trauma alkali
Post on 12-May-2017
221 Views
Preview:
TRANSCRIPT
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Trauma alkali adalah trauma yang disebabkan oleh bahan kimia berupa cairan,
gas, atau zat padat yang mempunyai tingkat keasaman(pH) lebih tinggi dari 7,0 dan
menyebabkan proses penyabunan. Trauma kimia alkali termasuk dalam kegawatan mata.
Di Jerman, 10% dari 52.142 kasus trauma mata yang dilaporkan adalah trauma kimia.
Trauma kimia basa akan mengakibatkan kerusakan yang lebih parah apabila
dibandingkan dengan trauma basa.(Ralph, 1994)
Zat alkali dpat berubah menjadi ion hidroksil dan kation di permukaan okuli. Ion
hidroksil ini menimbulkan reaksi saponifikasi asam lemak membrane sel yang dapat
mengakibatkan kematian sel; sedangkan kation berinteraksi dengan kolagen stoma dan
glikosaminoglikan. Interaksi yang terjadi akan penetrasi ke kornea dan hidrolisis luas ke
dalam segmen anterior mata. Keadaan inilah yang mengakibatkan kerusakan pada mata
dengan trauma basa menjadi lebih parah. Banyak penelitian mengenai penatalaksanaan
trauma kimia basa seperti: penghambat enzim, obat anti inflamasi, antikoagulan, barrier
mekanik, antiokasidan, imunosupresan dan berbagai bahan untuk mempercepat
penyembuhan luka, akan tetapi bahan-bahan tersebut masih belum dipergunakan secara
luas.(Pfoister, 2005)
Sodium hyaluronat adalah material viskoelastis yang tidak memicu reaksi
inflamasi. Material ini disintesa di membrane sel dan dilaporkan mempengaruhi
perlindungan sel, migrasi sel, mengontrol pertumbuhan, berpengaruh pada diferensiasi sel
dan pembentukan jaringan. Materi ini terdapat pada jaringan ikat dan berperan penting
sebagai unsur penyusun matrik ekstraseluler. Sodium hyaluronat telah banyak digunakan
sebagai terapi dry eye syndrome. Pada penelitian Tokoyasu et al sebelumnya, sodium
hyaluronat 1% telah diteliti sebagai bahan standar terapi pada model trauma alkali dan
dilaporkan mempunyai efek yang menguntungkan dalam penyembuhan luka epitel
kornea akibat trauma alkali. Mekanisme pemberian topical sodium hyaluronat dalam
mempengaruhi penyembuhan luka akibat trauma alkali belum dapat dijelaskan.(Taylor,
2006)
Epidermal growth factor (EGF) merupakan salah satu factor yang berpengaruh
terhadap terjadinya interaksi seluler dalam proses epitelisasi luka. Penggunaan topical
human EGF (h-EGF) telah terbukti meningkatkan reepitelisasi kornea setelah terjadi
luka. EGF didapatkan pada berbagai jaringan dan identifikasinya dapat dilakukan melalui
pengenalan reseptor EGF (EGFR atau erbB) yang terdapat pada permukaan sel.(Liu et al,
2001)
Pada penelitian ini, efek dari sodium hyaluronat 1% pada penyembuhan luka
kornea akibat trauma alkali pada epitel dan stroma dievaluasi secara kuantitatif.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian sodium hyaluronat 1%
topical pada ekspresi EGFR melalui metode pemeriksaan imunohistokimia selama proses
penyembuhankornea akibat trauma alkali.
1.2 Rumusan Masalah
Dengan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai
berikut: Bagaimana pengaruh pemberian topical sodium hyaluronat 1% terhadap ekspresi
EGFR pada kornea kelinci yang dilakukan defek dengan bahan alkali.
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui efek pemberian topical sodium hyaluronat 1% terhadap
ekspresi EGFR pada kornea kelinci yang dilakukan defek dengan bahan alkali.
1.4 Manfaat
1. Sodium hyaluronat 1% dapat diberikan sebagai terapi tambahan pada pasien dengan
trauma alkali.
2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai acuan dalam penelitian berikutnya tentang
pemberian sodium hyaluronat1% pada pasien dengan trauma alkali.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Trauma Kimia Alkali
Trauma kimia alkali akan mengakibatkan kerusakan berat seluruh segmen
anterior mata, karena trauma alkali akan mengakibatkan kerusakan komponen seluler,
denaturasi dan degradasi jaringan kolagen, serta pelepasan mediator inflamasi oleh sel-sel
terhidrolisis. Semakin tinggi pH bahan alkali, kerusakan yang terjadi akan semakin berat.
