bab i pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan salah satu sunatullah yang umum berlaku pada
semua makhluk Tuhan, baik pada manusia, hewan maupun tumbuh-
tumbuhan.1 Hal ini sebagaimana Firman Allah dalam surat al-Dza>riyat ayat
49 sebagai berikut:
)٤٩:الذاريات(ومن كل شيء خلقنا زوجين لعلكم تذكرون Artinya: Dan segala sesuatu Kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu
mengingat akan kebesaran Allah (QS. al-Dza>riyat: 49).2
Allah SWT. telah menjadikan pernikahan “jenis manusia” sebagai
jaminan atas kelestarian populasi manusia di muka bumi. Allah merealisasikan
hal itu dengan menciptakan hubungan antara laki-laki dan perempuan. Allah
juga menjadikan pernikahan sebagai motivasi dari tabiat dan syahwat manusia
serta untuk menjaga kekekalan keturunan mereka. Kalau bukan karena adanya
dorongan syahwat seksual yang terpendam dalam diri setiap laki-laki dan
perempuan, pasti tidak ada seorangpun manusia yang berpikir tentang
pernikahan. Seorang laki-laki juga tidak akan pernah memiliki keinginan
untuk mencari pasangan wanita. Padahal dengan adanya pasangan, dia dapat
hidup tenang di sisinya.
1 Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, Juz 6, terj. M. Thalib, Bandung: Alma’arif , 1990, hlm. 9. 2 Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Jakarta: Yayasan Penyelenggara
Penterjemah al-Qur’an, 1971, hlm. 862.
2
Akan tetapi ternyata Allah SWT. adalah Dzat Yang Maha Bijaksana
Lagi Maha Mengetahui. Allah telah mengikat antara laki-laki dan wanita
dengan sebuah ikatan cinta dan kasih sayang. Dengan demikian, daur
kehidupan akan terus berlangsung dengan makmur dari generasi ke generasi.
Mereka akan memakmurkan dunia ini dengan kelurga dan anak cucu yang
shalih dan shalihah.3 Jaminan kelangsungan hidup itu sebagaimana telah
dijelaskan Allah SWT. dalam surat al-Ru>m ayat 20-21 sebagai berikut:
ومن ءاياته أن خلق . ومن ءاياته أن خلقكم من تراب ثم إذا أنتم بشر تنتشرونا إليها وجعل بينكم مودة ورحمة إن في ذلك لكم من أنفسكم أزواجا لتسكنو
)٢٠–٢١:الروم(يتفكرون لآيات لقومArtinya: (20) Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak; (21) Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (QS. al-Ru>m: 20-21).4
Ungkapan kalimat “dari jenismu” dalam ayat di atas menunjukkan,
bahwa asal penciptaan dan kejadian laki-laki dan wanita adalah sama. Kecuali
pada bagian-bagian tertentu yang membedakan jenis laki-laki dan wanita. Di
antara bagian tertentu adalah ketetapan Allah pada tabiat masing-masing,
namun itupun untuk tujuan kaberlangsungan populasi jenis manusia.5
3 Syaikh Muhammad Ali ash-Shabuni, “az-Zawajul Islamil Mubakkir Sa’adah”, terj. Iklilah Muzayyanah Djunaedi, Hadiah untuk Pengantin, Jakarta: Mustaqim, 2001, hlm. 28-29.
4 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 644. 5 Syaikh Muhammad Ali ash-Shabuni, op. cit., hlm. 30.
3
Manusia adalah makhluk yang lebih dimuliakan dan diutamakan Allah
SWT. dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Allah telah
menetapkan adanya aturan tentang pernikahan bagi manusia dengan aturan-
aturan yang tiduak boleh dilanggar, manusia tidak boleh berbuat semaunya.
Allah tidak membiarkan manusia berbauat semanunya seperti binatang, nikah
lawan jenis semau-maunya atau seperti tumbuh-tumbuhan yang nikah dengan
perantaraan angin.6 Bentuk-bentuk aturan ini disebut “nikah” yang dalam al-
Qur’an, Allah menyebutnya mitsaqan ghalidhan atau perjanjian yang kuat.
