bab i pendahuluan a. latar belakang...

21
1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Poligami atau menikahi lebih dari seorang isteri bukan merupakan masalah baru, ia telah ada dalam kehidupan manusia sejak dulu kala di antara berbagai kelompok masyarakat di berbagai kawasan dunia. Orang-orang Arab telah berpoligami bahkan jauh sebelum kedatangan Islam, demikian pula masyarakat lain di sebagian besar kawasan dunia selama masa itu. Bentuk poligami ini telah dikenal di antara orang-orang Medes, Babilonia, Abbesinia dan Persia. Di Persia, prinsip poligami merupakan basis keluarga. Jumlah isteri yang dapat dipunyai seorang laki-laki bergantung pada kemampuan ekonominya. 1 Nabi Muhammad membolehkan poligami diantara masyarakatnya karena ia telah dipraktikkan juga oleh orang-orang Yunani yang di antaranya bahkan seorang isteri bukan hanya dapat dipertukarkan, tetapi juga bisa diperjualbelikan secara lazim diantara mereka. Hal serupa bisa dijumpai di Romawi pada masa Romawi Kuno, dimana kedudukan wanita mencapai titik terendahnya. 2 Bentuk poligami juga merupakan kebiasaan di antara suku-suku mayarakat di Afrika, Australia serta Mormon di Amerika. 3 1 M. Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi, Studi Historis Kafa’ah Syarifah, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hlm. 29. 2 Nawal El Sadaawi, The Hiden Face of Eve,Terj.Zulhilmiyasri, Perempuan Dalam Budaya Patriarki, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet. I, 2001, hlm. 223. Lihat juga Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000, hlm. 37. 3 Abdurrahman I. Doi, Perkawinan Dalam Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hlm. 43.

Upload: dodieu

Post on 14-Mar-2019

213 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Poligami atau menikahi lebih dari seorang isteri bukan merupakan

masalah baru, ia telah ada dalam kehidupan manusia sejak dulu kala di antara

berbagai kelompok masyarakat di berbagai kawasan dunia. Orang-orang Arab

telah berpoligami bahkan jauh sebelum kedatangan Islam, demikian pula

masyarakat lain di sebagian besar kawasan dunia selama masa itu.

Bentuk poligami ini telah dikenal di antara orang-orang Medes,

Babilonia, Abbesinia dan Persia. Di Persia, prinsip poligami merupakan basis

keluarga. Jumlah isteri yang dapat dipunyai seorang laki-laki bergantung pada

kemampuan ekonominya.1

Nabi Muhammad membolehkan poligami diantara masyarakatnya

karena ia telah dipraktikkan juga oleh orang-orang Yunani yang di antaranya

bahkan seorang isteri bukan hanya dapat dipertukarkan, tetapi juga bisa

diperjualbelikan secara lazim diantara mereka. Hal serupa bisa dijumpai di

Romawi pada masa Romawi Kuno, dimana kedudukan wanita mencapai titik

terendahnya.2 Bentuk poligami juga merupakan kebiasaan di antara suku-suku

mayarakat di Afrika, Australia serta Mormon di Amerika. 3

1 M. Hasyim Assegaf, Derita Putri-Putri Nabi, Studi Historis Kafa’ah Syarifah, PT.

Remaja Rosdakarya, Bandung, 2000, hlm. 29. 2 Nawal El Sadaawi, The Hiden Face of Eve,Terj.Zulhilmiyasri, Perempuan Dalam

Budaya Patriarki, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, Cet. I, 2001, hlm. 223. Lihat juga Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, UII Press, Yogyakarta, 2000, hlm. 37.

3 Abdurrahman I. Doi, Perkawinan Dalam Islam, Rineka Cipta, Jakarta, 1992, hlm. 43.

2

Poligami4 juga sudah menjadi hal yang biasa di kalangan keluarga

kerajaan Inggris, misalnya Raja Charles mempunyai selir yang tenar bernama

Nell Gwyn, Raja Edward VII dengan selirnya bernama Mrs.Koppel, bahkan

Raja Henry VIII yang mempunyai selir sampai 8 orang, sebagian berganti-ganti

atau bersama-sama.5

Dalam ajaran Islam, poligami dibolehkan dengan batasan 4 (empat)

orang isteri dalam waktu yang bersamaan, sebagaimana dalam al-Qur’an surat

an-Nisa’ : 3, yang artinya :

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinilah) seorang saja atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. 6

Disebutkan pula dalam al-Qur’an surat an-Nisa’ : 129, yang artinya : “Dan kamu sekali-kali tidak akan berbuat adil di antara isteri-isterimu, walau kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. 7

Kedua ayat tersebut di atas dengan jelas menunjukkan bahwa asas

perkawinan dalam Islam adalah monogami. Kebolehan poligami, apabila

4 Istri poligami di Inggris dikenal dengan sebutan mistress. Mistress ini lebih tepat

dikatakan sebagai isteri simpanan atau gundik. Pada tahun 1975, parlemen Inggris mulai membicarakan semacam legalisasi bagi mistress, sehingga posisinya setara dengan isteri yang sah, khususnya dalam hal harta warisan.

