pengesahan panitia ujian - repository.uinjkt.ac.id
Post on 24-Dec-2021
3 Views
Preview:
TRANSCRIPT
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “HUBUNGAN STABILITAS POLITIK DAN TINGKAT
PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA PADA MASA REFORMASI” telah
diujikan dalam sidang Munaqosyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, pada tanggal 20 Juli 2006. Skripsi ini telah
diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam
(SHI) Program Strata Satu (S1) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi
Siyasah Syar’iyyah.
Jakarta, 20 Juli 2006 Disahkan oleh, Dekan,
Prof. DR. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM.
NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN
Ketua : Drs. H. Afifi Fauzi Abbas, M.A ( ) NIP. 150 210 421 Sekretaris : Drs. Abu Tamrin, SH. M.Hum ( ) NIP. 150 274 761 Pembimbing : Drs. H. Anwar Abbas, MM, M.Ag ( )
NIP. 131 273 007 Pembimbing : Asmawi, M.Ag ( )
NIP. 150 282 394 Penguji I : Dr. Ir. H. Murasa Sarkani Putra ( ) NIP. 080 0030 109 Penguji II : Euis Amalia, M.Ag ( ) NIP. 150 289 264
HUBUNGAN STABILITAS POLITIK DAN TINGKAT PERTUMBUHAN
EKONOMI DI INDONESIA PADA MASA REFORMASI
OLEH :
SYAHRUL ROMADHON
KONSENTRASI SIYASAH SYAR’IYYAH
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1427 H / 2006 M
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ........................................................................................ i
DAFTAR ISI ........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ........................................................... 1
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah ....................................... 8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian................................................. 8
D. Metode Penelitian ..................................................................... 9
E. Sistematika Penulisan ............................................................... 11
BAB II PERSFEKTIF TEORITIS HUBUNGAN STABILITAS
POLITIK DAN EKONOMI ......................................................... 12
A. Pengertian Stabilitas Politik .................................................... 12
B. Pengertian Pertumbuhan Ekonomi........................................... 17
1. Teori-teori Pertumbuhan Ekonomi ..................................... 19
C. Hubungan Stabilitas Politik dan Pertumbuhan Ekonomi ........ 30
BAB III SISTEM POLITIK DAN EKONOMI INDONESIA .................. 35
A. Sekilas Tentang Indonesia ......................................................... 35
B. Sistem Politik Indonesia ............................................................ 37
C. Sistem Ekonomi Indonesia ........................................................ 42
BAB IV HUBUNGAN STABILITAS POLITIK DAN
PERTUMBUHAN EKONOMI DI INDONESIA PADA MASA
REFORMASI ................................................................................. 49
A. Stabilitas Politik Indonesia Pada Masa Reformasi .................. 49
B. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Pada Masa Reformasi ........ 54
C. Hubungan Stabilitas Politik dan Pertumbuhan Ekonomi pada
Masa Reformasi ...................................................................... 59
BAB V PENUTUP ....................................................................................... 71
A. Kesimpulan ............................................................................... 71
B. Saran – Saran ............................................................................ 73
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 75
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Saat ini masyarakat luas khususnya penduduk yang hidupnya dibawah garis
kemiskinan absolut, sedang bergulat untuk mendapatkan sembako dengan harga
yang murah, air bersih yang makin sulit diperoleh, dan ongkos transportasi yang
makin melambung tinggi. Sementara perpolitikan di negara ini juga makin bengis
sebagai akibat dari kemorosotan perekonomian di Indonesia.
Dalam kondisi yang buruk, kita bisa merasakan bahwa perlu dilakukan
sesuatu yang luar biasa. Apapun bentuk sesuatu yang luar biasa itu, jelas
kebutuhan terbesar saat ini adalah pemikiran yang visioner, yang harus muncul
dari bangsa Indonesia sendiri. Tidaklah pantas mengharapkan atau menganggap
bahwa pikiran-pikiran visioner muncul dari badan dunia seperti Dana Moneter
Internasional (IMF) dan Bank Dunia, ataupun dari berbagai lembaga kajian
strategis di manca negara. Seharusnya Indonesia mempunyai pikiran-pikiran
visioner tersebut.1
Dengan lengser dan turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan, terdapat
munculnya visi baru untuk Indonesia dalam proses reformasi, yang mana disitu
terdapat beberapa masalah pokok yang harus segera dibenahi dan diperbaiki.
Bisa dipastikan bahwa demokratisasi bukanlah suatu hal yang bisa ditunda-
tunda dengan berbagai alasan seperti perlunya pemerintahan yang kuat,
1 Sjahrir, Krisis Ekonomi Menuju Reformasi Total, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999),
cet. II, h.11
kemapanan ekonomi, mesti dilaksanakannya UUD 1945 dan Pancasila secara
konsekwen, yang semuanya adalah dalih dari kekuasaan untuk melanjutkan
penindasan serta kekerasan politik dan ekonomi yang hanya mempunyai satu
arah, yaitu kelanggengan kekuasaan itu sendiri yang disertai dengan akumulasi
kekayaan yang sangat tinggi.2
Apa yang disebut dengan globalisasi merupakan faktor yang amat penting dan
menjadi salah satu penyebab terjadinya perubahan politik dan ekonomi yang
sekarang sedang kita alami. Dalam hal ini pengamatan sosial dan penglihatan
akan proses politik suka atau tidak suka tak terhindarkan, karena memang sangat
mempengaruhi kondisi ekonomi.
Ilmu politik merupakan salah satu cabang filsafat praktis yang membahas
tentang tujuan, maksud hidup, pola dan lembaga hidup bermasyarakat dipandang
dari segi pembentukan negara. Dengan kata lain ilmu politik juga berhubungan
dengan hukum, negara, sejarah, masyarakat, filsafat, sosiologi, etnologi dan juga
ekonomi.3 Adapun makna dari ekonomi politik dalam penulisan ini adalah konsep
ekonomi untuk memahami masalah-masalah politik, yang dapat digunakan untuk
melihat proses politik atau meletakkan dasar-dasar politik untuk pembangunan
sebagai akibat adanya tuntutan-tuntutan politik yang harus dipenuhi agar
pembangunan ekonomi dapat berlangsung. Dan analisis kebijakan dengan
2 Ibid., h. 12 3 B.N Marbun, Kamus Politik, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996), cet. I, h. 256-257
menekan faktor-faktor ekonomi dan politik itu menunjukkan adanya saling
mempengaruhi antara fenomena politik dan ekonomi.4
Sejak Orde Baru terdapat garis pemisah antara ekonomi dan politik.
Pemisahan tersebut didukung oleh pembagian pekerjaan antara ahli ekonomi di
satu pihak dan angkatan bersenjata dipihak lain. Pemisahan antara keduanya telah
pula menimbulkan perkembangan intelektual yang kurang jujur dikalangan ahli
ekonomi. Namun dalam perkembangannya semakin santer terdengar seruan agar
diperhatikan juga faktor-faktor non-ekonomis, termasuk juga dalam hal ini adalah
faktor politik
Pada tahun 1974, setelah peristiwa Malari (bulan Januari) Indonesia
memperdebatkan tentang perlunya diperhatikan “faktor-faktor non-ekonomis”.
Perdebatan itu sesungguhnya sudah sejak 1968, pada waktu pertama kalinya
dalam sejarah Orde Baru yang membicarakan masalah korupsi di Indonesia.
Secara beruntun media massa dan dunia akademis gencar membahas akibat-akibat
non-ekonomis dari kebijaksanaan ekonomi terbuka yang dinilai pada tahun 1966-
1967. Krisis Pertamina, Bulog, Palapa dan yang lainnya menandakan bahwa
masalah ini hangat dibicarakan sepanjang tahun 1970-an. Akhirnya, menjelang
tahun 1980 Presiden Soeharto menyampaikan amanat agar dalam tahun-tahun
mendatang bangsa Indonesia melaksanakan lebih sungguh-sungguh “demokrasi
ekonomi” dan “demokrasi politik”.5 Oleh karena itu secara sadar memang telah
4 Ibid., h. 174 5 Prof.Dr. Juwono Sudarsono, Politik, Ekonomi dan Strategi, (Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 1995), h. 206
ditanamkan pemisahan antara “dunia ekonomi” dan “dunia politik”.
Sesungguhnya pemisahan itu merupakan bagian dari reaksi terhadap permainan
politik yang berlebihan pada masa Orde Lama.
Sedikitnya ada dua alasan untuk membuktikan bahwa bagaimanapun juga
pembangunan ekonomi pada hakikatnya bergantung dan ditentukan oleh struktur
dan proses politik yang ada. Pertama paham bahwa politik adalah panglima
(dilontarkan oleh para ahli Antropologi yang mengutamakan prinsip
kesinambungan budaya, cultural continuity). Dalam masyarakat yang sedang
berkembang, pertukaran barang dan jasa dilakukan pertama-tama atas dasar
hubungan kekuasaan. Sebab dunia politik yang menentukan stratifikasi sosial.
Kegiatan ekonomi diarahkan untuk meraih kekuasan dan membina kewenangan
politik. Sekalipun kegiatan perekonomian modern menembus dan merombak
struktur masyarakat, tekanan yang diberikan kepada kewenangan politik
mempengaruhi konsep-konsep perencanaan modern dibidang ekonomi.6
Kedua bahwa politik adalah panglima terbukti pula dari kebutuhan-kebutuhan
situasional (situational necessity). Perencanaan pembangunan dan intervensi
pemerintah di negara-negara yang sedang berkembang amat dipengaruhi oleh
nilai-nilai nasionalisme. Nilai-nilai tersebut ingin memberi isi pada makna
“kedaulatan rakyat” di bidang ekonomi.7
Jika mencermati dan memperhatikan situasi perekonomian Indonesia akhir-
akhir ini, dapat dilihat secara umum bahwa tingkat ketidak-pastian (rate of
6 Ibid., h. 208 7 Ibid., h. 209
uncertainty) ekonomi Indonesia yang masih sangat tinggi. Walaupun beberapa
indikator ekonomi seperti ekspor, transaksi berjalan, inflasi, perkembangan
konsumsi, dan pertumbuhan ekonomi menunjukkan angka yang
menggembirakan, namun tidak ada yang berani menjamin bahwa indikator-
indikator tersebut akan terus berlanjut.8
Dengan situasi dan kondisi yang seperti ini, beberapa indikator positif dalam
perekonomian tersebut dapat dipastikan akan terganggu ketika pecah konflik
frontal, diantara elit politik yang mengimbas arus bawah ke pendukungnya, yang
pada akhirnya mengancam stabilitas keamanan yang sejak beberapa waktu
belakangan ini menunjukkan ketidakberdayaan otoritas keamanan hukum dalam
upaya mencegah dan menanggulanginya.
Adanya “statement war” diantara elit politik dan diikuti oleh penggunaan
“hak-hak politik” anggota legislatif dengan target tertentu, telah membuat nilai
tukar rupiah dan indeks harga saham dipasar modal Indonesia, yang merupakan
salah satu variabel menentukan dalam perekonomian terus melemah dan
merosot.9
Namun dengan adanya faktor non-ekonomi yang menyebabkan buruknya
perekonomian saat ini tidak sepenuhnya dijadikan alasan untuk mengkambing-
hitamkan aspek politik, hukum dan keamanan saja atas buruknya beberapa kinerja
ekonomi kita. Dalam perspektif jangka pendek dan hanya melihat fluktuasi
8 Edy Suandi Hamid, Sistem Ekonomi, Utang Luar Negeri, dan Isyu-Isyu Ekonomi Politik
Indonesia, (Yogyakarta: Ekonesia FEUI, 2001), h. 2 9 Ibid, h. 3
ekonomi yang terjadi sekarang memang tidak bisa dihindari bahwa variabel
politik sangat dominan mempengaruhi perekonomian saat ini. Dan jika dilihat
secara stuktural dan dari indikator yang ada dalam struktur bisnis dan ekonomi di
Indonesia, maka telihat jelas bahwa secara struktural dalam perekonomian kita
sangat lemah. Maka dari itu tidak benar jika faktor ketidak-nyamanan politik
hukum ataupun keamanan dijadikan pelindung untuk menutupi penyebab krisis
ekonomi yang melanda bangsa indonesia.
Ditengah krisis ekonomi dan keterbukaan politik saat ini menjadi terlihat
semakin jelas berbagai kekacauan dalam perekonomian nasional. Dalam situasi
seperti ini sebenarnya merupakan momentum yang tepat untuk melakukan
reformasi yang menyeluruh dalam perekonomian nasional, reformasi dari sisi
ekonomi pada hakikatnya adalah upaya mengoptimalkan produktifitas semua
produksi yang ada. Reformasi ini termasuk dalam lembaga-lembaga ekonomi
yang ada di Indonesia saat ini sangat buruk kinerjanya, seperti BUMN yang
didukung dengan berbagai fasilitas ternyata malah mengalami kerugian. Lembaga
swasta yang merajai perekonomiannya ternyata hanya semu perkembangannya,
dan banyak mengandalkan fasilitas negara.