Bentuk aturan ini telah memberikan jalan yang aman bagi naluri seks manusia,
memelihara aturan keturunan dengan baik dan menjaga kaum wanita agar
tidak laksana rumput, yang bisa dimakan binatang ternak dengan seenaknya.7
Allah SWT. telah memberikan batasan-batasan tentang hubungan biologis
manusia, sebagaimana Firman-Nya dalam surat al-Mu’minun ayat 5-7 sebagai
berikut:
إلا على أزواجهم أو ما ملكت أيمانهم فإنهم . والذين هم لفروجهم حافظونلومنيم رغي .تن ابون فمادالع مه فأولئك اء ذلكرى و٥ – ٧: املؤمنون(غ(
Artinya: Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya. kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas (QS. al-Mu’minun: 5-7).8
Berdasarkan ayat di atas dapat disimpulkan, bahwa seseorang hanya
diperbolehkan melakukan hubungan biologis kepada istrinya berdasarkan
6 Sa’id Thalib al-Hamdani, “Risalatun Nikah”, terj. Agus Salim, Risalah Nikah, Jakarta:
Pustaka Amani, 1989, hlm. 15. 7 Munir Ashari, Kado Perkawinan, Sumenep: Iman Bela, 2001, hlm. 3. 8 Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 526.
4
pernikahan yang sah, yaitu suatu pernikahan yang telah memenuhi ketentuan
syarat dan rukunnya.
Dalam agama Islam, pernikahan dianggap sah apabila terpenuhi syarat
dan rukunnya. Rukun nikah menurut Mahmud Yunus adalah bagian dari
hakikat pernikahan yang wajib dipenuhi. Kalau tidak dipenuhi pada saat nikah
berlangsung, maka pernikahan tersebut dianggap batal.9
Nikah adalah sebuah akad perjanjian sebagaimana akad-akad perjanjian
yang lainnya. Dia membutuhkan kerelaan dari kedua belah pihak, adanya
ucapan-ucapan ijab qabul, adanya saksi dan kerelaan wali. Akad nikah juga
memiliki beberapa ketentuan yang sangat menentukan sah tidaknya akad
tersebut. Di antara ketentuan yang dimaksud adalah adanya mahar (mas
kawin), nafkah dan papan sebagai tempat tinggal.10 Akad ini juga memiliki
beberapa syarat dan rukun, di antaranya adalah adanya ijab qabul. Menurut
Ahmad Rofiq dalam bukunya Hukum Islam di Indonesia, menjelaskan bahwa
syarat ijab qabul adalah tidak sedang dalam ihram haji/umrah.11
Dalam hal kedudukan hukumnya, orang yang menikah pada waktu
ihram ini, fuqaha berselisih pendapat sebagaimana ulama membolehkan dan
sebagian ulama yang lain melarangnya. Silang pendapat ini disebabkan oleh
adanya bermacam-macam hadits yang berkenaan dengan masalah ini.
9 Rahmar Hakim, Hukum Perkawinan Islam, Bandung: Pustaka satia, 2000, hlm. 82. 10 Syaikh Muhammad Ali ash-Shabuni, op. cit., hlm. 147. 11 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, hlm.
72.
