bab i pendahuluan a. latar belakang...

143
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Modernisasi, 1 disadari atau tidak ternyata telah merambah dan menanamkan pengaruh kuat di seluruh penjuru dunia. Modernisasi ini ditandai dengan adanya penghargaan yang tinggi terhadap kemampuan rasio yang kemudian melahirkan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Kemajuan tersebut diaplikasikan dalam “industrialisasi”, yaitu penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi terapan secara besar-besaran dengan menggunakan tenaga permesinan. Fenomena yang lahir di Barat tersebut kemudian mendunia, sehingga menuntut semua negara untuk mampu mengejar ketinggalannya dengan mengubah alur dari negara agraris menuju negara industri, tak terkecuali Indonesia yang kini sedang dalam masa transisi. Proses modernisasi bagi negara berkembang seperti Indonesia mengandung unsur perjuangan mencapai taraf hidup yang lebih tinggi. Apalagi adanya kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa kemakmuran material mempunyai akibat pada bidang-bidang seperti sosial politik, pertahanan, dan lain-lain. 1 Istilah “Modern” berasal dari Barat yang dalam bahasa Indonesia bisa diartikan terbaru atau mutakhir. Zaman modern secara historis berawal dari lemahnya pengaruh filsafat skolastik (abad pertengahan). Kira-kira abad 14, pada masa itu pengaruh gereja sangat kuat dalam segala hal. Kemudian pada abad 15-16 muncul renaissance (kelahiran kembali), yaitu suatu gerakan yang meliputi suatu zaman dimana orang merasa dirinya telah lahir kembali dalam keadaban. Pada masa ini kajian filsafat diarahkan pada dunia dan diri sendiri (hal-hal yang konkrit). Sehingga manusia merasa bebas terhadap segala kuasa dan tradisi. Dan dari sinilah filsafat jauh dari agama. Kemudian yang muncul adalah zaman yang mengedepankan rasionalitas (IPTEK). Lihat, Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Jakarta: Kanisius, 1980, hlm. 1-5

Upload: voxuyen

Post on 30-Jul-2018

230 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Modernisasi,1 disadari atau tidak ternyata telah merambah dan

menanamkan pengaruh kuat di seluruh penjuru dunia. Modernisasi ini ditandai

dengan adanya penghargaan yang tinggi terhadap kemampuan rasio yang

kemudian melahirkan kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan dan

teknologi. Kemajuan tersebut diaplikasikan dalam “industrialisasi”, yaitu

penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi terapan secara besar-besaran

dengan menggunakan tenaga permesinan. Fenomena yang lahir di Barat

tersebut kemudian mendunia, sehingga menuntut semua negara untuk mampu

mengejar ketinggalannya dengan mengubah alur dari negara agraris menuju

negara industri, tak terkecuali Indonesia yang kini sedang dalam masa transisi.

Proses modernisasi bagi negara berkembang seperti Indonesia mengandung

unsur perjuangan mencapai taraf hidup yang lebih tinggi. Apalagi adanya

kenyataan yang tak dapat dipungkiri bahwa kemakmuran material mempunyai

akibat pada bidang-bidang seperti sosial politik, pertahanan, dan lain-lain.

1 Istilah “Modern” berasal dari Barat yang dalam bahasa Indonesia bisa diartikan terbaru

atau mutakhir. Zaman modern secara historis berawal dari lemahnya pengaruh filsafat skolastik (abad pertengahan). Kira-kira abad 14, pada masa itu pengaruh gereja sangat kuat dalam segala hal. Kemudian pada abad 15-16 muncul renaissance (kelahiran kembali), yaitu suatu gerakan yang meliputi suatu zaman dimana orang merasa dirinya telah lahir kembali dalam keadaban. Pada masa ini kajian filsafat diarahkan pada dunia dan diri sendiri (hal-hal yang konkrit). Sehingga manusia merasa bebas terhadap segala kuasa dan tradisi. Dan dari sinilah filsafat jauh dari agama. Kemudian yang muncul adalah zaman yang mengedepankan rasionalitas (IPTEK). Lihat, Harun Hadiwijoyo, Sari Sejarah Filsafat Barat 2, Jakarta: Kanisius, 1980, hlm. 1-5

2

Sebaliknya kemunduran ekonomi selalu berdampak pada lemahnya bidang-

bidang tersebut.2

Kondisi demikian memunculkan masyarakat yang sering

dikonotasikan sebagai masyarakat yang telah memiliki kesadaran pragmatis-

materialistik dan rasional serta diidentifikasikan sebagai masyarakat yang

telah mencapai kemajuan IPTEK.3 Mereka lebih mempercayai kemampuan

rasio dan kebenaran teori ilmiah daripada pengetahuan religius. Banyak orang

menyangka dengan modernisasi itu akan memberikan kesejahteraan dan

kemakmuran. Mereka lupa bahwa dibalik modernisasi yang serba gemerlap

materi yang menggiurkan itu terdapat gejala yang dinamakan “the agony of

modenization”, yaitu azab sengsara modernisasi.4 Suasana hidup yang

demikian dalam konteks Indonesia dapat dilihat di kota-kota besar, seperti

Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Semarang. Suasana hidup hobbesian

(penindasan yang kuat terhadap yang lemah) sangat dirasakan dalam

kehidupan kota, sehingga terbuktilah pernyataan Thomas Hobbes bahwa

manusia yang satu terhadap manusia yang lain bertindak seperti srigala (homo

homini lopus).5

Masyarakat modern ini sangat mendewa-dewakan ilmu pengetahuan

dan teknologi, sementara pemahaman keagamaan yang berdasarkan wahyu

2 Nurcholish Madjid, Islam, Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992, hlm.

458 3 Komaruddin Hidayat dan Muh. Wahyuni Nafis, Agama Masa Depan Perspektif Filsafat

Perenial, Jakarta: Paramadina, 1995, hlm. 3 4 Dadang Hawari, Ilmu Kedokteran Jiwa dan Kesehatan Jiwa, Yogyakarta: Dana Bhakti

Prima Yasa, 1999, hlm. 3 5 Amien Rais, Tauhid Sosial Formulasi Menggempur Kesenjangan, Bandung: Mizan,

1998, hlm.101

3

ditinggalkan dan hidup dalam keadaan sekular. Mereka cenderung mengejar

kebutuhan materi dan bergaya hidup hedonis daripada memikirkan agama

yang dianggap tidak memberikan peran apapun.

Masyarakat demikian telah kehilangan visi keilahian yang tumpul

penglihatannya terhadap realitas hidup dan kehidupan. Kemajuan-kemajuan

yang terjadi telah merambah dalam berbagai aspek kehidupan, baik sosial,

ekonomi, budaya dan politik. Kondisi ini mengharuskan individu untuk

beradaptasi terhadap perubahan-perubahan yang terjadi secara cepat dan pasti.

Padahal dalam kenyataannya, tidak semua individu mampu melakukannya,

sehingga yang terjadi justru masyarakat atau manusia yang menyimpan

banyak problem.

Simbol-simbol zaman modern yang ditampakkan oleh peradaban kota

dengan tingkat mobilitas yang tinggi dan perubahan lingkungan yang cepat

menimbulkan kesenjangan antara manusia dan lingkungan sosialnya. Realitas

ini kemudian memunculkan penggambaran yang variatif atas kondisi manusia

modern yang sarat dengan problem psikis. Tokoh psikologi humanis, Rollo

May6 mengistilahkan manusia modern sebagai “manusia dalam kerangkeng”,

yaitu manusia yang sudah kehilangan makna hidup. Ia selalu dilanda

keresahan dan tidak mampu memilih jalan hidup yang diinginkan. Para

6 Rollo May adalah salah seorang tokoh Konseling Psikoterapi Eropa. Menurutnya,

psikoterapi dan konseling diarahkan pada menolong orang agar bisa menemukan makna hidup dan menyelesaikan problem. Terapis perlu menolong pribadi untuk mencari jalan keluar agar mencapai hidup lebih baik, mengarahkan perhatiannya dalam diri umat manusia, termasuk dalam nilai-nilai yang membuat hidup itu bermakna. Apabila pribadi kandas dalam memahami nilai-nilai ini, maka terapis dianggap gagal menjalankan misinya. Lihat, Gerald Corey, Teori dan Praktek Konseling dan Psikoterapi, Semarang: IKIP Semarang Press, 1995, hlm. 247

4

sosiolog menyebut keadaan manusia modern ini sebagai gejala keterasingan

(alienasi).7

Manusia modern juga dianggap telah keluar dari eksistensinya.

Akibatnya, yang muncul adalah manusia-manusia yang frustasi, stress,

powerlessness, cemas, ketakutan, putus asa, bahkan sampai pada taraf psikosis

atau neurosis. Zaman modern ini juga ditandai dengan perilaku-perilaku

menyimpang, seperti bunuh diri, korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) dan

berbagai tindakan kriminal lainnya yang menyebabkan dehumanisasi.

Perilaku buruk manusia modern tidak cukup dipuaskan dengan menindas dan

menghancurkan sesamanya, namun juga dilampiaskan terhadap alam.

Manusia berusaha menaklukkan dunia secara tanpa batas. Alam dipandang tak

lebih dari objek dan sumber daya yang perlu dimanfaatkan dan diekploitasi

semaksimal mungkin. Manusia modern memperlakukan alam sama dengan

pelacur, mereka menikmati dan mengeksploitasi untuk kepentingan dirinya

tanpa mempunyai rasa kewajiban dan tanggung jawab apapun.8 Semua yang

terjadi merupakan konsekuensi dari modernisasi yang menyebabkan

perubahan-perubahan sosial dan interaksi sosial budaya yang serba cepat, di

mana individu dan masyarakat cenderung melakukan pengingkaran terhadap

Tuhannya. Hal ini sesuai Firman Allah dalam surat al-Hadid ayat 20 sebagai

berikut:

7 Ahmad Najib Burhani (ed.), Manusia Modern Mendamba Allah Renungan Tasawuf

Positif, Jakarta: Hikmah, 2002, hlm. 168 8 Budi Munawar Rachman, Tradisionalisme Nasr: Eksposisi dan Refleksi Laporan

Seminar Sayyed Husain Nasr, Jurnal Ulumul Qur’an, No. V/4/1993, hlm.107

5

لهو وزينة وتفاخر بينكم وتكاثر في األموال واألوالد كمثل غيث اعلموا أنما الحياة الدنيا لعب و

أعجب الكفار نباته ثم يهيج فتراه مصفرا ثم يكون حطاما وفي اآلخرة عذاب شديد ومغفرة من الله

)٢٠: احلديد(.وان وما الحياة الدنيا إال متاع الغرورورض

Artinya: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak seperti air hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan petani, kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian hancur. Dan di akherat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu”. (Q.S. al-Hadid : 20)9

Ayat diatas menunjukkan bahwa adanya kecenderungan sifat manusia

cinta berlebihan terhadap dunia (harta benda), sehingga tidak mengherankan

dalam kehidupan modern ini mereka sulit menemukan kehidupan bermakna

yang penuh dengan nilai-nilai agama. Lantas dimanakah peran agama dalam

mencegah dan mengobati problem manusia?.

Banyak tawaran yang kemudian muncul seperti melalui perdukunan,

aliran-aliran kebatinan, kelompok-kelompok ahli yoga yang memperoleh

pasaran di Barat, yang lebih terarah pada pencarian spiritualitas tanpa

agama.10 Sementara agama sendiri selama ini cenderung ditinggalkan

masyarakat karena sudah tidak menjanjikan kemajuan. Sigmund Freud11

9 Soenarjo dkk., Al-Qur’an ..., op. cit., hlm. 903 10 Perdukunan dalam psikologi agama termasuk aliran klenik yang artinya segala sesuatu

yang berhubungan dengan kepercayaan akan hal-hal yang mengandung rahasia dan menyimpang dan tidak masuk akal. Ini termasuk tingkah laku keagamaan yang menyimpang. Biasanya orang-orang yang masuk ke dalam aliran ini, karena kekosongan spiritual dan penderitaan rendah akan kesadaran agamanya serta cenderung kehilangan pegangan hidup. Lihat, Jalaluddin, Psikologi Agama, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 253

11 Menurut Freud, libido sexuil (naluri sek) merupakan sumber jiwa keagamaan yang muncul pada diri seseorang. Agama muncul setelah peristiwa Oedipus Complex Mitos Yunani kuno yang menceritakan karena kecintaan berlebihan kepada ibunya, akhirnya Oedipus membunuh

6

menganggap agama sebagai gejala “neurosis obsesi” yang universal, atau

bagi Karl Max agama adalah candu masyarakat.12

Segudang permasalahan yang dihadapi manusia modern, menuntut

untuk dicari jalan keluar. Kebiasaan yang terjadi, mereka lari ke sebuah

kegiatan bimbingan konseling, dan sekarang pun telah muncul tasawuf

sebagai salah satu disiplin ilmu keislaman tradisional yang mencoba

menawarkan solusi terhadap permasalahan manusia.

Pendukung tasawuf sebagai solusi terhadap problem manusia, salah

satunya adalah Sayyed Husein Nasr. Menurut Nasr krisis dunia modern

bersumber dari Barat sejak zaman renaisans dan menyebar ke bagian lain

muka bumi, di mana sejak saat itu manusia adalah makhluk bebas yang

independen dari Tuhan dan alam. Manusia membebaskan diri dari tatanan

illahiyah (divine order) untuk selanjutnya membangun tatanan antrophomorfis

tatanan yang semata-mata berpusat pada manusia yang mengakibatkan putus

dari spiritualitas.13 Selama ini manusia dilanda kehampaan spiritual karena

kemajuan yang pesat dalam lapangan ilmu dan filsafat – yang ternyata

keduanya - tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia akan nilai-nilai

transenden. Selain Nasr, kita juga mengenal tokoh lain yang menggagas

ayahnya. Peristiwa tersebut menimbulkan rasa bersalah (sense of guilt ) dilanjutkan dengan image father (citra Ayah). Rasa bersalah ini menumbuhkan ide untuk menembus kesalahan dengan melakukan upacara pemujaan. Berbagai tahapan ini yang kemudian membawa Freud berkesimpulan bahwa agama muncul dari ilusi (khayalan) manusia. Lihat, Ibid., hlm. 55-56

12 Karl Marx (1818-1883), pencetus gerakan sosialis internasional. Sosiologi Marx didasarkan pada dua asumsi utama, yaitu: (1) kegiatan ekonomi sebagai faktor penentu utama kegiatan masyarakat, (2) Ia melihat masyarakat manusia terutama dari sudut konflik sepanjang sejarah. Berdasarkan asumsi tersebut dunia hanya merupakan ladang eksploitasi dan penindasan, tidak ada konsensus / kerja sama. Sehingga agama dianggap sebagai sesuatu yang didakwahkan oleh para penindas untuk menciptakan tujuan mereka sendiri. Lihat, Ilyas Ba-Yunus-Farid Ahmad, Sosiologi Islam dan Masyarakat Kontemporer, Bandung: Mizan, t.th., hlm. 22-23

13 Budi Munawar Rachman, loc. cit.

7

tasawuf modern, seperti Fazlur Rahman14 dan Iqbal.15 Sedangkan di Indonesia

kita mengenal Hamka,16 Simuh17 dan Amin Syukur.

Amin Syukur berpendapat bahwa pada mulanya tasawuf bersifat pasif

dan lebih menekankan pada dimensi filosofis. Tetapi, tambahnya, tanggung

jawab tasawuf pada masa sekarang dituntut aktif dalam memecahkan semua

problem kehidupan modern, seperti kehampaan spiritual, dekantasi moral,

persoalan politik, pluralisme agama dan intelektual.18 Tanggung jawab

tersebut menuntut kontekstualisasi ajaran tasawuf yang lebih humanis, empiris

dan fungsional yang lebih menekankan pada penghayatan ajaran Islam, bukan

fokus pada kajian tentang Tuhan.

Menurutnya, tasawuf bagi manusia sekarang ini sebaiknya lebih

ditekankan pada tasawuf sebagai akhlak, yaitu ajaran-ajaran mengenai moral

yang hendaknya diterapkan dalam kehidupan sehari-hari guna memperoleh

kebahagiaan optimal. Tasawuf ini bertujuan membentuk watak manusia yang

14 Menampilkan neo-sufisme, yaitu sufisme yang cenderung menimbulkan aktivisme

ortodok dan menanamkan kembali pada sikap positif pada dunia. Lihat, Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhammad, Bandung, Pustaka, 1984, hlm. 132

15 Cendekiawan muslim Pakistan ini bependapat bahwa Islam menolak konsep lama bahwa alam bersifat statis ia mempertahankan konsep dinamisme yang mengakui perubahan dalam kehidupan sosial manusia, sehingga tasawuf yang diartikan mengasingkan diri dari dunia tidak berlaku baginya. Lihat, Harun Nasution, Gerakan Pembaharuan dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, t.th., hlm. 192

16 Menurut Hamka, bahwa zuhud bersifat dinamis, bekerja keras untuk memperoleh kenikmatan dunia dengan tidak melupakan Tuhan dan bukan mencari harta untuk kesempurnaan harta itu sendiri, namun untuk kesempurnaan jiwa. Lihat, Hamka, Tasawuf Modern, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1987, hlm. 48 dan dalam Muhammad Damami, Tasawuf Positif; Telaah Pemikiran Hamka, Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000.

17 Dengan modern yang didominasi oleh sikap kritis, sekuler dan pragmatis harus diimbangi dengan pembinaan rasa etis. Tasawuf Islam yang menekankan pada sikap ihsan dapat menjadi sarana bagi pembinaan alam pikir manusia yang dicemari oleh paham sekuleris dan paham legalistik. Lihat, Simuh, Sufisme Jawa; Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, Yogyakarta: Yayasan Bentang Budaya, 1999, hlm. 35-36

18 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf dan Sufisme; Tanggung Jawab Abad 21, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, hlm. 112

8

memiliki sikap mental dan perilaku baik, memiliki etika dan sopan santun

baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun terhadap Tuhan.19 Amin Syukur

berpendapat bahwa tasawuf akhlaqi dapat diwujudkan dalam bentuk redefinisi

terhadap zuhud yang tidak hanya sebatas maqam, namun juga sebagai

moralitas Islam. Mengubah alur ajaran sosial tasawuf al-Futuwwah (sikap

kepahlawanan), dan al-Itsar (sikap mementingkan orang lain) yang selama ini

terbatas pada sikap kesalehan pribadi, kepada tingkatan kesalehan sosial.20

Selain tasawuf sebagai jalan untuk mencari pemecahan masalah,

manusia juga berusaha mencari penyelesaian melalui bimbingan konseling.

Istilah bimbingan dan konseling sering dipandang sama, tidak memiliki

perbedaan fundamental, namun ada pendapat yang menyatakan keduanya

berbeda, baik dasar-dasarnya maupun cara kerjanya. Pandangan ini

menganggap konseling lebih identik dengan psikoterapi, sedang bimbingan

identik dengan pendidikan.21

Bimbingan merupakan proses pemberian bantuan yang dilakukan oleh

seorang ahli kepada individu dengan menggunakan sarana yang ada,

berdasarkan norma-norma yang berlaku, sedangkan konseling adalah proses

pemberian bantuan yang dilakukan melalui wawancara konseling oleh seorang

ahli (konselor) kepada individu yang sedang mengalami suatu masalah (klien)

yang bermuara pada teratasinya masalah yang dihadapi klien. Bimbingan

konseling memiliki dua tujuan, yaitu tujuan umum dan khusus. Tujuan umum

19 Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual; Solusi Problem Manusia Modern, Yogyakarta:

Pustaka, 2003, hlm. 1-2 20 Amin Syukur, Menggugat ..., op. cit., hal. 88 21 M. Surya, Dasar-Dasar Konseling Pendidikan; Teori dan Praktek, Yogyakarta: Kota

Kembang, 1988, hlm. 23

9

adalah untuk membantu individu mengembangkan diri secara optimal sesuai

dengan tahap perkembangan dan predisposisi yang dimiliki, berbagai latar

belakang dan tuntutan positif lingkungannya, sedangkan tujuan khusus

disesuaikan dengan kondisi individu masing-masing yang satu dengan lainnya

berbeda.22

Dalam perkembangannya bimbingan dan konseling tidak bisa lepas

dari nilai-nilai spiritual. Karena hanya dengan mengandalkan psikologi

sebagai ilmu yang mempelajari psikis manusia belum mampu mencapai hasil

yang maksimal. Spiritualitas dalam bimbingan dan konseling merupakan

suatu keharusan, sebab manusia tidak hanya sebagai makhluk bio-psikososial,

namun juga sebagai makhluk yang bertuhan. Bimbingan dan konseling

religius telah disadari sebagai hal penting oleh banyak pakar konseling, baik

Barat maupun Indonesia. Hal ini didasarkan pada suatu kenyataan bahwa

dalam memasuki kehidupan yang bertujuan akhir memperoleh kebahagiaan

dunia akherat, individu cenderung untuk menata kehidupan berlandaskan

nilai-nilai spiritual.23

Berkaitan dengan bimbingan konseling religius pada dasarnya semua

agama memiliki pola-pola bimbingan dan konseling yang berbeda-beda dalam

usaha mengatur pemeluknya tentang bagaimana menghadapi kehidupan di

dunia dan akherat. Hal ini didasarkan pada nilai atau norma yang bersumber

dari Tuhan (kitab suci). Demikian juga dalam bimbingan konseling Islam

22 Priyatno dan Ermananti, Dasar-Dasar Bimbingan Konseling, Jakarta: Rineka Cipta,

1999, hlm. 99-105 23 Ali Murtadlo, Bimbingan & Konseling Islam Perspektif Sejarah, Jurnal Ilmu Dakwah,

vol. 22 No. 1 Januari-Juni, 2002, hlm. 88

10

yang merupakan proses pemberian bantuan terhadap individu agar mampu

hidup selaras dengan ketentuan dan petunjuk Allah, sehingga mencapai

kebahagiaan hidup dunia dan akherat.24

Upaya manusia dalam mencari pemecahan masalah melalui tasawuf

dan konseling merupakan hal yang sangat menarik dan memungkinkan

dilakukan sintesa antara keduanya. Apalagi menurut Iqbal yang dibutuhkan

masyarakat modern adalah etika yang mampu menyiapkan manusia untuk

memikul tanggung jawab akan kemajuan IPTEK modern, memuliakan sikap

keimanan dan menciptakan kepribadian untuk masa sekarang dan

selanjutnya.25

Dari latar belakang pemikiran di atas, peneliti terdorong untuk

mengkaji lebih mendalam terhadap pemikiran guru besar tasawuf IAIN

Walisongo, yaitu Amin Syukur serta mengangkatnya menjadi judul skripsi:

SOLUSI TASAWUF AMIN SYUKUR ATAS PROBLEM MANUSIA MODERN

( ANALISIS BIMBINGAN KONSELING ISLAM ).

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan maka muncul permasalahan

sebagai berikut:

1. Bagaimana konsep tasawuf M. Amin Syukur dalam memberikan solusi

atas problem manusia modern?

24 Ainur Rahim Faqih, Bimbingan Konseling dalam Islam, Yogyakarta: UII Press, 2001,

hlm. 5 25 Danusiri, Epistemologi dalam Tasawuf Iqbal, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, hlm.

36

11

2. Bagaimana analisis solusi tasawuf M. Amin Syukur problem manusia

modern dalam perspektif bimbingan konseling Islam (BKI)?.

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak

dicapai dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mendeskripsikan konsep tasawuf M Amin Syukur dalam

memberikan solusi tentang problem manusia modern.

2. Untuk mendeskripsikan analisis solusi tasawuf M. Amin Syukur problem

manusia modern dalam perspektif bimbingan konseling Islam (BKI).

D. Signifikansi Penelitian

1. Secara teoritis

a. Penelitian ini diharapkan mampu menambah khasanah ilmu yang

berkaitan dengan bimbingan konseling Islam di Fakultas Dakwah

IAIN Walisongo.

b. Memperluas cakrawala pengetahuan tentang konseling bagi peneliti

khususnya dan mahasiswa Fakultas Dakwah pada umumnya.

2. Secara Praktis

Menambah wawasan tentang tasawuf sebagai salah satu disiplin keilmuan

Islam tradisional yang mampu menawarkan solusi bagi permasalahan

hidup manusia.

E. Tinjauan Pustaka

12

Dari hasil survey kepustakaan di Fakultas Dakwah IAIN Walisongo

Semarang, penelitian yang bertema konsep tasawuf M. Amin Syukur sudah

dilakukan oleh tiga orang peneliti.

Penelitian pertama dilakukan oleh Joko Tri Haryanto (KPI/2001) yang

berjudul Aspek Sosial Pemikiran Tasawuf Prof. Dr. Amin Syukur, MA. dalam

Kajian Dakwah. Penelitian ini mencoba mencari nilai-nilai sosial tasawuf

Amin Syukur yang berguna bagi pelaksanaan dakwah serta aplikasinya dalam

dakwah. Penelitian kedua oleh Dimiyati (KPI/2003) dengan judul Study

Analisis Terhadap Dakwah Prof. Amin Syukur, MA. dalam Rubrik Tasawuf

Interaktif di Suara Merdeka Edisi Januari-Desember 2001. Dalam penelitian

ini lebih dicurahkan pada sejauhmana aspek dakwah yang ada pada setiap

rubrik tasawuf interaktif yang dibina langsung oleh Amin Syukur. Kemudian

penelitian selanjutnya berjudul Pemikiran Prof. Amin Syukur, MA. tentang

Tasawuf Sosial dan Implikasinya Terhadap Kesehatan Mental oleh M.

Sholahudin (BPI/2003). Penelitian ini menjabarkan tentang konsep-konsep

tasawuf sosial Amin Syukur serta peran dan pengaruhnya dalam membentuk

kesehatan mental.

Sementara dalam penelitian ini penulis berangkat dari sebuah

fenomena sosial masyarakat yang kini sedang menjalani kehidupan di era

modern, dengan perubahan-perubahan sosial yang cepat dan komunikasi tanpa

batas; dimana kehidupan berorientasi pada materialistik sekularistik,

rasionalistik dengan kemajuan IPTEK di segala bidang. Kondisi ini ternyata

13

tidak selamanya memberikan kesejahteraan, tetapi justru menjadi abad

kecemasan (The Age of Anxienty).

Bagi masyarakat kita, kehidupan semacam ini sangat terasa di daerah-

daerah perkotaan. Kondisi tersebut memaksa tiap individu untuk beradaptasi

dengan cepat, padahal banyak orang yang tidak mampu untuk itu. Akibatnya

yang muncul adalah individu-individu yang menyimpan berbagai problem

psikis dan fisik, dengan demikian dibutuhkan cara efektif untuk mengatasinya.

Berbicara masalah solusi, kini muncul kecenderungan masyarakat

untuk mengikuti kegiatan-kegiatan spiritual (tasawuf). Tasawuf sebagai inti

ajaran Islam muncul dengan memberi solusi bagi problem manusia dengan

cara mendekatkan diri kepada Sang Khalik. Selain itu, berkembang pula

kegiatan konseling yang memang bertujuan membantu seseorang

menyelesaikan masalah.

Peluang yang diberikan tasawuf dan konseling dalam memberikan

solusi atas problem manusia memungkinkan peneliti untuk melakukan

analisisterhadap solusi tasawuf atas problem manusia dalam perspektif

konseling islam, terfokus pada pemikiran Amin Syukur seorang guru besar

tasawuf IAIN Walisongo sendiri. Argumen-argumen tersebut menunjukan

perbedaan yang mendasar antara penelitian ini dengan penelitian-penelitian

sebelumnya.

F. Metode Penelitian

1. Jenis dan Pendekatan Penelitian

14

a. Jenis Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis kualitatif, karena data-data yang

disajikan berupa pernyataan-pernyataan.

b. Pendekatan Penelitian

Berkaitan dengan judul yang diangkat, maka diperlukan

pendekatan-pendekatan yang diharapkan mampu memberikan

pemahaman yang mendalam dan komprehensif. Untuk itu beberapa

pendekatan yang digunakan adalah :

1. Pendekatan Filosofis

Pendekatan ini digunakan dalam konteks filsafat yang

mengacu pada hakekat manusia. Dengan landasan bahwa manusia

diciptakan dalam kondisi fitrah, memiliki naluri keagamaan

(memiliki nilai Ilahiyah), di samping naluri manusia sebagai

makhluk itu sendiri. Sehingga atas dasar inilah manusia dipandang

sebagai manusia secara utuh, yaitu manusia yang memiliki bio-

psikososio-religious.

2. Pendekatan Sosiologis

Manusia adalah makhluk sosial yang hidup pada suatu

masyarakat tertentu. Untuk memahami manusia seutuhnya

diperlukan pendekatan sosiologis ini, sehingga permasalahan

sosial individu dapat diketahui secara rinci, baik penyebab dan

kemungkinan solusinya.

