askep_dispepsia
TRANSCRIPT
1ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN GANGGUAN SISTEM
PENCERNAAN: DISPEPSIA
PENGERTIAN
Dispepsia merupakan kumpulan keluhan/gejala klinis yang terdiri dari rasa
tidak enak/sakit di perut bagian atas yang menetap atau mengalami kekambuhan
keluhan refluks gastroesofagus klasik berupa rasa panas di dada (heartburn) dan
regurgitasi asam lambung kini tidak lagi termasuk dispepsia. Batasan dispepsia
terbagi atas dua yaitu:
a. Dispepsia organik, bila telah diketahui adanya kelainan
organik sebagai penyebabnya
b. Dispepsia non organik, atau dispepsia fungsional, atau
dispepsia non ulkus (DNU), bila tidak jelas penyebabnya.
ETIOLOGI
a. Perubahan pola makan
b. Pengaruh obat-obatan yang dimakan secara berlebihan dan
dalam waktu yang lama
c. Alkohol dan nikotin rokok
d. Stres
e. Tumor atau kanker saluran pencernaan
INSIDEN
Berdasarkan penelitian pada populasi umum didapatkan bahwa 15 – 30 %
orang dewasa pernah mengalami hal ini dalam beberapa hari. Di inggris dan
skandinavia dilaporkan angka prevalensinya berkisar 7 – 41 % tetapi hanya 10 – 20
% yang mencari pertolongan medis. Insiden dispepsia pertahun diperkirakan antara
1 – 8 % (Suryono S, et all, 2001 hal 154). Dan dispepsia cukup banyak dijumpai.
Menurut Sigi, di negara barat prevalensi yang dilaporkan antara 23 dan 41 %.
Sekitar 4 % penderita berkunjung ke dokter umumnya mempunyai keluhan
dispepsia. Didaerah asia pasifik, dispepsia juga merupakan keluhan yang banyak
dijumpai, prevalensinya sekitar 10 – 20 % (Kusmobroto H, 2003)
2MANIFESTASI KLINIK
a. nyeri perut (abdominal discomfort)
b. Rasa perih di ulu hati
c. Mual, kadang-kadang sampai muntah
d. Nafsu makan berkurang
e. Rasa lekas kenyang
f. Perut kembung
g. Rasa panas di dada dan perut
h. Regurgitasi (keluar cairan dari lambung secara tiba-tiba)
PATOFISIOLOGI
Perubahan pola makan yang tidak teratur, obat-obatan yang tidak jelas, zat-
zat seperti nikotin dan alkohol serta adanya kondisi kejiwaan stres, pemasukan
makanan menjadi kurang sehingga lambung akan kosong, kekosongan lambung
dapat mengakibatkan erosi pada lambung akibat gesekan antara dinding-dinding
lambung, kondisi demikian dapat mengakibatkan peningkatan produksi HCL yang
akan merangsang terjadinya kondisi asam pada lambung, sehingga rangsangan di
medulla oblongata membawa impuls muntah sehingga intake tidak adekuat baik
makanan maupun cairan.
PENCEGAHAN
Pola makan yang normal dan teratur, pilih makanan yang seimbang dengan
kebutuhan dan jadwal makan yang teratur, sebaiknya tidak mengkomsumsi
makanan yang berkadar asam tinggi, cabai, alkohol, dan pantang rokok, bila harus
makan obat karena sesuatu penyakit, misalnya sakit kepala, gunakan obat secara
wajar dan tidak mengganggu fungsi lambung.
PENATALAKSANAAN MEDIK
a. Penatalaksanaan non farmakologis
1) Menghindari makanan yang dapat meningkatkan
asam lambung
2) Menghindari faktor resiko seperti alkohol, makanan
yang peda, obat-obatan yang berlebihan, nikotin rokok, dan stres
3) Atur pola makan
b. Penatalaksanaan farmakologis yaitu:
3Sampai saat ini belum ada regimen pengobatan yang memuaskan terutama
dalam mengantisipasi kekambuhan. Hal ini dapat dimengerti karena pross
patofisiologinya pun masih belum jelas. Dilaporkan bahwa sampai 70 % kasus
DF reponsif terhadap placebo.
Obat-obatan yang diberikan meliputi antacid (menetralkan asam lambung)
golongan antikolinergik (menghambat pengeluaran asam lambung) dan
prokinetik (mencegah terjadinya muntah)
TEST DIAGNOSTIK
Berbagai macam penyakit dapat menimbulkan keluhan yang sama, seperti
halnya pada sindrom dispepsia, oleh karena dispepsia hanya merupakan kumpulan
gejala dan penyakit disaluran pencernaan, maka perlu dipastikan penyakitnya.
Untuk memastikan penyakitnya, maka perlu dilakukan beberapa pemeriksaan,
selain pengamatan jasmani, juga perlu diperiksa : laboratorium, radiologis,
endoskopi, USG, dan lain-lain.
a. Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan lebih banyak ditekankan untuk
menyingkirkan penyebab organik lainnya seperti: pankreatitis kronik, diabets
mellitus, dan lainnya. Pada dispepsia fungsional biasanya hasil laboratorium
dalam batas normal.
b. Radiologis
Pemeriksaan radiologis banyak menunjang dignosis suatu penyakit di saluran
makan. Setidak-tidaknya perlu dilakukan pemeriksaan radiologis terhadap
saluran makan bagian atas, dan sebaiknya menggunakan kontras ganda.
c. Endoskopi (Esofago-Gastro-Duodenoskopi)
Sesuai dengan definisi bahwa pada dispepsia fungsional, gambaran
endoskopinya normal atau sangat tidak spesifik.
d. USG (ultrasonografi)
Merupakan diagnostik yang tidak invasif, akhir-akhir ini makin banyak
dimanfaatkan untuk membantu menentukan diagnostik dari suatu penyakit,
apalagi alat ini tidak menimbulkan efek samping, dapat digunakan setiap saat
dan pada kondisi klien yang beratpun dapat dimanfaatkan
e. Waktu Pengosongan Lambung
Dapat dilakukan dengan scintigafi atau dengan pellet radioopak. Pada dispepsia
fungsional terdapat pengosongan lambung pada 30 – 40 % kasus.
4PENGKAJIAN
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses dimana kegiatan yang
dilakukan yaitu : Mengumpulkan data, mengelompokkan data dan menganalisa
data. Data fokus yang berhubungan dengan dispepsia meliputi adanya nyeri perut,
rasa pedih di ulu hati, mual kadang-kadang muntah, nafsu makan berkurang, rasa
lekas kenyang, perut kembung, rasa panas di dada dan perut, regurgitasi (keluar
cairan dari lambung secar tiba-tiba). Dispepsia merupakan kumpulan
keluhan/gejala klinis (sindrom) yang terdiri dari rasa tidak enak/sakit diperut bagian
atas yang dapat pula disertai dengan keluhan lain, perasaan panas di dada daerah
jantung (heartburn), regurgitasi, kembung, perut terasa penuh, cepat kenyang,
sendawa, anoreksia, mual, muntah, dan beberapa keluhan lainnya.
5DAMPAK DISPEPSIA TERHADAP KEBUTUHAN DASAR MANUSIA
Perubahan pola makan, pengaruh obat-obatan alkohol, nikotin, rokok, tumor/kanker
saluran pencernaan, stres
Erosi dan ulcerasi mukosa lambung
Pelepasan mediator kimia
(bradikinin, histamin,
prostaglandin)
Nosiceptor
Saraf afferen
Thalamus
Corteks cerebri
Nyeri
Timbulnya tanda dan gejala klinik gangguan sistem
cerna
Perubahan status kesehatan
Kurang informasi
Kurang pengetahuan
tentang penyakitnya
Stressor
Cemas
Peningkatan produksi HCL
Impuls ke fleksus meissner ke nervus
vagus
Merangsang medulla oblongata
Impuls kefleksus miesenterikus pada
dinding lambung
Anoreksia, mual
Intake kurang
Nutrisi Kurang Perubahan kesimbangan
cairan dan elektrolit
6DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa keperawatan yang lazim timbul pada klien dengan dispepsia.
c. Nyeri epigastrium berhubungan dengan iritasi pada
mukosa lambung.
d. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan rasa
tidak enak setelah makan, anoreksia.
e. Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit
berhubungan dengan adanya mual, muntah
f. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status
kesehatannya
RENCANA KEPERAWATAN
Rencana keperawatan adalah tindakan keperawatan yang akan dilaksanakan
untuk menngulangi masalah keperawatan yang telah ditentukan dengan tujuan.
a. Nyeri epigastrium berhubungan dengan iritasi pada
mukosa lambung.
Tujuan : Terjadinya penurunan atau hilangnya rasa nyeri, dengan kriteria
klien melaporkan terjadinya penurunan atau hilangnya ras nyeri
INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji tingkat nyeri, beratnya
(skala 0 – 10)
2. Berikan istirahat dengan posisi
semifowler
3. Anjurkan klien untuk
menghindari makanan yang
dapat meningkatkan kerja asam
lambung
4. Anjurkan klien untuk tetap
mengatur waktu makannya
5. Observasi TTV tiap 24 jam
1. Berguna dalam pengawasan
kefektifan obat, kemajuan
penyembuhan
2. Dengan posisi semi-fowler
dapat menghilangkan
tegangan abdomen yang
bertambah dengan posisi
telentang
3. dapat menghilangkan nyeri
akut/hebat dan menurunkan
aktivitas peristaltik
4. mencegah terjadinya perih
pada ulu hati/epigastrium
5. sebagai indikator untuk
melanjutkan intervensi
7
6. Diskusikan dan ajarkan teknik
relaksasi
7. Kolaborasi dengan pemberian
obat analgesik
berikutnya
6. Mengurangi rasa nyeri atau
dapat terkontrol
7. Menghilangkan rasa nyeri
dan mempermudah
kerjasama dengan intervensi
terapi lain
b. Nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan rasa
tidak enak setelah makan, anoreksia.
Tujuan : Menunjukkan peningkatan berat badan mencapai rentang yang
diharapkan individu, dengan kriteria menyatakan pemahaman
kebutuhan nutrisi
INTERVENSI RASIONAL
1. Pantau dan dokumentasikan
dan haluaran tiap jam secara
adekuat
2. Timbang BB klien
3. Berikan makanan sedikit tapi
sering
4. Catat status nutrisi paasien:
turgor kulit, timbang berat
badan, integritas mukosa
mulut, kemampuan menelan,
adanya bising usus, riwayat
mual/rnuntah atau diare.
5. Kaji pola diet klien yang
disukai/tidak disukai.
6. Monitor intake dan output
secara periodik.
1. Untuk mengidentifikasi
indikasi/perkembangan dari
hasil yang diharapkan
2. Membantu menentukan
keseimbangan cairan yang
tepat
3. meminimalkan anoreksia,
dan mengurangi iritasi gaster
4. Berguna dalam
mendefinisikan derajat
masalah dan intervensi yang
tepat Berguna dalam
pengawasan kefektifan obat,
kemajuan penyembuhan
5. Membantu intervensi
kebutuhan yang spesifik,
meningkatkan intake diet
klien.