Masalah internal yang pernah mencuat adalah kaitannya dengan signal
kembali maraknya praktek-praktek korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) dalam
pemerintahan Presiden Abdurahman Wahid. Upaya-upaya pemerintah untuk
melaksanakan Reformasi ekonomi dan pemberantasan KKN kini kembali
dipertanyakan. Keraguan masyarakat atas tekad untuk melaksanakan clean
government dan good government kini kembali mencuat, yang berarti mengurangi
kredibilitas pemerintah yang lahir pada masa reformasi.10
Dari persoalan struktur ekonomi yang tidak juga stabil, solusi tidak hanya
didapat dengan menstimulasi faktor-faktor teknis perekonomian semata, tetapi
harus dilakukan secara bersama-sama dengan perbaikan struktur politik dan
kekuasaan. Dengan itu maka penulis memandang perlu untuk mengulas lebih jauh
dan meneliti seakurat mungkin berkenaan dengan kesetabilan politik dan
ekonomi, dalam sebuah skripsi yang berjudul "Hubungan Stabilitas Politik dan
Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Di Indonesia Pada Masa Reformasi". Dan
diharapkan dapat memberikan gambaran secara luas hubungan ekonomi dan
politik dalam pembentukan suatu negara khususnya Indonesia, didukung dengan
data-data yang akurat.
B. Perumusan dan Pembatasan Masalah
Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini, penulis akan membatasi kajian
skripsi ini pada hubungan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi di
Indonesia pada masa Reformasi atau pada Mei 1998 – September 1999.
Maka pokok permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan kedalam
beberapa pertanyaan :
1. Bagaimanakah gambaran teoritis tentang hubungan stabilitas politik dan
pertumbuhan ekonomi?
2. Bagaimanakah gambaran sistem politik dan ekonomi di Indonesia ?
10 ibid.,h. 6-7
3. Bagaimanakah hubungan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi pada
masa reformasi?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini penulis berharap akan mendapatkan beberapa
jawaban dari paparan diatas tentang beberapa pertanyaan dengan rumusan-
rumusan sebagi berikut :
1. Memperoleh gambaran teoritis tentang hubungan stabilitas politik dan
pertumbuhan ekonomi
2. Mengetahui gambaran sistem politik dan ekonomi di Indonesia
3. Memperoleh gambaran tentang jalinan hubungan stabilitas politik dan
pertumbuhan ekonomi pada masa reformasi
Adapun manfa’at dari penelitian ini adalah :
Pertama, dari hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi
bagi para peminat studi politik dan ekonomi yang ingin mengkaji lebih jauh
tentang kajian politik dan ekonomi. Kedua, penulis berusaha agar penelitian ini
dapat diterima secara akademis oleh mahasiswa sendiri, untuk kemudian dapat
menjadi bahan penelitian lebih lanjut bagi akademisi dan dapat diterima oleh
masyarakat luas demi kepentingan bersama.
D. Metode Penelitian
Jenis penelitian pada penulisan skripsi ini adalah penelitian kualitatif, yaitu :
mengkaji data-data dan literatur-literatur yang berkaitan dengan judul yang
diangkat.
Dan dari segi tujuan, penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis,
yang bertujuan menggambarkan keadaan atau fakta sementara dengan
memaparkan hasil-hasil penelitian yang bersumber dari data-data yang ada.
Untuk mengumpulkan data-data yang diperlukan dalam penulisan skripsi ini,
penulis menggunakan metode sebagai berikut :
1. Sumber Data
Adapun penulisan skripsi ini menggunakan sumber data sekunder, jadi
pengambilan data yang dilakukan ialah dengan cara mengumpulkan berbagai
literatur serta mempergunakan bahan-bahan dokumen, dengan mengambil
sumber-sumber yang relevan dan sesuai dengan pokok-pokok permasalahan,
yaitu seperti buku-buku, artikel, jurnal, dan majalah yang berkaitan erat
dengan materi skripsi ini.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan teknik studi
dokumenter : yaitu teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara
mengumpulkan literatur-literatur kepustakaan seperti buku-buku, dan sumber
lain yang relevan dan sesuai dengan sumber di atas. Yang lebih difokuskan
terhadap hubungan stabilitas politik dan ekonomi di Indonesia pada masa
Reformasi, penulis juga mengumpulkan data-data dari dokumen-dokumen
yang memuat tentang hal-hal yang berhubungan dengan masalah di atas.
3. Analisis Data
Tehnik analisis yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah teknik
analisis kualitatif atau biasa disebut analisis isi (Content analisis), yaitu
penguraian data melalui kategorisasi, perbandingan dan pencarian sebab
akibat (Asimetrik) baik menggunakan analisis induktif (usaha penemuan
jawaban dengan menganalisa berbagai data untuk diambil kesimpulan),
maupun metode analisa deduktif (berangkat dari ungkapan umum kemudian
dihubungkan dengan pertanyaan yang lebih sempit), dan selanjutnya dicari
dan ditetapkan permasalahannya.
Adapun untuk mempermudah dalam teknik penulisan skripsi ini, penulis
mengacu pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2005.
E. Sistematika Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini penulis membagi pembahasan kedalam lima bab,
masing-masing bab mempunyai spesifikasi pembahasan mengenai topik-topik
dengan sistematika berikut:
Bab I, merupakan Pendahuluan yang menggambarkan secara umum latar
belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penelitian, metode
penelitian dan teknik penulisan serta sistematika penulisan.
Bab Kedua membahas tentang Persfektif Teoritis Hubungan Stabilitas Politik
dan Pertumbuhan Ekonomi meliputi : pengertian Stabilitas Politik dan pengertian
Pertumbuhan Ekonomi dan hubungan stabilitas politik dan pertumbuhan
ekonomi.
Bab III membahas tentang Sistem Politik dan Ekonomi Indonesia meliputi :
sekilas tentang Indonesia, sistem politik ekonomi Indonesia pada masa Orde Baru
dan sistem politik dan ekonomi Indonesia pada masa Reformasi
Bab IV membahas tentang Hubungan Stabilitas Politik dan Pertumbuhan
Ekonomi di Indonesia pada Masa Reformasi meliputi : Stabilitas Politik Indonesia
Pada Masa Reformasi, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Pada Masa Reformasi
dan Hubungan Stabilitas Politik dan Pertumbuhan Ekonomi
Bab V, merupakan bab penutup yang terdiri dari kesimpulan keseluruhan
penulisan skripsi ini, saran-saran diakhiri dengan daftar pustaka.
BAB II
PERSPEKTIF TEORITIS HUBUNGAN STABILITAS POLITIK DAN
PERTUMBUHAN EKONOMI
A. Pengertian Stabilitas Politik
Stabilitas adalah suatu kondisi dari sebuah sistem yang komponennya
cenderung ke dalam, atau kembali kepada suatu hubungan yang sudah mantap.
Stabilitas sama dengan tiadanya perubahan yang mendasar atau kacau di dalam
suatu sistem politik, atau perubahan yang terjadi pada batas-batas yang telah
disepakati atau telah ditentukan.11
11 Jack C. Plano (et.al), Kamus Analisa Politik, (Jakarta : Rajawali, 1989), Cet. II, h. 249
Sedangkan kata politik secara etimologis berasal dari bahasa Yunani/Latin
yaitu politicus dan politicos ‘relating to citizen’.12 Politik juga berasal dari kata
polis (Negara Kota). Dari kata ini muncul beberapa kata seperti polities (Negara
Kota), politikos (Kewarganegaraan), politike tehne (Kemahiran Politik), politike
episteme (Ilmu Politik). secara terminoligis banyak para ahli yang memberi arti
politik dalam bahasa yang berbeda, sehingga ada banyak arti yang melekat pada
kata politik, seperti power (Kekuasaan), Justice (Keadilan), order (Tatanan
Masyarakat). Berdasarkan keterangan-keterangan tersebut dalam pemahaman arti
politik bisa ditinjau dari dua segi. Pertama kepentingan umum. Kedua kebijakan.
Segi pertama politik mengandung pengertian media individu atau kelompok
untuk melakukan segala macam aktifitas, yang masing-masing individu atau
kelompok memiliki kepentingan sendiri dan ide sendiri. Sedangkan politik dari
sudut pandang kedua mengandung pengertian penggunaan pertimbangan-
pertimbangan tertentu yang dianggap lebih menjamin bisa dilaksanakannya satu
usaha, cita-cita keinginan bersama dan bukan kepentingan individu, perorangan
atau kelompok.
Politik kemudian diserap kedalam bahasa Indonesia dengan tiga arti yaitu :
“Segala urusan dan tindakan (kebijaksanaan, siasat, dan sebagainya) mengenai
pemerintahan suatu negara atau terhadap negara lain, tipu muslihat atau kelicikan
12 Ibnu Muchtar, Partai Kuning, Bina Dakwah, No. 228 (Maret, 1999), h. 25
dan juga dipergunakan sebagai nama suatu disiplin ilmu pengetahuan yaitu ilmu
politik.”13
Menurut Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, politik adalah hal-hal yang
berhubungan dengan pemerintahan, lembaga-lembaga dan proses-proses politik,
kelompok-kelompok kepentingan (pressure groups), hubungan-hubungan
internasional dan tata pemerintahan yang semuanya merupakan kegiatan
perorangan atau kelompok, dalam kaitan hubungan kemanusiaan secara
mendasar.14
Politik atau (politics) dapat diartikan juga sebagai kegiatan manusia yang
berkenaan dengan pengambilan pelaksanaan keputusan-keputusan. Politik juga
mengandung makna kegiatan atau proses ‘sistem politik’ secara tidak langsung
menunjukkan eksistensi tatanan atau pola-pola hubungan. Politik biasanya
disamakan dengan penggunaan pengaruh, perjuangan kekuasaan, dan persaingan
diantara individu dan kelompok sosial seperti pengambilan keputusan, pencarian
kekuasaan, pengalokasian nilai, cakupan tujuan, pengendalian sosial, dan kegiatan
yang menggunakan pengaruh. Tetapi dalam banyak percakapan dan pembicaraan,
politik lebih mengacu dalam kebijakan-kebijakan umum dan alokasi.
Dari berbagai definisi yang ada ditemukan dua kecenderungan pendefinisian
politik, pertama : pandangan yang mengaitkan politik dengan negara, kedua:
pandangan yang mengaitkan dengan kekuasaan, otoritas, atau dengan konflik.
13 Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an, Disertasi, (Jakarta : UIN
Syarif Hidayatullah, 2000), h. 45, t.d 14 Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nasional (LPKN), Kamus Besar Ilmu Pengetahuan,
(Jakarta : Golo Riwu, 1997), h. 868
Perbedaan kecenderungan ini erat kaitannya dengan pendekatan yang
dipergunakan, yaitu pendekatan tradisional, pendekatan institusional, dan
pendekatan prilaku. Pendekatan tradisional meliputi beberapa pendekatan,
misalnya menekankan pembahasannya pada perkembangan partai-partai politik,
perkembangan hubungan politik dengan luar negeri, dan pendekatan legalistik
yang menekankan pembahasannya pada konstitusi dan perundang-undangan
sebuah negara, dan pada pendekatan institusional yang mendekatkan
pembahasannya pada masalah-masalah institusi politik seperti lembaga eksekutif,
legislatif maupun yudikatif. Sedangkan pendekatan prilaku menekankan
perhatiannya pada prilaku aktor politik, kegiatan ini terdapat disekitar institusi
politik yang dimanifestasikan oleh aktor-aktor politik seperti tokoh-tokoh
pemerintahan dan wakil-wakil rakyat.15
Meskipun para pemikir dan ilmuan politik tidak memiliki kesepahaman dan
kesepakatan mengenai definisi politik namun, unsur-unsur seperti lembaga yang
menjalankan aktivitas pemerintah, dan masyarakat sebagai pihak yang
berkepentingan, kebijaksanaan dan hukum-hukum yang menjadi sarana
pengaturan masyarakat, dapat ditemukan secara parsial ataupun implisit dalam
definisi yang mereka kemukakan.16
Pada dasarnya politik adalah power (kekuasaan). Proses politik adalah
rentetan peristiwa yang hubungannya satu sama lain didasarkan atas kekuasaan,
15 Op.Cit., h. 25-26 16 Abd. Muin Salim. Op.Cit., h. 45
dimana politik adalah perjuangan untuk memperoleh kekuasaan atau masalah-
masalah pelaksanaan dan kontrol kekuasaan.17
Stabilitas politik dapat dipahami sebagai kondisi dimana tidak ada timbulnya
perubahan mendasar atau apa yang revolusioner dalam sistem politik
(pemerintah), atau perubahan yang terjadi pada batas-batas yang telah
ditentukan.18
Menurut Harold Crouch, stabilitas politik di tandai dengan dua hal, Pertama,
adanya pemerintahan yang stabil dalam arti dapat memerintah bertahun-tahun
atau dapat menjalankan programnya sesuai dengan batas-batas yang telah
ditentukan. Kedua, sistem pemerintahan stabil, dalam arti sistem tersebut mampu
menerima perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat dengan tidak
merubah sistem pemerintahan yang ada.19
Sedangkan menurut Arbi Sanit, secara teoritis Stabilitas politik ditentukan
oleh tiga variabel yang saling berkaitan, yaitu perkembangan ekonomi yang
memadai, perkembangan pelembagaan baik struktur maupun proses politik dan
partisipasi politik. Perkembangan ekonomi meliputi adanya tingkat pertumbuhan
yang cukup dalam masyarakat. Sedangkan pelembagaan politik mengarah pada
pengertian tidak timbulnya konflik antara kekuatan-keuatan politik. Dan
17 F. Isjwara, Pengantar Ilmu Politik, (Bandung : Bina Cipta, 1986), cet. VII, h. 42 18 Jack A. Plano, Kamus Analisa Politik, terj. : Edi S. Siregar, Jakarta : Rajawali Press, 1985.
hal 49. 19 Harold Crouch, Perkembangan Ekonomi & Modernisasi, (Jakarta : Yayasan
Pengkhidmatan, 1982). hal 88-89
partisipasi politik lebih mengacu pada konsep partisipasi menurut pola
pemerintahan dalam mana bentuk partisipasi lebih bersifat ‘mobilized’. 20
Maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan stabilitas politik
adalah : Pola sikap dan tingkah laku segenap komponen sistem politik yang
membangun kelestarian susunan struktur dan hubungan kekuasaan sehingga
menjamin efektivitas pemerintahan.21
Diagram 2.1 Variabel Stabilitas Politik
B. Pengertian Pertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan adalah perubahan atau pertambahan secara alami dalam ukuran
organisme, hidup dalam perjalanan peralihan masa atau waktu.22 Kata ekonomi
diambil dari bahasa Yunani Kuno (Greek), yang maknanya adalah mengatur
urusan rumah tangga, dimana anggota keluarga yang mampu ikut terlibat dalam
menghasilkan barang-barang berharga dan membantu memberikan jasa, lalu
seluruh anggota keluarga yang ada turut menikmati apa yang mereka peroleh,
20 Arbi Sanit, Sistem Politik Indonesia; Kestabilan Peta Kekuatan Politik dan Pembangunan,
Jakarta : Rajawali Press, 1982. hal 2.