3. Pendekatan Psikologis

15

Berkaitan dengan pembahasan solusi tasawuf atas problem

manusia modern dan analisisnya dalam perspektif BKI,

pengetahuan tentang jiwa manusia mutlak diperlukan. Dengan

pendekatan ini kita dapat mengetahui kondisi psikologis manusia

dan upaya penjernihan jiwa untuk dapat hidup sebagaimana

mestinya.

2. Penegasan Istilah

Untuk menghindari kesalahpahaman, maka dirasa perlu

menguraikan definisi variable judul sebagai penegasan istilah dari judul

penelitian. Ada tiga kata kata kunci yang perlu adanya kesepahaman dalam

penelitian ini, yaitu:

a. Tasawuf

Tasawuf dalam pengertian ini tidak lagi sebatas ajaran tentang

dimensi theofilosofis, akan tetapi tasawuf akhlaqi, yaitu ajaran

mengenai moral atau akhlak yang hendaknya diterapkan dalam

kehidupan sehari-hari guna mendapatkan kebahagiaan optimal.

Tasawuf ini bertujuan membentuk etika dan sopan santun, baik

terhadap diri sendiri, lingkungan dan Tuhan.26

b. Manusia Modern

Manusia modern merupakan bagian dari masyarakat modern

yang memiliki beberapa ciri. Pertama, berkembangnya mass cultere

karena pengaruh mass media, sehingga kultur tidak lagi bersifat lokal,

26 Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual ..., loc. cit.

16

melainkan nasional bukan global. Kedua, tumbuhnya sikap hidup yang

lebih mengakui kebebasan bertindak menuju perubahan masa depan.

Ketiga, tumbuhnya berfikir rasional. Keempat, tumbuhnya sikap hidup

materialistik. Kelima, meningkatnya laju urbanisasi.27 Secara lebih

rinci penggambaran manusia modern dikemukakan sebagai berikut:

1) Kemajuan di bidang teknologi tinggi canggih.

2) Kepesatan perkembangan ilmu pengetahuan.

3) Kebebasan berfikir dan bertindak.

4) Kehidupan yang lebih individualistik-materialistik.

5) Kecepatan komunikasi transformasi.

6) Keluasaan jaringan informasi.

7) Pelecehan-pelecehan nilai-nilai dan pendangkalan (penyempitan

peran agama yang bermuara pada doktrin agama adalah urusan

pribadi masing-masing)28

Manusia modern dengan ciri-ciri demikian akan lebih mudah

kita temui di kota-kota besar dibandingkan di desa.

c. Analisis Bimbingan Konseling Islam

Kegiatan bimbingan konseling pada dasarnya merupakan

bantuan yang berikan seseorang ahli kepada klien agar ia mampu

mengatasi problem yang dialaminya.29 Berkaitan dengan ini, maka

dilakukan penelitian ini adalah melihat sejauh mana urgesi tasawuf

27 Amin Syukur, zuhud ..., op. cit., hlm. 177 28 Alie Yafie, Teologi Sosial; Telaah Kritis Persoalan Agama dan Kemanusiaan,

Yogyakarta: LPKSM, 1997, hlm. 65 29 Prayitno dan Erman Anti, Dasar Dasar......., Op.cit.hlm 22

17

Amin Syukur dalam mengatasi masalah manusia modern. Selain itu

dilakukan upaya menjadikan tasawuf sebagai materi dalam bimbingan

konseling Islam, yang bertujuan membantu klien agar dapat hidup

sesuai petunjuk Allah dan mencapai kebahagiaan dunia akherat.

3. Sumber Data

Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini terbagi dalam sumber

primer dan sekunder.

a. Sumber Primer

Yaitu data utama penelitian yang berisi pendapat dari Amin

Syukur tentang tasawufnya yang diperoleh melalui buku-buku

karyanya. Buku-buku tersebut adalah Menggugat Tasawuf dan Sufisme

Abad 21, Zuhud di Abad Modern, Intelektualisme Tasawuf; Telaah

Kritis Tsawuf al-Ghazali, Tasawuf Kontekstual: Solusi Problem

Manusia Modern, Pengantar Studi Islam serta Tasawuf dan Krisis

merupakan kumpulan makalahyang bertemakan tasawuf yang ditulis

oleh beberapa tokoh termasuk Amien Syukur dalam tulisan yang

berjudul Masa Depan Tasawuf.

b. Sumber Sekunder

Merupakan data pendukung penelitian yang bisa menambah

penjelasan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan penelitian, misalnya

al-Qur’an dan buku-buku lain yang relevan dengan masalah yang

dibahas.

4. Teknik Pengumpulan Data

18

Data-data yang dibutuhkan dalam penelitian ini diperoleh dengan

menggunakan teknik:

a. Library Research, yaitu penelusuran buku-buku yang berkaitan

dengan judul penelitian.

b. Field Research (penelitian lapangan), meliputi:

1. Wawancara

Wawancara adalah pengumpulan data dengan tanya jawab

sepihak yang dikerjakan dengan sistematis dan berlandaskan pada

tujuan penelitian.30 Metode ini digunakan untuk menggali data

yang tidak ada dalam buku-buku karya Amin Syukur, yang

menyangkut biografi, dan pemikiran-pemikiran lainnya yang

belum termuat dalam buku.

2. Dokumentasi

Dokumentasi adalah pengumpulan data mengenai hal-hal

atau variabel yang berupa catatan, transkip buku, surat kabar,

majalah, prasasti, notulen rapat, agenda dan sebagainya.31 Sebagai

dokumentasi ini digunakan untuk mengetahui data-data yang

berupa catatan atau tulisan, atau surat kabar yang penulis peroleh

dari harian Suara Merdeka dalam rubrik “Tasawuf Interaktif” yang

terbit setiap Senin yang secara langsung di bawah bimbingan

Amin Syukur.

5. Analisis Data

30 Sutrisno Hadi, Metode Research II, Yogyakarta : Andi Offset, 1993, hlm. 193 31 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian, Jakarta: Rineka Cipta, 1998, hlm. 236

19

Setelah data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah

analisis data dengan menggunakan metode deskriptif analisis. Metode

deskriptif ini digunakan untuk menggambarkan sifat suatu keadaan yang

sementara berjalan pada saat penelitian ini dilakukan dan memeriksa

sebab-sebab dari suatu gejala tertentu.32 Untuk selanjutnya dianalisis

dengan melakukan pemeriksaan secara konsepsional atas suatu

pernyataan, sehingga dapat diperoleh kejelasan arti yang terkandung

dalam pernyataan tersebut.33 Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan

Hadari Nawawi, bahwa:

Metode deskriptif merupakan prosedur pemecahan masalah yang

diselidiki dengan menggambarkan keadaan objek penelitian pada saat

sekarang berdasarkan fakta yang nampak, dalam hal ini tidak hanya

penyajian data secara deskriptif, tetapi data yang terkumpul diolah dan

ditafsirkan.34

Langkah-langkah yang peneliti gunakan untuk menganalisis data

yang telah terkumpul adalah sebagai berikut:

a. Peneliti mendeskripsikan data yang telah diperoleh, baik menyangkut

pemikiran Amin Syukur yang terdapat dalam buku-buku karangannya

dan juga hasil wawancara menyangkut biografi serta pemikiran beliau

yang belum dibukukan.

32 Consuelo G. Sevilla, dkk., Pengantar Metode Penelitian, Jakarta: UI Press, 1993, hal. 71 33 Sudarto, Metodologi Penelitian Filsafat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997, hal. 60 34 Hadari Nawawi dan Mimi Martini, Penelitian Terapan, Yogyakarta: Gajah Mada

University Press, 1996, hlm. 73

20

b. Setelah dideskripsikan, tahap selanjutnya adalah menganalisis data

deskriptif tersebut guna mencari dan menemukan solusi tasawuf yang

ditawarkan oleh Amin Syukur dalam mengatasi problem manusia

modern, serta bagaimana analisanya dalam bimbingan konseling

Islam, yang fokusnya adalah konselor dan klien.

C. Sistematika Penulisan Skripsi

Dalam rangka menguraikan pembahasan masalah di atas, maka

peneliti berusaha menyusun kerangka penelitian secara sistematis, agar

pembahasan lebih terarah dan mudah dipahami serta yang tak kalah penting

adalah uraian-uraian yang disajikan nantinya mampu menjawab permasalahan

yang telah disebutkan, sehingga tercapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.

Sebelum menginjak pada bab pertama dan bab-bab berikutnya yang

merupakan satu pokok pikiran yang utuh, maka penulisan skripi ini diawali

dengan bagian muka yang memuat halaman judul, nota pembimbing,

pengesahan, motto, persembahan, kata pengantar dan daftar isi.

Bab pertama adalah pendahuluan. Bab ini berisi tentang Latar

Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian,

Tinjauan Pustaka, Kerangka Teori, dan Metode Penelitian yang meliputi:

Jenis Pendekatan, Penegasan Istilah, Sumber Data, Pengumpulan Data, dan

Analisa Data.

Bab kedua adalah landasan teoritis yang menjelaskan tentang Manusia

Menurut Pandangan Tasawuf Dan Konseling. Bab dua ini dibagi menjadi tiga

21

sub bab. Sub bab pertama menjelaskan Manusia menurut Ajaran Tasawuf,

yang meliputi dua sub anak bab, yaitu: Potensi Dasar Manusia dan

Karakteristik Perkembangan Jiwa Manusia. Sub bab kedua tentang Manusia

dalam Perspektif Konseling, yang meliputi dua sub anak bab, yaitu Dimensi-

Dimensi Kemanusiaan, dan Manusia menurut Teori-Teori Konseling. Sub bab

ketiga adalah Manusia Modern dan Problematikanya, yang meliputi dua anak

sub bab, yaitu karakteristik manusia modern dan problematika manusia

modern.

Bab ketiga berisi tentang Solusi Tasawuf Amin Syukur Atas Problema

Manusia Modern. Bab ketiga dibagi menjadi dua sub bab. Sub bab pertama

memuat tentang Profil Amin Syukur yang meliputi Biografi, dan Karya-karya.

Sub bab kedua berisi tentang Pemikiran Tasawuf Amin Syukur yang meliputi:

Dzikir, Zuhud, Tasawuf Akhlaki dan Insan Kamil. Bab keempat adalah

analisis.

Bab empat adalah Analisa solusi tasawuf Amin Syukur dalam BKI,

yang terdiri dari dua sub bab yaitu Urgensi tasawuf Amin Syukur dalam

mengatasi problem manusia modern dan Implementasi tasawuf Amin syukur

dalam Bimbingan konseling islam.

Bab kelima adalah penutup. Bab ini memuat kesimpulan yang

merupakan hasil dari pengkajian dan analisis terhadap Solusi tasawuf Amin

Syukur atas problem manusia modern dan implementasinya dalam BKI,

saran-saran serta diikuti dengan uraian kata penutup. Setelah penutup,

dilampirkan pula daftar pustaka, biodata dan lampiran-lampiran.

22

BAB II MANUSIA MENURUT TASAWUF DAN KONSELING

A. Manusia dalam Perspektif Tasawuf

1. Potensi Dasar Manusia

Kajian tentang manusia dalam berbagai lapangan ilmu

pengetahuan, selalu menghasilkan berbagai persepsi dan konsepsi yang

berbeda. Dalam kajian tasawuf, “manusia” juga dipandang sebagai objek

yang khas sesuai sudut pandang yang digunakan. Penciptaan manusia

dalam tasawuf diyakini terdiri dari unsur jasmani dan unsur ruhani. Al

Hallaj tokoh tasawuf falsafi berpendapat manusia memiliki sifat

kemanusiaan (nasut) dan sifat ketuhanan (lahut), karena dua unsur yang

membentuk manusia itu sendiri. Unsur materi menjadikan manusia

memiliki kecenderungan berbuat buruk dan unsur ruhani menjadikan

manusia berkecenderungan ingin selalu dekat dengan Tuhannya.35

Penciptaan manusia yang terdiri dari unsur materi dan ruhani

tersebut,ditegaskan dalam al-Qur’an (23:12 dan 15:29).

Senada dengan Al Hallaj, manusia menurut IbnArabi terdiri dari aspek batin

(al-haqq) dan aspek lahir (al-Kalq) yang merupakan manifestasi dari al haqq.

Citra manusia yang terpenting dan disepakati oleh para tokoh

tasawuf adalah seluruh manusia dilahirkan dalam kondisi suci (fitrah)

yaitu manusia terlahir dalam kondisi tidak memiliki dosa sama sekali dan

35 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1973,

hlm. 89

23

memiliki potensi dasar taat kepada Allah.36 Kondisi fitrah ini, kemudian

mendapat pengaruh secara terus menerus dari lingkungan yang tentunya

mempengaruhi perkembangan kepribadian dan keagamaan seseorang.

Selain itu manusia juga dengan memiliki kebebasan (free will), sehingga

manusia berhak menentukan jalannya sendiri. Allah SWT berfirman dalam

surat at-Tin ayat 4-5 :

)٤ -٥: التين). (٥(ثم رددناه أسفل سافلين) ٤(ن في أحسن تقويملقد خلقنا اإلنسا Artinya : “Sesungguhnya kami telah menciptakan munusia dalam bentuk

yang sebaik-baiknya. Kemudian kami mengembalikan dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka )”. (QS. At-Tin: 4-5)37

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa meskipun manusia diciptakan

paling sempurna, namun ia bisa mencapai derajat terendah jika tidak

mampu memilih kebaikan. Selain itu dalam diri manusia juga dilengkapi

dimensi ruhaniah seperti qalb, ruh, nafs dan akal.38

a. Qalb

Hati menurut para sufi bukan dalam pengertian sebagai

segumpal daging yang berada di dada yang berfungsi mengatur

peredaran darah tubuh atau bisa kita sebut jantung, tetapi lebih

dimaknai sebagai substansi yang halus. Hati adalah tempat antara

wilayah kesatuan (ruh) dan daerah keanekaragaman (nafs). Jika hati

mampu melepas nafs yang melekat padanya ,dia akan berada di bawah

36 Hasyim Muhammad, Dialog Antara Psikologi dan Tasawuf; Telaah Kritis Psikologi

Humanistik Abraham Moslow, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000, hlm. 27 37 Soenarjo, dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989, hlm. 1109 38 Javad Nurbakhsy, Psikologi Sufi, terj. Arief Rahmat, Jakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000,

hlm. 135-136

24

pengaruh ruh hati yang bersih. Sebaliknya jika hati dikuasai nafs, dia

akan menjadi keruh.39

Menurut Abdul Mujib , kalbu ruhani merupakan bagian esensi

dari fitrah nafsani yang berfungsi sebagai pemandu, pengontrol dan

pengendali tingkah laku, sehingga bila ia mampu berfungsi normal

maka kehidupan manusia akan sesuai fitrahnya. Dengan hati yang

bersih (memiliki uluhiat dan rabbaniat) inilah manusia tidak hanya

mengenal lingkungan fisik dan sosial tetapi juga mengenal lingkungan

spiritual keagamaan dan ketuhanan.40

b. Ruh

Ruh merupakan dimensi esensial yang membuat manusia

berbeda dengan makhluk yang lain. Ruh mempunyai eksistensi sendiri

yang berbeda demgan jasad. Jasad berasal dari elemen materi,

sedangkan ruh berasal dari alam arwah yang merupakan esensi

ketuhanan dalam diri manusia.41 Ruh yang ada dalam diri manusia

juga merupakan presensi (kehadiran) getaran uluhiah, namun

kekhususan pemberian ruh kepada manusia bukan berarti secara

otomatis manusia menjadi makhluk serba baik. Ruh adalah konsep

39 Abdul Mujib, Fitrah dan Kepribadian Islam; Sebuah Pendekatan Psikologis, Jakarta:

Darul Falah, 1999, hlm. 60 40 Fuad Anshori (ed.), Membangun Paradigma Psikologi Islam, Yogyakarta: SIPRESS,

1994, hlm. 68 41 Sukanto, MM., Nafsiologi Pendekatan Alternatif Atas Psikologi, Jakarta: Integrita

Press,, hlm. 50

25

dasar, semua bergantung pada bagaimana manusia hendak

memanfaatkannya.42

Manusia dapat menghidupkan sentuhan daya ruhaniah, apabila

ia dapat secara bersama-sama menempatkan nafs tetap dalam etika,

memusatkan pembersihan hati dan menghias ruh. Dalam tradisi sufi

dilakukan dalam kegiatan thariqat.

c. Nafs

Nafs biasa dimaknai sebagai jiwa.43 Mayoritas kaum sufi

mengatakan bahwa jiwa merupakan sumber-sumber penyebab

timbulnya akhlak tercela dan perilaku-perilaku rendah.44 Nafs juga

bisa dikatakan sebagai substansi yang terbentuk dari hasil perkawinan

ruh-ruh jasad yang memiliki sifat dapat dipengaruhi oleh kondisi tubuh

dan kondisi eksternal yang ada dalam diri manusia. Jika sesuatu yang

ada dalam jiwa manusia bertemu dengan dunia eksternal positif maka

ia akan berkembang secara optimal, namun sebaliknya jika bertemu

dengan dunia eksternal yang negatif, maka yang muncul adalah hawa

nafsu (syahwat yang melahirkan perbuatan destruktif).

Sikap nafs yang paling menyolok adalah nafsunya, yang

tersebar di seluruh tubuh manusia dan semua indera dapat terpengaruh.

42 Abdul Mujib dan Yusuf M., Fitrah dan Kepribadian Islam; Suatu Pendekatan

Psikologis, Jakarta: Darul Falah, 1999, hlm. 65 43 Istilah-istilah seperti nafsu, akal, ruh dan qalbu sebenarnya merujuk pada satu substansi

yang sama yaitu dimensi “jiwa” atau ruhani secara umum. Hanya saja karena keadaan dan fungsi jiwa itu berubah-berubah, maka kita memerlukan banyak istilah yang berbeda untuk menandai perubahan keadaan dan fungsinya itu. Lihat, Fuad Anshori, Potensi-Potensi Manusia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 108

44 Amir an-Najar, Ilmu Jiwa dalam Tasawuf; Study Komparatif dengan Ilmu Jiwa Kontemporer, terj. Hasan Abrori, Jakarta: Pustaka Azzan, t.th., hlm. 40

26

Berkaitan dengan daya tarik, nafsu memiliki bentuk beraneka ragam

seperti nafsu seksual dan nafsu akan kemewahan. Nafsu merupakan

komponen dalam diri manusia yang memiliki kekuatan untuk

mendorong melakukan sesuatu (al-syahwat) dan menghindari diri

untuk melakukan sesuatu (al-Ghadhab).45 Nafs yang cenderung

memiliki sifat buruk ini harus dirubah menuju perilaku-perilaku yang

baik.

d. Akal

Secara etimologi, akal bisa diartikan menahan, ikatan,

melarang, dan mencegah sehingga orang dikatakan berakal

jika orang tersebut mampu menahan dan mengikat hawa

nafsunya.46 Akal dalam al-Qur’an disebutkan sebagai

bentuk aktifitas seperti daya untuk memahami dan

menggambarkan sesuatu dorongan moral dan daya untuk

mengambil pelajaran (Al-An’am:151), kesimpulan dan

hikmah (al-Baqarah: 44). Dalam al-Qur’an surat al-

Ankabut ayat 43:

)٤٣: األنكبوت. (لا العالمونوتلك الأمثال نضربها للناس وما يعقلها إ

Artinya: “Demikianlah perumpamaan-perumpamaan yang kami berikan kepada manusia, tetapi tidak ada yang memahaminya kecuali orang-orang yang alim (berpengetahuan)”.(QS. al-Ankabut: 43)47

45 Fuad Anshori, op. cit., hlm. 61

46 47 Soenarjo, dkk., op. cit.,hlm. 425

27

Akal yang merupakan komponen fitrah nafsiah

manusia memiliki dua makna yaitu sebagai salah satu organ

di kepala atau disebut otak yang mempunyai kemampuan

memperoleh pengetahuan secara nalar dan akal ruhani yaitu

cahaya ruhani dan daya nafsiah yang disiapkan dan mampu

memperoleh pengetahuan (al-Ma’rifah) dan kognisi.

Pengertian ini sering ditafsirkan berakal merupakan

aktivitas kalbu karena hatilah yang mampu menerima

pengetahuan supra rasional dengan kekuatan cita rasa (al-

Zawq). Akal sebagaimana dalam al-Qur’an tidak hanya

dimaknai sebagai daya pikir dan daya rasa saja, tetapi ia

adalah dorongan moral untuk berfikir, melakukan kebaikan

dan menghindar dari kesalahan karena usaha berfikir untuk

memahami persoalan.48

2. Karakter Perkembangan Jiwa Manusia

Manusia pada dasarnya adalah ciptaan belum selesai, karena di

satu sisi manusia diciptakan dalam keadaan sempurna, tetapi di sisi lain

bisa menjadi makhluk yang rendah. Manusia diberi kebebasan (free will)

oleh Allah untuk menentukan nasibnya sendiri dengan dibekali dimensi

ruhaniyah (ruh, aql, qalb dan nafs) yang harus diolah secara seimbang

untuk mendapatkan ridha Allah. Ruh Ilahi pada manusia berarti terdapat

adanya daya cipta dan kepemimpinan, suatu vital principle dan contrutive

48 M. Thoyibi dan M. Ngemron, Psikologi Islam, Surakarta: Universitas Muhammadiyah

Suarakara, 2000, hlm. 48

28

abilitiyyang karenanya dia memiliki kemungkinaan untuk berkembang dan

menciptakan sesuatu yang baru yaitu ego batin ( inner self ).49 Hal ini tidak

akan mucul begitu saja tetapi manusia harus berusaha lepas dari

kungkungan nafsu-nafsu yang merugikan.

Potensi kebaikan sebagai fitrah manusia, erat kaitannya dengan

tugas besar yang diemban sebagai khalifah di bumi. Tugas tersebut

menuntut manusia memiliki struktur watak yang baik seperti keadilan,

persatuan, rendah hati, dinamis kreatif dan percaya diri.50 Dalam

mencapai itu semua, manusia perlu melakukan pembinaan nafsu rendah

yang diyakini para sufi sebagai sumber perbuatan buruk dengan melalui

riyadhah dan mujahadah.51 Dalam tradisi tasawuf, pembinaan tersebut

dilalui melalui tiga tahapan yaitu takhalli melepaskan diri dari sifat-sifat

buruk, tahalli menghiasi diri dengan sifat-sifat yang baik dan tajalli

terintegrasinya sifat sifat baik sehingga seseorang mudah merasakan

kehadiran Tuhan.

3. Insan Kamil

Dalam ajaran tasawuf kita mengenal konsep insan kamil, manusia

sempurna yang merupakan citra Tuhan. Ajaran ini terlihat sangat ekstrim

bagi beberapa kalangan, dimana konsep ini diawali dengan ajaran al hulul

dari al Hallaj, ittihad dari al Bustamy dan dikembangkan oleh Ibn Arabi

dengan konsep wahdatul wujud.

49 ibid hlm. 65 50 Hasyim Muhammad,Dialog tasawuf………,opcit. 115 51 Amin Syukur, Mengugat tasawuf Sufisme abad 21, Yogyakarta :Pustaka

Pelajar,1998.hlm.52

29

Secara garis besar ada dua corak pemikiran insan kamil yaitu

Transendentalisme dan Unionisme. Transendentalism, diwakili oleh Al

Ghazali yang beranggapan bahwa antara manusia dan tuhan tetap berbeda

sehingga manusia hanya bisa sampai taraf ma’rifatullah. Bagi golongan

ini, insan kamil adalah wali allah yaitu orang-orang yang mendapat ilmu

laduni yang berfungsi sebagai mediator doa bagi oarang-orang awam dan

power cosmis (penguasa alam). Sedangakan Unionisme meemgang ajaran

bahwa manusia adalah pancaran Tuhan yang memiliki sifat-sifat

ketuhanan sehingga memungkinkan persatuan antara sang khalik dengan

hambaNya.52

Ibn Arabi sebagai tokoh unionisme perpendapat bahwa insan

kamil adalah manusia yang sempurna dari pengetahuan dan wjudnya.

Kesempurnaan wujud, karena dari segi ini manusia merupakan

manifestasi sempurna citra illahi yang pada dirinya tercermin nama-nama

dan sifat-sifat Tuhan secara utuh. Semetara kesempurnaan pengetahuan

karena ia telah sampai tingkat kesadaran tinggi yakni menyadari kesatuan

dengan Tuhan.53

Konsep insan kamil diatas, tentunya berbeda dengan konteks insan

kamil sekarang karena pemikiran yang dihasilkan tersebut lebih

merupakan pengalaman pribadi tokoh. Dalam konteks sekarang insan

kamil dipahami secara lebih sederhana, tidak lagi pada penyatuan tuhan

dengan hambanya. Murtadha Muthahari misalnya mengatakan bahwa

52 Danusiri, epistimologi ……, Opci.>hlm.53 53 Yanasril Ali, Manusia Citra Illahi , jakarta : Paramadina, 1998.hlm. 59-60

30

manusia sempurna adalah manusia yang beribadah kepada Allah dan

memberi pelayanan kepada mahluk lain secara optimal dan harmonis. Bila

tugas beribadah (dengan Allah dan sesama) dilakukan dengan sebaik-

baiknya dan seimbang, maka jadilah orang tersebut manusia sempurna.54

Senada dengan ungkapan Komaruddin Hidayat bahwa insan kamil adalah

manusia yang mengabdi kepada Allah dan pada akhirnya melayani juga

manusia. Sebab pada dasarnya bentuk-bentuk ibadah dalam Islam seperti

shalat maknanya ada pada aktulisasinya, yaitu korelasi fungsional bahwa

ibadah vertikal kepada Allah itu harus mempunyai kemampuan

membangun relasi sosial.55

Hamdani Bakran medefinisikan Insan kamil sebagai manusia yang

telah mencapai nafsu kamilah (potensi ilahiah). Indikasinya akan

terimplementasi dalam etos kerja dan kinerja sebagai seorang khalifah dan

hamba Allah seperti sikap sempurna melaksanakan perintah dan menjauhi

larangan dan ketabahan dalam menghadapi cobaan.56 Dari definisi insan

kamil diatas dapat diambil kesimpulan bahwa manusia sempurna bukan

saja memiliki ketaatan kepada Allah tetapi juga mampu membangaun

relasi yang baik dengan sesama dan lingkunganya.

54 Dikutip dari Fuad Anshari Potensi-petensi ………Opcit. Hlm. 37 55 komaruddin Hidayat, Insan Kamil mahluk Multi dimensional.dalam manusia Modern

Mendamba Allah renungan tasawuf Positif,jakarta :Hikmah.2001. hlm.221 56 Hamdani Bakran, Konseling dan……….opcit.hlm.46

31

B. MANUSIA DALAM PERSPEKTIF KONSELING

Berbicara manusia dalam perspektif konseling secara langsung kita

akan membicarakan manusia menurut konsep Barat. Karena bagaimanapun

gagasan muncul dan berkembangnya konseling dimulai di sana. Manusia

dalam kaca mata barat lebih dipandang sebagai mahluk yang independen,

berhak melakukan apa saja dengan rasio dan inderanya. Hal inilah yang

mendasari kajian fisafat manusia di barat merujuk pada paham antroposentris

yaitu pandangan yang menempatkan manusia pusat segala pengalaman dan

relasi-relasinya dan penentu utama masalah-masalah yang menyangkut

manusia dan kemanusiaan.57 Berbeda dengan kajian manusia menurut tasawuf

yang bercorak Antrhopo-Relgio-sentris. Meskipun manusia diakui memilki

kehendak bebas namun manusia tetap mahluk yang memiliki dimensi

ruhaniah dari Tuhan.

1. Dimensi- Dimensi kemanusiaan

Sebelum membicarakan manusia menurut teori-teori konseling, maka penting

bagi kita mengetahui secara singkat dimensi-dimensi kemanusiaan yang

memegang peran penting dalam kegiatan konseling. Dimensi-dimensi

kemanusiaan tersebut adalah :

a.Dimensi individual

Manusia diciptakan oleh tuhan memiliki kepribadian yang

berbeda-beda. Kepribadian adalah suatu organisasi yaaang dinamis dari

57 Hanna Djuana Bastamaan, Dari Antrhoposentris menuju Anthopo-religiosentis telaah

kritis Psikologi Humanistik, dalam fuad Anshori, Membangun Paradigma Psikologi islam yogyakarta : SIIPRES,1994.hlm.83

32

sistem psikopisik individu yang menentukan tingkah laku dan pikiran yang

unik terhadap lingkungan.58 Para sosiolog membagi tipe kepribadian

manusia berdasarkan konstitusi psikis, fisik bahkan sampai berdasarkan

kebudayaan. Pengetahuan yang baik tentang kepribadiaan penting artinya

dalam kegiatan konseling karena hal inilah yang harus dipahami lebih

dahulu oleh konselor sebagai langkah awal pemberian bantuan.

