arianto wibowo
DESCRIPTION
ArBowTRANSCRIPT
FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
PERILAKU PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI
DI AREAL PERTAMBANGAN
PT. ANTAM TbkUNIT BISNIS PERTAMBANGAN EMAS
PONGKORKABUPATEN BOGOR
TAHUN 2010
SKRIPSI
OLEH:
ARIANTO WIBOWO NIM: 104101003173
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2010 M / 1431 H
FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
PERILAKU PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI
DI AREAL PERTAMBANGAN
PT. ANTAM Tbk UNIT BISNIS PERTAMBANGAN EMAS
PONGKOR KABUPATEN BOGOR
TAHUN 2010
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar
Sarjana Kesehatan Masyarakat (SKM)
OLEH:
ARIANTO WIBOWO NIM: 104101003173
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2010 M / 1431 H
i
LEMBAR PERNYATAAN Denganinisayamenyatakanbahwa :
1. Skripsiinimerupakanhasilkaryaaslisaya yang
diajukanuntukmemenuhisalahsatupersyaratanmemperolehgelar strata 1 di
FakultasKedokterandanIlmuKesehatanUniversitas Islam Negeri (UIN)
SyarifHidayatullah Jakarta.
2. Semuasumber yang
sayagunakandalampenulisaninitelahsayacantumkansesuaidenganketentuan
yang berlaku di FakultasKedokterandanIlmuKesehatanUniversitas Islam
Negeri (UIN) SyarifHidayatullah Jakarta.
3. Jika di
kemudianhariterbuktibahwakaryainibukanhasilkaryaaslisayaataumerupakanjip
lakandarikarya orang lain, makasayabersediamenerimasanksi yang berlaku di
FakultasKedokterandanIlmuKesehatanUniversitas Islam Negeri (UIN)
SyarifHidayatullah Jakarta.
Jakarta, Juni 2010
AriantoWibowo
ii
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT PEMINATAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA Skripsi, Agustus 2010
AriantoWibowo, NIM : 104101003173
Faktor-Faktor Yang BerhubunganDenganPerilakuPenggunaanAlatPelindungDiri Di Areal Pertambangan PT. ANTAM Tbk, Unit BisnisPertambanganEmasPongkorKabupatenBogorTahun 2010
xxi+ 102halaman, 11tabel, 12gambar, 3lampiran
ABSTRAK
Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) merupakan tahap akhir dari metode pengendalian kecelakaan maupun penyakit akibat kerja. Meskipun demikian, penggunaan APD akan menjadi sangat penting apabila pengendalian secara teknis dan administratif telah dilakukan secara maksimal namun potensi risiko masih tergolong tinggi. Besarnya manfaat dari penggunaan alat pelindung diri (APD) ini pada saat bekerja tidak menjamin semua pekerja akan memakainya karena ternyata masih banyak juga pekerja yang tidak menggunakannya. Keefektifan penggunaan alat pelindung diri adalah terbentur dari para tenaga kerja sendiri.Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku pekerja sehingga tidak menggunakan alat pelindung diri yang telah disediakan oleh perusahaan antara lain APD dapat menyebabkan ketidaknyamanan yang berakibat penurunan performa kerja selain itu juga dapat menimbulkan bahaya kesehatan dan keselamatan kerja yang baru.
Untuk itu penulis melakukan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku penggunaan alat pelindung diri di areal pertambangan PT. ANTAM Tbk Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor Kabupaten Bogor Tahun 2010.Didalamnyaakandibahasmengenaipengetahuan, pelatihan, pengawasandankebijakansebagaifaktor yang didugamempengaruhiperilakupenggunaanalatpelindungdiri.
Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif yang menggunakan pendekatan kuantitatif dengan metode cross sectional yang bertujuan untuk mengetahui gambaran penggunaan alat pelindung diri pada pekerja di PT.ANTAM Tbk Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor Tahun 2010.Jumlahsampel yang diambildalampenelitianinisebanyak 110 orang dipilihsecaraacakmenggunakantekniksystematic random sampling.
Data hasilpenelitianmenunjukanbahwadidapatkanadahubunganbermaknaantarapengetahua
iii
ndenganpenggunaanapd (p value = 0,000 dengan OR 57,694), tidakadahubunganbermaknaantarapelatihandenganpenggunaanapd (p value = 0,938), adahubunganbermaknaantarapengawasandenganpenggunaanapd (p value = 0,000 dengan OR 32,533), danadahubunganbermaknaantarakebijakandenganpenggunaanapd (p value = 0,000 dengan OR 87,040).
Saran yang diajukanuntukmeningkatkanpenggunaanapdpadapekerjayaitudengancarapeningkatanpengawasan, menjalankanperaturanapd yang sudahadadenganbenardanpeningkatanpengetahuandanpemahamantentangpenggunaanapd. DaftarBacaan : 53 (1980 - 2010)
iv
FACULTY OF MEDICINE AND HEALTH SCIENCE PROGRAM STUDY PUBLIC HEALTH MAJORING OCCUPATIONAL HEALTH AND SAFETY Undergraduated Thesis, August 2010 AriantoWibowo, NIM : 104101003173
Factors Associated With the Use of Personal Protective Equipment Behavior In Mining Area of PT.AntamTbk, Gold Mining Business Unit Pongkor Bogor Year 2010 (xxi+ 102pages, 11 tables, 12pictures, 3attachments)
ABSTRACT
Use of Personal Protective Equipment (PPE) is the final stage of the method of control accidents and occupational diseases. Nevertheless, the use of PPE will be very important if technically and administratively controls have been carried out to the maximum but still relatively high risk potential. The amount of benefits from the use of personal protective equipment (PPE) on the job does not guarantee that all workers will wear it because there are still many workers who do not use it. The effectiveness of the use of personal protective equipment is bumped from his own labor. Many factors influence the behavior so that workers do not use personal protective equipment provided by companies such as PPE can cause discomfort resulting decline in job performance but it also can pose health and new safety hazards.
This study aims to determine the factors associated with the behavior of the use of personal protective equipment in the mining area of PT.ANTAM Tbk Gold Mining Business Unit Pongkor Bogor in 2010. Therein will be discussed on the knowledge, training, supervision, and policies as factors suspected to influence the behavior of the use of personal protective equipment.
This type of research is a descriptive study that uses a quantitative approach with cross sectional method that aims to know the description of the use of personal protective equipment to workers in PT.ANTAM Tbk Gold Mining Business Unit Pongkor Bogor in 2010. The sample in this study as many as 110 people selected at random by using sistematic random sampling.
Data obtained results showed there is significant relationship between knowledge with the use of PPE (p value = 0,000 with OR 57,694), there is no significant relationship between training with the use of PPE (p value = 0,938), there is significant relationship between supervision with the use of PPE (p value = 0,000 with OR 32,533), and there is significant relationship between the policy with the use of PPE (p value = 0,000 with OR 87,040).
v
Recommendation suggested to increase the use of PPE at work by increased supervision, follow the existing rules of PPE correctly and increased knowledge and understanding of the use of PPE.
Reading list: 53 (1980-2010)
vi
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi dengan judul
FAKTOR – FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKU
PENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRIDI AREAL PERTAMBANGAN
PT. ANTAM Tbk UNIT BISNIS PERTAMBANGAN EMAS PONGKOR
KABUPATEN BOGOR TAHUN 2010
Telah disetujui dandiperiksauntuk dipertahankandi hadapan Tim Penguji Skripsi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
Jakarta,Agustus 2010
dr. Yuli Prapanca Satar, MARS Pembimbing Skripsi
vii
PANITIA SIDANG UJIAN SKRIPSI
PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
Jakarta, Agustus 2010
Penguji I
dr. Yuli Prapanca Satar, MARS
Penguji II
Yuli Amran, SKM, MKM
Penguji III
Ir. Bambang SP, MKKK
ix
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : AriantoWibowo
TTL : Jakarta, 30 November 1986
JenisKelamin : Laki-laki
Alamat : Kp. Sindangkarsa RT.04 RW.04 No.19 TaposDepok 16455
Telepon : 021-87743565
Handphone : 081388444345
E-mail : [email protected]
PENDIDIKAN FORMAL
2004 – 2010 : Peminatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Program Studi Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
2001 – 2004 : SMA Negeri 3 Depok
1998 – 2001 : SLTP Negeri 7 Depok
1992 – 1998 : SD Negeri Sukamaju Baru 3
x
KATA PENGANTAR
بسم ا هللا ا لرحمن ا لر حیم
ا لسال م علیكم ورحمة ا هللا و بر كا تھ
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, yang telah
memberikan nikmat dan karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi
yang berjudul “Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Perilaku Penggunaan Alat
Pelindung Diri di Areal Pertambangan PT.ANTAM Tbk Unit Bisnis Pertambangan
Emas Pongkor Kabupaten Bogor Tahun
2010”.Shalawatdansalamjugatercurahbagijunjungandansuritauladankita, Nabi
Muhammad SAW.Pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih
sebesar-besarnya kepada:
1. Orang tua saya, spirit of my life, Terima kasih atas semua kasih sayangnya,
kesabarannya membesarkan penulis, dan perjuangannya sehingga penulis
dapat menikmati dan mengenyam pendidikan sejak kecil sampai sekarang.
2. Prof. DR (hc). dr. M.K. Tadjudin, Sp. And, selaku Dekan Fakultas
Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. dr. Yuli Prapanca Satar, MARS, selaku Ketua Program StudiKesehatan
Masyarakat (PSKM) Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK)
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang juga
xi
sebagai pembimbing penulis dalam penyusunan skripsi ini yang selalu
memberikan saran, nasihat dan bimbingan.
4. Ibu Yuli Amran, SKM, MKM dan Ir. Bambang SP, MKKK, atas
kesediaannya menjadi dosen penguji. Terimakasihatasbimbingan, arahan,
dan saran yang berharga.
5. IbuItingShofwati, ST, M.KKK,selakuKoordinatorPeminatan K3 yang
selalumemberikanmotivasikepadapenulisuntukmenyelesaikanskripsiini.
6. SegenapBapak/IbuDosen Program StudiKesehatanMasyarakat, yang
telahmemberikanilmupengetahuan yang
sangatbergunabagipenulisselamamengenyampendidikansebagaimahasiswa.
7. BapakAriyanto Budi Santoso, ST, MMselakuSafety and Environment
ManagerPT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor yang
telahmembantupenulisdalammemberikankritikdan saran yang
bermanfaatselamakegiatanskripsiberlangsung.
8. BapakSabari, Selaku AM Safety PT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor yang
telahmembantupenulisdalammemberikankritikdan saran yang
bermanfaatselamakegiatanskripsiberlangsung.
9. Seluruh Staf Safety Dept PT.ANTAM Tbk UBPE Pongkor yang tidak dapat
penulis sebutkan satu persatu.
10. Seluruh karyawan PT.ANTAM Tbk, yang telah bersedia menjadi responden.
11. Seluruh teman-teman Kesehatan Masyarakat Angkatan 2004 khususnya K3
atas kebersamaan yang menyenangkan, semoga kisah kita menjadi sebuah
kisah klasik di masa depan.
xii
Skripsi ini memang masih jauh dari sempurna, oleh sebab itu diharapkan kritik
dan saran yang membangun agar dapat memperbaiki isi skripsi ini. Akhir kata,
semogaskripsiinidapatmemberikontribusikepadaperkembanganilmu K3
danbermanfaatbagisemuapihak yang membutuhkan.Amien.
و ا لسال م علیكم ورحمة ا هللا و بر كا تھ
Jakarta,Juni2010
Penulis
xiii
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................... i
ABSTRAK ....................................................................................................... ii
PERNYATAAN PERSETUJUAN ................................................................... vi
LEMBAR PENGESAHAN............. ................................................................... vii
LEMBAR PERSEMBAHAN............................................................................ viii
DAFTAR RIWAYAT HIDUP.......................................................................... ix
KATA PENGANTAR......... ............................................................................... x
DAFTAR ISI ....................................................................................................... xiii
DAFTAR TABEL ...........................................................................................xviii
DAFTAR GAMBAR ...........................................................................................xx
LAMPIRAN ....................................................................................................... xxi
BAB I
PENDAHULUAN ........................................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ............................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................... 7
1.3. Pertanyaan Penelitian ................................................................... 8
1.4. Tujuan Penelitian ............................................................................... 9
1.4.1. Tujuan Umum ................................................................... 9
1.4.2. Tujuan Khusus ................................................................... 9
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebuah perusahaan dalam menjalankan aktifitasnya selalu menginginkan
keberhasilan baik berupa hasil produksi maupun layanannya. Untuk menunjang hal
tersebut maka diperlukan tempat kerja yang sehat dan aman sehingga tidak terjadi
kecelakaan ataupun penyakit akibat kerja yang menyebabkan penurunan hasil
produksi dan buruknya pelayanan terhadap konsumen (Sumbung, 2000).
Saat ini peran Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) sangatlah vital, selain
sebagai salah satu aspek perlindungan terhadap tenaga kerja juga berperan untuk
melindungi aset perusahaan. Hal ini tercermin dalam pokok-pokok pikiran dan
pertimbangan dalam undang-undang no. 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja
yaitu bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapat perlindungan atas keselamatan
dalam melakukan pekerjaan dan setiap orang lainnya yang berada di tempat kerja
perlu terjamin pula keselamatannya serta setiap sumber produksi perlu dipakai dan
dipergunakan secara aman dan efisien, sehingga proses produksi berjalan lancar. Hak
atas jaminan keselamatan ini membutuhkan prasyarat adanya lingkungan kerja yang
sehat dan aman bagi tenaga kerja dan masyarakat di sekitarnya (Pudjowati, 1998).
Pelaksanaan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk
upaya untuk menciptakan tempat kerja yang aman, sehat dan bebas dari pencemaran
lingkungan, sehingga dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan
penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan
2
produktivitas kerja. Kecelakaan kerja tidak saja menimbulkan korban jiwa maupun
kerugian materi bagi pekerja dan pengusaha, tetapi juga dapat mengganggu proses
produksi secara menyeluruh, merusak lingkungan yang pada akhirnya akan
berdampak pada masyarakat luas (Kusuma, 2004).
Sejak tahun 2004 sampai tahun 2006 tingkat kecelakaan kerja di Indonesia
tergolong tinggi. Hal tersebut harus menjadi perhatian semua komponen agar masalah
keselamatan dalam bekerja dapat ditingkatkan. Pelaksanaan keselamatan di setiap
tempat kerja sebagaimana yang diamanatkan Undang-Undang No.1 Tahun 1970 dan
UU No.13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, merupakan kewajiban pengusaha
untuk melindungi tenaga kerja dari potensi bahaya yang dihadapi. Semuanya untuk
mewujudkan kondisi kerja yang aman, sehat, bebas kecelakaan dan penyakit akibat
kerja (Pelalawan, 2008).
Penggunaan teknologi disamping memberikan dampak positif, tidak jarang
mengakibatkan pengaruh buruk terutama apabila tidak dikelola dengan baik.
Berbagai sumber bahaya di tempat kerja baik dari faktor fisik, kimia, biologi, mesin,
peralatan kerja dan perilaku manusia merupakan faktor risiko yang tidak dapat
diabaikan begitu saja. Penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3)
mengupayakan agar risiko kecelakaan kerja dapat diminimalisasi melalui teknologi
pengendalian terhadap lingkungan atau tempat kerja serta upaya mencegah dan
melindungi tenaga kerja agar terhindar dari dampak negatif dalam melaksanakan
pekerjaan (Budiono, 2005).
Laporan International Labour Organization (ILO) memasukkan Indonesia
sebagai negara dengan angka kecelakaan kerja terbesar kedua di dunia. Laporan itu
3
didasarkan pada survei terhadap 53 negara tahun lalu, sesuai data ILO, terjadi 65.474
kecelakaan kerja di Indonesia. Di antara jumlah tersebut, 1.451 orang tenaga kerja
meninggal dunia. Selain itu, 5.326 pekerja cacat tetap dan 58.697 sembuh tanpa cacat
(Dwi, 2008).
Berdasarkan laporan dari PT Jamsostek mengenai jumlah kecelakaan kerja
yang terjadi di Indonesia pada tahun 2006 didapatkan bahwa total kasus yang terjadi
sebanyak 95.624 kasus kecelakaan kerja yang terdiri dari cacat fungsi sebanyak 4.973
kasus, cacat sebagian sebanyak 2.918 kasus, cacat total sebanyak 122 kasus, jumlah
kematian sebanyak 1.784 kasus dan yang mengalami sembuh sebanyak 85.827 kasus
(Depnakertrans RI, 2007).
Berdasarkan data Depnakertrans, angka kecelakaan kerja di Indonesia masih
tergolong tinggi, meskipun cenderung turun dari tahun ke tahun. Tahun 2000 terjadi
98.902 kasus, tahun 2001 terjadi 104.774 kasus, tahun 2002 terjadi 103.804 kasus,
tahun 2003 terjadi 105.846 kasus, tahun 2004 terjadi 95.418 kasus, tahun 2005 terjadi
99.023 kasus dan tahun 2006 menjadi 95.624 kasus (Mohamad, 2008). Depnakertrans
tahun 2007 menunjukkan 65.474 kasus kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.
Hal itu mengakibatkan jatuhnya korban 1.451 orang meninggal, 5.326 orang cacat,
dan 58.697 orang sembuh tanpa cacat (Ip, 2008).
Unit kerja di PT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor ada 3 unit kerja yaitu unit
produksi tambang, unit development dan unit supporting. Pada unit supporting terdiri
dari sarana tambang, pengisian ulang, pemeliharaan peralatan tambang, perencanaan
tambang dan quality control (pengukuran tambang serta pengawasan kadar dan
geoteknik). Unit kerja ialah pembagian satuan kerja di area proses maupun non proses
4
yang masing-masing terdiri atas beberapa jenis pekerjaan (Suma’mur, 1996). Jenis
pekerjaan mempunyai pengaruh besar terhadap risiko terjadinya kecelakaan akibat
kerja. Jumlah dan macam kecelakaan akibat kerja berbeda-beda di berbagai kesatuan
operasi dalam suatu proses (Suma’mur, 1996).
Tingkat kecelakaan kerja pada PT. Aneka Tambang selama lima tahun
terakhir tergolong tinggi. Korban mencapai 1.209 orang, meliputi 118 orang
meninggal dunia, 439 orang luka berat, serta 652 orang luka ringan. Korban
kecelakaan kerja di tambang pada tahun 1997 sebanyak 269 orang, meliputi 143
orang luka ringan, 102 orang luka berat, dan 24 orang meninggal dunia. Tahun
berikutnya korban kecelakaan sebanyak 259 orang, meliputi 147 orang luka ringan,
93 orang luka berat, dan 19 orang meninggal dunia. Tahun 2001 sebanyak 106 orang
luka ringan, 86 orang luka berat, serta 19 orang meninggal dunia. Tahun 2003
sebanyak 103 orang luka ringan, 74 orang luka berat, dan 31 orang meninggal dunia.
Pada tahun 2003 tercatat 153 orang luka ringan, 84 orang luka berat dan 31 orang
meninggal dunia (Jan, 2004).
Pongkor adalah salah satu tambang emas bawah tanah di Indonesia yang
menggunakan kombinasi metode penambangan konvensional dan mechanised cut
and fill. Pada tahun 2006 ada 58 kejadian kasus kecelakaan kerja dengan nilai FR =
3,29 dan SR = 44,152. Pada tahun 2007 ada 63 kasus kecelakaan kerja dengan nilai
FR = 1,59 dan SR = 6,90. Serta pada tahun 2008 ada 64 kasus kecelakaan kerja
dengan nilai FR = 3,01 dan SR = 33. nilai FR dan SR dari tahun 2006 sampai dengan
tahun 2008 mengalami grafik yang turun naik dikarenakan perbedaan jumlah jam
kerja yang dicapai. Pada tahun 2006 sebanyak 1.815.516 meningkat di tahun 2007
5
menjadi 1.867.430 dan turun pada tahun 2008 menjadi 1.801.463 (PT. ANTAM,
2009).
Kejadian kecelakaan kerja di PT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor dari tahun
2006 sampai dengan tahun 2008 meningkat dan paling banyak terjadinya kecelakaan
kerja pada area pertambangan. Pada tahun 2006 kejadian kecelakaan kerja di area
pertambangan ada 40 kasus (69%) dari total kasus kecelakaan kerja di PT. ANTAM
Tbk UBPE Pongkor mengalami peningkatan menjadi 45 kasus (71,4%) pada tahun
2007. Hal ini berarti pekerja di area pertambangan PT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor
berisiko mengalami kecelakaan kerja (PT. ANTAM, 2009).