6. Mengukur keefektifan nutrisi
dan cairan
87. Catat adanya anoreksia, mual,
muntah, dan tetapkan jika ada
hubungannya dengan medikasi.
Awasi frekuensi, volume,
konsistensi Buang Air Besar
(BAB).
7. Dapat menentukan jenis diet
dan mengidentifikasi
pemecahan masalah untuk
meningkatkan intake nutrisi.
c. Perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit
berhubungan dengan adanya mual, muntah
Tujuan : Menyatakan pemahaman faktor penyebab dan prilaku yang perlu
untuk memperbaiki defisit cairan, dengan kriteria
mempertahankan/menunjukkan perubaan keseimbangan cairan,
dibuktikan stabil, membran mukosa lembab, turgor kulit baik.
INTERVENSI RASIONAL
1. Awasi tekanan darah dan nadi,
pengisian kapiler, status
membran mukosa, turgor kulit
2. Awasi jumlah dan tipe
masukan cairan, ukur haluaran
urine dengan akurat
3. Diskusikan strategi untuk
menghentikan muntah dan
penggunaan laksatif/diuretik
4. Identifikasi rencana untuk
meningkatkan/mempertahanka
n keseimbangan cairan optimal
misalnya : jadwal masukan
1. Indikator keadekuatan
volume sirkulasi perifer dan
hidrasi seluler
2. Klien tidak mengkomsumsi
cairan sama sekali
mengakibatkan dehidrasi
atau mengganti cairan untuk
masukan kalori yang
berdampak pada
keseimbangan elektrolit
3. Membantu klien menerima
perasaan bahwa akibat
muntah dan atau penggunaan
laksatif/diuretik mencegah
kehilangan cairan lanjut
4. Melibatkan klien dalam
rencana untuk memperbaiki
keseimbangan untuk berhasil
5. Tindakan daruat untuk
9cairan
5. Berikan/awasi hiperalimentasi
IV
memperbaiki ketidak
seimbangan cairan elektroli
d. Kecemasan berhubungan dengan perubahan status
kesehatannya
Tujuan : Mendemonstrasikan koping yang positif dan mengungkapkan
penurunan kecemasan, dengan kriteria menyatakan pemahaman
tentang penyakitnya.
INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji tingkat kecemasan
2. Berikan dorongan dan berikan
waktu untuk mengungkapkan
pikiran dan dengarkan semua
keluhannya
3. Jelaskan semua prosedur dan
pengobatan
4. Berikan dorongan spiritual
1. Mengetahui sejauh mana
tingkat kecemasan yang
dirasakan oleh klien sehingga
memudahkan dlam tindakan
selanjutnya
2. Klien merasa ada yang
memperhatikan sehingga
klien merasa aman dalam
segala hal tundakan yang
diberikan
3. Klien memahami dan
mengerti tentang prosedur
sehingga mau bekejasama
dalam perawatannya.
4. Bahwa segala tindakan yang
diberikan untuk proses
penyembuhan penyakitnya,
masih ada yang berkuasa
menyembuhkannya yaitu
Tuhan Yang Maha Esa.
EVALUASI
Tahap evaluasi dalam proses keperawatan mencakup pencapaian terhadap
tujuan apakah masalah teratasi atau tidak, dan apabila tidak berhasil perlu dikaji,
10direncanakan dan dilaksanakan dalam jangka waktu panjang dan pendek tergantung
respon dalam keefektifan intervensi
11ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN GANGGUAN SISTEM ENDOKRIN:
DIABETES MELLITUS
PENGERTIAN
Diabetes melitus adalah keadaan hiperglikemia kronik disertai berbagai keluhan
metabolic akibat gangguan hormonal yang menimbulkan berbagai komplikasi kronik pada
berbagai organ dan system tubuh seperti mata, ginjal, saraf, dan pembuluh darah, dan lain-
lain.
ETIOLOGI
Penyebab diabetes mellitus sampai sekarang belum diketahui dengan pasti tetapi
umumnya diketahui karena kekurangan insulin adalah penyebab utama dan faktor
herediter memegang peranan penting.
a. Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM)
Sering terjadi pada usia sebelum 30 tahun. Biasanya juga disebut Juvenille
Diabetes, yang gangguan ini ditandai dengan adanya hiperglikemia (meningkatnya
kadar gula darah).
Faktor genetik dan lingkungan merupakan faktor pencetus IDDM. Oleh
karena itu insiden lebih tinggi atau adanya infeksi virus (dari lingkungan)
misalnya coxsackievirus B dan streptococcus sehingga pengaruh lingkungan
dipercaya mempunyai peranan dalam terjadinya DM.
Virus atau mikroorganisme akan menyerang pulau – pulau langerhans
pankreas, yang membuat kehilangan produksi insulin. Dapat pula akibat respon
autoimmune, dimana antibody sendiri akan menyerang sel bata pankreas. Faktor
herediter, juga dipercaya memainkan peran munculnya penyakit ini
b. Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)
Virus dan kuman leukosit antigen tidak nampak memainkan peran
terjadinya NIDDM. Faktor herediter memainkan peran yang sangat besar. Riset
melaporkan bahwa obesitas salah satu faktor determinan terjadinya NIDDM
sekitar 80% klien NIDDM adalah kegemukan. Overweight membutuhkan banyak
insulin untuk metabolisme. Terjadinya hiperglikemia disaat pankreas tidak cukup
menghasilkan insulin sesuai kebutuhan tubuh atau saat jumlah reseptor insulin
menurun atau mengalami gangguan. Faktor resiko dapat dijumpai pada klien
dengan riwayat keluarga menderita DM adalah resiko yang besar. Pencegahan
utama NIDDM adalah mempertahankan berat badan ideal. Pencegahan sekunder
berupa program penurunan berat badan, olah raga dan diet. Oleh karena DM
12tidak selalu dapat dicegah maka sebaiknya sudah dideteksi pada tahap awal tanda-
tanda/gejala yang ditemukan adalah kegemukan, perasaan haus yang berlebihan,
lapar, diuresis dan kehilangan berat badan, bayi lahir lebih dari berat badan normal,
memiliki riwayat keluarga DM, usia diatas 40 tahun, bila ditemukan peningkatan
gula darah.
INSIDEN
Tingkat prevalensi dari DM adalah tinggi, diduga terdapat sekitar 10 juta kasus
diabetes di USA dan setiap tahunnya didiagnosis 600.000 kasus baru serta 75 % penderita
DM akhirnya meninggal karena penyakit vaskuler. Penyakit ini cenderung tinggi pada
negara maju dari pada negara sedang berkembang, karena perbedaan kebiasaan hidup.
Dampak ekonomi jelas terlihat akibat adanya biaya pengobatan dan hilangnya
pendapatan. Disamping konsekuensi finansial karena banyaknya komplikasi seperti
kebutaan dan penyakit vaskuler. Perbandingan antara wanita dan pria yaitu 3 : 2, hal
ini kemungkinan karena faktor obesitas dan kehamilan.
PATOFISIOLOGI
a. DM Tipe I
Pada Diabetes tipe I terdapat ketidak mampuan pankreas menghasilkan
insulin karena hancurnya sel-sel beta pulau langerhans. Dalam hal ini menimbulkan
hiperglikemia puasa dan hiperglikemia post prandial.
Dengan tingginya konsentrasi glukosa dalam darah, maka akan muncul
glukosuria (glukosa dalam darah) dan ekskresi ini akan disertai pengeluaran cairan
dan elektrolit yang berlebihan (diuresis osmotic) sehingga pasien akan mengalami
peningkatan dalam berkemih (poliurra) dan rasa haus (polidipsia).
Defesiensi insulin juga mengganggu metabolisme protein dan lemak
sehingga terjadi penurunan berat badan akan muncul gejala peningkatan selera
makan (polifagia). Akibat yang lain yaitu terjadinya proses glikogenolisis
(pemecahan glukosa yang disimpan) dan glukogeonesis tanpa hambatan sehingga
efeknya berupa pemecahan lemak dan terjadi peningkatan keton yangdapat
mengganggu keseimbangan asam basa dan mangarah terjadinya ketoasidosis
b. DM Tipe II
Terdapat dua masalah utama pada DM Tipe II yaitu resistensi insulin dan
gangguan sekresi insulin. Normalnya insulin akan berkaitan pada reseptor kurang
dan meskipun kadar insulin tinggi dalam darah tetap saja glukosa tidak dapat
masuk kedalam sel sehingga sel akan kekurangan glukosa.
Mekanisme inilah yang dikatakan sebagai resistensi insulin. Untuk
13mengatasi resistensi insulin dan mencegah terbentuknya glukosa dalam darah yang
berlebihan maka harus terdapat peningkatan jumlah insulin yang disekresikan.
Namun demikian jika sel-sel beta tidak mampu engimbanginya maka kadar glukosa
akan meningkat dan terjadilah DM tipe II
MANIFESTASI KLINIK
a. Poliuria
Kekurangan insulin untuk mengangkut glukosa melalui membrane dalam
sel menyebabkan hiperglikemia sehingga serum plasma meningkat atau
hiperosmolariti menyebabkan cairan intrasel berdifusi kedalam sirkulasi atau cairan
intravaskuler, aliran darah ke ginjal meningkat sebagai akibat dari hiperosmolariti
dan akibatnya akan terjadi diuresis osmotic (poliuria).
b. Polidipsia
Akibat meningkatnya difusi cairan dari intrasel kedalam vaskuler
menyebabkan penurunan volume intrasel sehingga efeknya adalah dehidrasi sel.
Akibat dari dehidrasi sel mulut menjadi kering dan sensor haus teraktivasi
menyebabkan seseorang haus terus dan ingin selalu minum (polidipsia).
c. Poliphagia
Karena glukosa tidak dapat masuk ke sel akibat dari menurunnya kadar
insulin maka produksi energi menurun, penurunan energi akan menstimulasi rasa
lapar. Maka reaksi yang terjadi adalah seseorang akan lebih banyak makan
(poliphagia).
d. Penurunan berat badan
Karena glukosa tidak dapat di transport kedalam sel maka sel kekurangan
cairan dan tidak mampu mengadakan metabolisme, akibat dari itu maka sel akan
menciut, sehingga seluruh jaringan terutama otot mengalami atrofidan penurunan
secara otomatis.
e. Malaise atau kelemahan
KOMPLIKASI
Diabetes Mellitus bila tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan komplikasi
pada berbagai organ tubuh seperti mata, ginjal, jantung, pembuluh darah kaki, saraf, dan
lain-lain
TES DIAGNOSTIK
a. Adanya glukosa dalam urine. Dapat diperiksa dengan cara benedict (reduksi) yang
tidak khasuntuk glukosa, karena dapat positif pada diabetes.