Teori konseling Trait and Factor memberikan tempat istimewa bagi

dimensi individulitas ini. Kepribadian seseorang merupakan suatu sistem

sifat dan faktor yang saling berkaitan antara satu dengan yang lainya

seperti kecakapan, minat dan sikap. Tugas Konseling ini adalah membantu

individu dalam memperoleh kemajuaan memahami dan mengelola diri

dengan cara membantunya menilai kekuatan dan kelemahan diri dalam

kegiatan untuk mencapai kemajuan tujuan hidup dan karir.59

2. Dimensi Sosial

Manusia adalah mahluk sosial yang dalam hidupnya senantiasa

menjalin interaksi dengan orang lain. Dimensi sosial ini akan nampak

terlihat jelas dalam teori konseling Behavioritik yang menganggap

perilaku manusia sebagai hasi belajar dari lingkungan dimana ia tinggal.60

Konseling individual Adler juga memperlihatkan dimensi ini dengan

berasumsi bahwa manusia adalah mahluk yang dikuasai oleh inferiority

58 Sumadi Suyabrata, Psikologi kepribadiaan, Jakarta : Raja Grafindo Persada,

2001.hlm.9 59 Muh. Surya, Teori-Teori Konseling , bandung : pustaka Bani Quraisy. Hlm.6 60 Ibid.hlm.51

33

complex sehingga ia selalu berkompetisi dalam melakukan interaksi sosial

untuk mencapai keunggulan.61

3. Dimensi Kesusilaan

Manusia dalam mengembangkan dimensi individual dan dimensi

sosial memerlukan norma dan etika yang mengatur bagaimana agar kedua

dimensi berjalan seimbang. Dimensi kesusilaan ini merupakan

pemersatu,sehiongga dimensi individual dan sosial dapat bertemu dalam

satu kesatuan yang penuh makna. Apabila ketiga dimensi ini berkembang

secara optimal manusia dapat mencapai taraf kebudayaan tinggi dan

menguasai tehnologi tercanggih sekalipun.62

Selain itu, dimensi keagamaan, baik secara langsung atau tidak

langsung juga mendapat perhatian dari beberapa teori konseling. Teori

individual misalnya mengakui bahwa kecemasan yang melanda seseorang

terjadi apabila dalam konsentrasi mencapai superioritas pribadi tidak

memperhatikan kebutuhan orang lain. Atau dalam psikoanalisa Freud,

manusia dapat mengalami kecemasan neorotik yaitu kecemasan karena

tidak terkendalinya naluri yang menyebabkan ia melakukan tindakan yang

melanggar hukum.63

4. Dimensi Keagamaan

Selain sebagai mahluk individu dan sosial, manusia juga makhluk

religius. Pengembangan tiga dimensi di atas belum menyentuh kebutuhan

61 Sumadi surya Brata, Psikologi Kepribadian , Opcit,hlm.183 62 Priyatno dan Erman Anti, Dasar-Dasar Bimbingan Konseling, Jakata : Renika

Cipta.1998.hlm.17 63 Gerald Corey, Teori-Teori…., Opcit.hlm. 143

34

manusia akan nilai-nilai agama yang dibutuhkan bagi kehidupan di akhirat

kelak. Kehidupan manusia yang lengkap adalah kehidupan yang mampu

menjangkau dua bentuk kehidupan, yaitu sekarang dan mendatang. Kajian

konseling barat pada mulanya belum mampu menjangkau dimensi

terdalam mausia yaitu spiritualitas atau keagamaan. Meskipun Victor

Frankl pencetus logoterapi berhasil mengungkap dimensi ini, namun tidak

mengandung konotasi ketuhanan, tetapi lebih pada kualitas khas insani. 64

Dalam perkembanganya, dimensi keberagamaan mendapat tempat

penting bagi konselor dengan munculnya Spiritual Wellness in

Counseling.65

Dengan memperhatikan keempat dimensi di atas munusia

diharapkan mampu mencapai derajat keutuhan sesuai dengan penciptaan

sebagai mahluk yang indah, tidak saja mengusai tehnologi tetapi juga

memahami dan mengamalkan ajaran agamanya. Manusia seutuhnya

digambarkan oleh Priyatno dan Erman Anti seperti limas (lihat gambar 2

dan 3) yang akan semakin tinggi dan mulia bila memiliki derajat

keagamaan yang tinggi pula, sementara manusia yang hanya

mengembangkan ketiga dimensi digambarkan hanya seperti bidang datar

(lihat gambar 1) yang tak akan pernah memiliki ketinggian.

Dimensi Individul Dimensi Sosial

64 Lihat Hanna Djana Bastman, Dari Antrhoposentris………Opcit.hlm.82 65 Muh. Surya Psikologi Konseling. Bandung : Pustaka Bani Quraisy,2003.hlm.125

Bidang Kehidupan Mendatar (di dunia saja)

35

Gambar 1

Dimensi Keberagamaan

Gambar 2

Gambar 3

2. Manusa Menurut Teori Teori Konseling

a. Konseling Eksistensialisme

Teori konseling ini berangkat dari psikologi humanistik

sebagai madhab ketiga dalam dunia psikologi. Manusia menurut aliran

ini dipandang sebagai mahluk yang sadar, mandiri, berperilaku aktif

dan mampu melakukan segalanya. Ia mendapat julukan the self

determining being yang mampu menentukan tujuan-tujuan yang

Dimensi Kesosialan

Dimensi Kesusilaan

Dimensi Keindividualan

Dimensi Keagamaan

Dimensi Individualan Dimensi Kesosialan

Dimensi Kesusilaan

Semakin Tinggi

36

diinginkan dan cara-cara untuk mencapaai tujuan itu yang dianggap

paling tepat.66

Tokoh konseling ini adalah Roll May dan Victor Frankl.

Manusia dipandang sebagai mahluk yang selalu dalam keadaan

transisi, berkembang, membentuk diri dan menjadi sesuatu.

Berdasarkan pada asumsi ini, maka dimensi dasar kondisi manusia

adalah: 1). kapasitas kesadaran diri, 2 ). kebebasan dan tanggung

jawab, 3). menciptakan identitas dirinya dan menciptakan hubungan

yang bermakna dengan orang lain, 4). usaha untuk mencari makna,

tujuan, nilai dan sasaran,5). kecemasan sebagai kondisi hidup dan 6).

kesadaran akan datangnya maut serta ketidakberadaan.67

b. Client Centre Teraphi

Teori ini berpusat pada pribadi yang berorientasi konseling

pada filosofis humanistik yang memandang manusia sebagi mahluk

yang dilahirkan dengan pembawaan dasar baik, berkeinginan untuk

maju, memiliki kapasitas untuk menilai diri, bertingkah laku sehat dan

berusaha mengaktualisasikan diri. Hal ini didasarkan pada kenyataan

manusia mahluk rasional dan sadar, Rogers berkeyakinan manusia

mampu dan bertanggung jawab mengembangkan kepribadiannya. Ia

percaya bahwa individu diarahkan oleh presepsi diri yang disadari

66 Hanna Djuana Bastaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, Yogyakarta : Pustaka

Pelajar, 1998.hlm.52 67 Gerald Corey, Teori-Teori Konseling dan Psikoterapi, terj.Mulyarto, Semarang : IKIP

Press, 1995hlm.255-256

37

serta lingkungan sekelilingnya bukan oleh kekuatan bawah sadar yang

tidak terkontrol.68

c. Konseling Analisis Transaksional

Konseling ini dikenalkan oleh Eric Berne yang berangkat dari

sebuah asumsi setiap perilaku individu mempunyai dasar

menyenangkan dan mempunyai potensi serta keinginan untuk

berkembang dan mengaktualisasikan diri. Sumber-sumber tingkah

laku, sikap dan perasaan sebagaimana individu melihat kenyataan,

mengolah informasi dan melihat diluar dirinya disebut status ego.

Status ego menurut menurut Eric Berne berbeda dengan ego Freud

karena bukan konstruct, akan tetapi status ego di sini dapat diamati dan

merupakan suatu kenyataan fenomenologis yang dapat diamati dengan

indera. Status ego terbentuk melalui pengalaman-pengalaman yang

membekas pada dirinya sejak kecil.69

Dalam tiap individu terdapat tiga status ego, yaitu status ego

anak, status ego ego dewasa dan status ego tua. Status ego anak dapat

berisi perasaan, tingkah laku dan bagaimana berfikir ketika masih

kanak-kanak. Hal ini dapat dilihat dari tingkah laku manja, ingin

menang sendiri, ingin diperhatikan, takut, pemberani, sembrono, bebas

dan acuh. Perilaku tersebut tampak jelas jika berinteraksi dengan status

ego orang tua. Status ego orang dewasa dapat dilihat dari tingkah laku

68A.Nuryanti Atamimi R, Pendekatan humanistik Carl Rogers, dalam

Subandi,Psikoterapi Pendekatan Konvensional dan. Kontemporer, Yogyakarta : Pustaka Pelajar 2003.hlm40-41

69 M. Noor Rachman Hadjam, Transaksional Analisis dalam Psikoterapi Pendekatan Konvensional dan kontemporer, Subandi (ed.), Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 68

38

yang bertanggung jawab, tindakan yang rasional dan mandiri. Sifat

status ego ini penuh dengan perhitungan dan menggunakan akal.

Dalam status ego orang tua, kita mengalami ulang apa yang kita

bayangkan sebagai perasaan orang tua kita sendiri dalam situasi atau

kita merasa berbuat sesuatu kepada orang lain seperti yang dirasakan

orang tua kita terhadap kita.

Batas antara ketiga status ego tersebut merupakan membran

permiabel, sehingga dimungkinkan terjadinya aliran dari status ego

yang satu ke ego yang lain dalam menanggapi rangsangan dari luar.

Batas ego dapat sangat kaku, sehingga individu tidak mampu

melakukan perpindahan ke status ego yang lain. Statu ego seseorang

dapat menjadi kaku yang menyebabkan orang tersebut terkurung

dalam status ego tertentu dan menghambat fungsi status ego yang lain.

Gejala ini disebut “eklusi”, yaitu situasi konstan pada status ego

tertentu, Dalam kondisi seperti itu kepribadian individu agak

terganggu (tidak terintegrasi), karena kepribadian yang terintegrasi

dengan baik dapat terjadi jika status ego dewasa dapat menjadi

manajer dari ketiga status ego secara efektif dan sehat.70

d. Konseling Gestalt

Pendiri konseling Gestalt adalah Fedrick Perls. Gestalt berasal

dari kata Jerman yang diterjemahkan dengan bentuk, wujud atau

organisasi. Kata itu mengandung pengertian kebulatan atau

70 Ibid., hlm. 75

39

keparipurnaan. Terapi Gestalt Perls ini tidak langsung berasal dari

psikologi Gestalt. Gestalt Perls menerangkan satu-satunya hukum

tentang fungsi manusia yang tetap dan universal, yaitu setiap

organisme cenderung mengarah kepada kebulatan dan

keparipurnaan.71

Asumsi dasar terapi Gestalt adalah setiap individu dapat

menangani sendiri problem hidup mereka secara efektif, terutama

apabila mereka memanfaatkan secara tuntas kesadaran mereka

terhadap apa yang terjadi dalam diri dan sekitarnya. Untuk

mewujudkan kesempurnaan, manusia harus mamapu menjelaskan

sesuatu yang menghambat pencapaian Gestalt, yaitu yang disebut

Perls, yaitu situasi yang belum selesai.72

Kerja yang belum selesai atau perasaan yang tak terungkap

seperti rasa jengkel, amarah, kebencian, kepedihan, keresahan, rasa

bersalah dan duka cita yang menyiksa batin harus diterima dan

merupakan tanggung jawab sendiri bukan orang lain. Dengan

demikian seseorang akan memiliki jalan baru untuk mengambil peran

lebih efektif dalam mengatur kehidupannya sendiri dengan usaha-

usaha yang lebih konstruktif.73

e. Konseling Behaviouristik

71 Duane Schultz, Psikologi Pertumbuhan …, op. cit, Yogyakarta: Kanisius, 1991, hlm.

172 72 Ibid. 73 W.S. Winkel, Bimbingan …, op. cit., hlm. 382

40

Konseling ini pertama kali dikenalkan oleh John D.

Krumbolz, untuk melanjutkan kajian bahwa konseling diharapkan

dapat mengubah perilaku konseli agar mampu mengatasi masalah yang

dihadapi. Konseling Behavioristik berpangkal pada beberapa

keyakinan tentang martabat manusia yang sebagian bersifat falsafah

dan sebagian lagi bercorak psikologis, yaitu:

1) Manusia pada dasarnya tidak berakhlak baik atau buruk, bagus

atau jelek. Manusia mempunyai potensi untuk bertingkah laku

baik atau buruk, tepat atau salah berdasarkan bekal keturunan

atau pembawaan dan bakat interaksi antara keturunan dan

lingkungan, inilah yang nantinya membentuk pola-pola

betingkah laku yang menjadi ciri-ciri khas dari kepribadiannya.

2) Manusia mampu untuk merefleksikan tingkah lakunya sendiri,

menangkap apa yang dilakukannya dan mengatur serta

mengontrol perilakunya sendiri.

3) Manusia mampu memperoleh dan membentuk sendiri pola-

pola tingkah laku yang baru melalui proses belajar.

4) Manusia dapat mempengaruhi perilaku orang lain dan dirinya

pun dipengaruhi oleh perilaku orang lain.74

f. Konseling Rational Emotif

Promotor utama konseling ini adalah Albert Ellis. Corak

konseling ini menekankan kebersamaan dan interaksi antara berfikir

74 Ibid., hlm. 356

41

dengan akal sehat (rational thinking), berperasaan (emoting) dan

berperilaku (acting), serta sekaligus menekankan suatu perubahan

yang dalam cara berfikir dan menghasilkan perubahan yang berarti

dalam cara berperasaan dan berperilaku.

Konseling Rational Emotif berpangkal dari keyakinan tentang

martabat manusia dan tentang proses manusia dapat mengubah diri,

yaitu:

1) Manusia mempunyai keterbatasan yang dapat mereka atasi sampai

taraf tertentu.

2) Perilaku manusia sangat dipengaruhi keturunan, tetapi tergantung

juga dengan pilihan-pilihan yang dibuat sendiri.

3) Hidup secara rasional berarti berfikir, berperasaan dan berperilaku

sedemikian rupa, sehingga kebahagiaan hidup bisa dicapai secara

efesien dan efektif.

4) Manusia memiliki kecenderungan yang kuat untuk hidup secara

rasional dan tidak rasional. Jika berfikir salah, maka akan

menimbulkan kesukaran yang menggejala dalam alam perasaan

dan cara bertindak.

5) Orang kerap berpegang pada keyakinan-keyakinan yang

sebenarnya kurang masuk akal yang ditanamkan sejak kecil dalam

lingkungan dan kebudayaan atau diciptakannya sendiri.

6) Bila seseorang merasa tidak bahagia dan membunuh semangat

hidup, pada dasarnya bukan bersumber pada kejadian atau

42

pengalaman yang telah berlangsung, tetapi karena tanggapan yang

tidak rasional atas pengalaman tersebut.75

g. Konseling Psikologi Indiviual

Psikologi individual dikembangkan oleh Alfred Adler sebagai

sistem yang komparatif dalam memahami individu dalam kaitannya

dengan lingkungan sosial. Konstruk utama psikologi individual adalah

bahwa perilaku manusia dipandang sebagai suatu kompensasi terhadap

perasaan inferioritas (harga diri kurang). Perasaan inferioritas bukan

suatu pertanda abnormalitas, melainkan justru penyebab segala bentuk

penyempurnaan dalam kehidupan manusia.76 Perasaan ini akan

memotivasi kita untuk mencapai superioritas. Dorongan superioritas

bukanlah berarti lebih tinggi dari orang lain, akan tetapi perjuangan

dan derajat rendah menuju derajat lebih tinggi dari potensi yang

dimiliki.77

Konstruk utama Adler lainnya adalah bahwa manusia pada

dasarnya makhluk sosial. Mereka menghubungkan dirinya dengan

orang lain. Ikut dalam kegiatan-kegiatan sosial, menempatkan

kesejahteraan orang lain di atas kepentingan diri dan mengembangkan

gaya hidup. Manusia merupakan suatu organisme yang berorientasi

pada tujuan. Untuk mencapai itu manusia mengembangkan gaya hidup

yang unik agar hidup lebih bermakna. Manusia sebagai makhluk sosial

75 Ibid., hlm. 365-367 76 Calvin S. Hall dan Gardner Lindzey, Teori-Teori Psikodinamik (Klinis), Yogyakarta:

Kanisius, 1993, hlm. 247 77 Gerald Corey, Teori …, op. cit., hlm. 198

43

akan menjalani kecemasan apabila konsentrasi mencapai superioritas

pribadi tidak mempertimbangkan kebutuhan orang lain.78

h. Terapi Realitas

Tokoh konseling ini adalah William Glasser. Ide sentral terapi

ini adalah manusia memilih perilakunya sendiri dan harus bertanggung

jawab tidak hanya atas apa yang ia lakukan, tetapi bagaimana berfikir

dan merasakan. Glasser menyebutnya sebagai teori Kontrol perilaku

manusia guna memenuhi kebutuhan psikologis (keluasan, kebebasan

serta kesenangan) dan kebutuhan fisiologis, yaitu kebutuhan untuk

bertahan hidup. Teori kontrol ini menjelaskan bahwa pemenuhan

kebutuhan tersebut didorong dari dalam diri; dan sebagai

pengontrolnya adalah otak yang berfugsi untuk menolong kita agar

mendapat apa yang kita inginkan. Manakala kebutuhan kita terhalangi,

maka perilaku yang kita pilih terasa menyakitkan dan kita tidak puas

dengan kehidupan ini. Namun, manakala kita mampu memenuhi

kebutuhan dengan penuh rasa tanggung jawab, maka kita

mengembangkan suatu identitas yang bercirikan sukses dan

menghargai diri dan perilaku yang kita jalani yang untuk

memenuhinya terasa menyenangkan.79

i. Konseling Psikoanalisa

Tokoh psikoanalisa ini adalah Sigmund Freud. Aliran ini

memandang manusia sebagai makhluk yang deterministik. Freud

78 M. Surya, Teori-Teori …, op. cit., hlm. 53 79 Gerald Corey, Teori …, op. cit., hlm. 523

44

berpendapat bahwa perilaku manusia ditentukan oleh kekuatan-

kekuatan irrasional, motivasi yang tidak disadari, dorongan biologis

serta dorongan naluri dan peristiwa psiko-seksual tertentu pada masa

enam tahun pertama kehidupan.80 Psikoanalis Freud menganggap

kekuatan terbesar yang menggerakkan manusia adalah libido, yaitu

energi psikis yang paling mendasar yang mencakup eros (dorongan

untuk hidup) dan thanatos sebagai dorongan untuk mati. Freud

memasukkan semua kegiatan yang menimbulkan kesenagan ke dalam

insting hidup. Insting maut (dorongan agresif) yang mendorong

seseorang berperilaku yang tidak disadari untuk mencederai diri

sendiri dan orang lain. Freud menambahkan rasa resah dan cemas

seseorang ada hubungannya dengan kenyataan bahwa mereka

(manusia) bisa punah.

Kepribadian manusia terdiri dari tiga sistem, yaitu id adalah

komponen biologis, ego adalah komponen psikologis dan superego

adalah komponen sosial.

1) Id

Id merupakan sistem kepribadian yang orisinil (sumber

utama energi psikis dan tempat kedudukan insting). Id

dikendalikan oleh prinsip kesenangan yang tujuannya adalah untuk

mengurangi ketegangan, menghindari penderitaan dan

mendapatkan kesenangan. Id tidak rasional, tidak bermoral dan

80 Ibid., hlm. 139

45

didorong oleh suatu pertimbangan demi terpenuhinya kepuasan

kebutuhan.

2) Ego

Ego adalah aspek psikologis yang timbul karena kebutuhan

organisme untuk berhubungan dengan dunia luar atau kenyataan.

Ego berfungsi untuk mengontrol dan mengendalikan jalan-jalan

yang ditempuh id dalan memenuhi kebutuhan. Ego berfungsi pula

sebagai penengah antara insting dan lingkungan sekelilingnya,

mempersatukan pertentangan antara id dan superego dengan dunia

objektif.

3) Superego

Superego merupakan aspek sosiologis yang mencerminkan

nilai-nilai tradisional dan cita-cita masyarakat yang ada di dalam

kepribadian individu. Superego mengutamakan kesempurnaan

daripada kesenangan, melihat tindakan itu baik atau buruk, serta

benar atau salah. Fungsinya menghimbau ego agar mengalihkan

tujuan yang realistik menjadi moralistik, merintangi impuls-impuls

id terutama impuls seksual dan agresif.

j. Konseling Trait and factor

Tokoh konseling ini adalah Williamson (Amerika Serikat). Ia

adalah pembantu rektor di bidang akademik universitas Minnesota AS.

Trait and Factor Counseling merupakan corak konseling yang

menekankan pemahaman diri melalui testing psikologis dan penerapan

46

pemahaman itu dalam memecahkan problem-problem yang dihadapi

terutama yang menyangkut pilihan program studi atau pekerjaan.81 Hal

yang medasar bagi konseling sifat dan faktor adalah individu berusaha

untuk menggunakan pemahaman diri dan pengetahuan kecakapan

dirinya sebagai dasar pengembangan potensinya, sehingga tugas

konseling ini adalah membantu individu memperbaiki kekurangan,

ketidakmampuan dan keterbatasan diri dan membantu pertumbuhan

dan integritas kepribadian.

C. Karakteristik dan Problematika Manusia Modern

1. Karakteristik Manusia Modern

Istilah “modern” berasal dari bahasa latin ‘modo” yang berarti

“just now” atau yang kini. Istilah ini sering kali dikaitkan dengan

kehidupan yang ditemukan dalam masyarakat barat yang sudah mengalami

industrialisasi dan tingkat tehnologi maju.82 Soerjono Sukanto

berpendapat bahwa modernisasi merupakan proses yang sangat luas dan

kadang-kadang batasanya tak dapat ditetapkan secara mutlak.83 Pendapat

ini mengesahkan adanya gambaran yang variatif mengenai karakteristik

kehidupan dan manusia modern. Berikut beberapa pendapat tokoh

mengenai kehidupan dan modern :

81 WS. Winkel, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta: Gramedia,

1991, hlm. 347 82 Arfan Gaffar , Modern dan Islam: Dua kutub yang Bertentangan dalam Al qur’an dan

Tantangan Modernitas, Ahmad Syafi’i Ma’arif (ed), Yogyakarta : SIPRESS, 1993.hlm. 83 Soerjono sukanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada,hlm

47

a. Ali Yafie

Peradaban modern ditandai oleh :

1) Kemajuan dibidang tehnologi tinggi dan canggih

2) Kepesatan perkembangan ilmu pengetahuan

3) Kebebasan berpikir dan bertindak

4) Kehidupan yang lebih individualistik dan materialistik

5) Kecepatan komunikasi dan transformasi

6) Keluasan jaringan informasi

7) Pelecehan nilai-nilai dan pendangkalan peran agama yang

bermuara pada “ Agama adalah urusan pribadi masing-masing”.84

b. Amin Rais

Istilah modern sering ditandai dengan :

1) Ledakan informasi tanpa batas, hal ini terjadi karenaa tehnologi

canggih, komunikasi di bagian dunia manapaun dapat kita ketahui

dengan mudah.

2) Semakin longgarnya nilai-nilai moral bagi mayarakat modern .

3) Nilai-nilai moral dalam arti akhlak makin longgar, sehingga batas

antara baik dan buruk semakin kabur.

4) Semakin tumpulnya perikemanusian

5) Mengagung-agungkan ilmu pengetahuan dan tehnologi.

6) Kecenderungan hidup yang semakin materialis.85

84 Ali Yafie, Teologi Sosial Telaah Kritis Persoalan Agama Kemanusiaan, Yogyakarta

:LKPSM, 1997. hlm.65 85 Amin Rais, Tauhid Sosial Mengempur Kesenjangan, Bandung : Mizan, 1998. hlm. 99-

100

48

c. Affan Gaffar yang dikutip dari Alex Inkeles dan David Smith,

mengemukakan ciri-ciri individu modern sebagai berikut :

1) Oppenes to new experience. Keterbukaan untuk menerima hal-hal

baru.

2) The Readiness for social change. seseorang yang modern selalu

siap menerima perubahan sosial.

3) The realsm of growth of opinion. seseorang yang modern harus

memiliki kemampuan untuk membentuk dan menyatakan

pendapatnya menyangkut masalah yang ada disekitarnya

4) The need of information.. Manusian modern selalu berkeinginan

untuk mengikuti perkembangan lingkungan sehingga selalu

membutuhkan informasi.

5) Oriented toword future and punctuality. Manusia modern

berorientasi pada masa depan.

6) Efficacy. Artinya manusia modern percya bahwa ia mampu

mengontrol lingkungan bukaaan sebaliknya.

7) Planning. Manusia modern memiliki perencanaan yang jelas baik

masalah pribadi atau kemasyarakatan.

8) The Valving of tecnical skill kemampuan dan tehnik

merupakamsesuatu yang sangat bernilai bagi manusia modern.

9) Aspirations, educational dan acuational manusia modern memilki

aspirasi yang tinggi dan percaya bahwa pendidikan merupakan

kebutuhan mutlak dalam kehidupan.

49

10) Awareness and respect for the dignity of other Dia harus

menghargai orang lain karena setiap orang memilki kemulian dan

kebajikan seperti yang ia miliki.

11) Understanding production. Manusia modern memahami hal-hal

yang berkaitan dengan pengambilan keputusan untuk menggunkan

barang dan jasa yang dibutuhkan.

12) Optimism. Manusia modern selalu bersikap optimisme terhadap

tantangan yang dihadapi.86

d. Zakiah Daradjat, menyatakan indikasi modern adalah :

1) Meningkatnya kebutuhan hidup manusia.

Kebutuhan manusia semakin meningkat tidak hanya sebatas

kebutuhan primer tetapi juga kebutuhan sekunder yaitu kebutuhan

akan prestise.

2) Individualisme dan egoisme

Meningkatnya kebutuhan hidup mempengaruhi jalan hidup yang

ditempuh manusia, maka berkembanglah rasa asing dan terbebas

dari ikatan sosial. Hubungan dalam masyarakat modern tidak lagi

atas rasa persaudaraan tetapi kepentingan, akibatnya akan

merasakan kesepian meskipun ditengah-tengah keramaian.

3) Persaingan dalam hidup

Kebutuhan-kebutuhan yang meningkat dan mementingkan diri

sendiri membawa akibat persaingan hidup yang tidak sehat dan

86 Afan Gaffar, Modernitas dan Islam……….,Opcit .hlm.107

50

merugikan orang lain. Persaingan ini justru melahirkan

permusuhan dan perpecahan.

4) Keadaan yang tidak stabil

Akibat lebih lanjut dari persaingan hidup adalah kondisi yang tidak

stabil karena tiap orang cenderung mengejar kepentingan pribadi

tanpa mempedulikan kepentingan orang lain.87

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kehidupan

modern ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnologi,

masyarakatnya cenderung indidualistik,materialistik dan menurunya minat

manusianya terhadap agama.