Kecelakaan kerja dapat terjadi karena disebabkan beberapa faktor antara lain
adanya faktor teknologi, manajemen dan manusia. Faktor teknologi terkait dengan
kemampuan dari suatu peralatan atau mesin. Faktor manajemen yaitu berupa
komitmen, kebijakan, pengawasan dan prosedur kerja mengenai pelaksanaan K3.
Faktor manusia yaitu perilaku atau kebiasaan kerja yang tidak aman (Suma’mur,
1996).
Cara yang terbaik untuk mencegah kecelakaan kerja adalah dengan
menghilangkan risikonya atau mengendalikan sumber bahayanya secara teknis dan
apabila mungkin, bila tidak mungkin maka perusahaan perlu menyediakan alat
pelindung diri yang sesuai bagi pekerja yang berisiko, sesuai dengan UU No. 1
Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja Bab IX pasal 13 yang menyatakan barang
siapa akan memasuki suatu tempat kerja diwajibkan mentaati semua petunjuk
Keselamatan Kerja dan memakai alat pelindung diri yang diwajibkan (Suma’mur,
1996).
6
Menurut ILO (1993) upaya yang efektif untuk mencegah kecelakaan kerja
yang tidak terduga adalah dengan menutup sumber kerja tersebut, tetapi jika tidak
mungkin maka alternatif lain adalah dengan menyediakan Alat Pelindung Diri (APD)
bagi pekerjanya yang bekerja pada tempat yang memiliki risiko kecelakaan kerja
yang cukup tinggi. Umumnya ada lima kategori pengendalian bahaya, yaitu eliminasi,
subtitusi, engineering, administratif dan alat pelindung diri. Eliminasi yaitu dengan
cara menghilangkan bahaya kerja, substitusi dengan cara mengganti bahan atau
proses kerja dengan yang lebih aman, engineering dengan cara membuat pelindung
pada bagian mesin yang membahayakan pekerja, administratif dengan cara job
rotation dan terakhir yaitu Alat Pelindung Diri (APD).
Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) merupakan tahap akhir dari metode
pengendalian kecelakaan maupun penyakit akibat kerja. Meskipun demikian,
penggunaan APD akan menjadi sangat penting apabila pengendalian secara teknis
dan administratif telah dilakukan secara maksimal namun potensi risiko masih
tergolong tinggi. Besarnya manfaat dari penggunaan alat pelindung diri (APD) ini
pada saat bekerja tidak menjamin semua pekerja akan memakainya karena ternyata
masih banyak juga pekerja yang tidak menggunakannya..
Alat pelindung diri sudah lazim digunakan oleh pekerja, namun pada
kenyataannya belum semua pekerja menggunakan sebagaimana seharusnya.
Keefektifan penggunaan alat pelindung diri adalah terbentur dari para tenaga kerja
sendiri. Banyak faktor yang mempengaruhi perilaku pekerja sehingga tidak
menggunakan alat pelindung diri yang telah disediakan oleh perusahaan antara lain
APD dapat menyebabkan ketidaknyamanan yang berakibat penurunan performa kerja
7
selain itu juga dapat menimbulkan bahaya kesehatan dan keselamatan kerja yang baru.
Dengan menggunakan APD pada waktu bekerja maka kemungkinan untuk terjadi
kecelakaan menjadi kecil. Oleh karena itu APD harus diperhatikan oleh semuanya
baik oleh pekerja maupun oleh perusahaan.
1.2 Rumusan Masalah
Kejadian kecelakaan kerja di PT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor dari tahun
2006 sampai dengan tahun 2008 meningkat dan paling banyak terjadinya kecelakaan
kerja pada area pertambangan. Pada tahun 2006 kejadian kecelakaan kerja di area
pertambangan ada 40 kasus (69%) dari total kasus kecelakaan kerja di PT. ANTAM
Tbk UBPE Pongkor mengalami peningkatan menjadi 45 kasus (71,4%) pada tahun
2007. Hal ini berarti pekerja di area pertambangan PT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor
berisiko mengalami kecelakaan kerja.
Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) merupakan tahap akhir dari metode
pengendalian kecelakaan maupun penyakit akibat kerja. Meskipun demikian,
penggunaan APD akan menjadi sangat penting apabila pengendalian secara teknis
dan administratif telah dilakukan secara maksimal namun potensi risiko masih
tergolong tinggi. Besarnya manfaat dari penggunaan alat pelindung diri (APD) ini
pada saat bekerja tidak menjamin semua pekerja akan memakainya karena ternyata
masih banyak juga pekerja yang tidak menggunakannya. Keefektifan penggunaan alat
pelindung diri adalah terbentur dari para tenaga kerja sendiri. Banyak faktor yang
mempengaruhi perilaku pekerja sehingga tidak menggunakan alat pelindung diri yang
telah disediakan oleh perusahaan antara lain APD dapat menyebabkan
8
ketidaknyamanan yang berakibat penurunan performa kerja selain itu juga dapat
menimbulkan bahaya kesehatan dan keselamatan kerja yang baru.
Untuk itu penulis melakukan penelitian ini untuk mengetahui faktor-faktor
yang berhubungan dengan perilaku penggunaan alat pelindung diri di areal
pertambangan PT. ANTAM Tbk Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor
Kabupaten Bogor Tahun 2010.
1.3 Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana gambaran penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada pekerja di
PT. ANTAM Tbk. Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor ?
2. Bagaimana hubungan antara tingkat pengetahuan dengan perilaku penggunaan
APD pada pekerja di PT. ANTAM Tbk. Unit Bisnis Pertambangan Emas
Pongkor ?
3. Bagaimana hubungan antara pelatihan dengan perilaku penggunaan APD pada
pekerja di PT. ANTAM Tbk. Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor ?
4. Bagaimana hubungan antara pengawasan dengan perilaku penggunaan APD
pada pekerja di PT. ANTAM Tbk. Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor ?
5. Bagaimana hubungan antara kebijakan penggunaan APD dengan perilaku
penggunaan APD pada pekerja di PT. ANTAM Tbk. Unit Bisnis
Pertambangan Emas Pongkor ?
9
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk melihat faktor-faktor
yang berhubungan dengan perilaku penggunaan alat pelindung diri di PT.
ANTAM Tbk Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor Kabupaten Bogor
Tahun 2010.
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Diketahuinya gambaran penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada
pekerja di PT. ANTAM Tbk. Unit Bisnis Pertambangan Emas
Pongkor
2. Diketahuinya hubungan antara tingkat pengetahuan dengan perilaku
penggunaan APD pada pekerja di PT.ANTAM Tbk. Unit Bisnis
Pertambangan Emas Pongkor
3. Diketahuinya hubungan antara pelatihan dengan perilaku penggunaan
APD pada pekerja di PT. ANTAM Tbk. Unit Bisnis Pertambangan
Emas Pongkor
4. Diketahuinya hubungan antara pengawasan dengan perilaku
penggunaan APD pada pekerja di PT. ANTAM Tbk. Unit Bisnis
Pertambangan Emas Pongkor
5. Diketahuinya hubungan antara kebijakan penggunaan APD dengan
perilaku penggunaan APD pada pekerja di PT.ANTAM Tbk. Unit
Bisnis Pertambangan Emas Pongkor
10
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Perusahaan
Mendapatkan informasi dan data mengenai gambaran perilaku
penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pekerja di PT. ANTAM Tbk. Unit
Bisnis Pertambangan Emas Pongkor.
1.5.2 Bagi Peneliti Lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi kalangan akademisi
sebagai informasi terhadap penelitian selanjutnya.
1.5.3 Bagi Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Jakarta
Sebagai sumber rujukan dalam penelitian selanjutnya dan sebagai
sumber referensi untuk penelitian selanjutnya.
1.6 Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang berhubungan
dengan perilaku penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) pada pekerja di PT.
ANTAM Tbk. Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor tahun 2010. Faktor-faktor
yang akan diteliti ialah tingkat pengetahuan, pelatihan, pengawasan dan kebijakan.
Penelitian ini menggunakan data primer menggunakan instrumen kuesioner dan
dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan bulan Juni tahun 2010. Penelitian ini
dilakukan di PT. ANTAM Tbk. Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor dengan
menggunakan metode kuantitatif dengan disain studi cross sectional.
11
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Keselamatan kerja adalah sarana utama untuk pencegahan kecelakaan, cacat
dan kematian sebagai akibat kecelakaan kerja yang berkaitan dengan peralatan kerja,
bahaya dan proses pengolahannya, tempat kerja dan lingkungannya, serta cara-cara
melakukan pencegahan (Sumbung, 2000).
Menurut Suma’mur, kesehatan kerja adalah upaya kesehatan yang
diselenggarakan agar pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa membahayakan diri
sendiri sehingga diperoleh produktivitas kerja yang optimal (Suma’mur, 1996).
The American Medical Association dalam Pudjowati (1998) menyatakan
bahwa tujuan dasar dari kesehatan dan keselamatan kerja adalah :
1. Melindungi pekerja dari bahaya-bahaya kesehatan dan keselamatan kerja di
tempat kerja.
2. Dalam prakteknya sejauh mungkin melindungi lingkungan masyarakat
sekitarnya.
3. Menyediakan tempat yang aman baik secara fisik, mental, dan emosional
pekerja dalam bekerja tanpa membahayakan kesehatan dan keselamatan kerja.
4. Mendapatkan perawatan medis yang adekuat dan rehabilitasi bagi mereka
karena kerja.
12
5. Mengadakan pengukuran dan pemeliharaan kesehatan perorangan termasuk
memperoleh dokter pribadi dimana pun bila mungkin.
ILO (1989) telah menetapkan secara garis besar batasan dan tujuan kesehatan
kerja antara lain :
1. Memberikan pemeliharaan dan peningkatan derajat kesehatan ke tingkat yang
setinggi-tingginya, baik fisik, mental maupun kesejahteraan sosial masyarakat
di semua lapangan pekerjaan.
2. Mencegah timbulnya gangguan kesehatan masyarakat pekerja yang
diakibatkan oleh kegiatan atau kondisi lingkungan kerjanya.
3. Memberikan perlindungan bagi pekerja dalam pekerjaannya dari faktor-faktor
yang membahayakan kesehatan.
4. Menempatkan dan memelihara pekerja di suatu lingkungan pekerjaan yang
sesuai dengan kemampuan fisik dan psikis.
2.2. Kecelakaan Kerja
2.2.1. Pengertian Kecelakaan Kerja
Kecelakaan adalah suatu kejadian yang tidak berencana dan tidak terkontrol
yang merupakan salah satu aksi dan reaksi dari objek zat atau manusia. Kecelakaan
adalah kejadian yang tidak diharapkan, dapat mengganggu atau merusak
kelangsungan yang wajar dari suatu kegiatan yang dapat mengakibatkan suatu luka
atau kerusakan pada benda atau peralatan (Kusuma, 2004).
Kecelakaan adalah kejadian yang tidak terduga dan tidak diharapkan. Tak
terduga, oleh karena di belakang peristiwa itu tidak terdapat unsur kesengajaan,
13
terlebih dalam bentuk perencanaan. Tidak diharapkan, oleh karena peristiwa
kecelakaan disertai kerugian material ataupun penderitaan dari yang paling ringan
sampai kepada yang paling berat (Yanri, 2002).
Sedangkan kecelakaan akibat kerja adalah kecelakaan yang ada hubungannya
dengan hubungan kerja pada perusahaan. Hubungan kerja disini dapat berarti bahwa
kecelakaan yang disebabkan oleh pekerja atau terjadi pada saat melaksanakan
pekerjaan (Yanri, 2002).
2.2.2 Penyebab Kecelakaan
Kecelakaan menurut Suma’mur (1996) disebabkan oleh dua hal :
1. tindakan perbuatan manusia yang tidak memenuhi keselamatan (unsafe
human act).
2. keadaan-keadaan lingkungan yang tidak aman (unsafe condition)
Dari penyelidikan-penyelidikan, ternyata faktor manusia yang menyebabkan
timbulnya kecelakaan lebih penting. Hasil penelitian menunjukkan, bahwa
diperkirakan 80-85% kecelakaan kerja disebabkan oleh kelalaian atau kesalahan
manusia.
Kecelakaan apabila ditelusuri/dirinci merupakan hasil kombinasi dari waktu,
kondisi fisik pekerja, pelatihan, tingkat pengetahuan dan tentu saja unsafe action
dan unsafe conditions. Tetapi pada intinya penyebab kecelakaan ada 2 faktor
yaitu :
14
a. unsafe acts, di antaranya :
1. Tidak dipakainya alat pelindung yang disediakan
2. Cara kerja yang berbahaya dari pekerja
3. Penggunaan alat yang kurang cocok
b. unsafe conditions, diantaranya :
1. Alat pelindung yang tidak efektif
2. Alat yang tidak aman walau dibutuhkan
3. Bahan-bahan yang berbahaya
4. Alat atau mesin yang tidak efektif
5. Pakaian kerja yang tidak cocok
6. Penerangan, ventilasi yang tidak cocok
2.3. Perilaku
Kebiasaan, nilai-nilai, dan penggunaan sumber-sumber didalam suatu
masyarakat atau kelompok akan menghasilkan suatu pola hidup (way of life) yang
pada umumnya disebut kebudayaan. Dalam buku Notoatmodjo (2007) mengatakan,
perilaku adalah salah satu aspek dari kebudayaan, dan selanjutnya kebudayaan
mempunyai pengaruh yang dalam terhadap perilaku ini. Perilaku manusia adalah
suatu keadaan yang seimbang antara kekuatan-kekuatan pendorong (driving forces)
dan kekuatan-kekuatan penahan (restining forces). Selanjutnya perilaku itu dapat
15
berubah apabila terjadi ketidakseimbangan antara kedua kekuatan tersebut didalam
diri seseorang sehingga ada kemungkinan terjadinya perubahan perilaku pada diri
seseorang yakni kekuatan-kekuatan pendorong meningkat, kekuatan-kekuatan
penahan menurun, atau kekuatan pendorong menurun dan kekuatan penahan
meningkat (Lewin, 1970).
Green (1980) dalam buku Notoatmodjo (2007) mencoba menganalisis
perilaku manusia dari tingkat kesehatan. Kesehatan seseorang atau masyarakat
dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku (behaviour causes) dan faktor
di luar perilaku (non behaviour causes). Perilaku seseorang atau masyarakat tentang
kesehatan ditentukan oleh pengetahuan, persepsi, sikap, keinginan, kehendak,
motivasi, niat, dan menghasilkan perilaku dari orang atau masyarakat yang
bersangkutan. Selain itu ketersediaan fasilitas, sikap dan perilaku petugas kesehatan
juga akan mendukung dan memperkuat terbentuknya perilaku.
Perilaku K3 yang diungkapkan oleh Pasiak (1999) menyatakan bahwa
kegiatan keselamatan kerja pertambangan harus melengkapi unsur inisiatif, birokratif,
tanggap dan patuh dalam melakukan berbagai tindakan. Diharapkan dengan
mengindahkan unsur tersebut maka perilaku K3 yang baik akan terealisasikan.
2.3.1. Batasan Perilaku
Menurut cara pandang biologis perilaku merupakan suatu kegiatan atau
aktivitas organisme (mahluk hidup) yang bersangkutan. Perilaku manusia pada
hakikatnya adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai
16
bentangan yang sangat luas antara lain : berjalan, berbicara, menangis, tertawa,
bekerja, kuliah, menulis, membaca, dan sebagainya. Dari uraian ini dapat
disimpulkan bahwa yang dimaksud perilaku (manusia) adalah semua kegiatan atau
aktivitas manusia, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat
diamati oleh pihak luar (Notoatmodjo, 2003).
Skinner (1938) dalam Notoatmodjo seorang ahli psikologi, merumuskan
bahwa perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus
(rangsangan dari luar). Oleh karena perilaku ini terjadi melalui adanya proses
stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka
teori Skiner ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus-Organisme-Respons. Teori ini
membedakan adanya dua respons (Notoadmodjo, 2003).
a. Respondent respons atau reflexive, yakni respons yang ditimbulkan oleh
rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Misalnya : makanan yang lezat
menimbulkan keinginan untuk makan, cahaya terang menyebabkan mata
tertutup, dan sebagainya.
b. Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan
berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu.
Perangsang ini disebut reinforcing stimulation atau reinforcer, karena
memperkuat respons. Misalnya : apabila seorang pekerja melaksanakan
tugasnya dengan baik (respons terhadap uraian tugasnya) kemudian
memperoleh penghargaan dari atasannya (stimulus baru), maka pekerja
tersebut akan lebih baik lagi dalam melaksanakan tugasnya.
17
Dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus ini, maka perilaku dapat
dibedakan menjadi dua, yaitu :
a. Perilaku tertutup (covert behavior)
Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup
(covert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada
perhatian, persepsi, pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang
yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh
orang lain. Oleh sebab itu disebut covert behavior atau unobservable
behavior, misalnya : seorang pekerja tahu pentingnya menggunakan alat
pelindung diri (APD) di area bengkel, dan sebagainya.
b. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau
terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk
tindakan atau praktik (practice), yang dengan mudah dapat diamati atau
dilihat oleh orang lain. Oleh sebab itu disebut overt behavior, tindakan nyata
atau praktik (practice) misal, seorang pekerja menggunakan alat pelindung
telinga ketika memasuki area kerja yang bising, dan sebagainya.
2.3.2 Determinan Perilaku
Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena
perilaku merupakan resultansi dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal
(lingkungan). Secara lebih terinci perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi
dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat,
18
motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya. Namun demikian pada realitasnya sulit
dibedakan atau dideteksi gejala kejiwaan yang menentukan perilaku seseorang.
Apabila ditelusuri lebih lanjut, gejala kejiwaan tersebut ditentukan atau dipengaruhi
oleh berbagai faktor lain, diantaranya adalah faktor pengalaman, keyakinan, sarana
fisik, sosio-budaya masyarakat dan sebagainya (Notoatmodjo, 2003).
2.3.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Menurut teori Lawrence Green dan kawan-kawan (1980) menyatakan bahwa
perilaku manusia dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior
causes) dan faktor di luar perilaku (non behavior causes). Selanjutnya perilaku itu
sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu :
a. Faktor predisposisi (predisposing factors), yang mencakup pengetahuan,
sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.
b. Faktor pendukung (enabling factors), yang mencakup lingkungan fisik,
tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana
keselamatan kerja, misalnya ketersediaan alat pelindung diri (APD), pelatihan,
dan sebagainya.
c. Faktor pendorong (reinforcing factors), faktor-faktor ini meliputi undang-
undang, peraturan-peraturan, kebijakan, pengawasan dan sebagainya.
19
2.3.3.1 Faktor predisposisi (predisposing factors)
2.3.3.1.1 Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca
indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba.
Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga
(Notoatmodjo, 2003).
Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses yang
didasari pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan
bersifat langgeng (long lasting) daripada perilaku yang tidak didasari oleh
pengetahuan. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
dalam membentuk tindakan seseorang dalam hal ini pengetahuan yang tercakup
dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan (Notoatmodjo, 2003).
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari
sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat
kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau
rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat
pengetahuan yang paling rendah.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi
20
tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi
harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan
dan sebagainya terhadap objek yang telah dipelajari.
c. Aplikasi (application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah
dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat
diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode,
prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek
ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam struktur organisasi, dan
masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari
penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan),
membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi
baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat
merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya
terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
21
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini didasarkan
pada suatu kriteria yang telah ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria-
kriteria yang telah ada.
Menurut Lavine (1962) pengetahuan pekerja dalam penggunaan alat
pelindung diri yang baik dan aman mutlak dimiliki penggunanya mengingat bahaya
yang dapat ditimbulkan, untuk itu pekerja harus tahu fungsi dari APD itu sendiri serta
potensi bahaya pada tempat kerjanya. Dengan demikian pengetahuan akan timbul
akibat rasa takut akan sesuatu yang mungkin terjadi dan jika pekerja tahu akan
dampak atau bahaya yang akan timbul jika tidak menggunakan APD, maka
diharapkan pekerja akan memberikan perhatian dalam penggunaan APD (Dalam
Elfrida, 2006).
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pudjowati pada tahun 1998
dikatakan bahwa secara statistik tidak ada hubungan yang bermakna antara
pengetahuan pekerja dengan perilaku penggunaan APD. Menurutnya bahwa
pengetahuan adalah sesuatu yang perlu tetapi bukan merupakan faktor yang cukup
kuat untuk mengubah perilaku. Bahkan tidak jarang mereka yang mempunyai
pengetahuan yang tinggi cenderung bertindak ceroboh. Dengan demikian
pengetahuan yang tinggi merupakan sarana yang baik untuk mengubah perilaku,
namun perlu dibarengi dengan niat yang kuat sehingga seorang pekerja akan
bertindak sesuai dengan tingkatan pengetahuannya.
