analisis political branding calon kepala daerah dalam

18
Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017 56 ANALISIS POLITICAL BRANDING CALON KEPALA DAERAH DALAM PILKADA ACEH 2017 Asmaul Husna Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada Email: [email protected] Abstrak Lima belas Februari 2017, Aceh kembali menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung ketiga kalinya. Sebanyak 3.443.583 suara konstituen yang tersebar di 23 kabupaten/kota diperebutkan oleh enam pasang kontestan yang maju baik melalui jalur perseorangan maupun partai politik. Sepanjang sejarah perhelatan pesta demokrasi di Aceh, Pilkada 2017 adalah pertarungan terbesar bagi para pewaris ideologis Hasan Tiro pasca GAM terjun ke politik praktis. Empat dari enam kontestan yang berlaga diketahui merupakan mantan tokoh penting dalam tubuh GAM yang secara garis besar dapat digolongkan ke dalam dua poros, yakni mantan kombatan dan non-kombatan. Tensi persaingan politik yang kian panas menuntut para kontestan menciptakan taktik yang paling efektif dalam upaya mendulang suara. Menggunakan konsep political branding yang dikembangkan dari pemikiran Gelder, Sonies, serta Mensah, penelitian ini berupaya menyingkapkan sejauh mana perbedaan latar belakang sosial para kontestan mempengaruhi nuansa political branding yang tersaji selama masa kampanye Pilkada Aceh 2017. Dari hasil analisis terhadap objek verbal, visual, dan vocal yang tersebar dan terdokumentasi dalam berbagai saluran kampanye resmi milik kontestan didapati bahwa perbedaan latar belakang sosial yang dimiliki oleh para kontestan tersebut membawa perbedaan pada identifikasi diri, produk politik, serta positioning dalam political branding yang mereka munculkan. Kata Kunci: Aceh, Kombatan, Non-Kombatan, Political Branding Abstract February 15th, 2017, Aceh held the election for the third times. 3,443,583 voters spread across 23 districts/cities contested by six pairs of candidates either through individual or political parties. Throughout the history of democratic elections in Aceh, the 2017 election was the greatest battle for the ideological heirs of Hasan Tiro after GAM has been involved in politics. Four out of six candidates are known as former prominent figures of Aceh Free Movement (GAM) who can be classified into two categories, former combatants and non-combatants. The political competition tension requires the candidates to create the most effective tactics in the effort to gain the votes. Using the concept of political branding developed by Gelder, Sonies, and Mensah, this research aims to reveal the extent to which the social background differences of contestants influence the political branding presented during the 2017 Aceh Election campaign. From the analysis of verbal, visual, and vocal objects that were scattered and documented in various contestant’s official campaign channels, it is found that the different social backgrounds of these contestants have brought differences in self-identification, political products, and positioning in their political branding. Keywords: Aceh, Combatant, Non-Combatant, Political Branding

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: ANALISIS POLITICAL BRANDING CALON KEPALA DAERAH DALAM

Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017

56

ANALISIS POLITICAL BRANDING CALON KEPALA DAERAH DALAM PILKADA ACEH 2017

Asmaul Husna

Magister Ilmu Komunikasi, Universitas Gadjah Mada Email: [email protected]

Abstrak

Lima belas Februari 2017, Aceh kembali menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung ketiga kalinya. Sebanyak 3.443.583 suara konstituen yang tersebar di 23 kabupaten/kota diperebutkan oleh enam pasang kontestan yang maju baik melalui jalur perseorangan maupun partai politik. Sepanjang sejarah perhelatan pesta demokrasi di Aceh, Pilkada 2017 adalah pertarungan terbesar bagi para pewaris ideologis Hasan Tiro pasca GAM terjun ke politik praktis. Empat dari enam kontestan yang berlaga diketahui merupakan mantan tokoh penting dalam tubuh GAM yang secara garis besar dapat digolongkan ke dalam dua poros, yakni mantan kombatan dan non-kombatan. Tensi persaingan politik yang kian panas menuntut para kontestan menciptakan taktik yang paling efektif dalam upaya mendulang suara. Menggunakan konsep political branding yang dikembangkan dari pemikiran Gelder, Sonies, serta Mensah, penelitian ini berupaya menyingkapkan sejauh mana perbedaan latar belakang sosial para kontestan mempengaruhi nuansa political branding yang tersaji selama masa kampanye Pilkada Aceh 2017. Dari hasil analisis terhadap objek verbal, visual, dan vocal yang tersebar dan terdokumentasi dalam berbagai saluran kampanye resmi milik kontestan didapati bahwa perbedaan latar belakang sosial yang dimiliki oleh para kontestan tersebut membawa perbedaan pada identifikasi diri, produk politik, serta positioning dalam political branding yang mereka munculkan. Kata Kunci: Aceh, Kombatan, Non-Kombatan, Political Branding

Abstract February 15th, 2017, Aceh held the election for the third times. 3,443,583 voters spread across 23 districts/cities contested by six pairs of candidates either through individual or political parties. Throughout the history of democratic elections in Aceh, the 2017 election was the greatest battle for the ideological heirs of Hasan Tiro after GAM has been involved in politics. Four out of six candidates are known as former prominent figures of Aceh Free Movement (GAM) who can be classified into two categories, former combatants and non-combatants. The political competition tension requires the candidates to create the most effective tactics in the effort to gain the votes. Using the concept of political branding developed by Gelder, Sonies, and Mensah, this research aims to reveal the extent to which the social background differences of contestants influence the political branding presented during the 2017 Aceh Election campaign. From the analysis of verbal, visual, and vocal objects that were scattered and documented in various contestant’s official campaign channels, it is found that the different social backgrounds of these contestants have brought differences in self-identification, political products, and positioning in their political branding. Keywords: Aceh, Combatant, Non-Combatant, Political Branding

Page 2: ANALISIS POLITICAL BRANDING CALON KEPALA DAERAH DALAM

Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017

57

Pendahuluan

Lima belas Februari 2017 adalah hari besar bagi perhelatan pesta demokrasi di

Indonesia. Sebanyak 101 kursi kepala daerah di 7 provinsi, 18 kota, dan 76 kabupaten

diperebutkan dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tersebut (KPU, 2016).

Dalam iklim politik yang kian terbuka, persaingan menjadi sebuah konsekuensi logis

yang tidak terhindarkan. Hal ini memaksa para kontestan untuk merumuskan sebuah

strategi yang paling efektif guna memasarkan karakteristik diri, inisiatif, ideologi,

gagasan politik, serta rancangan program kerja dalam upayanya membangun

kepercayaan dan citra positif di mata konstituen (Howard, 2006; Johnson, 2009). Karena

dalam sistem demokrasi, menjadi yang terbaik di mata konstituen adalah syarat mutlak

yang harus dicapai oleh para kontestan guna mendulang suara dan memenangkan

persaingan politik yang ada.