5 M. Thalib, Analisa Wanita Dalam Bimbingan Islam, Al-Ikhlas, Surabaya, 1996, hlm. 178.

6 R.H.A. Soenarjo, dkk., Al-Qur’an dan Terjemahannya, Bumi Restu, Jakarta, 1976, hlm. 115

7 Ibid., hlm. 143 – 144.

3

syarat-syarat yang dapat menjamin keadilan suami kepada isteri-isteri

terpenuhi. Dan syarat keadilan ini menurut ayat 129 di atas, terutama dalam hal

membagi cinta, tidak akan dapat dilakukan. Namun demikian, hukum Islam

tidak menutup rapat-rapat kemungkinan untuk berpoligami, atau beristeri lebih

dari seorang perempuan, sepanjang persyaratan keadilan di antara isteri dapat

dipenuhi dengan baik. 8

Bila ditarik dalam konteks keindonesiaan—yang mempunyai dasar

hukum perkawinan—sebagaimana dalam UU No. 1 Tahun 1974, tentang

perkawinan, maka terdapat beberapa syarat / prosedur poligami. Pasal 3 ayat

(1) Pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh

mempunyai seorang isteri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang

suami. Ayat (2) Pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami

untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang

bersangkutan. 9

Pasal 4 ayat (1) Dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari

seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) undang-undang ini, maka

ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat

tinggalnya. Ayat (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya

memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang

apabila: (a) isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri; (b)

8 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cet. Ketiga,

1998, hlm. 170. 9 Departemen Agama RI, Bahan Penyuluhan Hukum; Lampiran II UU No. 1 Tahun

1974, tentang Perkawinan, hlm. 96 – 97.

4

isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; (c)

isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Selanjutnya dalam UU No.1 Tahun 1974 pasal 5 ayat (1) untuk dapat

mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam

pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai

berikut: (a) adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri; (b) adanya kepastian

bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak

mereka; (c) adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-

isteri dan anak-anak mereka. Ayat (2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1)

huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-

isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak

dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-

kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat

penilaian dari Hakim Pengadilan. 10

Dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) bab IX pasal 56 ayat (1) Suami

yang hendak beristeri lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan

Agama. Ayat (2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1)

dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan

Pemerintah No. 9 Tahun 1975. Ayat (3) Perkawinan yang dilakukan dengan

isteri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin dari Pengadilan Agama, tidak

mempunyai kekuatan hukum11.

10 Bahan Penyuluhan Hukum, Op. Cit., hlm. 97. 11 Cik Hasan Bisri (et. al.); editor, Kompilasi Hukum Islam Dalam Sistem Hukum

Nasional, Logos Wacana Ilmu, Cet.1, 1999, hlm. 152.

5

Hukum Perkawinan Indonesia (selanjutnya disingkat HPI) yang

menyebutkan tentang ketentuan atau persyaratan bagi suami yang akan

melangsungkan perkawinan poligami diterangkan lebih mendetail dalam Inpres

No. 1 Tahun 1991, tentang Kompilasi Hukum Islam, buku I tentang hukum

perkawinan.

Dengan demikian ada sedikit kekurangjelasan untuk tidak mengatakan

terdapat perbedaan antara syari’at Islam (baca : hukum Islam)12 yang mengatur

tentang syarat/prosedur poligami dengan HPI, sebagaimana dalam UU No. 1

Tahun 1974, tentang perkawinan serta buku I tentang hukum perkawinan

dalam Kompilasi Hukum Islam.

Sungguhpun bisa dilihat dengan jelas bahwa dalam UU No. 1 Tahun

1974 referensinya didominasi oleh syari’at Islam (Hukum Islam), apalagi

dalam materi Kompilasi Hukum Islam, namun tidak dapat dipungkiri dalam

dataran praksis di masyarakat terjadi semacam polemik terhadap permasalahan

poligami.

