warta buruh migran nomor xi edisi januari 2012
Post on 28-Mar-2016
240 Views
Preview:
DESCRIPTION
TRANSCRIPT
Halaman 1 | Warta Buruh Migran | Januari 2012
Warta Buruh Migran| Edisi XI | Januari 2012
Klik www.buruhmigran.or.id
Keterbatasan informasi bagi Buruh Migran Indonesia (BMI) menjadi salah satu akar carut-marutnya layanan dan perlindungan BMI. BMI, calon, mantan, dan keluarga pada dasarnya memiliki hak penuh atas informasi.
Mereka berhak mengetahui apa saja rincian dari biaya yang mereka keluarkan untuk mengurus kerja ke luar negeri?, bagaimana cara mengurus klaim asuransi?, apa saja layanan yang disediakan perwakilan Pemerintah Indonesia di luar negeri?, serta pelbagai kebutuhan informasi yang berhak mereka tanyakan pada lembaga pemerintah dan PPTKIS.
Keberadaan Undang-undang (UU) Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) cukup memberi harapan bagi upaya perbaikan layanan BMI. Sayang, masih jarang BMI, organisasi serikat, paguyuban, dan organisasi masyarakat sipil di isu perlindungan buruh migran yang sudah mempergunakan secara maksimal UU tersebut. Pada edisi ini redaksi akan membahas beberapa hal tentang keterbukaan informasi publik bagi buruh migran. Semoga menjadi wacana dan bahan diskusi bagi kelompok buruh migran di Indonesia
Seluruh tulisan dan foto dalam buletin ini dilisensikan dalam bendera Creative Common
(CC). Siapapun bisa mengutip, menyalin, dan menyebarluaskan sebagian atau
keseluruhan tulisan dengan menyebutkan sumber tulisan dan jenis lisensi yang sama,
kecuali untuk kepentingan komersil.
Salam Redaksi Hong-kong
Penanggung JawabYossy Suparyo Muhammad Irsyadul Ibad Pimpinan Redaksi Fika MurdianaTim Redaksi Muhammad Khayat Fathulloh Sindy Nur FitriKontributorMuhammad Irsyadul IbadMuhammad Ali Usman Tata LetakWahyu Widayat NIlustratorIrvan Muhammad
Alamat Redaksi Jl.Veteran Gg.Janur Kuning No.11A Pandean Umbulharjo Yogyakarta, Telp/Fax:0274-372378 E-mail:redaksi@buruhmigran.or.id Twitter: @infoburuhmigranFacebook: buruh migranPortal: http://buruhmigran.or.id Penerbitan buletin ini atas dukungan:
Kamis(12/1) di depan gedung Konsulat Jenderal Republik
Indonesia (KJRI) Hong Kong Front Perjuangan Rakyat Cabang
Hong Kong (FPR-HK) kembali menggelar aksi solidaritas. Mereka
menyerukan dukungan terhadap perjuangan rakyat Indonesia
yang melawan perampasan tanah. Sekitar 32 orang yang
berkumpul di depan gedung meneriakan yel-yel “SBY-Budiono
boneka Amerika Rejim anti rakyat, SBY-Budiono Perampas tanah
rakyat”. Aksi kali ini bukan hanya serentak dilakukan di 27
provinsi di Indonesia, namun juga digelar di Hong Kong sejak
pukul 11.30 sampai 12.30 siang waktu Hong Kong.
Eni lestari, juru bicara FPR-HK menyatakan perampasan tanah tidak hanya terjadi di desa, dia menjelaskan rakyat miskin di kota banyak yang kehilangan rumah karena digusur atas nama pembersihan kota. Perampasan tanah juga dilakukan saat penyelenggaraan SEA GAME tahun lalu, sehingga banyak mereka terpaksa ke luar negeri menjadi BMI.
Sring Atin, salah satu peserta aksi menambahkan, solusi kemisikinan dan melonjaknya jumlah BMI yang berkasus hanya bisa di atasi apabila pemerintah segera mengembalikan tanah ke tangan rakyat dan menciptakan lapangan pekerjaan dengan upah yang layak. [ ]
Aksi BMI Hong Kong,Kritisi Konflik Agraria di Indonesia
Oleh: Ganika Diristiani
Tim Redaksi
(Dok.BMI Hong Kong)
Halaman 2 | Warta Buruh Migran | Januari 2012
Kondisi Johra sangat memprihatinkan akibat serangan stroke,
posisi kaki tertekuk tak bisa diluruskan, sementara seluruh
anggota badannya tak bisa digerakkan lagi. Tubuh Johra hanya
terbaring kaku hingga buang air kecil dan air besar
dilakukannya dari tempat tidur.
Sebelumnya, Johra adalah TKI legal, namun karena beberapa
hal Johra nekat kabur dari rumah majikannya dan menjadi
pekerja serabutan di Jeddah, Arab Saudi. Tahun 2011
kesehatan Johra mulai menurun, tekanan darah tinggi dan
penyakit gula mulaimnyerangnya. Hingga tahun 2012, Johra
terserang stroke.
Kabar duka yang menimpa Johra segera tersebar dengan
cepat dikalangan TKI Arab Saudi. Jamil Lee dan teman-teman
TKI di Arab Saudi berinisiatif menggalang dana peduli TKI
untuk membantu Johra. Karena kondisi kerja di Arab Saudi
yang tidak memberikan kebebasan dan aturan pasti tentang
jam kerja membuat proses penggalangan dana sedikit
terkendala.
Saat ini koordinasi beberapa TKI Jeddah banyak dilakukan
melalui internet dan jejaring media sosial. Kesempatan
memperoleh akses internet tidak disia-siakan oleh beberapa
TKI untuk berkoordinasi dan menggalang dana peduli.
Beberapa TKI Jeddah sepakat menggalang dana peduli untuk
Johra dari sesama TKI di Arab Saudi dalam bentuk uang tunai
dan voucer pulsa.
Sumbangan dalam bentuk voucer pulsa merupakan ide agar
TKI yang tidak bisa memberikan sumbangan secara langsung
juga bisa berpartisipasi. Hingga 26 Januari 2012 bantuan yang
digalang telah mencapai 1290 SAR atau sekitar Rp.3.144.400.
TKI Arab Saudi Galang Dana
untuk Johraoleh: Nafis Abdulrahman
Saudi Arabia
Kepedulian dari sesama TKI di Arab Saudi membuat
Munjinah, istri Johra merasa terharu. “Saya bersukur
sekali teman teman masih peduli dan mau membantu
kami, saat ini saya tidak tahu lagi harus berbuat apa,
karena saya hanya seorang wanita,” tutur Munjinah
sambil mengusap air mata. [ ]
02 | Sekilas Peristiwa
Johra bin Sueb merupakan salah satu Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) asal Kampung Begor Pasar, Kecamatan
Pontang, Provinsi Banten yang terkena stroke di Arab Saudi.
Lombok Utara Optimalkan
Pembinaan Terhadap Calon TKIOleh: Rasidi Bragi
LOMBOK UTARA - Antisipasi terhadap praktik
penipuan pengiriman tenaga kerja oleh
Pelaksana Penempatak Tenaga Kerja Indonesia
Swasta (PPTKIS) illegal penting dilakukan.