Kepercayaan dan citra positif sesungguhnya dapat diraih dengan mudah apabila

kontestan dapat mengkonstruksikan identitas dirinya, menawarkan produk politik yang

menarik, serta menancapkan positioning yang kuat dari para kompetitor ke dalam benak

konstituen. Dalam agenda politik, strategi ini disebut dengan political branding

(Downer, 2013; Philbrick & Cleveland, 2015). Political branding sendiri sejatinya

adalah sebuah taktik lama yang lazim digunakan oleh para kontestan politik untuk

mendapatkan popularitas selama masa kampanye. Meski tidak serta merta menjamin

kemenangan di tangan kontestan, akan tetapi political branding dapat menjadi senjata

ampuh dalam menciptakan kampanye yang berbeda dan lebih efisien (Milewicz &

Milewicz, 2014; Maarek, 2011; Graber, 2011).

Kesuksesan Barack Obama dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun

2008 (Fox & Ramos, 2012; Abdillah, 2014) dan Kemenangan Jokowi-Ahok pada

Pilkada Jakarta 2012 (Suhendra, 2014; Sandra, 2013) adalah sebuah bukti bahwa

political branding mampu mendorong kesuksesan dalam ajang pemilihan umum. Hal ini

pulalah yang kemudian menarik perhatian dan menjangkit pada aktor-aktor politik

daerah, khususnya Aceh. Sebagai daerah yang diketahui memiliki rekam jejak konflik

yang panjang dan tengah memasuki era transisi, Aceh ternyata mampu beradaptasi

dengan euforia demokrasi yang tengah berkembang di Indonesia. Hal ini dibuktikan

dengan adanya enam pasangan kontestan kepala daerah yang telah mendeklarasikan diri

dan menyatakan siap berlaga guna memperebutkan 3,44 juta suara konstituen dalam

Page 3: ANALISIS POLITICAL BRANDING CALON KEPALA DAERAH DALAM

Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017

58

Pilkada Aceh 2017 (KIP, 2016). Keenam pasangan kontestan tersebut ialah, Tarmizi

Karim-Machsalmina Ali, Zakaria Saman-T.Alaidinsyah, Abdullah Puteh-Said Mustafa,

Zaini Abdullah-Nasaruddin, Muzakir Manaf-TA.Khalid, serta Irwandi Yusuf-Nova

Iriansyah.

Sejak mendeklarasikan diri pada Agustus 2016 lalu, para kontestan mulai gencar

melakukan kampanye politik guna menarik perhatian dan simpati konstituen dengan cara

memanfaatkan berbagai media baru yang berbasis digital, layaknya Facebook, Twitter,

Instagram dan mulai mengisi konten-kontennya dengan isu serta gagasan politik yang

dianggap penting dan faktual. Bahkan beberapa kontestan diantaranya diketahui sengaja

merilis website politik agar dapat lebih berfokus dalam menonjolkan identitas dan

diferensiasi diri dari para kompetitor politiknya selama masa kampanye. Hal ini

dilakukan guna menguatkan dan menyempurnakan konstruksi branding yang telah

dibangun di dunia nyata ke dalam ranah virtual.

Pada sisi lain, jika ditilik lebih dalam sebenarnya keenam pasangan kontestan

yang bersaing dalam Pilkada Aceh 2017 bukanlah sosok baru bagi rakyat Aceh. Empat

diantaranya merupakan mantan tokoh gerakan separatis Aceh Merdeka (GAM) dan dua

lainnya adalah mereka yang pernah menjabat sebagai gubernur di masa konflik. Selain

itu, para kontestan yang berasal dari GAM sendiri secara garis besar dapat digolongkan

ke dalam dua kategori, yakni mantan kombatan dan non-kombatan (Matang, 2016; Kanal

Aceh, 2016; Fadhil, 2016). Dikotomi mantan kombatan disematkan kepada mereka yang

pernah tergabung dalam anggota GAM dan berpartisipasi langsung dalam penggunaan

senjata perang atau berada di garis depan dalam aksi pemberontakan yang terjadi di Aceh

pada masa lampau. Sedangkan dikotomi non-kombatan merujuk pada para mantan

pejabat (elite) GAM yang tidak terjun langsung dalam medan peperangan, akan tetapi

mereka masih merupakan bagian dari gerakan tersebut (Henckaerts & Doswald-Beck,

2006). Dapat dikatakan bahwa non-kombatan bukanlah lawan dari kombatan.

Latar belakang sosial yang dimiliki oleh para kontestan tersebut kemudian

menuntun peneliti pada sebuah dugaan bahwa hal ini akan membawa nuansa yang

berbeda pula dalam political branding yang akan mereka munculkan ke hadapan

konstituen selama masa kampanye politik. Mantan kombatan yang secara pendidikan

cenderung rendah dan minimnya pengalaman dalam panggung politik, akan lebih

menonjolkan karakter tegas dan kemampuan dalam bidang militeristik sebagai pintu

Page 4: ANALISIS POLITICAL BRANDING CALON KEPALA DAERAH DALAM

Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017

59

masuk atas political branding yang mereka gunakan untuk meyakinkan hati konstituen.

Sedangkan bagi non-kombatan yang telah terbiasa mengemban tugas untuk melindungi

anggota kelompoknya serta bernegosiasi dengan pihak lawan, akan cenderung

membangun political branding atas diri mereka sebagai sosok calon pemimpin yang

santun, mengayomi, serta memiliki kemampuan diplomasi yang cukup mumpuni.

Berangkat dari gambaran di atas, peneliti merasa tertarik untuk melakukan kajian

yang lebih sistematik terhadap gejala political branding yang tersaji dalam kampanye

Pilkada Aceh 2017 antara Calon Kepala Daerah Aceh yang berasal dari kombatan dan

non-kombatan. Dari hasil penelitian ini kita dapat melihat sejauh mana perbedaan latar

belakang sosial yang ada diantara para kontestan akan mempengaruhi nuansa political

branding yang mereka munculkan selama masa kampanye Pilkada Aceh 2017 guna

memenangkan hati konstituen.

Dari enam pasangan Calon Kepala Daerah Aceh, peneliti memilih pasangan

Muzakir Manaf-TA Khalid sebagai representasi pasangan kombatan, sedangkan

pasangan non-kombatan akan diwakili Zaini Abdullah-Nasaruddin. Adapun pemilihan

kedua pasangan tersebut didasari oleh beberapa pertimbangan. Pertama, fakta bahwa

kedua calon gubernur yang hendak dijadikan objek penelitian merupakan mantan

kombatan dan non-kombatan yang bertransfomasi menjadi aktor politik. Zaini Abdullah

adalah Mantan Menteri Kesehatan dan Menteri Luar Negeri GAM. Sedangkan Muzakir

Manaf merupakan Mantan Panglima GAM. Kedua, Zaini Abdullah dan Muzakir Manaf

sama-sama merupakan calon incumbent. Keduanya merupakan pasangan Gubernur dan

Wakil Gubernur Aceh sebelumnya, yakni periode 2012-2017. Ketiga, Zaini Abdullah

dan Muzakir Manaf pernah bernaung dalam satu payung partai politik yang sama yakni

Partai Aceh, hingga pada akhirnya keduanya memutuskan untuk menempuh jalan

masing-masing dalam Pilkada Aceh 2017. Zaini Abdullah diketahui maju melalui jalur

independen, sedangkan Muzakir Manaf maju sebagai calon yang diusung kembali oleh

Partai Aceh.