14b. Diagnostik lebih pasti adalah dengan memeriksa kadar glukosa dalam darah dengan
cara Hegedroton Jensen (reduksi).
1) Gula darah puasa tinggi < 140 mg/dl.
2) Test toleransi glukosa (TTG) 2 jam pertama < 200 mg/dl.
3) Osmolitas serum 300 m osm/kg.
4) Urine = glukosa positif, keton positif, aseton positif atau negative
PENATALAKSANAAN MEDIK
Diabetes Mellitus jika tidak dikelola dengan baik akamn menimbulkan berbagai
penyakit dan diperlukan kerjasama semua pihak ditingkat pelayanan kesehatan. Untuk
mencapai tujuan tersebut dilakukan berbagai usaha dan akan diuraikan sebagai berikut :
a. Perencanaan Makanan.
Standar yang dianjurkan adalah makanan dengan komposisi yang seimbang
dalam hal karbohidrat, protein dan lemak yang sesuai dengan kecukupan gizi baik
yaitu :
1) Karbohidrat sebanyak 60 – 70 %
2) Protein sebanyak 10 – 15 %
3) Lemak sebanyak 20 – 25 %
Jumlah kalori disesuaikan dengan pertumbuhan, status gizi, umur, stress
akut dan kegiatan jasmani. Untuk kepentingan klinik praktis, penentuan jumlah
kalori dipakai rumus Broca yaitu Barat Badan Ideal = (TB-100)-10%, sehingga
didapatkan =
1) Berat badan kurang = < 90% dari BB Ideal
2) Berat badan normal = 90-110% dari BB Ideal
3) Berat badan lebih = 110-120% dari BB Ideal
4) Gemuk = > 120% dari BB Ideal.
Jumlah kalori yang diperlukan dihitung dari BB Ideal dikali kelebihan
kalori basal yaitu untuk laki-laki 30 kkal/kg BB, dan wanita 25 kkal/kg BB,
kemudian ditambah untuk kebutuhan kalori aktivitas (10-30% untuk pekerja berat).
Koreksi status gizi (gemuk dikurangi, kurus ditambah) dan kalori untuk menghadapi
stress akut sesuai dengan kebutuhan.
Makanan sejumlah kalori terhitung dengan komposisi tersebut diatas dibagi
dalam beberapa porsi yaitu :
1) Makanan pagi sebanyak 20%
2) Makanan siang sebanyak 30%
3) Makanan sore sebanyak 25%
154) 2-3 porsi makanan ringan sebanyak 10-15 %
b. Latihan Jasmani
Dianjurkan latihan jasmani secara teratur (3-4 kali seminggu) selama kurang
lebih 30 menit yang disesuaikan dengan kemampuan dan kondisi penyakit penyerta.
Sebagai contoh olah raga ringan adalah berjalan kaki biasa selama 30 menit,
olehraga sedang berjalan cepat selama 20 menit dan olah raga berat jogging.
c. Obat Hipoglikemik
1) Sulfonilurea
Obat golongan sulfonylurea bekerja dengan cara :
1) Menstimulasi penglepasan insulin yang tersimpan.
2) Menurunkan ambang sekresi insulin.
3) Meningkatkan sekresi insulin sebagai akibat rangsangan glukosa.
Obat golongan ini biasanya diberikan pada pasien dengan BB normal
dan masih bisa dipakai pada pasien yang beratnya sedikit lebih.
Klorpropamid kurang dianjurkan pada keadaan insufisiensi renal dan
orangtua karena resiko hipoglikema yang berkepanjangan, demikian juga
gibenklamid. Glukuidon juga dipakai untuk pasien dengan gangguan fungsi hati
atau ginjal.
2) Biguanid
Preparat yang ada dan aman dipakai yaitu metformin. Sebagai obat tunggal
dianjurkan pada pasien gemuk (imt 30) untuk pasien yang berat lebih (imt 27-
30) dapat juga dikombinasikan dengan golongan sulfonylurea
3) Insulin
Indikasi pengobatan dengan insulin adalah :
a) Semua penderita DM dari setiap umur (baik IDDM maupun NIDDM) dalam
keadaan ketoasidosis atau pernah masuk kedalam ketoasidosis.
b) DM dengan kehamilan/ DM gestasional yang tidak terkendali dengan diet
(perencanaan makanan).
c) DM yang tidak berhasil dikelola dengan obat hipoglikemik oral dosif
maksimal. Dosis insulin oral atau suntikan dimulai dengan dosis rendah
dan dinaikkan perlahan – lahan sesuai dengan hasil glukosa darah pasien.
Bila sulfonylurea atau metformin telah diterima sampai dosis maksimal
tetapi tidak tercapai sasaran glukosa darah maka dianjurkan penggunaan
kombinasi sulfonylurea dan insulin.
d) Penyuluhan untuk merancanakan pengelolaan sangat penting untuk
mendapatkan hasil yang maksimal. Edukator bagi pasien diabetes yaitu
16pendidikan dan pelatihan mengenai pengetahuan dan keterampilan yang
bertujuan menunjang perubahan perilaku untuk meningkatkan pemahaman
pasien akan penyakitnya, yang diperlukan untuk mencapai keadaan sehat
yang optimal. Penyesuaian keadaan psikologik kualifas hidup yang lebih
baik. Edukasi merupakan bagian integral dari asuhan keperawatan diabetes
PENGKAJIAN
a. Aktivitas / istrahat.
Tanda :
1) Lemah, letih, susah, bergerak / susah berjalan, kram otot, tonus otot menurun.
2) Tachicardi, tachipnea pada keadaan istrahat/daya aktivitas.
3) Letargi / disorientasi, koma.
b. Sirkulasi
Tanda :
1) Adanya riwayat hipertensi : infark miokard akut, kesemutan pada ekstremitas
dan tachicardia.
2) Perubahan tekanan darah postural : hipertensi, nadi yang menurun / tidak ada.
3) Disritmia, krekel : DVJ
c. Neurosensori
Gejala :
Pusing / pening, gangguan penglihatan, disorientasi : mengantuk, lifargi,
stuport / koma (tahap lanjut). Sakit kepala, kesemutan, kelemahan pada otot,
parestesia, gangguan penglihatan, gangguan memori (baru, masa lalu) : kacau
mental, refleks fendo dalam (RTD) menurun (koma), aktifitas kejang.
d. Nyeri / Kenyamanan
Gejala :
Abdomen yang tegang / nyeri (sedang berat), wajah meringis dengan
palpitasi : tampak sangat berhati – hati.
e. Keamanan
Gejala :
1) Kulit kering, gatal : ulkus kulit, demam diaporesis.
2) Menurunnya kekuatan immune / rentang gerak, parastesia / paralysis otot
termasuk otot – otot pernapasan (jika kadar kalium menurun dengan cukup
tajam).
3) Urine encer, pucat, kuning, poliuria (dapat berkembang menjadi oliguria /
anuria jika terjadi hipololemia barat).
4) Abdomen keras, bising usus lemah dan menurun : hiperaktif (diare).
f. Pemeriksaan Diagnostik Gejala :
171) Glukosa darah : meningkat 100 – 200 mg/dl atau lebih.
2) Aseton plasma : positif secara menyolok.
3) Asam lemak bebas : kadar lipid dan kolesterol meningkat.
4) Osmolaritas serum : meningkat tetapi biasanya kurang dari 330 m osm/l.
2. Bagan Patofisiologi dan Penyimpangan Terhadap KDM
Defisiensi Insulin peningkatan Katabolisme/Glukoneogenesis
efek terhadap mikrovaskuler Transpor glukosa ke dalam sel Katabolisme protein penurunan penyerapan asam amino
Retina tidak mendapat oksigen metabolisme glukosa dimitokondria penurunan ATP asam amino darah meningkat
Hipoksia peningkatan glukosa darah penurunan energi glukoneogenesis meningkat
Resiko Kebutaan Hiperglikemia Hambatan mobilitas fisik pemakaian lemak dan protein meningkat
Perubahan glukosa ke asam lemak Ketosis
Resiko Gangguan persepsi sensori efek mikrovaskuler aterosklerosis dinding intima napas berbau keton mual, muntah
nefropati mikroangiopati out put berlebihan
penurunan permeabilitas neuron neuropati
Diuresis meningkat penurunan sensitifitas perifer nutrisi kurang dari kebutuhan
Defisit volume cairan mudah trauma Ketidakmampuan beraktifitasKerusakan integritas kulit
Terputusnya kontinuitas jaringan perubahan status kesehatan Penurunan rawat diri
pelepasan mediator kimia kurang informasi kurang pengetahuan
stimulasi reseptor nyeri nyeri invasi kuman/bakteri patogen resiko infeksi
26DIAGNOSA KEPERAWATAN
a. Defisit volume cairan berhubungan dengan hiperglikemia, diare, muntah, poliuria,
evaporasi.
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
defisiensi insulin/penurunan intake oral : anoreksia, abnominal pain, gangguan
kesadaran/hipermetabolik akibat pelepasan hormone stress, epinefrin, cortisol, GH
atau karena proses luka.
c. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka.
d. Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan fungsi leucosit/ gangguan sirkulasi.
e. Resiko gangguan persepsi sensoris : penglihatan berhubungan dengan perubahan fungsi
fisiologis akibat ketidakseimbangan glukosa/insulin atau karena ketidakseimbangan
elektrolit.
f. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan energi, perubahan kimia
darah, insufisiensi insulin, peningkatan kebutuhan energi, infeksi, hipermetabolik.
g. Nyeri berhubungan dengan adanya ulcus (luka diabetes mellitus).
h. Penurunan rawat diri berhubungan dengan kelemahan.
i. Kurang pengetahuan mengenai penyakitnya, prognosis penyakit dan kebutuhan
pengobatan berhubungan dengan kesalahan interprestasi
27PERENCANAAN / INTERVENSI
a. NDX : Defisit volume cairan berhubungan dengan hiperglikemia, diare, muntah,
poliuria, evaporasi
Tujuan :
Klien akan mendemonstrasikan hidrasi adekuat, dengan kriteria :
1) Nadi perifer dapat teraba, turgor kulit baik.
2) Vital sign dalam batas normal, haluaran urine lancer.
3) Kadar elektrolit dalam batas normal
4) Intervensi :
Intervensi Rasional
1. Kaji pengeluaran urine
2. Pantau tanda-tanda vital
1. Membantu dalam memperkirakan
kekurangan volume total, tanda
dan gejala mungkin sudah ada
pada beberapa waktu sebelumnya,
adanya proses infeksi
mengakibatkan demam dan
keadaan hipermetabolik yang
menigkatkan kehilangan cairan
2. Perubahan tanda-tanda vital
dapat diakibatkan oleh rasa
nyeri dan merupakan indikator
perkembangan penyakit
28
3. Monitor pola napas
4. Observasi frekuensi dan
kualitas pernapasan
5. Timbang berat badan
3. Paru-paru mengeluarkan asam
karbonat melalui pernapasan
menghasilkan alkalosis
respiratorik, ketoasidosis
pernapasan yang berbau
aseton berhubungan dengan
pemecahan asam aseton dan
asetat
4. Koreksi hiperglikemia dan
asidosis akan mempengaruhi
pola dan frekuensi
pernapasan. Pernapasan
dangkal, cepat, dan sianosis
merupakan indikasi dari
kelelahan pernapasan,
hilangnya kemampuan untuk
melakukan kompensasi pada
asidosis.