Puspo Wardoyo,13 pelaku poligami yang juga seorang pengusaha rumah

makan yang tinggal di Semarang ini dengan gencarnya melalui beberapa media

“mengkampanyekan” poligami sebagai suatu solusi untuk menghindari

perzinaan.14

12 Istilah “Hukum Islam” merupakan istilah khas Indonesia, sebagai terjemahan al-fiqh

al-Islamy atau dalam konteks tertentu dari al-syari’ah al-Islamy, dalam wacana ahli hukum Barat digunakan Islamic Law. Selanjutnya, lihat Ahmad Rofiq, Op.Cit., hlm. 3.

13 Beberapa tulisan Puspo Wardoyo tentang poligami bisa dilihat di Jawa Pos, Radar Semarang dalam rubrik Wacana Poligami, tahun 2001-2002.

14 Puspo Wardoyo dalam “Beristeri Lebih dari Satu Merupakan Solusi”, Jawa Pos, Radar Semarang, 25 September 2001.

6

Sebagai warga negara Indonesia yang beragama Islam, dalam konteks

poligami ini nampaknya harus memilih apakah cukup hanya dengan

menggunakan dasar syari’at Islam—yang lebih ringan dari segi

administrasinya15—ataukah harus tunduk dan patuh terhadap hukum

perkawinan Indonesia yang relatif lebih rumit prosedur dan administrasinya?

Berdasarkan uraian di atas, mendorong penulis untuk meneliti pendapat

masyarakat terhadap permasalahan poligami ditinjau dari hukum Islam dan

HPI. Dalam hal ini peneliti akan memfokuskan obyek penelitiannya di Desa

Karangmangu Kecamatan Sarang Kabupaten Rembang.

Untuk memudahkan pemetaan terhadap penelitian ini maka perlu

penulis uraikan semacam definisi operasional sebagai dasar dan ruang lingkup

pembahasan. Dalam definisi operasional penelitian ini akan diuraikan

petunjuk pelaksanaan yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur

suatu variabel

Dalam penelitian ini terdapat dua jenis variabel, variabel pengaruh

dan variabel terpengaruh. Variabel pengaruh adalah kondisi

individu/masyarakat dengan tiga sub variabel, yaitu (a) jenis kelamin, (b)

tingkat pendidikan, dan (c) status ekonomi

15 Yang dimaksud “ringan dari segi administrasinya” adalah teks dasar hukum poligami

dalam Hukum Islam (al-Qur’an dan Hadis) hanya menyebutkan syarat ‘keadilan’ dalam poligami. Teks tersebut tidak menyebutkan secara langsung bagaimana teknis operasionalnya. Sebaliknya, pada penjelasan selanjutnya saya mengistilahkan syarat poligami dalam Hukum Perkawinan Indonesia ”lebih rumit prosedur dan administrasinya”, tak lain adalah untuk membandingkan prosedur poligami dalam Hukum Perkawinan Indonesia—sebagaimana dalam UU No. 1 Th. 1974, tentang Perkawinan dan KHI—disebutkan dengan tegas beberapa syarat dan prosedur poligami. Lihat pasal 3 – 5 UU Perkawinan No. 1 Th. 1974 jo. pasal 55 – 59 KHI.

7

a.1. Latar belakang jenis kelamin adalah jenis kelamin masing-masing

responden; laki-laki atau perempuan.

a.2. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal terakhir yang

dimiliki responden pada saat penelitian berlangsung. Tingkat

pendidikan dalam penelitian ini diklasifikasikan menjadi 2 kelompok.

Pendidikan rendah, yaitu responden yang maksimal menempuh

pendidikan terakhir di SD/sederajat dan pendidikan tinggi adalah

responden yang telah lulus dari SLTP, SLTA, sedang kuliah dan

sarjana.

a.3. Status ekonomi adalah kondisi perekonomian responden yang

dipresentasikan dengan penghasilan tiap bulan. Dalam penelitian ini

status ekonomi dikategorikan menjadi 2 kelompok. Ekonomi rendah

adalah responden yang penghasilan tiap bulannya di bawah Rp.

500.000,00, dan ekonomi tinggi adalah responden yang penghasilan

tiap bulannya di atas diatas Rp. 500.000,00

Sedangkan variabel terpengaruh adalah pendapat

masyarakat tentang poligami, dengan indikator syarat/prosedur

poligami. Syarat/prosedur poligami sebagaimana aturan dalam HPI

Dasar inilah yang akan dijadikan acuan dalam analisis dan

kesimpulan bahwa responden yang “setuju” dengan syarat/prosedur poligami

sebagaimana dalam HPI, adalah orang yang cenderung menerapkan Hukum

Perkawinan Indonesia.