5
Imam Syafi’i dalam kitabnya al-Umm berpendapat, bahwa orang yang
ihram itu tidak boleh nikah, tidak menikahkan, tidak meminang untuk dirinya
dan tidak pula untuk orang lain.12
Adapun dalil yang dijadikan pendiriannya adalah hadits yang
diriwayatkan dari Utsman ibn Affan ra. sebagai berikut:
عثمان بن عفان يقول قال رسول اهللا صلى اهللا عليه وسلم ال ينكح احملرم عن )رواه مسلم(وال ينكح وال خيطب
Artinya: Dari Utsman ibn Affan ra. katanya Rasulullah saw. bersabda: orang yang sedang ihram (muhrim) dilarang melakukan nikah, menikahkan dan dilarang mengkhitbah (melamar) (HR. Muslim)13
Sedangkan Imam Abu Hanifah dalam kitab al-Mabsu>th karya
Syasuddin Sarkhasi mengatakan, bahwa orang yang sedang ihram
diperbolehkan melakukan nikah, menikahkan dan menjadi wali nikah.14 Dalil
yang menjadi pendirtian beliau adalah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu
Abbas ra. sebagai berikut:
تزوج النيب صلى اهللا عليه وسلم وهو حمرم: ابن عباس رضي اهللا عنهماعنArtinya: Dari Ibn Abbas ra. Nabi saw. menikahi Maimunah ketika beliau
sedang ihram (HR. Bukhari).15
Dengan melihat pendapat-pendapat mengenai hukum nikah pada waktu
ihram, sementara hukum nikah pada waktu ihram sendiri masih terdapat silang
pendapat di kalangan fuqaha, maka penulis mencoba mengangkat suatu kajian
dari salah satu mazhab mengenai hukum nikah pada waktu ihram dalam
12 Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, al-Umm, Juz 5, Beirut: dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th., hlm. 260.
13 Imam Muslim, Shahi>h Muslim, Juz 1, Beirut: dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th., hlm. 590. 14 Syamsuddin al-Sarkhasi, al-Mabsu>th, Juz 3, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, t.th., hlm.
191. 15 Imam Abi Abdillah Muhammad ibn Ismail al-Bukhari, Shahi>h Bukha>ri, Juz 5,
Beirut: dar al-Kutub al-Ilmiah, 1992, hlm. 452.
6
bentuk skripsi, dan yang akan penulis angkat di sini adalah pendapat Imam
Syafi’i yang mana beliau melarang pernikahan yang dilakukan pada waktu
ihram, dengan judul “STUDI ANALISIS PENDAPAT IMAM SYAFI’I
TENTANG PERNIKAHAN PADA WAKTU IHRAM”.
B. Rumusan Masalah
Dengan memahami serta mempertimbangkan dasar pemikiran yang
tertuang dalam latar belakang masalah tersebut, maka penulis merumuskan
masalah dalam skripsi ini sebagai berikut:
1. Bagaimana pendapat Imam Syafi’i tentang pernikahan pada waktu ihram?
2. Bagaimana istinbath hukum Imam Syafi’i tentang pernikahan pada waktu
ihram?
C. Tujuan Penulisan Skripsi
1. Tujuan akademik
a. Memenuhi tugas dan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana
dalam ilmu syariah.
b. Memberikan sumbangsih pemikiran dalam ilmu hukum Islam.
2. Tujuan fungsional
a. Bagaimana pendapat Imam Syafi’i tentang pernikahan pada waktu
ihram.
7
b. Bagaimana istinbath hukum Imam Syafi’i tentang pernikahan pada
waktu ihram.
D. Kajian Pustaka
Telaah atau kajian pustaka secara garis besar merupakan proses yang
diakui untuk mendapatkan teori.16 Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan
(library research) dengan objek kajian pemikiran seorang tokoh pemikiran
hukum Islam yang hasil ijtihadnya banyak mewarnai kajian fiqih Islam di
Indonesia, yaitu Imam Syafi’i tentang pernikahan pada waktu ihram. Sesuai
dengan informasi dan kemampuan penulis yang sangat terbatas dalam
mengamati karya-karya untuk menghindari dari duplikasi penelitian yang
serupa, telah penulis lakukan dengan menelusuri dan mengamati beberapa
perpustakaan, maka hasilnya menunjukkan bahwa tidak ada satupun buku-
buku hasil penelitian atau karya ilmiah lain yang sama dengan penulis.
Adapun kitab-kitab atau buku-buku yang penulis jadikan rujukan dalam
penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
Pertama, Imam Muhammad ibn Idris al-Syafi’i dalam kitabnya al-Umm
mengemukakan pendapat bahwa orang yang sedang ihram dilarang untuk
melakukan nikah, menikahkan maupun mengkhitbah (melamar), baik untuk
dirinya maupun untuk orang lain.17
Kedua, Imam Abu Hanifah dalam kitab al-Mabsuth karya Syamsuddin
al-Sarkhasi, beliau mengemukakan bahwa seorang yang sedang ihram
16 Consvelo G. Sevilla, et. all., Pengantar Metodologi Penelitian, terj. Alimuddin Tuwu, Jakarta: UI Press, 1993, hlm. 31.