Tinjauan Pustaka

Political Branding

Branding tidaklah sama dengan image (Marland, 2013; Montoya & Vandehey,

2009). Branding adalah sebuah strategi yang dilakukan oleh aktor politik dalam

Page 5: ANALISIS POLITICAL BRANDING CALON KEPALA DAERAH DALAM

Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017

60

melakukan komodifikasi atas identitas dirinya secara berbeda dari para kompetitor agar

terlihat lebih berharga, stand out dan menarik di mata konstituen dengan menggunakan

media sebagai pintu masuknya. Sedangkan image adalah sebuah kesan maupun

pengalaman yang berusaha dibangun oleh kontestan dalam benak konstituen melalui

serangkaian tahapan dalam strategi tersebut.

Berbeda dengan branding pada produk komersil pada umumnya, political

branding tidaklah bertujuan untuk menghasilkan profit. Melainkan lebih untuk

menanamkan kesan yang diinginkan oleh aktor politik dalam benak konstituen, seperti

menarik simpati, membangun citra serta keterikatan secara emosional. Kesan tersebut

nantinya akan berperan layaknya mesin penggerak bagi konstituen apabila mereka

dihadapkan dengan serangkaian pilihan politik (Speed, Butler, & Collins, 2015; Davis,

2009).

Terdapat tiga alasan utama mengapa branding menjadi penting dalam praktik

kampanye politik (Lilleker, 2015; Speed, Butler, & Collins, 2015; Scammell, 2015).

Pertama, branding memberikan nilai simbolik akan identifikasi, makna, nilai, manfaat,

janji, dan diferensiasi dari sebuah produk politik. Kedua, branding dianggap mampu

mempengaruhi persepsi dan memberikan keyakinan pada konstituen. Terakhir,

branding merupakan hasil dari interaksi dan keterikatan emosional yang terjalin antara

kontestan politik dan konstituennya. Maka untuk itulah sejatinya para kontestan perlu

mempertimbangkan branding sebagai salah satu senjata dalam kampanye politiknya.

Gelder (2003), Sonies (2011), dan Mensah (2016) dalam kajiannya telah

menegaskan bahwasanya political branding adalah ruh dalam praktik demokrasi politik

kontemporer yang digunakan oleh kontestan politik sebagai senjata guna membangun

dan menempatkan kesan tertentu dalam benak konstituen agar terlihat lebih menarik,

dominan, mudah diingat dan berbeda dari para kompetitor. Akan tetapi ketiganya

memiliki perbedaan pendekatan dalam membaca konstruksi branding. Dari kombinasi

ketiga pemikiran para scholars tersebut, peneliti kemudian merumuskan tiga variabel

kunci yang lebih relevan untuk digunakan sebagai landasan berpikir dalam memahami

dan menafsirkan kecenderungan pola political branding yang dibangun oleh para

kontestan politik yang berlatar belakang sosial sebagai mantan kombatan dan non-

kombatan dalam penelitian ini.

Page 6: ANALISIS POLITICAL BRANDING CALON KEPALA DAERAH DALAM

Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017

61

Gambar 1. Political Branding (Sumber: Gelder, 2003, Sonies, 2011, dan Mensah, 2016)

Variabel pertama, identifikasi diri. Dalam upaya menjadi yang terbaik di mata

konstituen, seorang kontestan politik akan mencoba mempengaruhi persepsi dan

pandangan mereka dengan cara menunjukkan kenapa dirinya harus dipilih dan layak

untuk menjadi pemimpin. Variabel kedua, positioning. Pada tahap ini kontestan akan

menciptakan celah sebagai upaya untuk menonjolkan diferensiasinya dari para

kompetitor yang dilakukan dengan cara memetakan segmentasi target konstituen.

Terakhir, produk politik. Produk politik tersebut diwujudkan melalui visi, misi, janji,

kontrak politik, kebijakan, target, serta program kerja yang telah diselaraskan dengan

kebutuhan konstituen. Dengan kata lain, produk politik inilah yang akan

menginterprertasikan hal-hal yang diperjuangkan, tujuan ingin dicapai, serta cara yang

ditempuh untuk mencapai tujuan tersebut.

Ketiga variabel tersebut kemudian dikembangkan dan dieksekusi menjadi

seperangkat brand identitiy. Brand identity inilah yang kemudian menjadi penggambaran

secara simbolis atas identifikasi diri, produk politik, serta positioning dari kontestan yang

direpresentasikan ke dalam bentuk verbal, visual, maupun vocal yang eye-catching, unik,

spesifik, mudah diingat, dan dipahami oleh konstituen (Ditsch, 2012; Middleton, 2010).

Brand identity tersebut dapat direpresentasikan ke dalam bentuk nama, font, logo, jingle,

seragam, warna, bendera, slogan, pesan-pesan persuasif penuh harapan, serta atribut dan

entitas kegiatan kampanye lain yang disebarkan baik melalui media kampanye

konvensional maupun digital (Kaid, 2012; Johnson, 2009). Dengan menafsirkan makna

yang terkandung dibalik pesan verbal, visual, maupun vocal yang ditampilkan dalam

brand identitiy, kita akan lebih mudah menelaah dan memahami kecenderungan makna,

tema, maupun pola political branding yang dibangun oleh para kontestan. Karena

pemilihan kata, representasi audio maupun visual serta cara penyajian tidak semata-mata

Page 7: ANALISIS POLITICAL BRANDING CALON KEPALA DAERAH DALAM

Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017

62

hanya menggambarkan sebuah realitas yang tampak, melainkan turut menentukan dan

menciptakan konstruksi atas makna yang muncul dalam ke hadapan konstituen selama

masa kampanye berlangsung (Berger & Luckmann, 1966; Nielsen, 2015).

Kombatan dan Non-Kombatan sebagai Komoditas Political Branding

Dalam ajang perhelatan politik lima tahunan layaknya Pilkada, para kontestan

yang berlaga tentu berasal dari berbagai latar belakang sosial yang berbeda. Latar

belakang sosial ini sedikit banyak tentu akan membawa warna tersendiri pada cara

mereka melakukan komodifikasi atas identitas diri dalam upayanya membangun

political branding di hadapan konstituen selama masa kampanye (Azoulay & Kapferer,

2003). Demikian halnya dengan fenomena transformasi politik yang terjadi pada para

mantan kombatan dan non-kombatan. Sebagai seorang aktor politik baru, para mantan

kombatan dan non-kombatan tersebut tidak serta merta menghapuskan karakter dan

ideologi yang mereka miliki sebagai seorang anggota gerakan separatis (Stange &

Patock, 2010).