8

Selanjutnya, dalam penelitian ini penulis mengajukan suatu hipotesis

atau semacam asumsi awal dalam penelitian. Hipotesis berasal dari dua

penggalan kata, yaitu “hipo” yang artinya di bawah dan “thesa” yang artinya

kebenaran.16 Hipotesis adalah dugaan yang mungkin benar, atau mungkin juga

salah.17 Jadi hipotesis adalah jawaban sementara terhadap masalah penelitian,

yang kebenarannya masih harus diuji secara empiris.18

Adapun hipotesis yang peneliti ajukan dalam penelitian ini “Ada

pengaruh signifikan antara jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan status

ekonomi terhadap pendapat responden tentang syarat dan prosedur poligami

dalam HPI”.

B. Rumusan Masalah

Menurut Suharsimi Arikunto, permasalahan yang paling baik adalah

apabila masalah itu datang dari dirinya sendiri karena didorong oleh

kebutuhan memperoleh jawabannya. 19 Sehingga disini ada permasalahan yang

kami kelompokkan menjadi dua, yaitu permasalahan pokok dan permasalahan

sub pokok. Permasalahan pokok dalam penelitian ini, yaitu :

Bagaimanakah pendapat masyarakat Desa Karangmangu Kecamatan Sarang

Kabupaten Rembang tentang syarat/prosedur poligami, apakah cenderung

kepada Hukum Perkawinan Indonesia atau Hukum Islam (fiqh)?

16 Suharsimi Arikunto, Op. Cit, hlm. 68. 17 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Andi Offset, Jilid I, Yogyakarta, 2001, hlm. 63. 18 Sumadi Suryabrata, Metodologi Penelitian, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2000,

hlm. 69. 19 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta,

Yogyakarta, 1993, hlm. 22.

9

Dalam permasalahan ini, ada tiga variabel yang dikaji dalam penelitian

ini, yaitu jenis kelamin, tingkat pendidikan dan status ekonomi. Responden

laki-laki mungkin akan mempunyai pendapat berbeda dengan responden

perempuan terhadap persoalan poligami sebagaimana yang diataur dalam HPI.

Respoden laki-laki mungkin banyak yang menolak syarat dan prosedur

poligami dalam Hukum Perkawinan Indonesia. Sebaliknya, responden

perempuan kemungkinan besar lebih menerima syarat dan prosedur poligami

dalam HPI karena dipandang cukup melindungi hak-hak mereka (kaum

perempuan).

Responden yang mempunyai tingkat pendidikan tinggi mungkin lebih

memahami dan menerima syarat dan prosedur poligami dalam HPI karena

mempunyai nuansa keadilan dan kesetaraan jender, hal ini mungkin berbeda

dengan responden yang mempunyai tingkat pendidikan rendah yang belum

mempunyai pemikiran dan pemahaman kearah tersebut.

Responden yang mempunyai status ekonomi tinggi berpeluang untuk

tidak menerima syarat dan prosedur poligami dalam HPI karena dipandang

terlalu sulit birokrasinya, sedangkan biasanya kalangan ekonomi tinggi lebih

“berpotensi”20 dalam hal poligami daripada mereka yang mempunyai status

ekonomi rendah.

Adapun sub pokok permasalahannya adalah :

20 Istilah “potensi” disini maksudnya adalah lebih mempunyai peluang atau

kemungkinan untuk berpoligami karena lebih memiliki sarana, fasilitas yang mendukungnya, yakni uang atau harta benda, dialah yang konon disebut orang kaya (Jawa: sugih). Berbeda dengan (maaf) orang miskin yang tidak mempunyai cukup uang, akan berpikir ulang ketika hendak berpoligami karena akan menambah beban ekonominya. Sedangkan naluri (biologis) untuk poligami bagi setiap orang sehat dan normal tidaklah jauh berbeda.

10

- Apakah latar belakang jenis kelamin responden berpengaruh terhadap

pendapat tentang poligami?

- Apakah tingkat pendidikan responden berpengaruh terhadap pendapat

tentang poligami?

- Apakah status ekonomi responden berpengaruh terhadap pendapat tentang

poligami?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan pokok yang yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah untuk

mengetahui pendapat masyarakat Desa Karangmangu Kecamatan Sarang

Kabupaten Rembang tentang poligami. Adapun fokus tujuan pokok ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaruh jenis kelamin responden terhadap pendapat

tentang poligami.

2. Untuk mengetahui pengaruh tingkat pendidikan responden terhadap

pendapat tentang poligami.

3. Untuk mengetahui pengaruh status ekonomi responden terhadap pendapat

tentang poligami.