21 Arbi Sanit, Ormas Dan Politik, (Jakarta : LSIP, 1995), cet. I, h. 57 22 Sudarsono, Kamus Filsafat dn Psikologi, (Jakarta : Rineka Cipta, 1993), Cet. I, h. 50
Pemb. Ekonomi
Pelemb. Pol Partisipasi Pol.
kemudian populasinya semakin banyak dalam rumah-rumah lalu menjadi suatu
kelompok (Community) yang diperintah oleh suatu negara.23
Sedangkan kata ekonomi berasal dari bahasa yunani yaitu oikos dan nomos
yang berarti aturan-aturan dalam rumah tangga.24 Pada dasarnya ia menerangkan
tentang prinsip-prinsip yang ada dalam menggunakan pendapatan rumah tangga
sehingga dapat menciptakan kepuasan yang maksimum dalam rumah tangga.
Dalam hal ini kata rumah tangga dapat dipahami sebagai suatu kesatuan mikro
maupun makro. Mikro berarti suatu kesatuan yang terkecil dalam hal ini berarti
rumah tangga itu sendiri yang lazimnya terdiri dari ayah, ibu dan anak.
Sedangkan makro berarti kesatuan yang besar atau lebih besar dan terkadang
diidentikkan dengan suatu negara.
Sedangkan secara definitif Adam Smith mendefinisikan ekonomi sebagai
“ilmu kekayaan” atau ilmu yang khusus mempelajari sarana-sarana kekayaan
suatu bangsa dengan memusatkan perhatian secara khusus terhadap sebab-sebab
material dari kemakmuran, seperti hasil-hasil industri pertanian dan lain
sebagainya.25
Prof. P.A. Samuelson salah seorang ahli ekonomi yang terkemuka di dunia –
penerima hadiah Nobel untuk ilmu ekonomi pada tahun 1970-an memberikan
definisi yang lebih komprehensif tentang ekonomi sebagai suatu studi mengenai
23 Taqiyuddin An-Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi; Alternatif Persfektif Islam, (Terj.),
Maqhfur Wachid, (Surabaya : Risalah Gusti, 19196), Cet. II, h. 47 24 Sadono sakiro, Pengantar Teori Mikro Ekonomi, (Jakarta : UI Press, 1985), Cet. I, h. 23 25 Ahmad Muhammad al-Assal dan Fathi Ahmad Abd Karim, Sistem, Prinsip dan Tujuan
Ekonomi Islam, (Terj), Imam Saefuddin, (Bandung : Pustaka Setia, 1999), Cet. I, h. 10
individu dan masyarakat dalam membuat pilihan dengan atau tanpa menggunakan
uang, dengan menggunakan sumber-sumber data yang terbatas tetapi dapat
digunakan dalam berbagai cara untuk menghasilkan berbagai jenis barang dan
jasa dan mendistribusikannya untuk kepentingan konsumsi, sekarang dan dimasa
yang akan datang, kepada berbagai individu dan golongan masyarakat.26
Dengan demikian jika melihat kedua pengertian di atas, maka yang dimaksud
dengan pertumbuhan ekonomi adalah : meningkatnya pendapatan perkapita
masyarakat, yaitu tingkat pertambahan PDB pada suatu tahun tertentu melebihi
tingkat pertambahan penduduknya, dan berkurangnya tingkat pengangguran dan
kemiskinan, dan tercapainya keseimbangan antara bidang pertanian dan industri
serta terpenuhinya kebutuhan pokok rakyat, seperti sandang, pangan, papan
(pakaian, makanan dan perumahan).27
Sedangkan menurut Prof. Simon Kuznets, pertumbuhan ekonomi adalah :
kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan untuk
menyediakan berbagai barang ekonomi kepada penduduknya.28
Sebagian para ahli ekonomi biasanya membedakan tentang pengertian
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi di definisikan
sebagai kenaikan PDB riil, diartikan sebagai kenaikan PDB tanpa memandang
kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk.
26 Sadono Sakiro, Pengantar Teori Mikro Ekonomi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
1994), Cet. II, h. 10 27 Kansil, Hidup Berbangsa dan Bernegara (Jakarta : Erlangga, 1999), Cet. III, h. 208 28 Michael P. Todaro, Pembangunan Ekonomi, (Jakarta : PT Bumi Aksara, 2000), Cet I. h.
117
Sedangkan pembangunan ekonomi pada umumnya didefinisikan sebagai suatu
proses yang menyebabkan pendapat perkapita penduduk meningkat dalam jangka
panjang. Berdasarkan masing-masing definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa
pembangunan ekonomi akan diikuti oleh pertumbuhan ekonomi. Dan sebagian
para ahli ekonomi membedakan kedua pengertian tersebut sebagai berikut :29
Pembangunan Ekonomi
a. Peningkatan pendapatan perkapita masyarakat, yaitu tingkat pertambahan
PDB pada suatu tahun tertentu melebihi tingkat pertumbuhan penduduknya.
b. Perkembangan PDB yang berlaku dalam suatu masyarakat diikuti oleh
perubahan dan modernisasi untuk struktur ekonomi yang pada umumnya
masih bercorak tradisional.
Pertumbuhan Ekonomi
a. Kenaikan PDB, tanpa memandang apakah kenaikan itu lebih besar atau lebih
kecil dari tingkat pertumbuhan penduduknya.
b. Perubahan menaik pada tingkat kegiatan ekonomi yang berlaku dari tahun ke
tahun. Misalnya, terjadi penambahan jumlah pasar, prasarana transportasi,
waduk, dan saluran irigasi.
Pada umumnya, para ahli ekonomi memberikan pengertian yang sama pada ke
dua istilah tersebut. Mereka mengartikan pembangunan dan pertumbuhan sebagai
kenaikan dalam PDB. Pembangunan yang lebih umum dari istilah pertumbuhan
ekonomi, biasanya untuk menyatakan perkembangan ekonomi di Negara maju,
29 M.T. Sidik Sunarto, Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (Jakarta : LPFEUI, 1998), Cet. I, h.
151
sedangkan istilah pembangunan ekonomi digunakan untuk menyatakan
perkembangan ekonomi di negara-negara berkembang.30
Adapun pertumbuhan ekonomi menurut Prof. Soemitro Djojohadikusumo 31
adalah : salah satu bagian dari proses pembangunan ekonomi, kalau pada
pertumbuhan ekonomi hanya terkandung pengertian adanya proses peningkatan
produksi dan pendapatan masyarakat, maka dalam pembangunan ekonomi terjadi
proses kualitatif atau terjadi proses transformasi yang ditandai oleh proses
perubahan struktural. Tiga hal yang terjadi dalam proses transformasi tersebut : a.
Peralihan Kegiatan di Sektor Primer, b. Terjadi pergeseran dalam kesempatan
untuk kerja, dan c. Perubahan pada pola serta arah perdagangan dan pembayaran
luar negeri.
Sedangkan beberapa faktor atau komponen utama pertumbuhan ekonomi dari
setiap Negara32 :
a. Akumulasi modal, yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang
di tanamkan pada tanah, peralatan fisik dan sumber daya manusia.
b. Pertumbuhan penduduk, yang beberapa tahun selanjutnya dengan sendirinya
membawa pertumbuhan angkatan kerja.
c. Kemajuan teknologi.
30Ibid., h. 153-154
31 Sumitro Djojohadikusumo, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Dasar-dasar Teori
Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. (Jakarta : LP3ES, 1994) hal. 1-3 dan 91-92 32 Michael P. Todaro., Op, Cit. h. 120
C. Hubungan Stabilitas Politik Dan Pertumbuhan Ekonomi
Pada masa silam, ilmu politik dan ilmu ekonomi merupakan suatu bidang
ilmu tersendiri, yang dikenal dengan ekonomi politik, yaitu pemikiran dan analisa
kebijaksanaan yang hendak digunakan untuk memajukan kekuatan dan
kesejahteraan Negara Inggris dalam menghadapi saingan-saingannya, seperti
Portugis, Spanyol, Prancis, Jerman, dan sebagainya, pada abad XVIII dan XIX.
Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan pada umumnya, ilmu tersebt
kemudian memisahkan diri menjadi dua lapangan yang mengkhususkanperhatian
terhadap tingkah laku manusia yang berbeda-beda: ilmu politik (political science)
dan ilmu ekonomi (economics).
Ilmu ekonomi modern dewasa ini sudah menjadi salah satu cabang ilmu sosial
yang memiliki teori, rung lingkup serta metodologi yang relatif ketat dan
terperinci. Oleh karena sifat-sifatnya yang relative ketat ini ilmu ekonomi
termasuk ilmu sosial yang sering digunakan untuk menyusun perhitungan-
perhitungan kemuka. Para sarjana ekonomi dikatakan sepakat akan penggunaan
istilah-istilah serta pengertian-pengertian dasar yang diperlukan untuk mencapai
keseragaman analisa, hal mana memudahkan mereka bertukar pikiran tentang
tujuan umum ilmu ekonomi, yaitu usaha manusia mengembangkan serta membagi
sumber-sumber yang langka untuk kelangsungan hidup mereka.
Pemikiran yang berpangkal tolak pada faktor kelangkaan menyebabkan ilmu
ekonomi berorientasi kuat terhadap kebijaksanaan yang rasionil, khususnya
penentuan hubungan antara tujuan dan cara mencapai tujuan yang telah
ditentukan. Oleh karena itu ilmu ekonomi dikenal sebagai ilmu sosial yang sangat
planning orientied, pengaruh mana meluas pada ilmu politik sebagaimana
pengertian pembangunan ekonomi telah mempengaruhi pengertian pembagunan
politik. Oleh karena pilihan-pilihan tentang kebijaksanaan yang harus ditampung
seringkali terbatas adanya, maka ilmu ekonomi dikenal juga dengan istilah choice
oriented, hal mana telah berpengaruh pada pengkhususan penelitian mengenai
decision making dalam ilmu politik modern. Akhirnya pemikiran yang
berpangkal tolak pada faktor kelangkaan telah memaksa ilmu ekonomi untuk
lebih banyak berikhtiar kearah ramalan berdasarkan pada hitungan yang seksama,
sehingga ilmu ekonomi modern jarang sekali bersifat spekulatif. Ikhtiar
menyusun ramalan ini berpengaruh pada swebagian sarjana ilmu politik untuk
mendasarkan teori dan metodologinya pada suatu pendekatan yang lebih ilmiah,
yang terkenal dengan pendekatan tingkah laku.
Dalam mengajukan kebijaksanaan atau siasat ekonomi tertentu, seorang
sarjana ekonomi dapat bertanya kepada seorang sarjana ilmu politik tentang
politik manakah kiranya yang paling baik disusun guna mencapai tujuan ekonomi
tertentu. Dalam mengajukan kebijaksanaan untuk memperbesar produksi
nasional, misalnya, sarjana ilmu politik dapat ditanya tentang cara-cara
menghalaukan atau mengurangi hambatan-hambatan politis yang mengganggu
usaha-usaha kearah tujuan itu; pembangunan lima tahun di Indonesia sebaiknya
memperhitungkan pula perkembangan sosial dan politik yang mungkin terjadi
akibat pergeseran-pergeseran ekonomis yang timbil dari berhasil dan gagalnya
kebijaksanaan-kebijaksanaan tertentu. Sebaliknya seorang sarjana ilmu politik
dapat meminta bantuan seorang sarjana ilmu ekonomi tentang syarat-syarat
ekonomis yang harus dipenuhi guna memperoleh tujuan-tujuan politis tertentu,
khususnya yang menyangkut pembinaan kehidupan demokrasi.
Kerjasama antara ilmu politik dan ilmu ekonomi makin dibituhkan untuk
menganalisa siasat-siasat pembangunan nasional. Seorang sarjana ilmu politik
tidak dapat lagi mengabaikan pengaruh dan peranan perdagangan luar negeri,
bantuan luar negeri serta hubungan ekonomi luar negeri pada umumnya terhadap
usaha-usaha pembangunan dalam negeri.33
Untuk lebih memperjelas paling tidak terdapat tiga teori yang kiranya dapat
menjelaskan mengenai hubungan politik dan ekonomi 34:
1. Asimetry
Ekonomi Politik mencoba menjelaskan tentang ketidakseimbangan atau
ketimpangan yang terjadi antara bangsa-bangsa dan masyarakat dan juga
penempatan pola-pola yang menjaga atau memelihara atau mengubah
ketimpangan ini.