Pasca terjadinya perundingan damai antara pemerintah pusat Indonesia dengan

GAM pada 15 Agustus 2005 yang menghasilkan nota kesepahaman Memorandum of

Understanding (MoU) Helsinki. Hal ini nyatanya tidak serta merta menghentikan

langkah para mantan kombatan dan non-kombatan tersebut guna membebaskan diri dari

cengkraman pemerintah pusat seperti yang telah dilakukannya selama lebih dari tiga

dekade lalu. Pilkada Aceh tahun 2006 adalah sebuah panggung pertempuran baru yang

menjadi bukti bahwa transformasi politik yang terjadi tidak merubah arah perjuangan,

melainkan hanya merubah amunisi perang yang digunakan (Nurhasim, 2012;

Hadiwinata, 2010). Butir-butir kesepahaman dalam MoU Helsinki dan kelahiran partai

politik lokal justru dijadikan sebagai senjata utama guna memenangkan bilik suara. Di

sisi lain, penggunaan nama besar Hasan Tiro yang merupakan mantan deklarator GAM

dalam setiap atribut kampanye seolah ingin merepresentasikan bahwa semangat

perjuangan masa lalu belumlah padam (Stange & Patock, 2010). Layaknya aktor politik

kawakan, isu-isu faktual berbasis kedaerahan layaknya keamanan, budaya, agama,

perdamaian, serta kesejahteraan sosial juga tidak luput dari perhatian para mantan

kombatan dan non-kombatan (Ishak, 2013; Schulze, 2004). Beragam isu tersebut

mereka kemas ke dalam rancangan gagasan politik yang dianggap representatif guna

Page 8: ANALISIS POLITICAL BRANDING CALON KEPALA DAERAH DALAM

Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017

63

menjawab kebutuhan dan memenangkan hati konstituen. Faksionalisme yang terjadi

dalam tubuh internal partai besutan para petinggi GAM disebut-sebut juga

memunculkan perbedaan pandangan politik antara kelompok mantan kombatan dan

non-kombatan dalam upaya menggapai tujuan politik (Ardiansyah, 2015; Akmal, 2015).

Praktis, sejak saat itu para mantan kombatan dan non-kombatan mulai bersaing satu

sama lain dan membangun konstruksi atas political branding diri mereka masing-

masing sesuai dengan karakter, kemampuan, pandangan politik, serta gagasan yang

mereka miliki guna memenangkan hati rakyat Aceh.

Metode Penelitian

Dalam penelitian ini jenis metode yang digunakan adalah analisis isi dengan

pendekatan kualitatif dalam paradigma konstruktivis. Analisis isi dilakukan pada

dokumentasi 3 debat terbuka, 2 jingle, 2 booklet visi dan misi, 1 buku biografi, 16 berita,

5 spanduk, 8 orasi politik, 3 video dan 35 foto yang tersebar dalam berbagai medium

kampanye milik kedua kontestan sejak 26 Oktober 2016 hingga 11 Februari 2017.

Metode analisis isi ini dipilih atas empat alasan mendasar (Krippendorff, 2004;

Hsieh & Shannon, 2005; Creswell, 2008). Pertama, penelitian ini tidak dimaksudkan

untuk mengujikan konsep mengenai political branding dan merumuskan sebuah

generalisasi atas makna yang dihasilkan, melainkan lebih berorientasi pada ekplorasi dari

data-data temuan penelitian yang hanya berlaku pada objek, waktu, serta tempat

penelitian saja. Kedua, penelitian ini akan berawal dari konsep mengenai political

branding yang akan peneliti jadikan sebagai penuntun awal guna merumuskan variabel

kunci dalam unit analisis data. Akan tetapi setelah penelitian dilakukan, bukan tidak

mungkin serangkaian kategori tersebut akan berkembang dan menghasilkan variabel dan

kategori yang baru dan disesuaikan dengan data-data temuan guna menjawab rumusan

masalah dan tujuan penelitian. Ketiga, penelitian ini tidaklah berpretensi untuk

menghitung frekuensi data dalam muatan pesan secara statistik. Melainkan guna

memahami, menafsirkan, dan memetakan kecenderungan makna, tema, konteks maupun

pola konstruksi political branding yang muncul dalam berbagai pesan dan atribut

bernada kampanye milik para Calon Kepala Daerah Aceh dari latar belakang kombatan

maupun non-kombatan pada Pilkada Aceh 2017. Terakhir, peneliti berupaya untuk

menginterpretasikan secara spesifik dan komprehensif mengenai konstruksi political

Page 9: ANALISIS POLITICAL BRANDING CALON KEPALA DAERAH DALAM

Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017

64

branding melalui hubungan atas informasi-informasi yang tersebar dan terdokumentasi

dalam berbagai medium kampanye resmi yang digunakan oleh para Calon Kepala

Daerah Aceh.

Hasil dan Pembahasan

Peneliti menemukan bahwasanya latar belakang sosial yang dimiliki oleh para

kontestan sebagai mantan kombatan dan non-kombatan mempengaruhi perbedaan

nuansa political branding yang mereka munculkan ke hadapan konstituen selama masa

kampanye Pilkada 2017. Perbedaan political branding dalam beragam representasi

verbal, visual, maupun vocal milik kedua kontestan dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Tabel 1. Political Branding Kombatan Versus Non-Kombatan dalam Pilkada Aceh 2017

Variabel Indikator Kombatan Non-Kombatan

Identifikasi

Diri

Karakter Tegas

Superior

Kaku

Dominan

Arogan

Setia

Otoriter

Kasar

Agresif

Mengintimidasi

Patriot Sejati

Kental Nuansa

Komando

Pantang

Menyerah

Cinta Damai

Santun

Mengayomi

Bijaksana

Adil

Tenang

Independen

Dekat dengan

Rakyat

Sederhana

Bersahaja

Pemersatu

Berdedikasi

Menghindari

Konflik

Kemampuan Kharismatik dan Maskulin

Kepemimpinan yang kuat

Persuasi dan Intelektual

Rendah

Pengambil Keputusan Andal

Mediator Perdamaian

Kemapuan Agama Mumpuni

Persuasi Baik

Intelektual Tinggi

Nilai Ideologi Perjuangan Masa

Lampau

Eklusifitas Kelompok

Politik Damai

Nasionalis

Produk

Politik

Gagasan Kewenangan Menjalankan

Self Government

Penerapan Entitas dan

Identitas Nilai-Nilai ke-

Acehan dalam Tata Kelola

Pemerintahan

Penegakkan syariat islam

Peningkatan kualitas

kesejahteraan rakyat

Pembangunan Berkelanjutan di

Segala Bidang

Positioning Segmentasi

Konstituen Basis Mantan Kombatan

Pemilih Tradisional

Bekas Wilayah Kekuasaan

GAM (Aceh Utara, Pidie,

Bireun, Aceh Besar)