11

D. Telaah Pustaka

Sejarah umat manusia sudah membuktikan, bahwa perkawinan

monogami tidak dapat dipertahankan dengan ketat, negara Barat menunjukkan

keadaan tersebut. Agama Islam membolehkan orang berpoligami, tapi terbatas,

tidak boleh lebih dari empat, sedangkan para isteri serta anak-anak mempunyai

hak yang sama.

Pembahasan masalah poligami telah banyak dikupas oleh intelektual

muslim, ahli fiqih, pakar hadits, pakar hukum, sejarawan, dalam kajian hukum

Islam ataupun dalam perspektif lain semisal hukum perkawinan di Indonesia.

Muthahhari, Murtadha dalam bukunya “The Right of Women in Islam”, dalam

sub babnya membahas poligami dari berbagai perspektif. Mulai dari tinjauan

historis dan bentuk atau macam-macam poligami di berbagai penjuru dunia

hingga pada persoalan poligami dalam perspektif Islam. “Pada zaman dahulu

tidak seperti di zaman sekarang, mempunyai banyak isteri dan banyak anak

adalah menguntungkan pria secara ekonomis. Kaum pria biasa menyuruh isteri

dan anaknya untuk bekerja sebagai budak, dan sekali-kali menjual anaknya”.21

Selanjutnya, Bibit Suprapto, dalam bukunya “Liku-Liku Poligami”,

berbicara panjang lebar tentang poligami, latar belakang dan motivasi poligami

juga diterangkan dalam buku ini, misalnya jumlah wanita lebih banyak dari

laki-laki22 adalah salah satu alasan atau latarbelakang poligami.

Dan tidak usah jauh-jauh, Dr. H. Ahmad Rofiq, MA., mantan Dekan

Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, sebelum selesai studi program doktoralnya,

21 Murtadha Mutahhari, The Right of Women in Islam, Hak-Hak Wanita Dalam Islam, terj. M. Hashem, PT. Lentera Baseitama, Jakarta, 2000, hlm. 225.

22 Bibit Suprapto, Liku-Liku Poligami, Al-Kautsar, Yogyakarta, 1990, hlm. 61.

12

sempat menulis buku “Hukum Islam Di Indonesia”. Proses “adaptasi” hukum

Islam dengan hukum adat serta produk hukum “warisan” Belanda diterangkan

cukup “gamblang” dalam buku ini. Masalah poligami juga dibahas dalam

kajian hukum Islam dan difokuskan pada kajian hukum perkawinan. Syarat dan

prosedur poligami didasarkan pada apa yang tercantum dalam pasal 4 (2) UU

Perkawinan dan juga KHI. Menurut Ahmad Rofiq, bahwa syarat/prosedur

poligami sebagaimana dalam UU No. 1 Th. 1974 tentang perkawinan dan

Kompilasi Hukum Islam (KHI), adalah mengacu kepada tujuan pokok

perkawinan itu dilaksanakan, yaitu membentuk keluarga atau rumah tangga

yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, atau dalam

rumusan kompilassi, yang sakinah, mawaddah dan rahmah.23

Beberapa literatur di atas hanyalah sebagian kecil dari buku-buku yang

membahas poligami. Dalam konteks penulisan skripsi, penulis mengakui ada

mahasiswa Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo yang telah menulis skripsi

dengan tema poligami, misalnya saudara Istiqomah, menulis skripsi dengan

judul “Studi Analisis Terhadap Putusan Pengadilan Agama Ambarawa Nomor

473/pdt.6/1997/PA.AMB tentang Izin Poligami Karena Isteri Menderita Tumor

Rahim”. Dan bahkan bersamaan dengan penulisan skripsi ini, saudara Ifarotul

Mukhanida, pada fakultas yang sama juga menulis skripsi tentang poligami

dengan judul, “Studi Analisis Terhadap Pemikiran Mahmoud Mohamed Taha

Tentang Penolakan Poligami Dalam Hukum Islam”. Untuk skripsi yang disebut

23 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, Cet.

Ketiga, 1998, hlm.171.

13

terakhir ini mengkaji pendapat atau pemikiran Mahmoud Mohamed Taha

tentang pembatasan poligami dalam hukum Islam.

Dalam penelitian “Pendapat Masyarakat Desa karangmangu Kec.