Dinas Kependudukan, Catatan Sipil, Sosial dan
Ketenagakerjaan (Dukcapilsosnaker) Kabupaten Lombok
Utara saat ini menguatkan pengawasan terhadap
keberadaan PPTKIS yang masuk di Lombok Utara. Hal
lain yang terus dilakukan Dukcapilsosnaker Lombok
Utara adalah pembinaan langsung kepada masyarakat.
Lombok Utara
Kondisi Johra (tengah), BMI Arab Saudi asal Banten yang
mengalami lumpuh akibat stroke ingin segera dipulangkan.
(Dok
.BM
I A
rab
Sau
di)
Halaman 3 | Warta Buruh Migran | Januari 2012
Kepala Dinas DukcapilSosnaker Kabupaten Lombok Utara,
Alwi mengatakan, dari 164 PPTKIS yang resmi di Provinsi
Nusa Tenggara Barat (NTB), hanya 10 PPTKIS yang terdaftar
dan mengantongi ijin operasi, termasuk mereka yang
memiliki kantor cabang di Lombok Utara. Beberapa PPTKIS
yang lain tidak terdaftar dan diperkirakan masih banyak
PPTKIS illegal yang bereaktivitas di Lombok Utara.
Hal tersebut semakin didukung dengan kecenderungan
masyarakat (calon TKI) yang lebih memilih menggunakan
jalur tidak resmi yang memang praktis.
Alwi menegaskan banyak tindak penipuan yang dialami
para calon TKI Lombok Utara oleh PPTKIS yang tidak
mengantongi ijin oprerasi. Pemerintah akan lebih selektif
dalam memberikan perizinan administrasi kepada calon
TKI dan PPTKIS, terlebih setelah moratorium pemerintah
dengan negara Arab Saudi dicabut.
Selain itu pihaknya bersama beberapa pemegang kebijakan
lain, juga membentuk tim khusus yang memantau kegiatan
perekrutan tenaga kerja. Tim tersebut, selain melakukan
pemantauan, juga melakukan pembinaan dan sosialisasi
mekanisme menjadi tenaga kerja migran. (rasidibragi/ari).
03 | Sekilas Peristiwa
Perda Ketenagakerjaan Kabupaten
Cirebon Belum Akomodir
Buruh Migran
oleh: Ahmad Rovahan
Setelah 5 tahun berjuang untuk merealisasikan adanya
peraturan daerah (PERDA) anti trafficking di Kabupaten
Cirebon, kini ada sedikit angin segar yang mengarah untuk
bisa memperjuangkan perlindungan bagi buruh migran.
Perlindungan terhadap buruh migran tersebut diharapkan
bisa didapatkan dengan adanya Perda Ketenagakerjaan.
Jumlah buruh migran asal Cirebon sebanyak 127 ribu orang
membuat Cirebon harus memberikan pelayanan
ekstra untuk rakyatnya. Bahkan beberapa bulan kemarin,
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin
Iskandar sengaja “ngantor” (berkantor) di Cirebon
untuk membicarakan Buruh Mingan Indonesia (BMI) asal
Cirebon. Mungkin adanya pembahasan Perda
Ketenagakerjaan di Kab.Cirebon merupakan salah satu
dampak dari “ngantor”-nya pak mentri saat itu.
Walaupun Perda Ketenagakerjaan sudah mulai dibahas
oleh DPRD maupun instansi yang terkait, namun
beberapa pihak masih menyangsikan efektifitas dan
juga keterwakilan dari perda tersebut terhadap buruh
migran.
Erlinus Thahar, aktivis asal padang yang saat ini bekerja di Fahmina Institute menghawatirkan hal yang serupa. Menurut Yunus, begitu biasa dia dipanggil, pembuatan Perda ini terlihat terburu-buru dan bahkan seperti mengejar target. Pembahasan Perda hanya melibatkan beberapa lembaga, padahal di Cirebon cukup banyak lembaga yang konsen terhadap ketenagakerjaan, sehingga lebih banyak pembahasan dalam Perda adalah bukan keinginan dari perwakilan masyarakat, bahkan ada yang terlihat hasil salin tempel dari perturan pemerintah.
“Saat pembahasan paling ada 4 lembaga yang diundang, apakah ini sudah terwakili?, selanjutnya pembahasan dalam perda terlihat bias, kita sebenarnya sudah menyiapkan perda anti trafficking dengan pembahasan yang cukup lama dan kita maksimalkan dalam hal perlindungan ketenagakerjaan. Dalam perda ini masih belum begitu jelas juga. Saya khawatir ini hanya menjadi kejar target DPRD untuk menyelesaikan Perda dalam masa periodenya.”, ungkap Yunus. [ ]
Cirebon
Halaman 4 | Warta Buruh Migran | Januari 2012
04 | Sekilas Peristiwa
BANYUMAS. Sebanyak 24 mantan BMI di wilayah Banyumas berkumpul di gedung Gurinda Sarwa Mandala milik Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Banyumas(12/2/2012). Mereka berkumpul untuk dilatih menjadi pemijat. Bukan sembarang pemijat, tetapi pemijat yang menguasai ilmu akupuntur dan refleksi.
Suswanti merupakan salah satu peserta pelatihan, sebelumnya ia pernah bekerja di Singapura antara tahun 1996-1998. Setelah tinggal cukup lama di kampung halaman, ia ingin merantau ke luar negeri lagi. Namun karena ada larangan dari pemerintah untuk negara-negara tertentu, ahirnya ia mengurungkan niatnya.
“Kami berlatih selama 1,5 bulan dan mendapat ijazah,”
tuturnya bangga. Karena sudah mempunyai kemampuan
ketrampilan, ia bertekad untuk meninggalkan impiannya
bekerja di luar negeri. “Dengan bekal ketrampilan ini,
saya ingin membuka praktek sendiri,” lanjutnya.
Kepala Bidang Pendidikan Non Formal Dinas Pendidikan
Banyumas, Siswoyo, mengatakan bahwa program
kecakapan hidup dampak moratorium pengiriman TKI
ternyata sangat membantu masyarakat, khususnya yang
terkena dampak dari moratorium maupun yang masih
menganggur. [ ]
Latihan Pijat Refleksi Bagi Mantan BMIoleh: Suswoyo
Banyumas
Cilacap
Supariah (54) tampak berkaca ketika menuturkan kisah anaknya Mustika Ningsih (28), anaknya yang tiga tahun tak ada kabar di Malaysia.
Mustika Ningsih adalah warga Desa Jenang, Kecamatan Majenang. Ia anak tunggal dari Supariah. "Saya bingung harus berbuat bagaimana lagi. Sponsor yang memberangkatkan dia, Aris, mengatakan kalau Nining kabur dari majikan. Dia sendiri juga tidak bisa berbuat apa-apa," Ujar Supariah.
Nining, begitulah keluarga memanggil Mustika Ningsih. Sudah tiga tahun sejak keberangkatannya, tak ada kabar yang diterima keluarga tentang Nining. Menurut penuturan Supariah, Mustika Ningsih berangkat melalui PT. Maharani. Ia langsung ke Jakarta bersama sponsor ketika niat keluar negeri sudah bulat dan disetujui keluarga. Setelah 4 bulan di penampungan, ia berangkat ke Malaysia, tepatnya 25 Mei 2009.