2. Interplay
Ekonomi politik mencoba menjelaskan tentang saling pengaruh-
mempengaruhi antara ekonomi dan politik. Model ini menganggap bidang
politik dan bidang ekonomi sebagai sesuatu yang secara fungsional dapat
dibedakan, tetapi mempunyai pengaruh resiprokal.
3. Deterministik
33 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama), Cet
IXX, hal. 23 34 Haryadi, “Ekonomi Politik Pembangunan : Sebuah Ragangan Teoritik” dalam Jurnal Ilmu
Politik No. 8 (Jakarta : AIPI, 1991) hal. 18
Ekonomi Politik mencoba menjelaskan tentang bagaimana politik
menentukan aspek-aspek ekonomi dan bagaimana institusi-institusi ekonomi
menentukan proses-proses politik. Model ini memberikan gambaran yang
pasti mengenai permasalahan yang ada serta menunjukan dengan jelas apa
yang harus dilakukan atau diubah.
BAB III
SISTEM POLITIK DAN EKONOMI INDONESIA
A. Sekilas Tentang Indonesia
Republik Indonesia ialah negara kepulauan dengan panjang 5.120 km terbesar
di dunia yang terletak di Asia Tenggara, melintang di Khatulistiwa antara benua
Asia dan Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Karena
letaknya yang berada di antara dua benua, dan dua samudra, ia disebut juga
sebagai Nusantara (Kepulauan Antara). 35
Negara yang baru merdeka dari penjajahan pada tahun 1945, di bawah Ir.
Soekarno dan Moh. Hatta Indonesia sebagai proklamator kemerdekaan.
Belanda sebagai salah satu negara yang menjajah Indonesia baru menerima
hak Indonesia untuk merdeka pada 27 Desember 1949 setelah mendapat tekanan
yang kuat dari kalangan internasional, terutamanya Amerika Serikat. Soekarno
menjadi presiden pertama Indonesia dengan Mohammad Hatta sebagai wakil
presiden.
Pada tahun 1950-an dan 1960-an, pemerintah Soekarno mulai mengikuti
gerakan non-blok pada awalnya dan kemudian dengan blok sosialis, misalnya
Tiongkok dan Yugoslavia. Tahun 1960-an menjadi saksi terjadinya konfrontasi
militer terhadap negara tetangga, Malaysia ("Konfrontasi"), dan ketidak puasan
terhadap kesulitan ekonomi yang semakin besar. Selanjutnya pada tahun 1965
35 http://id.wikipedia.org/wiki/Indonesia
timbullah pemberontakan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia (PKI)
yang berniat mengganti ideologi nasional berdasarkan paham Sosialis Komunis.
Jenderal Soeharto menjadi presiden pada tahun 1967 dengan alasan untuk
mengamankan negara dari ancaman komunisme terhadap Soekarno yang kini
sendiri makin melemah. Setelah Soeharto berkuasa, ratusan ribu warga Indonesia
yang dicurigai terlibat pihak komunis dibunuh dan keluarganya diusir ke luar
negeri. 32 tahun masa kekuasaan Soeharto dinamakan Orde Baru, dibandingkan
dengan masa pemerintahan Soekarno yang disebut Orde Lama.
Soeharto berhasil mendatangkan investasi luar negeri yang besar untuk masuk
ke Indonesia dan menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar, meski tidak
merata, di Indonesia. Pada awal rezim Orde Baru kebijakan ekomomi Indonesia
disusun oleh sekelompok ekonom-ekonom lulusan departemen ekonomi
University of California at Berkeley, yang dipanggil "Mafia Berkeley". Namun,
Soeharto menambah kekayaannya dan keluarganya melalui praktik korupsi,
kolusi dan nepotisme yang meluas dan dia akhirnya dipaksa turun dari jabatannya
setelah aksi demonstrasi besar-besaran dan kondisi ekonomi negara yang
memburuk pada tahun 1998.
Dari 1998 hingga 2001, Indonesia mempunyai tiga Presiden: Bacharuddin
Jusuf (BJ) Habibie, Abdurrahman Wahid dan Megawati Sukarnoputri. Pada tahun
2004 pemilu satu hari terbesar di dunia diadakan dan dimenangkan oleh Susilo
Bambang Yudhoyono.
Indonesia kini sedang mengalami masalah-masalah ekonomi, politik dan
pertikaian bernuansa agama di dalam negeri, dan beberapa daerah sedang
berusaha untuk mendapatkan kemerdekaan, yaitu Aceh dan Papua. Timor Timur
mendapatkan kemerdekaan pada tahun 2002 setelah 24 tahun dikuasai Indonesia
dan 3 tahun di bawah administrasi PBB.
B. Sistem Politik Indonesia
Istilah sistem politik, pertama kali dikemukakan oleh David Easton dalam
bukunya The Political Sistem, seperti dinyatakan, setiap negara dengan
dipengaruhi oleh latar belakangya sendiri-sendiri, telah menerapkan sistem politik
yang berbeda-beda. Hal yang sama juga berlaku bagi sistem pemerintahan; yang
dibandingkan dengan sistem politik pada hakekatnya mempunyai ruang lingkup
yang lebih sempit dan seringkali diakui sebagai subsistem dari sistem politik itu
sendiri.36
Secara umum, sistem dapat diartikan sebagai suatu kesatuan yang di dalamnya
melibatkan, elemen-elemen, bagian-bagian yang terikat dalam satu unit yang satu
sama lain berbeda dalam keadaan kait mengait dan fungsional. Diantara berbagai
elemen, ataupun bagian tersebut harus mempunyai sifat keterikatan dan
kohesivitas sehingga bentuk totalitas unit tersebut terjaga. Sifat keterikatan dalam
sistem tersebut bisa di katakan mutlak. Dengan kata lain, sebagai unit kesatuan
maka setiap unsur ataupun bagian haruslah bekerja sebagaimana mestinya.
Sebagai satu kesatuan, maka jika satu unsur tidak berfungsi, sistem tersebut
mengalami kesulitan untuk bisa bekerja sesuai dengan fungsinya.
36 Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia (Bandung : PT Tribisana Karya, 1995, h.
103
Dalam membicarakan sistem politik, seseorang dengan tanpa disadari
terperosok untuk membicarakan salah satu bidang yang sangat dekat dengan
sistem politik, yaitu sistem pemerintahan. Seringkali antara keduanya dikaburkan
atau diidentikan. Kendatipun sulit untuk memisahkan antara keduanya, yang jelas
ruang lingkup sistem pemerintahan jauh lebih sempit dibandingkan sistem politik,
bahkan sebagaimana dikatakan di atas, bahwa sistem pemerintahan merupakan
sub sistem dari sistem politik.37
Dari paparan di atas, barang kali sudah dapat satu pengertian umum, bahwa
yang dimaksud dengan sistem politik adalah suatu mekanisme seperangkat fungsi
atau peranan dalam struktur politik dalam hubungannya satu sama lain yang
menunjukan suatu proses yang ajeg, yang mengandung dimensi waktu, yaitu
masa lampau, kini, dan mendatang. Bisa ditambahkan di sini, bahwa yang disebut
proses dalam ilmu politik biasanya dipersepsikan sebagai segenap faktor sosio-
politis yang mempengaruhi dan memberi corak pada negara dan pemerintah.
Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa yang menjadi titik berat suatu sistem
politik adalah dalam aspek dinamikanya, dimana dinamika poltik disandarkan
pada negara dalam keadaannya yang bergerak sebagai suatu lembaga atau asosiasi
yang mempengaruhi kehidupan politik. Selain dari itu aspek dinamika inipun
melihat adanya pengaruh kekuatan-kekuatan sosio-politik dan ekonomi yang
domoninan dalam kehidupan politik masyarakat.
37 M. Moeslim Taher, Sistem Pemerintahan Pancasila (Jakarta : Nusa Bangsa, 1978), h. 12
Lebih dari tiga dasawarsa sejak proklamasi kemerdekaan-nya, Indonesia telah
menerapkan suatu tata kehidupan politik dalam satu kerangka demokrasi. Namun
demikian selama lebih dari tiga dasawarsa pula Indonesia telah berulang kali
menyelenggrakan dan menjalankan sistem politik yang bervariasai. Bervariasinya
sistem poltik tersebut, berpokok pangkal pada perbedaan wawasan tentang
bagaimana sistem politik demokrasi itu disusun sehingga mampu menciptakan
kepemimpinan dan pemerintahan yang cukup tangguh untuk melaksanakan
pembangunan dengan partisipasi rakyat seraya menghindarkan timbulnya praktek
diktatorial.38
Tinjauan kesejarahan terhadap penyelenggaraan demokrasi berdasar pada
politik yang berlaku di Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945
menunjukan adanya tiga model pelaksanaan yang mempunyai warna tersendiri.
Pertama, bisa disebut dengan masa republik Indonesia I. dalam kurun waktu
ini praktek demokrasi konstitusional sangat menonjolkan peranan perlemen serta
partai-partai politik. Praktek demokrasi semacam ini seringkali disebut dengan
praktek demokrasi parlementer atau demokrasi liberal. Masa ini berlangsung dari
tahun 1945 sampai tahun 1959 dengan tiga model undang-undang dasar sebagai
dasar berpijak bagi praktek demokrasinya.
Kedua, bisa disebut dengan masa republik Indonesia II, yaitu masa
pelaksanaan demokrasi terpimpin yang dalam banyak aspek telah dianggap
menyimpang dari jiwa demokrasi konstitusional, walaupun secara formal diakui
38 Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik indonesia (Jakarta : PT Gramedia, 1978)., h. 120.
sebagai landasannya. Pelaksanaan demokrasi semacam ini menunjukan pula
beberapa segi demokrasi rakyat. Masa ini berlangsung antara tahun 1959 sampai
tahun 1965.
Ketiga, yaitu masa pelaksanaan demokrasi pancasila yang berlandaskan jiwa
demokrasi konstitusional yang lebih menonjolkan sistem presidensial. Dan masa
ini berlangsung antara tahun 1965 sampai dengan sekarang.39 Yaitu sebuah sistem
pemerintahan dengan lembaga kepresidenan, institusi atau organisasi jabatan yang
dalam sistem pemerintahan berdasarkan UUD 45 berisi dua jabatan yaitu presiden
dan wakil presiden, adapun dalam sistem parlementer, jabatan presiden biasanya
dikaitkan dengan statusnya sebagai kepala negara, sedangkan kedudukan kepala
pemerintahan biasanya dipegang oleh jabatan lain yang lazimnya disebut sebagai
perdana menteri. Berbeda dari sistem parlementer tersebut maka dalam sistem
presidensiil, kedudukan sebagai kepala negara dengan kepala pemerintahan itu
menyatu dalam jabatan presiden dan wakil presiden. Karena itu, sistem
presidensiil tidak mengenal pembedaan, apalagi pemisahan antara kedudukan
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Yang ada hanya presaiden dan
wakil presiden, dimana masing-masing ditentukan tugas dan wewenangannya
dalam konstitusi ataupun dalam peraturan perundang-undangan di bawahnya.
Beberapa ciri-ciri yang penting dari sistem ini adalah :
a. Masa jabatan tertentu, misalnya 4 tahun, 5 tahun, 6 tahun atau 7 tahun,
sehingga presiden dan juga wakil presiden tidak dapat diberhentikan di tengah
39Cheppy Haricahyono, Ilmu Politik dan Perspektifnya. (Yokjakarta : Tiara Wacana dan
YP2LPM, 1986), Cet I., h. 120-121
masa jabatannya karena alasan politik. Di beberapa Negara, periode masa
jabatan ini biasanya dibatasi dengan tegas, misalnya, 1 kali masa jabatan atau
hanya 2 kali masa jabatan berturut-turut.
b. Presiden dan wakil presiden tidak bertanggung jawab kepada lembaga politik
tertentu yang biasa di kenal sebagai parlemen, melainkan lansung
bertanggung jawab kepada rakyat. Presiden dan wakil presiden hanya dapat
diberhentikan dari jabatannya karena alasan pelanggaran hukum yang
biasanya dibatasai pada kasus-kasus tindak pidana tertentu, yang jika
dibiarkan tanpa pertanggung jawaban dapat menimbulkan masalah hukum
yang serius seperti misalnya pengkhianatan pada Negara, pelanggaran yang
nyata terhadap konstitusi, dan sebagainya.
c. Presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat ataupun
melalui mekanisme perantara tertentu yang tidak bersifat perwakilan
permanent sebagaimana hakikat lembaga parlemen.
d. Dalam hubungannya dengan lembaga parlemen, presiden tidak tunduk kepada
parlemen, tidak dapat membubarkan parlemen, dan sebaliknya parlemen juga
tidak dapat menjatuhkan presiden dan membubarkan kabinet sebagaimana
dalam praktek sistem parlementer.
e. Dalam sistem ini, tidak dikenal adanya pembedaan antara fungsi kepala
Negara dengan kepala pemerintahan.
f. Tanggung jawab pemerintahan berada di pundak presiden, dan oleh karena itu
presidenlah pada prinsipnya yang berwenang membentuk pemerintahan,
menyusun kabinet, mengangkat dan memberhentikan para menteri serta
pejabat publik-publik yang lain, secara politik presiden bertanggung jawab
kepada rakyat, sedangkan secara hukum ia bertanggung jawab kepada
konstitusi.40
C. Sistem Ekonomi Indonesia
Secara umum pembangunan dapat diartikan sebagai proses perubahan dari
kondisi nasional lain yang dipandang lebih baik ; atau kemajuan yang mantap dan
terus menerus menuju kepada perbaikan kondisi kehidupan manusia.41
Pembangunan itu merupakan proses perubahan sosial terencana ( a planned
sociental change), yang bersifat multidimensional menyangkut dimensi politik,
ekonomi, sosial, kultur, dan sebagainya. Namun paradigma yang berkembang
cenderung memandang pembangunan nasional sebagai suatu yang identik dengan
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, dimana tujuan pembangunan nasional
adalah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya.