22
2.3.3.1.2 Sikap
2.3.3.1.2.1 Definisi Sikap
Sikap adalah determinan perilaku karena berkaitan dengan persepsi,
kepribadian dan motivasi. Sebuah sikap merupakan suatu keadaan sikap mental yang
dipelajari dan diorganisasi menurut pengalaman dan yang menyebabkan timbulnya
pengaruh khusus atau reaksi seseorang terhadap orang-orang, objek-objek dan situasi-
situasi dengan siapa ia berhubungan.
Menurut Zimbardo dan Ebbesen, sikap adalah suatu predisposisi (keadaan
mudah terpengaruh terhadap seseorang, ide atau objek yang berisi komponen
cognitive, affective dan behaviour (Achmadi, 1985).
2.3.3.1.2.2 Komponen Sikap
Sikap terhadap objek, gagasan atau orang tertentu merupakan orientasi yang
bersifat menetap dengan komponen-komponen (Adryanto, 1985).
a. Komponen kognitif
Komponen kognitif terdiri dari seluruh kognisi yang dimiliki seseorang
mengenai objek sikap tertentu. Fakta, pengetahuan dan keyakinan tentang
objek.
b. Komponen afektif
Komponen ini menyangkut kehidupan emosional seseorang terdiri dari
seluruh perasaan atau emosi seseorang terhadap objek terutama penilaian.
23
c. Komponen Perilaku
Terdiri dari kesiapan seseorang untuk bereaksi atau kecenderungan untuk
bertindak atau bertingkah laku terhadap objek.
Karakteristik dari sikap senantiasa mengikutsertakan segi evaluasi yang
berasal dari komponen afeksi, sedangkan kejadiannya tidak diikutsertakan dengan
evaluasi emosional. Oleh karena itu sikap adalah relatif konstan dan agak sukar
berubah. Jika ada perubahan dalam sikap berarti adanya suatu tekanan yang kuat dan
dapat mengakibatkan terjadinya perubahan dalam sikap melalui proses tertentu.
Selanjutnya, dapat dikatakan bahwa sikap merupakan kumpulan dari berpikir,
keyakinan dan pengetahuan. Namun disamping itu memiliki evaluasi negatif maupun
positif yang bersifat emosional yang disebabkan oleh komponen afeksi. Semua hal ini
dengan sendirinya berhubungan dengan objek atau masalah. Pengetahuan dan
perasaan yang ada dalam sikap akan menghasilkan tingkah laku tertentu.
2.3.3.1.2.3 Pembentukan Sikap
Pembentukan sikap tidak terjadi demikian saja, melainkan melalui suatu
proses tertentu. Faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya sikap (Purwanto,
1999) adalah
a. Faktor intern
Adalah faktor-faktor yang terdapat dalam diri orang yang
bersangkutan sendiri seperti selektifitas. Suatu rangsangan yang datang harus
dipilih yaitu mana rangsangan yang harus didekati dan mana rangsangan yang
24
harus dijauhi. Pilihan ini ditentukan oleh motif-motif dan kecenderungan-
kecenderungan dalam diri seseorang.
b. Faktor ekstern
Faktor ekstern (faktor diluar manusia) terdiri dari :
1. Sikap objek yang dijadikan sasaran sikap
2. Kewibawaan orang yang mengemukakan suatu sikap
3. Sifat orang-orang atau kelompok yang mendukung sikap tersebut
4. Media komunikasi yang digunakan dalam menyampaikan sikap
5. Situasi pada saat sikap dibentuk
Terbentuknya sikap seseorang pada dasarnya dilandasi oleh norma-norma
yang sebelumnya, sehingga norma-norma ini beserta pengalamannya di masa lalu, ia
akan menentukan sikap bahkan bertindak.
2.3.3.1.3 Keyakinan
2.3.3.1.3.1 Pengertian Keyakinan
Keyakinan merupakan salah satu kemampuan pengaturan diri individu.
Konsep keyakinan pertama kali dikemukakan oleh Bandura. Keyakinan mengacu
pada persepsi tentang kemampuan individu untuk mengorganisasi dan
mengimplementasi tindakan untuk menampilkan kecakapan tertentu (Bandura, 1986,)
Pervin memberikan pandangan yang memperkuat pernyataan Bandura tersebut.
Pervin menyatakan bahwa keyakinan adalah kemampuan yang dirasakan untuk
membentuk perilaku yang relevan pada tugas atau situasi yang khusus (Bart, 1994).
25
Berdasarkan persamaan pendapat para ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa
keyakinan adalah perasaan individu mengenai kemampuan dirinya untuk membentuk
perilaku yang relevan dalam situasi-situasi khusus yang mungkin tidak dapat
diramalkan dan mungkin menimbulkan stres.
2.3.3.1.3.2. Dimensi Keyakinan
Bandura (1997) mengemukakan bahwa keyakinan individu dapat dilihat dari
tiga dimensi, yaitu :
a. Tingkat (level)
Keyakinan diri individu dalam mengerjakan suatu tugas berbeda
dalam tingkat kesulitan tugas. Individu memiliki keyakinan diri yang
tinggi pada tugas yang mudah dan sederhana, atau juga pada tugas-tugas
yang rumit dan membutuhkan kompetensi yang tinggi. Individu yang
memiliki keyakinan diri yang tinggi cenderung memilih tugas yang
tingkat kesukarannya sesuai dengan kemampuannya.
b. Keluasan (generality)
Dimensi ini berkaitan dengan keluasan individu terhadap bidang atau
tugas pekerjaan. Individu dapat menyatakan dirinya memiliki keyakinan
pada aktivitas yang luas, atau terbatas pada fungsi domain tertentu saja.
Individu dengan keyakinan yang tinggi akan mampu menguasai beberapa
bidang sekaligus untuk menyelesaikan suatu tugas. Individu yang
memiliki keyakinan yang rendah hanya menguasai sedikit bidang yang
diperlukan dalam menyelesaikan suatu tugas.
26
c. Kekuatan (strength)
Dimensi yang ketiga ini lebih menekankan pada tingkat kekuatan
atau kemantapan individu terhadap keyakinannya. Keyakinan diri
menunjukkan bahwa tindakan yang dilakukan individu akan memberikan
hasil yang sesuai dengan yang diharapkan individu. Keyakinan diri
menjadi dasar dirinya melakukan usaha yang keras, bahkan ketika
menemui hambatan sekalipun.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa keyakinan mencakup
dimensi tingkat (level), keluasan (generality) dan kekuatan (strength).
2.3.3.1.3.3. Sumber-Sumber Keyakinan
Bandura (1986) menjelaskan bahwa keyakinan individu didasarkan pada
empat hal, yaitu:
a. Pengalaman akan kesuksesan
Pengalaman akan kesuksesan adalah sumber yang paling besar
pengaruhnya terhadap keyakinan individu karena didasarkan pada
pengalaman otentik. Pengalaman akan kesuksesan menyebabkan keyakinan
diri individu meningkat, sementara kegagalan yang berulang mengakibatkan
menurunnya keyakinan, khususnya jika kegagalan terjadi ketika keyakinan
individu belum benar-benar terbentuk secara kuat. Kegagalan juga dapat
menurunkan keyakinan individu jika kegagalan tersebut tidak merefleksikan
kurangnya usaha atau pengaruh dari keadaan luar.
27
b. Pengalaman individu lain
Individu tidak bergantung pada pengalamannya sendiri tentang
kegagalan dan kesuksesan sebagai sumber keyakinan dirinya. Keyakinan juga
dipengaruhi oleh pengalaman individu lain. Pengamatan individu akan
keberhasilan individu lain dalam bidang tertentu akan meningkatkan
keyakinan individu tersebut pada bidang yang sama. Individu melakukan
persuasi terhadap dirinya dengan mengatakan jika individu lain dapat
melakukannya dengan sukses, maka individu tersebut juga memiliki
kemampuan untuk melakukanya dengan baik. Pengamatan individu terhadap
kegagalan yang dialami individu lain meskipun telah melakukan banyak
usaha menurunkan penilaian individu terhadap kemampuannya sendiri dan
mengurangi usaha individu untuk mencapai kesuksesan. Ada dua keadaan
yang memungkinkan keyakinan individu mudah dipengaruhi oleh pengalaman
individu lain, yaitu kurangnya pemahaman individu tentang kemampuan
orang lain dan kurangnya pemahaman individu akan kemampuannya sendiri.
c. Persuasi verbal
Persuasi verbal dipergunakan untuk meyakinkan individu bahwa
individu memiliki kemampuan yang memungkinkan individu untuk meraih
apa yang diinginkan.
d. Keadaan fisiologis
Penilaian individu akan kemampuannya dalam mengerjakan suatu
tugas sebagian dipengaruhi oleh keadaan fisiologis. Gejolak emosi dan
keadaan fisiologis yang dialami individu memberikan suatu isyarat terjadinya
28
suatu hal yang tidak diinginkan sehingga situasi yang menekan cenderung
dihindari. Informasi dari keadaan fisik seperti jantung berdebar, keringat
dingin, dan gemetar menjadi isyarat bagi individu bahwa situasi yang
dihadapinya berada di atas kemampuannya.
Berdasarkan penjelasan di atas, keyakinan diri bersumber pada pengalaman
akan kesuksesan, pengalaman individu lain, persuasi verbal, dan keadaan fisiologis
individu.
2.3.3.1.4 Karakteristik Pekerja
Pada penulisan ini yang dimaksud dengan karakteristik pekerja adalah jenis
kelamin, umur, pendidikan dan lama kerja.
Jenis kelamin dalam kaitannya dengan perilaku selamat diutarakan oleh
Suma’mur (1989) bahwa terdapat kelompok-kelompok tenaga kerja yang oleh karena
alasan-alasan tertentu mendapat perhatian khusus dalam keselamatan kerja. Mereka
itu salah satunya adalah wanita.
Ketentuan-ketentuan keselamatan yang bertalian dengan pekerja secara umum
berlaku pula bagi pekerja wanita, namun pada beberapa hal perlunya ketentuan
tambahan secara khusus. Contohnya ketentuan pembatasan untuk wanita pada
pekerjaan-pekerjaan yang dapat membahayakannya.
Umur merupakan salah satu faktor karakteristik pekerja. Suma’mur (1989)
menyatakan dalam statistik terlihat bahwa dengan usia muda sering mengalami
kecelakaan kerja bila dibandingkan dengan usia yang lebih tua. Secara umum
diketahui bahwa kapasitas fisik manusia seperti penglihatan dan kecepatan reaksi
29
menurun setelah usia 30 tahun atau lebih. Sebaliknya mereka pada usia tersebut
mungkin akan lebih berhati-hati, lebih dapat dipercaya dan lebih menyadari akan
bahaya, dibandingkan dengan pekerja yang berusia muda. Menurut Suma’mur
(1989), angka beratnya kecelakaan rata-rata lebih meningkat mengikuti pertambahan
umur.
Pendidikan adalah usaha secara sadar dan sistematis yang berlangsung seumur
hidup didalam mentransfer pengetahuan seseorang kepada orang lain. Usaha ini bisa
dilakukan secara formal maupun non formal. Secara formal yakni ditempuh melalui
tingkat-tingkat pendidikan mulai dari taman kanak-kanak sampai pendidikan tinggi,
terjadi diruang kelas dengan program yang bersifat “structure”. Sedangkan
pendidikan non formal umumnya bersifat “unstructure”. Notoatmodjo (1981)
menyatakan bahwa pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan dan
bantuan yang diberikan kepada anak didik untuk menuju kedewasaan. Dari
pernyataan tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan dapat mempengaruhi cara
berpikir dalam menghadapi pekerjaan, menerima latihan kerja dan juga cara
menghindari kecelakaan kerja, tersirat pula tujuan dari intervensi pendidikan adalah
memotivasi dan memampukan pekerja untuk mengambil tindakan yang efektif dalam
meningkatkan kondisi kerja.
Lama kerja seseorang dapat dikaitkan dengan pengalaman yang didapatkan
ditempat kerja. Semakin lama masa kerja seseorang maka pengalaman yang akan
diperoleh sewaktu bekerja akan lebih banyak. Dalam hal keselamatan dan kesehatan
kerja pengalaman dalam memakai berbagai macam alat kerja secara aman tentunya
akan semakin banyak pula. ILO (1989) menyatakan bahwa hasil studi di Amerika
30
menemukan, kecelakaan kerja yang terjadi selain disebabkan oleh faktor manusia
juga karena masih baru bekerja dan kurang dalam pengalaman.
2.3.3.2 Faktor pendukung (enabling factors)
2.3.3.2.1 Ketersediaan alat pelindung diri
Dalam UU No.1 Tahun 1970 pasal 14 butir c menyatakan bahwa pengurus
(pengusaha) diwajibkan untuk mengadakan secara cuma-cuma, semua alat
perlindungan diri yang diwajibkan pada tenaga kerja yang berada dibawah
pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja
tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut petunjuk
pegawai pengawas atau ahli-ahli keselamatan kerja.
Perlindungan perorangan harus dianggap sebagai garis pertahanan terakhir,
karena sering peralatan ini tidak praktis untuk dan dipakai dan menghambat gerakan.
Karenanya tidak mengherankan bila kadangkala dikesampingkan oleh pekerja.
Karena peralatan dirancang untuk mencegah bahaya luar agar tidak mengenai tubuh
pekerja, ia menahan panas tubuh dan uap air di dalamnya, sehingga pekerja menjadi
gerah, berkeringat dan cepat lelah (ILO, 1989).
Oleh karena itu alat pelindung diri yang dianggap sebagai garis pertahanan
terakhir harus disediakan sesuai dengan kebutuhan dan cocok untuk setiap pekerja
yang menggunakannya agar tidak timbul adanya kecelakaan disebabkan karena
ketidaknyamanan pekerja dalam menggunakan APD tersebut.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Pudjowati pada tahun 1998
dikatakan bahwa secara statistik ada hubungan yang bermakna antara proporsi
31
perilaku pemakaian APD oleh yang mengatakan fasilitas tersedia cukup dengan yang
menyatakan fasilitas tersedia kurang. Menurut penjelasannya bahwa selain sebagian
besar pekerjanya menyatakan bahwa fasilitas yang tersedia mencukupi juga
berdasarkan informasi dari pihak manajemen yang disediakan telah mencukupi. Hal
ini menunjukkan bahwa ketersediaan alat pelindung yang cukup menjadi salah satu
faktor yang memudahkan untuk terbentuknya perilaku menggunakan APD yang
diharapkan.
Sedangkan menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumbung pada tahun
2000 bahwa secara statistik menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara
fasilitas dengan penggunaan APD. Menurut pernyataan sebagian besar pekerja bahwa
fasilitas APD yang telah disediakan perusahaan telah mencukupi namun masih
terdapat beberapa jenis alat pelindung diri yang kurang nyaman pada saat dipakai.
Sehingga memungkinkan pekerja tidak disiplin dalam menggunakannya.
2.3.3.2.2 Pelatihan
Penggunaan istilah pelatihan (training) sering dikacaukan dengan latihan
(exercise atau practice). Pelatihan adalah merupakan bagian dari suatu proses
pendidikan formal yang tujuannya untuk meningkatkan kemampuan atau
keterampilan kerja seseorang atau sekelompok orang. Sedangkan latihan adalah salah
satu cara untuk memperoleh keterampilan tertentu (Notoatmodjo, 1989).
Menurut Carel seperti dikutip dari penelitian (Sumbung, 2000) bahwa
pelatihan mempunyai pengaruh yang besar dan merupakan suatu alat pemotivasi yang
32
kuat dalam keselamatan. Melalui pelatihan para pekerja pada umumnya dapat
diberikan tiga hal yaitu pengetahuan, keterampilan dan motivasi.
Pelatihan merupakan bagian dari pembinaan sumber daya manusia. Setiap
individu memerlukan latihan untuk melaksanakan pekerjaan tertentu untuk mencapai
sasaran tertentu. Pelatihan juga berkaitan dengan perubahan tingkah laku. Fungsi dari
suatu sistem pelatihan adalah memproses individu dengan perilaku tertentu agar
berperilaku sesuai dengan yang telah ditentukan sebelumnya sebagai produk akhir
dari pelatihan (Sahab, 1997).
Pelatihan atau training adalah salah satu bentuk proses pendidikan, dengan
melalui training sasaran belajar atau sasaran pendidikan akan memperoleh
pengalaman-pengalaman belajar yang akhirnya akan menimbulkan perubahan
perilaku mereka (Notoatmodjo, 1989).
Menurut Strauss dan Sayles, pelatihan berarti mengubah pola perilaku, karena
dengan pelatihan maka akhirnya menimbulkan perubahan perilakunya (Notoatmodjo,
1989).
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Pudjowati pada tahun 1998
dikatakan bahwa secara statistik ada hubungan yang bermakna pada proporsi
pemakaian APD dari responden yang pernah mendapatkan pelatihan dengan yang
tidak mendapatkan pelatihan. Menurut penjelasannya bahwa pelatihan merupakan
pengaruh yang besar dan merupakan suatu alat pemotivasi yang kuat dalam
keselamatan. Hasil ini diperkuat dengan pernyataan manajemen bahwa pelatihan
tentang bahaya dan risiko yang ada di tempat kerja beserta penanggulangannya
diberikan kepada para pekerja sebelum resmi bekerja (safety induction).
33
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumbung pada tahun 2000
bahwa secara statistik variabel pelatihan tidak mempunyai hubungan bermakna
terhadap penggunaan APD. Hal ini dikarenakan pekerja belum mendapatkan
pelatihan yang secara formal diberikan oleh perusahaan, begitu juga dengan jenis
pelatihan mengenai K3 pekerja mengatakan materi yang diberikan pada waktu
sebelum mereka diterima bekerja belum menyentuh pada substansi K3.
2.3.3.3 Faktor pendorong (reinforcing factors)
2.3.3.3.1 Pengawasan
Olishifski (1998) menyatakan bahwa pengawasan merupakan kegiatan rutin
dalam bentuk observasi harian terhadap penggunaan alat pelindung diri yang
dilakukan oleh pengawas yang ditunjuk dan umumnya dirancang sendiri untuk
melakukan pemantauan terhadap pelaksanaan kerja bawahannya. Tenaga kerja harus
diawasi pada waktu mereka bekerja untuk memastikan bahwa mereka terus menerus
menggunakannya secara benar (Dalam Kusuma, 2004).
Menurut Kelman (1958) perubahan perilaku individu dimulai dengan tahap
kepatuhan (compliance), identifikasi, kemudian baru menjadi internalisasi. Mula-
mula individu mematuhi tanpa kerelaan melakukan tindakan tersebut dan seringkali
karena ingin menghindari hukuman (punishment) ataupun sanksi, jika seseorang
tersebut tidak patuh atau untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika dapat
mematuhi anjuran tersebut maka biasanya perubahan yang terjadi pada tahap ini
sifatnya sementara, artinya bahwa tindakan dilakukan selama masih ada pengawas.
34
Namun pada saat pengawasan mengendur perilaku itu pun ditinggalkannya lagi
(Dalam Elfrida, 2006).
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Pudjowati pada tahun 1998
dikatakan bahwa secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna antara proporsi
yang pola pengawasan dengan perilaku penggunaan APD. Dijelaskan bahwa
meskipun petugas pengawas maupun jadwal pengawasannya telah terencana dengan
baik dan jelas, namun kemungkinan sikap pengawas sendiri di dalam melaksanakan
tugasnya masih kurang bertanggung jawab. Pengawasan merupakan kegiatan rutin
dalam bentuk observasi harian terhadap penggunaan APD yang dilakukan pengawas.
Pengawas biasanya berada di bagian yang sama dengan pekerja yang menjadi objek
pengawasan. Kemungkinan karena pengawasan hanya dilakukan oleh pengawas lokal
maka pengawas tersebut sendiri kurang tegas menghadapi pekerja yang lebih senior,
maka pengawasan terkesan kurang mengena sasaran.
2.3.3.3.2 Kebijakan Tentang APD
Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 tentang ketenagakerjaan pasal 108
menyatakan bahwa “Setiap pekerja mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan
atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, perlakuan yang sesuai
dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama”. Oleh karena itu upaya
perlindungan terhadap pekerja akan bahaya khususnya pada saat melaksanakan
kegiatan/proses di tempat kerja perlu dilakukan oleh pihak manajemen perusahaan.
Salah satu upaya perlindungan terhadap tenaga kerja tersebut adalah dengan
penggunaan alat pelindung diri (APD).