Setelah 1 tahun tidak ada kabar, Supariah menanyakan kepada sponsor perihal anaknya. Supariah sangat terkejut ketika sponsor mengatakan Ningsih, anak semata wayangnya telah kabur dari majikan. Supariah bertambah sedih ketika sponsor mengatakan Mustika Ningsih bukan lagi tanggungjawabnya, tapi tetap akan dibantu.
Cerita Supariah:
Ingin Anaknya Pulang dari Malaysia
Kabid Binapenta Dinsosnakertrans Kabupaten Cilacap, Sutiknyo ketika dihubungi mengatakan kasus Mustika Ningsih akan sangat susah untuk dilacak, karena ia terbukti kabur dari majikan. "Pada prinsipnya kami bersedia membantu setiap kasus TKI yang ada termasuk kasus Mustika Ningsih, tapi tetap sesuai kewenangan kami," jelas Sutiknyo. [ ]
Supariah (54) terus berharap agar kembali terhubung
dengan anak perempuannya yang bekerja di Malaysia
Halaman 5 | Warta Buruh Migran | Januari 2012
Buruh Migran Indonesia (BMI) hingga saat ini belum
benar-benar diposisikan dalam konteks individu yang
bekerja atau pekerja. Hal semacam ini tampak dari
bagaimana cara negara menyebut dan mendefinisikan
mereka. Masyarakat Indonesia tentunya lebih memahami
istilah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dari pada kata Buruh
Migran Indonesia. Padahal kedua kata tersebut jika dilihat
secara kritis memiliki pemaknaan dan konsekuensi
berbeda.
Kata “buruh” berbeda dengan “tenaga kerja”,
penggunaan kata “buruh” akan diikuti sekian
konsekuensi, dari regulasi nasional, internasional, hak
dasar, perlindungan, hingga semangat solidaritas
berserikat. Lantas apakah hal ini yang membuat
pemerintah (pada konteks BMI) lebih memilih
menggunakan kata “tenaga kerja”, sehingga bisa lepas
atau tidak terlampau terikat oleh konsekuensi yang
menempel pada penggunaan kata “buruh”?.
Lebih parah, kata “tenaga kerja” pada praktik
operasionalnya banyak melihat pekerja sebatas
“tenaga” untuk bekerja saja, bukan melihat pekerja
sebagai manusia utuh (memiliki tubuh atau tenaga,
pikiran, dan perasaan). Tidak heran jika muncul beragam
istilah turunan dari kata “tenaga kerja” seperti, pasar
tenaga kerja, produksi tenaga kerja, sektor ternaga kerja,
dan industri tenaga kerja. Semua kosa kata tersebut
melihat individu sebagai komoditas.
Tulisan ini tidak akan menelisik aspek pemaknaan
bahasa antara istilah TKI dan BMI, namun sekadar
wacana pembuka sebelum memperbincangkan hak atas
layanan publik bagi BMI. Sekali lagi, penting diketahui
sejak awal, BMI adalah individu pekerja yang harus
dilihat utuh sebagai manusia (dengan tubuh, pikiran, dan
perasaan) bukan tenaga dan komoditas semata.
05 |Kajian
Menjadi Pelayan Buruh Migran(Memisah Kepentingan Ekonomi Pada Layanan Publik BMI)
Oleh: Fathulloh
Kata “buruh” berbeda dengan
“tenaga kerja”, penggunaan kata
“buruh” akan diikuti sekian
konsekuensi, dari regulasi nasional,
internasional, hak dasar,
perlindungan, hingga semangat
solidaritas berserikat.
Halaman 6 | Warta Buruh Migran | Januari 2012
06 |Kajian
Lebih parah, kata “tenaga kerja” pada praktik
operasionalnya banyak melihat pekerja sebatas
“tenaga” untuk bekerja saja, bukan melihat pekerja
sebagai manusia utuh (memiliki tubuh atau tenaga,
pikiran, dan perasaan). Tidak heran jika muncul beragam
istilah turunan dari kata “tenaga kerja” seperti, pasar
tenaga kerja, produksi tenaga kerja, sektor ternaga kerja,
dan industri tenaga kerja. Semua kosa kata tersebut
melihat individu sebagai komoditas.
Tulisan ini tidak akan menelisik aspek pemaknaan bahasa
antara istilah TKI dan BMI, namun sekadar wacana
pembuka sebelum memperbincangkan hak atas layanan
publik bagi BMI. Sekali lagi, penting diketahui sejak awal,
BMI adalah individu pekerja yang harus dilihat utuh
sebagai manusia (dengan tubuh, pikiran, dan perasaan)
bukan tenaga dan komoditas semata.
Seperti halnya memahami BMI, memahami pelayanan
publik juga harus dilihat dari prinsip dan konsekuensi yang
menempel pada istilah layanan. Pelayanan Publik (Public
Services) jika merujuk pada Keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN) Nomor
63/KEP/M.PAN/7/2003, didefinisikan sebagai segala
kegiatan pelayanan yang dilaksanakan oleh penyelenggara
pelayanan publik sebagai upaya pemenuhan kebutuhan
penerima pelayanan maupun pelaksanaan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Kata kunci dari pengertian di atas adalah upaya
pemenuhan kebutuhan. Kata kunci yang sama juga
muncul pada UU Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan
Publik. Posisi pemerintah sejatinya adalah pelayan publik,
mengakomodir, merumuskan, dan mendistribusikan
pelayanan atas warga atau publik yang dinaunginya. Jika
merujuk pada kata kunci semacam ini, maka tampak betul
betapa mulia tugas individu yang bekerja di pemerintahan
(Pegawai Negeri Sipil/PNS). Betapa sebuah kehormatan
bagi individu yang bisa bekerja melayani masyarakat.
Sayang, kemuliaan dan kehormatan semacam ini menjadi
kabur karena banyak pelayan publik lebih mengandalkan
kewenangan dari pada kebutuhan penerima layanan.
Akuntabilitas pada banyak kegiatan pemerintahan
termasuk tata kelola layanan BMI juga kian “abu-
abu”. Cara pandang pelayanan masih didominasi
pandangan diri sendiri, bukan sudut pandang publik
yang dilayaninya.
Proses migrasi (dari perekrutan, penempatan, hingga
kepulangan dari luar negeri) membuat BMI
berhadapan dengan beragam praktik pelayanan publik.
Ibarat praktik pasar, BMI dapat diposisikan sebagai
konsumen. Praktik pelayanan melibatkan BMI sebagai
penerima layanan dan pemerintah bersama industri
swasta sebagai penyedia layanan. Beragam dokumen
yang harus diurus calon BMI, beragam pembiayaan
(proses transaksi) yang dibayarkan, serta interaksi
antara BMI dan penyedia layanan yang berjenjang dari
desa hingga negara penempatan dan kembali ke desa.
Secara teknis hal ini menunjukkan
betapa proses migrasi menjadi buruh
di luar negeri seharusnya
memposisikan individu sebagai subjek
atau pelaku, bukan objek. Secara
prinsip hal ini akan berbeda.
Jika BMI diposisikan sebagai objek layanan publik maka
ia akan cenderung pasif dengan informasi yang sangat
minim. Berbeda jika BMI sebagai subjek, ia harus dan
selayaknya menjadi pelaku penerima layanan publik
yang memiliki hak atas informasi dan pelayanan.
Terlebih jika BMI terlibat praktik transaksi yang
mewajibkan membayar sejumlah uang.