2. Problematika Manusia Modern

Manusia modern yang lebih maju dari masyarakat tradisional idealnya mampu

berpikir logis dan mampu menggunakan berbagai tehnologi untuk

meningkatkan kualitas kehidupanya. Dengan Kecerdasannya manusia modern

semestinya lebih bijak dan arif, tetapi dalam kenyataannya banyak manusia

yang kualitas kemanusiannya lebih rendah dari pada kemajuan berpikir dan

tehnologi yang dicapai. Akibat dari ketidakseimbangan ini, mereka sangat

mudah terserang gangguan –gangguan kejiwaan seperti:

87 Zakiah Daradjat, Peranan agama dalam kesehatan mental.Jakrta: Haji Mmasagung

,1993. hlm.10-13

51

a. Keterasingan ( Alienasi )

Manusia modern tidak jarang mengalami keterasingan terhadap dirinya

sendiri. Mereka sering kali tidak mampu memahami pribadi dan

keinginan hidupnya sendiri. Hal ini disebabkan karena 1). Perubahan

sosial yang berlangsung cepat, 2) Hubungan antar manusia sudah

menjadi gersang, 3) Lembaga tradisional sudah berubah menjadi

lembaga rasional, 4) Masyarakat yang homogen sudah berubah

menjadi heterogen dan 5) Stabilitas sosial berubah menjadi mobilitas

sosial.88

b. Stress

Stress adalah reaksi atau tanggapan tubuh terhadap berbagai tuntutan

atau beban atasnya yang bersifat non spesifik. Manakala tuntutan

terhadap tubuh itu berlebihan (melampaui kemampuan seseorang)

disebut distres. Stess dalam kehidupan merupakan sesuatu yang tak

bisa dihindari. Masalahnya adalah bagaimana manusia hidup dengan

stess tanpa distres. Setiap keadaan atau peristiwa yang menimbulkan

perubahan dalam kehidupan seseorang, sehingga orang itu terpaksa

harus mengadakan adaptasi, maka inilah yang biasa disebut stresor

psikososial ( sumber stres ). Pada umumnya jenis stresor psikososial

adalah :

1) Perkawinan

88 Ahmad Mubarok, Relevansi Tasawuf dengan Problem Kejiwan Manusia Modern,

dalam Manusia Modern mendamba Allah Renungan Tasawuf Positif, (ed) Jakarta :Hikmah.hlm. 169

52

Berbagai permasalahan perkawinan merupakan sumber yang

dialami seseorang, misalnya pertengkaran, perceraian dan

sebagainya. Stresor ini dapat menyebabkan seseorang mengalami

depresi dan kecemasan.

2) Problem orang tua

Problem yang dihadapi orang tua seperti tidak memiliki anak,

kenakalan anak dan masalah keluarga yang lain dapat menjadi

sumber stres bagi seseorang.

3) Hubungan interpersonal

Hubungan ini bisa menjadi stresor jika terjadi konlik antar pihak.

4) Pekerjaan

Pekerjaan yang terlalu banyak sampai kehilangan pekerjaan dapat

membuat seseorang terkena stres.

5) Lingkungan hidup

Kondisi lingkungan yang buruk dapat berpengaruh besar bagi

kesehatan dan kepribadian seseorang. Lingkungan hidup bisa

menjadi stesor berat bagi masyarakat desa yang berurbanisasi,

karena belum memiliki kesiapan mental untuk menghadapi

53

godaan-godaan dan kesulitan-kesulitan hidup di kota, sehingga

mereka mudah mengalami ketegangan jiwa.89

6) Keuangan

Kondisi ekonomi yang tidak sehat seperti banyak hutang dan

kebangkrutan usaha dapat menjadi pemicu seseorang terkena stres.

7) Hukum

Stres dapat disebabkan karena terbentur pada standar-standar dan

norma-norma sosial tertentu, sehingga orang bisa merasa tertekan

dengan keadaan tersebut.

8) Perkembangan

Perkembangan fisik maupun mental seseorang pada masa remaja,

dewasa dan usia lanjut dapat menyebabkan depresi dan kecemasan

seseorang, terutama bagi mereka yang memasuki usia lanjut.

9) Penyakit fisik

Stres juga timbul akibat penyakit fisik seperti kanker, jantung dan

cacat akibat kecelakaan.

10) Faktor keluarga

89 Kartini Kartono, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam, Bandung:

Mandar Maju, 1989, hlm. 34

54

Keluarga memberikan pengaruh besar pada kepribadian dan

kesehatan seseorang, sehingga apabila kondisi keluarga tidak

harmonis, maka dapat menyebabkan stres bagi individu.

e. Depresi

Depresi adalah bentuk gangguan kejiwaan pada alam perasaan (

afektif) yang ditandai dengan :

1) Perasaan murung, sedih , gairah hidup menurun dan tidak

semangat.

2) Perasaan berdosa, bersalah dan penyesalan.

3) Konsentrasi daaan daya ingat menurun

4) Nafsu makan dan berat badan menurun

5) Gangguan tidur (insomania atau hipersomania) dam mimpi-mimpi

buruk.

6) Hilangnya minat semangat , kreativitas dan produktivitas menurun.

7) Pikiran -pikiran kematian dan bunuh diri.90

Salah satu jenis depresi yang sering dialami

seseorang adalah Post Power Syndrome (Sindrom Purna

Kuasa ). Dunia modern yang penuh persaingan hidup

menuntut manusia untuk bekerja keras, karena selain

mendapatkan ganjaran materiil berupa uang dan fasilitas

lainnya bekerja juga memberikan penghargaan, status

sosial dan prestise yang sangat berarti bagi kehidupan

90 Dadang Hawari, Al-Qur’an dan Ilmu…, op. cit., hlm. 54-55

55

seseorang. Kebiasaan menikmati kesenangan

tersebutmenyebabkan orang mudah terkena depresi bila

kehilangan sesuatu yang dimiliki dan menyebabkan

ketidakseimbangan mental emosional. 91

c. Frustasi

Kehidupan modern yang demikian kompetitif

menyebabkan manusia harus mengerahkan seluruh pikiran,

tenaga dan kemampuannya. Mereka terus bekerja dan

bekerja tanpa mengenal batas dan kepuasan. Hasil yang

dicapai tidak pernah disyukurinya dan apabila mereka

gagal, mudah putus asa dan kehilangan pegangan.92 Salah

satu keadaan di mana satu kebutuhan tidak bisa terpenuhi

dan tujuan tidak bisa tercapai sehingga orang kecewa dan

mengalami halangan dalam usahanya untuk mencapai

tujuan, maka frustasi dapat mengakibatkan berbagai bentuk

tingkah laku aktif. Misalnya, seseorang dapat mengamuk

dan menghancurkan orang lain, merusak barang atau

menyebabkan diorganisasi pada struktur kepribadian

sendiri. Namun sebaliknya frustasi dapat memunculkan

satu perjuangan dan usaha baru yang menguntungkan

kehidupan batin seseorang.93

91 Kartini Kartono,Higiene Mental….,Opcit.74 92 Abuddin Nata, Ahlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, t.th., hlm. 292 93 Kartini Kartono, Hygiene Mental …, op. cit., hlm. 50

56

Manusia modern yang telah kehilangan makna

hidup dan pegangan hidupnya, akan cenderung

melampiaskan kekecewaan dalam reaksi negatif. Reaksi-

reaksi frustasi negatif yang merupakan upaya pembelaan

diri yang negatif antara lain:

1) Agresi adalah kemarahan yang meluap-luap dan melakukan

serangan secara kasar dengan jalan tidak wajar. Kemarahan-

kemarahan semacam ini pasti menganggu fungsi intelegensi,

sehingga harga diri orang tersebut bisa merosot akibat tingkah laku

agresif berlebihan tadi.

2) Rasionalisasi adalah proses pembenaran kelakuan sendiri dengan

mengemukakan alasan yang masuk akal atau yang bisa diterima

secara sosial untuk menggantikan alasan yang sesungguhnya. Dia

menganggap dirinya paling benar dan menganggap orang lain

biang keladi kegagalan yang dialami.

3) Narsism adalah cinta diri yang ekstrim, paham menganggap diri

sangat superior dan penting, sehingga ia tidak perlu mengetahui

dan memikirkan orang lain.

4) Autisme adalah gejala menutup diri sendiri secara total dan tidak

mau berhubungan lagi dengan dunia luar. Keasyikan ekstrim

dengan pikiran dan fantasiya sendiri. Individu yang bersangkutan

merasa dirinya makhluk paling baik dan menganggap orang lain

buruk, munafik, palsu dan patut dicurigai.

57

d. Kecemasan

Stres, kecemasan dan depresi mempunyai hubungan serta.

Seseorang yang mengalami sters dapat diartikan orang itu

memperlihatkan keluhan-keluhan fisik, depresi dan kecemasan.

Sementara depresi murni jarang terjadi, tetapi selalu diikuti dengan

komponen kecemasan yang menyertainya.94 Gejala kecemasan adalah

sebagai berikut:

1) Takut khawatir

2) Firasat buruk

3) Takut akan pikiranya sendiri

4) Mudah tersinggung

5) Tegang, tidak bisa istirahat dengan tenang

6) Gelisah, mudah terkejut

7) Gangguan tidur dengan mimpi-mimpi yang menegangkan

8) Ganguan konsentrasi dan daya ingat

9) Jantung berdaear-debar, dada sesak, nafas pendek

10) Ganguan pencernaan

11) Nyeri otot, pegal linu, kaku, perasaan seperti ditusuk-tusuk, dan

badan panas dingin

12) Gangguan seksual95

Perasaan cemas yang diderita manusia modern, bersumber dari

hilangnya makna hidup (the meaning of life) yang merupakan motivasi

94 op. cit., hlm. 55 95 Dadang Hawari, op. cit., hlm. 55

58

utama dalam menjalani hidup ini. Kecenderungan kehidupan yang

dijalani berdasarkan tuntutan orang lain (trend), bukan dari diri sendiri.

Kehidupan yang demikian menjadikan seseorang dilanda kecemasan

karena ada konflik dalam diri. Kecemasan menurut Freud berkembang

dari konflik antara Id, Ego dan Super Ego yang memaksa seseorang

melakukan sesuatu. Freud membagi kecemasan dalam tiga bentuk,

yaitu kecemasan realita, kecemasan neurotik dan kecemasan moral.

Kecemasan realitas adalah rasa takut akan bahaya yang datang dari

dunia luar. Kecemasan neurotik adalah rasa takut jika insting akan ke

luar dari jalur dan menyebabkan perbuatan yang melanggar hukum.

Sementara kecemasan moral adalah perasaan takut terhadap hati

nuraninya sendiri yang menyebabkan seseorang merasa bersalah jika

bertentangan dengan kode moral.96

Menurut el Taftazani Kecemasan yang melanda seseorang

disebabkan karena tiga faktor yaitu: a). Hilangnya keimanan, b).

Menyembah Tuhan selain allah dan c). Penyimpangan dari nilai-nilai

moral.97

e. Neurosis

Kehidupan modern yang ditandai dengan kemajuan dalam

bidang transportasi komunikasi juga arus urbanisasi

mengakibatkan disintegrasi personal yang lebih parah dari

96 Gerald Corey, op. cit., hlm. 143 97 Abu el-wafa el taftazani , Peranan Sufisme dalam masyarakat modern, dalam

Agama dalam pergumulan masyarakat kontemporer, Mukti ali dkk, Yogyakarta : Tiara Wacana,1998. hlm.293

59

sekedar stres, depresi, tetapi neurosis. Neurosis adalah

bentuk gangguan fungsional pada sistem syaraf, mencakup

pula disintegrasi sebagian kepribadian. Berkurangnya

berkurangnya kontak antara pribadi dan lingkungan

sekitarnya. Gangguan ini ditandai dengan:

1) Penglihatan diri yang tidak lengkap terhadap kesulitan pribadi.

2) Memendam banyak konflik.

3) Reaksi-reaksi kecemasan.

4) Lemahnya sebagian dari struktur kepribadian.

5) Sering dihinggapi fobia, gangguan pencernaan dan tingkah laku

obsesif-kompulsif.

Sebab-sebab neurosis selain dari faktor internal adalah pribadi

yang sangat labil, tidak imbang dan kemauannya sangat lemah. Serta

frustasi dan konflik-konflik emosional. Gangguan-gangguan ini juga

disebabkan karena tekanan-tekanan sosial yang berat dan tekanan

kultural yang sangat kuat yang menimbulkan kecemasan dan

ketegangan dalam batin yang kronis.

f. Psikosis

Cultural lag yaitu kegagalan lembaga-lembaga sosial mengejar

perkembangan budaya ilmu dan budaya materiil, sehingga ada

ketidakcocokan antara budaya materiil dengan budaya spiritual, sosial

dan ekonomi pada hidup manusia di era modern ini. Bukanlah hal

mustahil jika seseorang mengalami gangguan mental yang lebih parah.

60

Psikosis merupakan gangguan mental parah yang ditandai dengan

disintegrasi kepribadian, maladjusment sosial yang berat, orangnya

tidak mampu mengadakan relasi sosial dengan dunia luar dan terdapat

gangguan pada karakter dan fungsi intelektual. Seseorang yang

menderita psikosis sering mengalami ketakutan hebat, mengamuk dan

juga melakukan usaha-usaha bunuh diri. Dalam kehidupan sehari-hari

kita sering menyebut penderita psikosis ini sebagai orang gila.

61

BAB III SOLUSI TASAWUF AMIN SYUKUR ATAS PROBLEM

MANUSIA MODERN

A. Profil Amin Syukur

1. Biografi

Prof. Dr. H. M. Amin Syukur, M.A. lahir di Gresik pada tanggal

17 Juni 1952. Ia bertempat tinggal di BPI Blok S.18 Ngaliyan Semarang.

Sehari-harinya sejak tahun 1980 beraktivitas sebagai tenaga pengajar di

Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang. Pria yang pernah

menduduki jabatan sebagai Pembantu Rektor III (1993-1997) dan menjadi

Dekan Fakultas Ushuluddin ini telah mempersunting wanita dari Kediri,

Dra. Fatimah Utsman, M.Si. dan dikarunia dua orang putri, Ratih Rizki

Nirwana dan Nugraheni Itsnal Muna.

Pendidikan formal yang pernah ditempuh ialah madrasah

ibtidaiyah Pondok Pesantren Ihyaul Ulum di Dukun Gresik. Sedangkan

SMP dan SMA ditempuh di Pondok Pesantren Darul Ulum dan Sarjana

Muda Fakultas Ushuluddin Universitas Darul Ulum Jombang. S-1

ditempuh di Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang. Sedangkan

S-2 dan S-3 nya di IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Sekarang ia menjadi

Guru Besar Tasawuf di IAIN Walisongo yang dikukuhkan pada tanggal

16 Agustus 1996.

Selepas dari jabatan Dekan Ushuluddin tahun 2001, ia aktif di

LEMBKOTA (Lembaga Bimbingan dan Konsultasi Tasawuf) yang

62

dirintisnya bersama beberapa kawan di IAIN Walisongo pada bulan Juli

tahun 2000. Menurut Amin, lembaga tersebut dibentuk berawal dari

kepedulian terhadap kondisi bangsa Indonesia yang tidak karuan, porak

poranda dan penuh dengan permainan elit politik,98 sehingga tidak

mengherankan jika kegiatan LEMBKOTA yang sering dilakukan selama

ini lebih banyak diikuti oleh kalangan elit masyarakat.

Ketertarikan Amin untuk menggeluti dunia tasawuf berawal dari

kecintaannya terhadap “thariqat” yang cenderung menganut ajaran-ajaran

yang aneh. Karena ia berfikir bahwa thariqat sama dengan tasawuf.

Sebuah pengalaman pribadi yang kemudian menjadi motivasi utama dalam

keseriusannya menggeluti dunia tasawuf adalah operasi otak dan kanker,

sakit yang diderita sekaligus pengalaman amat berharga dalam hidupnya.

Karena sebuah mu’jizat Allah kini penyakit itu telah sembuh. Selain itu

keinginan untuk mencari hidup lebih bermakna dari sekedar mencari

makan dan mensyukuri nikmat Allah yang telah diterimanya telah

membuat ia semakin eksis dan produktif menekuni dunia tasawuf modern

ini.99

2. Karya-karya.

a. Karya yang telah diterbitkan

1) Pengantar Ilmu Tauhid, Bangun Desa Semarang, 1987

2) Pengantar Studi Akhlak, Duta Grafika Semarang, 1988

3) Pengantar Studi Islam, Pustaka Pelajar Yoyakarta, 1996

98 Syahruddin el-Fikri, Mengubah Krisis dengan Bertasawuf, Kalam Aneka Republika, 3 Desember 2003, kolom 3, hlm. 4

99 Wawancara, tanggal 25 Pebruari 2003

63

4) Zuhud di Abad Modern, Pustaka Pelajar Yogyakarta, 1996

5) Menggugat Tasawuf dan Sufisme Tanggung Jawab Abad 21,

Pustaka Pelajar, 1998

6) Tasawuf Kontekstual; Solusi Problem Manusia Modern, Pustaka

Pelajar, 2003

7) Intelektualisme Tasawuf; Studi Intelektualisme Tasawuf al-

Ghazali, ditulis bersama Masyharuddin, Pustaka Pelajar

Yogyakarta, 2001

8) Masa Depan Tasawuf dalam Tasawuf dan Krisis, Pustaka Pelajar

Yogyakarta, 2001

b. Penelitian

1) Pemikiran dan Penguasaan Tanah, penelitian individual 1998

2) Sumbangan al-Hallaj terhadap Perkembangan Pemikiran

Tasawuf, tesis 1990

3) Corak Pemikiran Tafsir al-Qur’an pada Abad XX; Suatu Kajian

Metodologis, (penelitian kolektif) 1992

4) Pemikiran Ulama Sufi Abad XX tentang Zuhud, penelitian kolektif

1993

5) Rasionalisme dalam Tasawuf, penelitian individual 1996

6) Tanggung Jawab Sosial Tasawuf Abad XX, penelitian individual

1996

7) Aplikasi Zuhud dalam Sorotan al-Qur’an, Desertasi Individual

1996

64

c. Organisasi

1) Dewan Pertimbangan DPD I Tarbiyah Islamiyah Jateng (1995-

2000)

2) Pemimpin redaksi jurnal Theologia Fakultas Ushuluddin IAIN

Walisongo Semarang (1990 - )

3) Sekretaris Walisongo Press (1993)

4) Wakil DPD I MD I Jateng 1994

5) Wakil Ketua ICMI Orwil Jateng 1995

6) Ketua Komisi Pendidikan MUI Jateng 1995

B. Solusi Amin Syukur Atas Problem Manusia Modern

1. Dzikir

a. Pengertian Dzikir

Secara etimologi, dzikir berasal dari kata dzakara artinya

mengingat, memperhatikan, mengenang, mengambil pelajaran,

mengerti atau mengenal dan ingatan.100 Dalam psikologi, ingatan

sebagai salah satu fungsi intelektual manusia mempunyai arti penting

yaitu suatu daya jiwa kita yang dapat menerima, menyimpan dan

memproduksi kembali tanggapan-tanggapan atau pengertian-

pengartian kita.101

Secara terminologi, dzikir yang dimaksud adalah sebagaimana

yang dilakukan para sufi dalam bentuk renungan sambil duduk

100 M. Afif Anshori, Dzikir Demi Kedamaian Jiwa; Solusi Tasawuf Atas Problem Manusia Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 16

101 Agus Suyanto, Psikologi Umum, Jakarta: Aksara Baru, 1979, hlm. 49

65

mengucap lafadh-lafadh Allah.102 Al-Qur’an memberi petunjuk bahwa

dzikir itu bukan hanya ekspresi daya ingat yang ditampilkan dengan

komat kamit lidah sambil duduk merenung, tetapi lebih dari itu dzikir

bersifat implementatif dalam berbagai variasi yang aktif dan kreatif.

Al-Qur’an menjelaskan dzikir berarti membangkitkan daya

ingat (al Ra’du: 28), dzikir berarti mengambil pelajaran (an-Nahl: 90)

dan meneliti proses alam (Ali Imran: 190-191). Dari pengertian dzikir

yang terdapat dalam al-Qur’an, maka dzikir membentuk akselerasi

mulai dari renungan, sikap, aktualisasi sampai pada kegiatan meneliti

alam. Semua itu menghendaki terlibatnya dzikir tanpa boleh alpa

sedikitpun dan merupakan jaminan ketenangan dalam diri.103

b. Cara Dzikir

Sukamto MM., membagi dzikir dalam empat jenis yaitu dzikir

membangkitkan daya ingat, dzikir kepada hukum-hukum Allah, dzikir

mengambil pelajaran atau peringatan dan dzikir meneliti proses alam.

c. hjgjh

2. Tanggung jawab tasawuf atas problem sosial

Peranan agama dalam zaman apapun adalah penting, karena sudah

menjadi fitrah bagi manusia untuk selalu membutuhkan agama. Dalam

konteks kehidupan modern, peranan agama tidak sebatas pada formalisme

102 M. Afif Anshori, op. cit., hlm. 17 103 Amin Syukur, Dzikir dan Penguatan Hati, Kumpulan Makalah Pelatihan Seni Menata

Hati Menuju Insan Kamil, Semarang: LEMBKOTA, 2003, hlm. 31-32

66

dan legalisme, tetapi transformasi tindakan fisik ke dalam tindakan batin.

Peranan agama dalam konteks ini adalah sebagai : 1) penyeimbang ruhani

sebagai akibat dari kemajuan hidup disegala bidang di zaman modern. 2)

Salah satu peredam daya rusak manusia akibat nafsu yang dimiliki oleh

setiap orang. Agama memiliki potensi esensial kapan saja dan di mana saja

yaitu menciptakan rasa keterhubungan dengan yang diyakini (Tuhan)

dalam bentuk pengalaman ruhaniah yang mencerahkan batin.104

Senada dengan peranan agama di atas, Zakiah Daradjat

menyebutkan fungsi agama ada tiga, yaitu:

a. Memberikan bimbingan hidup

b. Menolong dalam menghadapi kesukaran

c. Menentramkan batin105

Sekarang ini, peranan agama dituntut untuk dapat memecahkan

krisis kemanusiaan. Apakah agama masih relevan sebagai kompas

kehidupan sangat tergantung dari bagaimana agama mampu memberikan

jawaban yang cukup efektif, tentunya hal ini akan memperkokoh

keberadaan agama di muka bumi.106 Islam dengan ajaran tasawufnya,

selalu berupaya untuk menjawab permasalahan tantangan zaman. Pada

awalnya tasawuf pada awal perkembangannya lebih menekankan pada

dimensi Theo-Filosofis membicarakan masalah ketuhanan dan bagaimana

104 Moh. Damami, Tasawuf Positif; Telaah Pemikiran Hamka, Yogyakarta: Pustaka Baru,

2000, hlm. 218-219 105 Zakiah Daradjat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Jakarta: Haji Masagung,

1993, hlm. 56 106 Amin Rais, Tauhid Sosial; Formula Menggempur Kesenjangan, Bandung: Mizan,

1998, hl. 102

67

hubungan, penghayatan dan menyatu dengan Tuhan. Kajian tasawuf

kurang sekali membicarakan bagaimana membina moral umat, menarik

diri dari keramaian dunia dan menjauhi kekuasaan, maka pada abad XXI

ini, tasawuf dituntut berbeda. Tasawuf dituntut lebih humanis, empiris dan

fungsional (penghayatan terhadap ajaran Islam, buka pada Tuhan), bukan

reaktif, tetapi aktif serta memberikan arah dan sikap hidup menusia di

dunia ini, baik berupa moral, spiritual, ekonomi dan sosial.107

Ajaran tasawuf (zuhud) dalam Islam sering dianggap menjadi

penyebab kemunduran umat Islam. Karena ajarannya mementingkan

perhatian harus terpusat kepada Tuhan dan apa yang ada dibalik alam

materi. Hal ini pada akhirnya membawa keadaan umat yang kurang

mementingkan masalah kemasyarakatan.108 Pernyataan tersebut diperkuat

dengan kenyataan sejarah bahwa lahirnya tasawuf sebagai fenomena

ajaran Islam diawali dari ketidakpuasan terhadap praktek Islam yang

cenderung formal dan legal. Di samping juga ketimpangan politik, moral

dan ekonomi umat Islam, khususnya karena penguasa pada saat itu.

Dalam kondisi yang demikian, tasawuf tampil memberi solusi terhadap

formalise dan legalisme dengan spiritualitas pembenahan dan transformasi

tindakan fisik ke dalam tindakan batin. Sedangkan reaksi terhadap sikap

politik penguasa dan ekonomi yang menimbulkan kefoya-foyaan materiil

dengan menampakkan sikap isolasi dari kehidupan dunia.109

107 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf dan Sufisme Tanggung Jawab Abad 21,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hlm. 109 108 Harun Nasution, op. cit., hlm. 191 109 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf …, op. cit., hlm. 110

68

Para pelaku tasawuf seperti di atas terkesan egois, hanya

mementingkan spiritual saja. Padahal penekanan salah satu aspek dapat

menimbulkan kepincangan yang menyalahi prinsip equilibrium (tawazun)

dalam Islam.110 Menurut Amin, pada manusia sekarang tanggung jawab

sosial lebih berat dari pada masa lalu, karena situasi dan kondisinya lebih

kompleks, sehingga refleksinya berbeda. Masyarakat modern sekarang

ternyata menyimpang problem hidup yang sulit dipecahkan.

Rasionalisme, sekulerisme dan materialisme ternyata tidak menambah

kebahagiaan dan ketentraman hidup, akan tetapi justru menimbulkan

kegelisahan hidup.111 Tanggung jawab tasawuf dalam era modern ini

dapat diwujudkan dalam bidang-bidang berikut:

a. Tanggung jawab spiritual

Kecenderungan manusia modern untuk mengagung-agungkan

ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengakibatkan mereka tidak

mempercayai dan memunafikkan ajaran yang bersumber dari kitab

suci maupun tradisi mistik yang menyatakan manusia itu memiliki

unsur spiritual. Ditambah lagi dengan kehidupan yang selama ini

dijalani tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia akan nilai-

nilai transendental satu kebutuhan pokok yang hanya bisa digali dari

sumber ilahi. Pada pola hidup demikian melahirkan manusia yang

pincang, hanya berorientasi pada masalah kekinian dan segala

perubahan yang dilakukan tanpa dilandasi pegangan hidup serta tujuan

110 H. Msyharuddin, Ibn Taimiyah dan Pembaharuan Tasawuf dalam tasawuf dan Krisis, Amin Syukur dkk., Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 97

111 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf …, op. cit., hlm. 112

69

hidup yang kuat justru melahirkan krisis.112 Sehingga wajar jika pada

akhirnya manusia modern dilanda krisis spiritual yang melahirkan

gangguan psikologis, seperti merasa tidak aman dan terancam oleh

kemajuan yang dicapai.

Dalam pandangan tasawuf menyelesaikan dan perbaikan

keadaan tersebut, tidak dapat dicapai secara optimal jika hanya dicari

dalam kehidupan modern, namun dengan penghayatan terhadap ajaran

agamanya, sehingga manusia mampu mengenal diri sendiri dan

akhirnya mengenal Tuhan. Hal ini, tasawuf (spiritual Islam) dituntut

untuk dapat mengugah aktualisasi diri dalam menghadapi hidup

duniawi yang meski dijalani dan mampu mengembalikan jati diri

manusia sebagai umat pilihan Allah SWT.113

b. Tanggung jawab etik

Kehidupan modern juga diwarnai dengan dekadensi moral,

apalagi banyak manusia modern yang mengikuti moralitas relatif, etika

situasional. Mereka berpendirian bahwa ukuran baik buruk tidak bisa

dibakukan, karena ukuran tersebut harus mengikuti irama perjalanan

manusia modern, cita rasa serta persepsi maupun keinginan-keinginan

manusia modern.114 Akibat kaburnya tatana sosial etika adalah

tumbuhnya perilaku-perilaku menyimpang, seperti karupsi, kolusi dan

pembunuhan. Selain manusia sering menampakan sifat-sifat kurang

112 Abdul Muhaya, Peranan Tasawuf dalam Menanggulangi Krisis Spiritual dalam

Tasawuf dan Krisis, Amin Sukur dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 22 113 Moh. Damami, Tasawuf Positif …, op. cit., hlm. 222-223 114 Amin Rais, Tauhid Sosial ..., op. cit., hlm. 99-100

70

terpuji dalam menghadapi materi yang gemerlap, seperti al-hirsh, yaitu

keinginan berlebihan terhadap materi, riya sifat suka memamerkan

harta/kebaikan diri dan berbagai penyakit hati lainnya.

Tasawuf yang merupakan moralitas Islam, memiliki tanggung

jawab dalam memperbaiki moral manusia. Menurut Nurcholis Madjid,

etika (moral) tidak hanya masalah kesopanan semata, melainkan

konsep yang komprehensif yang menjadi pangkal pandangan hidup

baik dan buruk. Ajaran etis mencakup pandangan dunia dan pandangan

hidup.115 Dasar pandangan etis kaum beriman adalah rabbaniyyah atau

bertakwa yang merupakan fondasi dari sudut pandang sistem

keagamaan. Implikasi ke-Tuhanan Yang Maha Esa itu dapat

didefinisikan dan menghasilkan 19 nilai-nilai yang akan terintegrasi

dalam kehidupan seseorang.116

Dalam tradisi tasawuf, menghilangkan sifat-sifat buruk

manusia dilakukan dengan mengadaklan penghayatan atas keimanan

dan ibadahya, latihan sungguh-sungguh dan senantiasa melakukan

muhasabah (instropeksi diri). Riyadhah dan mujahadah ini sebagai

sarana melawan hawa nafsunya. Cara pembinaan nafsu melalui tiga

tahapan, yaitu: pembersihan dan pengosongan jiwa dari sifat-sifat

tercela (takhalli), tahap kedua ialah penghiasan diri dengan sifat-sifat

terpuji (tahalli) dan ketiga tercapainya sinar ilahi (tajalli) dalam tahap

115 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992, hlm. 466 116 Implikasi etika yang berlandaskan rabbaniyyah menghasilkan 19 nilai-nilai. Lihat,

Ibid., hlm. 476-480

71

ini hati seseorang mencapai ketenangan dan mampu membedakan

mana yang baik dan mana yang tidak.117

c. Tanggung jawab politik

Tanggung jawab tasawuf juga telah memasuki ranah politik.