35
Penggunaan APD di tempat kerja sendiri telah diatur melalui Undang-undang
No. 1 Tahun 1970. Pasal-pasal yang mengatur tentang penggunaan APD adalah
antara lain :
a. Pasal 3 ayat 1 butir f menyatakan bahwa salah satu syarat-syarat keselamatan
kerja adalah dengan cara memberikan alat pelindung diri (APD) pada pekerja.
b. Pasal 9 ayat 1 butir c menyatakan bahwa pengurus (perusahaan) diwajibkan
menunjukkan dan menjelaskan pada setiap tenaga kerja baru tentang alat-alat
pelindung diri bagi tenaga kerja yang bersangkutan.
c. Pasal 12 butir b menyatakan bahwa tenaga kerja diwajibkan untuk memakai
alat pelindung diri (APD).
d. Pasal 12 butir e menyatakan bahwa pekerja boleh mengatakan keberatan
apabila alat pelindung diri yang diberikan diragukan tingkat keamanannya.
e. Pasal 13 menyatakan bahwa barang siapa akan memasuki suatu tempat kerja,
diwajibkan mentaati semua petunjuk keselamatan kerja dan memakai alat
pelindung diri yang diwajibkan.
f. Pasal 14 butir c menyatakan bahwa pengurus (pengusaha) diwajibkan untuk
mengadakan secara cuma-cuma, semua alat perlindungan diri yang
diwajibkan pada tenaga kerja yang berada dibawah pimpinannya dan
menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja tersebut,
disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut petunjuk pegawai
pengawas atau ahli-ahli keselamatan kerja.
36
Peraturan lain yang mengatur penggunaan APD adalah Peraturan Menteri
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 01/Men/1981, disebutkan dalam pasal 4 ayat
3, bahwa “pengurus wajib menyediakan secara cuma-cuma semua alat perlindungan
diri yang diwajibkan penggunaannya oleh tenaga kerja yang berada dibawah
pimpinannya untuk mencegah penyakit akibat kerja”. Begitu pula dalam pasal 5 ayat
2 disbutkan bahwa “tenaga kerja harus memakai alat-alat perlindungan diri yang
diwajibkan untuk pencegahan penyakit akibat kerja”.
Kebijakan sebuah perusahaan tentang pelaksanaan K3 dijelaskan dengan
detail dalam bentuk peraturan-peraturan. Kepastian hukum yang kuat akan
memberikan kemantapan dalam pengawasan. Karena apabila diberi teguran dan
peringatan tidak dihiraukan maka perangkat peraturanlah yang akan berperan dalam
hal pemberian sanksi. Maka peraturan yang berkaitan dengan situasi kerja merupakan
upaya yang dilakukan dalam meningkatkan efektifitas pelaksanaan program K3 di
sebuah perusahaan.
Adanya kebijakan dalam bentuk sanksi dan pemberian penghargaan/hadiah
ternyata mempunyai makna dalam meningkatkan motivasi berperilaku pekerja
terutama dalam penggunaan APD.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Pudjowati pada tahun 1998
dikatakan bahwa secara statistik tidak ada perbedaan yang bermakna antara proporsi
yang menyatakan ada kebijakan dengan yang menyatakan tidak ada kebijakan dalam
pemakaian APD. Menurut pendapatnya bahwa kebijakan yang dilakukan oleh pihak
manajemen terkesan sebagai suatu hal yang tidak banyak memberikan motivasi
37
positif kepada pekerja, padahal motivasi ini sangat diperlukan agar para pekerja lebih
peduli lagi terhadap pentingnya penggunaan APD.
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumbung pada tahun 2000
dikatakan bahwa secara statistik variabel kebijakan terbukti mempunyai hubungan
bermakna terhadap penggunaan APD. Didalam hal kebijakan, semua responden
mengetahui adanya peraturan tentang diberlakukannya penggunaan APD. Pekerja
juga mengetahui jika mereka melanggar peraturan, maka mereka akan mendapatkan
sanksi dari perusahaan. Namun sanksi yang ada tidak jalan sebagaimana mestinya,
juga tidak ada penghargaan bagi yang memenuhi peraturan khususnya yang bersifat
individual sehingga tidak memberikan dorongan kepada pekerja untuk lebih peduli
terhadap penggunaan APD.
2.3.4 Bentuk-Bentuk Perubahan Perilaku
Bentuk perubahan perilaku sangat bervariasi, sesuai dengan konsep yang
digunakan oleh para ahli dalam pemahamannya terhadap perilaku dibawah ini
diuraikan bentuk-bentuk perubahan perilaku menurut WHO. Menurut WHO,
perubahan perilaku itu dikelompokkan menjadi tiga (Notoatmodjo, 2003).
a. Perubahan alamiah (natural change)
Perilaku manusia selalu berubah. Sebagian perubahan itu disebabkan karena
kejadian alamiah. Apabila dalam masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan
lingkungan fisika atau sosial budaya dan ekonomi, maka anggota-anggota
masyarakat di dalamnya juga akan mengalami perubahan.
b. Perubahan terencana (planned change)
38
Perubahan perilaku ini terjadi karena memang direncanakan sendiri oleh
subjek.
c. Kesediaan untuk berubah (readiness to change)
Apabila terjadi suatu inovasi atau program-program pembangunan di dalam
masyarakat, maka yang sering terjadi adalah sebagian orang sangat cepat
untuk menerima inovasi atau perubahan tersebut (berubah perilakunya), dan
sebagian orang lagi sangat lambat untuk menerima inovasi atau perubahan
tersebut. Hal ini disebabkan setiap orang mempunyai kesediaan untuk berubah
(readiness to change) yang berbeda-beda.
2.3.5 Strategi Perubahan Perilaku
Untuk memperoleh gambaran perilaku yang diinginkan, sangat diperlukan
usaha-usaha konkret dan positif. Beberapa strategi untuk memperoleh perubahan
perilaku tersebut oleh WHO dikelompokkan menjadi tiga (Notoatmodjo, 2003).
a. Menggunakan kekuatan/kekuasaan atau dorongan
Dalam hal ini perubahan perilaku dipaksakan kepada sasaran atau
masyarakat (pekerja) sehingga ia mau melakukan (berperilaku) seperti yang
diharapkan. Cara ini dapat ditempuh misalnya dengan adanya peraturan-
peraturan/perundang-undangan yang harus dipatuhi oleh semua pekerja. Cara
ini akan menghasilkan perilaku yang cepat, akan tetapi perubahan tersebut
belum tentu akan berlangsung lama karena perubahan perilaku yang terjadi
tidak atau belum didasari oleh kesadaran sendiri.
39
b. Pemberian informasi
Dengan memberikan informasi-informasi tentang cara-cara bekerja
dengan aman, cara penggunaan alat pelindung diri yang benar dan sebagainya
akan meningkatkan pengetahuan masyarakat (pekerja) tentang hal tersebut.
Selanjutnya dengan pengetahuan-pengetahuan itu akan menimbulkan
kesadaran mereka, dan akhirnya akan menyebabkan orang berperilaku sesuai
dengan pengetahuan yang dimilikinya itu. Hasil atau perubahan perilaku
dengan cara ini memakan waktu lama, tetapi perubahan yang dicapai akan
bersifat langgeng karena didasari oleh kesadaran mereka sendiri (bukan
karena paksaan).
c. Diskusi partisipasi
Cara ini adalah sebagai peningkatan cara yang kedua di atas yang
dalam emberikan informasi-informasi keselamatan tidak bersifat searah saja,
tetapi dua arah. Hal ini berarti bahwa masyarakat (pekerja) tidak hanya pasif
menerima informasi, tetapi juga harus aktif berpartisipasi melalui diskusi-
diskusi tentang informasi yang diterimanya.
2.4. Bahaya
Bahaya adalah suatu keadaan yang memungkinkan atau yang dapat
menimbulkan cidera, penyakit, kerusakan ataupun penurunan kemampuan dalam
melaksanakan fungsi yang telah ditetapkan. (Harianto Mangunsaputro, 1982).
Keadaan tersebut dapat berasal atau dihasilkan dari :
a. Manusia seperti cacat (fisik maupun mental), perbuatan dan lain-lain.
40
b. Lingkungan seperti alam (banjir, petir, hujan dan lain-lain) tempat (elevasi,
hutan, terisolir dan lain-lain), iklim (suhu, tekanan, udara kotor, kurang zat
asam dan lain-lain).
c. Peralatan seperti mesin, instrumen dan alat-alat yang lain (rusak, usang,
tidak standar dan lain-lain).
d. Bahan seperti kimia beracun, reaktif, mudah terbakar, carrsinogen dan lain-
lain.
Kadang-kadang bahaya diartikan sebagai sebab kecelakaan. Hal tersebut kalau
kita tinjau dari pengertian bahaya di atas adalah tidak benar, bahaya dapat hadir tanpa
menimbulkan kecelakaan. Namun kalau tingkat berbahayanya melewati batas yang
ditentukan baru dapat menjadi sebab kecelakaan. Bila bahaya tersebut sampai
menimbulkan kecelakaan maka urutan peranannya dalam menyebabkan kecelakaan
dibagi sebagai berikut:
a. Bahaya pemula (Iinitialing hazards ), yaitu bahaya yang menjadi asal mula
bagi bekerjanya bahaya penunjang dan bahaya primer.
b. Bahaya penunjang (Contributary hazards ), yaitu bahaya yang menunjang
atau yang menjadi perantara bekerjanya bahaya primer setelah adanya
bahaya pemula.
c. Bahaya primer (Primary hazards), yaitu bahaya yang berlangsung menjadi
sebab timbulnya.
2.5. Upaya Pengendalian
Menurut Cross J (1998) mengatakan pengendalian risiko yaitu kegiatan yang
41
dilaksanakan untuk meminimalkan risiko yang dapat terjadi dengan pemilihan
berbagai alternatif yakni pengendalian sumber bahaya dan tempat kerja manusia,
peraturan perundang-undangan yang berlaku, alat pengawasan dan alat pengukur
kinerja. Dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja RI No 05/MEN/1996 tentang
Pedoman Penerapan Sistim Manajemen Keselamatan Dan Kesehatan Kerja dijelaskan
bahwa pengendalian risiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja dilakukan melalui
metode :
a. Pengendalian teknis/rekayasa yang meliputi eliminasi, subtitusi, isolasi,
ventilasi, hygiene dan sanitasi.
b. Pendidikan dan pelatihan.
c. Pembangunan kesadaran dan motivasi yang meliputi sistem bonus, insentif,
penghargaan dan motivasi diri.
d. Evaluasi melalui internal audit, penyelidikan insiden dan etiologi.
e. Penegakan hukum.
2.5.1 Hirarki Pengendalian bahaya
a. Eliminasi.
Dilakukan dengan cara menghilangkan atau meniadakan sumber yang dapat
menimbulkan bahaya, sehingga sumber bahaya menjadi tidak ada.
b. Substitusi
Substitusi dilakukan dengan cara mengganti sumber yang mempunyai potensi
bahaya lebih tinggi dengan sumber yang mempunyai potensi bahaya lebih
rendah, yaitu dengan mengganti bahan yang digunakan, penggantian peralatan
42
kerja dan penggantian proses kerja yang berisiko.
c. Isolasi
Isolasi ini merupakan langkah ketiga yaitu dengan mengisolasi sumber bahaya
melalui isolasi kegiatan kerja yang berpotensi bahaya, isolasi mesin dan
peralatan berbahaya, isolas sumber pajanan (kebisingan, suhu ekstrim, getaran,
panas pencahayaan )
d. Pengendalian teknis
Dilakukan dengan cara memodifikasi alat, cara kerja mesin, perubahan
komponen mesin yang berguna untuk mengurangi bahaya dan pajanan
terhadap lingkungan kerja
e. Pengendalian Administratif
Dilakukan dengan perubahan shif kerja, jam kerja, pengaturan penempatan
kerja, pengembangan prosedur kerja. Dimana hal ini lebih terkait dengan
manajemen.
g. Penggunaan Alat Pelindung Diri
Dimana Penggunaan APD ini merupakan alternatif terakhir setelah upaya yang
lain secara maksimum dilaksanakan, akan tetapi penggunaan APD ini tidak
mengurangi potensi bahaya melainkan hanya mengurangi konsekuensi akibat
yang ditimbulkan.
2.6 Alat Pelindung Diri
2.6.1 Pengertian Alat Pelindung Diri (APD)
Alat Pelindung Diri (APD) adalah alat yang mempunyai kemampuan untuk
43
melindungi seseorang dalam pekerjaan yang fungsinya mengisolasi tenaga kerja dari
bahaya ditempat kerja (ILO,1991)
APD digunakan sebagai cara terakhir untuk melindungi pekerja dari potensi
bahaya yang ada apabila pengendalian engineering dan administrative telah
dilakukan/tidak mungkin dilakukan/dalam keadaan darurat. APD tidak dapat
menghilangkan ataupun mengurangi bahaya yang ada, APD hanya mengurangi jumlah
kontak dengan bahaya dengan menempatkan penghalang antara pekerja dengan
bahaya. Sebagai upaya terakhir dalam usaha melindungi tenaga kerja, APD haruslah
enak dipakai, tidak mengganggu kerja dan memberikan perlindungan yang efektif
terhadap bahaya.
Pemakaian APD mempunyai kelemahan antara lain kemampuan perlindungan
yang tidak sempurna karena memakai APD yang tidak tepat, cara pemakaian APD
yang salah, APD tidak memenuhi syarat yang diperlukan.
2.6.2 Macam-macam Alat Pelindung Diri (APD)
Beberapa jenis APD yang digunakan untuk melindungi pekerja dari potensi
bahaya terdiri dari pelindung kepala (safety helmet), pelindung tangan (gloves),
pelindung mata dan wajah (googles, face shield), pelindung telinga (ear plug, ear
muff), pelindung pernapasan (respirator, masker), pakaian pelindung (wear pack) dan
pelindung kaki (safety shoes).
2.6.2.1 Alat Pelindung Kepala (Safety Helmet)
Alat pelindung kepala (safety helmet) digunakan untuk melindungi pekerja dari
44
bahaya terbentur oleh benda tajam atau benda keras yang dapat meyebabkan luka
gores, terpotong, tertusuk, kejatuhan benda, atau terpukul oleh benda-benda yang
melayang di udara. Safety helmet juga berfungsi untuk melindungi rambut pekerja dari
bahaya terjepit mesin yang berputar, bahaya panas radiasi, dan percikan bahan kimia.
Safety helmet dapat terbuat dari berbagai bahan, antara lain plastic, fiberglass dan
logam. Di Indonesia belum ada standar/klasifikasi untuk safety helmet. Di amerika
terdapat 4 jenis safety helmet yaitu (Dr. Milos Nedved,1991):
a. Kelas A : untuk penggunaan umum dan untuk tegangan listrik yang
terbatas
b. Kelas B : tahan terhadap tegangan listrik tinggi
c. Kelas C : tanpa perlindungan terhadap tegangan listrik, biasanya terbuat
dari logam.
d. Kelas D : yang digunakan untuk pemadam kebakaran.
Gambar 2.1. Safety Helmet
Safety helmet yang baik harus memiliki standar umum sebagai berikut (Dr.
Milos Nedved, 1991):
45
a. Bagian dari luarnya harus kuat dan tahan terhadap benturan atau tusukan
benda-benda runcing. Cara mengujinya : diuji dengan menjatuhkan benda
seberat 3 kg dari ketinggian 1 m, safety helmet tidak boleh pecah.
b. Jarak antara lapisan luar dan lapisan dalam dibagian puncak 4 – 5 cm
c. Tidak menyerap air. Cara mengujinya : diuji dengan merendam dalam air
selama 24 jam, air yang diserap kurang 5% beratnya.
d. Tahan terhadap api. Cara mengujinya : diuji dengan membakar safety helmet
selama 10 detik dengan pembakar bunsen atau propan, dengan nyala api
bergaris tengah 1 cm. Api harus padam setelah 5 detik.
e. Tahan terhadap tegangan arus listrik. Cara mengujinya : untuk listrik tegangan
tinggi diuji dengan mengalirkan arus bolak balik 20.000 volt dan 60 Hz
selama 3 menit, kebocoran arus harus lebih kecil dari 9 mA. Sedangkan untuk
listrik tegangan rendah diuji dengan mengalirkan arus bolak-balik 2200 volt
dan 60 Hz selama 1 menit, kebocoran harus kurang dari 9 mA.
2.6.2.2 Pelindung Tangan (Gloves)
Pelindung tangan digunakan untuk melindungi tangan dan jari-jari dari api,
panas, dingin, radiasi elektromagnetik, dan radiasi mengion, listrik, bahan kimia,
benturan dan pukulan, luka, lecet dan infeksi. Menurut bentuknya alat pelindung
tangan dan jari dapat dibedakan menjadi (Dr. Milos Nedved, 1991) :
a. Sarung tangan (gloves).
b. Mitten : sarungan tangan dengan ibu jari terpisah sedang jari lain menjadi
satu.
46
c. Hand pad : melindungi telapak tangan.
d. Sleeve : untuk pergelangan tangan sampai lengan, biasanya digabung dengan
sarung tangan.
Gambar 2.2. Safety Gloves
Bahan untuk sarung tangan bermacam-macam bahannya, sesuai
dengan fungsinya :
a. Bahan asbes, katun, wool untuk panas dan api.
b. Bahan kulit untuk panas, listrik, luka dan lecet.
c. Bahan karet alam atau sintetik untuk kelembaban air dan bahan kimia.
d. Bahan PVC (Poli Vinil Chloride) untuk zat kimia, asam kuat dan oksidator.
2.6.2.3 Pelindung Mata dan Wajah (googles, face shield)
Pelindung mata dan wajah digunakan untuk melindungi mata dan wajah dari
lemparan benda-benda kecil, lemparan benda-benda panas, pengaruh cahaya,
pengaruh radiasi tertentu, dan bahaya kimia. Lensa alat pelindung muka dan wajah
dapat terbuat dari bahan gelas/kaca biasa dan plastik. Bahan gelas ada 2 jenis yaitu
gelas yang ditempa secara panas, dan gelas dengan laminasi aluminium. Sedangkan
47
dari bahan plastik ada beberapa jenis yaitu selulosa asetat, akrilik, poli karbonat, allyl,
diglycol carbonat. Syarat-syarat yang harus dimiliki alat pelindung mata dan wajah
(Dr. Milos Nedved, 1991) :
a. Ketahanan terhadap api, sama dengan helm.
b. Ketahanan terhadap lemparan-lemparan benda. Cara mengujinya : diuji
dengan menjatuhkan bola yang berdiameter 1 inchi, dengan bebas dari
ketinggian 125 cm, mengenai lensa pada titik pusat geometris lensa, lensa
tidak boleh pecah dan tergeser dari framenya.
c. Syarat optis tertentu. Lensa tidak boleh mempunyai efek distorsi/efek prisma
lebih dari 1/16 prisma dioptri, artinya perbedaan refraksi, harus lebih dari 1/16
dioptri.
d. Tahan terhadap radiasi. Prinsipnya kacamata yang hanya tahan terhadap
panjang gelombang tertentu; standar Amerika ada 16 jenis kaca dengan sifat-
sifat tertentu.
Menurut OSHA jenis-jenis pelindung mata dan wajah terdiri dari :
a. Safety spectacles : kacamata ini mempunyai lensa yang terbuat dari gelas atau
plastik yang tahan terhadap benturan, dengan atau tanpa pelindung samping.
b. Googles : pelindung mata yang sepenuhnya melindungi mata, rongga mata,
dan sekitar area dari paparan debu dan percikan bahan korosif.
c. Welding shields : digunakan untuk melindungi mata dari inframerah, radiasi
cahaya yang berlebihan dan juga untuk melindungi mata dan wajah dari
serpihan partikel kecil, percikan api dari kegiatan pengelasan, brazing,
48
pematrian, dan pemotongan. Lensanya terbuat dari kaca-serat atau serat yang
ditempa panas serta memiliki filter pada lensanya.
d. Laser safety googles : kacamata ini khusus dibuat untuk melindungi mata
pekerja dari gelombang sinar laser tertentu yang spesifik penggunaannya.
e. Face shields : digunakan untuk melindungi bagian wajah dari alis mata
sampai dagu dari paparan debu, percikan api, bahan korosif. Penggunaannya
dapat dikombinasikan dengan menggunakan googles.
Gambar 2.3. Safety Googles
2.6.2.4 Pelindung Telinga (ear plug, ear muff)
Ear plug dan ear muff berfungsi sebagai penghalang antara sumber bising dan
telinga bagian dalam dan digunakan pada lingkungan kerja yang intensitas
kebisingannya ≥ 85 dB. Karena kebisingan yang tinggi akan berpengaruh pada
terganggunya konsentrasi kerja, terjadinya gangguan komunikasi, tuli kondusif dan
tuli permanen, dan turunnya produktivitas kerja.