Perempuan, Buruh, Petani,

Nelayan, Young Voters

Pemilih Rasional

Daerah Asal Kontestan

Page 10: ANALISIS POLITICAL BRANDING CALON KEPALA DAERAH DALAM

Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017

65

Kombatan

Sebagai pasangan yang memiliki latar belakang sosial sebagai mantan

kombatan, pasangan Muzakir Manaf dan TA Khalid terlihat sangat memanfaatkan hal

tersebut sebagai sebuah komoditas yang mereka perjualbelikan dan mempengaruhi

nuansa political branding yang mereka munculkan selama masa kampanye Pilkada

2017. Romantisme masa lalu ini termanifestasikan secara gamblang dalam beragam

representasi atribut kampanye mereka gunakan, seperti (1) Pemilihan kata Salam Pang-

5 (Salam Panglima) sebagai yel-yel yang digunakan untuk membakar semangat para

pendukungnya; (2) Penggambaran Mualem sebagai sosok panglima yang setia, pantang

menyerah, dan konsisten dalam memperjuangkan nasib para mantan anggota GAM

dalam serangkaian lirik jingle yang selalu dilantunkan dalam setiap kegiatan kampanye.

Harapan kamou tan laen, Mualem yang peujroeh bangsa

Harapan kamou tan laen, Mualem beu biet seutia

Udep bangsa beu neu peu makmu, Asoe Mou beu neu peunyata

Hina dikamo yang meuprang lam glee, Ngoen jihina droeneuh oh panglima

(Jingle Harapan Bak Mualem)

(3) Nuansa komando juga terasa begitu kental dalam seragam khusus dengan motif

loreng khas militer yang bernuansa merah, hitam, dan putih lengkap dengan topi baret

merah dan sepatu boots hitam yang terlihat selalu dikenakan oleh tim pemenangan

Mualem dan TA Khalid dalam berbagai kesempatan; (4) Representasi diri sebagai

mantan panglima yang memiliki jiwa kepemimpinan andal dan merangkul berbagai

golongan inipun juga tersiratkan dalam penampilan keduanya saat melakukan debat

publik terbuka maupun dalam serangkaian kegiatan kampanye ke daerah; (5) Karakter

sebagai mantan komandan sebuah gerakan pemberontakan yang maskulin, superior,

cenderung dominan, kasar dan tegas juga terepresentasikan dengan jelas dalam tampilan

fisik, bahasa tubuh, dan tingkah laku pasangan ini selama masa kampanye Pilkada 2017;

(6) Selain itu, karakter arogan dan tegas juga dapat diamati dari nada bicara yang lantang

dan tutur katanya yang cenderung kasar pada saat berpidato. Seperti yang terlihat dalam

potongan pembukaan pidato di bawah ini:

“Woe syedara man mandum woooe .. Woooe.. Han ka woe kajak let asee

keudeh!”(Mualem dalam Kampanye Partai Aceh. Beureuneun, Pidie 5/2/2017)

Page 11: ANALISIS POLITICAL BRANDING CALON KEPALA DAERAH DALAM

Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017

66

Gambar 2. Seragam Tim Relawan Pemenangan Muzakir Manaf-TA Khalid

(Sumber: Aceh Times, 2017 dan Instagram @MuzakirManaf1964, 2017)

Gambar 3. Penampilan dan Bahasa Tubuh Muzakir Manaf-TA Khalid

(Sumber: Doc. Pribadi, Instagram @Muzakir Manaf1964, 2017 dan @TA.Khalid, 2017)

(7) Pada sisi lain, cuplikan pidato di atas juga secara tidak langsung turut

merepresentasikan atas minimnya kemampuan persuasi dan retorika yang dimiliki oleh

mantan panglima perang GAM ini. Akan tetapi hal ini tentu sangat wajar mengingat

Mualem bukanlah seorang aktor politik murni. Ia hanyalah seorang mantan pemimpin

pasukan tempur lapangan yang ahli dalam bidang strategi perang dan terpaksa

bertransformasi menjadi aktor politik karena tuntutan keadaan; (8) Sedangkan karakter

pemimpin yang agresif, otoriter, dan mengintimidasi tergambarkan jelas dalam

serangkaian pernyataan-pernyataan politik yang mereka lontarkan. Pasangan ini bahkan

dengan sengaja melakukan provokasi dan mengancam konstituen serta para kader dan

pengurus partai pengusung seperti dalam cuplikan orasi berikut:

“Jabatan politik ini adalah alat untuk mencapai tujuan bersama. Ada PR perjanjian

perdamaian yang belum terselesaikan. Secuil perjanjian itu adalah bara api, di saat

perjanjian tidak terlaksana ataupun tidak ditepati maka malapetaka akan terjadi, darah

akan bertumpah kembali. Demi selamatnya marwah dan tidak ada lagi pertumpahan

darah di Aceh, maka wajib menyelesaikan MoU. Karena Partai Aceh nyan adalah

pihak pertama yang berjanji, maka kita harus memenangkan Partai Aceh. Pastikan

nasib rakyat Aceh dengan Partai Aceh. Sedangkan partai lain tidak perlu bermimpi.

Jangan tukar nyawa anda dengan sehelai sarung.” (TA Khalid dalam Kampanye Partai

Aceh. Karang Baru, Tamiang 7/2/2017)

“Jika ada kader dan simpatisan yang tidak sesuai dengan perintah Prabowo, maka

akan dipecat. Pecundang tidak boleh ada dalam partai ini. Kuatkan barisan dan bekerja

maksimal. Menangkan 15 Februari!”(TA Khalid dalam HUT Gerindra Ke-9. Langsa,

6/2/2017)

Page 12: ANALISIS POLITICAL BRANDING CALON KEPALA DAERAH DALAM

Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017

67

(9) Dari segi produk politik, pasangan ini lebih banyak berbicara perihal kewenangan

dalam menjalankan self-government serta penerapan entitas dan identitas nilai-nilai

keAcehan dalam tata kelola pemerintahan sebagai upaya mewujudkan kembali kejayaan

peradaban Aceh, yang mana hal ini merupakan tuntutan utama dari pemberontakan yang

dilakukan oleh GAM pada tahun 1976; (10) Sedangkan dalam hal positioning, pasangan

ini cenderung membidik basis mantan kombatan dan pemilih tradisional yang

berdomisili di wilayah-wilayah yang dikenal sebagai basis perjuangan GAM, seperti

Kabupaten Bireun, Aceh Utara, Pidie, dan Aceh Besar sebagai target konstituen utama

mereka. Kedua segmentasi konstituen tersebut mereka dekati dengan cara

mengkomodifikasikan latar belakang sosial yang mereka miliki sebagai mantan

panglima ke dalam aksi-aksi yang menyasar pada nilai-nilai historis, loyalitas,

kekaguman atas figur ketokohan, kedekatan sosial budaya, kesamaan daerah, serta

kesamaan pandangan politik.