5. Memberikan perkiraan
kebutuhan akan cairan
pengganti fungsi ginjal dan
keefektifan dari terapi yang
diberikan.
6. Pemberian cairan sesuai
dengan indikasi
6. Tipe dan jenis cairan tergantung
pada derajat kekurangan cairan
dan respon
b. NDX: Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan defisiensi insulin/penurunan intake oral:
anoreksia, abnominal pain, gangguan kesadaran/hipermetabolik akibat
pelepasan hormone stress, epinefrin, cortisol, GH atau karena proses luka.
Tujuan :
Klien akan mengkonsumsi secara tepat jumlah kebutuhan kalori
atau nutrisi yang di programkan dengan kriteria :
1) Peningkatan barat badan.
2) Pemeriksaan albumin dan globulin dalam batas normal.
3) Turgor kulit baik, mengkonsumsi makanan sesuai
program.
Intervensi :
INTERVENSI RASIONAL
1.
2.
3.
Timbang berat badan.
Auskultasi bowel sound.
Berikan makanan lunak / cair.
1. Penurunan berat badan
menunjukkan tidak ada
kuatnya nutrisi klien.
2. Hiperglikemia dan
ketidakseimbangan cairan dan
elektrolit menyebabkan
penurunan motilifas usus.
Apabila penurunan motilitas
usus berlangsung lama sebagai
akibat neuropati syaraf
otonom yang berhubungan
dengan sistem pencernaan.
3. Pemberian makanan oral dan
lunak berfungsi untuk
meresforasi fungsi usus dan
diberikan pada klien dgn
tingkat kesadaran baik.
4. Observasi tanda hipoglikemia
misalnya : penurunan tingkat
kesadaran, permukaan teraba
4. Metabolisme KH akan
menurunkan kadarglukosa dan
bila saat itu diberikan
30
INTERVENSI RASIONAL
1. Observasi tanda – tanda
infeksi
2. Ajarkan klien untuk mencuci
tangan dengan baik, untuk
mempertahankan
kebersihan tangan pada
saat melakukan prosedur
1. Kemerahan, edema, luka
drainase, cairan dari luka
menunjukkan adanya infeksi.
2. Mencegah cross
contamination.
dingin, denyut nadi cepat, lapar,
kecemasan dan nyeri kepala.
5. Berikan Insulin.
insulin akan menyebabkan
hipoglikemia.
5. Akan mempercepat
pengangkutan glukosa kedalam
sel.
c. NDX : Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan adanya luka.
Tujuan : Klien akan mempertahankan integritas kulit tetap utuh dan
terhindar dari inteksi dengan kriteria :
1) Tidak ada tanda – tanda infeksi.
2) Tidak ada luka.
3) Tidak ditemukan adanya perubahan warna kulit.
Intervensi :
31
3. Pertahankan kebersihan
kulit.
4. Dorong klien mengkonsumsi
diet secara adekuat dan
intake cairan 3000 ml/hari.
5. Antibiotik bila ada indikasi
3. Gangguan sirkulasi perifer dapat
terjadi bila menempatkan pasien
pada kondisi resiko iritasi kulit.
4. Peningkatan pengeluaran urine
akan mencegah statis dan
mempertahankan PH urine yang
dapat mencegah terjadinya
perkembangan bakteri.
5. Mencegah terjadinya
perkembangan bakteri.
d. NDX : Resiko infeksi berhubungan dengan penurunan fungsi leucosit/ gangguan
sirkulasi
Tujuan :
Klien akan menunjukkan tidak adanya tanda “inteksi, dengan kriteria :
a. Luka sembuh
b. Tidak ada edema sekitar luka.
c. Tidak terdapat pus, luka cepat mongering.
32Intervensi :
INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji keadaan kulit
yangrusak
2. Bersihkan luka dengan
teknik septic dan antiseptic
3. Kompres luka dengan
larutan Nacl
4. Anjurkan pada klien
agarmenjaga predisposisi
terjadinya lesi.
5. Pemberian obat antibiotic.
1. Mengetahui keadaan
peradangan untuk membantu dalam
menanggulangi atau dapat
dilakukan pencegahan.
2. Mencegah terjadinya inteksi
sekunder pada anggota tubuh yang
lain.
3. Selain untuk membersihkan luka
dan juga untuk mempercepat
pertumbuhan jaringan
4. Kelembaban dan kulit
kotorsebagai predisposisi terjadinya
lesi.
5. Antibiotik untuk membunuh
kuman.
e. NDX : Resiko gangguan persepsi sensoris : penglihatan berhubungan dengan
perubahan fungsi fisiologis akibat ketidakseimbangan glukosa/insulin atau karena
ketidakseimbangan elektrolit.
Tujuan :
Klien akan mempertahankan fungsi penglihatan
33
Intervensi :
INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji derajat dan tipe
kerusakan
2. Latih klien untuk membaca.
3. Orientasi klien dengan
lingkungan.
4. Gunakan alat bantu
penglihatan.
5. Panggil klien dengan nama,
orientasikan kembali sesuai
dengan kebutuhannya
tempat, orang dan waktu.
6. Pelihara aktifitas rutin.
7. Lindungi klien dari cedera.
1. Mengidentifikasi derajat
kerusakan penglihatan
2. Mempertahankan aktivitas visual
klien.
3. Mengurangi cedera akibat
disorientasi
4. Melatih aktifitas visual secara
bertahap.
5. Menurunkan kebingungan dan
membantu untuk
mempertahankan kontak
dengan realita.
6. Membantu memelihara panen
tetap berhubungan dengan realitas
dan mempertahankan orientalasi
pada
lingkungannya.
7. Pasien mengalami disorientasi
merupakan awal kemungkinan
timbulnya cedera, terutama
macam hari dan perlu
INTERVENSI RASIONAL
1. Diskusikan dengan klien
kebutuhan akan aktivitas
2. Berikan aktivitas alternative
3. Pantau tanda tanda vital
1. Pendidikan dapat memberikan
motivasi untuk meningkatkan
tingkat aktivitas meskipun
pasien mungkin sangat lemah
2. Mencegah kelelahan yang
berlebihan
3. Mengindikasikan tingkat
aktivitas yang dapat ditoleransi
secara visiologis
34
f. NDX : Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan penurunan energi,
perubahan kimia darah, insufisiensi insulin, peningkatan kebutuhan energi, infeksi,
hipermetabolik
Tujuan :
Klien akan menunjukkan perbaikan kemampuan aktivitas dengan kriteria :
a. mengungkapkan peningkatan energi
b. mampu melakukan aktivitas rutin biasanya
c. menunjukkan aktivitas yang adekuat
d. melaporkan aktivitas yang dapat dilakukan
Intervensi :
35
4. Diskusikan cara
menghemat kalori selama
mandi, berpindah tempat
dan sebagainya
5. Tingkatkan partisipasi
pasien dalam melakukan
aktivitas sehari-hari yang
dapat ditoleransi
4. Pasien akan dapat melakukan lebih
banyak kegiatan dengan penurunan
kebutuhan akan energi pada setiap
kegiatan
5. Meningkatkan kepercayaan diri
yang positif sesuai tingkat
aktivitas yang dapat ditoleransi
pasien
g. NDX: Nyeri berhubungan dengan adanya ulcus (luka diabetes mellitus).
Tujuan :
Klien akan menunjukkan nyeri berkurang / teratasi dengan kriteria :
a. Klien tidak mengeluh nyeri
b. Ekspresi wajah ceria
Intervensi :
INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji tingkat nyeri 1. Nyeri disebabkan oleh
pen
p
a
p2. Observasi tanda-tanda vital
3. Ajarkan klien tekhnik
relaksasi
4. Ajarkan klien tekhnik Gate
Control
5. Pemberian analgetik
2. Pasien dengan nyeri biasanya akan
dimanifestasikan dengan
peningkatan vital sign terutama
perubahan denyut nadi dan
pernafasan
3. Nafas dalam dapat meningkatkan
oksigenasi jaringan
4. Memblokir rangsangan nyeri pada
serabut saraf
5. Analgetik bekerja langsung pada
reseptor nyeri dan memblokir
rangsangan nyeri sehingga respon
nyeri dapat diminimalkan
h. NDX. Penurunan rawat diri berhubungan dengan kelemahan
Tujuan :
Klien akan mendemonstrasikan penurunan rawat diri, dengan kriteria :
a. Kuku pendek dan bersih
b. Kebutuhan dapat dioenuhi secara bertahap
c. Mandi sendiri tanpa bantuan
Intervensi :
INTERVENSI RASIONAL
1. Kaji kemampuan klien
dalam pemenuhan rawat
diri
2. Berikan aktivitas secara
bertahap
3. Bantu klien dalam
pemenuhan kebutuhan sehari-
hari
4. Bantu klien (memotong
kuku)
1. Mengidentifikasi tingkat toleransi
aktivitas klien
2. Melatih tingkat kemampuan rawat
diri secara bertahap
3. Meningkatkan rasa nyaman klien
dan memperbaiki sirkulasi ke
perifer
4. Kuku panjang dapat digunakan
untuk menggaruk
i. NDx.: Kurang pengetahuan mengenai penyakitnya, prognosis penyakit dan
kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kesalahan interprestasi
Tujuan :
Klien akan melaporkan pemahaman tentang penyakitnya dengan kriteria
: Mengungkapkan pemahaman tentang penyakitnya
Intervensi :
Intervensi Rasional
1. Pilih berbagai strategi
belajar
2. Diskusikan tentang rencana
diet
3. Diskusikan tentang faktor-
faktor yang memegang
peranan dalam kontrol DM
1. Penggunaan cara yang
berbeda tentang mengakses
informasi, meningkatkan
penerapan pada individu yang
belajar
2. Kesadaran tentang pentingnya
kontrol diet akan membantu pasien
dalam merencanakan
makan/mentaati program, serat
dapat memperlambat absorbsi
glukosa yang akan menurunkan
fluktuasi kadar gula dalam darah
3. Diskusikan faktor-faktor yang
memegang peranan dalam kontrol
DM yang dapat menurunkan
berulangnya kejadian ketoasidosis.
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
AKUT RENAL FAILURE (ARF)
Definisi Gagal Ginjal Akut
Gagal ginjal akut ( GGA ) adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang ditandai
dengan pengurangan tiba-tiba glomerular filtration rate (GFR) dan perubahan kemampuan
fungsional ginjal untuk mempertahankan eksresi air yang cukup untuk keseimbangan dalam
tubuh. Atau sindroma klinis akibat kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal yang
ditandai dengan penurunan fungsi yang nyata dan cepat serta terjadinya azotemia.