Sarang Kab. Rembang tentang Poligami Dalam Perspektif Hukum Islam dan

Hukum Perkawinan Indonesia”, penulis mencermati fenomena / realitas di

masyarakat terhadap persoalan poligami. Masyarakat Indonesia—yang

mayoritas beragama Islam—tentu ada yang menerapkan praktek poligami

berdasarkan hukum Islam an sich, namun ada juga yang menerapkan hukum

perkawinan Indonesia, yang salah satu sumbernya adalah hukum Islam itu

sendiri. Dalam penulisan skripsi ini, penulis membahas permasalahan poligami

melalui penelitian dengan pendekatan kuantitatif dalam bentuk statistik.24

E. Metode Penelitian

1. Metode Penerapan Obyek Penelitian

a. Populasi dan Sampel

Yang dimaksud dengan populasi adalah keseluruhan subyek

penelitian. Sedangkan sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi

yang diteliti25. Namun, populasi sering disalahdefinisikan sebagai

keseluruhan penduduk, populasi tidaklah sama dengan penduduk.26

Dalam penelitian ini, target populasinya adalah warga

masyarakat di Desa Karangmangu yang berusia 17 tahun ke atas dan

24 Istilah “Polling” mungkin lebih tepat untuk menyebut format penelitian ini. Namun

dalam polling ini disertai dengan beberapa landasan hukum dan teori tentang poligami serta penulisannya disusun sesuai dengan buku panduan penulisan skripsi pada Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo, sehingga lahirlah “semacam skripsi” dari hasil polling tersebut.

25 Suharsimi Arikunto., Op. Cit. hlm. 115. 26 Eriyanto, Metodologi Polling, Remaja Rosdakarya, Bandung, 1999, hlm 87.

14

beragama Islam. Untuk sekadar ancer-ancer maka apabila subyeknya

kurang dari 100, maka lebih baik diambil semua sehinga penelitiannya

merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subyeknya besar

dapat diambil antara 10 – 15 %, atau 20 – 25 % atau lebih.27

Untuk menentukan jumlah sampel, maka perlu diperhatikan

proporsi variasi, atau keragaman populasi, kesalahan yang ditoleransi

dan tingkat kepercayaan. Ketiga faktor tersebut berkaitan dalam

menentukan tingkat kesalahan (sampling error). 28 Lazimnya, semakin

kecil nilai sampling error, berarti semakin baik hasil suatu penelitian

karena sampelnya cukup mewakili dari populasi. Makin besar sampel

maka makin kecil sampling error, tetapi penambahan sampel akan

memperbesar nonsampling error.29 Nilai dari sampling error dapat

diduga sesuai dengan kebutuhan kita, tetapi nonsampling error30

kadang-kadang tidak dapat direncanakan, ia hanya bisa dikontrol.

Berdasarkan pengamatan peneliti, target populasi masyarakat di

Desa Karangmangu Kec. Sarang Kab. Rembang usia 17 tahun keatas

yang beragama Islam relatif homogen, perbedaan tingkat pendidikan dan

status sosial ekonomi tidak besar. Berdasarkan data penduduk Desa

Karangmangu tahun 2001, jumlah penduduk yang berusia 15 (lima

belas) tahun ke atas sejumlah 2.612 orang. Dengan menggunakan rasio

fertilitas, pertumbuhan jumlah penduduk Desa Karangmangu tahun 2002

27 Suharsimi Arikunto, Op.Cit., hlm. 120. 28 Eriyanto, Ibid., hlm 122. 29 Ibid., hlm. 128. 30 Munculnya nonsampling error rentan terjadi pada kelemahan penyusunan kuisioner,

wawancara, analisis data dan hal-hal teknis lainnya di luar pengambilan sampel.

15

yang berusia 17 tahun ke atas adalah sekitar 2750 orang. Jumlah sampel

10 % dari populasi tersebut adalah 275, namun untuk mendapatkan

angka bulat dan seimbang bila dibagi dalam 2 klasifikasi berdasarkan

jenis kelamin (laki-laki dan perempuan), maka jumlah responden

dibulatkan menjadi 275 + 1 = 276. Sehingga dalam penelitian ini di

ambil 276 orang warga sebagai responden penelitian.

b. Teknik Sampling

Teknik penarikan sampel yang akan digunakan adalah sampel

kuota (quota sampling). Langkah pertama dalam melakukan metode

adalah dengan membuat identifikasi kategori atau karakteristik dari

orang yang akan dijadikan sampel (laki-laki-perempuan, pendidikan

tinggi-rendah, dan sebagainya) kemudian memutuskan berapa banyak

orang yang ingin dimasukkan dalam setiap kategori.31 Selanjutnya

penyelidikan segera dilaksanakan jika quota tersebut telah dipastikan.32

Beberapa kategori sampel terdapat dalam lampiran kuisioner,

yang terdiri atas jenis kelamin, tingkat pendidikan, status ekonomi dan

beberapa data (identifikasi) pendukung lainnya. Prosentase dari masing-

masing kategori tersebut diambil sama.33

2. Variabel Penelitian.

31 Eriyanto, Op. Cit., hlm. 108. 32 Sutrisno Hadi, Statistik Jilid 2, Andi, Yogyakarta, 2001, hlm. 227. 33 Tiap kategori dibagi lagi kedalam dua bagian (sel). Kategori jenis kelamin ada dua,

laki-laki-perempuan, tingkat pendidikan dibagi dalam dua sel, pendidikan rendah-pendidikan tinggi, dan status ekonomi juga demikian, ekonomi rendah-tinggi.