Hal ini bisa disaksikan dalam sejarah, yaitui aktivitas thariqat Sanusiah

yang mampu memukul mundur penjajah Prancis di Aljazair dan

penjajah Inggris di Libia. Fazlur Rahman mengatakan bahwa thariqat

ini menanamkan disiplin tinggi dan aktif dalam medan perjuangan

hidup, baik sosial, politik maupun ekonomi. Corak geraknnya lebih

purifikasionis dan lebih aktivis, memberantas penyelewengan moral

sosial dan keagamaan. Fazlur Rahman menamakannya Neo-Sufisme.118

Dalam konteks Indonesia yang sekarang sedang mengalami

krisis multidimensional, maka menurut Amin bahwa tasawuf bisa

dijadikan alat introspeksi diri bagai para elit politik, karena krisis-krisis

bangsa ini lebih banyak dikarenakan kelompok-kelompok elit,

kalangan eksekutif dan legislatif (pelaksana pemerintahan). Kalangan

ini mempunyai posisi yang strategis dalam menyakinkan negara dan

melakukan sebuah perubahan di dalamnya. Dengan tasawuf, seseorang

akan lebih memahami dan menghayati ajaran agama dan memberikan

nilai dalam ibadah. Hal ini akan terefleksi dalam perilaku dan aktivitas

atau peran sosial yang dimiliki, sehingga apapun pekerjaan dan

profesinya, maka seseorang akan tetap berpegang pada ajaran agama.

117 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf …, op. cit., hlm. 115-116 118 Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhamad, Bandung: Pustaka, 1984, hlm. 197

72

d. Tanggung jawab pluralisme agama

Pluralisme dalam masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang

wajar (sunnatullah), kemajemukan akan melahirkan keunikan. Kiranya

diperlukan perilaku yang unik pula. Pluralisme dalam berbagai bidang

apapun, baik ras, suku, watak dan sebagainya sangat diperlukan sikap

toleran, jujur, terbuka, wajar dan adil.119 Kebutuhan mengedepankan

pluralisme sangat dibutuhkan, ternasuk di Indonesia, yaitu kesiapan

untuk menerima dan menghargai kenyataan pluralitas merupakan satu-

satunya jalan untuk mengubah aspek negatif heterogenitas menjadi

aset positif. Apalagi orang Islam pada abad modern, seharusnya mudah

menemukan sikap demokratis untuk menerima pluralisme, karena

Islam menurut doktrinnya telah mendorong hal ini, bahkan sejak

kelahirannya pada masa Nabi.120

Al-Qur’an menyebutkan bahwa kebenaran universal yang

tunggal bagi semua ajaran agama adalah prinsip tauhid, yaitu

pengesaan Tuhan dan kesatuan umat (QS. al-Anbiya: 92), dan

perbedaan-perbedaan yang terjadi akibat kebanggaan dan sikap

menolak (QS. Ali Imran: 83-85). Konsep tauhid ini mempunyai

implikasi praktis dalam bermuamalah, perbedaan-perbedaan bukan

sesuatu yang harus dipertentangkan, namun harus diambil makna

positif dan di dalam al-Qur’an agar dijadikan alat pembeda dan justru

119 Syahruddin el-Fikri, Mengubah …, op. cit., kolom 2-3, hlm. 4 120 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf …, op. cit., hlm. 118

73

akan mudah mengenal satu dengan yang lain (QS. Al-Hujarat: 13).121

Hal ini menunjukkan bahwa Islam (melalui tasawuf) menyediakan dan

mengembangkan basis etika yang relevan bagi masalah-masalah

modern.

e. Tanggung jawab intelektual

Modernisasi telah melahirkan IPTEK yang menuntut

pengembangan agar mampu berdialog dengan kemajuan yang ada.

pengetahuan yang kita miliki harus diimbangi dengan jiwa keagamaan

yang kuat, karena jika tidak, masyarakat yang telah menciptakan

tingkat kemakmuran materi dengan perangkat teknologi yang serba

mekanis dan otomat akan dihinggapi rasa cemas akibat kemewahan

hidup yang diraihnya. Mereka telah menjadi pemuja ilmu dan

teknologi, sehingga tanpa disadari integritas kemanusiannya tereduksi

dan terjebak pada jaringan sistem rasionalitas teknologi yang sangat

tidak humanis.

Secara epistemologi, tasawuf yang mengembangkan metode

intuisi dijadikan alternatif metode rasional dan empirik yang

berkembang. Intuisi mempunyai arah yang berbeda dengan akal dan

indera yang lebih berkompeten dalam menghadapi objek materi dan

kuantitatif. Sementara intuisi sebagai naluri yang menjadi kesadaran

121 Ibid., hlm. 119

74

diri manusia dan menuntut kita kepada kehidupan dalam batin. Jika

intuisi dapat meluas, maka ia dapat memberi petunjuk dalam hal-hal

yang vital. Jadi dengan intuisi kita dapat menemukan elan vital atau

dorongan yang vital dari dunia yang berasal dari dalam dan langsung

bukan dengan intelek.122

Akal dan intuisi (tasawuf) memiliki hubungan erat, sehingga

menurut al-Ghazali akal mempunyai dua fungsi yang dibutuhkan

tasawuf. Pertama akal sebagai prasarana bagi tasawuf yang berfungsi

untuk:

1. Memperoleh pengetahuan yang benar dan dibutuhkan tasawuf.

2. Mengarahkan latihan-latihan batin (riyadhah) yang benar bagi

tasawuf.

3. Berfikir benar dan lurus sebagai persiapan memperoleh

pengalaman dan pengetahuan sufistik pada tasawuf.

Kedua, akal sebagai sarana dan alat evaluasi yang berfungsi

untuk melakukan pengujian dan penilaian kritis terhadap pengalaman-

pengalaman sufistik serta perluasannya.123 Melalui tasawuf seseorang

disadarkan bahwa sumber segala yang ada adalah Tuhan, sehingga ia

mampu mengarahkan ilmu dan teknologi yang dimiliki berwawasan

moral atau diarahkan oleh nilai-nilai dari Tuhan, sehingga tidak terjadi

122 Harold H Titot dkk., Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. M. Rasydi, Jakarta: Bulan

Bintang, 1984, hlm. 205 123 Amin Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf; Studi Intelektualisme

Tasawuf al-Ghazali, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 84

75

dengan apa yang diistilahkan Zakiah Daradjat, yaitu “Pengetahuan

tanpa agama membahayakan”.

Berdasarkan tanggung jawab tasawuf di era sekarang, maka

langkah-langkah yang dilakukan Amin Syukur dalam membantu

menyelesaikan masalah seseorang adalah sebagai berikut:

a. Hal pertama yang dilakukan adalah mengetahui penyebab masalah

seseorang. Sebagian besar manusia mengalami kecemasan,

menghadapi masa depan (masa tuanya), keinginan untuk mencapai

jabatan tertentu dan takut mati.

b. Setelah mengetahui penyebabnya, langkah terapi yang diambil adalah

penanaman aqidah (tauhid, yaitu membangun iman seseorang sebagai

fondasi utama, sehingga ia mempunyai kesadaran untuk senantiasa

berdialog dan berkomunikasi dengan Tuhan).

c. Kesadaran yang dibangun ini dilanjutkan dengan mengaplikasikannya

dalam tindakan lahir / ibadah, seperti zikir, shalat, puasa dan zakat.

d. Pelaksanaan ibadah yang terpenting adalah bagaimana penghayatan

terhadap ibadah-ibadah yang dilakukan, karena pada dasarnya setiap

ibadah mempunyai pesan moral. Berpuasa misalnya mengandung nilai

moral berupa tolong menolong, menghormati sesama, memupuk rasa

persaudaraan dan menghargai orang lain. Demikian pula dengan shalat

dan zakat juga memiliki pesan moral. Inilah menurut Amin yang

sering dilupakan banyak orang, pengalaman tidak dibarengi dengan

penghayatan sepenuh hati, sehingga muncul istilah “STMJ” (shalat

76

terus maksiat jalan), padahal shalat bertujuan untuk mencapai derajat

muttaqin dan mencegah seseorang untuk melakukan perbuatan

mungkar.124

e. Jika iman dan Islam telah dibangun, maka perpaduan keduannya

membentuk akhlakul karimah. Seseorang yang berakhlak karimah

akan terlihat melakukan kesalehan secara individu maupun sosial.

Langkah-langkah tersebut di atas merupakan inti tasawuf,

sehingga setelah melalui proses tersebut seseorang akan lebih memahami

posisinya sebagai hamba Allah dan mampu menemukan makna hidup dan

akhirnya ia selalu bersifat positif dalam menghadapi kenyataan hidup.125

3.

4. Zuhud

Pemikiran Amin Syukur yang terkait dengan pembentuka akhlakul

karimah yang penting artinya dalam kehidupan dunia modern yang

materialistik adalah zuhud. Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam

surat Ali Imran ayat 14 sebagai berikut:

Òõíøöäó áöáäøóÇÓö ÍõÈøõ ÇáÔøóåóæóÇÊö ãöäó

ÇáäøöÓóÇÁö æóÇáúÈóäöíäó æóÇáúÞóäóÇØöíÑö

ÇáúãõÞóäúØóÑóÉö ãöäó ÇáÐøóåóÈö æóÇáúÝöÖøóÉö

æóÇáúÎóíúáö ÇáúãõÓóæøóãóÉö æóÇáúÃóäúÚóÇãö

124 Syahruddin el-Fikri, Mengubah …, op. cit., kolom 5, hlm. 4 125 Wawancara tanggal 25 Pebrauri 2004

77

æóÇáúÍóÑúËö Ðóáößó ãóÊóÇÚõ ÇáúÍóíóÇÉö ÇáÏøõäúíóÇ

æóÇááøóåõ ÚöäúÏóåõ ÍõÓúäõ ÇáúãóÂÈö. (Ãá- ÚãÑÇä:14)

Artinya: “Dan jadikanlah indah pada (pandangan) manusia kepada apa-apa yang diingini, yaitu wanita-wanita, anak-anak dan harta yang banyak dari jenis emas, perak kuda pilihan, binatang-binatang ternak dansawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”. (QS. Ali Imran: 14)126

Ayat di atas menunjukkan bahwa manusia mempunyai watak

selalu tertarik dan cinta kepada wanita, anak dan harta yang banyak,

sehingga sikap zuhud bisa dijadikan salah satu alternatif mengatasi

masalah manusia modern.

a. Pengertian zuhud

Secara etimologi, zuhud berarti raghaba an syaiin wa

tarakahu, artinya tidak tertarik terhadap sesuatu da meninggalkannya.

Zahada fi dunnya, berarti mengosongkan diri dari kesenangan dunia

untuk beribadah.127 Sedangkan zuhud secara terminologis tidak

dilepaskan dari dua hal. Pertama, zuhud sebagai bagian yang tak

terpisahkan dari tasawuf. Kedua, zuhud sebagai moral (akhlak) Islam

dan gerakan protes. Apabila tasawuf diartikan adanya kesadaran dan

komunikasi langsung antara manusia dengan Tuhan. Sebagai

126 Soenarjo dkk., Al-Qur’an dan Terjemahnya, Semarang: Toha Putra, 1989, hlm. 143 127 Zakiah Daradjat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Jakarta: Haji Masagung,

1993, hlm. 20-28

78

perwujudan Ihsan, maka zuhud merupakan suatu maqam menuju

tercapainya perjumpaan dengan-Nya.

Zuhud dalam pengertian pertama merupakan salah satu

maqam tasawuf. Dunia dipandang sebagai hijab (penghalang) antara

sufi dan Tuhan. Itulah sebabnya Harun Nasution mengatakan bahwa

zuhud adalah meninggalkan dunia dan hidup kematerian. Zuhud

dalam pengertian Barat sering dialihbahasakan dengan istilah

ascetisisme dan diberi pengertian sikap mematikan terhadap

kesenangan dunia. Pengertian ini diambil dari pengalaman sejarah di

mana para zahid memiliki gaya hidup menolak segala sesuatu untuk

kemewahan dalam rangka melenyapkan keteriktan hati terhadap dunia

dan isinya. Kenyataan ini yang kemudian memunculkan pandangan

bahwa tasawuf adalah sumber fatalis / kemandegan bagi Islam.

Pengertian kedua lebih diarahkan pada aktualisasi ajaran-

ajaran tasawuf dalam konteks kekinian disertai dengan sikap yang

elastis menyangkut ajaran-ajarannya. Zuhud sebagai moral (akhlak

Islam) dan gerakan protes, yaitu sikap hidup yang seharusnya

dilakukan oleh seorang muslim dalam menatap kehidupan dunia fana

ini. Dunia di pandang sebagai sarana ibadah dan meraih keridhaan

Allah.128

Perbedaan antara zuhud sebagai mawam dengan zuhud sebagai

moral Islam dan gerakan protes ialah:

128 Amin Syukur, Zuhud di Abad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997, hlm. 2

79

1) Yang pertama melakukan zuhud dengan tujuan bertemu Allah

SWT dan ma’rifat kepada-Nya. Dunia dipandang sebagai hijab

antara dia dan Tuhan, sedangkan yang kedua hanya sikap

mengambil jarak dengan dunia dalam rangka menghiasi diri

dengan sifat-sifat terpuji, karena disadari bahwa cinta dunia

merupakan pangkal kejelekan.

2) Yang pertama bersifat individual, sedangkan yang kedua bersifat

individual dan sosial dan sering dipergunakan sebagai gerakan

protes terhadap ketimpangan sosial.

3) Yang pertama formulasinya bersifat normatif, doktrinal dan

ahistoris, sedangkan yang kedua formulasinya bisa diberi makna

kontekstual dan historis.129

b. Urgensi zuhud di abad modern

Kondisi masyarakat di era kapanpun pada dasarnya sangat

memerlukan berbagai nilai moral seperti kejujuran, kedisiplinan,

kedamaian, kesederhanaan dan ketidakserakahan. Nilai-nilai moral

seperti ini adalah sebuah spirit yang sangat diperlukan oleh seluruh

komponen masyarakat modern, meskipun model masyarakat modern

lebih mengutamakan dimensi rasionalitas, individualistik dan reaktif

positifistik.130 Ditambah lagi dengan sifat hidup materialistik dan

129 Ibid., hlm. 3 130 Komaruddin Hidayat, Nilai-Nilai Tasawuf ..., op. cit., hlm. 76

80

hedonis. Bila diteliti secara lebih mendalam, nilai-nilai moral seperti

di atas merupakan bentuk hakiki ajaran tasawuf.

Ajaran tasawuf sebagai dimensi esoteris Islam harus dapat

dipahami sesuai dengan konteksnya, sehingga teraktualisasikan dalam

kehidupan dan menunjukkan kemampuan Islam menjawab tantangan

zaman. Rumusan ajaran tasawuf klasik khususnya yang menyangkut

konsep zuhud sebagai mawam yang diartikan sebagai sikap menjauhi

dunia dan isolasi terhadap keramaian duniawi, karena semata-mata

ingin bertemu dan ma’rifat kepada Allah sebagaimana dirumuskan

ulama yang dulu seperti Hasan al-Basri sebagai protes atas sistem

sosial politik dan ekonomi kala itu.131

Bagaimana zuhud sebagai upaya pembentukan sikap terhadap

dunia di masa modern seperti ini. Konsep zuhud sekarang ini

ditekankan pada zuhud sebagai moral Islam. Dalam posisi ini, ia tidak

berarti suatu tindakan pelarian dari kehidupan dunia nyata ini, akan

tetapi ia adalah suatu usaha mempersenjatai diri dengan nilai-nilai

rohaniah yang baru yang dapat menegakkannya saat menghadapi

problem hidup dan kehidupan yang serba materialistik dan berusaha

mereaksasikan keseimbangan jiwanya sehingga timbul kemampuan

menghadapinya dengan sikap jantan.132

Zuhud bukan berarti suatu usaha pemiskinan, akan tetapi dunia

dan materi yang dimiliki disiasati agar mampu bernilai akherat,

131 Amin Syukur, Zuhud …, op. cit., hlm. 176 132 Ibid., hlm. 179-180

81

dijadikan sarana beribadah kepada Allah, sebagaimana Firman Allah

dalam surat al-Qashash ayat 77 sebagai berikut:

æóÇÈúÊóÛö ÝöíãóÇ ÁóÇÊóÇßó Çááøóåõ ÇáÏøóÇÑó

ÇáúÂÎöÑóÉó æóáóÇ ÊóäúÓó äóÕöíÈóßó ãöäó ÇáÏøõäúíóÇ

æóÃóÍúÓöäú ßóãóÇ ÃóÍúÓóäó Çááøóåõ Åöáóíúßó æóáóÇ

ÊóÈúÛö ÇáúÝóÓóÇÏó Ýöí ÇáúÃóÑúÖö Åöäøó Çááøóåó

áóÇ íõÍöÈøõ ÇáúãõÝúÓöÏöíäó. (ÇáÞÕÇÕ: 77)

Artinya: “Dan carilah apa yang dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akherat dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS. Al-Qashash: 77)133

Zuhud dalam kehidupan modern pada intinya merupakan sikap

hidup yang tidak mau diperbudak atau terperangkap oleh pengaruh

dunia yang sementara itu. Jika sikap ini telah mantap, maka ia tidak

akan menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan. Cara yang

ditempuh adalah cara-cara yang diridhai Tuhan. Uzlah (mengasingkan

diri) yang merupakan bagian pemaknaan zuhud bukan berarti

menjauhkan diri dari dunia, tetapi membebaskan manusia dari

kungkuman materi dan tetap mengendalikan diri dari dunia, tetapi

133 Soenarjo dkk., Al-Qur’an …, op. cit., hlm. 453

82

membebaskan manusia dari kumkungan materi dan tetap

mengendalikan aktivitasnya sesuai nilai-nilai Tuhan.134

Akibat modernisasi dan industrialisasi, manusia sering

mengalami degradasi moral yang menjatuhkan martabatnya, karena

memang dalam hidup manusia selalu berkompetisi dengan kekuatan

baik dan buruk yang ada pada dirinya. Usaha untuk membimbing

hidupnya diperlukan prinsip-prinsip positif yang mampu sikap hidup

yang lebih moderat, selalu mengadakan intropeksi, mengendalikan

nafsu, sehingga tidak lupa terhadap diri sendiri dan Tuhannya. Dalam

tasawuf, upaya mencapai kesempurnaan rohani dikenal dengan

tahapan takhalli, tahalli dan tajalli. Dalam takhalli terdapat ciri

moralitas Islam, yakni menghindari sifat-sifat tercela, baik secara

vertikal dan horisontal. Tahalli merupakan pengungkapan secara

progresif nilai moral yang terdapat dalam Islam, misalnya zuhud, yang

oleh sebagian ulama sufi merupakan awal kehidupan tasawuf.135

Tahapan zuhud, sebagaimana disadur oleh Amin dari pendapat

Imam Ahmad bin Hanbal adalah pertama zuhud dalam arti

meninggalkan hal-hal yang haram adalah zuhudnya orang-orang

awam. Kedua, zuhud dalam arti meninggalkan apa saja yang berlebih-

lebihan dalam perkara yang halal. Ini adalah zuhudnya orang khawas

(istimewa) dan ketiga, zuhud dalam arti meninggalkan apa saja yang

memalingkan dirinya dari Allah SWT. Ini adalah zuhudnya orang arif.

134 Abuddin Nata, Ahlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998, hlm. 298 135 Amin Syukur, Zuhud …, op. cit., hlm. 181

83

Berdasarkan definsi di atas, dapat dijabarkan nilai-nilai yang

berguna bagi usaha menghilangkan dekadensi moral yang berkaitan

dengan sikap hidup materialistik. Meninggalkan yang haram menuntut

orang mencari kekayaan serta tulus lewat kerja keras profesional,

meninggalkan suap, manipulasi, korupsi, menindas dan lain

sebagainya, meinggalkan hal-hal yang berlebih-lebihan walaupun

halal, menunjukkan sikap hemat, hidup sederhana, pemilihan harta

yang lebih bernilai produktif, yaitu mendorong untuk mengubah harta

bukan saja aset illahiyah yang mempunyai nilai ekonomis, tetapi aset

sosial dan mempunyai tanggung jawab pengawasan aktif terhadap

pemanfaatan harta dalam masyarakat.136

Dengan demikian, menurut Amin bahwa zuhud dapat

dijadikan sebagai benteng untuk membangun diri dari dalam diri

sendiri, terutama dalam menghadapi gemerlapnya materi. Dengan

zuhud akan tampil sifat-sifat positif lainnya seperti:

1. Qana’ah

Kepuasan jiwa terhadap apa yang telah diberikan Allah

kepadanya. Sikap qana’ah penting artinya dalam mengarungi hidup

sekarang (kehidupan modern) yang semakin meningkatkan

kebutuhan-kebutuhan dalam hidup. Dengan sifat ini, manusia tidak

mudah terbawa arus buruk untuk memenuhi tuntutan-tuntutan

hidupnya.

136 Jalaluddin Rahmat, Islam Alternatif, Bandung: Mizan, 1986, hlm. 100

84

2. Tawakal

Tawakal pada dasarnya merupakan konsekuensi logis dari

mawam shabr. Oleh karenanya orang yang sabar pasti telah

mencapai derajat tawakal.137 Tawakal sering dipahami dalam

pengertian eksklusif, yaitu kepasrahan total kepada Allah.

Pengertian ini sangat berbau fatalistis, padahal manusia memiliki

kebebasan untuk melakukan sesuatu. Tawakal mengandung unsur

berusaha dengan sungguh-sungguh dalam mencapai sesuatu.

Seseroang yang tawakal akan memiliki pegangan kokoh karena

telah menyerahkan semua kepada Tuhan.138 Ia senantiasa

merasakan mantap dan optimis dengan apa yang dilakukan.

3. Wara’

Wara’ merupakan perilaku menjaga diri dari segala sesuatu

yang belum jelas hukumya yang mencakup segala aktivitas

manusia dalam kehidupan modern yang sarat dengan kompetisi,

membutuhkan sikap lebih hati-hati agar tidak terjebak dalam

perbuatan dosa.

4. Sabar

Sabar diartikan tabah menerima keadaan dirinya, baik susah

maupun senang. Sabar merupakan dasar utama pembangunan

akhlak dan mental, karena dengan sabar dapat menanamkan

ketenangan dalam jiwa dan memberikan kegembiraan pada orang

137 Hasyim Muhammad, Dialog …, op. cit. , hlm. 45 138 Abuddin Nata, Ahlak Tasawuf …, op. cit., hlm. 297

85

yang menderita sakit atau gangguan kejiwaan. Kesabaran dalam

menatap kehidupan sekarang adalah sabar yang merupakan wujud

dari konsekuensi diri seseorang untuk memegang prinsip yang

telah dianut dari gangguan dari dalam diri dan dari luar.139

5. Syukur

Syukur adalah menerima nikmat dengan hati lapang dada

dan mempergunakan sesuai fungsi dan proporsinya.140 Syukur

penting artinya dalam kehidupan masyarakat, apalagi kesenjangan

sosial antara si kaya dan si miskin akibat disparitas income

semakin tajam. Bersyukur dengan berbagai nikmat kepada orang

lain dapat memperkecil kesenjangan tersebut.

Sifat-sifat di atas merupakan bekal untuk menghadapi

kehidupan bukan menjadikan seseorang pasif, tetapi sebaliknya sebab

seorang muslim mempunyai amanah dari Allah untuk mengelola dan

memakmurkan bumi ini. Tugas tersebut menuntut manusia memiliki

sifat-sifat terpuji yang akan memancarkan kejernihan dan ketentraman

hati. Dalam keadaan demikian, maka seseorang dapat mencapai

tingkat tajalli, yaitu kristalisasi nilai-nilai religio moral dalam diri

yang berarti melembaganya nilai-nilai illahiyah yang akan

direfleksikan dalam segala aktivitasnya.141 Manusia-manusia seperti

inilah yang mampu menyesuaikan diri di tengah-tengah kehidupan

modern dan industri.

139 Hasyim Muhammad, Dialog Tasawuf …, op. cit., hlm. 44 140 Amin Syukur, Zuhud …, op. cit., hlm. 183 141 Ibid.

86

3. Tasawuf Akhlaki

a) Pengertian Tasawuf Akhlaki

Tasawuf adalah jalan mendekatkan diri kepada Allah SWT. melalui

ibadah, yang secara hakiki ia mengusahakan penyucian diri yang

diharapkan menghasilkan kedamaian, kebahagiaan dan kesejukan hati.

Selain itu tasawuf dapat diartikan ke dalam empat hal pokok: 1)

Akhlak al-Karimah, 2) penghayatan ibadah formal, 3) merasa dekat

dengan Tuhan dan 4) kesadaran adanya dialog dan komunikasi

langsung antara seorang hamba dengan Tuhan.142

Secara umum tasawf dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu tasawuf

akhlaki, tasawuf amali dan tasawuf falsafi. Tasawuf akhlaki adalah

ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian

jiwa yang diformulasikan pada pengaturan sikap mental dan

pendisiplinan dan tingkah laku yang ketat. Tasawuf amali yaitu

tasawuf yang membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri

kepada Allah. Dalam pengertian ini tasawuf amali sering

dikonotasikan dengan thariqat. Sedangkan tasawuf falsafi yaitu

tasawuf yang ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional

penggagasnya.143

Dari ketiga kategori tersebut, fokus kajian Amin Syukur adalah

tasawuf akhlaki. Menurutnya, tasawuf akhlaki merupakan ajaran

mengenai moral atau akhlak yang hendaknya diterapkan sehari-hari

guna memperoleh kebahagiaan yang optimal.144

b) Ajaran-Ajaran Tasawuf Akhlaki

Ajaran tasawuf akhlaki terdiri dari takhalli, tahalli dan tajalli.

1) Takhalli

142 Amin Syukur, Mengenal Tasawuf Akhlaki, Kumpulan Makalah Pelatihan Seni Menata

Hati Menuju Insan Kamil, Semarang: LEMBKOTA, 2003, hlm. 3 143 Amin Syukur, Pengantar Studi Islam, Semarang: Bima Sejati, 2003, hlm. 154 144 Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual; Solusi Problem Manusia Modern, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 1

87

Tahalli adalah membebaskan diri dari sifat-sifat tercela dan

kotoran-kotoran hati seperti hasud (iri atau dengki), al-hirshu

(keinginan berlebihan terhadap masalah dunia), takabur, al-ghadab

(marah), riya’ dan ujub (bangga terhadap kelebihan yang dimiliki).

Langkah pertama yang dilakukan untuk menghilangkan sifat-sifat

tersebut dengan menyadari bahwa manusia memiliki sifat-sifat

tersebut, kemudian menghayati segala bentuk ibadah yang

dilaksanakan. Sujud misalnya melambangkan penyerahan diri

kepada Allah SWT yang dapat membentuk sifat tawaddu’ yang

berarti hilangnya sifat takabur dan ujub, membebaskan diri dari

kekangan hawa nafsu dan muhasabah atau koreksi diri.

2) Tahalli

Maksudnya menghiasi diri dengan jalan membiasakan diri dengan

sifat dan sikap yang baik. Langkah-langkah yang diperlukan dalam

tahalli adalah membina pribadi, agar memiliki akhlak karimah dan

pada gilirannya menghasilkan pribadi yang sempurna atau insan

kamil.

Sifat-sifat terpuji yang perlu ditanamkan antara lain tauhid,

taubat, zuhud, hubb (cinta Allah), wara’, sabar, fakr, muraqabah,

muhasabah, ridla, tawakal dan syukur.