Ear plug dan ear muff yang digunakan harus memiliki sertifikasi dan pada
etiketnya tertulis NRR (Noise Reduction Rate) yang menyatakan kemampuan ear
plug atau ear muff dapat mengurangi intensitas suara yang masuk ke dalam telinga.
Ear plug dapat mengurangi intensitas suara 10 dB – 17 dB dan ear muff dapat
49
mengurangi intensitas suara antara 20 dB – 30 dB, disamping itu ear muff juga
melindungi bagian luar telinga (daun telinga). Untuk keadaan tertentu dapat
dikombinasikan penggunaan antara ear plug dengan ear muff sehingga dapat
mengurangi intensitas suara yang lebih tinggi, tapi tak lebih dari 50 dB karena
hantaran suara melalui tulang masih ada (Freddin Warsto dan Loui Arthur Mamesah,
2003).
2.6.2.4.1 Sumbat Telinga (Ear Plug)
Sumbat telinga (ear plug) dapat dibuat dari kapas, malam (wax), plastik karet
alami dan sintesis. Menurut cara penggunaannya, dibedakan atas sumbat telinga
sekali pakai (disposable ear plug) umumnya terbuat dari kapas, dan sumbat telinga
yang dapat dipakai untuk waktu yang lama (reversibel ear plug) yang terbuat dari
karet atau plastik yang dicetak.
Gambar 2.4.1 Ear Plugs
2.6.2.4.2 Tutup Telinga (Ear Muff)
Tutup telinga (ear muff) terdiri dari mangkok-mangkok yang dibuat dari
plastik dengan diberi lapisan bantalan empuk serta karet busa untuk akustik dan ban
kepala dari karet untuk berbagai tingkat kebisingan. Yang perlu diperhatikan adalah
50
bantalannya, karena pada pemakaian yang lama bantalan akan mengelupas dan
mengkerut. Keras dan mengkerutnya bantalan ini karena karena reaksi kimia bahan
bantalan dengan minyak kulit atau keringat. Bila ini terjadi menyebabkan efektivitas
pelindung telinga menurun.
Gambar 2.4.2 Ear Muffs
2.6.2.5 Pelindung Pernapasan (Masker, Respirator)
Masker dan respirator digunakan untuk melindungi saluran pernapasan dari
pernapasan secara inhalasi terhadap sumber-sumber bahaya di udara pada tempat
kerja seperti kekurangan oksigen, pencemaran oleh partikel (debu, kabut, asap dan
uap logam), pencemaran oleh gas atau uap (Dr. Milos Nedved, 1991).
Penggunaannya selain menutup mulut dan hidung. Ada juga yang mencakup
wajah dan kepala. Penggunaan masker dan respirator hendaklah memperhatikan apa
yang sebaiknya digunakan, dengan memperhatikan jenis bahaya yang dihadapi dan
berapa banyak kontak dengan bahan berbahaya tersebut.
Berdasarkan jenisnya masker dibagi menjadi 2 yaitu masker debu dan masker
carbon (Freddin Warsto dan Loui Arthur Mamesah, 2003) :
51
a. Masker debu
Melindungi dari debu phylon, buffing, grinding, serutan kayu dan debu
lain yang tidak terlalu beracun. Masker debu tidak dapat melindungi dari uap
kimia, asap cerobong dan asap dari pengelasan.
Gambar 2.5.1. Masker Debu
b. Masker carbon
Melindungi dari bahan kimia yang daya toxicnya rendah yang
memiliki absorben dari karbon aktif. Masker carbon harus disertifikasi oleh
badan sertifikasi.
Gambar 2.5.2 Masker Carbon
Respirator berdasarkan jenisnya dibagi menjadi 3 macam, yaitu (Dr. Milos
Nedved, 1991) :
a. Respirator yang bersifat memurnikan udara
52
Respirator yang bersifat memurnikan udara dibagi menjadi 3 jenis,
yaitu respirator yang mengandung bahan kimia, respirator dengan filter
mekanik, respirator yang mempunyai filter mekanik dan bahan kimia.
b. Respirator yang dihubungkan dengan supply udara
Supply udaranya berasal dari saluran udara bersih atau kompresor, alat
pernapasan yang mengandung udara (self contained breathing apparatus).
c. Respirator dengan supply oksigen
Biasanya berupa self contained breathing apparatus.
2.6.2.6 Pakaian Pelindung
Pakaian pekerja harus dianggap sebagai alat pelindung diri. Pakaian tenaga
kerja pria yang bekerja melayani mesin seharusnya berlengan pendek, pas dan bagian
dada atau punggung tidak ada lipatan-lipatan yang memungkinkan mendatangkan
bahaya. Pakaian kerja wanita sebaiknya memakai celana panjang, baju yang pas,
tutup rambut dan tidak memakai perhiasan-perhiasan.
Pakaian kerja khusus untuk pekerja dengan sumber-sumber berbahaya tertentu
seperti :
a. Terhadap radiasi panas
Pakaian kerja untuk radiasi panas harus dilapisi bahan yang bias
merefleksikan panas biasanya aluminium dan berkilap, sedangkan pakaian
kerja untuk panas konveksi terbuat dari katun yang mudah menyerap keringat
serta longgar.
b. Terhadap radiasi mengion
53
Pakaian harus dilengkapi dengan timbal dan biasanya berupa apron.
c. Terhadap cairan dan bahan-bahan kimiawi
Pakaian kerja terbuat dari plastik atau karet
Gambar 2.6 Wear Pack
2.6.2.7 Pelindung Kaki (Safety Shoes)
Safety shoes digunakan untuk melindungi kaki dari tertimpa benda-benda
berat, terbakar karena logam cair atau bahan korosif, dermatitis karena zat-zat kimia,
tertusuk benda runcing, kemungkinan tersandung atau tergelincir. Safety shoes dapat
terbuat dari bahan kulit, karet sintetik atau plastik. Safety shoes yang digunakan harus
disesuaikan dengan jenis risikonya seperti (Dr. Milos Nedved, 1991) :
a. Untuk melindungi jari-jari kaki terhadap benturan dan tertimpa benda-benda
keras, safety shoes dilengkapi dengan penutup jari dari baja atau campuran
baja dengan karbon.
b. Untuk mencegah tergelincir dipakai sol anti slip luar dari karet alam atau
sintetik dengan bermotif timbul (permukaan kasar).
54
c. Untuk mencegah tusukan dari benda-benda runcing, sol dilapisi dengan
logam.
d. Terhadap bahaya listrik, sepatu seluruhnya harus dijahit atau direkat, tidak
boleh menggunakan paku.
e. Untuk pekerja yang bekerja dengan mesin-mesin berputar tidak
diperkenankan menggunakan sepatu yang menggunakan tali.
Gambar 2.7 Safety Shoes
2.6.2.8 Alat Pelindung Lainnya
Tali dan pengaman digunakan pada pekerjaan yang berhubungan dengan
ketinggian atau kedalaman, tali harus kuat menahan beban dan juga harus tahan
terhadap gesekan. Begitu juga dengan sabuk pengaman, harus dapat disetel sesuai
dengan ukuran pemakai agar pekerja merasa nyaman dan aman.
2.7 Kerangka Teori
Perilaku adalah hasil atau resultan antara stimulus (faktor eksternal) dengan
respon (faktor internal) dalam subjek atau orang yang berperilaku tersebut. Dalam
bidang kesehatan ada teori yang sering menjadi acuan dalam penelitian-penelitian
kesehatan masyarakat. Teori tersebut adalah teori Lawrence Green
55
Gambar 2.8
Kerangka Teori
Sumber : Notoatmodjo (2007)
Sumber : Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2003)
Teori Lawrence Green
Faktor Predisposisi
- Pengetahuan
- Sikap
- Keyakinan
- Karakteristik Pekerja
Faktor Pendukung
- Pelatihan
- Ketersediaan fasilitas (alat
pelindung diri)
Faktor Penguat/Pendorong
- Pengawasan
- Kebijakan
PerilakuPenggunaan
APD
56
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konsep ini diambil dari teori yang digunakan untuk mendiagnosis
perilaku, yaitu konsep dari Green (1980). Bahwa kesehatan individu atau masyarakat
dipengaruhi oleh faktor perilaku (behaviour causes) dan faktor diluar perilaku (non
behaviour causes). Teori ini menjelaskan penjelasan sehat yang ditinjau dari faktor
perilaku yang mempengaruhinya, dimana perubahan perilaku diawali dengan adanya
pengetahuan (faktor predisposisi), yang kemudian dipengaruhi oleh faktor pendukung
yaitu pelatihan dan yang selanjutnya adalah faktor pendorong dalam hal ini
pengawasan dan kebijakan.
Independen
Dependen
Gambar 3.1 Kerangka Konsep
Faktor Predisposisi Pengetahuan
Faktor Pendukung Pelatihan
FaktorPendorong/Penguat Pengawasan Kebijakan
PerilakuPenggunaan APD
57
3.2 Definisi Operasional
Variabel Definisi Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur SkalaPerilakupenggunaanAPD
Wujudperbuatan daripekerja untukmenggunakanAPD pada saatbekerja
WawancaradanObservasi
Kuesioner 0. TidakMenggunakan
1. Menggunakan
Ordinal
Pengetahuan Segalainformasi yangtelah diketahuidan dipahamioleh pekerjatentang APD
WawancaradanObservasi
Kuesioner 0. Kurang Baik1. Baik
Ordinal
Pelatihan Kegiatan yangdilakukanuntukmeningkatkanketerampilanpekerja dalamhal penggunaanAPD
WawancaradanObservasi
Kuesioner 0. Tidak Pernah1. Pernah
Ordinal
Pengawasan Usaha yangdilakukanuntukmemantaupekerja agarselalumempergunakan APD sewaktubekerja
WawancaradanObservasi
Kuesioner 0. Tidak Ada1. Ada
Ordinal
Kebijakan Pernyataanyang dibuatolehperusahaanyang memuatkomitmen dantekad dalampelaksanaanprogram alatpelindung diri
WawancaradanObservasi
Kuesioner 0. Tidak Ada1. Ada
Ordinal
58
3.3 Hipotesis penelitian
1. Ada hubungan antara tingkat pengetahuan pekerja dengan perilaku
penggunaan APD
2. Ada hubungan antara pelatihan dengan perilaku penggunaan APD.
3. Ada hubungan antara pengawasan dengan perilaku penggunaan APD.
4. Ada hubungan antara kebijakan tentang APD dengan perilaku penggunaan
APD.
59
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan pendekatan kuantitatif
menggunakan metode pengumpulan data cross sectional survey. Yang
dimaksud dengan desain penelitian cross sectional adalah jenis penelitian non-
eksperimental dalam rangka mempelajari dinamika korelasi antara faktor-faktor
risiko dengan efeknya yang berupa penyakit atau status kesehatan tertentu,
dengan model point time yang diobservasi sekaligus pada saat yang sama
(Praktinya, 2007).
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada PT. ANTAM Tbk Unit Bisnis
Pertambangan Emas Pongkor, pada bulan Mei sampai dengan Juni 2010.
4.3. Populasi dan Sampel
Populasi penelitian ini adalah pekerja yang bekerja di PT. ANTAM Tbk.
Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor. Sedangkan sampel penelitian ini
adalah pekerja yang bekerja di Area Pertambangan PT. ANTAM Tbk. Unit
Bisnis Pertambangan Emas Pongkor yang dipilih secara sistematic random
sampling. Metode ini dipilih karena dapat digunakan untuk penelitian pada
60
proses yang berjalan dan dimana jumlah populasi dan kerangka sampel belum
tersedia. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan uji hipotesis
beda dua proporsi dengan rumus sebagai berikut:
n = {Z1-α/2 √ 2P (1-P) + Z 1-β √ P1 (1-P1) + P2 (1-P2)}2
(P1 - P2)2
Keterangan :
n = Jumlah sampel yang diteliti
P = Rata-rata proporsi pada populasi (P1+P2/2 = 48,62%)
Z1-/2 = Derajat kepercayaan, CI 95% = 1,96, α = 5 % (two tail)
Z 1-β = Kekuatan uji 80% = 0,84
P1 = Proporsi pekerja yang memiliki pengetahuan tentang APD
buruk dengan perilaku penggunaan APD buruk = 62,5%
(Pudjowati, 1998)
P2 = Proporsi pekerja yang memiliki pengetahuan tentang APD
baik dengan perilaku penggunaan APD buruk = 34,74%
(Pudjowati, 1998)
Berdasarkan rumus di atas, maka sampel yang dibutuhkan sebanyak 50
orang. Kemudian sampel dikalikan dua sehingga sampel keseluruhan yang
dibutuhkan berjumlah 100 orang. Untuk menghindari terjadinya drop out atau
61
missing maka jumlah responden ditambahkan 10%, sehingga jumlah sampel
keseluruhan menjadi 110 orang.
Jumlah sampel yang diperoleh merupakan jumlah sampel minimal untuk
memenuhi penelitian ini sehingga dalam prosesnya jumlah tersebut boleh
bertambah banyak namun tidak boleh berkurang.
4.3.1. Teknik Pengambilan Sampel
Sebelum proses pengambilan sampel langkah pertama yang harus
dilakukan adalah menentukan kerangka sampel. Kerangka sampel berisi nama-
nama responden yang merupakan populasi penelitian, yaitu seluruh pekerja PT.
Antam tbk yang bekerja diareal pertambangan. Namun karena hanya diketahui
jumlah pekerjanya saja maka dilanjutkan ke langkah selanjutnya yaitu
menentukan nilai k yang diperoleh dari hasil pembagian populasi (N) dengan
jumlah sampel yang dibutuhkan (m) (rumus k = N/m). Pada penelitian ini nilai
k = 5, yaitu hasil dari 538/110.
Pemilihan responden pertama ditentukan dengan menggunakan dadu,
sedangkan untuk menentukan responden kedua dan selanjutnya dilakukan
dengan cara menambahkan nilai k pada nomor responden pertama. Nomor
responden pertama yang terpilih adalah 04, dengan demikian responden kedua
adalah pekerja yang berada pada urutan 09 pekerja yang ditemui oleh peneliti
ketika akan mengajukan kuesioner, sedangkan responden ketiga adalah pekerja
yang berada pada urutan 14, dan seterusnya yang ditemui oleh peneliti ketika
akan mengajukan kuesioner.
62
4.4 Instrumen
Instrumen yang digunakan pada penelitian ini adalah kuesioner yang
dibuat oleh peneliti yang merujuk kepada kuesioner yang telah digunakan
sebelumnya oleh Pudjowati (1998) dan Sumbung (2000), dan kuesioner ini
telah dimodifikasi oleh peneliti dan disesuaikan dengan lokasi kerja dan
perkembangan teori yang ada. Kuesioner yang akan dibagikan sebelumnya akan
diuji coba dan dilakukan uji validitas dan reabilitasnya.
Untuk mengetahui uji validitas suatu instrumen (dalam hal ini
kuesioner) dilakukan dengan cara melakukan korelasi antar skor masing-masing
variabel dengan skor totalnya. Uji coba kuesioner ini dilakukan dibagian
pengolahan PT.ANTAM Tbk. Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor, karena
dianggap memiliki karakteristik yang sama dari para pekerjanya. Suatu skor
dikatakan valid jika skor tersebut secara signifikan dengan skor totalnya. Teknik
korelasi yang digunakan korelasi person product moment (r).
Keputusan uji :
Bila r hitung lebih besar dari r tabel maka Ho ditolak, artinya variabel valid.
Bila r hitung lebih kecil dari r tabel maka Ho gagal ditolak, artinya variabel
tidak valid.
Pengujian reliabilitas dimulai dengan menguji validitas terlebih dahulu.
Jadi jika sebuah pertanyaan tidak valid, maka pertanyaan tersebut dibuang.
Pertanyaan-pertanyaan yang sudah valid kemudian baru secara bersamaan
63
diukur reliabilitasnya. Untuk mengukur reliabilitas caranya adalah
membandingkan nilai r tabel dengan nilai r hasil. Dalam uji reliabilitas
sebagai nilai r hasil adalah alpha (terletak diakhir output SPSS). Ketentuannya :
bila r alpha > r tabel, maka pertanyaan tersebut reliabilitas.
Jumlah responden yang dipakai untuk uji kuesioner ini adalah 34
responden, nilai r tabel dilihat dengan tabel r dengan menggunakan df = n–2 =
34–2 = 32. Pada tingkat kemaknaan 5%, didapat dengan angka r tabel = 0,349.
Berdasarkan hasil pengujian reliabilitas nilai r hasil (corrected item-total
correlation) dari beberapa pertanyaan kuesioner berada diatas nilai r tabel
(0,349) sehingga pertanyaan-pertanyaan tersebut valid dan pertanyaan yang
dibawah nilai r tabel (tidak valid) dibuang.
Kemudian pertanyaan-pertanyaan yang valid dilakukan uji reliabilitas.
Untuk mengukur reliabilitas caranya adalah membandingkan nilai r tabel
dengan nilai r hasil. Dalam uji reliabilitas sebagai nilai r hasil adalah nilai alpha
(Crobanch’s Alpha). Ketentuannya : bila r alpha > r tabel, maka pertanyaan
tersebut reliabilitas. Berdasarkan hasil uji reliabilitas, nilai alpha (0,984) lebih
besar dengan nilai r tabel (0,349) sehingga pertanyaan tersebut reliabilitas.
Kuesioner ini meliputi pertanyaan yang mengukur tentang pengetahuan, sikap,
pelatihan, pengawasan, dan kebijakan.
Pada seluruh variabel penelitian, mencakup variabel dependen (perilaku
penggunaan APD) dan variabel independen (meliputi pengetahuan, sikap,
pengawasan, dan kebijakan) kemudian dilakukan proses scoring. Scoring yaitu
64
pemberian skor jawaban responden pada beberapa pertanyaan di kuesioner
sehingga dapat digabungkan menjadi satu variabel. Proses scoring untuk
masing-masing variabel dijelaskan sebagai berikut:
1. Untuk variabel pengetahuan tentang APD ada 20 pertanyaan, pertanyaan 1
sampai dengan pertanyaan 20 diberi skor 0-1. Mempunyai jumlah nilai 20.
Pengetahuan dikategorikan baik apabila mempunyai jumlah nilai ≥ 15,
sedangkan dikategorikan rendah apabila nilainya < 15.
2. Untuk variabel pelatihan tentang APD ada 8 pertanyaan. Variabel pelatihan
mempunyai total nilai 1. dikategorikan pernah apabila nilai yang terkumpul >
6 dan tidak pernah apabila nilai yang terkumpul ≤ 6
3. Untuk variabel pengawasan tentang APD ada 5 pertanyaan, pertanyaan 1
sampai dengan pertanyaan 4 diberi skor 0-1 . Pola pengawasan dikategorikan
bagus apabila nilai yang didapatkan > 3 sedangkan tidak bagus bila nilai yang
didapatkan ≤ 3. Jumlah nilai keseluruhan untuk pola pengawasan adalah 4.
4. Untuk variabel kebijakan tentang APD ada 10 pertanyaan, pertanyaan 1
sampai dengan pertanyaan 10 diberi skor 0-1 . Total nilai untuk variabel
kebijakan adalah 10, dengan kategori ada dan tidak ada. Dikategorikan ada
apabila nilai yang didapatkan mencapai > 8 dan dikategorikan tidak ada bila
nilai yang didapatkan ≤ 8.
65
4.5 Teknik Pengambilan Data
Data dalam penelitian ini terdiri dari satu jenis, yaitu data primer.
Dalam pengumpulannya, data primer diperoleh dari hasil jawaban kuesioner
yang telah diisi oleh responden.
4.6 Pengolahan Data
Dalam pengolahan data dilakukan beberapa tahap, yaitu sebagai berikut:
1. Coding
Yaitu proses pemberian kode pada jawaban kuesioner untuk memudahkan
data ketika dimasukkan ke dalam komputer (komputerisasi). Coding
merupakan kegiatan merubah data berbentuk huruf menjadi data
berbentuk angka/bilangan.
2. Editing
Yaitu menyunting data yang akan dimasukkan dan mengidentifikasi
kembali variabel pertanyaan yang belum di coding serta melihat
kelengkapan, kejelasan, relevan, dan konsistensi jawaban sebelum di
entry.
3. Entry Data
Yaitu proses meng-entry (memasukkan) data dari kuesioner ke dalam
komputer dengan menggunakan bantuan program komputer setelah semua
jawaban kuesioner diberikan kode serta kuesioner terisi penuh dan benar.
4. Cleaning
66
Yaitu proses pengecekan kembali data yang sudah di entry untuk
memastikan tidak terdapat kesalahan pada data tersebut. Kemudian data
tersebut telah siap diolah dan dianalisis.