Etiologi
Tiga kategori utama kondisi penyebab gagal ginjal akut :
1. Kondisi Pre Renal (hipoperfusi ginjal)
Kondisi pra renal adalah masalah aliran darah akibat hipoperfusi ginjal dan
turunnya laju filtrasi glumerulus. Kondisi klinis yang umum yang menyebabkan
terjadinya hipoperfusi renal adalah :
a) Penipisan volume
b) Hemoragi
c) Kehilangan cairan melalui ginjal (diuretik, osmotik)
d) Kehilangan cairan melalui saluran GI (muntah, diare, selang nasogastrik)
e) Gangguan efisiensi jantung
f) Infark miokard
g) Gagal jantung kongestif
h) Disritmia
i) Syok kardiogenik
j) Vasodilatasi
k) Sepsis
l) Anafilaksis
2. Kondisi Intra Renal (kerusakan aktual jaringan ginjal)
Penyebab intra renal gagal ginjal akut adalah kerusakan glumerulus atau
tubulus ginjal yang dapat disebabkan oleh hal-hal berikut ini :
a) Cedera akibat terbakar dan benturan
b) Reaksi transfusi yang parah
c) Agen nefrotoksik
d) Antibiotik aminoglikosida
e) Agen kontras radiopaque
f) Logam berat (timah, merkuri)
g) Obat NSAID
h) Bahan kimia dan pelarut (arsenik, etilen glikol, karbon tetraklorida)
i) Pielonefritis akut
j) glumerulonefritis
3. Kondisi Post Renal (obstruksi aliran urin)
Kondisi pasca renal yang menyebabkan gagal ginjal akut biasanya akibat dari
obstruksi di bagian distal ginjal. Obstruksi ini dapat disebabkan oleh kondisi-kondisi
sebagai berikut :
a) Batu traktus urinarius
b) Tumor
c) BPH
d) Striktur
e) Bekuan darah.
Patofisiologi
Beberapa kondisi berikut yang menyebabkan pengurangan aliran darah renal dan
gangguan fungsi ginjal : hipovelemia, hipotensi, penurunan curah jantung dan gagal jantung
kongestif, obstruksi ginjal atau traktus urinarius bawah akibat tumor, bekuan darah atau ginjal,
obstruksi vena atau arteri bilateral ginjal. Jika kondisi itu ditangani dan diperbaiki sebelum
ginjal rusak secara permanen, peningkatan BUN, oliguria dan tanda-tanda lain yang
berhubungan dengan gagal ginjal akut dapat ditangani.
Terdapat 4 tahapan klinik dari gagal ginjal akut(Dongoes):
1. Stadium awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria.
2. Stadium Oliguria.
Volume urine 75 % jaringan yang berfungsi telah rusak. Kadar BUN baru mulai
meningkat diatas batas normal. Peningkatan konsentrasi BUN ini berbeda-beda, tergantung
dari kadar dalam diit. Pada stadium ini kadar kreatinin serum mulai meningkat melebihi kadar
normal.
Azotemia biasanya ringan kecuali bila penderita mengalami stress akibat infeksi, gagal
jantung atau dehidrasi. Pada stadium ini pula mengalami gelala nokturia (diakibatkan oleh
kegagalan pemekatan) mulai timbul. Gejala-gejala timbul sebagai respon terhadap stress dan
perubahan makanan dan minuman yang tiba-tiba. Penderita biasanya tidak terlalu
memperhatikan gejala ini. Gejala pengeluaran kemih waktu malam hari yang menetap sampai
sebanyak 700 ml atau penderita terbangun untuk berkemih beberapa kalipada waktu malam
hari. Dalam keadaan normal perbandingan jumlah kemih siang hari dan malam hari adalah 3 :
1 atau 4 : 1. Sudah tentu nokturia kadang-kadang terjadi juga sebagai respon teehadap
kegelisahan atau minum yang berlebihan.
Poliuria akibat gagal ginjal biasanya lebih besar pada penyakit yang terutamam
menyerang tubulus, meskipun poliuria bersifat sedang dan jarang lebih dari 3 liter/hari.
Biasanya ditemukan anemia pada gagal ginjal dengan faal ginjal diantara 5%-25 %. Faal ginjal
jelas sangat menurun dan timbul gelala-gejala kekurangan farahm tekanan darah akan naik,
terjadi kelebihan, aktifitas penderita mulai terganggu.
3. Stadium III.
Semua gejala sudah jelas dan penderita masuk dalam keadaan dimana tak dapat
melakukan tugas sehari-hari sebagaimana mestinya. Gejala-gejala yang timbul antara lain
mual, muntah, nafsu makan berkurang, kurang tidur, kejang-kejang dan akhirnya terjadi
penurunan kesadaran sampai koma. Stadium akhir timbul pada sekitar 90 % dari masa nefron
telah hancur. Nilai GFR nya 10 % dari keadaan normal dan kadar kreatinin mungkin sebesar 5-
10 ml/menit atau kurang. Pada keadaan ini kreatnin serum dan kadar BUN akan meningkat
dengan sangat mencolok sebagai penurunan. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita
merasakan gejala yang cukup parah karene ginjal tidak sanggup lagi mempertahankan
homeostatis cairan dan elektrolit dalam tubuh. Penderita biasanya menjadi oliguri (pengeluaran
kemih) kurang dari 500/hari karena kegagalan glomerulus meskipun proses penyakit mula-
mula menyerang tubulus ginjal. Kompleks menyerang tubulus ginjal, kompleks perubahan
biokimia dan gejala-gejala yang dinamakan sindrom uremik memepengaruhi setip sisitem
dalam tubuh. Pada stadium akhir gagal ginjal, penderita pasti akan meninggal kecuali ia
mendapat pengobatan dalam bentuk transplantasi ginjal atau dialisis
Ada beberapa kondisi yang menjadi faktor predisposisi yang dapat menyebabkan
pengurangan aliran darah renal dan gangguan fungsi gmnjal, yaitu sebagai berikut :
a) Obstruksi tubulus.
b) Kebocoran cairan tubulus.
c) Penurunan permeabilitas glomerulus.
d) Disfungsi vasomotor.
e) Glomerolus feedback.
Teori obstruksi glomerulus menyatakan bahwa NTA (necrosis tubular acute)
mengakibatkan deskuamasi sel-sel tubulus yang nekrotik dan materi protein lainnya, yang
kemudian membentuk silinder-silinder dan menyumbat lumen tubulus. Pembengkakan selular
akibat iskemia awal, juga ikut menyokong terjadinya obstruksi dan memperberat iskemia.
Tekanan tubulus meningkat sehingga tekanan filtrasi glomerulus menurun.
Hipotesis kebocoran tubulus menyatakan bahwa filtrasi glomerulus terus berlangsung normal,
tetapi cairan tubulus bocor keluar melalui sel-sel tubulus yang rusak dan masuk dalam sirkulasi
peritubular. Kerusakan membran basalis dapat terlihat pada NTA yang berat.
Pada ginjal normal, 90% aliran darah didistribusi ke korteks (tempat di mana terdapat
glomerulus) dan 10% pada medula. Dengan demikian, ginjal dapat memekatkan urine dan
menjalankan fungsinya. Sebaliknya pada GGA, perbandingan antara distribusi korteks dan
medula menjadi terbalik sehingga terjadi iskemia relatif pada korteks ginjal. Konstriksi dan
arteriol aferen merupakan dasar penurunan laju flitrasi glomerulus (GFR). Iskemia ginjal akan
mengaktivasi sistem renin-angiotensin dan memperberat iskemia korteks luar ginjal setelah
hilangnya rangsangan awal.
Pada disfungsi vasomotor, prostaglandin dianggap bertanggung jawab terjadinya
GGA, dimana dalam keadaan normal, hipoksia merangsang ginjal untuk melakukan
vasodilator sehingga aliran darah ginjal diredistribusi ke korteks yang mengakibatkan diuresis.
Ada kemungkinan iskemia akut yang berat atau berkepanjangan dapat menghambat ginjal
untuk menyintesis prostaglandin. Penghambatan prostaglandin seperti aspirin diketahui dapat
menurunkan aliran darah renal pada orang normal dan menyebabkan NTA.
Teori glomerulus menganggap bahwa kerusakan primer terjadi pada tubulus
proksimal. Tubulus proksimal yang menjadi rusak akibat nefrotoksin atau iskemia gagal untuk
menyerap jumlah normal natrium yang terfiltrasi dan air.
Akibatnya makula densa mendeteksi adanya peningkatan natrium pada cairan tubulus
distal dan merangsang peningkatan produksi renin dan sel jukstaglomerulus, Terjadi aktivasi
angiotensin II yang menyebabkan vasokontriksi ateriol aferen sehingga mengakibatkan
penurunan aliran darah ginjal dan laju aliran glomerulus.
Pathway
Iskemia atau
nefrotoksin
Penurunan aliran darah
Kerusakan sel
tubulus
Kerusakan glomerulus
Penurunan aliran darah
Pe Pelepasan NaCl ke makula densa
Obstruksi tubulus
Kebocoran filtrate
Penurunan ultrafiltrasi
glomerulus
Penurunan GFR
Gagal ginjal akut
Penurunan produksi urine
azotemia
Kecemasan pemenuhan informasi
Respons psikologsi
Diuresisi ginjal
Ekskresi kalium
menurun
Peningkatan metabolit pada jaringan
otot
Peningkatan metabolit pada
gastrointestinal
Edema paru asidosis metabolik
Defisit volume cairan
Ketidakseimbangan elektrolit
Peningkatan kelelahan otot kram otot
Bau amonia pada mulut mual, muntah, anoreksia
Pola napas tidak
efektif
Hiperkalemi
Kelemahan fisik respon nyeri
Intake nutrisi tidak
adekuat
Penurunan pefusi
serebral
Kerusakan hantaran impuls
saraf
Perubahan konduksi elektrikal
jantung
Nyeri gangguan ADL
Pemenuhan nutrisi
Defisit neurologik risiko tinggi
kejang
Risiko aritmia
Curah jantung
Retensi cairan interstisial dan pH ¯
Penurunan pH pad aciaran serebro spinal
MANIFESTASI KLINIS
a) Perubahan haluaran urine (haluaran urin sedikit, mengandung darah dan gravitasinya
rendah (1,010) sedangkan nilai normalnya adalah 1,015-1,025)
b) Peningkatan BUN, creatinin
c) Kelebihan volume cairan
d) Hiperkalemia
e) Serum calsium menurun, phospat meningkat
f) Asidosis metabolik
g) Anemia
h) Letargi
i) Mual persisten, muntah dan diare
j) Nafas berbau urin
k) Manifestasi sistem syaraf pusat mencakup rasa lemah, sakit kepala, kedutan otot dan
kejang
PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Urine : Volume, Warna, Sedimen, Berat jenis, Kreatinin, Protein.