17 Muhammad ibn Idris al-Syafi’i, loc. cit.
8
diperbolehkan untuk melakukan nikah, menikahkan maupun menjadi wali
nikah.18
Ketiga, Imam al-Tsauri dalam kitab Bida>yah al-Mujtahid karya Ibnu
Rusyd, beliau mengemukakan, bahwa tidak mengapa orang yang berihram
melakukan nikah atau menikahkan.19
Keempat, Imam Ja’far Shadiq dalam bukunya Fiqih Lima Mazhab
karya Muhammad Jawad Mughniyah, berpendapat bahwa kalau orang ihram
mengadakan (melakukan) akad nikah dan dia tahu bahwa perbuatan itu
diharamkan, maka perempuan itu haram bagi lelaki yang ihram itu selama-
lamanya dengan semata-mata akad nikah, sekalipun belum mengetahuinya.
Tapi kalau tidak tahu bahwa hal itu haram, maka kemampuan perempuan itu
tidak haram baginya, sekalipun sudah disetubuhinya.20
Di samping kitab-kitab atau buku-buku di atas, penelitian yang
berkaitan dengan pernikahan sudah banyak dilakukan, di antaranya adalah
penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Yamlikhon dengan judul “Studi
Analisis Pendapat Ibnu Abidin dalam Kitab Radd al-Mukhtar tentang
Kebolehan Nikah pada Saat Ihram”. Dalam penelitiannya menjelaskan, bahwa
seorang yang sedang menjalankan ihram dibolehkan untuk melakukan
pernikahan.
18 Syamsuddin al-Sarkhasi, loc. cit. 19 Ibnu Rusyd, Bida>yah al-Mujtahid, terj. MA. Abdurrahman, et. al., Semarang: asy-
Syifa, 1990, hlm. 31. 20 Muhammad Jawad Mughniyah, “al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Khamsah”, terj. Masykur
A.B., et. al., Fiqih Lima Mazhab, Jakarta: Lentera Basritama, 2000, hlm. 235.
9
E. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara yang dipakai dalam mengumpulkan
data.21 Menyusun skripsi pada dasarnya merupakan upaya penelitian yang
menggunakan ilmiah yang diterapkan untuk menyelidiki masalah. Adapun
penelitian yang penulis lakukan termasuk dalam kategori penelitian
kepustakaan (library research) dengan menggunakan data-data tertulis.22
Metode yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Metode pengumpulan data
Karena jenis penelitiannya adalah library research, maka data-data
yang diperoleh terdiri dari:
a. Sumber data primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari sumber asli yang
memuat suatu informasi.23 Sumber data yang digunakan adalah kitab
al-Umm karya Muhammad Idris al-Syafi’i.
b. Sumber data sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dari sumber yang
bukan asli.24 Sumber data yang digunakan adalah:
1) al-Mabsu>th karya Syamsuddin al-Sarkhasi
2) Bida>yah al-Mujtahid karya Ibnu Rusyd
21 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Teori dan Praktek,
Jakarta: Rineka Cipta, 2002, hlm. 194. 22 Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 125. 23 Tatang M. Amin, Menyusun Rencana Penelitian, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995,
hlm. 13. 24 Ibid.
10
3) Fiqih Lima Mazhab karya Muhammad Jawad Mughniyah
4) Fiqih Sunnah karya Sayyid Sabiq
5) Risalah Fiqih Wanita karya Maftuh Ahnan
6) Hukum Islam di Indonesia karya Ahmad Rofiq
7) Pengantar Perbandingan Mazhab karya Huzaenah Tahido Yanggo
8) Dasar-dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami karya Mukhtar
Yahya
9) Sejarah dan Biografi Empat Imam Mazhab karya Ahmad al-
Syurbasi
10) Dan buku-buku atau kitab-kitab lain yang mempunyai korelasi
dengan penelitian ini.