Hasil terbaik yang diharapkan setelah trauma alkali yang berat adalah kornea dengan
jaringan parut dan vaskularisasi tanpa disertai ulserasi dan glaucoma.
2.1.1 Epidemiologi
Berdasarkan data CDC tahun 2000 sekitar 1 juta orang di Amerika Serikat
mengalami gangguan penglihatan akibat trauma. 75% dari kelompok tersebut buta pada
satu mata, dan sekitar 50.000 menderita cedera serius yang mengancam penglihatan
setiap tahunnya. Setiap hari lebih dari 2000 pekerja di amerika Serikat menerima
pengobatan medis karena trauma mata pada saat bekerja. Lebih dari 800.000 kasus
trauma mata yang berhubungan dengan pekerjaan terjadi setiap tahunnya.
Dibandingkan dengan wanita, laki-laki memiliki rasio terkena trauma mata 4 kali
lebih besar. Dari data WHO tahun 1998 trauma okular berakibat kebutaan unilateral
sebanyak 19 juta orang, 2,3 juta mengalami penurunan visus bilateral, dan 1,6 juta
mengalami kebutaan bilateral akibat cedera mata. Sebagian besar (84%) merupakan
trauma kimia. Rasio frekuensi bervariasi trauma asam:basa antara 1:1 sampai 1:4. Secara
international, 80% dari trauma kimiawi dikarenakan oleh pajanan karena pekerjaan.
Menurut United States Eye Injury Registry (USEIR), frekuensi di Amerika Serikat
mencapai 16 % dan meningkat di lokasi kerja dibandingkan dengan di rumah. Lebih
banyak pada laki-laki (93 %) dengan umur rata-rata 31 tahun.
Penyebab trauma alkali adalah ammonia (NH3), potassium hidroksida (KOH),
sodium hidroksida (NaOH), magnesium hidroksida (Mg(OH2)), dan kaour (Ca(OH)2).
Wagoner et al melaporkan resiko terjadinya trauma alkali meningkat pada masyarakat
dengan pendapatan per kapita yang rendah, tinggal di daerah dengan kepadatan tinggi
dan memiliki riwayat alkoholik. Di daerah industry, 10% dari 52.142 kasus trauma mata
yang dilaporkan merupakan trauma kimia (1,6% asam dan 0,6% basa). Program
keselamatan kerja dengan memberlakukan ketentuan pada pekerja di lingkungan kerja
yang beresiko tinggi mengalami trauma alkali untuk mengenakan pakaian khusus dan
kacamat pelindung telah menurunkan angka kejadian trauma alkali di Negara industri.
Di unit Mata Craydon, United Kingdom dilaporkan terjadi lebih kurang 221
trauma alkali pada 180 penderita, setengahnya disebabkan oleh alkali dan terjadi pada
lelaki (75,6%) usia 16 hingga 25 tahun. Trauma alkali akibat kecelakaan terjadi pada
89,4% penderita, diantaranya adalah kecelakaan kerja (63%), kecelakaan di rumah (33%)
dan kecelakaan di sekolah (3%).
2.1.2 Patofisiologi
Trauma basa biasanya lebih berat daripada trauma asam, karena bahan-bahan basa
memiliki dua sifat yaitu hidrofilik dan lipolifik dimana dapat secara cepat untuk penetrasi
sel membran dan masuk ke bilik mata depan, bahkan sampai retina. Trauma basa akan
memberikan iritasi ringan pada mata apabila dilihat dari luar. Namun, apabila dilihat pada
bagian dalam mata, trauma basa ini mengakibatkan suatu kegawatdaruratan. Basa akan
menembus kornea, kamera okuli anterior sampai retina dengan cepat, sehingga berakhir
dengan kebutaan. Pada trauma basa akan terjadi penghancuran jaringan kolagen kornea.
Bahan kimia basa bersifat koagulasi sel dan terjadi proses safonifikasi, disertai dengan
dehidrasi.
Bahan alkali atau basa akan mengakibatkan pecah atau rusaknya sel jaringan.
Pada pH yang tinggi alkali akan mengakibatkan safonifikasi disertai dengan disosiasi
asam lemak membrane sel. Akibat safonifikasi membran sel akan mempermudah
penetrasi lebih lanjut zat alkali. Mukopolisakarida jaringan oleh basa akan menghilang
dan terjadi penggumpalan sel kornea atau keratosis. Serat kolagen kornea akan bengkak
dan stroma kornea akan mati. Akibat edema kornea akan terdapat serbukan sel
polimorfonuklear ke dalam stroma kornea. Serbukan sel ini cenderung disertai dengan
pembentukan pembuluh darah baru atau neovaskularisasi. Akibat membran sel basal
epitel kornea rusak akan memudahkan sel epitel diatasnya lepas. Sel epitel yang baru
terbentuk akan berhubungan langsung dengan stroma dibawahnya melalui plasminogen
aktivator. Bersamaan dengan dilepaskan plasminogen aktivator dilepas juga kolagenase
yang akan merusak kolagen kornea.