Pada posisi ini kita harus memeriksa kembali praktik
pelayanan publik bagi BMI yang telah berlangsung
selama ini. Apakah BMI menjadi obyek atau subyek?,
dilayani atau diperas?, dilindungi atau tidak?. Semua
akan terjawab dari bagaimana pemerintah dan industri
swasta yang menangani BMI menyajikan pelayanannya.
Halaman 7 | Warta Buruh Migran | Januari 2012
Fakta atas BMI hingga saat ini masih didominasi dengan
pelbagai persoalan dan carut marut penanganan.
Pelayanan publik bagi BMI masih berada pada kinerja
terburuk para penyedia layanan. Hal ini sebanding lurus
dengan tingginya kasus dan persoalan yang menimpa BMI.
Persoalan Standardisasi dan Kejelasan Wewenang
Pelayanan publik yang mengacu Pasal 4 UU Nomor 25
Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik memiliki 14 asas
atau prinsip dasar, antara lain kepentingan umum,
kepastian hukum, kesamaan hak, keseimbangan hak dan
kewajiban, keprofesionalan, partisipatif, persamaan
perlakukan atau tidak diskriminatif, keterbukaan,
akuntabilitas, fasilitas dan perlakuan khusus bagi kelompok
rentan, ketepatan waktu, kecepatan, kemudahan, dan
keterjangkauan. Prinsip dasar ini sekaligus menjadi alat
ukur sebuah pelayanan publik berjalan dengan baik atau
tidak.
Pada kasus pelayanan BMI
pelbagai jenis layanan publik yang
disediakan masih carut marut.
Biaya penempatan simpang siur,
tidak ada sistem atau standar
yang mengatur keberadaan
PPTKIS,perbedaan standar antar PPTKIS,
ketidakjelasandan tidak adanya kontrak kerja
standar, konflik wewenang penempatan, standar penangan
BMI bermasalah, unit pelayanan yang terpencar, standar
pelayanan oleh perwakilan pemerintah di luar negeri, dan
setumpuk persoalan lainnya.
Tidak adanya upaya cepat dan strategis untuk menata
kembali mekanisme penanganan BMI (tata kelola BMI)
akan menjadikan persoalan makin hari makin rumit dan
bertumpuk. Lebih parah lagi, hal semacam ini semakin
membuka peluang besar maraknya praktik penempatan
BMI yang cenderung mengarah pada perdagangan
manusia.
Persoalan standar pelayanan penempatan dan
perlindungan BMI harus benar-benar mengacu pada 14
prinsip dasar di atas. Pelayanan untuk BMI butuh dibangun
menjadi lebih sederhana, mudah, dan terpercaya.
Keterlibatan setiap pihak baik pemerintah maupun swasta
harus diperjelas, baik wewenang maupun standar
operasionalnya melalui undang-undang.
Keterlibatan industri swasta (PPTKIS) dengan mandat
dan keleluasaan akses operasional pada penempatan
dan perlindungan, membuat persoalan BMI semakin
rumit. Bagaimana tidak, keleluasan lebih membuat
pelaku bisnis PPTKIS meningkat drastis hingga tak
terkendali jumlahnya. Tanpa prosedur rumit,
perusahaan berstatus Perseroan Terbatas (PT) dapat
berdiri di desa-desa dengan menjadi sub dari
perusahaan agen atau PPTKIS yang lebih besar di
perkotaan atau ibu kota.
Tidak aneh, jika kemudian menjumpai PPTKIS hadir
hingga pelosok desa dan menjadi kepanjangan tangan
PPTKIS lain yang lebih besar. Hanya bermodal beberapa
puluh juta uang yang dijaminkan pada agen di kota
besar, 1 unit komputer, telepon, fax, dan beberapa
petugas berpenampilan nonformal, maka sebuah PT
atau PPTKIS di desa
dapat beroperasi. Hal
ini jelas menunjukkan
PPTKIS merupakan
rantai bisnis yang panjang
dan menekankan
pendapatan diri komisi
praktik makelar.
Lantas jika sebuah PPTKIS tidak memiliki produk selain
jasa makelar, pada siapa biaya operasional mereka akan
dibebankan, secara tidak langsung semua biaya
operasional dibebankan kepada BMI yang mereka
berangkatkan. Pembebanan biaya kepada BMI
dilakukan melalui sistem biaya penempatan, pungutan-
pungutan, potongan gaji, beban hutang, dan lain-lain.
Akan berkelit seperti apapun pemerintah, fakta tetap
menunjukkan tidak adanya standardisasi pelayanan dari
operasi bisnis PPTKIS. Inilah mengapa perbaikan
pelayanan publik bagi BMI harus di mulai dari
keberanian pemerintah. Pemerintah harus berani
memisahkan dengan tegas kepentingan bisnis pada
wilayah pelayanan penempatan dan perlindungan BMI.
Dibutuhkan ketegasan membuat “garis api” (memilah
aspek bisnis dan non bisnis) untuk memangkas wilayah
“abu-abu” pada pelayanan buruh migran.
07 |Kajian
Keterlibatan industri swasta (PPTKIS)
dengan mandat dan keleluasaan akses
operasional pada penempatan dan
perlindungan, membuat persoalan BMI
semakin rumit.
Halaman 8 | Warta Buruh Migran | Januari 2012
08 | Kajian
Komitmen tersebut juga berlaku pada lembaga
pemerintah yang memberikan pelayanan untuk BMI.
Terlebih pada konteks BMI, terdapat BNP2TKI yang
menjalankan praktik serupa kerja PPTKIS, yakni
penempatan pekerja di Korea Selatan dan Jepang. Harus
jelas mana wilayah bisnis yang menjadi pemasukan
negara dan mana tanggungjawab sebagai lembaga
pemerintah yang melayani publik.
Wewenang pelayanan publik bagi BMI yang tersebar dan
belum maksimalnya koordinasi antar sektor dan instansi
pemerintahan membuat pelayanan bagi BMI terkesan
rumit. Jika merujuk BNP2TKI, maka kita akan menjumpai
14 tahap sekaligus sebaran wewenang dalam prosedur
pelayanan dan penempatan BMI (sesuai gambar poster).
Antara lain:
1. Ketersediaan lowongan kerja di luar negeri (job
order, recruitment agreement, demand letter),
visa makalah, dan draft perjanjian kerja melalui
persetujuan KBRI/KJRI
2. Surat Izin Pengerahan (SIP), informasi perekrutan
ke tingkat Provinsi, Kabupaten, Kota oleh
Kemenakertrans atau BNP2TKI
3. Sosialisasi, pendaftaran Calon BMI, seleksi dan
perjanjian penempatan dilakukan melalui kerja
sama Pemda, Disnaker, PPTKIS
4. Pemeriksaan kesehatan dan psikologi oleh PPTKIS
dan Dinas Kesehatan di daerah.