4.7 Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis univariat dan analisis bivariat.
1. Analisis univariat merupakan suatu analisis untuk mendeskripsikan
masing-masing variabel yang diteliti. Analisis ini bertujuan untuk
mengetahui gambaran distribusi frekuensi dan proporsi dari variabel
dependen dan independen yang ada pada penelitian ini, yaitu variabel
perilaku penggunaan APD, pengetahuan, sikap, pelatihan, pengawasan
dan kebijakan.
2. Analisis bivariat dilakukan untuk melihat hubungan antara faktor
independen dengan faktor dependen. Variabel independen terdiri dari:
pengetahuan, sikap, pelatihan, dan kebijakan, sedangkan variabel
dependen yaitu perilaku penggunaan APD. Analisis menggunakan uji
statistik Chi Square (X2) dengan α= 0,05.
Persamaan Chi Square:
df = (k-1) (b-1)
Keterangan :
X2 = Chi Square
X2 = ∑ (O-E)2
E
67
O = Nilai yang diamati (Observasi)
E = Nilai yang diharapkan (Ekspetasi)
df = derajat kebebasan (degree of freedom)
k = Jumlah kolom
b = Jumlah baris
Apabila nilai p<α maka hasilnya bermakna secara statistik atau
terdapat hubungan (Ha diterima), sedangkan bila nilai p>α maka hasilnya
tidak bermakna secara statistik atau tidak terdapat hubungan (Ha ditolak).
68
BAB V
HASIL
5.1. Gambaran Umum Perusahaan
5.1.1. Sejarah Perusahaan
PT. ANEKA TAMBANG Tbk merupakan salah satu perusahaan
tambang terbesar di Indonesia dengan pengoperasian enam unit penambangan.
Perusahaan beroperasi secara terpadu mulai dari kegiatan eksplorasi,
penambangan, peleburan, pemurnian, dan pemasaran. Keberadaan Tambang
Emas Pongkor dimulai dengan dilakukannya eksplorasi logam dasar timbal
dan seng (Pb dan Zn) di bagian utara gunung Pongkor oleh para geologiwan
ANTAM pada tahun 1974, yang dilanjutkan dengan survey pendahuluan di
daerah Pongkor oleh tim eksplorasi dan menemukan endapan urat kuarsa
(quartz vein) berkadar 4 GPT Au dan 126 GPT Ag.
Sekitar tahun 1982-1988 kegiatan survey tersebut ditangguhkan
karena seluruh kegiatan PT. ANTAM difokuskan pada Unit Pertambangan
Emas Cikotok. Pada tahun 1988, kegiatan dilanjutkan kembali dengan lebih
sistematis dan lengkap, dibuatkan studi kelayakan dan terbit Kuasa
Pertambangan Eksploitasi yang pertama KP.DU 893/Jabar seluas 4.058 Ha
diperoleh tahun 1991.
69
Penelitian studi kelayakan (feasibility study) pada tahun 1991
dilakukan oleh Kilborn Engineering Pacific Canada, sedangkan studi desain
pengolahan penambangan oleh PT. Nedpac yang bekerjasama dengan Signet
Engineering Pty, Ltd, Dames Moore Ltd Australia dan Jim Mining co. Ltd.
Kegiatan pembangunan tambang Pongkor dimulai awal tahun 1992
dengan pembuatan jalan masuk dari Parengpeng menuju ke sorongan
sepanjang 12,5 km yang dilaksanakan melalui kerjasama dengan Pemerintah
Daerah (PEMDA) Bogor dan Program Karya Bhakti Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI). Tahun 1993 dilakukan pembangunan fisik pabrik
dan tailing dam, sedangkan tahun 1994 commisioning pabrik pengolahan dan
menjadi salah satu unit produksi ANTAM dengan nama Unit Pertambangan
Emas (UPE) Pongkor.
Perluasan tambang Ciurugan juga pembangunan pabrik II, untuk
peningkatan kapasitas produksi dimulai pada tahun 1997, tetapi pada tahun
1998 tepatnya pada tanggal 3 Desember terjadi kerusuhan dan pengrusakan
yang dipicu oleh masalah Penambang Emas Tanpa Izin (PETI)
mengakibatkan rusaknya beberapa instalasi pabrik sehingga produksi terhenti
selama 10 hari.
Tanggal 1 Agustus 2000 perusahaan mendapat kuasa pertambangan
ekploitasi kw 98 PP 0138 seluas 6.047 hektar. UPE Pongkor berubah menjadi
70
Unit Bisnis Pertambangan Emas (UBPE) Pongkor sejalan dengan
restrukturisasi yang dilakukan PT. ANTAM Tbk.
PT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor telah berhasil mendapatkan
sertifikasi ISO antara lain yaitu ISO 9002 pada tahun 2002, ISO 14001 pada
tahun 2002, dan yang terakhir ISO 14001 versi 2004 pada akhir tahun 2005
dan dalam waktu dekat ini berencana untuk mendapatkan sertifikasi
Occupational Health Assesment Series (OHSAS) 18001.
5.1.2. Lokasi dan Lahan
PT. ANTAM Tbk merupakan salah satu Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) yang berada di bawah naungan Departemen Energi dan Sumber
Daya Mineral. Perusahaan ini mengoperasikan 6 (enam) unit penambangan
yang salah satunya adalah PT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor yang bergerak di
bidang pertambangan pengolahan emas dan perak, berlokasi di Bogor, Jawa
Barat, tepatnya di desa Bantarkaret, Kecamatan Nanggung yang dapat
ditempuh sekitar 2 jam perjalanan dengan jarak 54 km dari pusat kota Bogor.
PT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor mempunyai luas Kuasa
Penambangan (KP) 6.047 hektar yang berdekatan dan bahkan berada di
bawah Taman Nasional Gunung Halimun, dengan rincian Kawasan Taman
Nasional 105 Ha, Hutan Lindung 275 Ha, Hutan Produksi 2.025 Ha dan
selebihnya merupakan tanah milik di luar kawasan. Dengan latar belakang
tersebut serta dilandasi pemikiran proses penambangan yang berwawasan
71
lingkungan, maka sejak awal PT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor telah
menerapkan sistem penambangan bawah tanah (underground mining)
5.1.3. Visi dan Misi
PT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor memiliki visi 2010 yaitu : “
Menjadi perusahaan pertambangan berstandar internasional yang memiliki
keunggulan kompetitif di pasar global ”.
Sedangkan misi yang ingin dicapai oleh PT. ANTAM Tbk UBPE
Pongkor sama dengan PT. ANTAM Tbk pusat sekaligus unit-unit lain yaitu
menghasilkan produk-produk berkualitas tinggi yaitu nikel, emas, perak, dan
mineral lain dengan selalu memperhatikan kelestarian lingkungan. Mencapai
keunggulan kompetitif di pasar global bersandarkan pada kompetensi diri
dengan tujuan untuk :
a. Memaksimalkan nilai pemegang saham
b. Meningkatkan kesejahteraan pegawai
c. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar lokasi
pertambangan
5.1.4. Sumber Daya Manusia
PT. ANTAM Tbk. UBPE Pongkor merupakan perusahaan yang
bergerak dalam sektor pertambangan emas yang di dalamnya mempekerjakan
karyawan sebanyak 1621 dengan tingkat pendidikan didominasi oleh lulusan
72
SLTA atau kejuruan. Dari jumlah karyawan tersebut paling banyak bertempat
tinggal di kawasan kecamatan Nanggung.
Karyawan yang bekerja di PT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor menurut
data bulan Januari 2008 berjumlah sekitar 1621 orang terdiri dari 40%
karyawan tetap dan 60% kontraktor.
Dari 1621 karyawan yang ada terbagi menjadi 538 pekerja bekerja di
area pertambangan dan sisanya bekerja dibagian pengolahan dan administrasi
maupun kantor pertambangan.
5.1.5. Peralatan Lingkungan Kerja
Di setiap kegiatan kerja di pertambangan selalu menggunakan
peralatan yang memudahkan pekerja melakukan pekerjaanya, adapun
peralatan yang digunakan berupa :
a. Dump truck, digunakan untuk mengangkut ore waste di peermukaan
tambang
b. Excavator, digunakan untuk mengangkut ore waste ke Dump truck
c. Forklift, digunakan untk mengangkat barang-barang dari luar tambang
yang sifatnya berat, contohnya mengangkat Granby
d. Granby, lori transportasi dengan kapasitas 5 ton
e. LHD, digunakan untuk mengangkut ore waste di dalam tambang
f. Mine Car, digunakan untuk mengangkut tenaga kerja di dalam
tambang, baik yang masuk maupun yang keluar
73
g. Trolley, alat angkut (loco) tenaga listrik
h. Winder, digunakan untuk menaikkan/menurunkan orang ataupun
barang dari level ke level yang berada di tambang.
i. Jumbo Drill, alat yang digunakan untuk melakukan pemboran
j. Jaw Crusher, unit/mesin pemecah batuan
k. Ball Mill, unit/mesin penggerus batu, dan lain-lain
5.1.6. Waktu Kerja dan Shift Kerja
PT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor pada pelaksanaannya menetapkan 5
hari kerja efektif setiap minggunya yaitu senin-jum’at dengan jumlah jam
kerja 8 jam/hari atau sekitar 40 jam/minggu.
Jam kerja karyawan PT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor dibagi menjadi
3 shift yaitu :
a. Shift I : Jam 08.00 – 16.00 WIB
b. Shift II : Jam 16.00 – 24.00 WIB
c. Shift III : Jam 24.00 – 08.00 WIB
5.1.7. Sikap Kerja
Tenaga kerja yang bekerja di PT. ANTAM Tbk UBPE Pongkor dalam
melakukan aktivitas pekerjaannya dilakukan dengan sikap berdiri misalnya di
area pertambangan mulai dari pekerjaan perencanaannya, penambangan, dan
pengolahan sedangkan sebagian lagi ada yang bekerja dengan sikap duduk
yaitu pada pekerja kantor baik kantor administrasi maupun kantor
pertambangan.
74
5.1.8. Struktur Organisasi K3
Secara organisasi pengelolaan keselamatan dan kesehatan kerja berada
di bawah tanggung jawab Safety and Environmental Manager dan
bertanggung jawab langsung kepada Senior Vice President. Peran, tanggung
jawab dan wewenang didefinisikan, didokumentasikan dan dikomunikasikan
untuk memfasilitasi Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan
efektif.
Gambar 5.1
Bagan Struktur Organisasi K3
Senior Vice President
Ir. S.W. Wawan H
Deputy Senior VicePresident of Finance and
Human Resource
Deputy SeniorVice Presidentof Operation
Safety and Environment Manager
Ariyanto Budi Santoso, ST. MM
Health Center and OccupationalHealth Manager
Dr. Sudarmanto, AAK
Yankes dan Rekamedik
Welmintje Katilawang
Hiperkes
Erni Herawati, S. SosSafety
Sabari
Environment
Irwan Supaito, ST
75
5.2. Gambaran Penggunaan APD Responden di PT ANTAM Tbk Tahun 2010
Tabel 5. 1 Distribusi Responden Berdasarkan Penggunaan APD di PT
ANTAM Tbk Tahun 2010
Penggunaan APD n %
Tidak Menggunakan APD 37 33,6
Menggunakan APD 73 66,4
Total 110 100
Berdasarkan tabel 5.1 dapat disimpulkan bahwa responden yang tidak
menggunakan APD lebih sedikit (33,6%).
5.3. Gambaran Variabel Independen di PT ANTAM Tbk
1. Usia
Tabel 5.2 Distribusi Responden Berdasarkan Usia di PT ANTAM Tbk
Tahun 2010
Usia Responden(Tahun)
n %
17 1 0,918 10 9,119 3 2,725 7 6,426 3 2,727 7 6,428 7 6,432 7 6,433 6 5,534 7 6,436 10 9,137 12 10,938 6 5,539 6 5,541 3 2,742 3 2,7
76
Usia Responden(Tahun)
n %
43 3 2,745 3 2,746 3 2,747 3 2,7
Total 110 100
Berdasarkan tabel 5.2 dapat disimpulkan bahwa responden yang
paling banyak adalah responden yang berusia 37 tahun (10,9%). Dari grafik
histogram diketahui bahwa distribusi responden berdasarkan Usia memiliki
distribusi normal.
2. Lama Bekerja
Tabel 5.3 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Bekerja di PT
ANTAM Tbk Tahun 2010
Lama Bekerja(Tahun)
n %
1 14 12,72 7 6,43 6 5,54 4 3,65 3 2,76 3 2,77 3 2,78 14 12,710 3 2,711 4 3,612 6 5,513 6 5,514 10 9,115 6 5,516 6 5,518 15 13,6
Total 110 100
77
Berdasarkan tabel 5.3 dapat disimpulkan bahwa responden yang
paling banyak adalah responden yang memiliki lama berkerja 18 tahun
(13,6%). Dari grafik histogram diketahui bahwa distribusi responden
berdasarkan Usia memiliki distribusi normal.
3. Pengetahuan
Tabel 5.4 Distribusi Responden Berdasarkan Pengetahuan dalam
menggunakan APD di PT ANTAM Tbk Tahun 2010
Pengetahuan n %
Kurang Baik 37 33,6
Baik 73 66,4
Total 110 100
Berdasarkan tabel 5.4 dapat disimpulkan bahwa responden yang
memiliki pengetahuan kurang baik lebih sedikit (33,6%).
4. Pelatihan
Tabel 5. 5 Distribusi Responden Berdasarkan Pelatihan di PT ANTAM
Tbk Tahun 2010
Pelatihan n %
Tidak Pernah 47 42,7
Pernah 63 57,3
Total 110 100
78
Berdasarkan tabel 5.5 dapat disimpulkan bahwa responden yang tidak
pernah mengikuti Pelatihan lebih sedikit (42,7%).
5. Pengawasan
Tabel 5.6 Distribusi Responden Berdasarkan Pengawasan di PT ANTAM
Tbk Tahun 2010
Pengawasan n %
Tidak ada 44 40,0
Ada 66 60,0
Total 110 100
Berdasarkan tabel 5.6 dapat disimpulkan bahwa responden yang
menyatakan tidak ada pengawasan lebih sedikit (40,0%).
6. Kebijakan
Tabel 5.7 Distribusi Responden Berdasarkan Kebijakan dalam
menggunakan APD di PT ANTAM Tbk Tahun 2010
Kebijakan n %
Tidak ada 37 33,6
Ada 73 66,4
Total 110 100
Berdasarkan tabel 5.7 dapat disimpulkan bahwa responden yang
menyatakan tidak ada kebijakan lebih sedikit (33,6%).
79
5.4. Hubungan Penggunaan APD dengan Variabel Independen di PT ANTAM
Tbk Tahun 2010
1. Pengetahuan
Tabel 5.8 Distribusi Responden Berdasarkan Penggunaan APD denganPengetahuan responden di PT ANTAM Tbk Tahun 2010
Berdasarkan tabel 5.8 dapat diketahui bahwa responden yang memiliki
pengetahuan kurang baik dalam penggunaan APD lebih banyak yaitu 83,8%
daripada responden yang memiliki pengetahuan baik (8,2%). Hasil uji Chi
Square menunjukan ada hubungan yang bermakna antara penggunaan APD
dengan pengetahuan (P value 0,000) dengan OR 57,694(17,221-193,289),
artinya responden yang menyatakan pengetahuan kurang baik dalam
menggunakan APD cenderung 57,694 kali tidak menggunakan APD daripada
responden yang memiliki pengetahuan yang baik tentang APD.
Pengetahuan
Penggunaan APD
Total PValue OR (95% CI)Tidak
menggunakan
Menggunakan
N % n % n %Kurang baik 31 83,8 6 16,2 37 100
0,00057,694(17,221-193,289)
Baik 6 8,2 67 91,8 73 100
80
2. Pelatihan
Tabel 5.9 Distribusi Responden Berdasarkan Penggunaan APD denganPelatihan di PT ANTAM Tbk Tahun 2010
Berdasarkan tabel 5.9 dapat diketahui bahwa responden yang tidak
pernah mengikuti pelatihan lebih sedikit yaitu 34,0% daripada responden yang
pernah mengikuti pelatihan (33,3%). Hasil uji Chi Square menunjukan tidak
ada hubungan yang bermakna antara penggunaan APD dengan pelatihan (P
value 0,938).
Pelatihan
Penggunaan APD
Total PValue OR (95% CI)Tidak
menggunakan
Menggunakan
N % N % n %Tidak Pernah 16 34,0 31 66,0 47 100
0,9381,032 (0,464-2,295)
Pernah 21 33,3 42 66,7 63 100
81
3. Pengawasan
Tabel 5.10 Distribusi Responden Berdasarkan Penggunaan APD denganpengawasan di PT ANTAM Tbk Tahun 2010
Pengawasan
Penggunaan APD
Total PValue OR (95% CI)Tidak
menggunakan
Menggunakan
N % n % n %Tidak Ada 32 72,3 12 27,3 44 100
0,00032,533(10,535-100,468)
Ada 5 7,6 61 92,4 66 100
Berdasarkan tabel 5.10 dapat diketahui bahwa responden yang
menyatakan tidak ada pengawasan dalam penggunaan APD lebih banyak
yaitu 72,3% daripada responden yang menyatakan ada pengawasan (7,6%).
Hasil uji Chi Square menunjukan ada hubungan yang bermakna antara
penggunaan APD dengan adanya pengawasan (P value 0,000) dengan OR
32,533(10,535-100,468), artinya responden yang menyatakan tidak ada
pengawasan dalam menggunakan APD cenderung 32,533 kali tidak
menggunakan APD daripada responden yang mengatakan ada pengawasan
dalam menggunakan APD.
82
4. Kebijakan
Tabel 5.11 Distribusi Responden Berdasarkan Penggunaan APD dengankebijakan di PT ANTAM Tbk Tahun 2010
Kebijakan
Penggunaan APD
Total PValue OR (95% CI)Tidak
menggunakan
Menggunakan
N % n % n %Tidak Ada 32 86,5 5 13,5 37 100
0,00087,040(23,512-32,219)
Ada 5 6,8 68 93,2 73 100
Berdasarkan tabel 5.11 dapat diketahui bahwa responden yang
menyatakan tidak ada kebijakan dalam penggunaan APD lebih banyak yaitu
86,5% daripada responden yang menyatakan ada kebijakan (13,5%). Hasil uji
Chi Square menunjukan ada hubungan yang bermakna antara penggunaan
APD dengan kebijakan (P value 0,000) dengan OR 87,040(23,512-32,.219),
artinya responden yang menyatakan tidak ada kebijakan dalam menggunakan
APD cenderung 87,040 kali tidak menggunakan APD daripada responden
yang menyatakan ada kebijakan dalam menggunakan APD.
83
BAB VI
PEMBAHASAN
Bab pembahasan ini diawali dengan keterbatasan penelitian, kemudian
dilanjutkan dengan pembahasan faktor-faktor karakteristik dan faktor-faktor yang
berhubungan dengan pemakaian alat pelindung diri (APD). Untuk membantu didalam
pembahasan, dijabarkan beberapa teori yang ada hubungan dengan pokok bahasan
dan hasil uji statistik dari faktor-faktor yang ada hubungannya dengan pemakaian
APD.
6.1. Keterbatasan Penelitian
Pelaksanaan penelitian ini tidak terlepas dari kelemahan-kelemahan yang
terjadi, serta kemungkinan bias yang tidak dapat dihindarkan, walaupun telah
diupayakan untuk mengatasinya. Kelemahan-kelemahan tersebut diantaranya :
1. Model penelitian yang dilakukan penulis adalah model perilaku individu
(personal behavior). Beberapa teori secara umum mengemukakan bahwa
model perilaku individu meliputi hampir seluruh kepribadian manusia.
Perilaku individu dipengaruhi oleh banyak sekali faktor yang sangat
kompleks dan biasanya sulit untuk dilakukan pengukuran serta
membutuhkan waktu yang cukup lama. Ini sangat bergantung kepada
bentuk perilaku yang akan diteliti. Berdasarkan alasan-alasan di atas
84
penulis membatasi konsep penelitian ini hanya kepada faktor-faktor yang
dapat diukur dan diperkirakan mempunyai hubungan dengan perilaku
individu, dalam hal ini adalah pemakaian APD.
2. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional, penelitian hanya
dilakukan satu kali pada waktu yang bersamaan. Berarti bahwa
pengukuran semua variabel yang diteliti dilakukan pada saat yang
bersamaan. Teknik penelitian dilakukan dengan memberikan kuesioner
yang berisikan pertanyaan tentang variabel yang diteliti dan diisi sendiri
oleh responden tanpa ada intervensi dari peneliti.