16

Variabel adalah segala sesuatu yang akan menjadi objek

pengamatan penelitian.34 Dalam penelitian ini terdapat 2 (dua) variabel,

yaitu independent variable (variabel pengaruh) dan dependent variable

(variabel terpengaruh).

a. Sebagai variabel pengaruh berperan memberikan pengaruh, yaitu

kondisi individu/masyarakat dengan sub variabel:

1. Jenis kelamin

2. Tingkat pendidikan

3. Status ekonomi

b. Sebagai variabel terpengaruh atau variabel terikat, yaitu variabel yang

mendapatkan pengaruh, yakni pendapat responden tentang poligami,

dengan indikator :

1. Pendapat tentang syarat dan prosedur poligami

Adapun data yang dihimpun adalah :

a. Data Umum

- Jumlah penduduk

- Kondisi pendidikan

- Kondisi ekonomi

b. Data Khusus

- Syarat dan prosedur poligami, perspektif hukum Islam dan hukum

perkawinan Indonesia

- Analisis kondisi responden berdasarkan pada :

34 Sumadi Suryabrata, Op. Cit., hlm. 72.

17

- Latar belakang jenis kelamin

- Tingkat pendidikan

- Status ekonomi

3. Metode Pengumpulan Data

Jenis penelitian ini field researh yaitu penelitian lapangan.

Tujuannya untuk mempelajari secara intensif tentang latar belakang

keadaan sekarang, dan interaksi lingkungan sesuatu unit sosial: individu,

kelompok, lembaga, atau masyarakat.35

Dalam pelaksanaan penelitian ini digunakan beberapa metode, yaitu :

a. Metode Observasi

Metode observasi adalah metode atau cara-cara menganalisis

mengenai tingkah laku dengan melihat atau mengamati individu atau

kelompok secara langsung.36 Metode ini digunakan untuk memperoleh

data tentang gambaran umum Desa Karangmangu Kecamatan Sarang

Kabupaten Rembang.

b. Metode Interviu

Metode interviu adalah metode pengumpulan data dengan jalan

tanya jawab sepihak yang dikerjakan dengan sistematik dan

berlandaskan kepada tujuan penyelidikan.37 Metode ini digunakan

untuk memperoleh data pembagian wilayah/geografis, adat-istiadat

masyarakat dan lainnya yang berkaitan dengan penelitian.

35 Sumadi Suryabrata , Op. Cit., hlm. 22. 36 Ngalim Purwanto, Prinsip-Prinsip dan Teknik Evaluasi Pengajaran, Remadja Rosda

Karya, Bandung, 1986, hlm. 191. 37 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Op.Cit., hlm. 193.

18

c. Metode Angket/Kuisioner

Kuisioner atau angket adalah sejumlah pertanyaan tertulis yang

digunakan untuk memperoleh informasi dari responden dalam arti

tentang pribadinya, atas hal-hal yang ia ketahui.38 Tujuan pokok

pembuatan kuisioner adalah untuk memperoleh informasi yang relevan

dengan tujuan penelitian dan memperoleh informasi dengan reliabilitas

dan validitas setinggi mungkin.39

Kuisioner ini digunakan untuk memperoleh data tentang

pendapat masyarakat Desa Karangmangu Kecamatan Sarang Kabupaten

Rembang tentang poligami. Disamping itu, kuisioner ini juga memuat

identitas responden yang selanjutnya akan dijadikan acuan dalam

pengolahan dan analisis data.

d. Metode Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah cara pengumpulan data dengan mencari

data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku,

surat kabar, majalah, prasasti, notulen, rapat, agenda dan sebagainya.40

Metode ini digunakan untuk memperoleh data mengenai letak

geografis, jumlah penduduk, kondisi pendidikan, sosial ekonomi serta

hal-hal lain yang akan diperkuat dengan penelitian.