Mengenai pembangunan ekonomi itu sendiri, telah terjadi perubahan besar di
dalamnya, baik dalam bidang ilmu pengetahuan maupun kebujaksanaan
pembangunan. Semula pembangunan dan pertumbuhan ekonomi diartikan
semata-mata sebagai peningkatan kapasitas ekonomi untuk dapat meningkatkan
pendapatan nasional perjiwa penduduk.42 Implikasi pengertian ini selanjutnya
melahirkan kebijakan untuk menumbuhkan keperluan dalam upaya menyalurkan
40 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (Jakarta : Konstitusi Press,
2005). Cet. I. h. 204 41 Moeljanto Tjokrowinoto, Pembangunan Dilema dan Tantangan, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar Offset, 1996), Cet. Ke-I, h. 90. 42 Kamaluddin Rustian, Beberapa Aspek Pembangunan Nasional dan Daerah, (Jakarta :
Ghalia Indonesia, 1983), h. 28.
sebayak mungkin dana dan sumber alam kepada upaya untuk meningkatkan
pendapatan nasional. Namun dalam perkembangan selanjutnya pembangunan
perlu ditanggapi sebagai proses yang multi dimensional mencakup perombakan
struktural, sikap kelakuan dan kelembagaan masyarakat, serta mendorong
pertumbuhan ekonomi bersamaan dengan pengurangan ketidakmerataan dan
penghapusan kemiskinan.
Dalam upaya mencapai tujuan pembangunan ekonomi Indonesia sebagai
mana digariskan dalam GBHN, pelaksanaan strategi pembangunan ekonomi
nasional diarahkan untuk mencapai trilogi pembangunan nasional.43 Adapun
tujuan-tujuan pembangunan ekonomi nasional (trilogi pembangunan ekonomi
nasional) yang mengacu pada trilogi pembangunan yakni : pertumbuhan ekonomi,
pemerataan pembangunan dan pendapatan, serta stabilitas ekonomi yang mantap
dan dinamis.
Program-program pembangunan nasional yang dirumuskan pemerintahan
Indonesia selama beberpa orde pemerintahan pada dasarnya semuanya ditujukan
untuk mewujudkan tujuan pembangunan nasional, yaiti\u mewujudkan suatu
masyarakat yang adil dan makmur yang merata material spiritual berdasarkan
Pancasila.44 Sebagai bagian yang paling urgen dari pembangunan nasional,
jelaslah bahwa proses pembangunan ekonomi Indonesia-pun mengarah kepada
43 Sularso Sopater dan Jacod T, Mengembangkan Strategi Ekonomi, ( Jakarta : Pustaka Sinar
Harapan, 1998), Cet. I, h. 3. 44 Thee Kian Wie, Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan : Beberapa Pendekatan
Alternatif, (Jakarta : LP3ES, 1983), Cet. 2, h. 22.
perwujudan cita-cita dan nilai-nilai luhur bangsa sebagaimana yang terdapat
dalam Pancasila dan UUD 45.
Dalam penjelasan dari pasal 33 UUD 45 dan GBHN tertuang bahwasanya
pembangunan ekonomi Indonesia di dasarkan kepada sistem demokrasi ekonomi
dengan tujuan " kemakmuran bagi semua". Penjelasannya adalah bahwa
kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran perorangan.
Tujuan lain yang hendak dicapai dalam pembangunan ekonomi adalah
mengentaskan masalah kemiskinan yang merupakan salah satu faktor penghambat
pembangunan, yaitu bagaiman upaya untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat
kearah yang lebih baik. Karena kemiskinan biasanya diukur dengan pendapatan
perkapita penduduk. Maka tujuan terpenting dari pembangunan yang berorientasi
pada pengentasan kemiskinan adalah meningkatkan secepat mungkin pendapatan
perkapita di atas rata-rata, dalam rangka mengurangi ketimpangan pendapatan
dan ketimpangan social. Untuk itu diperlukan pemerataan hasil-hasil
pembangunan ekonomi menurut proposinya selain juga perlu diadakannya
pembinaan dan penggalian potensi sumber daya manusia agar mampu
memberdayakan ekonominya secara mandiri dan mampu bersaing dalam peta
perekonomian nasional bahkan internasional.
Apabila kita melihat sejarah pembangunan Indonesia, proklamasi
kemerdekaan 17 agustus 1945 dapat dikatakan sebagai titik tolak bagi dimulainya
babak awal pembangunan nasional Indonesia sebagai suatu negara yang merdeka
dan berdaulat untuk menentukan nasib sendiri. Saat itu, Indonesia dibawah
pemerintahan presiden pertama Ir. Soekarno mulai mengadakan pembenahan
berbagai sektor kehidupan bangsa setelah sekian lama, kurang lebih 350 tahun
berada dalam belenggu penjajahan.
Selama Orde Lama, Indonesia melalui dua periode sistem politik dan
pemerintahan yang juga berpengaruh terhadap sistem perekonomian yang
diterapkan. Pertama sistem demokrasi Liberal, kedua sistem demokrasi
terpimpin.
Periode demokrasi liberal dimulai sejak dikeluarkannya maklumat wakil
presiden No X tertanggal 3 November 1945. dengan dianutnya demokrasi liberal
secara otomatis dalam bidang ekonomi kita memakai sistem ekonomi liberal.
Dengan pemberlakuan sistem ekonomi liberal ini dimungkinkan adanya
penguasaan sumber-sumber perekonomian oleh segolongan masyarakat tertentu.
Selain itu adanya UU No. I tahun 1957 yang memberi otonomi seluas-luasnya
menimbulkan keinginan pada daerah untuk menguasai sumber-sumber ekonomi
tanpa campur tangan pemerintah telah menimbulkan tidak meratanya
pembangunan ekonomi antara daerah yang satu dengan daerah yang lainya di
Indonesia.
Selain hal-hal di atas, sistem ekonomi liberal juga telah menyebabkan
konglomerasi, dimana pada saat itu wajah-wajah ekonomi di kuasai oleh
pengusaha-pengusaha nonpribumi khususnya Cina, yang memonopoli
perekonomian Indonesia, sementara pengusaha-pengusaha pribumi tenggelam
dalam persaingan dengan golongan Cina.
Periode selanjutnya adalah periode demokrasi terpimpin yang ditandai dengan
dikeluarkannya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959. pada saat itu, sejalan
dengan arus politik lahirlah Sosialisme ala Indonesia dimana titik berat
perekonomian negara dibebankan pada perusahaan-perusahaan negara.
Berbeda dengan sistem ekonomi liberal, dalam ekonomi terpimpin sangat
terasa adanya campur tangan pemerintah dalam aktifitas perekonomian, yang
pelaksanaannya merujuk pada pasal 33 UUD 1945 yang berisi sistem
perekonomian Indonesia, di mana ekonomi rakyat adalah usaha bersama yang
dikerjakan secara kekeluargaan. Menurut Bung Hatta yang merupakan seorang
ekonom sekaligus Founding Father dan perumus Pasal 33 UUD 45, bahwa yang
dimaksud dengan usaha bersama atas kekeluargaan adalah koperasi.45 Walaupun
pada kenyataannya pada saat itu masih nampak tersendat-sendat, namun koperasi
telah berperan cukup independen dari intervensi pemerintah.
Masa Orde Baru ditandai dengan berpindahnya kepemimpinan Soekarno
sebagai presiden Indonesia pertama ketangan presiden Soeharto yang diikuti
dengan pergeseran orientasi pembangunan ke arah pembangunan ekonomi. Pada
awal Orde Baru memang tidak ada alternatif lain bagi pemerintah kecuali
melakukan tindakan-tindakan rehabilitasi dan konsolidasi terhadap sektor
ekonomi yang selama masa Orde Lama diabaikan. Dari sinilah liberalisasi
ekonomi mulai tampak, pada waktu itu tindakan liberalisasi dilakukan sebagai
langkah antitesis terhadap etatisme yang dominan dimasa ekonomi terpimpin.
Sejak saat itulah mulai terjadi pergeseran dalam sistem perekonomian Indonesia,
dari corak sosialis yang etatis pada masa ekonomi terpimpin kearah ekonomi
45 M. Rusli Karim dan Fauzi Ridjal (ed), Dinamika Ekonomi dan IPTEK dalam
Pembangunan,(Yogyakarta : PT. Tiara Wacana, 1992), Cet. I, h. 27.
kapitalis. Mula-mula liberalisasi dilakukan dalam bidang perdagangan, yaitu
dengan cara membuka impor barang-barang konsumsi, lalu sebagai rangkaiannya
adalah pemerintah mengeluarkan kebijakan menurunkan harga sebagai langkah
awal kearah stabilisasi ekonomi, terutama dengan mengendalikan inflasi46.
Kejadian menjelang 30 september 1965 memang mencekam, keadaan
stabilitas ekonomi sangat buruk, ini dapat dilihat pada keterangan dibawah ini 47:
Pendapatan nasional pada harga konstan 1960 dari Rp. 390,5 milyar (1960)
menjadi Rp. 429,7 milyar (1965) dengan rata-rata 2,2 persen setahun, sedangkan
pertambahan penduduk naik dengan 2,3 persen setahun sehingga pendapatan
perkapita turun.
Ekspor turun dari 620 US $ (1960) menjadi 462,7 juta US $ (1965). Utang
luar negeri naik dari 900 juta US S (1961) menjadi 2.250 US $ (juli 1968) naik
dengan 250 persen. Dan debt service ratio tak terpenuhi, sehingga pemerintah
secara sepihak “mengemplang utang”. Defisit neraca pembayaran adalah 57 juta
US $ (1965)
Inflasi mengganas sehingga indeks biaya hidup naik dengan 438 kali (juli
1966 terhadap 1960); harga beras naik 824 kali (juli 1966 terhadap 1968);, harga
tekstil naik dengan 717 kaki (juli 1966 terhadap 1960) dan nilai Rupiah turun dari
Rp. 160 (1960) menjadi Rp. 120.000 (juli 1966);
46 St. Sularto (ed), Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi Indonesia,
(Jakarta PT. Kompas Media Nusantara, 2000), Cet. I, h. 21 47 Ibid.
Defisit anggaran belanja negara naik dari 6,9 juta (1960) menjadi Rp. 5.237,7
juta (juli 1966) atau kenaikan 759 kali.
Semua ini mengakibatkan pengangguran dan ketegangan sosial dalam
masyarakat. Pergulatan kekuasaan yang terjadi di tingkat tinggi lebih bertitik
berat pada penggusuran PKI dan penggantiannya oleh kekuatan anti PKI yang
didukung oleh ABRI. Periode Oktober 1965- maret 1966 adalah periode penuh
ketidakpastian. Disatu pihak pemerintahan Soekarno masih enggan menggusur
PKI, dilain pihak mahasiswa dan kekuatan politik lainnya semakin gencar
menuntut pembubaran PKI yang kemudian meluas menjadi penggantian presiden
Soekarno.
Dalam masa ini pemasyarakatan pemikiran ekonomi semakin ditingkatkan
dengan mengisi surat-surat kabar, seperti harian angkatan bersenjata, kami dan
Indonesian observer, diskusi lebih intensif kini juga mencangkup kelompok-
kelompok mahasiswa.48
Berbeda dengan masa Orde Lama yang menganggap pinjaman luar negeri
bukan merupakan hal yang penting, pada masa Orde Baru pinjaman luar negeri
dan pemasukan modal asing adalah merupakan prioritas dan primadona dalam
kebijakan nasional, bahkan dapat dikatakan pemerintah sangat tergantung
anggarannya pada bantuan luar negeri. Karena itulah langkah lain yang dilakukan
pemerintah adalah liberalisasi dibidang penamaan modal asing dengan
mengeluarkan undang-undang penanaman modal asing no. 1/1967 dan UU
48 Ibid
PMDN no. 1/ 1968 pada awal Repelita I (1969/70-1973/74). dengan kebijakan
ini, swasta diberi kebebasan untuk melakukan kegiatan ekonomi dan bisnis
hampir disegala bidang, selain itu swasta ditempatkan sebagai motor penggerak
(engine) dalam pertumbuhan ekonomi. Kebijakan pembangunan yang berorientasi
pada pertumbuhan ekonomi telah berhasil meningkatkan struktur ekonomi bangsa
Indonesia yang cukup tinggi. Akan tetapi pada dimensi sosial, pembangunan
menghasilkan kesenjangan-kesenjangan disana-sini, timbulmya konglomerasi dan
munculnya kapitalisme baru yang bertentangan dengan UUD ’45.