3. Penelitian ini lebih bersikap subyektif yaitu tentang perilaku, sehingga
hasilnya hanya sebatas pada perusahaan dimana penelitian ini dilakukan
dan perilaku sebagai pusat pengamatan bukan hal yang bersifat menetap,
sehingga hasil pengukuran yang dilakukan pada saat pengambilan data
bukanlah hasil yang berlangsung seterusnya.
4. Adanya kemungkinan terjadi bias karena faktor kesalahan interpretasi
responden dalam menangkap maksud dari pertanyaan yang sebenarnya.
Sehingga dampak yang didapat adalah ketidaksesuaian antara jawaban
yang diharapkan dari beberapa pertanyaan yang diajukan.
5. Kemungkinan responden lupa dalam menjawab maksud yang sebenarnya
atau bahkan sengaja memberikan jawaban yang tidak sebenarnya.
85
6. Masih ada beberapa responden disaat dilakukan pemberian kuesioner yang
takut memberikan jawaban, sehingga jawaban yang diberikan tidak sesuai
dengan kondisi yang ada karena khawatir memberikan dampak negatif
terhadap pekerjaannya. Hal ini bisa menyebabkan bias informasi seperti
yang disebutkan pada keterbatasan penelitian.
7. Adanya kesulitan dalam menentukan deskripsi isi dari kuesioner yang
benar-benar mencakup seluruh permasalahan penelitian karena tidak
adanya standar yang baku.
6.2. Penggunaan APD
APD adalah alat yang dipakai untuk melindungi pekerja agar terhindar dari
penyakit dan cidera akibat kerja. APD digunakan jika usaha-usaha penanggulangan
secara teknik dan administratif telah dilaksanakan secara maksimal namun risiko
bahaya masih tetap tinggi. Penggunaan APD bukanlah sebagai pengganti kedua usaha
tersebut, melainkan merupakan alternatif terakhir untuk melindungi pekerja. Hasil
penelitian yang dilakukan di area pertambangan PT. ANTAM Tbk Unit Bisnis
Pertambangan Emas Pongkor Tahun 2010 menunjukkan bahwa pekerja yang
menggunakan APD pada saat bekerja sebanyak 73 orang (66,4%) dan pekerja yang
tidak menggunakan APD sebanyak 37 orang (33,6%)
Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumbung (2000)
didapatkan persentase pekerja yang menggunakan APD sebesar 27,9% dan pekerja
yang tidak menggunakan APD sebesar 72,1%, yang dimaksud dengan penggunaan
86
APD yaitu apabila pekerja menggunakannya secara lengkap sesuai dengan unit
kerjanya.
Dari hasil penelitian diatas tersebut dapat dilihat bahwa persentase
penggunaan APD pada pekerja di area pertambangan PT. ANTAM Tbk Tahun 2010
cukup tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa baiknya komitmen pihak Safety and
Environment terhadap keselamatan dan kesehatan kerja khususnya dalam penggunaan
APD cukup baik. Hal ini menjadi sangat penting mengingat jika pekerja
menggunakan APD maka akan terhindar dari bahaya kecelakaan ataupun penyakit
akibat kerja.
Untuk meningkatkan penggunaan APD pada pekerja PT.ANTAM Tbk Unit
Bisnis Pertambangan Emas Pongkor adalah dengan cara meningkatkan pengawasan
terhadap penggunaan APD yang sebenarnya sudah dilakukan, tetapi tidak rutin.
Mempertegas peraturan yang ada dengan diberlakukannya sanksi dan penghargaan
terhadap pekerja dan meningkatkan pengetahuan dan pemahaman tentang alat
pelindung diri, bahaya-bahaya potensial serta kesadaran pentingnya mematuhi
peraturan yang telah dikeluarkan oleh perusahaan, untuk menjamin keselamatan dan
kesehatan kerja serta lingkungan kerja. Pengetahuan merupakan hal yang sangat
berpengaruh terhadap perilaku pekerja dalam menggunakan APD, oleh sebab itu
sebaiknya perusahaan lebih berusaha untuk meningkatkan pengetahuan pekerja
mengenai APD. Hal ini dapat dilakukan dengan pemasangan poster keselamatan kerja
tentang alat pelindung diri
87
6.3. Pengetahuan Tentang APD
Alat pelindung diri (APD) adalah alat yang mempunyai kemampuan untuk
melindungi seseorang dalam pekerjaan yang fungsinya mengisolasi tenaga kerja dari
bahaya ditempat kerja.
Setelah melakukan penelitian pada pekerja di area pertambangan PT.
ANTAM Tbk Tahun 2010 didapatkan pengetahuan teantang responden baik yang
selalu menggunakan APD sebanyak 91,8% dan tidak selalu menggunakan APD
sebanyak 8,2%. Sedangkan pengetahuan tentang APD responden kurang baik yang
selalu menggunakan APD sebanyak 16,2% dan yang tidak selalu menggunakan APD
sebanyak 83,8%. Dari hasil data diatas dilakukan uji statistik hubungan antara
pengetahuan tentang APD dengan penggunaan APD diperoleh nilai p = 0,000
dengan OR 57,694, artinya responden yang pengetahuannya kurang baik tentang
APD cenderung 57,694 kali tidak menggunakan APD daripada responden yang
memakai APD.
Berbeda dengan penelitian Pudjowati pada tahun 1998 yang memperoleh nilai
p = 0,457 yang berarti bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara pengetahuan
yang baik dengan responden yang menggunakan APD.
Hasil penelitian diatas sesuai dengan pendapat Green (1980) yang menyatakan
pengetahuan merupakan salah satu faktor berpengaruh (predisposing factors) yang
mendorong atau menghambat individu untuk berperilaku (dalam hal ini penggunaan
APD). Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ramsey (1978) yang mengemukakan
88
bahwa pengetahuan merupakan faktor yang sangat penting untuk terbentuknya
perilaku seseorang, bila pekerja mempunyai pengetahuan yang kurang terhadap
potensi ataupun sumber bahaya yang ada dilingkungan kerjanya, maka individu
tersebut akan cenderung membuat suatu keputusan yang salah, dalam hal ini perilaku
penggunaan APD. Sementara itu Notoatmodjo (1983) mengatakan bahwa perilaku
yang didasari pada pengetahuan akan lebih langgeng (long lasting) dibandingkan
dengan perilaku yang tidak didasari pengetahuan. Semakin tinggi pengetahuan
seseorang diharapkan perilakunya juga akan semakin baik.
6.4. Pelatihan APD
Penelitian yang dilakukan di area pertambangan PT. ANTAM Tbk Tahun
2010 menunjukkan hasil analisis hubungan antara pelatihan tentang APD dengan
penggunaan APD. Diperoleh bahwa jumlah distribusi responden yang pernah
mengikuti pelatihan tentang APD serta selalu menggunakan APD sebanyak 66,7%
dan tidak selalu menggunakan APD sebanyak 33,3%. Sedangkan responden yang
tidak pernah mengikuti pelatihan dan menggunakan APD sebesar 66% dan tidak
selalu menggunakan APD sebesar 34%.
Dari hasil data diatas dilakukan uji statistik hubungan antara pengawasan
penggunaan APD dengan penggunaan APD diperoleh nilai p = 0,938 yang berarti
dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna atau tidak ada
hubungan bermakna antara pelatihan APD dengan penggunaan APD.
89
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Netty pada tahun 2007
didapatkan nilai p = 0,004 yang berarti terdapat hubungan bermakna antara pelatihan
dengan penggunaan APD.
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Bird
dan Germain (1996), bahwa pelatihan secara nyata menunjukan faktor yang
mempengaruhi pekerja dalam menggunakan alat pelindung diri. Pelatihan yang sesuai
akan menyebabkan : kinerja lebih efisien, kecelakaan akan dapat dihilangkan atau
dikurangi, moral karyawan dan kerja tim akan meningkat, serta meningkatnya
kepuasan kerja karyawan, pekerjaan akan lebih mudah dilakukan, karyawan akan
lebih fleksibel serta mudah beradaptasi, dan dapat menyesuaikan diri dengan
pemenuhan hukum untuk tipe pelatihan tertentu dimana menjadi tanggung jawab
manajemen.
Hal ini kemungkinan dikarenakan pelatihan yang diberikan oleh pihak
perusahaan masih bersifat umum, sedangkan training yang secara khusus tentang
APD belum dilaksanakan, dan sebagian besar yang menyatakan bahwa training itu
tidak terlalu diperlukan untuk menunjang pekerjaaannya. Bagi mereka banyaknya
pengalaman membuat mereka belajar mengerjakan suatu pekerjaan secara aman dan
selamat.
6.5. Pengawasan Penggunaan APD
Penelitian yang dilakukan di area pertambangan PT. ANTAM Tbk Tahun
2010 didapatkan hasil responden yang menyatakan selalu dilakukan pengawasan
90
penggunaan APD selalu menggunakan APD sebanyak 92,4% dan tidak selalu
menggunakan APD 7,6%. Sedangkan responden yang menyatakan tidak selalu
dilakukan pengawasan penggunaan APD selalu menggunakan APD sebanyak 27,3%
dan tidak selalu menggunakan APD sebanyak 72,3%.
Dari hasil data diatas dilakukan uji statistik hubungan antara pengawasan
penggunaan APD dengan penggunaan APD diperoleh nilai p = 0,000 dengan OR
32,533(10,535-100,468), artinya responden yang menyatakan tidak ada pengawasan
dalam menggunakan APD cenderung 32,533 kali tidak menggunakan APD daripada
responden yang memakai APD.
Data diatas menunjukkan bahwa responden yang menyatakan selalu
dilakukannya pengawasan penggunaan APD di area pertambangan PT. ANTAM Tbk
lebih banyak selalu menggunakan APD saat bekerja. Jadi pengawasan penggunaan
APD ada hubungan secara bermakna terhadap responden dalam penggunaan APD.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Netty pada tahun 2007 yang
memperoleh nilai p = 0,268 yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang
bermakna antara variabel pengawasan dengan penggunaan apd oleh responden
Hasil penelitian diatas sesuai dengan pendapat Kelman (1958) perubahan
perilaku individu pada tahap kepatuhan (compliance). Mula-mula individu mematuhi
anjuran atau instruksi petugas tanpa kerelaan untuk melakukan tindakan tersebut dan
seringkali karena ingin menghindari hukuman atau sanksi jika dia tidak patuh, atau
untuk memperoleh imbalan yang dijanjikan jika dia mematuhi anjuran tersebut.
91
Biasanya perubahan yang terjadi dalam tahap ini sifatnya sementara, artinya bahwa
tindakan itu dilakukan selama masih ada pengawasan petugas. Dengan baiknya
kinerja petugas departemen safety dalam pengawasan penggunaan APD
meningkatkan kedisiplinan pekerja dalam penggunaan APD saat bekerja.
Hasil penelitian diatas sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Green
(1980) yang menyatakan bahwa pengawasan merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi pekerja dalam menggunakan alat pelindung diri.
Bird (1972), dengan tegas mengatakan bahwa penyebab langsung terjadinya
kecelakaan adalah tindakan dan kondisi yang tidak aman. Penyebab langsung ini
timbul karena pengawasan yang jelek dari pihak manajemen. Dengan demikian jika
dilihat dari penelitian ini, variabel pengawasan ini sangat penting untuk jadi perhatian
karena perilaku para responden terhadap penggunaan alat pelindung diri ini, ternyata
ada perbedaan antara pengawasan yang baik dan yang tidak baik. Kendati demikian
pekerja yang menggunakan alat pelindung diri semata karena ada pengawasan semata
tentu bukanlah sesuatu yang baik. Biasanya mereka jika tidak ada pengawasan
cenderung tidak akan menggunakannya. Hal ini akan berbeda dengan pekerja yang
berperilaku didasari dengan pengetahuan dan kesadaran sendiri. Keadaan ini sejalan
dengan teori yang dikemukakan.
6.6. Kebijakan Tentang APD
Penelitian yang dilakukan di area pertambangan PT. ANTAM Tbk Tahun
2010 didapatkan hasil responden yang menyatakan adanya kebijakan yang selalu
92
menggunakan APD sebanyak 93,2% dan tidak selalu menggunakan APD sebanyak
6,8%. Sedangkan responden yang menyatakan tidak ada kebijakan tentang APD yang
selalu menggunakan APD sebanyak 13,5% dan tidak menggunakan APD sebanyak
86,5%.
Dari hasil data diatas dilakukan uji statistik hubungan antara kebijakan
tentang APD dengan penggunaan APD diperoleh nilai p = 0,000 dengan OR 87,040,
artinya responden yang menyatakan tidak ada kebijakan dalam menggunakan APD
cenderung 87,040 kali tidak menggunakan APD daripada responden yang memakai
APD.
Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Netty pada tahun 2007 yang
memperoleh hasil p = 0,375 yang berarti bahwa tidak ada hubungan yang bermakna
antara kebijakan dengan penggunaan apd oleh responden.
Hasil penelitian diatas sesuai dengan pendapat Green (1980) yang menyatakan
kebijakan tentang APD merupakan salah satu faktor pemungkin (enabling factors)
yang memungkinkan individu untuk berperilaku (dalam hal ini penggunaan APD).
Dalam Undang-Undang Tenaga Kerja, seperti UU Nomor 14 Tahun 1969
pasal 9 tentang ketentuan-ketentuan pokok mengenai ketenagakerjaan menyebutkan
bahwa “Tiap-tiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas
keselamatannya”. Selain itu dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970,
pemerintah mewajibkan perusahaan untuk menyelenggarakan upaya keselamatan
dan kesehetan kerja pasal 13 menyatakan “Barangsiapa yang memasuki tempat kerja,
93
diwajibkan mentaati semua petunjuk keselamatan kerja dan menggunakan alat
pelindung diri yang diwajibkan”, serta Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 1 Tahun 1981 pasal 5 ayat 2 menyatakan pekerja harus
menggunakan alat pelindung diri yang diwajibkan untuk mencegah penyakit akibat
kerja”.
Disamping peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah tentang kewajiban
penggunaan APD pada saat melakukan pekerjaan, biasanya perusahaan juga
mempunyai aturan yang jelas mengenai hal ini. Perusahaan biasanya lebih khusus
mengatur permasalahan ini. Namun sebenarnya, pokok persoalan tidak hanya terletak
ada atau tidaknya peraturan, melainkan sejauh mana peraturan tersebut ditegakkan.
Kriteria penentuan baik atau tidaknya kebijakan atau peraturan itu adalah sejauh
mana peraturan itu disosialisasikan, adakah sanksi yang jelas bila ada pekerja yang
melanggarnya, begitu pula sebaliknya apakah diberikan penghargaan jika pekerja
mematuhinya dan lain sebagainya. Suma’mur (1995) menyatakan, sebenarnya
peraturan yang diterapkan diperusahaan hanya berfungsi sebagai penunjang
pelaksanaan proses produksi saja. Segala macam peraturan tidak akan ada
manfaatnya apabila tidak ditaati oleh pekerja.
Maksud dari dikeluarkannya peraturan tentang alat pelindung diri adalah
melindungi pekerja dari bahaya-bahaya akibat kerja seperti mesin, pesawat, proses
dan bahan kimia serta meningkatkan derajat keselamatan dan kesehatan kerja
khususnya dalam hal penggunaan APD sehingga mengikat pekerja dan orang lain
94
ditempat kerja untuk selalu menggunakan APD yang diwajibkan untuk mencegah
kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
95
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Dari hasil dan pembahasan penelitian yang dilaksanakan di area
pertambangan PT. ANTAM Tbk Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor Tahun
2010, tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan perilaku penggunaan alat
pelindung diri, dapat ditarik beberapa kesimpulan, yakni sebagai berikut :
1. Pekerja yang tergolong baik menggunakan alat pelindung diri lebih besar
proporsinya dari yang tidak baik. Yang baik berjumlah 73 pekerja (66,4%)
dan tidak baik 37 pekerja (33,6%)
2. Dari hasil penelitian diketahui bahwa, ditemukan perbedaan yang signifikan
antara pengetahuan tentang APD, yang tergolong baik dan tidak baik dalam
menggunakan APD (p value = 0,000) dengan OR 57,694 artinya responden
yang menyatakan tidak ada pengawasan cenderung 57,694 kali tidak
menggunakan APD daripada responden yang memakai APD.
3. Perbedaan antara pelatihan terhadap penggunaan APD antara yang pernah
dengan yang tidak pernah, menunjukkan perbedaan yang tidak signifikan
dalam menggunakan alat pelindung diri. (p value = 0,938)
4. Dari hasil penelitian diketahui bahwa, ditemukan perbedaan yang signifikan
antara pengawasan penggunaan APD, yang tergolong baik dan tidak baik
96
dalam menggunakan APD (p value = 0,000) dengan OR 32,533 artinya
responden yang menyatakan tidak ada pengawasan cenderung 32,533 kali
tidak menggunakan APD daripada responden yang memakai APD.
5. Dari hasil penelitian diketahui bahwa, ditemukan perbedaan yang signifikan
antara adanya kebijakan tentang APD, yang tergolong baik dan tidak baik
dalam menggunakan APD (p value = 0,000) dengan OR 87,040 artinya
responden yang menyatakan tidak ada kebijakan cenderung 87,040 kali tidak
menggunakan APD daripada responden yang memakai APD.
7.2. Saran
Berdasarkan hasil dan kesimpulan penelitian di atas, maka di bawah ini
penulis mencoba memberikan saran-saran ataupun masukan, yakni sebagai berikut.
1. Pengawasan terhadap penggunaan APD di PT. ANTAM Tbk Unit Bisnis
Pertambangan Emas Pongkor sudah ada, tetapi tidak rutin. Pengawasan
harusnya dilaksanakan dengan rutin dan yang melaksanakan pengawasan
bukan hanya petugas dari departemen safety saja, tetapi sebaiknya bekerja
sama dengan pengawas kontraktor, agar perilaku penggunaan APD pada
pekerja lebih meningkat. Jika perlu dipasang kamera CCTV dibeberapa sudut
area pertambangan untuk mengontrol pemakaian alat pelindung diri pada
pekerja.
2. Pada PT. ANTAM Tbk Unit Bisnis Pertambangan Emas Pongkor sudah ada
peraturan menyangkut penggunaan APD, tetapi peraturan tersebut belum
dijalankan dengan benar. Agar penggunaan APD pada pekerja lebih
97
meningkat, sebaiknya peraturan yang ada dipertegas lagi dengan
diberlakukannya sanksi dan penghargaan terhadap pekerja.
3. Perlunya peningkatan pengetahuan dan pemahaman tentang penggunaan
APD, bahaya-bahaya potensial serta kesadaran pentingnya mematuhi
peraturan yang telah dikeluarkan oleh perusahaan, untuk menjamin
keselamatan dan kesehatan kerja serta lingkungan kerja. Konkretnya adalah
semua pekerja dengan senang hati selalu mengikuti kegiatan-kegiatan yang
diadakan oleh perusahaan dalam rangka peningkatan pengetahuan dan tidak
segan-segan bertanya apabila ada sesuatu yang tidak dimengerti. Pengetahuan
merupakan hal yang sangat berpengaruh terhadap perilaku pekerja dalam
menggunakan APD, oleh sebab itu sebaiknya perusahaan lebih berusaha
untuk meningkatkan pengetahuan pekerja mengenai APD. Hal ini dapat
dilakukan dengan pemasangan poster safety tentang alat pelindung diri dan
mengadakan penyuluhan-penyuluhan tentang alat pelindung diri.
98
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Umar Fahmi. 1985. Strategi Pengamanan Keracunan Pestisida. Jakarta :UI.
Adryanto, Michael dan Savitri Soekrisno. 1985. Psikologi Sosial. Jakarta : Erlangga.
Akimoto, T. 1991. Personal Protective by using Industrial Health ProtectiveEquipment dalam Alat Pelindung Diri (APD) dan Alat Pemadam Api Ringan(APAR), cara memilih dan memakainya. Departemen Tenaga Kerja RI, BadanPerencanaan dan Pengembangan Tenaga Kerja, Pusat Hiperkes danKeselamatan Kerja, Jakarta.
Ariawan, Iwan. 1998. Besar dan Metode Sampel Pada Penelitian Kesehatan. Depok :FKM UI Jurusan Biostatistik dan Kependudukan.
------------------. 1998. Modul Survei Cepat. Depok : FKM UI Jurusan Biostatistik danKependudukan.
Arikunto, Suharsimi. 1992. Prosedur Penelitian : Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta :Rineka Cipta.
Bart, Smet. 1994. Psikologi Kesehatan. Jakarta : PT. Grasindo.
Bandura, Albert. 1986. Social Foundations of Thought and Action. Englewood Cliffs,NJ: Prentice-Hall.