Selain itu gangguan penyembuhan epitel yang berkelanjutan dengan ulkus kornea
dan dapat terjadi perforasi kornea. Kolagenase ini mulai dibentuk 9 jam sesudah trauma
dan puncaknya terdapat pada hari ke 12-21. Biasanya ulkus pada kornea mulai terbentuk
2 minggu setelah trauma kimia. Pembentukan ulkus berhenti hanya bila terjadi epitelisasi
lengkap atau vaskularisasi telah menutup dataran depan kornea. Bila alkali sudah masuk
ke dalam bilik mata depan maka akan terjadi gangguan fungsi badan siliar. Cairan mata
susunannya akan berubah, yaitu terdapat kadar glukosa dan askorbat yang berkurang.
Kedua unsur ini memegang peranan penting dalam pembentukan jaringan kornea.
Bahan kimia bersifat basa contohnya NaOH, CaOH, amoniak, Freon/bahan
pendingin lemari es, sabun, shampo, kapur gamping, semen, tiner, lem, cairan pembersih
dalam rumah tangga, soda kuat.
Proses perjalanan penyakit pada trauma kimia ditandai oleh 2 fase, yaitu fase
kerusakan yang timbul setelah terpapar bahan kimia serta fase penyembuhan:
Kerusakan yang terjadi pada trauma kimia yang berat dapat diikuti oleh hal-hal sebagai
berikut:
Terjadi nekrosis pada epitel kornea dan konjungtiva disertai gangguan dan oklusi
pembuluh darah pada limbus.
Hilangnya stem cell limbus dapat berdampak pada vaskularisasi dan
konjungtivalisasi permukaan kornea atau menyebabkan kerusakan persisten pada
epitel kornea dengan perforasi dan ulkus kornea bersih.
Penetrasi yang dalam dari suatu zat kimia dapat menyebabkan kerusakan dan
presipitasi glikosaminoglikan dan opasifikasi kornea.
Penetrasi zat kimia sampai ke kamera okuli anterior dapat menyebabkan
kerusakan iris dan lensa.
Kerusakan epitel siliar dapat mengganggu sekresi askorbat yang dibutuhkan untuk
memproduksi kolagen dan memperbaiki kornea.
Hipotoni dan phthisis bulbi sangat mungkin terjadi.
Penyembuhan epitel kornea dan stroma diikuti oleh proses-proses berikut:
Terjadi penyembuhan jaringan epitelium berupa migrasi atau pergeseran dari sel-
sel epitelial yang berasal dari stem cell limbus
Kerusakan kolagen stroma akan difagositosis oleh keratosit terjadi sintesis
kolagen yang baru.
Patofisiologi trauma basa yang merusak mata :
Bahan kimia alkali
↓
Pecah atau rusaknya sel jaringan dan Persabunan disertai disosiasi asam lemak membran
sel → penetrasi lebih lanjut
↓
Mukopolisakarida jaringan menghilang & terjadi penggumpalan sel kornea
↓
Serat kolagen kornea akan membengkak & kornea akan mati
↓
Edema → terdapat serbukan sel polimorfonuklear ke dalam stroma, cenderung disertai
masuknya pemb.darah (Neovaskularisasi)
↓
Dilepaskan plasminogen aktivator & kolagenase (merusak kolagen kornea)
↓
Terjadi gangguan penyembuhan epitel
↓
Berkelanjutan menjadi ulkus kornea atau perforasi ke lapisan yang lebih dalam
2.1.3 Manifestasi Klinis
Trauma basa biasanya lebih berat daripada trauma asam, karena bahan-bahan basa
memiliki dua sifat yaitu hidrofilik dan lipolifik dimana dapat secara cepat untuk penetrasi
sel membran dan masuk ke bilik mata depan, bahkan sampai retina. Trauma basa akan
memberikan iritasi ringan pada mata apabila dilihat dari luar. Namun, apabila dilihat pada
bagian dalam mata, trauma basa ini mengakibatkan suatu kegawatdaruratan. Basa akan
menembus kornea, kamera okuli anterior sampai retina dengan cepat, sehingga berakhir
dengan kebutaan. Pada trauma basa akan terjadi penghancuran jaringan kolagen kornea.
Bahan kimia basa bersifat koagulasi sel dan terjadi proses safonifikasi, disertai dengan
dehidrasi.
Bahan alkali atau basa akan mengakibatkan pecah atau rusaknya sel jaringan.
