tahun 2006, dapat dilihat pada lampiran 4 dan 5.
Untuk perhitungan model penilaian Free Cash Flow to the Firm dapat dilihat
pada lampiran 5. Dimana hasil nilai perusahaan, yang sudah di-presentvalue-kan
dengan tingkat diskonto WACC 13% (2006F), 14% (2007F dan 2008F) dan 15%
(2009F dan 2010F), diperoleh sebesar Rp 2.504 miliar. Nilai Equity Perusahaan
161
setelah dikurangi dengan debt diperoleh sebesar Rp 902 miliar. Nilai intrinsik saham
yang diperoleh adalah Rp 450,- (nilai equity dibagi dengan jumlah saham yang
beredar per 30 Juni 2006).
Tabel 4.13. Data Pendukung Financial Shenanigans 2005 2006 Mar Jun Sept Des Mar Jun Piutang Pembiayaan Konsumen terhadap Pendapatan Pembiayaan Konsumen 5.44 3.73 2.38 2.09 9.08 6.90 Pertumbuhan Kewajiban -13.07% 29.46% 18.41% 82.12% 123.87% 126.01% Pertumbuhan Piutang Pembiayaan Konsumen 22.09% 54.57% 44.17% 71.88% 91.11% 84.17% Pertumbuhan Pendapatan Pembiayaan Konsumen 41.78% 51.53% 55.52% 33.85% 14.55% -0.55% Penyisihan Piutang Ragu-ragu terhadap Piutang Pembiayaan Konsumen 0.04 0.01 0.02 0.03 0.02 0.03 Beban Penyisihan Piutang Ragu-ragu terhadap Pendapatan Pembiayaan Konsumen 0.12 0.12 0.11 0.11 0.12 0.17 Pertumbuhan Penyisihan Piutang Ragu-ragu 201.25% 164.06% 329.27% 152.33% 12.53% 285.77% Periode Penagihan (dalam tahun) 4 3 2 1 6 5
Dari tabel di atas, kami melihat adanya indikasi financial shenanigans yang
sebagian besar timbul akibat faktor piutang pembiayaan konsumen. Piutang
pembiayaan konsumen terhadap pendapatan pembiayaan konsumen membesar pada
Quarter I 9,08 dan Quarter II 6,9 tahun 2006 dibanding tahun 2005. Pertumbuhan
kewajiban WOM yang melebihi pertumbuhan piutang pembiayaan konsumen akan
menyebabkan kesulitan likuiditas perusahaan (2005: 82,12% > 71,88%; Q1 06:
123,87% > 91,11%; Q2 06: 126,01% > 84,17%). Pertumbuhan piutang pembiayaan
konsumen melebihi pertumbuhan pendapatan pembiayaan konsumen (2005: 71,88%
> 33,85%; Q1 06: 91,11% > 14,55%; Q2 06: 84,17% > -0,55%). Pertumbuhan
penyisihan piutang ragu-ragu berfluktuasi atau tidak sejalan dengan pertumbuhan
piutang pembiayaan konsumen dimana bila piutang pembiayaan konsumen
162
meningkat maka penyisihan piutang ragu-ragu mengalami penurunan (lihat data Q1
06 dibanding Q1 05). Bila Perusahaan memperkecil penyisihan piutang ragu-ragu
maka laba perusahaan akan meningkat dan menjadi bias bagi stakeholders
Perusahaan. Periode penagihan piutang pembiayaan konsumen mengalami
peningkatan pada Q1 dan Q2 tahun 2006 dibanding tahun 2005.
Indikasi tersebut di atas penting untuk diperhatikan bagi para stakeholder
termasuk para investor dalam melakukan investasi saham perusahaan pembiayaan
yang mungkin melakukan window dressing guna menyajikan laporan kinerja
perusahaan yang lebih bagus.
4.3.8. Nilai Intrinsik
Nilai Perusahaan (WOM) sebenarnya Rp 450,- per lembar saham. Nilai pasar
saham WOM sebesar Rp 490,- per 19 September 2006. Jadi kami menentukan harga
saham Rp 450,- dengan target batasan waktu 3 bulan kemudian (sampai dengan
Desember 2006).
4.4. Rekomendasi
Karena nilai Perusahaan (WOMF) sebesar Rp 450,- per lembar saham lebih kecil
daripada nilai pasar saham WOMF sebesar Rp 490,- per 19 September 2006
(overvalued), maka kami merekomendasikan posisi pegang/hold atau jual/ sell.
top related