3) Tajalli

Setelah melewati takhalli dan tahalli, seseorang dapat mencapai

tahap tajalli yaitu hilangnya hijab antara hamba dan Allah serta

internalisasi nilai-nilai moral dalam dirinya. Bagi orang awam

tajalli berarti mengetahui kebenaran, sementara bagi khawas dan

88

khawas al-khawas berarti mencapai ma’rifatullah dengan nur

bashirah (mata hati)

4. Insan Kamil

Sedangkan Amin Syukur memandang insan kamil adalah sebuah

proses. Insan kamil menurutnya adalah manusia yang telah memasuki

puncak perolehan tasawuf (setelah melalui takhalli, tahalli dan tajalli)

yang akan selalu bisa dan mampu menguasai dan menyesuaikan diri di

tengah-tengah deru modernisasi dan industrialisasi. Orang yang demikian

itu benar-benar telah melaksanakan fungsi kekhalifahan dan telah

mencapai ma’rifatullah, ma’rifatunnafs, ma’riaftunnas dan ma’rifat al-

kaun (mengertia Allah, mengerti diri sendiri, mengerti sesama manusia

dan mengerti alam).145

1) Ma’rifatullah

Ma’rifatullah sebagai landasan ma’rifat-ma’rifat sesudahnya. Dengan

mengenal Allah manusia akan terdorong untuk memahami kebesaran-

Nya, kemudian ia mau memperhatikan dan mengembangkan

lingkungan hidup sesuai dengan hukum-hukum yang telah ditetapkan

oleh Allah.

2) Ma’rifatunnafs

Sebagai manusia ia harus menyadari diri sendiri yang memiliki indera sosial,

indera intelektual dan indera rohani. Manusia akan dapat meningkatkan

derajatnya atas dasar iman dan akal sehingga ia dapat hidup sesuai dengan

perintah-perintah Allah dan akhirnya semakin dekat kesempurnaan.

3) Ma’riaftunnas

145 Amin Syukur, Insan Kamil Sebuah Proses, Kumpulan Makalah Pelatihan Seni Menata Hati Menuju Insan Kamil, Semarang: LEMBKOTA, 2003, hlm. 47

89

Manusia sebagai makhluk sosial sudah merupakan keharusan untuk

saling mengenal dengan sesamanya dalam kehidupan bermasyarakat

manusia memiliki kewajiban untuk saling mengingatkan kearah

kebaikan dan mencegah terjadinya kemungkaran. Sebagaimana

perintah Allah dalam al-Qur’an surat Ali Imran ayat 104 yang

berbunyi:

Artinya: “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar. Dan merekalah orang-orang yang beruntung”. (Q.S. Ali Imran : 104)

4) Ma’rifat Al-Kaun

Alam pada dasarnya merupakan anugerah dari Allah yang harus

dikembangkan dan dikelola oleh manusia sesuai dengan hukum-

hukum Allah. Jadi, manusia dan alam memiliki hubungan

kebersamaan dalam ketundukan kepada Allah, bukan hubungan antara

penakluk dengan yang ditaklukkan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa insan kamil menurut

Amin Syukur adalah manusia yang sempurna, bukan saja memiliki

ketaatan kepada Allah tetapi juga mampu mengenal diri senidri dan

membangun relasi yang baik antar sesamanya dan lingkungannya. Dia

mengerti antara hak dan batil sehingga perbuatannya selalu terarah untuk

mencapai keridlaan Allah meskipun dalam kondisi kehidupan seperti

apapun.

90

BAB IV

IMPLEMENTASI TASAWUF AMIN SYUKUR DALAM

BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM

Dalam bab kita akan mencoba melihat bagaimana urgensi tasawuf Amin

Syukur dalam mengatasi problem manusia modern dan bagaimana

mengimplementasikan tasawuf Amin Syukur dalam Bimbingan Konseling Islam.

Dalam bab-bab sebelumnya, penulis telah menguraikan dan membahas

beberapa pilar pemikiran tasawuf Amin Syukur yang penulis anggap memiliki

relevansi dengan kajian ini, yaitu peranan tasawuf dalam memberikan solusi

terhadap problem manusia modern. Pemikiran-pemikiran tersebut adalah dzikir,

zuhud, tasawuf akhlaki dan insane kamil dan selanjutnya dalam bab IV ini penulis

akan mencona melihat bagaimana urgensi tasawuf Amin Syukur dalam mengatasi

problem manusia modern dan dilanjutkan dengan implementasi tasawuf Amin

Syukur dalam Bimbingan Konseling Islam.

A. Urgensi Tasawuf Amin Syukur dalam Mengatasi Problem Manusia

Modern

5. Tanggung jawab tasawuf atas problem sosial

Peranan agama dalam zaman apapun adalah penting, karena sudah

menjadi fitrah bagi manusia untuk selalu membutuhkan agama. Dalam

konteks kehidupan modern, peranan agama tidak sebatas pada formalisme

dan legalisme, tetapi transformasi tindakan fisik ke dalam tindakan batin.

91

Peranan agama dalam konteks ini adalah sebagai : 1) penyeimbang ruhani

sebagai akibat dari kemajuan hidup disegala bidang di zaman modern. 2)

Salah satu peredam daya rusak manusia akibat nafsu yang dimiliki oleh

setiap orang. Agama memiliki potensi esensial kapan saja dan di mana saja

yaitu menciptakan rasa keterhubungan dengan yang diyakini (Tuhan)

dalam bentuk pengalaman ruhaniah yang mencerahkan batin.146

Senada dengan peranan agama di atas, Zakiah Daradjat

menyebutkan fungsi agama ada tiga, yaitu:

a. Memberikan bimbingan hidup

b. Menolong dalam menghadapi kesukaran

c. Menentramkan batin147

Sekarang ini, peranan agama dituntut untuk dapat memecahkan

krisis kemanusiaan. Apakah agama masih relevan sebagai kompas

kehidupan sangat tergantung dari bagaimana agama mampu memberikan

jawaban yang cukup efektif, tentunya hal ini akan memperkokoh

keberadaan agama di muka bumi.148 Islam dengan ajaran tasawufnya,

selalu berupaya untuk menjawab permasalahan tantangan zaman. Pada

awalnya tasawuf pada awal perkembangannya lebih menekankan pada

dimensi Theo-Filosofis membicarakan masalah ketuhanan dan bagaimana

hubungan, penghayatan dan menyatu dengan Tuhan. Kajian tasawuf

146 Moh. Damami, Tasawuf Positif; Telaah Pemikiran Hamka, Yogyakarta: Pustaka Baru,

2000, hlm. 218-219 147 Zakiah Daradjat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Jakarta: Haji Masagung,

1993, hlm. 56 148 Amin Rais, Tauhid Sosial; Formula Menggempur Kesenjangan, Bandung: Mizan,

1998, hl. 102

92

kurang sekali membicarakan bagaimana membina moral umat, menarik

diri dari keramaian dunia dan menjauhi kekuasaan, maka pada abad XXI

ini, tasawuf dituntut berbeda. Tasawuf dituntut lebih humanis, empiris dan

fungsional (penghayatan terhadap ajaran Islam, buka pada Tuhan), bukan

reaktif, tetapi aktif serta memberikan arah dan sikap hidup menusia di

dunia ini, baik berupa moral, spiritual, ekonomi dan sosial.149

Ajaran tasawuf (zuhud) dalam Islam sering dianggap menjadi

penyebab kemunduran umat Islam. Karena ajarannya mementingkan

perhatian harus terpusat kepada Tuhan dan apa yang ada dibalik alam

materi. Hal ini pada akhirnya membawa keadaan umat yang kurang

mementingkan masalah kemasyarakatan.150 Pernyataan tersebut diperkuat

dengan kenyataan sejarah bahwa lahirnya tasawuf sebagai fenomena

ajaran Islam diawali dari ketidakpuasan terhadap praktek Islam yang

cenderung formal dan legal. Di samping juga ketimpangan politik, moral

dan ekonomi umat Islam, khususnya karena penguasa pada saat itu.

Dalam kondisi yang demikian, tasawuf tampil memberi solusi terhadap

formalise dan legalisme dengan spiritualitas pembenahan dan transformasi

tindakan fisik ke dalam tindakan batin. Sedangkan reaksi terhadap sikap

politik penguasa dan ekonomi yang menimbulkan kefoya-foyaan materiil

dengan menampakkan sikap isolasi dari kehidupan dunia.151

149 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf dan Sufisme Tanggung Jawab Abad 21,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1998, hlm. 109 150 Harun Nasution, op. cit., hlm. 191 151 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf …, op. cit., hlm. 110

93

Para pelaku tasawuf seperti di atas terkesan egois, hanya

mementingkan spiritual saja. Padahal penekanan salah satu aspek dapat

menimbulkan kepincangan yang menyalahi prinsip equilibrium (tawazun)

dalam Islam.152 Menurut Amin, pada manusia sekarang tanggung jawab

sosial lebih berat dari pada masa lalu, karena situasi dan kondisinya lebih

kompleks, sehingga refleksinya berbeda. Masyarakat modern sekarang

ternyata menyimpang problem hidup yang sulit dipecahkan.

Rasionalisme, sekulerisme dan materialisme ternyata tidak menambah

kebahagiaan dan ketentraman hidup, akan tetapi justru menimbulkan

kegelisahan hidup.153 Tanggung jawab tasawuf dalam era modern ini

dapat diwujudkan dalam bidang-bidang berikut:

f. Tanggung jawab spiritual

Kecenderungan manusia modern untuk mengagung-agungkan

ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengakibatkan mereka tidak

mempercayai dan memunafikkan ajaran yang bersumber dari kitab

suci maupun tradisi mistik yang menyatakan manusia itu memiliki

unsur spiritual. Ditambah lagi dengan kehidupan yang selama ini

dijalani tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok manusia akan nilai-

nilai transendental satu kebutuhan pokok yang hanya bisa digali dari

sumber ilahi. Pada pola hidup demikian melahirkan manusia yang

pincang, hanya berorientasi pada masalah kekinian dan segala

perubahan yang dilakukan tanpa dilandasi pegangan hidup serta tujuan

152 H. Msyharuddin, Ibn Taimiyah dan Pembaharuan Tasawuf dalam tasawuf dan Krisis, Amin Syukur dkk., Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 97

153 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf …, op. cit., hlm. 112

94

hidup yang kuat justru melahirkan krisis.154 Sehingga wajar jika pada

akhirnya manusia modern dilanda krisis spiritual yang melahirkan

gangguan psikologis, seperti merasa tidak aman dan terancam oleh

kemajuan yang dicapai.

Dalam pandangan tasawuf menyelesaikan dan perbaikan

keadaan tersebut, tidak dapat dicapai secara optimal jika hanya dicari

dalam kehidupan modern, namun dengan penghayatan terhadap ajaran

agamanya, sehingga manusia mampu mengenal diri sendiri dan

akhirnya mengenal Tuhan. Hal ini, tasawuf (spiritual Islam) dituntut

untuk dapat mengugah aktualisasi diri dalam menghadapi hidup

duniawi yang meski dijalani dan mampu mengembalikan jati diri

manusia sebagai umat pilihan Allah SWT.155

g. Tanggung jawab etik

Kehidupan modern juga diwarnai dengan dekadensi moral,

apalagi banyak manusia modern yang mengikuti moralitas relatif, etika

situasional. Mereka berpendirian bahwa ukuran baik buruk tidak bisa

dibakukan, karena ukuran tersebut harus mengikuti irama perjalanan

manusia modern, cita rasa serta persepsi maupun keinginan-keinginan

manusia modern.156 Akibat kaburnya tatana sosial etika adalah

tumbuhnya perilaku-perilaku menyimpang, seperti karupsi, kolusi dan

pembunuhan. Selain manusia sering menampakan sifat-sifat kurang

154 Abdul Muhaya, Peranan Tasawuf dalam Menanggulangi Krisis Spiritual dalam

Tasawuf dan Krisis, Amin Sukur dkk. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 22 155 Moh. Damami, Tasawuf Positif …, op. cit., hlm. 222-223 156 Amin Rais, Tauhid Sosial ..., op. cit., hlm. 99-100

95

terpuji dalam menghadapi materi yang gemerlap, seperti al-hirsh, yaitu

keinginan berlebihan terhadap materi, riya sifat suka memamerkan

harta/kebaikan diri dan berbagai penyakit hati lainnya.

Tasawuf yang merupakan moralitas Islam, memiliki tanggung

jawab dalam memperbaiki moral manusia. Menurut Nurcholis Madjid,

etika (moral) tidak hanya masalah kesopanan semata, melainkan

konsep yang komprehensif yang menjadi pangkal pandangan hidup

baik dan buruk. Ajaran etis mencakup pandangan dunia dan pandangan

hidup.157 Dasar pandangan etis kaum beriman adalah rabbaniyyah atau

bertakwa yang merupakan fondasi dari sudut pandang sistem

keagamaan. Implikasi ke-Tuhanan Yang Maha Esa itu dapat

didefinisikan dan menghasilkan 19 nilai-nilai yang akan terintegrasi

dalam kehidupan seseorang.158

Dalam tradisi tasawuf, menghilangkan sifat-sifat buruk

manusia dilakukan dengan mengadaklan penghayatan atas keimanan

dan ibadahya, latihan sungguh-sungguh dan senantiasa melakukan

muhasabah (instropeksi diri). Riyadhah dan mujahadah ini sebagai

sarana melawan hawa nafsunya. Cara pembinaan nafsu melalui tiga

tahapan, yaitu: pembersihan dan pengosongan jiwa dari sifat-sifat

tercela (takhalli), tahap kedua ialah penghiasan diri dengan sifat-sifat

terpuji (tahalli) dan ketiga tercapainya sinar ilahi (tajalli) dalam tahap

157 Nurcholis Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban, Jakarta: Paramadina, 1992, hlm. 466 158 Implikasi etika yang berlandaskan rabbaniyyah menghasilkan 19 nilai-nilai. Lihat,

Ibid., hlm. 476-480

96

ini hati seseorang mencapai ketenangan dan mampu membedakan

mana yang baik dan mana yang tidak.159

h. Tanggung jawab politik

Tanggung jawab tasawuf juga telah memasuki ranah politik.

Hal ini bisa disaksikan dalam sejarah, yaitui aktivitas thariqat Sanusiah

yang mampu memukul mundur penjajah Prancis di Aljazair dan

penjajah Inggris di Libia. Fazlur Rahman mengatakan bahwa thariqat

ini menanamkan disiplin tinggi dan aktif dalam medan perjuangan

hidup, baik sosial, politik maupun ekonomi. Corak geraknnya lebih

purifikasionis dan lebih aktivis, memberantas penyelewengan moral

sosial dan keagamaan. Fazlur Rahman menamakannya Neo-Sufisme.160

Dalam konteks Indonesia yang sekarang sedang mengalami

krisis multidimensional, maka menurut Amin bahwa tasawuf bisa

dijadikan alat introspeksi diri bagai para elit politik, karena krisis-krisis

bangsa ini lebih banyak dikarenakan kelompok-kelompok elit,

kalangan eksekutif dan legislatif (pelaksana pemerintahan). Kalangan

ini mempunyai posisi yang strategis dalam menyakinkan negara dan

melakukan sebuah perubahan di dalamnya. Dengan tasawuf, seseorang

akan lebih memahami dan menghayati ajaran agama dan memberikan

nilai dalam ibadah. Hal ini akan terefleksi dalam perilaku dan aktivitas

atau peran sosial yang dimiliki, sehingga apapun pekerjaan dan

profesinya, maka seseorang akan tetap berpegang pada ajaran agama.

159 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf …, op. cit., hlm. 115-116 160 Fazlur Rahman, Islam, terj. Ahsin Muhamad, Bandung: Pustaka, 1984, hlm. 197

97

i. Tanggung jawab pluralisme agama

Pluralisme dalam masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang

wajar (sunnatullah), kemajemukan akan melahirkan keunikan. Kiranya

diperlukan perilaku yang unik pula. Pluralisme dalam berbagai bidang

apapun, baik ras, suku, watak dan sebagainya sangat diperlukan sikap

toleran, jujur, terbuka, wajar dan adil.161 Kebutuhan mengedepankan

pluralisme sangat dibutuhkan, ternasuk di Indonesia, yaitu kesiapan

untuk menerima dan menghargai kenyataan pluralitas merupakan satu-

satunya jalan untuk mengubah aspek negatif heterogenitas menjadi

aset positif. Apalagi orang Islam pada abad modern, seharusnya mudah

menemukan sikap demokratis untuk menerima pluralisme, karena

Islam menurut doktrinnya telah mendorong hal ini, bahkan sejak

kelahirannya pada masa Nabi.162

Al-Qur’an menyebutkan bahwa kebenaran universal yang

tunggal bagi semua ajaran agama adalah prinsip tauhid, yaitu

pengesaan Tuhan dan kesatuan umat (QS. al-Anbiya: 92), dan

perbedaan-perbedaan yang terjadi akibat kebanggaan dan sikap

menolak (QS. Ali Imran: 83-85). Konsep tauhid ini mempunyai

implikasi praktis dalam bermuamalah, perbedaan-perbedaan bukan

sesuatu yang harus dipertentangkan, namun harus diambil makna

positif dan di dalam al-Qur’an agar dijadikan alat pembeda dan justru

161 Syahruddin el-Fikri, Mengubah …, op. cit., kolom 2-3, hlm. 4 162 Amin Syukur, Menggugat Tasawuf …, op. cit., hlm. 118

98

akan mudah mengenal satu dengan yang lain (QS. Al-Hujarat: 13).163

Hal ini menunjukkan bahwa Islam (melalui tasawuf) menyediakan dan

mengembangkan basis etika yang relevan bagi masalah-masalah

modern.

j. Tanggung jawab intelektual

Modernisasi telah melahirkan IPTEK yang menuntut

pengembangan agar mampu berdialog dengan kemajuan yang ada.

pengetahuan yang kita miliki harus diimbangi dengan jiwa keagamaan

yang kuat, karena jika tidak, masyarakat yang telah menciptakan

tingkat kemakmuran materi dengan perangkat teknologi yang serba

mekanis dan otomat akan dihinggapi rasa cemas akibat kemewahan

hidup yang diraihnya. Mereka telah menjadi pemuja ilmu dan

teknologi, sehingga tanpa disadari integritas kemanusiannya tereduksi

dan terjebak pada jaringan sistem rasionalitas teknologi yang sangat

tidak humanis.

Secara epistemologi, tasawuf yang mengembangkan metode

intuisi dijadikan alternatif metode rasional dan empirik yang

berkembang. Intuisi mempunyai arah yang berbeda dengan akal dan

indera yang lebih berkompeten dalam menghadapi objek materi dan

kuantitatif. Sementara intuisi sebagai naluri yang menjadi kesadaran

diri manusia dan menuntut kita kepada kehidupan dalam batin. Jika

intuisi dapat meluas, maka ia dapat memberi petunjuk dalam hal-hal

163 Ibid., hlm. 119

99

yang vital. Jadi dengan intuisi kita dapat menemukan elan vital atau

dorongan yang vital dari dunia yang berasal dari dalam dan langsung

bukan dengan intelek.164

Akal dan intuisi (tasawuf) memiliki hubungan erat, sehingga

menurut al-Ghazali akal mempunyai dua fungsi yang dibutuhkan

tasawuf. Pertama akal sebagai prasarana bagi tasawuf yang berfungsi

untuk:

4. Memperoleh pengetahuan yang benar dan dibutuhkan tasawuf.

5. Mengarahkan latihan-latihan batin (riyadhah) yang benar bagi

tasawuf.

6. Berfikir benar dan lurus sebagai persiapan memperoleh

pengalaman dan pengetahuan sufistik pada tasawuf.

Kedua, akal sebagai sarana dan alat evaluasi yang berfungsi

untuk melakukan pengujian dan penilaian kritis terhadap pengalaman-

pengalaman sufistik serta perluasannya.165 Melalui tasawuf seseorang

disadarkan bahwa sumber segala yang ada adalah Tuhan, sehingga ia

mampu mengarahkan ilmu dan teknologi yang dimiliki berwawasan

moral atau diarahkan oleh nilai-nilai dari Tuhan, sehingga tidak terjadi

dengan apa yang diistilahkan Zakiah Daradjat, yaitu “Pengetahuan

tanpa agama membahayakan”.

164 Harold H Titot dkk., Persoalan-Persoalan Filsafat, terj. M. Rasydi, Jakarta: Bulan

Bintang, 1984, hlm. 205 165 Amin Syukur dan Masyharuddin, Intelektualisme Tasawuf; Studi Intelektualisme

Tasawuf al-Ghazali, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001, hlm. 84

100

Berdasarkan tanggung jawab tasawuf di era sekarang, maka

langkah-langkah yang dilakukan Amin Syukur dalam membantu

menyelesaikan masalah seseorang adalah sebagai berikut:

f. Hal pertama yang dilakukan adalah mengetahui penyebab masalah

seseorang. Sebagian besar manusia mengalami kecemasan,

menghadapi masa depan (masa tuanya), keinginan untuk mencapai

jabatan tertentu dan takut mati.

g. Setelah mengetahui penyebabnya, langkah terapi yang diambil adalah

penanaman aqidah (tauhid, yaitu membangun iman seseorang sebagai

fondasi utama, sehingga ia mempunyai kesadaran untuk senantiasa

berdialog dan berkomunikasi dengan Tuhan).

h. Kesadaran yang dibangun ini dilanjutkan dengan mengaplikasikannya

dalam tindakan lahir / ibadah, seperti zikir, shalat, puasa dan zakat.

i. Pelaksanaan ibadah yang terpenting adalah bagaimana penghayatan

terhadap ibadah-ibadah yang dilakukan, karena pada dasarnya setiap

ibadah mempunyai pesan moral. Berpuasa misalnya mengandung nilai

moral berupa tolong menolong, menghormati sesama, memupuk rasa

persaudaraan dan menghargai orang lain. Demikian pula dengan shalat

dan zakat juga memiliki pesan moral. Inilah menurut Amin yang

sering dilupakan banyak orang, pengalaman tidak dibarengi dengan

penghayatan sepenuh hati, sehingga muncul istilah “STMJ” (shalat

terus maksiat jalan), padahal shalat bertujuan untuk mencapai derajat

101

muttaqin dan mencegah seseorang untuk melakukan perbuatan

mungkar.166

j. Jika iman dan Islam telah dibangun, maka perpaduan keduannya

membentuk akhlakul karimah. Seseorang yang berakhlak karimah

akan terlihat melakukan kesalehan secara individu maupun sosial.

Langkah-langkah tersebut di atas merupakan inti tasawuf,

sehingga setelah melalui proses tersebut seseorang akan lebih memahami

posisinya sebagai hamba Allah dan mampu menemukan makna hidup dan

akhirnya ia selalu bersifat positif dalam menghadapi kenyataan hidup.167

B. Implementasi Tasawuf Amin Syukur dalam Mengatasi Problem Manusia

Modern

Upaya implementasi tasawuf sebagai dimensi spiritual Islam dalam

Bimbingan dan Konseling Islam dapat dikatakan tidak hanya memungkinkan,

tetapi juga keharusan. Pernyataan ini dapat diperkuat dengan pendapat Carl

Gustav Jung (tokoh psikologi analitik) yang menyatakan bahwa ganguan-

gangguan psikis pada dasarnya bersumber dari masalah religius. Hal ini juga

dapat dilihat dari ungkapannya bahwa “psikoneurisis harus dipahami sebagai

penderitaan yang belum menemukan artinya, penyebab dari penderitaan ini

adalah stagnasi (penghentian) spiritual atau sterisas psikis”.168 Bahkan

166 Syahruddin el-Fikri, Mengubah …, op. cit., kolom 5, hlm. 4 167 Wawancara tanggal 25 Pebrauri 2004 168 Brian J. Zinnbaver dan Kenneth I, Pargament Working with the sacred; Four

Approaches to Religious and Spiritual Issue in Counseling, Journal of Counseling and Development vol. 78 Num. 2., 2000, p. 3

102

ditetapkan asas normative dan pentingnya moral etik dalam proses

konseling.169

1. Konselor

Dalam bab III, kita sudah mengetahui tentang konsep insan kamil

yang menjadi bagian dari ajaran tasawuf. Insan kamil menurut Amin

Syukur adalah manusia yang telah memasuki puncak perolehan tasawuf

yang akan selalu dan mampu menguasai diri dan mampu menyesuaikan

diri di tengah-tengah deru modernisasi dan industrialisasi. Orang yang

demikian itu telah melaksanakan fungsi kekhalifahan dan telah mencapai

ma’rifatullah, ma’rifatunnas dan ma’rifatulkaun.170 Umat Islam mengakui

bahwa pribadi saempurna semacam itu adalah nabi Muhammad saw.,

sebagaimana dinyatakan dalam al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 32:

“Sesungguhnya telah ada pada diri rasulullah itu suri tauladan yang

baik”. Nabi Muhammad adalah Rasul yang datang untuk mengobati

degradasi moral dan iman masyarakat Mekah khususnya dan rahmat bagi

seluruh manusia di dunia. Figur seperti ini (dalam dunia Bimbingan dan

Konseling) bisa disebut sebagai konselor yang sempurna bagisetiap klien

dengan berbagai kondisi apapun.

Konselor dalam proses konseling mempunyai peran sangat

penting, yaitu membantu klien memecahkan masalahnya. Karena memang

169 Prayitno dan Erman Anti, dasar-Dasar Bimbingan Konseling, Jakarta: Rineka Cipta,

1999, hlm. 119 170 Amin Syukur, Insan kamil; Suatu Proses, Makalah pelatihan seni menata hati menuju

Insan Kamil, Semarang: LEMBKOTA, 2003, hlm. 47

103

dalam konseling memegang prinsip kemandirian.171 Sesuai dengan prinsip

ini klien mempunyai kebebasan untuk menentukan keputusan yang

diambil dalam usaha menyelesaikan problem yang dihadapi. Meskipun

demikian, konselor sebagai orang yang memberikan pertimbangan

terhadap keputusan klien harus memiliki pribadi yang sempurna, sehingga

ia dapat seefektif mungkin mengarahkan kliennya. Pribadi yang sempurna

hanya ada pada mereka yang telah mencapai dderajat insan kamil dengan

melalui proses takhalli, tahalli dan tajalli.

Konselor sebagai pembimbing perlu untuk menjalani ajaran

tasawuf akhlaki tersebut sehingga ia mempunyai kepribadian prefect

(berakhlakul karimah). Tahap pertama adalah membebaskan diri dari sifat-

sifat tercela antara lain seperti ujub, riya, takabur dan lain sebagainya.

Sekap-sikap inilah yang justru akan menyebabkan gagalnya dakwah

(konseling) karena sifat itu menjadikan konselor tidak mampu memahai

klien dengan baik. Untuk itu tahap tahalli (menghiasi diri dengan sifat-

sifat terpuji) zuhud dan dzikir adalah keharusan dan pada akhirnya ia

mampu mencapai tingkat tajalli, yaitu mengetahui kebnenaran. Dengan

melalui tahap-tahap tersebut, seseorang dapat dengan baik mengerti allah,

diri sendiri, sesamanya dan alam.

Konselor yang benar-benar menjalankan agamnya apalagi konselor

Islam dengan baik secara otomatis ia mampu memenuhi kualifikasi-

kualifikasi konselor efektif yang dikemukakan banyak tokoh seperti

171 Priyatno dan Erman Anti, Dasar-Dasar ..., op. cit., hlm. 117

104

Hamdani Bakran adz-Dzaky yang menetapkan tiga aspek pokok yang

harus dimiliki konselor aspek spiritualitas, aspek moral, dan aspek

keilmuan dan skill.172 Sedangkan Muh. Surya menyatakan karakteristik

konselor efektif antara lain pengetahuan mengenai diri sendiri, kesehatan

psikologi, kejujuran, kesabaran, kehangatan, dapat dipercaya dan

kesadaran holistik,173 atau menurut W.S. Winkel, konselor mempunyai

tiga kualitas, yaitu mengenal diri sendiri, memahami orang lain dan

kemampuan berkomunikasi.174

Konselor yang memahami diri sendiri berarti ia mampu

mengekang hawa nafsunya, mampu berdakwah untuk diri sendiri (dakwah

bi an-nafs), sehingga mempunyai ahlakul karimaah yang dibutuhkan

daaalam konseling islam yang bisa dikategorikan sebagai dakwah

fardiyah. Dakwah fardi yakni antonim dari dakwah’ammanah atau

jamaiyyah yaitu ajakan atau seruan ke jalan Allah yang dilakukan seorang

dai kepada orang lain secara perorangan dan tujuan memindahkan al

mad’uw pada keadaan yang lebihbaik dan diridhoi Allah.175 Sementara

kemampuan memahami oarang lain diarahkan pada sifat empati yang

besar terhadap klien. Kerja konselor dalam konseling berdasarkan atas

simpati, dimana baik konselor dan klain dibawa keluar dari dalam dirinya

dan bersambung dalam kesatuan psikis yang baru ini. Sebagai

172 Hamdzani Bakran adz-Dzaky, Konseling dan Psikoterapi Islam, Jakarta: Pustaka Fajar

Baru, 2992, hlm. 299 173 Muh. Surya, Psikologi Konseling, Bandung: Pustaka banu Quraysi, 2003, hlm. 57-75 174 W.S. Winkel, Bimbingan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta: Gramedia, 1991,

hlm. 174 175 Ali Abdul Halim Mahmud, Dakwah Fardiyah Membentuk Pribadi Muslim, Jakarta:

Gema Insani Press, 1995, hlm. 29

105

konsekuensinya masalah-masalah klien akan ditimpakan sebagian kepada

konselor. Stabilitas psikologis, keberanian dan kekuatan yang dimiliki

konselor akan menyusup ke dalam diri klien dan memberikan bantuan

besar dalam perjuangan kepribadiannya.176

Demikian implementasi tasawuf amin Syukur dalam bimbingan

konseling yang berguna bagi konselor, yang mana membuat Abdul Mujib

dan Yusuf Mudzakir bahwa ajaran-ajaran tasawuf akhlaki mampu

menciptakan kecerdasan qalbiyah, kecerdasan ini meliputi kecerdasan-

kecerdasan yang lain, yaitu:

Kecerdasan-kecerdasan di atas penting artinya bagi tugas konselor

dan manusia secara umum sebagai khalifah fil ardh.