Pada pH yang tinggi alkali akan mengakibatkan safonifikasi disertai dengan disosiasi
asam lemak membrane sel. Akibat safonifikasi membran sel akan mempermudah
penetrasi lebih lanjut zat alkali. Mukopolisakarida jaringan oleh basa akan menghilang
dan terjadi penggumpalan sel kornea atau keratosis. Serat kolagen kornea akan bengkak
dan stroma kornea akan mati. Akibat edema kornea akan terdapat serbukan sel
polimorfonuklear ke dalam stroma kornea. Serbukan sel ini cenderung disertai dengan
pembentukan pembuluh darah baru atau neovaskularisasi.
Akibat membran sel basal epitel kornea rusak akan memudahkan sel epitel
diatasnya lepas. Sel epitel yang baru terbentuk akan berhubungan langsung dengan
stroma dibawahnya melalui plasminogen aktivator. Bersamaan dengan dilepaskan
plasminogen aktivator dilepas juga kolagenase yang akan merusak kolagen kornea.
Akibatnya akan terjadi gangguan penyembuhan epitel yang berkelanjutan dengan ulkus
kornea dan dapat terjadi perforasi kornea. Kolagenase ini mulai dibentuk 9 jam sesudah
trauma dan puncaknya terdapat pada hari ke 12-21. Biasanya ulkus pada kornea mulai
terbentuk 2 minggu setelah trauma kimia.
Pembentukan ulkus berhenti hanya bila terjadi epitelisasi lengkap atau
vaskularisasi telah menutup dataran depan kornea. Bila alkali sudah masuk ke dalam bilik
mata depan maka akan terjadi gangguan fungsi badan siliar. Cairan mata susunannya
akan berubah, yaitu terdapat kadar glukosa dan askorbat yang berkurang. Kedua unsur ini
memegang peranan penting dalam pembentukan jaringan kornea.
Trauma kimia alkali berat melibatkan palpebral, dahi, dagu, dan hidung dimana
kerusakan jaringan yang terjadi mirip dengan trauma termal tingkat II dan III. Terjadi
pengkerutan ekimosis dan pembuluh darah perilimbal. Kornea menebal dan keruh,
sedangkan bilik mata depan mengalami reaksi radang seperti iridosiklitis. Tekanan
intraokuli meningkat disertai pendarahan-penderahan kecil dari pembuluh darah yang
mengalami thrombosis pada daerah iskemia episklera dan kornea perifer. Smith dan
Conway menunjukkan adanya retinopati nekrotik lokal yang berhubungan dengan daerah
kerusakan sclera, mereka menduga adanya penetrasi langsung ion-ion hidroksil melalui
sclera dan mengakibatkan kerusakan retina.
2.1.4 Klasifikasi
Gradasi dan prognosis trauma kimia ditentukan berdasarkan kerusakan kornea
dan iskemia limbus. Iskemia limbus merupakan faktor klinis yang sangat penting karena
menunjukkan level kerusakan pada pembuluh darah di limbus dan mengindikasikan
kemampuan stem sel kornea (yang terdapat di limbus) untuk regenerasi kornea yang
rusak. Oleh karena itu, pada trauma kimia mata putih lebih berbahaya dibanding mata
merah.
Ada 2 jenis klasifikasi derajat trauma kimia yang sering digunakan pada praktek sehari-
hari.
Derajat beratnya trauma kimia (menurut Roper-Hall) dibagi atas :
Grade I : kornea jernih, tidak terdapat iskemia limbus (prognosis sangat baik)
Grade II : kornea hazy tetapi detail iris masih tampak, dengan iskemia limbus <
sepertiga (prognosis baik)
Grade III :detail iris tidak terlihat, iskemia limbus antara sepertiga sampai
setengah
Grade IV : kornea opak, dengan iskemia limbus lebih dari setengah (prognosis
sangat buruk)
Gradasi klinis berdasarkan kerusakan stem sel limbus (menurut kriteria Hughes), yang
digunakan di departemen mata RSCM yaitu :
I. Iskemia limbus yang minimal atau tidak ada
II. Iskemia kurang dari 2 kuadran limbus
III. Iskemia lebih dari 3 kuadran limbus
IV. Iskemia pada seluruh limbus, seluruh permukaan epitel konjungtiva dan bilik
mata depan
Selain pembagian tersebut diatas, khusus untuk trauma basa dapat diklasifikasikan
menurut Thoft menjadi :
Derajat 1 : hiperemi konjungtiva disertai dengan keratitis pungtata
Derajat 2 : hiperemi konjungtiva disertai dengan hilangnya epitel kornea
Derajat 3 : hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan lepasnya epitel
kornea
Derajat 4 :konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50%.