Non-Kombatan

Zaini Abdullah atau yang lebih akrab disapa Abu Doto adalah salah seorang

mediator perdamaian antara GAM dengan pemerintah pusat yang juga merupakan

petahana Gubernur Aceh. Menggandeng birokrat handal Nasaruddin atau yang lebih

dikenal dengan Pak Nas sebagai wakilnya, pasangan ini maju melalui jalur independen

dengan mengumpulkan 177. 497 KTP dukungan. Pengalaman Abu Doto sebagai sosok

elit (non-kombatan) dalam tubuh GAM dan mantan mediator perdamaian Aceh dan RI

terasa begitu kental dalam beberapa bagian dari konstruksi identitas yang mereka

perjual-belikan kepada konstituen selama Pilkada 2017. Komodifikasi politik tersebut

secara gamblang dapat dibaca dalam berbagai atribut kampanye milik kandidat no 4 ini.

(1) Pasangan ini diketahui mengusung kata “AZAN” sebagai nama dagang

politiknya. Nama Azan tidaklah serta merta berasal dari akronim nama Abu Zaini

Abdullah dan Nasaruddin saja melainkan juga menyiratkan sederet makna yang

tersembunyi di dalamnya. Secara harfiah dalam bahasa Arab, azan memiliki makna

sebagai sebuah seruan, panggilan, ataupun pengingat. Melalui penggunaan nama inilah,

pasangan ini hendak menuntun persepsi konstituen atas diri mereka sebagai sosok calon

pemimpin yang akan menyerukan, mengingatkan, serta mengajak rakyatnya untuk

senantiasa bersama-sama berada dalam jalan kebajikan dan kedamaian; (2) Komitmen

menjaga perdamaian ini juga terlihat dalam slogan yang diusung, yakni “Damai Meraih

Page 13: ANALISIS POLITICAL BRANDING CALON KEPALA DAERAH DALAM

Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017

68

Kemenangan” serta dalam beberapa orasi politik yang mereka sampaikan di hadapan

konstituen.

“Jangan mau ditipu dan diintimidasi dengan kata „naik gunung‟ dan Aceh akan

berdarah kembali. Jangan percaya lagu lama. Siapa yang mau naik gunung lagi? Hari

ini Pilkada sudah damai. Jangan biarkan orang-orang yang mencoba meraih kekuasaan

dengan cara mengancam dan mengintimidasi rakyat menjadi pemimpin di Aceh. Jangan

takut, tokoh perdamaian bersama kita.” (Nasaruddin dalam Kampanye Akbar AZAN.

Takengon, 7/2/2017)

(3) Selain itu, pasangan ini juga terlihat mencoba membangun identifikasi diri sebagai

pemimpin yang tidak hanya akan mengawal perdamaian, namun juga senantiasa

mengupayakan kesejahteraan, kedamaian, dan keadilan di setiap jengkal Bumi Aceh

juga turut tersiratkan dalam lirik jingle kampanye mereka;

Bek na le lumpo meukethum beudee, Beu jioh gadoh darah meu lee lee

Damei yang kana ta papah sabee, Ban sigom nanggroe ade sabee

Beu ta rasa, beu sijahtra, Bek mat budee asoe naggroe

Beu keuh adee trok lungkiek glee, Beu bahgia kampong di pante

Beu keuh sampo bak bineh blang, Beu jroh sabee lam damei trang

Nanggroe beu makmu, raja beu adee, Aceh meusyeuheu, rakyat sijahtra

Ta meu jroh-jroh sabee-sabee, Papah damei sare-sare

(Jingle Beumeusyeuheu)

Gambar 4. Logo Zaini Abdullah-Nasaruddin

(Sumber: Facebook Azan Untuk Aceh dan Instagram @AzanUntukAceh, 2016)

(4) Sedangkan jika ditelaah dari visualisasi logo dan grafis utama kampanye yang

mereka gunakan, pasangan ini tengah mencoba menggambarkan diri sebagai sosok calon

pemimpin pemersatu Aceh. Hal ini terlihat dari penyandingan foto keduanya dengan

peta Provinsi Aceh yang berwarna merah. Pada sisi lain dalam foto utama yang selalu

mereka gunakan sebagai atribut kampanye, Abu Doto terlihat berpakaian teluk belanga,

sedangkan Pak Nas mengenakan pakaian warna hitam dengan motif kerawang khas

dataran tinggi Gayo. Melalui pakaian tersebut, pasangan ini seolah merepresentasikan

harmonisasi atas konsolidasi dari dua suku yang acap kali berseberangan dalam

Page 14: ANALISIS POLITICAL BRANDING CALON KEPALA DAERAH DALAM

Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017

69

percaturan sosial dan politik di Tanah Rencong, yakni Gayo dan Aceh; (5) Nuansa

perdamaian dan perjuangan juga terbaca dalam visualisasi atribut kampanye miliki

pasangan ini yang didominasi oleh tiga warna utama yakni merah, putih, dan hitam yang

notabene merupakan warna dasar dari bendera GAM. Melalui penggunaan ketiga warna

tersebut secara konsisten dalam berbagi atribut kampanye, semakin mengukuhkan

konstruksi identitas atas pasangan ini sebagai sosok pemimpin yang tidak hanya akan

menjaga perdamaian, namun juga menghargai perjuangan masa lalu.

Gambar 5. Penampilan Zaini Abdullah-Nasaruddin

(Sumber: Instagram @AbuDotoZaini Abdullah, 2016, Ajnn, 2017 dan Doc. Pribadi)

(6) pasangan ini terlihat lebih sering menggenakan pakaian berwarna putih dan batik

dalam serangkaian agenda kampanye yang mereka lakukan, hal ini secara tidak

langsung menunjukkan bahwasanya mereka merupakan sosok pemimpin berjiwa

nasionalis yang tidak lagi terjebak dengan isu-isu kedaerahan; (7) Sebagai mantan elit