5. Pelatihan, uji kompetensi, asuransi,
penampungan oleh Kemenakertrans atau
BNP2TKI dan PPTKIS
6. Penerbitan paspor oleh Kementerian Hukum dan
HAM
7. Dana pembinaan, penempatan, dan perlindungan
BMI (PP/92/2000) 15 U$D (PNBP) oleh
Kementerian Keuangan dan PPTKIS
8. Visa kerja dari perwakilan negara penempatan
oleh PPTKIS
9. Pembekalan akhir pemberangkatan, perjanjian
kerja, KTKLN oleh Kemenakertrans dan BNP2TKI
10. Keberangkatan BMI melalui layanan satu atap
yang melibatkan PPTKIS, Kemenakertrans atau
BNP2TKI, Kementerian Hukum dan HAM,
Kementerian Keuangan, dan Polri
11. Tiba di negara penempatan oleh PPTKIS atau agensi,
KBRI/KJRI, Pengguna/majikan
12. Masa penempatan di luar negeri oleh PPTKIS atau
agensi, KBRI/KJRI, Pengguna/majikan
13. Pelayanan kepulangan BMI dari negara penempatan
ke Indonesia oleh PPTKIS, Kemenakertrans/BNP2TKI,
Kementerian Perhubungan, BIN, Polri, Kementerian
Kesehatan, Kementerian Dalam Negeri.
14. Pembinaan Pemberdayaan BMI Purna oleh
Kemenakertrans/BNP2TKI, Menegkop dan UKM,
Kementerian Perindustrian, Perbankan, dan
Pemerintah Daerah.
Mengamati pembagian wewenang dan koordinasi di
atas, maka kita akan melihat sebuah proses yang rumit,
panjang, dan tumpang tindih. Terlampau banyak
instansi yang terlibat, terlampau banyak wewenang yang
diberikan pada sektor bisnis PPTKIS, dualisme
wewenang BNP2TKI dan Kemenakertrans, serta
minimnya layanan satu atap yang mampu menghemat
biaya yang akan dikeluarkan BMI.
Jika komitmen pemerintah memperbaiki pelayanan
penempatan dan perlindungan BMI dijadikan agenda
serius, maka pekerjaan rumah terbesar adalah
memisahkan unsur bisnis dari pelayanan perlindungan
BMI. Akan lebih mempermudah pemerintah dalam
menyusun tata kelola penempatan dan perlindungan
BMI, jika ada mekanisme yang membuat penempatan
BMI menjadi bisnis yang tidak menguntungkan.
Hal ini dapat dilakukan jika regulasi, perizinan, dan standar industri PPTKIS diperketat. Monopoli bisnis jasa dan makelar penempatan pekerja di luar negeri akan runtuh jika aturan main diperketat dan proses penegakan hukum berjalan dengan baik.
Mekanisme membuat bisnis PPTKIS menjadi bisnis tidak menguntungkan merupakan salah satu wacana mengurai persoalan pelayanan publik bagi BMI. Fakta pelaku bisnis PPTKIS mendapat ruang dan mandat sedemikian besarnya dalam UU 39 Tahun 2004 tentang PPTKILN tidak dapat dipungkiri. Pertanyaan kunci selanjutnya apakah pemerintah berani bersikap tegas mengutamakan pelayanan untuk rakyat, atau justru tergiur kepentingan lingkaran bisnis penempatan BMI yang menjanjikan? [Fath]
Halaman 9 | Warta Buruh Migran | Januari 2012
Salah satu persoalan terbesar dalam pelayanan penempatan dan perlindungan buruh migran Indonesia (BMI) adalah keterbatasan informasi. Minimnya informasi menempatkan BMI, yang lebih dikenal dengan sebutan tenaga erja Indonesia (TKI), pada posisi yang tidak berdaya atau lemah secara struktural. BMI yang tidak mengetahui informasi secara tepat dapat salah mengambil keputusan dalam migrasi, tidak bisa mengambil tindakan-tindakan penting dalam keadaan darurat dan dapat dengan mudah disesatkan oleh pihak-pihak yang berkepentinan lain.
Lahirnya Undang-undang (UU) Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) turut memberikan harapan baru perbaikan pelayanan kepada buruh migran Indonesia (BMI). Sayangnya, masih jarang kelompok, organisasi atau organisasi masyarakat sipil yang bergerak pada buruh migran sudah mempergunakan secara maksimal UU 14 2008. Keberadaan UU ini berpeluang untuk membuka ruang-ruang gelap pelayanan BMI oleh lembaga pemerintah dan pelaksana penempatan lainnya.
Informasi dalam UU No 14 2008 didefinisikan sebagai keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta
09 | Kajian
maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar,
dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan
format sesuai dengan perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun
nonelektronik. Informasi Publik didefinisikan sebagai
informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim,
dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang
berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan
negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan
badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-
Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan
kepentingan publik.
Definisi tersebut mengandung aspek luas, termasuk
menyangkut persoalan penempatan, perlindungan dan
penanganan BMI. Informasi berkaitan dengan
penempatan, perlindungan dan penanganan BMI,
karena berkaitan dengan kepentinan publik masuk
dalam kategori informasi publik. Informasi kunci seperti
biaya penempatan; prosedur penempatan, penanganan
dan perlindungan; pengawasan terhadap perusahaan
penempatan tenaga kerja Indonesia swasta (PPTKIS)
adalah sebagian kecil dari informasi publik yang dapat
ditanyakan.
Keterbukaan Informasi Publik,Peluang Perbaikan Pelayanan Buruh MigranOleh: Muhammad Irsyadul Ibad
Halaman 10 | Warta Buruh Migran | Januari 2012
Undang-undang No 14 juga mengamanati lembaga publik
untuk secara terbuka melayani permintaan informasi dari
kelompok masyarakat. Tindakan pemberian informasi
adalah kewajiban lembaga publik. Permintaan informasi
adalah hak warga negara. Lembaga publik dalam UU No
14 2008 adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif,
dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan
dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau
seluruh dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara dan/atau Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah, atau organisasi nonpemerintah
sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan/atau
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, sumbangan
masyarakat, dan/atau luar negeri.
10 | Kajian
Mengacu pada definisi Lembaga Publik dalam UU No 14,
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
(Kemnakertrans) dan Badan Nasional Penempatan dan
Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) masuk
dalam kategori lembaga negara yang berkewajiban
memberikan informasi publik. Lain kata, pengelolaan
penempatan, perlindungan dan penanganan BMI adalah
ranah publik yang terbuka. Masyarakat berhak tahu dan
kedua lembaga tersebut berkewajiban menyajikan
informasi publik dalam pelayanan pulik kepada BMI.[ ]
10 | Kajian
Informasi Tak Ada, Alat Pun Tak Punya
Oleh : M. Ali Usman
Keterbelakangan informasi adalah salah satu sebab
ketidakberdayaan buruh migran Indonesia (BMI).
Keterbatasan informasi mempersulit BMI mengambil
keputusan penting saat menentukan proses migrasi dan
menangani persoalan yang dihadapi.
Keterbatasan pengetahuan akibat
terbatasnya informasi menyebabkan
BMI menjadi kelompok yang lemah.
Ketersediaan informasi migrasi tidak hanya terbatas pada soal ketersediaan teknologi, tetapi juga kemampuan pengelolaan informasi dan kehendak politik lembaga-lembaga negara yang bertanggungjawab atas proses migrasi. Ketersediaan website resmi lembaga publik tidak selalu berbanding lurus dengan ketersediaan informasi publik.
Nihilnya informasi standar biaya penempatan BMI di luar negeri membuka peluang perusahaan Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) untuk menentukan beban biaya penempatan secara tidak proporsional, menekan BMI selama proses pra pemberangkatan, dan kepulangan.