Selama Orde Baru yang berlangsung kurang lebih 33 tahun, Indonesia telah
memasuki dua tahapan pembangunan jangka panjang (PJP) 25 tahun, yang
masing-masing ditempuh melalui tahapan-tahapan pembangunan lima tahun
(pelita), sebagaimana diatur dalam GBHN sampai akhir masa pemerintahan Orde
Baru telah memasuki PJP II.
PJPT I yang berlangsung sejak tahun 1969 sampai tahun 1994 dititik beratkan
pada pembangunan bidang ekonomi yang sasarannya diletakkan pada
terlaksananya percepatan pertumuhan ekonomi yag tinggi sebagai penggerak
utama, yang selanjutnya secara bertahap akan diimbangi oleh pertumbuhan
dibidang lain.49
Sasaran PJPT I, sebagaimana terdapat dalam GBHN 1983 adalah terciptanya
landasan yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas
kekuatan sendiri, sedangkan strategi yang diterapkan didasarkan pada trilogi
49 Tim KAHMI jaya (ed), Indonesia di Samping Jalan, (Bandung : Mizan, 1998), Cet. II, h.
274
pembangunan yaitu pemeratan pembangunan menuju keadilan sosial bagi seluruh
bangsa indonesia, pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi dan stabilitas nasional
yang sudah mulai sehat dan dinamis, yang meliputi delapan jalur pemerataan
sebagai program untuk menunjang pertumbuhan yang ditujukan kepada
mobilisasi dana, peningkatan produksi, perubahan struktur perekonomian kearah
yang lebih seimbang, tetap terpeliharanya stabilitas yang sehat dan dinamis.50
Tahapan selanjutnya adalah pembangunan jangka panjang II (1994-1998),
penekanannya pada pembangunan ekonomi yang dibarengi dengan pembangunan
sumber daya manusia, sebagaimana terdapat dalam rumusan GBHN:
“Titik berat PJP II diletakkan pada bidang ekonomi yang merupakan
penggerak utama pembangunan, seiring dengan kualitas sumber daya manusia
dan didorong secara saling memperuat, saling terkait dan terpadu dengan
pembangunan bidang-bidang lainnya yang dilakukan seiring, selaras, dan serasi
dengan keberhasilan pembangunan bidang ekonomi dalam rangka mencapai
tujuan dan sasaran pembangunan nasional. ”
Kondisi ekonomi Indonesia yang terlihat stabil dengan rata-rata pertumbuhan
6,9 % - 7,1 % selama tiga dekade Orde Baru tiba-tiba mendapat goncangan
dengan munculnya krisis ekonomi yang diawali dengan krisis moneter dan krisis
mata uang pada semester kedua tahun 1997 tepatnya tanggal 21 juli 1997, dimana
rupiah menurun 6% terhadap dollar AS dalam satu hari. 51
50 Ibid., h. 276 51 Sjahrir, Op.Cit., h. 51
Ekonomi biaya tinggi (high cost economy) yang diterapkan selama
pemerintahan Orde Baru berakibat pada maraknya praktek kolusi, korupsi dan
nepotisme (KKN) di kalangan birokrasi berdampak negatif terhadap kehidupan
bangsa Indonesia. Merosotnya daya beli masyarakat akibat melonjaknya harga-
harga dipasaran, tidak stabilnya kondisi perusahaan dalam kegiatan usahanya
yang berimplikasi pada meningkatnya jumlah pengangguran akibat PHK,
tingginya angka inflasi, hingga dilakukannya likuidasi terhadap terhadap bank-
bank yang tidak sehat, bahkan rupiah sempat menyentuh angka Rp. 12.250 per
US $ 1 pada pertengahan Mei 1998 menjelang berakhirnya pemerintahan Orde
Baru.
Masa pasca Orde Baru atau yang dikenal dengan masa Reformasi merupakan
antiklimaks dari akumulasi berbagai persoalan yang terjadi pada masa Orde Baru,
mulai dari persoalan krisis ekonomi hingga persoalan krisis kepercayaan terhadap
pemerintah yang tidak kunjung juga menyelesaikan berbagai permasalahan
bangsa.
BAB IV
HUBUNGAN STABILITAS POLITIK DAN PERTUMBUHAN EKONOMI
INDONESIA PADA MASA REFORMASI
A. Stabilitas Politik Indonesia Pada Masa Reformasi
Reformasi tiba-tiba menjadi populer di negara Indonesia. Bahkan yel-yel
dimana-mana meneriakan perlunya segera kata itu di implementasikan.
Istilah "Reformasi" berasal dari kata inggris, Reform (Latin: reformare) yang
berarti : perbaikan, pembaruan, pemulihan kembali. Dalam kontek Reformasi
yang dituntut dan dilakukan oleh mahasiswa dan sebagian besar masyarakat
Indonesia, maka Reformasi adalah pembaruan.52
Tentu saja segera muncul pertanyaan : Reformasi hendak memperbaharui apa
dan menjadi bagaimana?
Tahun 1998 menjadi saksi runtuhnya struktur negara dan akhir dari represi
ideologi serta hegemoni rezim Soeharto. Kekacauan ekonomi di Indonesia diikuti
dengan krisis politik yang menyebabkan berkurangnya kekuasaan dan pada
akhirnya pengunduran diri presiden Soeharto, setelah tiga dasawarsa memerintah
Indonesia dengan cara 'kekeluargaan'. Pendekatan-pendekatan 'konsesur nasional',
'kontak sosial', dan pembangunan ekonomi yang dilaksanakan rezim Soeharto
dipertanyakan secara mendasar. Legitimasi negara diragukan, karena itu ada
kebutuhan akan adanya pemerintahan baru yang dipercaya oleh rakyat.
52 Kompas, 17 Oktober 1997.
Ada beberapa kemiripan yang nyata antara Reformasi Indonesia saat ini
dengan percobaan selama dasawarsa Demokrasi Liberal pada tahun 1950-an.
Ekonomi begitu mudah bergejolak, angkatan bersenjata menjadi kekuatan politik
potensial, parlemen dan eksekutif terjebak dalam permainan saling menjatuhkan
yang menyebabkan ketidakstabilan, konstitusi tidak cukup jelas dalam
menyatakan pertan dan hubungan-hubungan antara pemegang kekuasaan dan
lembaga-lembaga negara, dan kekacauan regional mengancam kesatuan dasar dari
negara.
Mundurnya Soeharto dan dilantiknya pemerintahan sementara Habibie
Membuka kesempatan bagi berlangsungnya Reformasi demokratis di Indonesia.
Untuk membangun momentum demokratis, beberapa perubahan mendasar pada
sistem politik telah dimulai melalui beberpa langkah yang bersifat sementara,
langkah-langkah ini termasuk membuat amandemen UUD untuk memperkuat
peran parlemen, mengesahkan peraturan baru tentang otonomi daerah yang telah
diperluas baik ruang lingkupnya dan juga tingkat partisipasi poltik di tingkat
daerah, lokal, dan pembatasan masa jabatan presiden.
Ada yang layak dipuji dari pemerintahan Habibie, untuk usahanya mencabut
undang-undang anti Subversif (UU No. 11/PNPS/1963 dan Undang-undang
korupsi (UU No. 3/1971) yaitu diganti dengan UU No. 31/1999). Selama
pemerintahan Habibie (22 mei 1998 sampai dengan 14 Oktober 1999), telah
dikeluarkan 67 Undang-undang, 3 peraturan pemerintah, 263 Keputusan presiden
dan 31 Intruksi presiden. Keseluruhan itu dimaksudkan sebagai bagian dari solusi
untuk mengatasai problem yang berlangsung dalam situasai krisis yang terjadi
saat itu. Disadari atau tidak, banyak kemajuan yang telah dicapai, sehingga pada
waktu terjadinya peralihan kekuasaan dari presiden Habibie kepada presiden
Abdurrahman Wahid (Oktober 1999), kondisi politik dan pemulihan ekonomi
berlangsung dengan baik.53
Ketika KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati soekarno Putri,
dilantik masing-masing sebagai presiden dan wakil presiden RI periode 1999-
2004, sisa-sisa persoalan warisan Soeharto sebelumnya dan pemerintahan Habibie
sesudahnya, belum semua tertangani dengan baik, ditambah sejumlah persoalan
yang semula seolah-olah sudah selesai, namun agenda persoalan terlihat semakin
rumit dan banyak, seperti kasus korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), pemulihan
ekonomi, disintegrasi bangsa, lemahnya hukum, dan Hak Asasi Manusia (HAM),
semua itu ibarat benang kusut, dan untuk memecahkannya harus diurai satu
persatu.54
Dari sisi dimensi rasionalitas yang terpenting tentu saja supremasi hukum.
Maka jika kita mengatakan tak satupun demokrasi yang mampu jalan tanpa
supremasi hukum, itu sekaligus berarti bahwa berjalan tidaknya demokrasi oleh
rasionalitas dan prediktibilitas keenam lembaga demokrasi.
Tidak kalah pentingnya juga ada faktor kelemahan bawahan duet
Abdurrahman-Megawati itu sendiri. Kelemahan bawahan ini mencakup
tempramen atau tingkat intelektualitas maupun ketajaman modal Reformasi
53 Muladi, Demokratisasi, Hak asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta :
The Habibie Center, 2002), Cet. I, h. 31 54 ST. Sularto (ed), Menyelamatkan Masa Depan Indonesia, Evaluasi 100 Hari Pemerintahan
Gus Dur-Mega, (Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 2000), h. 81
mereka, baik lantaran visi maupun paktek buruk rezim-rezim sebelumnya. Pada
kompromi dan rekonsiliasi dalam penyusunan kabinet Persatuan Nasional yang
lebih cenderung menafikan tuntutan Reformasi dan jelas mengabaikan tuntutan
urgensi penyelesaian atau beban kriris multidimensi yang terus mendera bangsa
kita. Gabungan kelemahan itulah yang hingga kini terus menyulitkan tercapainya
supremasi hukum di negara kita. Itulah sebabnya pemerintahan Gus Dur belum
mampu mencatat kemajuan yang berarti, baik di bidang politik, ekonomi dan
hukum.
Keberhasilan yang dicapai pemerintah Abdurrahman-Megawati adalah
menahan laju pemburukan krisis multidimensi, termasuk didalamnya proses
disintegrasi bangsa. Prestasinya baru sampai pada menahan keterjerumusan lebih
lanjut. Meskipun demikian, pemerintahan keduanya memiliki beberapa kelebihan
seperti di utarakan, memiliki legitimasi yang kuat, yaitu bahwa kedua pimpinanya
terpilih melalui prosedur demokrasi yang kuat. Pemerintahan ini jelas memenuhi
apa yang di sebut sebagai keabsahan prosedural pemerintahan.55
Keberhasilan pertama pemerintahan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah
bertahan dalam format politik yang di buat pemerintahan Habibie. Kegagalan Gus
Dur untuk membangun suatu pemerintahan yang efisien dengan administrasi yang
tegas mungkin dapat dianggap sebagai kegagalan yang paling besar terutama bila
kita membandingkannya dengan pemerintahan Soeharto.
55 Ibid., h. 82
Hingga saat di masa pemerintahan Megawati Soekarno Putri menggantikan
pemerintahan Abdurrahman Wahid yang diberhentikan secara konstitusional oleh
MPR tahun 2001, belum juga terlihat langkah nyata dalam upaya perbaikan
stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi. Adapun keberhasilan pemerintahan
Megawati adalah dapat menyelenggarakan pemilu presiden secara langsung, dan
demokratis.
Sejak jatuhnya Soeharto dari jabatan presiden tahun 1998 sebagian besar
rakyat Indonesia beranggapan bahwa pemilu perlu diadakan secepatnya untuk
memecahkan semua persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia. Keinginan itu
kemudian dikukuhkan oleh MPR dalam SI MPR Nopember 1998 meskipun
begitu, semua orang paham mengadakan pemilu bukanlah hal mudah, karena
banyak hambatan dan tantangan yang akan dihadapi. Kita merasa bersyukur
bahwa bangsa Indonesia telah mampu mempersiapkan segala sesuatu yang
diperlukan untuk menyelenggarakan pemilu 7 Juni 1999, kendati ditengah
berbagai kekurangan dan ketidak senpurnaan.56
B. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Pada Masa Reformasi
Masa pasca Orde Baru atau yang dikenal dengan masa Reformasi merupakan
anti klimaks dari akumulasi berbagai persoalan krisis ekonomi hingga persoalan
krisis kepercayaan terhadap pemerintah yang tidak kunjung juga menyelesaikan
berbagai permasalahan bangsa. Krisis kepercayaan terhadap pemerintah
kemudian terefleksi dengan munculnya gejolak aksi massa seperti demo-demo
56 Maswadi Rauf, Agenda Masalah Pasca Pemilu, (Bandung : Ralawali Press, 1999)., h. 15.
yang dilakukan oleh mahasiswa yang akhirnya memaksa presiden Soeharto untuk
meletakkan jabatan kepresidenannya, yang kemudian dilanjutkan dengan
pembacaan sumpah jabatan oleh BJ. Habibie dan kabinet reformasinya mewarisi
keadaan ekonomi yang benar-benar terpuruk sebagai akibat krisis ekonomi yang
bermula pada masa Orde Baru.
Dr. Mochtar Pabottingi dalam talk show di AN teve Kamis siang 21 Mei
1998 mengatakan, gerakan reformasi pada hakikatnya menuntut perubahan total
rezim Orde Baru. Baik sistem Politik, ekonomi, sosial, dan pemerintahan.
Pendeknya, reformasi yang membuat segalanya lebih baik disbanding
sebelumnya.