2. Klien

a. Kasus 1

Seorang alumni Fakultas farmasi UGM yang kini sudah

berusia 63 tahun merasakan kesedihan yang mendalam karena

kematian anak bungsunya yang paling disayangi. Ia juga memiliki

perasaan dendam kepada suami yang dianggap menjadi penyebab

kematian anak bungsunya itu. Perasaan duka dan benci yang telah

tertanam di hati tersebut ditambah lagi akibat perceraiannya dengan

suami yang ternyata memiliki WIL (wanita idaman lain). Keadaan ibu

Eko berangsur-angsur mulai membaik dan ia dapat menerima

176 Rolloy May, Seni Konseling, terj. Darmina Ahmad dan Afifah Inayati, Yogyakarta:

pustaka Pelajar, 2003, hlm. 79

106

kenyataan hidup setelah bergabung dan mengikuti berbagai kegiatan

LEMBKOTA (Lembaga Bimbingan dan Konsultasi Tasawuf) yang

dipimpin oleh Amin Syukur.177

Ibu Eko mengakui kecintaannya terhadap dunia yang

berlebihan sudah tidak lagi ia rasakan, semakin dapat menghayati

ibdah yang dilakukan di mana sebelumnya ia rasakan sangat kering

kendati ia rajin melaksanakan dan hanya ada harapan suci di hari

tuanya kini, yaitu bisa berakhlakul karimah dan mati khusnul

khatimah, baik diri maupun anak-anaknya, serta keadaan yang lebih

baik untuk bangsa ini.

b. Kasus 2

Umi, seorang mahasiswa Akademi Statistika Muhammadiyah

Semarang mengakui dirinya sebagai pribadi yang sombong, egois,

selalu ingin menang sendiri, pemarah, jarang menyapa orang lain dan

terlalu ambisius dalam hal apapun. Hal ini terjadi karena didukung

oleh prestasi akademik dan organisasi yang dimiliki Umi bisa dibilang

bintang angkatannya dengan Indeks Prestasi (IP) yang selalu di atas

3,5. nilai yang sangat tinggi di sebuah akademi eksakta. Prestai ini

didukung dengan beberapa jabatan strategis di lembaga mahasiswa

dikampusnya.

Menurut pengakuannya setelah mengikuti pelatihan Seni

Menata hati LEMBKOTA ia merasakan perubahan yang besar. Ia

177 Wawancara dengan Ibu Eko tanggal 10 Maret 2003

107

sudah mulai bersikap ramah kepada orang lain, sabar dan lebih

memahami serta menghayati ibadah yang dilakukan.178

Contoh dua kasus di atas menunjukkan bahwa tasawuf Amin Syukur yang

diterapkan dalam lembaga Bimbingan dan Konsultasi Tasawuf-nya dapat

secara efektif membantu problem manusia sekarang ini. Bila dengan

menggunakan analisis konseling Islam dalam membantu masalah mereka,

maka hal ini dapat ditunjukkan dengan mengimplementasikan konsep

tasawuf Amin Syukur sebagai materi (metode) Bimbingan Konseling

Islam.

Kasus 1 sebagaimana di atas dapat dikategorikan ke dalam

konseling krisis situasi dikaitkan dengan kehilangan anak dan suami yang

disayangi. Dengan landasan ini, maka terapi yang dilakukan bertujuan

untuk membangkitkan kembali makna hidup yang telah hilang dan

mengunah perilaku Ibu Eko (klien) ke arah yang lebih baik agar mampu

menghadapi kenyataan hidup yang dihadapi.

Untuk mencapai tujuan terapi dalam rangka membantu klien

memecahkan masalah, maka terapi-terapi yang digunakan adalah sebagai

berikut:

a. Logotherapi

Logoteraphi Victor Frankl ini dirancang untuk menolong

seseorang menemukan makna hidup yang merupakan motivasi uta ma

untuk menjalani hidup di dunia. Mereka yang menghayati makna

178 Wawancara dengan Umi tanggal 12 Maret 2003

108

hidup bermakna akan menunjukkan kehidupan penuh gairah dan

optimisme untuk mencapai tujuan hidup yang telah mereka tentukan.

Makna hidup bisa ditemukan melalui nilai-nilai penghayatan

(experiental values), nilai-nilai kreatif (creative values) dan nilai-nilai

bersikap (attitudional values).179

1. Nilai-nilai penghayatan (experiental values), yaitu menyakini dan

menghayati kebenaran, kebijakan, keindahan, keimanan dan nilai-

nilai lain yang berharga. Sebagai seorang muslim fondasi utama

yang harus dimiliki adalah iman kepada Allah. Keimanan ini

bukan formalisme semata, tetapi lebih ditekankan pada

penghayatan ibadah yang langsung kepada Allah. Di sini tasawuf

mencoba membangun kesadaran adanya dialog dan komunikasi

langsung tersebut dan membangun kedekatan hamba dengan

Tuhan.180 Dengan kesadaran ini, maka seseorang dapat merasakan

kebesaran dan kekuasaan Tuhan, sehingga apapun yang terjadi

adalah atas kehendak-Nya.

2. Creative Values (nilai-nilai kreatif) yaitu makna hidup dapat digali

melalui bekerja, berkarya dan melakukan tugas dengan penuh

tanggung jawab. Pencarian makna hidup di sini dapat dilakukan

dengan mengajak klien untuk lebih mengisi hari-harinya dengan

kegiatan yang bermanfaat, seperti memperbanyak ibadah serta

179 Hanna Djuana Bustaman, Integrasi Psikologi dengan Islam, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2000, hlm. 194 180 Amin Syukur, Mengenal Tasawuf Akhlaki, Kumpulan makalah pelatihan seni menata

hati menuju Insan Kamil, Semarang: LEMBKOTA, 2003, hlm. 2

109

aktif dalam kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan yang

merupakan perwujudan dzikir fi’li menurut Amin Syukur.

Kesibukan-kesibukan tersebut dapat membantu klien untuk

melupakan kesedihan dan menerima kenyataan hidup yang

dihadapi.

3. Attitudinal Values (nilai-nilai bersikap) yaitu menerima dengan

tabah dan mengambil sikap yang tepat terhadap penderitaan yang

tak dapat dihindari lagi. Penanaman konsep zuhud Amin Syukur

sebagai moral Islam, di mana zuhud diartikan keseimbangan antara

dunia dan akherat. Dengan sifat zuhud ini klien dapat mengurangi

kecintaan berlebihan terhadap dunia (anak dan suami) yang

mengakibatkan kehampaan hidup. Sifat zuhud ini akan dapat

melahirkan sabar, syukur dan tawakal, bahkan penerapan ajaran al-

futuwwah (sikap kesatria) yang dalam kehidupan modern ini

diwujudkan dengan sikap tegar dalam emnghadapi cobaan ataupun

nikmat dari Allah.181

b. Terapi Rational Emotif

Dalam menyelesaikan kasus Bu Eko ini konselor dapat

menggunakan landasan teori rational emotif untuk mengubah cara berfikir,

keyakinan dan pandangan klien yang tidak rasional menjadi rasional agar

dapat mengembangkan diri dan meningkatkan aktualisasi diri melalui

perilaku yang positif. Selain itu teknik terapi dalam teori ini juga bertujuan

181 Wawancara dengan Amin Syukur tanggal 25 Februari 2004

110

untuk menghilangkan gangguan-gangguan emosional yang merusak diri

seperti sedih, cemas, marah dan lain sebagainya.182

Teknik assertive training dapat digunakan sebagai alternatif teknik

di mana training ini disusun untuk melatih, mendorong klien untuk secara

terus menerus menyesuaikan diri dengan perilaku tertentu yang lebih

baik.183 Langkah penyesuaian diri dengan perilaku yang baik dapat

dilakukan dengan menerapkan konsep dzikir Amin Syukur secara

menyeluruh baik dzikir qauli, dzikir qalbi, dzikir ruh, dan dzikir fi’li.

Dzikir qauli dengan mengucapkan Allahu Akbar (Allah Maha Besar) akan

memantulkan sifat lemah lembut sebab hanya Allah Yang Maha Kuasa

sedang manusia lemah dan dengan membaca al-Ghafar (Maha

Pengampun) untuk menumbuhkan sifat pemaaf dan penyabar.184 Dzikir

qauli ini selanjutnya akan berkembang menjadi dzikir hati, dzikir ruh dan

dzikir fi’li. Hal ini akan memberi dampak menghilangkan sifat marah dan

pendendam klien dan akhirnya ia dapat melakukan perbuatan-perbuatan

yang bermanfaat dalam keadaan suka maupun duka.

c. Teknik Analisis Suratan

Teknik ini merupakan salah satu teknik terapi konseling analisis

transaksional. Teknik analisis suratan merupakan bagian dari proses terapi

yang dapat mengidentifikasi pola hidup yang diikuti klien, menanamkan

182 Muhammad Surya, Teori-Teori Konseling, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2003,

hlm. 21 183 Ibid., hlm. 22 184 Amin Syukur, Dzikir Penguat Hati, Kumpulam Makalah Seni Menata Hati Menuju

Insan Kamil, Semarang: LEMBKOTA, 2003, hlm. 34

111

kesadaran akan suratan hidup klien sehingga ia melakukan perubahan

sikap.185

Penggunaan terapi ini dalam menangani kasus pertama dimulai

dengan melihat pola hidup yang dikembangkan Bu Eko yaitu sikap hidup

yang mencurahkan kasih sayang secara berlebihan terhadap anak

bungsunya dan menganggap anaknya adalah milik mutlak dirinya. Anak

tidak dianggap sebagai amanah Allah yang sewaktu-waktu dapat diambil

sehingga membuat ia sedih yang mendalam ketika anaknya meninggal.

Langkah terapi dimulai dengan membangun kesadaran tentang

siapa dirinya akan membuat ia menyadari keberadaan Allah, mengerti

keberadaan orang lain dan lingkungan. Sikap yang harus ditanamkan

adalah sikap mampu mengenal diri sendiri dan mampu beradaptasi dengan

lingkungan apapun.186 Berangkat dari kesadaran ini akan mampu

memahami bahwa apa yang dialami sudah merupakan takdir atau suratan

nasib yang harus diterima dengan ikhlas.

Bila pada kasus pertama kegiatan bimbingan konseling Islam

diarahkan pada optimalisasi fungsi pengentasan, maka pada kasus kedua

ini konseling diarahkan pada fungsi pemahaman terhadap sikap dan

kebiasaan hidup klien dan fungsi pengembangan yaitu mengembangkan

potensi-potensi yang baik pada klien.187

185 Gerald Corey, Teori-TeoriKonseling dan Psikoterapi, terj. Mulyarto, Semarang: IKIP

Semarang Press, 1995, hlm. 393 186 Lihat, Amin Syukur, Insan Kamil Sebuah Proses, Kumpulan Makalah Pelatihan Seni

Menata Hati Menuju Insan Kamil, Semarang: LEMBKOTA, 2003, hlm. 47 187 Prayitno dan Erman Anti, Dasar-Dasar …., op. cit., hlm. 197

112

Dari narasi kasus kedua menunjukkan bahwa Umi (klien)

mempunyai kelemahan yang ditunjukkan dengan sifatnya yang sombong,

egois, pemarah dan kurang ramah. Sementara kelebihannya adalah prestasi

akademik dan organisasi yang diraihnya. Berdasarkan optimalisasi fungsi

yang dikembangkan dalam kasus ini, maka tujuan daari konseling ini

adalah mengubah perilaku klien yang diarahkan untuk menepis kelemahan

dan mengembangkan kekuatan yang dimiliki.

Teknik terapi yang dapat digunakan dalam membantu klien pada

kasus kedua ini adalah:

1) Teknik Memperbaiki Pemahaman Diri

Teknik terapi konseling trait and factor ini bertujuan membantu

klien memahami kekuatan dan kelemahan yang dimiliki dan dibantu

untuk menggunakan kekuatannya dalam upaya mengatasi

kelemahannya.188 Konselor berusaha membantu klien untuk menyadari

sifat-sifat buruk yang dimiliki dan dampak yang akan ditimbulkannya.

Ketika kesadaran telah tumbuh terapi dzikir qauli dengan membaca

Allahu Akbar dan ar-Rahman ar-Rahim akan mampu menampilkan

sifat lemah lembut sebab hanya Allah Yang Maha Kuasa sedang

dirinya sangat lemah dan mampu menanamkan sifat kasih sayang

terhadap orang lain. Jika langkah ini berhasil maka klien akan

bersyukur atas kelebihan yang ia miliki dan dapat berbagi prestasi

dengan orang lain.

188 Muhammad Suirya, Teori-Teori Konseling, op. cit., hlm. 2

113

2) Teknik Komparatif

Teknik terapi konseling psikologi individual Albert Adler ini

dikembangkan untuk mengubah gaya hidup yang dikembangkan klien.

Dari kasus kedua dapat dilihat bahwa klien mengembangkan sifat

sombong, takabur dan egois terhadap prestasi yang dimiliki, akibatnya

ia tidak menghargai dan menghormati orang lain. Penerapan ajaran

tasawuf akhlaki yaitu takhalli (membebaskan diri dari sifat-sifat

tercela) dan tahalli (menghiasi diri dengan sifat terpuji) merupakan

terapi efektif bagi penyakit yang bersarang di hati sehingga ia dapat

mengubah virus hati menjadi aset diri.189

3) Client Centre Teraphy

Konseling ini menekankan peranan aktif klien dalam

menyelesaikan masalah yang dihadapi. Carl Rogers berpandangan

optimis terhadap daya kemampuan yang terkandung dalam batin

manusia. Kalau manusia bertindak dengan cara yang tidak baik,

disebabkan karena membela diri, yang menjauhkan seseorang dari

naluri yang paling mendasar. Bila seseorang dapat menemukan

kembali nalurinya yang asli, maka usaha membela diri akan semakin

berkurang dan tindakan-tindakannya akan lebih konstruktif.190

Tasawuf Amin Syukur dapat diterapkan dalam teknik ini

adalah dengan mengajak klien untuk berfikir (tafakur), sebab dengan

berfikir dapat menjadikan sesuatu yang dibenci menjadi sesuatu yang

189 Baca Amin Syukur, Mengubah Virus Hati Menjadi Aset Diri, Makalah Pelatihan Seni Menata Hati Menuju Insan Kamil, Semarang, 2003, hlm. 16-21

190 W.S. Winkel, Bimbingan dan Konseling …, op. cit., hlm. 339-340

114

sangat dicintai dan menyebabkan pula ilmu pengetahuan menjadi lebih

berkembang serta menambah pengetahuan yang belum diketahui.191

Selain itu muhasabah yaitu mengoreksi diri sendiri sejauh mana telah

menunaikan kewajiban dan pelanggaran yang kita lakukan. Terkait

dengan kasus ini tafakur dan muhasabah klien diarahkan agar klien

menyadari ada siapa dibalik kesuksesan yang dimiliki dan apa yang

telah ia berikan kepada semua yang berada dibalik kesuksesan itu.

Dengan tumbuhnya kesadaran ini maka klien akan dapat mengambil

keputusan secara bijak dalam rangka mengubah perilakunya selama

ini.

Beberapa teknik yang digunakan dalam menangani dua kasus

di atas dan penerapan tasawuf Amin Syukur di dalamnya telah mampu

menunjukkan bahwa ajaran tasawuf bisa dijadikan alternatif materi

dalam proses bimbingan konseling Islam. Apalagi tuntutan yang harus

dipenuhi sekarang ini adalah proses konseling harus menggunakan

pendekatan holistik yaitu pendekatan dengan memperhatikan berbagai

dimensi kemanusiaan (bio-psiko sosio religius). Hal ini menuntut

peningkatan mutu pelayanan konseling, dengan memberikan perhatian

yang lebih terhadap masalah religius, proses konseling dapat semakin

efektif dalam menangani masalah-masalah yang dihadapi klien dan

terwujudlah manusia sepenuhnya yang dapat mencapai derajat

kemuliaan dan ketinggian yang semakin bertambah.

191 Amin Syukur, Tsawuf Kontekstual …, op. cit., hlm. 127

115

Esensi dakwah Islamiah adalah proses transformasi, implementasi

dan membahasakan suara Tuhan (kalam Allah) kepada makhluknya

agar dimengerti dan dilaksanakan, baik mengenai segala sesuatu yang

menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya, manusia dengan

sesamanya maupun manusia dengan alam.192 Mentransfer dan membahasakan

kalam Allah bukan hanya sebatas menyampaikan semata, tetapi harus

menyentuh pembinaan dan pembentukan pribadi, pembentukan keluarga dan

pembentukan masyarakat Islam secara menyeluruh.

192 M. Luthfi Jamal, Bimbingan dan Konseling; Metode Dakwah Alternatif, Jurnal kajian

dakwak, komunikasi dan keislaman, Fakultas Dakwah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta vol. 4 no. 1 Agustus 2002, hlm. 36

116

Bimbingan dan konseling sebagaimana disebut oleh Sukriadi Sambas

sebagai ilmu dakwah terapan (tabligh Islam),193 bertanggungjawab secara

praktis terhadap pembentukan pribadi, keluarga dan masyarakat. Karena

bimbingan konseling merupakan dakwah yang lebih bersifat makro dalam

membina masyarakat yang sistematis, terus menerus sesuai dengan potensi,

bakat dan minat yang dimiliki mad’u (klien).

Berkaitan dengan ruang lingkup dan luasnya tanggung jawab dakwah,

apalagi ditengah keanekaragaman masyarakat dan perkembangan zaman

menuntut adanya upaya untuk menciptakan konsep dakwah yang relevan

dengan keanekaragaman mad’u, baik dalam penyajian materi dan tujuan

dakwah. Bimbingan konseling sebagai salah satu disiplin ilmu yang

bersentuhan langsung dengan dakwah juga menuntut perubahan yang sama.

Dalam era globalisasi dan modernisasi yang ditandai dengan perubahan yang

berlangsung capat terutama didorong oleh kemajuan teknologi dan

penyempitan ruang dan waktu, maka kondisi ini mendorong perkembangan

konseling dengan trend tertentu dalam konsep, operasi dan potensi. Hal inilah

yang pada akhirnya melahirkan kecenderungan corak-corak konseling, antara

lain cyber counseling, multicultural counseling, spiritual counseling dan

pendekatan holistik.194

Bimbingan dan konseling spiritual sebagai salah satu trend konseling

di lingkungan yang berubah, disadari oleh bangsa Barat karena kehidupan

193 Muhammad Sulthon, Kapita Selekta Dakwah Islam, Fakultas Dakwah IAIN

Walisongo Semarang, hlm. 95 194 M. Surya, Peluang dan Tantangan Global Profesi Bimbingan dan Konseling;

Implikasi bagi Strategis Organisasi dan Standarisi Bimbingan dan Konseling, Kumpulan makalah konvensi Nasional XIII ABKIN, Bandung, 2003, hlm. 8

117

modern dan kemajuan IPTEK yang selama ini telah memisahkan kehidupan

yang berlandaskan pada nilai-nilai spiritual. Suasana keluarga yang penuh

nilai-nilai spiritual merupakan situasi yang kondusif untuk menciptakan

manusia yang memiliki ketahanan-ketahanan keberdayaan yang mantap.

Charlene E. Westgate memperkenalkan spiritual wellness yang diartikan

sebagai suatu kondisi keterbukaan terhadap dimensi spiritual yang mungkin

keterpaduan spiritual dirinya dengan dimensi kehidupan lainnya, sehingga

mengoptimalkan potensi untuk pertumbuhan dan perwujudan diri.

“Spiritual wellness represents the openess to the spirituality dimension

that pemits the integration of one’s spirituality with the other

dimensions of life, thus maximazing the potensial for growth and self

actualization”195

Selanjutnya Charlene E. Wetsgate juga mengemukakan empat dimensi

spiritual wellness ini, yaitu: “meaning of life, intrinsic value, trancendence

dan community values support.196

Berkaitan dengan dimensi makna hidup, Victor Frankl berpendapat

bahwa makna hidup merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan

manusia. Jika seseorang kehilangan arti hidup, hidup tanpa makna, maka ia

akan mengalami noogenic neurisis yang menurut Farnkl hal yang lumrah

dalam zaman modern.197

195 Charlene E. Westgate, Spiritual Wellness and Depression, Journal of Counseling and

Development, vol. 75 No. 2, 1996, hlm. 22 196 Ibid., hlm. 22-23 197 Duane Schulz, Psikologi Pertumbuhan, Yogyakarta: Kanisius, 1991, hlm. 53

118

Kecenderungan berkembangnya konseling spiritual (keagamaan)

selain karena tuntutan lingkungan yang berubah juga dikarenakan

penyelenggaraan bimbingan konseling selama ini. Menurut M. Djawad

Dahlan bahwa teori bimbingan konseling selama ini dipergunakan belum

sepenuhnya memperhatikan keseimbangan antara berbagai issue dalam

konseling berikut ini:

1. Kualifiksi konselor dipandang segalanya, dan kurang memperhatikan

teknik yang digunakan oleh konselor.

2. Materi dan isi konseling dipandang sangat esensial dan kurang

memperhatikan proses yang berlangsung dalam konseling.

3. Pendekatan individual dipandang segalanya dan kurang

memperhatikan pendekatan kelompok.

4. Keutuhan pribadi dipandang lebih utama (menurut kaum Gestaltist)

daripada memperhatikan aspek-aspek unsuriyah (behaviorisme).

5. Mengutamakan pengembangan nalar daripada penyembuhan perasaan

klien.

6. Mengutamakan perluasan pengetahuan dan mengabaikan kemampuan

penyesuaian diri.

7. Mengabaikan tuntutan normatif dalam menentukan kriteria manusia

sehat.198

198 M. Djawad Dahlan, Perspektif Profesi Bimbingan Konseling Berbasis Value dalam

Pengembangan Fitrah Manusia, Kumpulan makalah konvensi Nasional XIII Assosiasi Bimbingan Konseling Indonesia (ABKIN) Bandung 2003, hlm. 87-88

119

Didasarkan pada berbagai permasalahan bimbingan konseling tersebut

di atas, maka perlu dicari aspek sentral pengembangan fitrah manusia.

Pengembabgan aspek value ini dapat ditelusuri melalui berbagai upaya

bimbingan religius.199

Perkembangan bimbingan konseling keagamaan merupakan suatu

kebutuhan bagi manusia itu sendiri, pada akhirnya tiap agama memiliki corak

bimbingan dan konseling yang khas. Dalam agama Kristen kita mengenal

konseling pastoral. Konseling ini memandang manusia sebagai makhluk yang

dikasihi Tuhan. Kegiatan bimbingan konseling dilakukan dalam pengakuan

dosa agar umat tidak jatuh dalam dosa lagi dan dapat hidup suci dari dosa.200

Sedangkan pendekatan konseling Budha diturunkan langsung dari ajaran-

ajaran Budhis (Sidharta Gautama) yang memandang manusia mempunyai

kebebasan untuk menjadi tercemar atau menciptakan kesempurnaan

(kebudhaan).201

Sementara kajian bimbingan konseling Islam sebagai salah satu

disiplin ilmu dakwah yang lahir dari pengembangan metode istinbath dan

iqtibas202 secara langsung atau tidak langsung berhubungan dengan ilmu-ilmu

keislaman dan ilmu-ilmu sosial. Ilmu-ilmu keislaman yang dapat

bersinggungan langsung dengan bimbingan konseling Islam adalah tasawuf,

199 Ibid. 200 Martin Handoko, Bimbingan Konseling di Lingkungan Masyarakat Kristiani, Makalah

seminar regional konseling lintas agama Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang 2003, hlm. 2

201 Partono Nyanasuryanadi Thera, Pendekatan Konseling Budha, Makalah seminar regional bimbingan konseling Lintas agama Fakultas Dakwah IAIN Walisongo Semarang 2003, hlm. 2

202 Muhammad Sulthon, Kapita Selekta …, op. cit., hlm. 102

120

karena tasawuf adalah unsur spiritualitas (dimensi esoteris) dalam Islam.

Persentuhan inilah yang kemudian memungkinkannya implementasi tasawuf

dalam bimbingan konseling Islam, yang berpeluang besar memberi warna

tersendiri bagi trend konseling di era modern. Sekaligus mengubah pandangan

Islam yang serba legalitas formal, tidak memiliki dimensi esoteris, maka kini

saatnya dimensi batiniah Islam diperkenalkan sebagai alternatif kekeringan

spiritual masyarakat modern. Menurut Nasr hal ini bertujuan untuk:

Turut berperan serta dalam penyelamatan kemanusiaan dari kondisi

kebingungan sebagai akibat hilangnya nilai-nilai spiritual.

Memperkenalkan pemahaman tentang aspek esoteris Islam, baik terhadap

masyarakat Islam – yang mulai melupakannya maupun non Islam

khususnya Barat.

Untuk memberi penegasan kembali bahwa sesungguhnya aspek esoteris

Islam, yakni sufisme adalah jantung ajaran Islam, sehingga bila

wilayah ini kering dan tidak lagi berdenyut, maka keringlah aspek-

aspek lain ajaran Islam.203

Impelementasi tasawuf dalam bimbingan konseling Islam yang terutama

merujuk pada pemikiran Amin Syukur sebagaimana diuraikan dalam bab III

adalah berkaitan dengan solusi atas problem manusia modern, dapat

difokuskan pada konselor dan klien yang terlibat dalam prosesi konseling.

203 Komaruddin Hidayat, Sufisme dan Pembebasan Manusia Pandangan S.H. Nasr dalam Ahmad Gaus AF (ed.), Tragedi Raja Midas; Moralitas Agama dan Krisis Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1998, hlm. 278-279

121

Konseling

Dalam proses konseling, konselor mempunyai peran sangat

penting, yaitu membantu klien memecahkan masalahnya. Karena memang

dalam konseling memegang prinsip kemandirian. Sesuai dengan prinsip

ini klien mempunyai kebebasan untuk menentukan keputusan yang

diambil dalam usaha menyelesaikan masalah yang dihadapi. Meskipun

demikian, konselor sebagai orang yang mengarahkan dan memberikan

pertimbangan terhadap keputusan klien harus memiliki kualifikasi tertentu,

sehingga ia dapat seefektif mungkin mengarahkan kliennya. Kualifikasi

(kepribadian yang efektif) konselor merupakan hal sangat penting,

sehingga banyak tokoh yang mengemukakan ciri-ciri konselor yang

efektif.204

Meminjam pendapat Hamdan Bakran adz-Dzaky yang menetapkan

tiga aspek pokok yang harus dimiliki konselor, yaitu aspek spiritualitas,

aspek moralitas dan aspek keilmuan dan skill.205 Aspek spiritualitas, bisa

dimaknai sebagai ketaatan seorang kepada Tuhan, melaksanakan

perintahnya dan menjauhi larangan-Nya. Kesadaran bahwa dia makhluk

Tuhan yang memiliki keterbatasan kelebihan tertentu membawa pada

sikap berikut: mereka menghargai dan menaruh rasa hormat pada diri

sendiri, mereka memiliki gairah dan orientasi hidup, selain itu merasa

aman dengan diri sendiri dan memiliki keteguhan hati.

204 Muhammad Sulthon, Kapita Selekta …, op. cit., hlm. 205 Hamdan Bakran adz-Dzaky, Konseling dan Psikoterapi Islam, Jakarta: Fajar Pustaka

Baru, 2002, hlm. 299

122

Aspek kedua adalah moralitas. Konselor yang memiliki kualifikasi

ini adalah mereka yang mengerti nilai-nilai baik buruk bagi diri sendiri

dan dalam menjalin hubungan dengan orang lain (klien). Moralitas diri

berarti ia seorang yang otentik, bersungguh-ungguh, jujur dan sabar.