2.1.5 Tatalaksana
Trauma kimia merupakan trauma mata yang membutuhkan tatalaksana sesegera
mungkin. Tujuan utama dari terapi adalah menekan inflamasi, nyeri, dan risiko
inflamasi.6 Tatalaksana emergensi yang diberikan yaitu: 10
1. Irigasi mata, sebaiknya menggunakan larutan Salin atau Ringer laktat selama
minimal 30 menit. Jika hanya tersedia air non steril, maka air tersebut dapat
digunakan. Larutan asam tidak boleh digunakan untuk menetralisasi trauma basa.
Spekulum kelopak mata dan anestetik topikal dapat digunakan sebelum
dilakukan irigasi. Tarik kelopak mata bawah dan eversi kelopak mata atas untuk
dapat mengirigasi fornices.
2. Lima sampai sepuluh menit setelah irigasi dihentikan, ukurlah pH dengan
menggunakan kertas lakmus. Irigasi diteruskan hingga mencapai pH netral
(pH=7.0)
3. Jika pH masih tetap tinggi, konjungtiva fornices diswab dengan menggunakan
moistened cotton-tipped applicator atau glass rod. Penggunaan Desmarres eyelid
retractor dapat membantu dalam pembersihan partikel dari fornix dalam.
Selanjutnya, tatalaksana untuk trauma kimia derajat ringan hingga sedang meliputi: 10
1. Fornices diswab dengan menggunakan moistened cotton-tipped applicator atau
glass rod untuk membersihkan partikel, konjungtiva dan kornea yang nekrosis
yang mungkin masih mengandung bahan kimia. Partikel kalsium hidroksida lebih
mudah dibersihkan dengan menambahkan EDTA.
2. Siklopegik (Scopolamin 0,25%; Atropin 1%) dapat diberikan untuk mencegah
spasme silier dan memiliki efek menstabilisasi permeabilitas pembuluh darah dan
mengurangi inflamasi.
3. Antibiotik topikal spektrum luas sebagai profilaksis untuk infeksi. (tobramisin,
gentamisin, ciprofloxacin, norfloxacin, basitrasin, eritromisin)
4. Analgesik oral, seperti acetaminofen dapat diberikan untuk mengatasi nyeri.
5. Jika terjadi peningkatan tekanan intraokular > 30 mmHg dapat diberikan
Acetazolamid (4x250 mg atau 2x500 mg ,oral), beta blocker (Timolol 0,5% atau
Levobunolol 0,5%).
6. Dapat diberikan air mata artifisial (jika tidak dilakukan pressure patch).
Tatalaksana untuk trauma kimia derajat berat setelah dilakukan irigasi, meliputi: 10
1. Rujuk ke rumah sakit untuk dilakukan monitor secara intensif mengenai tekanan
intraokular dan penyembuhan kornea.
2. Debridement jaringan nekrotik yang mengandung bahan asing
3. Siklopegik (Scopolamin 0,25%; Atropin 1%) diberikan 3-4 kali sehari.
4. Antibiotik topikal (Trimetoprim/polymixin-Polytrim 4 kali sehari; eritromisin 2-
4 kali sehari)
5. Steroid topikal ( Prednisolon acetate 1%; dexametasone 0,1% 4-9 kali per hari).
Steroid dapat mengurangi inflamasi dan infiltrasi netrofil yang menghambat
reepitelisasi. Hanya boleh digunakan selama 7-10 hari pertama karena jika lebih
lama dapat menghambat sintesis kolagen dan migrasi fibroblas sehingga proses
penyembuhan terhambat, selain itu juga meningkatkan risiko untuk terjadinya
lisis kornea (keratolisis). Dapat diganti dengan non-steroid anti inflammatory
agent.
6. Medikasi antiglaukoma jika terjadi peningkatan tekanan intraokular.
Peningkatan TIO bisa terjadi sebagai komplikasi lanjut akibat blokade jaringan
trabekulum oleh debris inflamasi.
7. Diberikan pressure patch di setelah diberikan tetes atau salep mata.
8. Dapat diberikan air mata artifisial.
Selain pengobatan tersebut diatas, pemberian obat-obatan lain juga bermanfaat dalam
menurunkan proses inflamasi, meningkatkan regenerasi epitel dan mencegah ulserasi
kornea. Obat tambahan yang biasa diberikan:3
Asam askorbat : berfungsi untuk meningkatkan produksi kolagen, diberikan
secara topikal dan sistemik. Beberapa riset menunjukkan pemberian topikal asam
askorbat 10% terbukti dapat menekan perforasi kornea. Akan tetapi, tatalaksana
ini baru digunakan pada tahap eksperimental (asam askorbat topikal 10% , setiap
2 jam dan sistemik 4x 2 g per hari). 6
Asam sitrat : merupakan inhibitor kuat terhadap aktivitas neutrofil. Pemberian
topikal 10% setiap 2 jam selama 10 hari.