GAM yang telah terbiasa mengemban tugas untuk mengayomi dan mengabdikan diri

demi kesejahteraan anggota kelompoknya, hal ini pun ternyata juga terlihat dalam gaya

kampanye yang mereka terapkan pada Pilkada 2017 ini. Gaya kampanye yang mereka

lakukan terbilang cukup humanis, yakni dengan seringnya pasangan ini turun langsung

ke daerah-daerah guna melakukan kampanye dialogis dan berdiskusi dengan berbagai

kelompok masyarakat, ketimbang berorasi di atas podium. Bahkan tidak segan

melakukan blusukan ke pasar-pasar tradisional, kawasan cagar budaya, serta

pemukiman penduduk hanya untuk menyapa, berinteraksi, dan mendengarkan keluhan

para konstituennya; (8) Kemampuan intelektualitas dan persuasi yang cukup mumpuni

sebagai mantan mediator juga terlihat dari gaya bicara dan bahasa tubuh yang mereka

tunjukkan selama masa kampanye. Gaya bicara yang santun dan cenderung tenang

dalam melakukan orasi politik serta kemampuan persuasi yang cukup impresif dengan

penggunaan bahasa yang mudah dimengerti oleh konstituennya. Selain itu, pasangan

Abu Doto dan Pak Nas juga diketahui memiliki ilmu agama yang cukup baik, maka

tidak jarang keduanya sering didaulat sebagai khatib untuk mengisi khutbah Jum’at di

Page 15: ANALISIS POLITICAL BRANDING CALON KEPALA DAERAH DALAM

Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017

70

berbagai masjid di Aceh; (9) Pasangan ini juga terlihat sangat tenang dan elegan yang

terlihat dari cara mereka menanggapi serangan dan intimidasi yang dilancarkan oleh

kompetitor; (10) Selain itu, karakter sebagai mantan non-kombatan yang cenderung

mengupayakan jalur diplomasi dan menghindari konflik secara tidak langsung

tersiratkan dalam alasan yang melatarbelakangi keputusan Pasangan Azan untuk maju

melalui jalur independen. Abu Doto juga mengklaim bahwa dengan majunya ia melalui

jalur independen maka ia tidak akan dikontrol oleh pihak manapun, sehingga ia dapat

senantiasa mengabdikan seluruh dedikasi serta loyalitasnya hanya kepada rakyat Aceh.

Bahkan dalam orasinya, ia secara tegas menyatakan bahwasanya para rekan-rekan

seperjuangannya dahulu kini telah mengingkari makna perjuangan sesungguhnya

dengan membentuk koalisi bersama partai nasional yang notabene memiliki rekam jejak

kelam dalam konfllik yang pernah terjadi di Aceh. Berikut cuplikan orasi politiknya:

“Masih ingatkah anda siapa yang memberlakukan DOM? Apa partai yang dibangunnya

kini? Coba lihat siapa yang sekarang berkoalisi dengan nomor 5? Gerindra ya? Jangan

sampai salah langkah, jangan percaya ancaman ataupun intimidasi untuk memilih

mereka. Seandainya kita seorang panglima sekaligus mencalonkan diri sebagai

gubernur, maka tidak perlu kiranya bantuan orang lain di luar Aceh untuk

mengkampanyekan dirinya di hadapan rakyat Aceh. Itu menandakan bahwa kita tidak

memiliki kekuatan, lupa harga diri. Masih ingatkah anda di tahun 2003 siapakah aktor

dibelakang Darurat Militer? Lihat siapa yang kini bekerjasama dengan mereka?

Mereka semua itu harus dimandikan, pikiran mereka sudah rusak, itu bukan lagi

saudara kita. Kembali semuanya ke sini, ke barisan ini. Kini tidak ada lagi yang bisa

menguasai kita, saya maju sendiri. Tidak boleh ada remote control kecuali di tangan

rakyat Aceh. Saya tidak mewakili partai apapun dan tidak memiliki anggota DPR tapi

tidak masalah, karena rakyatlah yang menentukan.” (Zaini Abdullah dalam Kampanye

Akbar AZAN, Pidie, 9/2/2017)

Gambar 6. Zaini Abdullah-Nasaruddin dan Pemilih Muda

(Sumber: Youtube Azan Channel dan Instagram @AzanUntukAceh, 2016)

(11) Pada sisi lain, jika ditinjau dari variabel produk politik, pasangan ini terlihat mulai

mencoba untuk melepaskan stigma latar belakang sosial sebagai mantan non-kombatan

dengan tidak lagi menyangkutpautkan romansa perjuangan masa lalu ke dalam agenda

dan gagasan politik yang ditawarkan kepada konstituen. Mereka mulai sadar akan tugas

Page 16: ANALISIS POLITICAL BRANDING CALON KEPALA DAERAH DALAM

Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017

71

dan tanggung jawab mereka sebagai pelayan publik dan bukan lagi sebagai pembela

kepentingan kelompok tertentu saja. Hal ini terlihat dari cara mereka menyelaraskan

agenda nasional dengan agenda politik yang mereka usung dalam Pilkada Aceh 2017.

Adapun isu-isu yang menjadi fokus utama bagi kelompok ini ialah perihal penegakan

syariat Islam, peningkatan kualitas kesejahteraan rakyat, serta pembangunan

berkelanjutan di segala bidang; (12) Hal serupa juga terlihat dalam variabel positioning,

dimana pasangan non-kombatan cenderung menyasar segmentasi young voters, kaum

perempuan, nelayan, buruh, petani, serta golongan pemilih rasional yang didekati

dengan cara menonjolkan integritas, reputasi, kemampuan, serta rancangan gagasan

logis yang relevan dengan tidak lagi terjebak dalam embel-embel historis.

Penutup

Berdasarkan hasil temuan penelitian dan berlandaskan parameter analisis seperti

yang telah dipaparkan pada bagian sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa

perbedaan latar belakang sosial yang dimiliki oleh para kontestan sebagai mantan

kombatan dan non-kombatan ternyata membawa sebagian perbedaan dalam nuansa

political branding yang mereka munculkan ke hadapan konstituen selama masa

kampanye Pilkada Aceh 2017. Hal ini dikarenakan transformasi yang terjadi pada para

mantan kombatan dan non-kombatan yang kini menjadi aktor politik tidak serta merta

menghapuskan watak dasar, kompetensi, ideologi, serta pandangan politik yang mereka

miliki sebagai mantan anggota gerakan separatis.

Daftar Pustaka

Abdillah, L. A. (April 2014). Social Media As Political Party Campaign in Indonesia. Jurnal

Ilmiah MATRIK Bina Darma University, 16(1), 1-10.

Akmal, S. (2015). The Language of Ex-GAM in the Media: Political Rhetoric in Post-Conflict

Aceh. Dissertation Goethe University Frankfurt am Main.

Ardiansyah. (2015). Pelembagaan Partai Aceh (Partai Lokal Eks Kombatan GAM): Kegagalan

Partai Aceh Mempertahankan Keutuhan Internal (Tesis, Universitas Gadjah Mada).

Azoulay, A., & Kapferer, J.-N. (2003). Do Brand Personality Scales Really Measure Brand

Personality? Journal of Brand Management, 11(2), 143-155.

Berger, P. L., & Luckmann, T. (1966). The Social Construction of Reality. London: Penguin

Books Ltd.

Creswell, J. W. (2008). Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. California:

SAGE Publications Inc.