2. Metode analisis data
Analisis data merupakan bagian yang amat penting dalam metode
ilmiah. Karena dengan menganalisis data tersebut dapat diberi arti dan
makna yang berguna dalam memecahkan masalah penelitian.25 Setelah
data-data tersebut terkumpul selanjutnya penulis susun secara sistematis
dan dianalisis. Untuk dapat menghasilkan kesimpulan yang benar dan
valid, maka metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah metode deskriptif,26 dengan analisis kualitatif,27 penulis
mendeskripsikan pandangan Imam Syafi’i dengan analisis secara
mendalam, sehingga diperoleh gambaran pemikiran Imam Syafi’i tentang
25 Muhammad Nazir, Metodologi Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998, hlm. 405. 26 Ibid., hlm. 63. 27 Analisas kualitatif pad dasarnya menggunakan pemikiran logis, analisis dengan logika
dengan induski, deduksi, analogi, komparasi dan sejenisnya. Lihat, Tatang M. Amirin, op. cit., hlm. 91.
11
konsep nikah pada waktu ihram dengan jelas. Untuk memperoleh
deskripsinya penulis juga mengkomparasikan pemikiran Imam Syafi’i
tersebut dengan pendapat ulama yang lain yang menarik perhatian pada
pelaksanaan nikah pada waktu ihram, sehingga mudah untuk
mengkomposisikan pendapat Imam Syafi’i ini dalam khasanah pemikiran
yang berkembang dalam dunia Islam.
Adapun langkah-langkah yang penulis gunakan adalah sebagai
berikut:
Pertama, penulsiu mencari pokok-pokok permasalahan dengan
indikasi-indikasi dalam landasan berpijak. Langkah ini penulis ambil
dengan cara membaca kitab-kitab, buku-buku karya imam-imam mujtahid
melalui sebuah pembahasan deskriptif, sedangkan permasalahan yang
berkaitan dengan pendapat Imam Syafi’i tentang pernikahan pada waktu
ihram akan penulis tuangkan dalam Bab III, sehingga pembahasannya
tidak melalui deskriptif komparatif, akan tetapi melalui deskriptif objektif.
Kedua, setelah data-data tersebut di atas dapat disajikan secara
menyeluruh, maka penulis mencoba membahas dan menganalisa secara
keseluruhan, sehingga pada titik final penulis menyimpulkan dengan
memilih pendapat yang paling kuat dasar hukumnya dengan alasan-alasan
yang melatar belakanginya.
12
F. Sistematika Penulisan Skripsi
Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab. Masing-masing bab
membahas permasalahan yang diuraikan menjadi beberapa sub bab. Antara
satu bab dengan bab yang lainnya saling berhubungan dan terkait erat. Adapun
sistematikanya dapat penulis rumuskan sebagai berikut:
Bab I Merupakan pendahuluan, yang isinya meliputi: latar belakang
masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan skripsi, kajian
pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi.
Bab II Merupakan tinjauan umum tentang pernikahan dan ihram,
meliputi: pengertian nikah, dasar hukum nikah syarat dan rukun
nikah, nikah yang terlarang, pengertian ihram, dasar hukum ihram,
macam-macam ihram dan hal-hal yang diharamkan dalam ihram.
Bab III Merupakan pendapat Imam Syafi’i tentang pernikahan pada waktu
ihram, yang meliputi: biografi Imam Syafi’i, istinbath hukum
Imam Syafi’i dan pendapat Imam Syafi’i tentang pernikahan pada
waktu ihram.
Bab IV Merupakan analisis pendapat Imam Syafi’i, meliputi analisis
pendapat Imam Syafi’i tentang pernikahan pada waktu ihram dan
analisis istinbath hukum Imam Syafi’i tentang pernikahan pada
waktu Ihram.
Bab V Merupakan penutup, meliputi: kesimpulan, saran-saran dan
terakhir adalah penutup.