Tetrasiklin : membantu menghambat proses kolagenase, menghambat neutrofil
dan mengurangi ulserasi. Biasanya pemberian secara topikal dan sistemik
(doksisiklin 2 x 100 mg)3
Untuk tatalaksana trauma oleh asam hidrofluorat, medikasi yang optimum masih
belum dilakukan. Beberapa studi menggunakan 1% calcium gluconate sebagai
media irigasi atau untuk tetes mata. Bahan – bahan mengandung Magnesium juga
digunakan pada kasus ini. Sayangnya, masih sedikit penelitian yang mendukung
efektifitas terapi – terapi tersebut. Irigasi mengunakan magnesium klorida terbukti
tidak bersifat toksik terhadap mata. Efek positif dari terapi ini dilaporkan masih
dapat ditemukan walaupun pada pemberian 24 jam setelah cedera, dimana
medikasi lainnya sudah tidak berguna. Beberapa penulis merekomendasikan
penggunaan sebagai tetes mata setiap 2 – 3 jam atas pertimbangan irigasi dapat
mengiritasi mata dan menimbulkan ulserasi kornea.6
Injeksi subkonjungtival kalsium glukonat dan kalsium klorida tidak
direkomendasikan karena terbukti tidak bermanfaat dalam terapi.6
Terapi bedah dini penting untuk revaskularisasi limbus, restorasi populasi sel
limbus dan membentuk fornises. Sedangkan terapi bedah lanjutan meliputi graft
konjungtiva atau membran mukosa, koreksi deformitas kelopak mata,
keratoplasti, serta keratoprostheses.3
Tatalaksana berdasarkan prosedur standar di bagian IP mata RSCM berdasarkan gradasi,
dan lamanya trauma kimia tersebut.
Berdasarkan fase lamanya trauma kimia, dibagi menjadi :
I. Fase kejadian ( immediate )
Tujuan : menghilangkan materi penyebab sebersih mungkin
Tindakan :
Irigasi Bahan Kimia
o Pembilasan dilakukan segera, bila mungkin berikan anastesi topikal terlebih
dahulu. Pembilasan dengan larutan non-toxic (NaCl 0.9%, Ringer Lactat dsb),
sampai pH air mata kembali normal (dinilai dengan kertas Lakmus).
Pembilasan dilakukan segera, bila mungkin berikan anastesi terlebih dahulu.
Pembilasan dengan larutan non-tosis (NaCl 0.9%, RL dsb), sampai pH air
mata kembali normal (dinilai dengan kertas Lakmus). Pembilasan dilakukan
selama mungkin dan paling sedikit 15-30 menit (60 mnt untuk trauma basa).
Untuk bahan asam dipergunakan larutan natrium bikarbonat 3%, sedangkan
untuk basa digunakan larutan asam borat, asam asetat 0,5% atau buffer asam
asetat pH 4,5% untuk menetralisir. Pendapat lain menganjurkan untuk
memakai cairan yang netral.
o Benda asing yang melekat dan jaringan bola mata yang nekrosis harus
dibuang (pada anak-anak, jika perlu dalam narkose).
o Bila diduga telah terjadi penetrasi bahan kimia kedalam bilik mata depan
(BMD), dilakukan irigasi BMD dengan larutan RL.
Diagnosa berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, oftalmologis dan penentuan
gradasi klinis.