2. Arteriogram ginjal
3. Biopsi ginjal
4. Darah : BUN/kreatinin, Hitung darah lengkap, Sel darah merah, Natrium serum, Kalium,
Magnesium fosfat, Protein, Osmolaritas serum.
5. KUB Foto : Menunjukkan ukuran ginjal/ureter/kandung kemih dan adanya obstruksi .
6. Pielografi retrograde
7. Sistouretrogram berkemih
8. Ultrasono ginjal
9. Endoskopi ginjal nefroskopi
10. EKG
PENATALAKSANAAN
1. Penatalaksanaan secara umum adalah:
Kelainan dan tatalaksana penyebab.
a. Kelainan praginjal. Dilakukan klinis meliputi faktor pencetus keseimbangan cairan, dan
status dehidrasi. Kemudian diperiksa konsentrasi natrium urin, volume darah dikoreksi,
diberikan diuretik, dipertimbngkan pemberian inotropik dan dopamin.
b. Kelainan pasca ginjal. Dilakukan pengkajian klinis meliputi apakah kandung kemih
penuh, ada pembesaan prostat, gangguan miksi atau nyeri pinggang. Dicoba memasang
kateter urin, selain untuk mengetahui adanya obstruksi juga untuk pengawasan akurat dari
urin dan mengambil bahan pemeriksaan. Bila perlu dilakukan USG ginjal.
c. Kelainan ginjal. Dilakukan pengkajian klinis, urinalinasi, mikroskopik urin, dan
pertimbangkan kemungkinan biopsi ginjal, arteriografi, atau tes lainnya.
2. Penatalaksanaan gagal ginjal
a. Mencapai & mempertahankan keseimbangan natrium dan air. Masukan natrium dibatasi
hingga 60 mmol/hari dan cairan cukup 500 ml/hari di luar kekurangan hari sebelumnya
atau 30 mmol/jam di luar jumlah urin yang dikeluarkan jam sebelumnya. Namun
keseimbangan harus tetap diawasi.
b. Memberikan nutrisi yang cukup. Bisa melalui suplemen tinggi kalori atau
hiperalimentaasi intravena. Glukosa dan insulin intravena, penambahan kalium,
pemberian kalsium intravena pada kedaruratan jantung dan dialisis.
c. Mencegah dan memperbaiki infeksi, terutama ditujukan terhadap infeksi saluran napas
dan nosokomial. Demam harus segera harus dideteksi dan diterapi. Kateter harus segera
dilepas bila diagnosis obstruksi kandung kemih dapat disingkirkan.
d. Mencegah dan memperbaiki perdarahan saluran cerna. Feses diperiksa untuk adanya
perdarahan dan dapat dilakukan endoskopi. Dapat pula dideteksi dari kenaikan rasio
ureum/kreatinin, disertai penurunan hemoglobin. Biasanya antagonis histamin H
(misalnya ranitidin) diberikan pada pasien sebagai profilaksis.
e. Dialisis dini atau hemofiltrasi sebaiknya tidak ditunda sampai ureum tinggi, hiperkalemia, atau
terjadi kelebihan cairan. Ureum tidak boleh melebihi 30-40 mmol/L. Secara umum continous
haemofiltration dan dialisis peritoneal paling baik dipakai di ruang intensif, sedangkan
hemodialisis intermitten dengan kateter subklavia ditujukan untuk pasien lain dan sebagai
tambahan untuk pasien katabolik yang tidak adekuat dengan dialisis peritoneal/hemofiltrasi.
KOMPLIKASI
1. Jantung : edema paru, aritmia, efusi pericardium
2. Gangguan elektrolit : hyperkalemia, hiponatremia, asidosis
3. Neurlogi : iritabilitas neuromuskuler, flap, tremor, koma, gangguan kesadaran, kejang
4. Gastrointestinal : nausea, muntah, gastritis, ulkus, peptikum, perdarahaan gastrointestinal
5. Hematologi : anemia, diathesis hemoragik
6. Infeksi : pneumonia, septikemis, infeksi nosocomial
PENGKAJIAN
Pada pengakajian anamnesis data yang diperoleh yakni identitas klien dan identitas
penanggung jawab,identitas klien yang meliputi nama, usia, jenis kelamin, pekerjaan,serta
diagnosa medis. Penyakit Gagal Ginjal Akut dapat menyerang pria maupun wanita dari
rentang usia manapun,khususnya bagi orang yang sedang menderita penyakit serius,terluka
serta usia dewasa dan pada umumnya lanjut usia. Pada pengkajian jenis kelamin, pria
disebabkan oleh hipertrofi prostat sedangkan pada wanita disebabkan oleh infeksi saluran
kemih yang berulang, serta pada wanita yang mengalami perdarahan pasca melahirkan. Untuk
pengkajian identitas penanggung jawab data yang didapatkan yakni meliputi nama, umur,
pekerjaan, hubungan dengan si penderita.
2. Riwayat Kesehatan
2.1. Keluhan Utama
Keluhan utama yang sering adalah terjadi penurunan produksi miksi.
2.2.Riwayat Kesehatan Sekarang
Pengkajian ditujukan sesuai dengan predisposisi etiologi penyakit
terutama pada prerenal dan renal. Secara ringkas perawat menanyakan
berapa lama keluhan penurunan jumlah urine output dan apakah
penurunan jumlah urine output tersebut ada hubungannya dnegna
predisposisi penyebab, seperti pasca perdarahan setelah melahirkan,
diare, muntah berat, luka bakar nluas, cedera luka bakar, setelah
mengalami episode serangan infark, adanya riwayat minum obat NSAID
atau pemakaian antibiotik, adanya riwayat pemasangan tranfusi darah,
serta adanya riwayat trauma langsung pada ginjal.
2.3.Riwayat Kesehatan Dahulu
Kaji adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi sistem
perkemihan yang berulang, penyakit diabetes melitus dan penyakit
hipertensi pada masa sebelumnya yang menjadi predisposisi penyebab
pasca renal. Penting untuk dikaji tentang riwayat pemakaian obat-obatan
masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat dan
dokumentasikan.
2.4.Riwayat psikososialcultural
Adanya kelemahan fisik, penurunan urine output dan prognosis penyakit
yang berat akan memberikan dampak rasa cemas dan koping yang
maladaptif pada klien.
3. Pemeriksaan Fisik
3.1.Keadaan umum dan TTV
Keadaan umum klien lemah, terlihat sakit berat, dan letargi. Pada TTV
sering didapatkan adanya perubahan, yaitu pada fase oliguri sering
didapatkan suhu tubuh meningkat, frekuensi denyut nadi mengalami
peningkatan dimana frekuensi meningkat sesuai dengan peningkatan
suhu tubuh dan denyut nadi. tekanan darah terjadi perubahan dari
hipetensi rinagan sampai berat.
3.2.Pemeriksaan Pola Fungsi
3.2.1. B1 (Breathing).
Pada periode oliguri sering didapatkan adanya gangguan pola napas dan jalan napas yang
merupakan respons terhadap azotemia dan sindrom akut uremia. Klien bernapas dengan bau
urine (fetor uremik) sering didapatkan pada fase ini. Pada beberapa keadaan respons uremia
akan menjadikan asidosis metabolik sehingga didapatkan pernapasan kussmaul.
3.2.2. B2 (Blood).
Pada kondisi azotemia berat, saat perawat melakukan auskultasi akan menemukan adanya
friction rub yang merupakan tanda khas efusi perikardial sekunder dari sindrom uremik. Pada
sistem hematologi sering didapatkan adanya anemia. Anemia yang menyertai gagal ginjal akut
merupakan kondisi yang tidak dapat dielakkan sebagai akibat dari penurunan produksi
eritropoetin, lesi gastrointestinal uremik, penurunan usia sel darah merah, dan kehilangan
darah, biasanya dari saluran G1. Adanya penurunan curah jantung sekunder dari gangguan
fungsi jantung akan memberat kondisi GGA. Pada pemeriksaan tekanan darah sering
didapatkan adanya peningkatan.
3.2.3. B3 (Brain).
Gangguan status mental, penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan berkonsentrasi,
kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran (azotemia, ketidakseimbangan
elektrolit/asam/basa). Klien berisiko kejang, efek sekunder akibat gangguan elektrolit, sakit
kepala, penglihatan kabur, kram otot/kejang biasanya akan didapatkan terutama pada fase
oliguri yang berlanjut pada sindrom uremia.
3.2.4. B4 (Bladder).
Perubahan pola kemih pad aperiode oliguri akan terjadi penurunan frekuensi dan penurunan
urine output <400 ml/hari, sedangkan pada periode diuresis terjadi peningkatan yang
menunjukkan peningkatan jumlah urine secara bertahap, disertai tanda perbaikan filtrasi
glomerulus. Pada pemeriksaan didapatkan perubahan warna urine menjadi lebih pekat/gelap.
3.2.5. B5 (Bowel).
Didapatkan adanya mual dan muntah, serta anoreksia sehingga sering didapatkan penurunan
intake nutrisi dari kebutuhan.
3.2.6. B6 (Bone).
Didapatkan adnaya kelemahan fisik secara umum efek sekunder dari anemia dan penurunan
perfusi perifer dari hipetensi.
3.3. Pemeriksaan Diagnostik
Laboratorium
Urinalisis didapatkan warna kotor, sedimen kecoklatan menunjukkan
adanya darah, Hb, dan myoglobin. Berat jenis <1.020 menunjukkan
penyakit ginjal, pH urine >7.00 menunjukkan ISK, NTA,d an GGK.
Osmolalitas kurang dari 350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan ginjal
dan rasio urine : serum sering 1 : 1.
Pemeriksaan BUN dan kadar kreatinin. Terdapat peningkatan yang tetap
dalakm BUN dan laju peningkatannya bergantung pada tingkat
katabolisme (pemecahan protein), perfusi renal dan masukan protein.
Serum kratinin meningkat pada kerusakan glomerulus. Kadar kreatinin
serum bermanfaat dalam pemantauan fungsi ginjal dan perkembangan
penyakit.
Pemeriksaan elektrolit. Pasien yang mengalami penurunan lajut filtrasi
glomerulus tidak mampu mengeksresikan kalium. Katabolisme protein
mengahasilkan pelepasan kalium seluler ke dalam cairan tubuh,
menyebabkan hiperkalemia berat. Hiperkalemia menyebabkan disritmia
dan henti jantung.
Pemeriksan pH. Pasien oliguri akut tidak dapat emngeliminasi muatan
metabolik seperti substansi jenis asam yang dibentuk oleh proses
metabolik normal. Selain itu, mekanisme bufer ginjal normal turun. Hal
ini ditunjukkan dengan adanya penurunan kandungan karbon dioksida
darah dan pH darah sehingga asidosis metabolik progresif menyertai
gagal ginjal.