Sedangkan moralitas diri berarti dalam menjalin hubungan dengan orang

lain adalah percaya pada orang lain, terbuka pada perubahan, mengahargai

adanya pengaruh budaya, memiliki kemampuan berempati, toleran

terhadap klien yang sedang bingung, tidak agresif dan memiliki kontrol.

Aspek keilmuan dan skill. Tidak semua orang dapat disebut

sebagai konselor karena seorang konselor adalah mereka yang secara

formal mengeyam pendidikan konseling dan pendidikan profesi konseling.

Namun tidak jarang kita menyebut seorang yang membantu

menyelesaikan masalah kita dengan konselor. Dalam tradisi Islam kiai

atau mursyid (dalam tasawuf), pastur (kristen), dan Biksu (agama Budha)

bisa saja disebut konselor religius.

Dari semua kualifikasi di atas, dapat disimpulkan bahwasanya

untuk menjadi konselor yang efektif, seseorang harus berakhlaqul

karimah, karena bagaimana mungkin ia dapat membantu orang lain,

mengarahkan kepada kebaikan, sementara dirinya belum melakukan.

Berkaitan dengan hal ini, maka tasawuf yang pada intinya membentuk

akhlak yang baik merupakan salah satu cara yang dapat ditempuh bagi

seorang konselor untuk meningkatkan kecerdasan qalbiyah.

123

Seperti yang telah disebutkan pada bab II, bahwa manusia

mempunyai empat dimensi kejiwaan, yaitu akal, qalbu, nafs dan ruh. Jika

struktur ini tetap dalam kendali qalbu, maka masing-masing komponen

akan memiliki potensi yang positif dan jika dikembangkan secara

maksimal akan mendatangkan kecerdasan. Dalam tradisi tasawuf untuk

mencapai qalbun salim perlu melakukan beberapa tahapan. Pertama

takhali, yaitu melepaskan diri dari sifat-sifat tercela. Kedua, tahalli, yaitu

menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji. Ketiga tajalli, yaitu

terintegrasinya nilai-nilai illahiyah yang akan terpancar dalam aktivitas

hidupnya. Dalam kondisi seperti inilah, maka seseorang telah mencapai

kecerdasan qalbiyah, kecerdasan qalbiah ini meliputi kecerdasan-

kecerdasan yang lain, yaitu:

1. Kecerdasan intelektual dan pembenaran pengetahuan kalbu

yang berkaitan dengan penerimaan dan pembenaran pengetahuan yang

bersifat intuitif ilahiyah.

2. Kecerdasan emosional, yaitu kecerdasan kalbu yang berkaitan

dengan pengendalian nafsu-nafsu impulsif dan agresif. Kecerdasan ini

mengarahkan seseorang untuk berhati-hati, waspada, tenang, sabar dan

tabah ketika mendapat musibah dan berterima kasih ketika mendapat

kenikmatan.

3. Kecerdasan moral, yaitu kecerdasan kalbi yang berkaitan

dengan hubungan kepada sesama manusia dan alam semesta.

124

4. Kecerdasan spiritual, yaitu kecerdasan kalbu yang berhubungan

dengan kualitas batin seseorang. Kecerdasan ini mengarahkan

seseorang untuk berbuat lebih manusiawi, sehingga dapat menjangkau

nilai-nilai luhur yang mungkin belum tersentuh oleh akal pikiran

manusia.

5. Kecerdasan beragama adalah kecerdasan kalbu yang

berhubungan dengan kualitas beragama dan berketuhanan. Kecerdasan

ini mengarahkan seseorang untuk berperilaku benar dilandasi dengan

keimanan, keislaman dan keikhlasan.206

Klien

Implementsi tasawuf Amin Syukur dalam bimbingan konseling Islam juga

akan terlihat dalam terapi atau taknik yang digunakan yang tentunya disini

sangat memerlukan kerja sama dan komunikasi yang baik antara klien dan

konselor. Implementsi tersebut akan nampak dengan melalui contoh kasus

dan terapi yang digunakan dibawah ini.

Seorang ibu berusia 45 tahun dari keluarga berada maratapi nasibnya, Ia

merasa sedih, gelisah, bingung dan kehilangan akal dalam menghadapi

kenyataan-kenyataan yang pahit dan mengecewakan dalam hidupnya. Ia

merasa hidupnya tidak berarti lagi. Ia terbayang kecantikan wajahnya di waktu

muda. Ibu itu bercerita bahwa dulu ia merasa sangat bahagia. Suami sangat

mencintainya, mereka saling pergi ke tempat-tempat rekreasi (peristirahatan)

206 Abdul Mujib dab Yusuf Mudzakir, Nuansa-Nuansa Psikologi Islam, Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2001, hlm. 329-330

125

dan tiap malam minggu menghabiskan waktunya untuk bersenang-senang di

luar rumah.

Tetapi sekarang suami telah sibuk dengan urusannya sendiri, walaupun

ia mengerti bahwa urusannya itu untuk kepentingan keluarga. Kesedihan

tersebut ditambah lagi dengan perasaan yang tidak lagi dibutuhkan oleh anak-

anaknya yang sudah meningkat remaja. Yang paling kecil sudah duduk di

SLTP, mereka tidak lagi membutuhkan pemeliharaan, sering pergi jauh dari

rumah dan sibuk dengan teman-teman seusia mereka. Si ibu merasa

ditinggalkan sekaligus oleh suami dan anak-anaknya. Rumah mewah tidak

lagi menyejukkan hati, piano tidak lagi menolongnya dari kesepian, TV dan

radio hanya menyebabkan ia bertambah pusing. Sepanjang hari ia hanya

mengeluh dan menangis di dalam hati, sambil mengharap kesepian jiwa yang

mencekam itu hilang.

Demikian kosong dan hampanya jiwa si ibu tersebut. Sewaktu ditanya

apakah dia menganut suatu agama atau tidak dengan sangat ragu-ragu ia

menjawab bahwa ia beragama Islam, akan tetapi ia tidak pernah mengerti

ajaran agamanya apalagi menjalankannya.207

Sebagai seorang konselor, pemahaman kondisi psikis klien dan masalah

yang dihadapi klien adalah hal sangat penting untuk membantu klien

memecahkan masalahnya. Dari ilustrasi di atas dapat digali permasalahan

yang dihadapi si Ibu dari empat dimensi kemanusiaan (individualitas,

sosialitas, moralitas dan religiusitas) sebagai berikut:

207 Zakiah Daradjat, Peranan Agama dalam Kesehatan Mental, Jakarta, Haji Masagung,

1993, hlm. 17

126

Dimensi individualitas

Seorang Ibu berusia 45 tahun memasuki usia meningkatnya perasaan

putus asa, sedih, gelisah, tidak punya makna hidup.

Dimensi sosialitas

Hubungan yang kurang erat dengan suami dan anak-anaknya.

Dimensi moralitas

Pola hidup yang cenderung hedonis.

Dimensi religiusitas

Tidak mengerti ajaran agama, apalagi menjalankannya.

Kasus di atas bisa dikategorikan sebagai konseling krisis

perkembangan, yaitu memasuki usia 45 tahun, yaitu usia

meningkatnya putus asa dan krisis situasi karena si Ibu (klien)

mengalami stress akibat kondisi faktor keluarga, yaitu merasa

kehilangan kasih sayang dan perhatian dari suami dan anak-anak

mereka. Proses konseling yang dijalankan bertujuan:

a. Untuk membentuk motivasi kepada si Ibu agar menemukan

kembali makna hidup, sehingga kecemasan dan kegelisahan

hati dapat diatasi.

b. Mengubah perilaku pasif menjadi aktif dalam menghadapi hari-

hari tuanya.

Berdasarkan masalah-masalah yang dilihat dari empat

dimensi di atas, maka langkah-langkah terapi yang dilakukan

adalah sebagai berikut:

127

a. Logotherapi

Logotherapi Victor Frankl ini dirancang untuk

menolong seseorang menemukan makna hidup dalam hidup

yang merupakan motivasi utama untuk menjalani hidup di

dunia. Mereka yang menghayati hidup bermakna akan

menunjukkan kehidupan penuh gairah dan optimisme untuk

mencapai tujuan hidup yang mereka tentukan. Makna hidup

bisa ditemukan melalui:

1. Nilai-nilai penghayatan (exeperiental values), yaitu

menyakini dan menghayati kebenaran kebijakan,

keindahan, keadilan, keimanan dan nilai-nilai lain yang

berharga. Sebagai seorang muslim fondasi utama yang

harus dimiliki adalah iman kepada Allah yang akan

membawa ketentraman batin. Keimanan ini bukan

formalisme semata, tetapi harus diaplikasikan dengan

ibadah langsung dengan Allah, sesama dan lingkungan. Di

sini tasawuf sebagaimana diungkapkan Amin Syukur

tampil untuk menghilangkan formalisme dengan

pengahayatan terhadap iman dan amal.208 Shalat misalnya

merupakan sarana untuk taqarrub dengan Allah dan

hubungan baik dengan Allah tersebut harus juga kita

208 Wawancara tanggal 3 Pebruari 2003

128

buktikan dengan menjalin hubungan baik dengan sesama

manusia.209

2. Creative values (nilai-nilai kreatif) bekerja dan berkarya

serta melaksanakan tugas dengan keterlibatan dan tanggung

jawab penuh. Ilustrasi kasus di atas menunjukkan bahwa si ibu

lebih senang berdiam diri di rumah, tidak melakukan aktivitas

di luar, sehingga mudah merasa bosan dan tersiksa kala

ditinggalkan suami dan anaknya. Tidak ada salahnya konselor

menganjurkan si Ibu untuk mengisi hari-harinya dengan

pengajian mempelajari pengetahuan agama yang lain, di

samping tanggung jawab penuh sebagai seorang istri dan ibu.

2. Attitudinal values (nilai-nilai bersikap). Menerima dengan

tabah dan mengambil sikap yang tepat terhadap penderitaan

yang tak dapat dihindari lagi setelah upaya yang dilakukan

secara optimal tetapi tak berhasil mengatasi tua merupakan

perjalanan hidup yang tak dapat dihindari setiap orang,

sikap putus asa tidaklah perlu, tetapi harus bersikap tegar

dalam keadaan apapun. Sikap tegar ini dalam tasawuf

disebut al-Futuwah (sikap kesatria). Menurut Amin, sikap

kesatria ini dalam kehidupan modern dapat diwujudkan

209 Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual; Solusi Problem Manusia Modern, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 149

129

dengan sikap tegar dalam menghadapi cobaan ataupun

mendapat nikmat dari Allah.210

b. Teori Rational Emotif

Dalam konteks di atas, kita melihat adanya pola pikir

yang tidak tepat, sehingga berpengaruh kepada perasaan dan

berperilaku si Ibu. Ibu mengembangkan pemikiran masa tua

yang menyedihkan dibandingkan masa muda, menanamkan

anggapan dalam diri bahwa ia tidak dibutuhkan lagi. Pola

berpikir inilah yang melahirkan perasaan kesepian, gelisah dan

berperilaku meratapi nasib. Teori rational emotif dapat

diterapkan karena sesuai tujuannya untuk persepsi, cara

berfikir, keyakinan serta pandangan-pandangan klien yang

irrasional menjadi logis / rasional agar klien dapat

mengembangkan diri dan meningkatkan aktualisasi seoptimal

mungkin melalui perilaku kognitif dan afektif yang positif.

Kedua menghilangkan gangguan-gangguan emosional

yang merusak diri sendiri seperti rasa takut, bersalah, cemas

dan was-was dengan melatih dan membangkitkan klien untuk

menghadapi kenyataan hidup secara rasional dan

membangkitkan kepercayaan, nilai-nilai dan kemampuan diri

sendiri.211

210 Wawancara tanggal 25 Pebruari 2003 211 M. Surya, Teori-Teori Konseling, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2003, hlm. 21

130

Dengan menggunakan teknik assertive training yitu

training yang disusun untuk melatih, mendorong dan

membiasakan klien untuk secara terus menerus menyesuaikan

dirinya dengan perilaku tertentu yang diinginkan. Latihan-

latihan yang diberikan bersifat pendisiplinan diri klien.212 Klien

ingin merubah perasan cemas dan gelisah yang dialaminya

menjadi tenang untuk mencapai itu semua diperlukan riyadhah

(latihan yang sungguh-sungguh), yaitu dengan tahalli

menghindari diri dari sifat tercela dan tahalli merupakan

pengungkapan secara progresif nilai moral yang terdapat dalam

Islam yang menjadi bekal untuk menghadapi kenyataan hidup.

c. Teori Client Centre Therapy

Konseling berpusat pada pribadi yang dikenalkan Carl

Rongers ini menekankan peranan konseling sendiri dalam

proses konseling. Rogers berpandangan optimis terhadap daya

kemampuan yang terkandung dalam batin manusia. Kalau

manusia bertindak dengan cara yang tidak baik, disebabkan

karena usaha membela diri yang telah menjauhkan seseorang

dari nalurinya yang paling mendasar. Bilamana orang dapat

menemukan kembali nalurinya yang asli usaha membela diri

212 Ibid., hlm. 23

131

akan berkurang dan tindakan-tindakannya akan lebih

konstruktif.213

Penggunaan teori dalam membantu klien

menyelesaikan masalahnya menuntut seorang konselor untuk

dapat memberikan penyadaran kepada klien akan dirinya yang

pada akhirnya ia mampu mengambil keputusan sendiri.

Seorang konselor Islam bisa kliennya untuk bertafakkur

(berfikir) dan muhasabah (instropeksi diri). Ia harus mampu

mengenali diri sendiri dari mana dan akan ke mana. Setelah

bisa mengetahui tentang siapa diri yang sebenarnya, besar

kemungkinannya bagi dia menghidupkan potensi yang ada

pada dirinya guna mengatasi kesepian dan kecemasan yang

dihadapi.

Beberapa alternatif terapi tersebut, setidaknya mampu

mengurangi kesepian dan kekosongan jiwa yang dialami, sebab

kasus di atas terlihat bahwa sumber gangguan jiwa si Ibu

adalah karena keringnya spiritualitas. Setelah melalui proses

konseling si Ibu berkata: “saya sekarang dapat menerima

kenyataan, bahwa saya tidak lagi muda dan saya harus

mempersiapkan diri untuk menghadapi hari kemudian. Saya

mulai belajar dan memahami agama serta mengisi hari-hari

saya dengan ibadah. Hati saya mulai lega dan tentram, dan saya

213 W.S. Winkel, Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta: Gramedia,

1991, hal. 339-340

132

dapat menerima sikap suami dan anak-anaknya yang tadinya

saya anggap sebagai siksaan”.

d. Konseling Psikologi Individual

Dalam kasus di atas, bantuan yang diberikan konselor

bisa memanfatkan teori Alfred Adler tentang psikologi

individual. Manusia berperilaku dianggap sebagai kompensasi

inferioritasnya, kemudian ia mengembangkan gaya hidup

tertentu untuk mendukung perasaan inferiornya itu. Kasus di

atas bila dilihat dengan seksama seorang ibu tersebut memiliki

perasaan inferior yang sangat akibat memasuki usia tua.

Perasaan ini melahirkan gaya hidup ingin selalu diperhatikan

oleh suami dan anak-anaknya yang kini sudah mulai sibuk

dengan urusan masing-masing. Akibat lebih jauh itu selalu

membayangkan masa muda yang penuh kebahagiaan

menghabiskan waktu di luar dan membanggakan kecantikan

yang dimiliki. Inilah yang kemudian seorang Ibu tersebut

dilanda gelisah dan cemas. Dari sini konselor dapat

mengembangkan teknik komparatif, artinya berempati untuk

memahami gaya hidup klien untuk kemudian membantu klien

mengubah gaya hidup dan memecahkan masalahnya.

Sesuai dengan konsep tasawuf Amin Syukur, maak

dalam diri klien perlu ditumbuhkan sikap zuhud yaitu

mempersenjataidiri dengan sikaf-sifat baru yang mampu

133

menumbuhkan sikap jantan dalam menghadapi gemerlap

duniawi, sehingga tumbuh sikap syukur, sabar, wara’ dan

qanaah yang sangat dibutuhkan si ibu dalam menghadapi masa

tua dan bersikap arif terhadap segala yang dimiliki.214

Langkah yang bisa diambil konselor adalah

menyadarkan klien tentang perubahan usia yang menuntut gaya

hidup berbeda dengan masa muda. Konselor dapat

menyarankan klien untuk lebih mengisi kegiatan hidupnya

dengan hal-hal yang bermanfaat, seperti memperbanyak ibadah

(shalat, dzikir, mengikuti pengajian atau kegiatan keagamaan

lainnya). Karena hal itu akan lebih bermanfaat bagi dirinya

daripada harus merenungi nasib dan membayangkan masa-

masa mudanya dulu yang justru menambah ia gelisah.

Jadi implementasi tasawuf dalam bimbingan konseling Islam, baik

bagi konselor maupun klien pada dasarnya adalah agar dapat

meningkatkan mutu pelayanan konseling Islam. Dengan menambah

perhatian konselor dalam memperbaiki diri untuk menjadi konselor yang

efektif dan memberi perhatian lebih pada penghayatan keagamaan klien

saat terapi berlangsung. Hal ini akan dapat mewujudkan manusia

sepenuhnya, yaitu manusia yang tidak hanya sebagai makhluk bio-psiko-

sosial yang berorientasi pada kekinian saja, namun manusia sebagai

makhluk bio-psiko-sosio-religius yang berorientasi untuk kehidupan

214 Amin Syukur,Zuhud diabad Modern, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1997.hlm.179-180.

134

mendatang. Dengan demikian manusia sepenuhnya dapat terwujud dan ia

akan mampu mencapai derajat kemuliaan dan ketinggian yang selalu

bertambah.

135

BAB V

PENUTUP

Kesimpulan

Modernisasi yang ditandai dengan kemajuan ilmu

pengetahuan dan taknologi. Berkembangnya sikap hidup

egoisme dan materialisme ternyata membawa perubahan

yang cukup besar dalam perkembangan manusia. Dalam

konteks ke-Indonesian modernisasi akan sangat terlihat

dengan peradaban yang tumbuh di kota-kota besar terutama

mereka yang tingal di perumahan. Masyarakat modern yang

biasa hidup dengan memanfaatkan kemajuan IPTEK

tersebut ternyata tidak selamanya menikmati kesejahteraan,

namun dibalik itu terdapat ekses negatif dari budaya

modern itu sendiri. Ekses negatif tersebut adalah

berkembangnya pola hidup sekuler yang pada akhirnya

mereka meningalkan agama dan keringlah kebutuhan

spiritual mereka.

Keringnya kebutuhan spiritual ini mengakibatkan manusia

modern mudah terkena gangguan-gangguan psikis seperti

stress, depresi dan neurosis. Kondisi ini mengharuskan

mereka mencari sebuah cara yang efektif untuk memenuhi

kebutuhan-kebutuhan akan nilai transenden tersebut.

136

Berbagai tawaran muncul seperti melalui aliran-aliran

kebatinan sampai tasawuf sebagai disiplin ilmu ke-Islaman

mencoba tampil memberikan solusi. Tasawuf belakangan

ini dengan ajaran yang lebih humanis, fungsional dan

kontekstual, tidak cenderung theosofis seperti awal

perkembangannya.

Tasawuf sebagai solusi atas problem manusia modern mendapat

dukungan dari banyak tokoh seperti Iqbal, seorang modernis Pakistan ini

nencoba merekonstruksi kembali ajaran Islam sesuai pengalaman pendidikan

di Barat yang diperolehnya. Baginya, Islam mengajarkan kedinamisan, bukan

pasrah terhadap dunia. Hal inilah yang menurutnya menjadi penyebab

kemunduran Islam. Selain Iqbal, seorang ulama Iran Sayyed Husain Nasr

secara terang-terangan menyatakan bahwa jika manusia modern ingin terbebas

dari beban psikologis, mereka harus kembali kepada agama melalui tasawuf.

Di Indonesia perkembangan tasawuf modern telah dirintis oleh

Hamka dengan menerbitkan karya-karya seperti Tasawuf Modern dan

Lembaga Budi yang intinya manusia harus dapat menjaga keseimbangan

antara dunia dan akherat.

Perkembangan selanjutnya, tasawuf mulai banyak dikaji oleh para

akademisi yang memunculkan beberapa guru besar tasawuf. Prof. Amin

Syukur adalah salah seorang di antaranya. Dia adalah guru besar tasawuf

IAIN Walisongo Semarang yang secara produktif melahirkan pemikiran-

pemikiran rekonstruksi terhadap ajaran tasawuf

137

Menurut Amin, tasawuf di zaman sekarang dituntut aktif dalam

membantu menyelesaikan masalah hidup manusia. Karenanya di era ini

tasawuf memiliki tanggung jawab spiritual, etik, politik, intelektual dan

pluralisme. Tasawuf ini lebih ditekankan pada ajaran moral (akhlak) yang

diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan membentuk watak manusia yang

baik. Pemikiran penting lainnya adalah zuhud yang bukan lagi maqam,

namun juga moral Islam yang sangat penting artinya dalam kehidupan modern

yang materialis. Zuhud bukan lagi mengisolasikan diri dari kehidupan dunia,

namun merupakan sikap usaha mempersenjatai diri dengan nilai-nilai rohaniah

baru yang akan menegakkan kita dalam menghadapi kenyataan hidup ini.

Dengan zuhud akan tampil sikap positif lainnya, seperti qana’ah, sabar, wara’

dan syukur.

Salain tasawuf mencoba menawarkan solusi atas problem manusia

juga berkembang konseling sebagai kegiatan yang notabene membantu klien

memecahkan masalah. Tuntutan lingkungan yang berubah menuntut

berkembangnya trend dalam dunia konseling, baik cyber counseling, yaitu

konseling yang memanfaatkan teknologi canggih. Multicultural counseling,

yaitu konseling yang memperhatikan pluralisme budaya dan spirituality

counseling.

Konseling spiritual semakin berkembang dengan

munculnya kesadaran dari para praktisi konseling tentang

kebutuhan spiritual manusia. Charlene E. Westgate,

misalnya memperkenalkan spiritual wellness, yaitu suatu

138

kondisi keterbukaan terhadap dimensi spiritual yang

memungkinkan keterpaduan spiritualitas dengan dimensi

kehidupan lainnya, sehinga mengoptimalkan potensi untuk

pertumbuhan dan aktualisasi diri.

Trend tersebut membuka kesempatan lebar bagi konseling yang

memang di dalamnya mengandung unsur spiritualitas, tak terkecuali

Bimbingan Konseling Islam. Tasawuf sebagai dimensi spiritual Islam

dijadikan alternatif pengembangan metode / teknik dalam konseling, karena

tasawuf dapat meningkatkan kesadaran manusia akan Tuhan, menghayati

amal ibadah yang dilaksanakan sampai pada terbentuknya akhlakul karimah.

Nilai-nilai ini tidak saja dikonsumsi oleh klien dengan menerapkan ajaran

tasawuf dalam teknik konseling seperti logoterapi, assertive training, rational

emotif dan client centre therapi, tetapi juga dapat diamalkan lebih dahulu oleh

konselor sebagai orang yang akan mengarahkan dan membantu orang lain

dalam menyelesaikan masalah.

Penerapan ajaran tasawuf ini diharapkan mampu melengkapi layanan

bimbingan konseling Islam yang memandang manusia dari empat dimensi,

yaitu individual, sosial, moral dan religi. Peningkatan dimensi religi ini akan

dapat membuat manusia hidupa secara lebih sempurna tidak hanya

berorientasi pada dunia, tetapi juga akherat. Sehingga semakin tinggi dimensi

religi seseorang, maka akan semakin tinggi dan mulia manusia itu dihadapan

Tuhan.

139

Implemantasi ajaran tasawuf dalam konseling bisa dilihat dalam

terapi yang diberikan konselor kepada klien. Penggunaan logoteraphy sebagai

salah satu teknik pemberian bantuan untuk menyadarkan kembali klien

terhadap dirinya sendiri dan menemukan makna hidup yang merupakan

motivasi utama hidup. Dalam terapi ini klien diajak untuk mengingat kembali

siapa dirinya yang sebenarnya dan dari mana. Bagi Muslim, eksistensi

manusia adalah sebagai makhluk yang diciptakan Allah dari tanah sehingga

membuat manusia lemah, tetapi kelemahan manusia ini ditutupi dengan

kemuliaan yang dimilikinya, karena akan membawa klien menyadari bahwa

dirinya adalah hamba Allah yang diberi tugas sebagai khalifah di bumi.

Sehingga ia mempunyai kewajiban untuk selalu berbuat baik. Makna dan

tujuan hidup untuk mencapai ridha Allah SWT. Inilah yang membuat klien

akan tegar dan mampu mengatasi segala masalah yang dihadapi.

Penerapan zikir dan ibadah lain, seperti shalat tahajjud dan shalat

sunnah yang lain untuk mengubah perilaku buruk selama ini menjadi perilaku

yang lebih baik dan membantu disiplin diri dapat diterapkan dalam assertive

training salah satu teknik konseling rational emotif. Atau menggunakan teknik

komparatif sebagai teknik dalam konseling individual yang bertujuan untuk

menunjukkan pola hidup klien yang salah dan mengubah perilaku hidup yang

lebih baik. Berkaitan dengan hal ini konselor bisa mengajak klien untuk

mengubah yang tidak hanya untuk kepentingan sesaat saja, tetapi kepentingan

selamanya sampai akherat.

140

Penerapan tasawuf dalam Bimbingan Konseling Islam melalui

teknik-teknik yang dilakukan seperti di atas telah menunjukkan bahwa

konseling Islam dapat berkembang dan diperkaya sesuai dengan kemampuan

konselor sendiri. Dalam konteks ini bisa dengan jelas dilihat dalam aktivitas

Amin Syukur disebuah lembaga Konsultasi dan bimbingan tasawuf atau

lebih akrab dengan sebutan LEMBKOTA Satu yang perlu diingat adalah

konseling merupakan seni untuk membantu klien dan masing-masing konselor

mampu memiliki ciri khas tersendiri dalam mengembangkan kemampuan

tergantung ketrampilan dan kemampuan untuk menggali berbagai aspek yang

dapat bermanfaat bagi proses konseling.

Saran-Saran

Manusia modern cenderung merindukan nilai-nilai spiritual

yang selama ini kering, sehingga mereka berusaha

memenuhi kebutuhan itu dengan mengikuti kegiatan

spiritual seperti tasawuf (spiritual dalam Islam) yang

memang bisa dijadikan sebagai alternatif pemenuhan

kebutuhan tersebut.

Beberapa saran yang dapat penulis kemukakan di sini adalah sebagai

berikut:

1. Penulis menyadari bahwa penelitian ini masih banyak kekuarangannya dan

masih bersifat teoritis kendati di satu sisi tasawuf Amin Syukur telah

diterapkan pada anggota Lembkota-nya, namun penulis menganggap perlu

bagi mahasiswa dakwah, khususnya jurusan BPI untuk menggali nilai-

141

nilai lain yang bisa diperkaya dan mengembangkan keilmuan konseling

Islam.

2. Tugas dan lapangan pekerjaan bagi mahasiswa bimbingan dan konseling

Islam sebenarnya sangat luas dengan mengembangkan kemampuan secara

keilmuan dan skill akan menjadi nilai tersendiri, sehingga mampu

bersaing.

3. Penulis menganggap penting implementasi tasawuf dalam bimbingan dan

konseling Islam, karena hal ini merupakan tuntutan kebutuhan masyarakat

modern yang semakin kering kebutuhan spiritual, sehingga mengharuskan

konseling memberikan porsi lebih terhadap penghayatan agama dalam

proses konseling yang berlangsung.

4. Konseling merupakan proses pemberian bantuan kepada klien agar mampu

mengatasi masalahnya sendiri. Hal ini berarti bahwa konselor harus

mampu membaca kebutuhan konseli yang semakin berkembang dalam

kehidupan modern. Penghayatan keagamaan sering menjadi faktor bagi

timbulnya problem kehidupan. Konseling yang memberikan perhatian

lebih terhadap masalah keagamaan sesuai dengan kebutuhan klien,

sehingga akan dapat mengefektifkan peran konselor.

Penutup

Puji syukur alhamdulillah, dengan rahmat dan hidayah Allah, maka

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa

dalam penulisan dan pembahasan skripsi ini masih banyak kekurangan, baik

142

dari segi bahasa, sistematika maupun analisisnya. Hal tersebut semata-mata

bukan kesengajaan penulis, namun karena keterbatasan kemampuan yang

penulis miliki. Karenanya penulis memohon kritik dan saran.

Akhirnya penulis memanjatkan do’a kepada Allah semoga skripsi ini

bermanfaat bagi siapa saja yang berkesempatan membacanya serta dapat

mesmberikan sumbangan yang positif bagi khazanah ilmu pengetahuan.

Amin.

143