Penderita dirawat bila sesuai indikasi
II. Fase Akut (sampai hari ke 7)
Tujuan : Mencegah terjadinya penyulit
Prinsip :
Mempercepat proses re-epitelisasi kornea
Mengontrol tingkat peradangan
o Mencegah infiltrasi sel-sel radang
o Mencegah pembentukan enzim kolagenase
Mencegah infeksi sekunder
Mencegah peningkatan tekanan bola mata
Suplement / anti oksidan
Tindakan pembedahan
Penatalaksanaan
Tdkn Gradasi I Gradasi II Gradasi III Gradasi IV
A - Bandage lens Bandage lens
Autoserum tetes 6x
Bandage lens
Autoserum tetes jam
B (AB+)
steroid
tetes 4-6x
EDTA 1%
tetes 4-6x
Kortikosteroid
tetes 6x
Na-EDTA 1%
tetes 6x
Dexamethason/
Prednison tetes/jam
Na-EDTA tetes/
jam
Autoserum tetes 6x
Dexamethason/
Prednison tetes/30
menit
Na-EDTA tetes/ 30
menit
Autoserum tetes/jam
C Antibiotik
(+ steroid)
4-6x
Tetrasiklin salep
4x
Doksisiklin
2x100mg
Tetrasiklin salep 4x
Doksisiklin
2x100mg
Tetrasiklin salep 4x
Doksisiklin
2x100mg
D - Timolol 0,5%
tetes 2x
Timolol 0,5% tetes
2x
Asetazolamid
2x500mg +
substitusi ion
Kalium
Timolol 0,5% tetes
2x
Asetazolamid
2x500mg + substitusi
ion Kalium
E SA 1% 3x
Vit.C4x500
mg
SA 1% 3x
Vit.C 4x500 mg
SA 1% 3x
Vit.C 4x500 mg
SA 1% 3x
Vit.C 4x500 mg
F Nekrotomi + graf
konjungtiva-limbus
Nekrotomi + graf
konjungtiva-limbus
III. Fase Pemulihan Dini ( early repair : hari ke 7 – 21)
Tujuan : Membatasi tingkat penyulit
Masalah:
Hambatan re-epitelisasi kornea
Gangguan fungsi kelopak mata
Hilangnya sel Goblet
Ulserasi stroma perforasi kornea
Prinsip : sesuai dengan Phase II
Penatalaksanaan
Tdkn Gradasi I Gradasi II Gradasi III Gradasi IV
A Re-
epitelisasi
sempurna
(+)
Rerepitelisasi (+)
Bandage lens
terus
Bandage lens
Autoserum tetes 6x
Bandage lens
Autoserum tetes jam
B (AB+)
steroid tetes
tapp off
Kortikosteroid
tetes tapp off
Na-EDTA 1%
tetes tapp off
Dexamethason/
Prednison tetes tapp
off/ ganti dengan :
NSAID
(Indomethasin/Diklof
enac)tetes 6x/jam
Na-EDTA tetes/ jam
Autoserum tetes 6x
Dexamethason/
Prednison ganti :
NSAID tetes/ jam
Na-EDTA tetes/ 30
menit
Autoserum tetes/jam
C Antibiotik
(+ steroid)
tapp
Tetrasiklin salep
4x
Doksisiklin
2x100mg
Tetrasiklin salep 4x
Doksisiklin 2x100mg
Tetrasiklin salep 4x
Doksisiklin
2x100mg
D - Peningkatan TIO
(-)
Timolol stop
Peningkatan TIO (-):
Timolol,Asetazolami
d substitusi ion
Kalium stop
Timolol 0,5% tetes
2x
Asetazolamid +
subst ion Kalium
terus
E Uveitis : SA Uveitis : SA stop SA 1% 3x SA 1% 3x
stop Vit.C 4x500 mg Vit.C 4x2000 mg
Retinoic acid salep 2x
Vit.C 4x2000 mg
Vit A dan E
F Jaringan nekrotik :
eksisi
Ulserasi stroma : graf
Jaringan nekrotik :
eksisi
Ulserasi stroma :
graf
IV. Phase Pemulihan Akhir ( late repair : setelah hari ke 21)
Tujuan : Rehabilitasi fungsi penglihatan
Masalah :
Disfungsi sel Goblet
Hambatan re-epitelisasi Kornea
Ulserasi stroma (gradasi III dan IV)
Prinsip :
Mempercepat proses re-epitelisasi kornea, atau optimalisasi fungsi epitel
permukaan
Dan seterusnya sesuai dengan phase II
Penatalaksanaan
Tdkn Gradasi
I
Gradasi II Gradasi III Gradasi IV
A Solcoser
y 3x
Epiteliopati
():
Solcosery 4x
Epiteliopati ():
Solcosery 4x
Retinoic acid 1% 1x
malam
Reepitelisasi () :
Bandage lens diteruskan
B - NSAID tetes
4x
NSAID tetes 4x
Medrox-progestron
1% 4x
NSAID 4-6x
Medroxy-progesteron 4-6x
Na-EDTA 4-6x
Autoserum 4-6x
C - - - Tetrasiklin salep 4x
Doksisiklin 2x100mg
D - - - Peningkatan TIO (-) :
Timolol 0,5% tapp off
Asetazolamid + substitusi
ion Kalium stop
E - - - Uveitis (-) : SA stop
Vit.C 4x2000 mg, vit A
dan E
F - - - Jaringan nekrotik : eksisi
Ulserasi stroma : graf
2.2 Peranan Epidermal Growth Factor (EGF) dalam Epitelisasi Kornea
Berbagai jenis growth factor telah diidentifikasi di kelenjar lakrimalis, diantara
keluarga growth factor tersebut yang paling banyak diteliti adalah Epidermal Growth
Factor (EGF). Epidermal Growth Factor (EGF) merupakan sebuah polipeptida kecil
dengan masa molekul 6.045 Da yang diisolasi dari kelenjar submandibula tikus jantan
oleh Cohen pada tahun 1062. EGF tikus (mEGF) pertama kali diketahui sebagai sebuah
polipetida terdiri dari 53 asam amino yang mampu merangsang pengambilan prekursor
protein in vitro, sintesa DANN dan RNA oleh sel ektodermal, merangsang pertumbuhan
sel epidermal pada kultur organ serta dapat meningkatkan pertumbuhan keratinisasi in
vivo. Cohen, Carpenter, Elliot menunjukkan bahwa EGF dapat merangsang proliferasi
dan diferensiasi epidermis pada jaringan epitelial maupun nonepitelial.