4. Penatalaksanaan Medis
Tujuan penatalaksanaan adalah menjaga keseimbangan dan mencegah
komplikasi, yang meliputi hal-hal sebagai berikut.
1. Dialisis. Dialisis dapat dilakukan untuk mencegah komplikasi
gagal ginjal akut yang serius, seperti hiperkalemia, perikarditis, dan
kejang. Dialisis memperbaiki abnormalitas biokimia, menyebabkan
cairan, protein, dan natrium dapat dikonsumsi secara bebas;
menghilangkan kecenderungan perdarahan dan membantu penyembuhan
luka.
2. Koreksi hiperkalemi. Peningkatan kadar kalium dapat dikurangi
dengan pemberian ion pengganti resin (natrium polistriren sulfonat),
secara oral atau melalui retensi enema. Natrium polistriren sulfonat
bekerja dengan mengubah ion kalium menjadi natrium di saluran
intenstinal.
3. Terapi cairan
4. Diet rendah protein, tinggi karbohidrat
5. Koreksi asidosis dengan natrium bikarbonat dan dialisis
5. Analisa Data
symptom Etiologi Problem
DS:-
DO:-perubahan
pola kemih,warna
urin
pekat,penurunan
urine output <400
ml/hari.
fase diuresis
dari gagal
ginjal akut
Defisit volume
cairan
DS:-
DO:pernapasan
kussmaul,fetor
uremik,
penurunan
pH pada
ciaran
serebrospinal
, perembesan
cairan,
Aktual/risiko tinggi
pola napas tidak
efektif
DS:-
DO:klien
gelisah,Terdapat
papiledema,deficit
neurologis,kadar
kalium serum
meningkat.
gangguan
konduksi
elektrikal
efek sekunder
dari
hiperkalemi
Aktual/risiko tinggi
aritmia.
DS:-
DO:peningkatan
suhu
tubuh,penglihatan
kabur,kram
otot,azotemia.
kerusakan
hantaran
saraf
sekunder dari
abnormalitas
elektrolit dan
uremia.
Aktual/risiko tinggi
kejang
DS:-
DO:kehilangan
kemampuan
gangguan
transmisi sel-
sel saraf
Aktual/risiko tinggi
defisit neurologis
konsentrasi,kehilan
gan
memori,penurunan
lapang pandang.
sekunder dari
hiperkalsemi
DS:-
DO:muntah,anorek
sia,lemah.
intake nutrisi
yang tidak
adekuat
sekunder dari
anoreksi,
mual, muntah
Ketidakseimbangan
nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh
DS:-
DO:lemah,ada
edema,terlihat sakit
berat.
edema
ekstremitas,
kelemahan
fisik secara
umum
Gangguan ADL
(Activity Daily
Liv
DS:-
DO:bingung
dengan
kondisinya,peningk
atan
TTV,ketidakmampu
an berkonsentrasi,
prognosis
penyakit,
ancaman,
kondisi sakit,
dan
perubahan
kesehatan
cemas
6. Diagnosa keperawatan
1. Defisit volume cairan b.d. fase diuresis dari gagal ginjal akut
2. Aktual/risiko tinggi pola napas tidak efektif b.d penurunan pH pada
ciaran serebrospinal, perembesan cairan, kongesti paru efek sekunder
perubahan membran kapiler alveoli dan retensi cairan interstisial dari
edema paru pada respons asidosis metabolik
3. Aktual/risiko tinggi menurunnya curah jantung b.d penurunan
kontraktilitas ventrikel kiri, perubahan frekuensi, irama, konduksi
elektrikal efek sekunder penurunan pH, hiperkalemi, dan uremia
4. Aktual/risiko penurunan perfusi serebral b.d. penurunan pH pada
cairan serebrospinal efek sekunder dari asidosis metabolik
5. Aktual/risiko tinggi aritmia b.d gangguan konduksi elektrikal efek
sekunder dari hiperkalemi
6. Aktual/risiko tinggi kejang b.d kerusakan hantaran saraf sekunder
dari abnormalitas elektrolit dan uremia.
7. Aktual/risiko tinggi defisit neurologis b.d gangguan transmisi sel-
sel saraf sekunder dari hiperkalsemi
8. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d intake
nutrisi yang tidak adekuat sekunder dari anoreksi, mual, muntah
9. Gangguan ADL (Activity Daily Living) b.d edema ekstremitas,
kelemahan fisik secara umum
10. Kecemasan b.d prognosis penyakit, ancaman, kondisi sakit, dan
perubahan kesehatan
7. Intervensi
Rencana keperawatan yang dilakukan bertujuan menurunkan keluhan
klien, menghindari penurunan dari fungsi ginjal, serta menurunkan risiko
komplikasi.
Diagnose T
uj
u
a
n
d
a
n
cr
it
er
ia
h
as
il
I
n
t
e
r
v
e
n
s
i
Rasi
onal
T
uj
ua
n
:
de
fis
1. Monitoring
status cairan (turgor
kulit, membran
mukosa, urine
output)
2. Auskultasi TD
dan timbang berat
1. Jumlah dan tipe cairan
pengganti ditentukan dari
keadaan status cairan
Penurunan volume cairan
mengakibatkan
menurunnya produksi
urine, monitoring yang
it
vo
lu
m
e
ca
ir
an
da
pa
t
te
ra
ta
si
K
rit
er
ia
ev
al
ua
si
:
- Klien
tidak
mengeluh
pusing,
membran
mukosa
lembab, turgor
kulit normal,
TTV dalam
batas normal,
CRT < 3 detik,
urine > 600
ml/hari
badan.
3. Programkan
untuk dialysis.
4. Kaji warna
kulit, suhu,
sianosis, nadi
perifer, dan
diaforesis secara
teratur.
5. Kolaborasi
Pertahankan
pemberian cairan
secara intravena
ketat pada produksi urine
<600 ml/hari karena
merupakan tanda-tanda
terjadinya syok
hipovolemik.
2. Hipotensi dapat terjadi
pada hipovolemik.
Perubahan berat badan
sebagai parameter dasar
terjadinya defisit cairan.
3. Program dialisis akan
mengganti fugnsi ginjal
yang terganggu dalam
menjaga keseimbangan
cairan tubuh.
4. Mengetahui adanya
pengaruh adanya
peningkatan tahanan
perifer.
5. Jalur yang paten
penting untuk pemberian
cairan secara cepat dan
memudahkan perawat
dalam melakukan kontrol
intake dan output cairan
L
ab
or
at
or
iu
m
:
ni
lai
he
m
at
ok
rit
da
n
pr
ot
ei
n
se
ru
m
m
en
in
gk
at,
B
U
N/
K
re
ati
ni
n
m
en
ur
un
T
uj
ua
n:
ti
da
k
te
rj
ad
i
pe
ru
ba
ha
n
po
la
na
pa
s
K
rit
er
ia
ev
al
ua
si:
- Klien
tidak sesak
napas, RR
dalam batas
1. Kaji faktor
penyebab asidosis
metabolic.
2. Monitor ketat
TTV.
3. Istirahatkan
klien dengan posisi
fowler.
4. Ukur intake
dan output.
Manajemen
lingkungan :
5. lingkungan
tenang dan batasi
pengunjung.
K
o
l
a
b
o
r
a
s
i
6. Berikan cairan
ringer laktat secara
intravena.
7. Berikan
bikarbonat.
8. Pantau data
laboratorium
1. Mengeidentifikasi
untuk mengatasi penyebab
dasar dari asidosis
metabolic.
2. Perubahan TTV
akan memberikan dampak
pada risiko asidosis yang
bertambah berat dan
berindikasi pada intervensi
untuk secepatnya
melakukan koreksi asidosis
3. Posisi fowler akan
meningkatkan ekspansi
paru optimal istirahat akan
mengurangi kerja jantung,
meningkatkan tenaga
cadangan jantung, dan
menurunkan tekanan darah.
4. Penurunan curah
jantung, mengakibatkan
gangguan perfusi ginjal,
retensi natrium/air, dan
penurunan urine output.
5. Lingkungan tenang
akan menurunkan stimulus
nyeri eksternal dan
pembatasan pengunjung
akan membantu
meningkatkan O2 ruangan
yang akan berkurang
apabila banyak pengunjung
yang berada di ruangan.
6. Larutan IV ringer
normal 16-20
x/menit.
-
Pemeriksaan
gas arteri pH
7.40 ± 0,005,
HCO, 24 ± 2
mEq/L, dan
PaCO, 40
mmHg
analisis gas darah
berkelanjutan
laktat biasanya merupakan
cairan pilihan untuk
memperbaiki keadaan
asidosis metabolik dengan
selisih anion normal, serta
kekurangan volume ECF
yang sering menyertai
keadaan ini.
7. Kolaborasi
pemberian bikarbonat. Jika
penyebab masalah adalah
masukkan klorida, maka
pengobatannya adalah
ditujukan pada
menghilangkan sumber
klorida.
8. Tujuan intervensi
keperawatan pada asidosis
metabolik adalah
meningkatkan pH sistemik
sampai ke batas yagn aman
dan menanggulangi sebab-
sebab asidosis yang
mendasarinya. Dengan
monitoring perubahan dari
analisis gas darah berguna
untuk menghindari
komplikasi yang tidak
diharapkan
T
uj
ua
n:
ti
da
k
te
1. Kaji faktor
penyebab dari
situasi/keadaan
individu dan faktor-
faktor hiperkalemi.
Manajemen
pencegahan
hipokalemia
1. Banyak faktor yang
menyebabkan hiperkalemia
dan penanganan
disesuaikan dengan faktor
penyebab.
2. Makanan yang
mengandung kalium tinggi
yang harus dihindari
rj
ad
i
ar
it
m
ia
K
rit
er
ia
:
- Klien
tidak gelisah,
tidak
mengeluh
mual-mual dan
muntah
- GCS 4,
5, 6 tidak
terdapat
papiledema.
TTV dalam
batas normal.
- Klien
tidak
mengalami
defisit
neurologis,
kadar kalium
serum dalam
batas normal
2. Beri diet
rendah kalium
3. Memonitor
tanda-tanda vital
tiap 4 jam.
4. Monitoring
ketat kadar kalium
darah dan EKG.
5. Monitoring
klien yang berisiko
terjadi hipokalemi.
6. Monitoring
klien yang
mendapat infus
cepat yang
mengandung
kalium
Manajemen
kolaborasif
koreksi
hiperkalemi:
7. Pemberian
kalsium glukonat.
8. Pemberian
glukosa 10%.
9. Pemberian
natrum bikarbonat.
10.
termausk kopi, cocoa, the,
buah yang dikeringkan,
kacang yang dikeringkan,
dan roti gandum utuh. Susu
dan telur juga mengandung
kalium yang cukup besar.