Halaman 11 | Warta Buruh Migran | Januari 2012
11 | Kajian
Informasi dan Hak Buruh MigranLahirnya UU No 04 Tahun 2008 tentang Keterbukaan informasi publik membuka peluang kelompok buruh migrant untuk menuntut keterbukaan informasi pengelolaan migrasi. Ketersediaan informasi tersebut, diyakini dapat menjadi keran perbaikan tata kelola pelayanan publik migrasi ketenagakerjaan. Informasi publik yang diatur dalam UU No 04 Tahun 2008 diefinisikan keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun nonelektronik.
Informasi Publik didefinisikan sebagai informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. Definisi Badan Publik yang berkewajiban memberikan informasi publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/ atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/ atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, sumbangan masyarakat , dan/ atau luar negeri.
Keharusan untuk menyediakan informasi publik di beberapa lembaga negara yang bertanggungjawab dengan penempatan BMI di luar negeri, seperti BNP2TKI, BP3TKI, Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans) diatur dalam pasal satu karena memenuhi 2 prasyarat kewajiban penyediaan informasi. Lembaga-lembaga negara tersebut menerima pembiayaan dari negara dan terkait dengan penyelenggaraan negara.
Mengacu pada pasal tersebut, BNP2TKI, Kemnakertrans dan BP3TKI, termasuk jajaran Kedutaan Besar atau Konsulat Jendral Indonesia (KJRI/KBRI) berkewajiban untuk menyediakan informasi kepada publik, termasuk kelompok buruh migran selaku penerima manfaat pelayanan.
Fasil itas Akses Informasi yang tetap TerbatasKetersediaan informasi bagi lembaga publik, apalagi yang dikelola oleh negara, terkait dengan keinginan politik dan bukan semata ketidaktahuan atau keterbatasan penyediaan.
Hal paling sederhana dalam penyediaan informasi publik adalah penyediaan alat yang memungkinkan informasi ditelusuri dengan mudah, seperti portal resmi. Melalui portal, setiap orang yang memiliki akses internet dapat secara terbuka mengakses dan mencari informasi yang dibutuhkan dari lembaga negara.
Penelusuran atas ketersediaan portal sejumlah Balai Pelayanan Penempatan Dan Perlindungan TKI (BP3TKI) di beberapa provinsi menunjukkan hanya 3 dari 17 BP3TKI yang memiliki portal resmi. BP3TKI Makasar, Mataram dan Surabaya yang memiliki portal publik pun hanya menggunakan fasilitas blog gratis, baik wordpress maupun blogspot. Ketersediaan informasi yang dapat diperoleh melalui portal ketiga BP3TKI tersebut pun sangat jauh dari memadai. Informasi yang ditampilkan umumnya hanya berkenaan dengan kegiatan seremonial yang tidak sepenuhnya dibutuhkan oleh kelompok buruh migran. Tinngat pembaruan konten informasinya pun cukup menyedihkan. Nihilnya informasi tersebut menyulitkan banyak BMI dalam kepengurusan pelbagai keperluan migrasi, seperti Kartu Tanda Kerja Luar Negeri (KTKLN).
Menurut Fera Nur Aini, BMI Hongkong asal Ponorogo, pengurusan KTKLN di UPT Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (UP P3TKI) Jawa Timur di Surabaya masih menyulitkan BMI. Pengalaman Fera yang berupaya mengurus KTKLN di PU P3TKI Surabaya buntu karena rumitnya pengurusan dan nihilnya informasi keperluan pendaftaran KTKLN. Beberapa BMI yang datang dari beberapa kabupaten gagal mengurus KTKLN saat sudah berada di di Surabaya. Beberapa BMI gagal mengurus KTKLN karenatidak membawa persyaratan yang mencukupi.
“Saya ahkirnya gagal memilih tidak meneruskan pembuatan KTKLN di Surabaya. Ada juga TKI yang mengurus ke sana tapi gagal karena syaratnya kurang,” tegas Fera.
Idealnya, BMI dapat mengakses informasi terkait dengan migrasi dengan gamblang dan mudah. Ketersediaan website setidaknya memberikan peluang keteraksesan informasi. Contoh kasus Fera Nur Aini menunjukkan bahwa BMI di luar Surabaya harus mengulangi pengurusan KTKLN hanya karena tidak mengetahui informasi persyaratan yang seharusnya disiapkan.
Situasi keterbatasan alat informasi tersebut mengindikasikan buruk dan karut-marutnya tata laksana penempatan BMI selama ini. Pengetahuan dan informasi yang menjadi hak buruh migran dibatasi menjadi informasi terbatas. Selama karut-marut penyediaan informasi ini masih terjadi, pengelolaan proses migrasi secara transparan sulit akan diwujudkan. [ ]
Halaman 12 | Warta Buruh Migran | Januari 2012
12 | Kajian
Menengok Layanan Online untuk BMIOleh : Fika Murdiana R.
Saat ini, persoalan pokok yang dihadapi Buruh migran Indonesia (BMI) adalah keterbatasan informasi. Sehingga para BMI kita seringkali tertipu dan tanpa disadari mengalami ekploitasi karena minimnya informasi yang didapat. Tak jarang pula, banyak BMI yang harus menghabiskan waktu dan tenaga untuk mengurus satu dokumen.
Menurut undang-undang nomor 14 tentang KIP dan Peraturan Komisi Informasi nomor 1 tahun 2010, Badan Negara atau lembaga publik wajib mengumumkan informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala sekurang-kurangnya melalui situs resmi dan papan pengumuman dengan cara yang mudah diakses oleh masyarakat. Lembaga publik yang dimaksud di sini adalah lembaga negara yang dibiayai oleh dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Pada konteks BMI lembaga seperti Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, BNP2TKI, BP3TKI, Kementrian Luar Negeri, dan lembaga pemerintah lainnya termasuk dalam kategori lembaga publik yang harus mengumumkan dan menyediakan informasi.
Sayangnya, tidak semua lembaga publik menyediakan informasi maupun layanan berbasis dalam jaringan (daring/online). Padahal layanan informasi online merupakan media yang paling efektif dan murah karena bisa diakses di mana saja dan kapan saja. Layanan informasi online melalui situs internet tidak seperti kantor yang hanya membuka layanan pada jam kerja.
BNP2TKI dan jajaran BP3TKI merupakan salah satu lembaga negara yang bertugas sebagai pelaksana perlindungan dan penempatan BMI. Konsekuensinya, BNP2TKI dan BP3TKI di daerah-daerah harus menyediakan media saluran informasi terkait penempatan dan perlindungan BMI untuk masyarakat, termasuk dalam bentuk situs internet. Kenyataannya BNP2TKI dan BP3TKI belum mampu menyediakan media informasi tersebut, padahal keberadaannya memiliki fungsi penting dalam pelayanan penempatan dan perlindungan BMI. Satu-satunya layanan informasi terkait BMI yang tersedia ada di situs BNP2TKI (www.bnp2tki.go.id), itu pun dengan tampilan halaman yang tidak “ramah” pengunjung, tidak sistematis, dan minim informasi. Sedangkan dari 17 BP3TKI yang ada hanya ada 3 BP3TKI yang mempunya media online, itu pun tidak menggunakan nama domain standar pemerintah sehingga akurasinya kurang terpercaya.
layanan pengaduan online di KJRI Hong-kong tidak
dapat diakses (galat atau error)
Media Online Departemen Luar Negeri
Lembaga pemerintah lainnya yang memiliki fungsi penting dalam perlindungan BMI dan warga negara Indonesia pada umumnya adalah Departemen Luar Negeri (Deplu) dan jajaran Konsulat Besar Republik Indonesia (KBRI) dan bentuk perwakilan lainnya yang ada di luar negeri.