Davis, M. (2009). The Fundamentals of Branding. Switzerland: AVA Publishing.

Ditsch, K. (2012). The Influence of Logo Design and Branding on Political Campaigns (Thesis,

Indiana University Bloomington).

Page 17: ANALISIS POLITICAL BRANDING CALON KEPALA DAERAH DALAM

Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017

72

Downer, L. (2013). Political Branding in Australia: a Conceptual Model. 63rd Political Studies

Association Annual International Conference. Cardiff: Political Studies Association.

Fadhil, R. (19 Juli 2016). Gam Lawan GAM „Keusoe Lheuh‟? Diakses pada 1 Oktober 2016 dari

http://aceh.tribunnews.com/2016/07/19/gam-lawan-gam-keusoe-lheuh.

Fox, R. L., & Ramos, J. M. (2012). iPolitics: Citizens, Elections, and Governing in the New

Media Era. New York: Cambridge University Press.

Gelder, S. V. (2003). Global Brand Strategy : Unlocking Brand Potential Across Countries.

London: Kogan Page.

Graber, D. A. (2011). Media Power in Politics. Washington D.C: CQ Press.

Hadiwinata, B. S. (2010). Transformasi Gerakan Aceh Merdeka. Jakarta: Friedrich Ebert

Stiftung.

Henckaerts, J.-M., & Doswald-Beck, L. (31 Desember 2006). Customary International

Humanitarian Law. Diakses pada 30 November 2016 dari

https://www.icrc.org/eng/resources/documents/publication/pcustom.htm.

Howard, P. N. (2006). New Media Campaigns and the Managed Citizen. United States:

Cambridge University Press.

Hsieh, H.-F., & Shannon, S. E. (2005). Three Approaches to Qualitative Content Analysis.

Qualitative Health Research, 15(9), 1277-1288.

Ishak, O. S. (2013). Aceh Pasca Konflik: Kontestasi 3 Varian Nasionalisme. Banda Aceh:

Bandar Publishing.

Johnson, D. W. (2009). Routledge Handbook of Political Management. New York: Routledge.

Kaid, L. L. (2012). Political Advertising as Political Marketing: A Retro-Forward Perspective.

Journal of Political Marketing, 12(1-2), 29-53.

Kanal Aceh. (3 Maret 2016). Melawan Jakarta di Pilkada Aceh 2017. Diakses pada 10

November 2016 https://www.kanalaceh.com/2016/03/10/melawan-jakarta-pilkada-

aceh-2017/.

KIP. (18 Agustus 2016). Daftar Penduduk Pemilih Potensial (DP4) Pilkada Aceh 2017. Diakses

pada 20 Oktober 2016 dari http://kip.acehprov.go.id/daftar-penduduk-pemilih-potensial-

dp4-pilkada-aceh-2017/.

KPU. (7 April 2016). Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 3 Tahun

2016. Diakses pada 1 September 2016 dari http://jdih.kpu.go.id/:

http://jdih.kpu.go.id/data/data_pkpu/pkpu%203%202016%20ok.pdf

Krippendorff, K. (2004). Content Analysis: an Introduction to its Methodology. California:

SAGE Publications, Inc.

Lilleker, D. G. (2015). Interactivity and Branding: Public Political Communication as a

Marketing Tool. Journal of Political Marketing, 14(1-2), 111-128.

Maarek, P. J. (2011). Campaign Communication & Political Marketing. United Kingdom: John

Wiley & Sons Ltd. Publication.

Marland, A. (2013). What is a Political Brand?: Justin Trudeau and the Theory of Political

Branding. Paper presented at the 2013 Annual Meetings of the Canadian

Communication Association and the Canadian Political Science Association. University

of Victoria, British Columbia.

Matang, P. (25 Agustus 2016). Menakar Peluang Kandidat Memenangkan Pertarungan.

Diakses pada 18 Oktober 2016 dari http://pikiranmerdeka.co/2016/08/25/menakar-

peluang-kandidat-memenangkan-pertarungan/.

Mensah, K. (2016). Political Brand Architecture: Towards a New Conceptualisation of Political

Branding in an Emerging Democracy. African Journalism Studies, 37(3), 61-84.

Middleton, S. (2010). Build a Brand in 30 Days. United Kingdom: Capstone Publishing Ltd.

Milewicz, C. M., & Milewicz, M. C. (2014). The Branding of Candidates and Parties: The U.S.

News Media and the Legitimization of a New Political Term,. Journal of Political

Marketing, 13(4), 233-263.

Montoya, P., & Vandehey, T. (2009). The Brand Called You: Create a Personal Brand That

Wins Attention and Grows Your Business. New York: McGraw Hill.

Page 18: ANALISIS POLITICAL BRANDING CALON KEPALA DAERAH DALAM

Jurnal Komunikasi Global, Volume 6, Nomor 1, 2017

73

Nielsen, S. W. (2015, Agustus 24). Measuring Political Brands: An Art and a Science of

Mapping the Mind. Journal of Political Marketing, 1-26.

Nurhasim, M. (2012). Dominasi Partai Aceh Pasca MoU-Helsinki. Jurnal Penelitian Politik,

9(2), 35-49.

Philbrick, J. L., & Cleveland, A. D. (2015). Personal Branding: Building Your Pathway to

Professional Success. Medical Reference Services Quarterly, 181-189.

Sandra, L. J. (2013). Political Branding Jokowi Selama Masa Kampanye Pemilu Gubernur Dki

Jakarta 2012 Di Media Sosial Twitter. Jurnal e-Komunikasi Universitas Kristen Petra

Surabaya, 1(2), 276-287.

Scammell, M. (2015). Politics and Image: The Conceptual Value of Branding. Taylor & Francis

Journal of Political Marketing , 14(1-2), 7-18.

Schulze, K. E. (2004). The Free Aceh Movement (GAM): Anatomy of a Separatist

Organization. Policy Studies 2 East-West Center Washington.

Sonies, S. (28 April 2011). Consumer Branding in Politics: A Comparison of Presidents Ronald

Reagan and Barack Obama. Diakses pada 13 September 2016 dari

https://american.edu/soc/communication/upload/Sarah-Sonies.pdf.

Speed, R., Butler, P., & Collins, N. (2015). Human Branding in Political Marketing: Applying

Contemporary Branding Thought to Political Parties and Their Leader. Journal of

Political Marketing, 14(1-2), 129-151.

Stange, G., & Patock, R. (2010). From Rebels to Rulers and Legislators: The Political

Transformation of the Free Aceh Movement (GAM) in Indonesia. Journal of Current

Southeast Asian Affairs, 29(1), 95-120.

Suhendra, A. (2014). Senjata Baru dalam Ruang Politik : Konstruksi Sosial penggunaan Jejaring

Sosial Online dalam Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta 2012. Jurnal Sejarah dan

Budaya Universitas Malang, 1-12.