Elliot pada tahun1980 pertama kali menunjukkan peningkatan kecepatan migrasi
sel pada luka korne, setelah pemberian EGF topikal. Savage et al juga menunjukkan efek
perangsangan mEGF pada proliferasi epitel kornea. Beberapa tahun berikutnya Singh dan
Foster melaporkan pada mata kelinci dengan trauma kimia atau luka kerokan, pemberian
EGF topikal terbukti efektif untuk penyembuhan luka kornea. Semua kornea dengan
trauma alkali yang diberi perlakuan EGF sembuh setelah 72 jam. Frati et al menunjukkan
pemberian mEGF 2mg/ml pada kelinci dapat mempercepat penyembuhan epitel luka
kerokan kornea non perforan dari 30% subyek penelitian. Ho et al menyatakan bahwa
dosis pemberian mEGF 0,05-2 mg/ml empat kali sehari akan mempercepat penyembuhan
epitel kornea kelinci yang mengalami trauma alkali. Dosis pemberian 2 mg/ml mEGF
tiap 4 jam pada manusia dapat mempercepat penyembuhan luka berbagai penyakit non
distrofi pada epitel kornea termasuk kehilangan epitel karena trauma. Efek mEGF ini
akan menurun sejalan dengan peningkatan kerusakan stroma. Leibowitz et al
menunjukkan adanya peningkatan tensile strength pada luka kornea full thickness setelah
pemberian mEGF topikal.
-------------
2.3 Peranan Sodium Hyaluronat pada Eitelisasi Kornea
Sodium hyaluronat dihasilkan oleh enzim hyaluronan sintase berupa
glikosaminoglikan penyusun matrik ekstraseluler yang terdapat pada hampir semua
jaringan. Sodium hyaluronat terdiri dari disakarida berulang D-glucoronic acid dan N-
acetyl-glucosamin. Sodium hyaluronat merupakan komponen penting untuk menjaga
stabilitas dan membentuk struktur matriks ekstraseluler serta berperan penting dalam
berbagai proses biologis seperti embriogenesis, perbaikan luka, dan pertumbuhan tumor.
Sodium hyaluronat meningkat konsentrasinya pada jaringan yang mengalami
pembaharuanseperti pada saat morfogenesis.
Sodium hyaluronate memiliki daya tahan tinggi karena properti psiko
kimiawinya, yakni memiliki daya retensi air yang tinggi. Beberapa studi menunjukkan
karena aksi farmakodinamiknya, sodium hyaluronate memicu pertumbuhan sel epitel
kornea dan menyembuhkan luka di kornea. Fibronektin dipercaya memegang peranan
penting dalam proses penyembuhan luka. Diasumsikan sodium hyaluronate mengikat
fibronektin yang muncul dalam kelainan di kornea ini dan mendorong adhesi fibronektin
ke sel epitel kornea. Kombinasi air mata buatan dengan sodium hyaluronate dianggap
terapi yang lebih baik dibandingkan terapi dengan air mata buatan saja.
Tadahiro Murakami dan Masatsugu Nakamura dari Research and Development
Center, Santen Pharmaceuticals melakukan studi untuk menguji efek kombinasi air mata
buatan yang mengandung sodium hyaluronate terhadap fluorescein staining score pada
binatang percobaan. Dalam studi ini, air mata buatan atau dikombinasikan dengan
sodium hyaluronate diteteskan 6 kali sehari selama 3 minggu pada model mata tikus.
Berdasarkan hasil penelitian ini, peneliti meyakini bahwa tetes mata sodium hyaluronate
efektif untuk mengobati mata kering karena secara farmakologi akan memicu
penyembuhan luka epitel kornea dan memiliki daya retensi tinggi karena sifat
viskositasnya. Studi ini juga menunjukkan bahwa kombinasi sodium hyaluronate dengan
air mata buatan bisa meningkatkan potensi fisik dengan menyuplai air ke epitel kornea
sebagai tambahan fitur fisiologi, sehingga membuat kerusakan bisa diperbaiki
dibandingkan terapi tunggal dengan air mata buatan biasa.
top related