Sekilas, menejemen konten di situs resmi Kemenlu tampak tertata rapi, namun masih tidak ramah terhadap pengunjung.
Kekurangan Web Kemenlu:1. Halaman situs tidak nyaman dilihat karena berkedip setiap 3 detik.2. Banyak navigasi gambar yang tidak mengarah ke informasi yang dimaksud, melainkan langsung mengunduh file tanpa pesan konfirmasi atau hanya gambar pajangan.3. Menu arsip berupa naskah pidato, siaran pers, dan publikasi kosong, tidak bisa diakses.4. Menu layanan pengaduan online, lapor diri, tidak bisa digunakan, selalu ada yang "eror"5. Belum ada informasi seputar standar pelayanan
Halaman 13 | Warta Buruh Migran | Januari 2012
tidak dapat menangkap sinyal. Hal yang aneh terjadi
ketika terakhir keluarga menelpon namun ia tampak
sangat sibuk dan tidak jenak saat berbincang melalui
telepon dan ada suara laki-laki sedang teriak dalam
bahasa Taiwan dan wahyuningrum menanggapinya
dengan bahasa Taiwan juga, lalu memutuskan hubunga
komunikasi yang sedang dilakukan. Sejak saat itulah
komunikasi terputus dan Wahyuningrum tidak dapat
dihubungi hingga saai ini (Januari 2012).Beberapa minggu
kemudian, keluarga mendapatkan surat dari Taiwan
beserta paket berisi barang-barang dari Taiwan yang
dititipkan melalui temannya di Taiwan yang sedang
pulang ke Indonesia menggambil cuti perrpanjangan
kontrak dan diantarkan oleh adik temannya tersebut.
(karena sebelumnya adiknya tersebut sudah pernah
datang ke rumah deefonalia untuk mengantarkan titipan
buat anak wahyuningrum)
Hal yang sangat disayangkan keluarga, adik dari
temannya Wahyuningrum tersebut tidak banyak memberi
keterangan dan menolak saat diminta meninggalkan
nomor telepon dan alamat, dirinya ataupun kakaknya
yang bekerja sebagai BMI ditaiwan. Dalam surat yang
diantarkan oleh adik temannya, wahyuningrum
mengatakan bahwa akong yang dirawatnya telah
meninggal dan itu berarti tidak sampai 3 tahun, karena
itu wahyuningrum akan masuk konseling untuk mencari
majikan baru. Jika terlalu lama maka dia akan pulang.
Tapi sampai saat ini wahyuningrum tidak kunjung datang
dan tidak memberi kabar apakah dia telah dapat kerjaan
baru atau tidak.
Melacak Keberadaan
Wahyuningrum di TaiwanOleh: Fathulloh
Bapak/Ibu di redaksi Pusat Sumber Daya Buruh Migran, adakah yang
mengetahui informasi mengenai perhimpunan tenaga kerja nonformal
di Taiwan?, saat ini saya sedang mencari sepupu saya yang bekerja di
Taiwan, tetapi sudah 1 tahun lebih tidak ada kabar, mohon
informasinya.” tutur pemilik akun bernama Dee Fonalia pada kotak
surat Facebook Buruh Migran (10/01/12).
Pesan di atas kemudian dijawab oleh redaksi Pusat Sumber Daya Buruh Migran (PSD-BM) dengan menyarankan pertemanan virtual Dee Fonalia dengan Atin Safitri, Ketua Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI) Taiwan di jejaring sosial Facebook. Perbincangan di jejaring sosial tersebut berlanjut dengan penggalian informasi lebih lanjut pada kasus hilang kontak yang disampaikan Dee Fonalia di Bekasi.
L. Wahyuningrum Retnaningtyas, kelahiran 1973 merupakan sepupu Dee Fonalia (pelapor) yang menjadi Buruh Migran Indonesia (BMI) di Taiwan. Tanpa diketahui kapan ia berangkat dan di perusahaan agen mana yang memberangkatkan, setelah satu tahun berlalu, Dee Fonalia kemudian hanya mendapati sebuah surat yang menerangkan Wahyuningrum sudah berada di Taiwan untuk bekerja sebagai BMI. Berdasarkan surat tersebut didapat keterangan Wahyuningrum berangkat tanggal 9 Desember 2007 dan tinggal di alamat No. 17, Lane 261, Szu We 3 Rd, Lin ya District, Kaoshiung City, Prov R.O.C, Taiwan sebagai perawat orangtua majikannya yang berusia 93 tahun. Karena dalam amplop tertulis wahyuningrum d/a Lai Chiu Hsiang, maka Dee fonalia (pelapor) memperkirakan mungkin itu nama majikan dari sepupunya .
Sejak saat itu komunikasi ke Taiwan dapat dilakukan
keluarga melalui sambungan telepon. Sangat disayangkan
keluarga, komunikasi kembali terputus setelah bencana
angin Topan Morakot yang melanda Taiwan di tahun 2009.
Tidak lama kemudian di awal tahun 2010 keluarga berhasil
menghubungi Wahyuningrum, saat itu wahyuningrum
mengatakan karena bencana tersebut majikannya pulang ke
kampung halamanya,disana handphone yang dibawanya
13 | Jejak Kasus
(Dok.Dee Fonalia)
Foto Wahyuningrum yang diambil dari telepon genggam
yang dikirim bersama sebuah surat untuk anaknya
Halaman 14 | Warta Buruh Migran | Januari 2012
Dee Fonalia pada 10 Januari 2012 juga sudah menghubungi
KDEI Taiwan melalui sambungan telepon, sayang petugas
penerima telepon menyampaikan bagian tenaga kerja
sedang tidak ada di tempat. Pada 15 Januari 2012, Dee
Fonalia menghubungi call center BNP2TKI, karena
minimnya informasi CS BNP2TKI mengatakan tidak bisa
membantu proses pelaporan.
Kolaborasi Penanganan Dengan Pegiat ATKI
Taiwan
Setelah mendapatkan beberapa keterangan dari pihak
keluarga tentang kasus hilang kontak dengan
Wahyuningrum di Taiwan, Redaksi PSDBM segera
menghubungi Atin Safitri, Ketua ATKI Taiwan (10/01/12).
Atin Safitri sendiri baru beberapa minggu tiba di Taiwan,
setelah beberapa bulan sejak November 2011 mengambil
cuti dan kembali ke tanah air. Mendapat cerita dari redaksi
PSDBM terkait kasus hilang kontak Wahyuningrum, Atin
Safitri dan pegiat ATKI Taiwan akan bersedia sebisa
mungkin terlibat dan berkolaborasi membantu melacak
keberadaan Wahyuningrum.
Atin Safitri juga menyampaikan salah satu kebutuhan bagi
pegiat serikat BMI di Taiwan untuk memproses kasus ini
adalah dokumen berupa paspor. Redaksi PSDBM
diharapkan mampu menjembatani upaya di tanah air agar
keluarga mampu melacak data paspor korban.