Berawal dari krisis moneter yang melanda Indonesia, Juli 1997, istilah
reformasi mulai digelindingkan terutama dalam kaitannya dengan kebangkitan
kembali Indonesia dari krisis moneter. Krisis itu dipicu oleh jatuhnya Baht
Thailand terhadap nilai tukar US $, sehingga pada 21 Juli 1997 nilai tukar Rupiah
yang semula Rp 2500 per US $ merosot menjadi Rp 2650, untuk seterusnya
semakin melemah hingga mencapai Rp 15.000 per US $
Krisis seperti tak ingin berhenti. Pada 16 September 1997, pemerintah
terpaksa mengumumkan menunda mega proyek senilai Rp. 39 triliun didalam
upaya "mengencangkan ikat pinggang". Meskipun demikian, laju US $ makin tak
terbendung.
Kehabisan akal mengatasi krisis itu, akhirnya pemerintah secara berani
memutuskan meminta bantuan IMF. Tak lama harus menuggu, IMF memberi
persetujuan membantu Indonesia keluar dari kemelut ekonomi dengan paket
bantuannya senilai US $ 43 miliar yang akan dicairkan secara bertahap.
Paket IMF ternyata menuntut korban. Pada 1 Nopember 1997, pemerintah
mengumumkan likuidasi (pencabutan izin usaha operasi) 16 Bank swasta yang
dinilai tidak sehat. Inilah titik awal lahirnya krisis kepercayaan masyarakat pada
lembaga keuangan nasional.
Ketika diumumkan pengunduran diri presiden Sooeharto dari jabatannya, kurs
tengah rupiah terhadap US $ langsung membaik dari Rp. 12.250 menjadi
Rp.10.000, walaupun demikian pada minggu terakhir bulan Mei 1998 kurs
Rupiah tetap berada pada kisaran Rp.10.500 - Rp.10.700 untuk 1 US $ .57
Pada awal tahun 1998 tingkat inflasi mencapai angka 20 persen, kenaikan
inflasi kelompok makanan menunjukkan kenaikan tertinggi yang pernah dialami
Indonesia sejak Pelita I, yakni lebih dari 15 % pertahun. Hasil estimasi dampak
krisis terhadap perekonomian makro yang terpenting adalah : pertama
pertumbuhan GDP riil dalam tahun ini antara –4,46% hingga –6.05%, dan dalam
jangka panjang (Repelita VII) antara 2,53 % hingga 3,82% pertahun. Kedua
konsumsi riil dalam jangka panjang akan membaik dan menurun dalam jangka
pendek yang mengakibatkan membaiknya kesejahteraan masyarakat. Ketiga
pengeluaran pemerintah secara riel turun drastis yaitu antara –14 % hingga –15%
dalam jangka pendek dn belum bisa pulih dalam jangka panjang. Dan keempat
57 Sjahrir, Krisis Ekonomi Menuju Reformasi Total, (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia dan
Yayasan Padi dan Kapas, 1998), Cet. I, h. 52-53
akibat krisis moneter rupiah terdepresi sekitar 30 % hingga 40% dari awal tahun
1998.58
Yang jadi permasalahan utama dalam lemahnya perekonomian di Indonesia
adalah masalah fundamental ekonomi Indonesia yang masih belum kuat. Pada sisi
makro, persoalan yang mendasar adalah adanya ketidakseimbangan internal
maupun eksternal yang menjadi fundamental ekonomi Indonesia, ekonomi biaya
tinggi, manajemen “setan” dari lembaga keuangan perbankan, kelemahan daya
asing pengusaha domestik dan tidak transparannya manajemen pemerintahan
merupakan permasalahan fundamental ekonomi Indonesia.59
Pokok-pokok permasalahan tersebut diagendakan dalam beberapa paket
Reformasi ekonomi dengan tujuan memperkuat fundamental ekonomi Indonesia
yang diaplikasikan baik dalam skala makro ataupun mikro. Pada skala makro
agenda reformasi ekonomi meliputi kebijakan fiskal, moneter dan neraca
pembayaran. Sedangkan disektor mikro mencangkup aspek-aspek perbankan,
dunia perbankan dan seterusnya.
Indonesia dalam pembangunan ekonominya, tidak pernah lepas dari bantuan
berbagai pihak internsional, bantuan tersebut selain berasal dari negara-negra
sahabat juga berasal dari lembaga internasional yang berkompeten dalam hal
penyediaan bantuan bagi Indonesia seperti penamaan modal asing, penyediaan
porto folio investasi maupun berupa hutang luar negeri yang berbentuk pinjaman
hutang lunak atau hibah.
58 Ibid., h. 241 59 Ibid., h. 236
Selama masa Orde Lama – dikarenakan oleh kepentingan politik – usaha
untuk mendapat pinjaman luar megeri khususnya negera-negara barat selalu
dibatasi, hal ini disebaakan pembangunan politik pada saat itu dijadikan sebagai
tolak ukur keberhasilan pembangunan yang utama.60
Adapun pada masa Orde Baru telah terjadi pergeseran paradigma
pembangunan, yang semula lebih terkonsentrasi pada keberhasilan pembangunan
politik sebagai tolak ukur, kini lebih menjadikan keberhasilan pembangunan
ekonomi sebagai tolak ukur. Perubahan tolak ukur ini jelas memiliki konsekwensi
yang berbeda dengan masa pembangunan Orde Lama.
Kebalikan pada masa orde lama, maka pada masa Orde Baru pinjaman luar
negeri dan pemasokan modal asing menjadi prioritas dalam kebijaksanaan
nasional, bahkan sejak awal Repelita I pinjaman luar negeri telah dipandang
sebagai faktor pendorong pembangunan yang sangat penting, keyakinan
pemerintah mengenai penting dan efektifnya peran bentuan luar negeri dapat
dilihat dari terus meningkatnya jumlah bantuan untuk Indonesia sejak dimuainya
Orde Baru (1969-1970). Pada saat itu penerimaan dana pembangunan yang
berasal dari pinjaman luar negeri adalah sebesar Rp. 9 milyar, yang pada tahun
berikutnya (1970-1971) meningkat menjadi Rp. 119 milyar. Pada tahun
1991/1992 angka pinjaman tersebut mencapai puncaknya yaitu sebesar 10, 409
triliun. Sedangkan puncak dominasi bantuan luar negeri ini terjadi pada tahun
60 M. Dawam Raharjo,. Op.Cit., h. 18
anggaran 1988/1989, yaitu mencapai 81,52 % dari total anggaran pembangunan
negara.61
Terus meningkatnya bantuan pembangunan Indonesia, yang pada tahun 1992
mencapai US $ 66,5 milyar atau sekitar Rp. 139,65 triliun menjadi US $ 118
milyar pada akhir september 1997, yang terdiri atas hutang pemerintah sebesar
US $ 52 milyar dan swasta sebesar US $ 65,6 milyar.62 hal ini menunjukan gejala
bahwa pemerintah sebagai motor penggerak pembanunan nasional begitu
tergantung anggarannya kepada bantuan luar negeri. Kebutuhan akan pinjaman
dan hibah dari luar negeri secara pasti sangat besar, khususnya dalam upaya
mengatasai masalah kemiskinan, pembiayaan prasarana daerah-derah tertinggal,
dan infrastruktur dasar yang tidak mungkin dibiayai oleh swasta untuk
menutupinya. Dalam hal ini pemerintah Indonesia banyak menerima pinjaman
dan hibah yang termasuk dalam kategori pinjaman lunak dari lambaga-lembaga
keuangan internasional seperti IBRD (bank dunia), IDB, ADB dan IDA.
Lembaga-lembaga keuangan internasional di atas ditambah dengan negara-
negara donor untuk Indonesia bergabung dalam Consultative Group on Indonesia
(CGI) sejak tahun 1992, yaitu sebagai sebuah kumpulan dari negara-negara yang
memberi bantuan ekonomi kepada Indonesia yang dikoordinasi oleh Bank Dunia
sudah dibubarkannya Inter Government Group on Indonesia (IGGI) sebagai suatu
lembaga serupa.
61 M. Dawan raharjo, Ibid., h. 19-20 62 Dewi Gunherani, Tinjauan Terhadap Lembaga Keuangan Internasional Slam Pembiayaan
Pembangunan Nasional, Sarana kajian Informasi Perbankan, edisi Jan-Feb 69/1998, IBI, h. 54
C. Hubungan Stabilitas Politik dan Pertumbuhan Ekonomi Indonesia pada
masa Reformasi
Selama Orde Reformasi Indonesia masih mengalami berbagai keterpurukan
hampir disegala bidang dan sendi kehidupan. Kebebasan di berbagai bidang
memang cukup dinikmati masyarakat. Termasuk kebebasan melakukan dan
menyebarkan berbagai kemaksiatan melalui media massa. Utang Indonesia pun
bukannya mengecil, masih sekitar Rp 1300 trilyun. Pemberantasan korupsi masih
menjadi perbincangan ideal, dan bahkan semakin menyebar, merata, ke pelosok-
pelosok, sejalan dengan program otonomi daerah. tingkat pengangguran masih
tinggi dan melangit. Angka kemiskinanpun masih cukup tinggi.
Konon, menurut Departemen Sosial, sebanyak 15,8 juta penduduk Indonesia
tergolong fakir miskin pada tahun 2003. Jumlah tersebut sekitar 42,4 persen dari
seluruh populasi penduduk miskin 37,3 juta jiwa tahun 2003 63.
Presentase tersebut menunjukan secara rata-rata dari setiap 100 orang
penduduk miskin, 42 orang diantaranya, masih tergolong fakir miskin. Dijelaskan
fakir miskin adalah mereka yang pendapatannya masih dibawah normal, yaitu
kurang dari 1 US $ perhari. Sedangkan, pendapatan antara 1-2 US $ perhari
tergolong sebagai penduduk miskin. Sedangkan yang dikatakan sejahtera, bila
mereka sudah berpenghasilan diatas 2 US $ tiap harinya.
Angka-angka ini tentu masih perlu dipertanyakan, mengingat standar
kemiskinan yang diterapkan. Jika seorang berpenghasilan 2 US $ (sekitar Rp
63 www.bps.go.id
17,000) perhari dikatakan sejahtera, maka angka ini tentu sangat rendah untuk
dearah Jakarta dan kota-kota besar lainnya. Bagaimana jika ia mempunyai
tanggungan keluarga, dan sebagainya. Kenyataannya, masih begitu banyak
penduduk yang merasakan berbagai kesulitan memenenuhi kebutuhan pokoknya,
seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan.
Liberalisasi di bidang ekonomi, dengan alasan privatisasi, ternyata
dimanfaatkan dengan baik untuk melakukan penjualan aset-aset strategis milik
negara, seperti BCA, Indosat, dan sebagainya. Program liberalisasi ekonomi ala
IMF, menurut pememang hadiah Nobel, Joseph Stiglitz, dikenal dengan Four-
Step Program. Pertama, privatisasi aset-aset negara; kedua, liberalisasi pasar
modal; ketiga, penerapan harga berdasarkan pasar; dan keempat, adalah
penetapan perdagangan bebas. Program-program itulah yang dikritiknya habis-
habisan. Untuk Indonesia, ujung-ujungnya adalah begitu banyak aset-aset
strategis milik negara dijual, angka kemiskinan bertambah, dan juga semakin
banyak kebanjiran barang impor.64
Hal tersebut terjadi karena pembangunan politik yang dijalankan Orde Baru
bukanlah sebagai upaya transformasi politik (melalui desentralisasi dan
demokratisasi), melainkan merupakan bentuk “rekayasa politik” melalui
negaranisasi (sentralisasi, birokratisasi, korporatisasi, regimentasi, depolitisasi
dan represi) untuk mengendalikan masyarakat dan mencipta-kan stabilitas politik.
Sejak awal pemerintah, melalui doktrin Trilogi Pembangunan (stabilitas,
64 http://hidayatullah.com/content/view/1107/55/
pertumbuhan dan pemerataan), selalu menegaskan bahwa stabilitas politik
merupakan prasyarat pembangunan (pertumbuhan ekonomi) dan pemerataan.
Ada anggapan, sebagian besar kelemahan telah timbul karena selama Orde
Baru hampir seluruh kekuasaan yang efektif ada di tangan eksekutif. Partisipasi
rakyat dalam politik dipangkas melalui kebijakan massa mengambang, jumlah
partai politik amat dibatasi, sedangkan independensi anggota DPR selalu
terancam risiko recall. Seluruh mesin pemerintahan dijalankan melalui birokrasi
yang meluas dan menghunjamkan akarnya hingga ke pemerintahan tingkat desa.
Segala sesuatu diatur secara sentral dari Jakarta, inisiatif dari bawah tersingkir
oleh manajemen yang bergerak dari atas ke bawah seperti garis komando militer,
sementara itu reaksi sosial-politik dari kelompok-kelompok masyarakat dihadapi
dengan kekuatan aparat keamanan dan bukannya melalui dialog dan negosiasi
politik.
Semua keadaan itu dianggap sebagai "biaya" yang harus dibayar untuk
mendapatkan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi. Tetapi lambat laun
ketahuan juga. Pertumbuhan ekonomi tidak membawa manfaat langsung untuk
masyarakat luas, karena sumber daya ekonomi dikuasai secara terkonsentrasi
pada beberapa kalangan yang dekat kekuasaan Soeharto, melalui lisensi khusus
atau hak monopoli. Stabilitas politik lambat laun terasa sebagai rumah besar yang
bersih dan lengang karena penghuninya dilarang berbicara keras atau tertawa
lepas.