------------------. 1997. Self-efficacy: The exercise of control. New York: W.H.Freeman.
Bedong, M. Ali. 1995. Peranan P3K didalam Penanganan Cedera Kecelakaan Kerjadi Perusahaan dan Industri di Indonesia. Majalah Kesehatan Masyarakat,Tahun XXIII.
Budiono, Sugeng. 2005. Bunga Rampai Hiperkes dan Keselamatan Kerja : HigienePerusahaan, Ergonomi, Kesehatan Kerja dan Keselamatan Kerja. Semarang :Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Catur, Septiawan. 1998. Gambaran Faktor-Faktor Yang Berhubungan DenganPenggunaan APD Pada Pekerja Di Control Processing Plant Minyak danGas Bumi GPS Pantai Utara Laut Jawa PSCHR Tahun 1998. Skripsi ProgramSarjana Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
99
Dahlia, Mutiara. 2002. Faktor – faktor yang berhubungan dengan perilakukeselamatan kerja penggunaan elpiji pada pekerja bagian pengolahan di 10usaha jasa boga golongan A3 yang mempunyai izin tetap penyehatanmakanan di Jakarta Selatan tahun 2002. Tesis Program Magister KesehatanMasyarakat Universitas Indonesia.
Departemen Kesehatan. 1992. Undang-undang RI No. 23 Tahun 1992. RepublikIndonesia.
Departemen Tenaga Kerja RI. 1990. Himpunan Petunjuk Ketiga (Keselamatan danKesehatan Kerja) di Indonesia 1989-1990. Jakarta : Yayasan PendidikanWidyadhana Atmaja.
Depnakertrans RI. 2007. Kecelakaan kerja dan faktor-faktor yang berhubungan diIndonesia (Berdasarkan data PT. Jamsostek Tbk), volume xxxx No.3. Majalahkeselamatan kerja dan hiperkes. Juli-Oktober. Jakarta : Depnakertrans RIPress. Halaman 31-45.
Diana, Niken. 2003. Bunga Rampai Hiperkes dan Keselamatan Kerja : PenggunaanAlat Pelindung Diri Bagi Tenaga Kerja Edisi Kedua. Semarang : BadanPenerbit Universitas Diponegoro.
Dwi. 2008. Kecelakaan kerja RI terbesar kedua. April 3 2008. [cited 15 January2009]. Available :http://finance.groups.yahoo.com/group/fpsmi/message/1953.
Elfrida, Netty. 2006. Faktor – faktor yang berhubungan dengan penggunaan AlatPelindung Diri pada pekerja di bagian produksi packing PT. KCI Jakartatahun 2006. Skripsi Program Sarjana Kesehatan Masyarakat UniversitasIndonesia.
Gibson, James L. et.al. 1996. Organisasi : Perilaku, Struktur, Proses. Jakarta :Penerbit Erlangga.
Green, Lawrence, dkk. 1980. Diterjemahkan oleh Zulazmi hamdy, Zarfiel Tafal, danSudarti Kresno. Perencanaan Pendidikan Kesehatan Sebuah PendekatanDiagnostik.. Jakarta: Proyek Pengembangan Fakultas Kesehatan MasyarakatDepartemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.
Indonesia. 2001. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Keselamatan danKesehatan Kerja. Jakarta : Departemen Tenaga Kerja.
International Labour Office. 1989. Buku Pedoman Pencegahan Kecelakaan. Jakarta :Pustaka Binaman Pressindo.
100
Ip. Indonesia Peringkat Tertinggi Kecelakaan Kerja. 29 Juli 2008 [cited 2009January 20]. Available :http://www.indofamily.net/index.php?option=com_content&task=view&id=1706&Itemid=39.
Jan. Tinggi, Tingkat kecelakaan kerja di PT. Antam. 26 Agustus 2004 [cited 2009January20].Available :http://www.kompas.com/kompascetak/0408/26/ekonomi/1231106.htm.
Keselamatan Kerja dan Pencegahan Kecelakaan, PT. Gunung Agung, Jakarta, 1981.
Kusuma, Indra. 2004. Faktor – faktor yang berhubungan dengan perilakupenggunaan Alat Pelindung Pendengaran pada pekerja bagian die castingPT. X tahun 2004, Tesis Program Magister Kesehatan Masyarakat UniversitasIndonesia.
Majalah Cermin Dunia Kedokteran, Edisi No. 144, 2004.
Mangunsaputro, Hariyanto. 1982. Identifikasi Bahaya. Pusat Pendidikan dan LatihanFire dan Safety Pertamina Sungai Gerong.
Mar’at. 1984. Sikap Perubahan Serta Pengukurannya. Ghalia Indonesia.
Notoatmodjo, Soekidjo. 1989. Dasar-dasar Pendidikan dan Pelatihan. Jakarta : BalaiPenerbit Kesehatan Masyarakat.
Notoatmodjo, Soekidjo. 1993. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : RinekaCipta.
------------------. 2003. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta.
------------------. 2003. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu Kesehatan Masyarakat. Jakarta :Rineka Cipta.
Pelalawan. 2008. Tingkat Kecelakaan Kerja di Indonesia Tertinggi. 22 Januari 2008[cited 15 January 2009]. Available :http://www.metroriau.com/?q=node/594_riau.
Pudjowati, Dwi Tjahjani. 1998. Analisis faktor – faktor yang berhubungan denganpemakaian alat pelindung diri di bagian pemintalan dan penenunan pabriktekstil “X” Banjaran Kabupaten Bandung tahun 1998, Tesis ProgramMagister Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
101
Purwanto, Heri. 1999. Pengantar Perilaku Manusia Untuk Keperawatan. Jakarta :Buku Kedokteran EGC.
Ridwan, Mohamad. 2008. Angka Kecelakaan Kerja di Indonesia Memprihatinkan. 2Februari 2008.[cited 2009 January 20]. Available :http://www.sinarharapan.co.id/berita/0802/02/eko04.html.
Robbins, Stephen P. 1996. Perilaku Organisasi : Konsep, Kontroversi, Aplikasi.Jakarta : Prenhallindo.
Rosskam, E. 1996. Controlling Hazards, Geneva : International Labour Office.
Sahab, Syukri. 1997. Teknik Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Jakarta :PT. Bina Sumber Daya Manusia.
Sarwono, S. 1993. Psikologi Sosial. Jakarta : Balai Pustaka.
Sillalahi, B. N. B. dan Sillalahi R. B. 1985. Manajemen Keselamatan dan KesehatanKerja. Jakarta : Pustaka Binaman Pressindo.
Simanjuntak, J. Payaman. 1994. Manajemen Kesehatan Kerja. Jakarta : HimpunanPembina Sumber Daya Manusia Indonesia (HIPSMI).
Siswanto, A. 1983. Alat Pelindung Diri. Majalah Hiperkes dan Keselamatan Kerja,No. 4 XXXIV, Oktober-Desember.
Suma’mur. 1989. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. Jakarta : PT. GunungAgung.
------------------. 1996. Keselamatan Kerja & Pencegahan Kecelakaan. Jakarta : PT.Gunung Agung.
Sumbung, Johny. 2000. Studi tentang faktor – faktor yang berhubungan dengan alatpelindung diri di bagian dryer dan gluing pabrik kayu lapis PT Jati DharmaIndah Batu Gong Kota Ambon tahun 2000. Tesis Program MagisterKesehatan Masyarakat Universitas Indonesia.
Sutanto. 2000. Modul SPSS. Depok : FKM UI Jurusan Biostatistik dan Kesehatan.
------------------. 1993. Analisis Regresi. Yogyakarta : Penerbit Andi Offset.
------------------. 1994. Statistika jilid 1, 2, 3. Yogyakarta : Penerbit Andi Offset.
102
Yanri, Zulmiar. 2002. Alat Pelindung Diri Merupakan Salah Satu Upaya PencegahanKecelakaan Kerja. Majalah Hiperkes dan Keselamatan Kerja, No 4 XXXIV,Oktober-Desember.
1
No. Responden
KUESIONER
FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN PERILAKUPENGGUNAAN ALAT PELINDUNG DIRI DI AREAL PERTAMBANGAN
PT. ANTAM Tbk UNIT BISNIS PERTAMBANGAN EMAS PONGKORKABUPATEN BOGOR TAHUN 2010
Oleh :
Nama Arianto WibowoNIM 104101003173
Assalamualaikum Wr. Wb. Salam sejahtera.
Saya mahasiswa Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran dan Ilmu
Kesehatan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta sedang melakukan penelitian
untuk kepentingan menyelesaikan skripsi.
Dalam lampiran terdapat beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan penelitian.
Untuk itu saya memohon dengan segala kerendahan hati agar kiranya Bapak/Saudara bersedia
meluangkan waktunya untuk mengisi pertanyaan berikut. Kejujuran Bapak/Saudara dalam
menjawab pertanyaan sangat saya hargai. Jawaban yang Bapak/Saudara berikan akan saya
jamin kerahasiaannya.
Ucapan terimakasih yang sebesarnya saya ucapkan atas bantuan dan partisipasi
Bapak/Saudara dalam mengisi kuesioner ini.
Petunjuk Pengisian :1. Isilah setiap pertanyaan sesuai dengan kemampuan anda dan secara jujur.
2. Bacalah setiap pertanyaan secara seksama
DAFTAR PERNYATAAN
I. Identitas Responden
1. Nama : …………………………………………………..2. Usia : …………………………………………………..3. Pendidikan Terakhir : 1. SD 2. SMP 3. SMA 4. D III /S14. Lama Kerja : ………………………………………………….5. Lokasi Pekerjaan : ………………………………………………….
2
A. Faktor PredisposisiA.1 Pengetahuan[beri tanda ( √ ) pada kotak yang telah disediakan]
Pertanyaan/PernyataanJawab
(di isi oleh responden) Di isi olehpeneliti
1. Ya 0. Tidak
A.1.1 Tahukah anda apa yang dimaksud dengan alatpelindung diri A11 [ ]
A.1.2 Menurut anda apakah APD berguna pada waktubekerja (jika tidak lanjut ke A.1.5) A12 [ ]
A.1.3
Apakah kegunaan APD menurut anda
a. Untuk melindungi tubuh dari cedera A13a [ ].
b. Untuk meminimalisasi dampak kecelakaansaat bekerja A13b [ ]
A.1.4
Apa akibatnya apabila pekerja tidak menggunakanAPD ?
a. Bisa mendapatkan kecelakaan A14a [ ]
b. Bisa cedera atau sakit A14b [ ]
c. Risiko tingkat keparahan cedera atau sakitakan semakin tinggi A14c [ ]
A.1.5
Menurut anda Kapan Alat Pelindung Diri tersebutseharusnya mulai digunakan
a. Pada saat hendak memulai pekerjaan A15a [ ]
b. Bila terjadi kecelakaan kerja A15b [ ]
c. Diruang locker/ganti pakaian A15c [ ]
A.1.6
Menurut anda siapa yang bertanggung jawabterhadap perawatan APD
a. Pihak Perusahaan / atasan A16a [ ]
b. Masing-masing pekerja A16b [ ]
A.1.7
Menurut anda manakah yang termasuk APD
a. Coverall/Wear pack A17a [ ]
b. Safety Gumboot/shoes A17b [ ]
c. Safety Helmet A17c [ ]
3
d. Mine Spot Lamp (MSL) A17d [ ]
e. Ear Protection (ear plug/ear muff) A17e [ ]
f. Spectacles/Googles A17f [ ]
g. Gloves A17g [ ]
h. Masker A17h [ ]
B. Faktor PemungkinB.1 Pelatihan[beri tanda ( √ ) pada kotak yang telah disediakan]
Pertanyaan/Pernyataan
Jawab(di isi olehresponden)
Di isi olehpeneliti
1. Ya 0. Tidak
B.1.1Apakah perusahaan pernah mengadakan pelatihantentang K3 khususnya APD ? (jika tidak teruskan keno b.1.6)
B11[ ]
B.1.2 Apakah anda diwajibkan mengikuti pelatihan yangdiadakan oleh perusahaan
B12[ ]
B.1.3 Berapa kali pelatihan diberikan?
a. satu tahun sekali B13[ ]
B.1.4 Kapan anda pertama kali mengikuti pelatihantentang K3 khususnya APD yang diadakan olehperusahaan?
a. saat diterima sebagai pekerja B14[ ]
B.1.5 Siapa yang memberikan pelatihan tersebut?
a. petugas/dept safety B15[ ]
B.1.6 Pernahkah anda mendapatkan penjelasan ataupenyuluhan tentang K3 khususnya APD dari tempatlain (dari luar PT.Antam tbk)
B16[ ]
B.1.7 Materi apa saja yang anda dapatkan
a. penguasaan peralatan kerja maupun APD B17a[ ]
b. cara kerja B17b[ ]
4
C. Faktor PenguatC.1 Pengawasan[beri tanda ( √ ) pada kotak yang telah disediakan]
Pertanyaan/Pernyataan
Jawab(di isi olehresponden)
Di isi olehpeneliti
1. Ya 0. Tidak
C.1.1Apakah selama anda bekerja ada pengawasansehubungan dengan penggunaan Alat Pelindung Diri(APD) (jika tidak lanjut ke C.2)
C11 [ ]
C.1.2kapan pengawasan dilakukan
a. tiap hari C12 [ ]
C.1.3Siapakah yang melakukan pengawasan
a. Petugas safety C13a [ ]b. Pengawas kontraktor C13b [ ]
C.2 Kebijakan[beri tanda ( √ ) pada kotak yang telah disediakan]
Pertanyaan/Pernyataan
Jawab(di isi olehresponden)
Di isi olehpeneliti
1. Ya 0. Tidak
C.2.1 Apakah ditempat kerja anda ada peraturan mengenaipenggunaan APD C21 [ ]
C.2.2
Bagaimana anda mengetahui bahwa ditempat kerjasaudara ada peraturan mengenai penggunaan APD
a. ditempelkan disetiap ruang kerja C22a [ ]
b. diberitahu atasan C22b [ ]
c. sering diumumkan oleh perusahaan C22c [ ]
d. diberitahu teman C22d [ ]
C.2.3Apakah ada sanksi atau hukuman apabila pekerjatidak menggunakan APD pada saat bekerja (jikatidak lanjut ke C.2.5)
C23 [ ]
C.2.4 Apakah ada kebijakan mengenai tempat untukmenyimpan APD C25 [ ]
C.2.5Apakah ada kebijakan yang menyebutkan bahwamasing – masing pekerja diberikan tanggung jawab,merawat APD yang digunakan
C25 [ ]
C.2.6 Apakah ada kebijakan yang menyebutkan bahwaperusahaan mewajibkan pekerja mengikuti pelatihan
C26 [ ]
5
menggunakan APD sebelum diterima sebagaipekerja
C.2.7 Apakah ada kebijakan yang menyebutkan bahwaperusahaan memberikan sanksi bila pekerja tidakmengikuti pelatihan dan atau penyuluhan yangdiadakan
C27 [ ]
D.1 Penggunaan APD[beri tanda ( √ ) pada kotak yang telah disediakan]
Pertanyaan/Pernyataan
Jawab(di isi olehresponden)
Di isi olehpeneliti
1. Ya 0. Tidak
D.1.1 Apakah anda menggunakan APD pada waktubekerja ? D11 [ ]
D.1.2 Mengapa anda selalu menggunakan APD waktubekerja
a. Takut celaka/cedera atau sakit D12a [ ]
b. Takut dikenakan sanksi dari perusahaan D12b [ ]
D.1.3 Setujukah anda bahwa selalu menggunakan APDpada saat bekerja itu perlu D13 [ ]
D.1.4 Bagaimana pendapat anda apabila ternyata di tempatkerja anda tidak disediakan APD?
a. Menolak untuk bekerja sampai disediakanAPD D14a [ ]
UJI UNIVARIAT
Frequency Table
APD
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid tidak menggunakan 37 33,6 33,6 33,6
menggunakan 73 66,4 66,4 100,0
Total 110 100,0 100,0
pendidikan terakhir responden
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid SD 24 21,8 21,8 21,8
SMP 30 27,3 27,3 49,1
SMA 36 32,7 32,7 81,8
D3 atau PT 20 18,2 18,2 100,0
Total 110 100,0 100,0
Pengetahuan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid Kurang Baik 37 33,6 33,6 33,6
Baik 73 66,4 66,4 100,0
Total 110 100,0 100,0
pelatihan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid tidak pernah 47 42,7 42,7 42,7
pernah 63 57,3 57,3 100,0
Total 110 100,0 100,0
pengawasan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid tidak ada 44 40,0 40,0 40,0
ada 66 60,0 60,0 100,0
Total 110 100,0 100,0
kebijakan
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid tidak ada 37 33,6 33,6 33,6
ada 73 66,4 66,4 100,0
Total 110 100,0 100,0
Uji Chi Square
CrosstabsCase Processing Summary
Cases
Valid Missing Total
N Percent N Percent N Percent
pelatihan * APD 110 100,0% 0 ,0% 110 100,0%
pengawasan * APD 110 100,0% 0 ,0% 110 100,0%
kebijakan * APD 110 100,0% 0 ,0% 110 100,0%
Pengetahuan * APD 110 100,0% 0 ,0% 110 100,0%
Pengetahuan * APDCrosstab
APD
Total
tidak
menggunakan menggunakan
Pengetahuan Kurang Baik Count 31 6 37
% within APD 83,8% 8,2% 33,6%
Baik Count 6 67 73
% within APD 16,2% 91,8% 66,4%
Total Count 37 73 110
% within APD 100,0% 100,0% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 62,810a 1 ,000
Continuity Correctionb 59,471 1 ,000
Likelihood Ratio 66,214 1 ,000
Fisher's Exact Test ,000 ,000
Linear-by-Linear Association 62,239 1 ,000
N of Valid Cases 110
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12,45.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for Pengetahuan
(Kurang Baik / Baik)
57,694 17,221 193,289
For cohort APD = tidak
menggunakan
10,194 4,675 22,227
For cohort APD =
menggunakan
,177 ,085 ,369
N of Valid Cases 110
pelatihan * APDCrosstab
APD
Total
tidak
menggunakan menggunakan
pelatihan tidak pernah Count 16 31 47
% within APD 43,2% 42,5% 42,7%
pernah Count 21 42 63
% within APD 56,8% 57,5% 57,3%
Total Count 37 73 110
% within APD 100,0% 100,0% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square ,006a 1 ,938
Continuity Correctionb ,000 1 1,000
Likelihood Ratio ,006 1 ,938
Fisher's Exact Test 1,000 ,549
Linear-by-Linear Association ,006 1 ,938
N of Valid Cases 110
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 15,81.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for pelatihan
(tidak pernah / pernah)
1,032 ,464 2,295
For cohort APD = tidak
menggunakan
1,021 ,601 1,734
For cohort APD =
menggunakan
,989 ,756 1,295
N of Valid Cases 110
pengawasan * APDCrosstab
APD
Total
tidak
menggunakan menggunakan
pengawasan tidak ada Count 32 12 44
% within APD 86,5% 16,4% 40,0%
ada Count 5 61 66
% within APD 13,5% 83,6% 60,0%
Total Count 37 73 110
% within APD 100,0% 100,0% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 50,201a 1 ,000
Continuity Correctionb 47,325 1 ,000
Likelihood Ratio 53,513 1 ,000
Fisher's Exact Test ,000 ,000
Linear-by-Linear Association 49,745 1 ,000
N of Valid Cases 110
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14,80.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for pengawasan
(tidak ada / ada)
32,533 10,535 100,468
For cohort APD = tidak
menggunakan
9,600 4,055 22,729
For cohort APD =
menggunakan
,295 ,181 ,480
N of Valid Cases 110
kebijakan * APDCrosstab
APD
Total
tidak
menggunakan menggunakan
kebijakan tidak ada Count 32 5 37
% within APD 86,5% 6,8% 33,6%
ada Count 5 68 73
% within APD 13,5% 93,2% 66,4%
Total Count 37 73 110
% within APD 100,0% 100,0% 100,0%
Chi-Square Tests
Value df
Asymp. Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 69,763a 1 ,000
Continuity Correctionb 66,241 1 ,000
Likelihood Ratio 74,725 1 ,000
Fisher's Exact Test ,000 ,000
Linear-by-Linear Association 69,129 1 ,000
N of Valid Cases 110
a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 12,45.
b. Computed only for a 2x2 table
Risk Estimate
Value
95% Confidence Interval
Lower Upper
Odds Ratio for kebijakan
(tidak ada / ada)
87,040 23,512 322,219
For cohort APD = tidak
menggunakan
12,627 5,367 29,706
For cohort APD =
menggunakan
,145 ,064 ,329
N of Valid Cases 110