“Kami membutuhkan nomor paspor agar bisa melacak
siapa PJTKI yang memberangkatkannya, jika berhasil, maka
bisa dilanjutkan dengan menanyakan data BMI pada
PJTKI , karena jika data yang kita pegang hanya nama saja,
maka ada kemungkinan banyak nama yang sama.” tutur
Atin Safitri.
Tentang data alamat terakhir yang dimiliki keluarga dari
surat yang dikirim Wahyuningrum, Atin Safitri
menyampaikan cukup kecil kemungkinan jika hanya
melacak alamat tersebut. Hal ini disebabkan banyak buruh
migran di Taiwan yang kemudian pindah majikan,
termasuk kemungkian yang terjadi pada Wahyuningrum.
Berdasarkan penjelasan Atin Safitri, radaksi PSDBM
berencana mengirim surat pengaduan ke KDEI untuk
mencari keberadaan nama Wahyuningrum di lumbung
data milik KDEI.
Penanganan persoalan hilang kontak memang
membutuhkan proses dan keterlibatan banyak pihak
termasuk pemerintah yang bertanggung jawab atas
keamanan warga negaranya yang sedang bekerja di luar
negeri. Saat ini berkas pengaduan akan dikirim ke Kantor
Dagang dan Ekonomi Indonesia di Taiwan sebagai
perwakilan pemerintah Indonesia. [ ]
14 | Jejak Kasus
Salah satu petunjuk berupa alamat majikan yang
ditulis Wahyuningrum pada amplop sebuah surat
untuk keluarga
Halaman 15 | Warta Buruh Migran | Januari 2012
15 | Panduan
Tata CaraMeminta Informasi(Upaya Memanfaatkan UU KIP No. 14
Tahun 2008 untuk Perjuangan Buruh
Migran)
Informasi adalah hak, prisip ini harus tertanam pada
pegiat Buruh Migran Indonesia (BMI) yang akan meminta
informasi pada lembaga penyedia layanan publik. Jangan
ragu dan takut untuk menanyakan informasi yang menjadi
hak Anda. Banyak informasi terkait pelayanan bagi buruh
migran yang bisa kita minta pada badan publik penyedia
layanan BMI.
Biaya penempatan (cost structure) BMI, prosedur
pelatihan BMI, daftar PPTKIS bermasalah, biaya paspor,
dan pelbagai informasi lain yang dirasa belum jelas bagi
BMI berhak untuk ditanyakan.
Pada kasus biaya penempatan (cost structure), kita seolah
melihat ketiadaan informasi yang pasti dari pemerintah.
BMI sendiri acapkali dirugikan oleh agen karena harus
membayar biaya penempatan yang lumayan besar
nilainya.
Sebenarnya UU nomor 39 tahun 2004 sudah mengatur
biaya penempatan melalui wewenang Menakertrans agar
tidak melebihi batas, tapi kenyataannya aturan pasti
terkait biaya penempatan tidak pernah dipublikasikan
oleh Menakertrans. BMI dan para pegiat BMI sudah
berulang kali melaksanakan aksi protes dan mengajukan
tuntutan terkait biaya penempatan yang merugikan BMI,
namun tidak ada hasil yang memuaskan.
Banyak jalan menuju Roma” begitu kata pepatah, dan
ternyata masih ada celah untuk memperoleh informasi
terkait biaya penempatan BMI menggunakan landasan UU
nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi“
Publik (KIP). Dengan UU KIP, BMI bisa memperoleh
informasi yang diinginkan. BMI juga bisa mengajukan-
tuntutan sampai pengadilan jika informasi yang diinginkan
tidak disediakan atau sengaja disembunyikan. Melalui UU
KIP ini pula, badan publik negara yang tidak menyediakan
atau sengaja menyembunyikan informasi akan terkena
sangsi.
Berikut ini adalah alur dan langkah untuk
mendapatkan informasi pada Pejabat Pengelola
Informasi dan Dokumentasi (PPID) di lembaga
pemerintahan penyedia layanan publik bagi BMI:
1. Tentukan informasi apa yang akan anda minta, lembaga
mana yang berwenang memberikan informasi tersebut,
dan media apa yang anda pilih untuk meminta informasi.
Catatan: Pastikan anda menyampaikan permintaan
informasi pada lembaga yang sesuai dengan jenis
informasi yang anda minta. Setiap lembaga badan publik
terkait BMI seperti Imigrasi, BNP2TKI, Kemenakertrans,
KBRI, KJRI, Dinsosnakertrans, BP3TKI, dan lain-lain wajib
memiliki PPID. Berdasarkan Bab I pasal 9 UU KIP No. 14
tahun 2008 disebutkan “Pejabat Pengelola Informasi dan
Dokumentasi adalah pejabat yang bertanggung jawab di
bidang penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan,
dan/atau pelayanan informasi di badan publik”.
2. Pemohon informasi mengajukan permintaan informasi
kepada PPID di lembaga badan publik. Pengajuan
informasi ini dapat disampaikan melalui lisan maupun
melalui surat pos, surat elektronik (surel/email),
sambungan telepon, dan sistem online yang tersedia.
3. Anda sebagai pemohon informasi harus menyebutkan
nama, alamat, jenis informasi yang diminta (Misalnya,
rincian biaya penempatan BMI ke Hong Kong, daftar
Halaman 16 | Warta Buruh Migran | Januari 2012
prosedur mengurus klaim asuransi, layanan BMI
bermasalah, dan informasi sesuai yang Anda butuhkan),
bentuk informasi yang diminta, dan cara penyampaian
informasi yang diminta. Sebagai legalitas sertakan salinan
Kartu Tanda Penduduk (KTP) Anda.
4. Petugas PPID pada badan publik akan mencatat semua
yang disebutkan oleh pemohon informasi.
5. Tunggu balasan dari lembaga badan publik tempat Anda
meminta informasi. Berdasarkan ketentuan standardisasi
layanan informasi publik dibutuhkan waktu 10+7 hari kerja
untuk memperoleh kepastian apakah permintaan informasi
yang Anda ajukan diterima atau ditolak.
6. Petugas menyerahkan jawaban berupa informasi sesuai
dengan permintaan. Anda sebagai pemohon informasi
akan diberikan tanda bukti oleh PPID sebagai bukti telah
melakukan pengajuan informasi. Apabila yang terjadi
sebaliknya (permintaan informasi anda ditolak atau tidak
ditanggapi), Anda dapat mengajukan keberatan secara
tertulis pada Pejabat Pengelola Informasi dan
Dokumentasi, kemudian menunggu paling lambat 30 hari
untuk mendapatkan jawaban.
Jika Anda sebagai pengaju sengketa tidak puas, maka
dapat melajutkan pengaduan ke Komisi Informasi di
tingkat Kabupaten dan Kota, Provinsi, atau pusat sesuai
wilayah kerja badan publik tempat Anda meminta
informasi. [ ]
Mintalah Informasi yang Menjadi Hak Anda.
Mari memanfaatkan UU Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dengan menanyakan pelbagai informasi yang Anda butuhkan terkait penempatan dan perlindungan buruh migran pada badan publik terkait.
Pemanfaatan UU nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) merupakan upaya agar pemerintah lebih terbuka dalam menyelenggarakan pelbagai layanan publik bagi buruh migran dan keluarga.
-Pesan ini dipersebahkan oleh: redaksi www.buruhmigran.or.id-
Redaksi PSD-BM,
Disarikan dari panduan
di portal Komisi
Informasi
16 | Panduan
top related