Sebaliknya, makanan
dengan kandungan kalium
minimal termasuk mentega,
margarin, sari buah, atau
saus cranbeery, bir jahe,
permen karet, atau gula-
gula (permen), root beer,
gula dan madu.
3. Adanya perubahan
TTV secara cepat dapat
menjadi pencetus aritmia
pada klien hipokalemi.
4. Upaya deteksi
berencana untuk mencegah
hiperkalemi.
5. Asidosis dan
kerusakan jaringan seperti
pada luka bakat atau cedera
remuk, dapat menyebabkan
perpindahan kalium dari
ICF ke ECF, dan masih ada
hal-hal lain yang dapat
menyebabkan
hiperkalemia. Akhirnya,
larutan IV yang
mengandung kalium harus
diberikan perlahan-lahan
untuk mencegah terjadinya
beban kalium berlebihan
latrogenik.
6. Aspek yang paling
penting dari pencegahan
hiperkalemia adalah
mengenali keadaan klinis
yang dapat menimbulkan
hiperkalemia karena
hiperkalemia adalah akibat
yang bisa diperkirakan
pada banyak penyakit dan
pemberian obat-obatan.
Selain itu, juga harus
diperhatikan agar tidak
terjadi pemberian infus
larutan IV yang
mengandung kalium
dengan kecepatan tinggi.
7. Dilakukan
penghambatan terhadap
efek jantung dengan
kalsium, disertai
redistribusi K+ dari ECF ke
ICF. Tiga metode yang
digunakan dalam penangan
kegawatan dari
hiperkalemia berat (>8
mEq/L atau perubahan
EKG yang lanjut)
8. Kalsium glukonat 10%
sebanyak 10 ml diinfus IV
perlahan-lahan selama 2-3
menit dengan pantauan
EKG, efeknya terlihat
dalam waktu 5 menit, tetapi
hanya bertahan sekitar 30
menit.
9. Glukosa 10% dalam
500 ml dengan 10 U insulin
regular akan memindahkan
K+ ke dalam sel; efeknya
terlihat dalam waktu 30
menit dan dapat bertahan
beberapa jam.
10. Natrium
bikarbonat 44-88 mEq IV
akan memperbaiki asidosis
dan perpindahan K+ ke
dalam sel; efeknya terlihat
dalam waktu 30 menit dan
dapat bertahan beberapa
jam.
T
uj
ua
n
:
pe
rf
us
i
ja
ri
ng
an
ot
ak
da
pa
t
te
rc
ap
ai
se
ca
ra
1. Monitor tanda-
tanda status
neurologis dengan
GCS.
2. Monitor tanda-
tanda vital seperti
TD, nadi, suhu,
respirasi, dan hati-
hati pada hipertensi
sistolik.
3. Bantu klien
untuk membatasi
muntah dan batuk.
Anjurkan klien
untuk
mengeluarkan
napas apabila
bergerak atau
berbalik di tempat
tidur.
4. Anjurkan klien
untuk menghindari
batuk dan mengejan
berlebihan
5. Ciptakan
1. Dapat mengurangi
kerusakan otak lebih lanjut.
2. Pada keadaan normal,
autoregulasi
mempertahankan keadaan
tekanan darah sistemik
yang dapat berubah secara
fluktuasi. Kegagalan
autoreguler akan
menyebabkan kerusakan
vaskular serebral yang
dapat dimanifestasikan
dengan peningkatan sistolik
dan diikuti oleh penurunan
tekanan diastolik,
sedangkan peningkatan
suhu dapat
menggambarkan pejralanan
infeksi.
3. Aktivitas ini dapat
meningkatkan tekanan
intrakranial dan
intraabdomen.
Mengeluarkan napas
sewaktu bergerak atau
op
ti
m
al.
K
rit
er
ia
ev
al
ua
si
:
- Klien
tidak gelisah,
tidak ada
keluhan nyeri
kepala, mual,
kajang, GCS
4,5,6, pupil
isokor, refleks
cahaya (+).
- Tanda-
tanda vital
normal (nadi
60-100
kali/menit,
suhu : 36-
36,70C,
pernapasan 16-
20 kali/menit),
- serta
klien tidak
mengalami
defisit
neurologis
seperti : lemas,
lingkungan yang
tenang dan batasi
pengunjung.
6. Monitor kalium
serum
mengubah posisi dapat
melindungi diri dari efek
valsava.
4. Batuk dan mengejan
dapat meningkatkan
tekanan intrakranial dan
potensial terjadi perdarahan
ulang.
5. Rangsangan aktivitas
yang meningkatkan dapat
meningkatkan kenaikan
TIK. Istirahat total dan
ketegangan mungkin
diperlukan untuk
pencegahan terhadap
perdarahan dalam kasusu
stroke
hemoragik/perdarahan
lainnya.
6. Hiperkalemi terjadi
dengan asidosis,
hipokalemi dapat terjadi
pada kebalikan asidosis dan
perpindahan kalium
kembali ke sel.
agitasi,
iritabel,
hiperefleksia,
dan spastisitas
dapat terjadi
hingga
akhirnya
timbul koma,
kejang
T
uj
ua
n
:
pe
ra
w
at
an
ris
ik
o
ke
ja
ng
be
ru
la
ng
ti
da
k
te
rj
ad
i
K
1. Kaji dan catat
faktor-faktor yang
menurunkan
kalsium dari
sirkulasi.
2. Kaji stimulus
kejang.
3. Monitor klien
yang berisiko
hipokalsemi.
4. Hindari
konsumsi alkohol
dan kafein yang
tinggi.
K
o
l
a
b
o
r
a
s
i
p
e
m
1. Penting artinya untuk
mengamati hipokalsemia
pada klien berisiko.
Perawat harus bersiap
untuk kewaspadaan kejang
bila hipokalsemia hebat.
2. Stimulus kejang pada
tetanus adalah rangsang
cahaya dan peningkatan
suhu tubuh.
3. Individu berisiko
terhadap osteoporosis
diinstruksikan tentang
perlunya masukan kalsium
diet yang adekuat; jika
dikonsumsi dalam diet,
suplemen kalsium harus
dipertimbangkan.
4. Alkohol dan kafein
dalam dosis yang tinggi
menghambat penyerapan
kalsium dan perokok kretek
sedang meningkatkan
ekskresi kalsium urine
5. Garam kalsium
parenteral termausk
kalsium glukonat, kalsium
klorida, dan kalsium
rit
er
ia
ev
al
ua
si
:
-
Kl
ie
n
ti
da
k
m
en
ga
la
m
i
ke
ja
ng
b
e
r
i
a
n
t
e
r
a
p
i
5. Garam kalsium
parenteral
6. Vitamin D
7. Tingkatan
masukan diet
kalsium.
8. Monitor
pemeriksaan EKG
dan laboratorium
kalsium serum
gluseptat. Meskipun
kalsium klorida
menghasilkan kalsium
berionisasi yang secara
signifikan lebih tinggi
dibandingkan jumlah
akuimolar kalsium
glukonat, tetapi cairan ini
tidak sering digunakan
karena cairan tersebut l
ebih mengiritasi dan dapat
menyebabkan peluruhan
jaringan jika dibiarkan
menginfiltrasi
6. Terapi vitamin D dapat
dilakukan untuk
meningkatkan absorpsi ion
kalsium dari traktus GI
7. Tingkatan masukan
diet kalsium sampai
setidaknya 1.000 hingga
1.500 mg/hari pada orang
dewasa sangat dianjurkan
(produk dari susu: sayuran
berdaun hijau; salmon
kaleng, sadin, dan oyster
segar)
8. Menilai keberhasilan
intervensi
8. Evaluasi
Hasil yang diharapkan setelah mendapatkan intervensi adalah sebagai
berikut:
1. Defisit volume cairan teratasi
2. Pola napas kembali efektif
3. Tidak terjadi penurunan curah jantung
4. Peningkatan perfusi serebral
5. Tidak terjadi aritmia
6. Tidak terjadi kejang
7. Pasien tidak mengalami defisit neurologis
8. Asupan nutrisi tubuh terpenuhi
9. Terpenuhinya aktivitas sehari-hari
10. Kecemasan berkungan.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Gagal ginjal akut ( GGA ) adalah suatu keadaan fisiologik dan klinik yang ditandai dengan
pengurangan tiba-tiba glomerular filtration rate (GFR) dan perubahan kemampuan fungsional
ginjal untuk mempertahankan eksresi air yang cukup untuk keseimbangan dalam tubuh. Atau
sindroma klinis akibat kerusakan metabolik atau patologik pada ginjal yang ditandai dengan
penurunan fungsi yang nyata dan cepat serta terjadinya azotemia.
Menurut Smeltzer (2002) terdapat empat tahapan klinik dan gagal ginjal akut, yaitu periode
awal, periode oligunia, periode diuresis, dan periode perbaikan.
1. Periode awal dengan awitan awal dan diakhiri dengan terjadinya oliguria.
2. Periode oliguria (volume urine kurang dari 400 ml/24 jam) disertai dengan peningkatan
konsentrasi serum dan substansi yang biasanya diekskresikan oleh ginjal (urea, kreatinin, asam
urat, serta kation intraseluler-kalium dan magnesium). Jumlah urine minimal yang diperlukan
untuk membersihkan produk sampah normal tubuh adalah 400 ml. Pada tahap ini gejala
uremik untuk pertama kalinya muncul dan kondisi yang mengancam jiwa seperti hiperkalemia
terjadi.
3. Periode diuresis, pasien menunjukkan peningkatan jumlah urine secara bertahap, disertai
tanda perbaikan filtrasi glomerulus. Meskipun urine output mencapai kadar normal atau
meningkat, fungsi renal masih dianggap normal. Pasien harus dipantau dengan ketat akan
adanya dehidrasi selama tahap ini, jika terjadi dehidrasi, tanda uremik biasanya meningkat.
4. Periode penyembuhan merupakan tanda perbaikan fungsi ginjal dan berlangsung selama
3-12 bulan. Nilai laboratorium akan kembali normal.
3.2. Saran
1. Bagi Penulis
Setelah menyelesaikan makalah ini diharapkan kami sebagai mahasiswa dapat meningkatkan
pengetahuan dan wawasan mengenai penyebab serta upaya pencegahan penyakit Gagal Ginjal
Akut agar terciptanya kesehatan masyarakat yang lebih baik.
2. Bagi Pembaca
Diharapkan agar pembaca dapat mengetahui tentang Gagal Ginjal Akut lebih dalam sehingga
dapat mencegah serta mengantisipasi diri dari penyakit Gagal Ginjal Akut.
3. Bagi Petugas Kesehatan
Diharapkan dapat menambah wawasan dan informasi dalam penanganan Gagal Ginjal Akut
sehingga dapat meningkatkan pelayanan keperawatan yang baik.
4. Bagi Institusi Pendidikan
Dapat menambah informasi tentang Gagal Ginjal Akut serta dapat meningkatkan
kewaspadaan terhadap penyakit ini.
1
1