Dari ketiga teori hubungan politik dan ekonomi yang dijelaskan oleh Arbi
Sanit, teori yang ketigalah yang paling sesuai dengan kondisi Indonesia pada
masa Reformasi, yaitu teori deterministik, bagaiman ekonomi mempengaruhi
politik dan stabilitas politik pun tentunya amat berpengaruh terhadap
meningkatnya dan tercapainya pertumbuhan ekonomi.
BAB V
PENUTUP
Kesimpulan
1. Dengan melihat bahwa sering dari kebanyakan orang mengatakan bahwa
ekonomi mempengaruhi politik dan atau politik yang mempengaruhi
ekonomi, seandainya apabila kita beranjak dari sesuatu yang lebih sederhana
dan kurang pretensius, barangkali sudah saatnya kita mencoba melihat
masalah dengan tidak membuat kavling-kavling ekonomi dan politik, dan
mencoba melihatnya secara lebih membumi. Sedikitnya ada dua alasan untuk
membuktikan hubungan antara politik dan ekonomi bahwa bagaimanapun
juga pembangunan ekonomi pada hakikatnya bergantung dan ditentukan oleh
struktur dan proses politik yang ada.
2. Sistem politik indonesia di bagi menjadi : Pertama, bisa disebut dengan masa
Republik Indonesia I. dalam kurun waktu ini praktek demokrasi konstitusional
sangat menonjolkan peranan perlemen serta partai-partai politik. Praktek
demokrasi semacam ini seringkali disebut dengan praktek demokrasi
parlementer atau demokrasi liberal. Masa ini berlangsung dari tahun 1945
sampai tahun 1959 dengan tiga model undang-undang dasar sebagai dasar
berpijak bagi praktek demokrasinya. Kedua, bisa disebut dengan masa
Republik Indonesia II, yaitu masa pelaksanaan demokrasi terpimpin yang
dalam banyak aspek telah dianggap menyimpang dari jiwa demokrasi
konstitusional, walaupun secara formal diakui sebagai landasannya.
Pelaksanaan demokrasi semacam ini menunjukan pula beberapa segi
demokrasi rakyat. Masa ini berlangsung antara tahun 1959 sampai tahun
1965. Ketiga, yaitu masa pelaksanaan demokrasi pancasila yang berlandaskan
jiwa demokrasi konstitusional yang lebih menonjolkan sistem presidensial.
Dan masa ini berlangsung antara tahun 1965 sampai dengan sekarang.
Sedangkan sistem ekonomi indonesia terbagi pada : ketika masa demokrasi
liberal secara otomatis dalam bidang ekonomi kita memakai sistem ekonomi
liberal. Selanjutnya lahirlah Sosialisme ala Indonesia dimana titik berat
perekonomian Negara dibebankan pada perusahaan-perusahaan Negara.
Kemudian pada masa Orde Baru mulai terjadi pergeseran dalam sistem
perekonomian Indonesia, dari corak sosialis yang etatis pada masa ekonomi
terpimpin kearah ekonomi kapitalis.
3. dari ketiga teori yang menjelaskan tentang hubungan politik dan ekonomi,
teori deterministiklah yang kemudian menjelaskan fenomena-fenomena
politik ekonomi yang terjadi pada masa Orde Reformasi, bahwa ekonomi
mempengaruhi politik atau pun sebaliknya bahwa stabilitas politik
berpengaruh terhadap terjadinya pertumbuhan ekonomi.
Saran-saran
1. Karena antara politik dan ekonomi sangat berkaitan erat, bahkan saling
mempengaruhi, dan stabilitas politik baru dapat tercipta apabila pertumbuhan
ekonomi mapan. Maka sebaiknya pemerintah dapat menerapkan sistem
politik dan ekonomi yang sesuai dengan karakter bangsa Indonesia.
2. Apapun permasalahan yang sedang dihadapi bangsa ini, hendaknya kita saling
bahu-membahu (pemerintah dan masyarakat), untuk dapat menyelesaikannya
secara bersama-sama, dan semampu mungkin dapat mencegah terjadinya
kesenjangan dan disintegrasi bangsa, dan menjadikan bangsa ini bangsa yang
adil, makmur, serta bermartabat tinggi dan disegani oleh dunia internasional.
3. Dan bagi para peminat kajian politik dan ekonomi, setidaknya dapat
memberikan hasil kajian yang jauh lebih jelas dan baik, terutama tentang hubu
ngan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi.
DAFTAR PUSTAKA
An-Nabhani, Taqiyuddin, Membangun Sistem Ekonomi; Alternatif Persfektif Islam, (Terj.), Maqhfur Wachid, Surabaya : Risalah Gusti, 1996. Cet. II
al-Assal, Dr. Ahmad Muhammad dan Dr. Fathi Ahmad Abd Karim, Sistem, Prinsip dan Tujuan Ekonomi Islam, (Terj), Drs. H. Imam Saefuddin, Bandung : Pustaka Setia, 1999. Cet. I
Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik indonesia Jakarta : PT Gramedia, 1978
Asshiddiqie, Prof. Dr. Jimly, S.H. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia Jakarta : Konstitusi Press, 2005. Cet. I
Budiarjo, Prof. Budiarjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, Cet IXX, hal. 23
Crouch Harold, Perkembangan Ekonomi & Modernisasi, Jakarta : Yayasan Pengkhidmatan, 1982
Djojohadikusumo, Sumitro, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, Dasar-dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan Ekonomi Pembangunan. Jakarta : LP3ES, 1994
Gunherani, Dewi, Tinjauan Terhadap Lembaga Keuangan Internasional Slam Pembiayaan Pembangunan Nasional, Sarana kajian Informasi Perbankan, edisi Jan-Feb 69/1998, IBI
Haryadi, “Ekonomi Politik Pembangunan : Sebuah Ragangan Teoritik” dalam Jurnal Ilmu Politik No. 8 Jakarta : AIPI, 1991
Hamid, Edy Suandi, Sistem Ekonomi, Utang Luar Negeri dan Isyu-isyu Ekonomi
Politik Indonesia, Yogyakarta: Ekonomi FEUI, 2001
Haricahyono, Cheppy, Ilmu Politik dan Perspektifnya. Yogyakarta : Tiara Wacana dan YP2LPM, 1986, Cet. I
Isjwara, F., Pengantar Ilmu Politik, (Bandung : Bina Cipta, 1986), cet. VII
Kantaprawira, Rusadi, Sistem Politik Indonesia Bandung : PT Tribisana Karya, 1995
Karim, M. Rusli dan Fauzi Ridjal (ed), Dinamika Ekonomi dan IPTEK dalam Pembangunan,Yogyakarta : PT. Tiara Wacana, 1992, Cet. I
Kansil, Drs. S.H., Hidup Berbangsa dan Bernegara, Jakarta : Erlangga, 1999, Cet. III
Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nasional (LPKN), Kamus Besar Ilmu Pengetahuan, Jakarta : Golo Riwu, 1997
Marbun, B.N, Kamus Politik, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996, Cet. I
Muchtar, Ibnu, Partai Kuning, Bina Dakwah, No. 228 (Maret, 1999)
Muladi, Demokratisasi, Hak asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, Jakarta : The Habibie Center, 2002, Cet. I
Plano, Jack C. (at.all), Kamus Analisa Politik, Jakarta : Rajawali, 1989, Cet. II
Rachbini, Didik J, Sektor Informal: Implikasi Ekonomi dan Politik, Jakarta: LP3ES,
1992 Rauf, Maswadi, Agenda Masalah Pasca Pemilu, Bandung : Rajawali Press, 1999
Rustian, Kamaluddin, Beberapa Aspek Pembangunan Nasional dan Daerah, Jakarta : Ghalia Indonesia, 1983
Sudarsono, Jiwono, Prof. Dr. Politik, Ekonomi dan Strategi, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 1993 Sjahrir, Dari Prestasi Pembangunan Sampai Ekonomi Politik, Jakarta: Yayasan obor
Indonesia ------------------, Krisis Ekonomi Menunju Reformasi Total, Jakarta:Yayasan Obor
Indonesia 1999, Cet.II
Sanit, Arbi, Sistem Politik Indonesia; Kestabilan Peta Kekuatan Politik dan Pembangunan, Jakarta : Rajawali Press, 1982
-----------------, Ormas Dan Politik, Jakarta : LSIP, 1995, cet. I
Sakiro, Sadono, Pengantar Teori Mikro Ekonomi, Jakarta : UI Press, 1985, Cet. I
Sunarto, Drs. M.T. Sidik, MM, MBA., Pertumbuhan Ekonomi Indonesia Jakarta : LPFEUI, 1998, Cet. I
Salim, Abd. Muin, Konsepsi Kekuasaan Politik Dalam Al-Qur’an, Disertasi, Jakarta : UIN Syarif Hidayatullah, 2000
Sularso Sopater dan Jacod T, Mengembangkan Strategi Ekonomi, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1998, Cet. I
ST. Sularto (ed), Menyelamatkan Masa Depan Indonesia, Evaluasi 100 Hari Pemerintahan Gus Dur-Mega, Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 2000
--------------------, Menggugat Masa Lalu, Menggagas Masa Depan Ekonomi Indonesia, Jakarta PT. Kompas Media Nusantara, 2000, Cet. I
Taher, M. Moeslim, Sistem Pemerintahan Pancasila Jakarta : Nusa Bangsa, 1978
Tim KAHMI jaya (ed), Indonesia di Samping Jalan, Bandung : Mizan, 1998, Cet. II
Todaro, Michael P., Pembangunan Ekonom, Jakarta : PT Bumi Aksara, 2000, Cet. I
Tjokrowinoto, Moeljanto, Pembangunan Dilema dan Tantangan, Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 1996, Cet. I
Widjaja, Albert, Budaya Politik Dan Bangunan Ekonomi, Jakarta
Wie, Thee Kian, Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan : Beberapa Pendekatan Alternatif, Jakarta : LP3ES, 1983, Cet. 2
Kompas, 17 Oktober 1997
www.bps.go.id
http://hidayatullah.com/content/view/1107/55/
Pertumbuhan Ekonomi Tujuh Negara Industri Utama dan Beberapa Negara Asia
Economic Growth of The Seven Major Industrial Countries and Several Asian Countries
(Persen per tahun/Percent per annum)
Indonesia 1)/ Indonesia 1)
Periode Nilai 1997 Mar. 8.46 Jun. 6.7 Sep. 3.3 Dec. 2.4 1998 Mar. -4.49 Jun. -13.34 Sep. -16 Dec. -18.26 1999 Mar. -6.13 Jun. 1.79 Sep. 2.85 Dec. 5.36 2000 Mar. 3.64 Jun. 4.98 Sep. 4.08 Dec. 6.91 2001 Mar. 4.8 Jun. 3.79 Sep. 3.15 Dec. 1.6 2002 Mar. 2.5 Jun. 3.5 Sep. 3.9 Dec. 3.8 2003 Mar. 3.4
Jun. 3.8 Sep. 3.9 Dec. 4.4 2004 Mar. 4.5 Jun. 4.3 Sep. 5 Dec. 6.7 2005 Mar. 6.4 Jun. 5.5 Sep. 5.3 Dec. 4.9 2006
Laju Inflasi Tujuh Negara Industri Utama dan Beberapa Negara Asia Inflation Rate of The Seven Major Industrial Countries and Several
Asian Countries
(Persen per tahun/Percent per annum)
Indonesia 1)/ Indonesia 1)
Time Series Graphics Periode Nilai 1997 Mar. 1.96 Jun. 2.54 Sep. 5.37 Dec. 11.05 1998 Mar. 25.13 Jun. 46.55 Sep. 75.47 Dec. 77.63 1999 Mar. 4.08 Jun. 2.73 Sep. 0.02 Dec. 2.01 2000
Mar. -1.1 Jun. 2.1 Sep. 6.8 Dec. 9.4 2001 Mar. 10.6 Jun. 12.11 Sep. 13.01 Dec. 12.55 2002 Mar. 14.08 Jun. 11.48 Sep. 10.1 Dec. 10 2003 Mar. 7.1 Jun. 6.6 Sep. 6.2 Dec. 5.1 2004 Mar. 5.1 Jun. 6.8 Sep. 6.3 Dec. 6.4 2005 Mar. 8.8 Jun. 7.8 Sep. 9.1 Dec. 17.1 2006
Produk Domestik Bruto Menurut Lapangan Usaha Atas Dasar Harga Berlaku
Gross Domestic Product by Sector at Current Prices
(Miliar Rp/Billions of Rp)
Produk Domestik Bruto - Tanpa Migas - Pertumbuhan (%)/Gross Domestic Product - Non Oil/Gas - Growth (%)
Time Series Graphics Periode Nilai 2000 Mar. 0 Jun. 0 Sep. 0 Dec. 0 2001 Mar. 22.51 Jun. 25.8 Sep. 23.99 Dec. 22.06 2002 Mar. 17 Jun. 13.38 Sep. 14.46 Dec. 12.75 2003 Mar. 11.6 Jun. 10.18 Sep. 9.3 Dec. 9.45 2004 Mar. 8.87 Jun. 12.29 Sep. 12.76 Dec. 16.19 2005 Mar. 16.57 Jun. 15.23 Sep. 16.26 Dec. 20.45 2006
http://www.bi.go.id/web/id/Data+Statistik/
top related