4. Metode Analisis Data

Sebagaimana dijelaskan pada bagian terdahulu, bahwa penelitian

ini berbentuk “deskriptif” yang diolah dalam bentuk statistik. Statistik

38 Suharsimi Arikunto, Op. Cit., hlm. 140. 39 Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Op. Cit., hlm. 175. 40 Suharsimi Arikunto, Op. Cit., hlm. 236.

19

deskriptif lebih berhubungan dengan pengumpulan dan peringkasan data,

serta penyajian hasil peringkasan tersebut.41 Maka dalam tahap pengolahan

data akan dilakukan dengan model tabulasi silang. Inti dari tabulasi silang

adalah untuk melihat apakah dua variabel atau lebih saling berhubungan.42

Langkah pertama dalam tabulasi ini ialah membuat klasifikasi. Skema

klasifikasi pada umumnya sudah disusun sebelum semua data terkumpul,

yang kemudian disempurnakan lagi sesudah semua data masuk.43

Tabulasi silang tersebut diolah langsung dalam komputer dengan

program SPSS, menggunakan metode crosstabs dan analisis chi square.

Hasil tabel crosstabs tersebut akan lebih mudah “dibaca” variasi

pendapat masyarakat Desa Karangmangu Kecamatan Sarang Kabupaten

Rembang tentang poligami, perspektif hukum Islam dan hukum

perkawinan Indonesia untuk beberapa variabel penelitian.

Selanjutnya data yang telah terkumpul akan dianalisis dengan

model chi kuadrat (chi square / X2), yaitu teknik analisis statistik untuk

mengetahui signifikansi perbedaan antara proporsi subyek atau obyek

penelitian yang datanya telah terkategorisasikan.44 Dengan adanya uji

signifikansi sebagaimana dalam hipotesis, maka jenis penleitian ini adalah

statistik inferensial untuk pengetesan hipotesa.

41 Singgih Santoso, SPSS (Statistical Product and Service Solutions), Elex Media

Komputindo, Jakarta, 1999, hlm. 68. 42 Eriyanto, Op. Cit., hlm. 324. 43 Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial, CV. Mandar Maju, Bandung,

1990, hlm. 332. 44 Eriyanto, Op. Cit., hlm. 336.

20

Walaupun sebenarnya jenis penelitian ini menuntut sampel random

(random sampling) dalam penyelidikannya, namun proporsionalitas sub-

golongan tidak menjadi syarat mutlak. Malahan dalam tiap-tiap sub-

golongan diharuskan sama,45 atau dengan sistem quota.

Proses pengolahan data statistik dalam skripsi ini merupakan

aplikasi chi square dalam program SPSS. Dengan demikian pengolahan

data statistik tidak dihitung dengan rumus “manual”. Adapun rumus

“manual” perhitungan chi square adalah :

X2 = Σ (O – E )2

E Keterangan :

O = frekuensi yang diamati dalam sampel penelitian

E = frekuensi yang diharapkan pada populasi penelitian

F. Sistematika Penulisan Skripsi

Gambaran mengenai rencana keseluruhan isi skripsi ini perlu penulis

sampaikan sistematika penulisan skripsi sebagai berikut :

Bab I, menjelaskan latar belakang masalah, rumusan masalah dan tujuan

penulisan skripsi yang berupa penelitian lapangan dengan pendekatan

kuantitatif menggunakan model statistik inferensial46 dengan metode

crosstabs dan analisis chi square.

45 Sutrisno Hadi, Statistik, Op.Cit., hlm. 256. 46 Beberapa ahli statistik membedakan jenis statistik inferensial, yakni yang bertugas

mengadakan ‘estimasi’ dan statistik inferensial yang berfungsi mengadakan ‘uji hipotesis’ (sebagaimana yang diterapkan dalam penelitian ini). Adapun statistik inferensial untuk estimasi memfokuskan perhatian pada kegiatan mengadakan estimasi tentang parameter dari penyelidikan terhadap sampel yang baik.

21

Pada bab II, akan dikemukakan landasan teori sebagai bahan acuan

mengkaji rumusan masalah yang akan dibahas. Dalam hal ini secara teoritik

Islam membolehkan poligami dengan batasan sampai empat orang isteri. Ada

persyaratan semisal adil terhadap isteri-isteri. Sedangkan hukum perkawinan

Indonesia yang antara lain berpijak pada UU No. 1 Tahun 1974, tentang

Perkawinan dan KHI (Kompilasi Hukum Islam) menjelaskan beberapa

syarat/prosedur poligami yang relatif rumit jika dibandingkan dengan dasar

hukum poligami dari hukum Islam.

Bab III merupakan data-data dari penelitian yang akan dikumpulkan

melalui kuisioner berupa pendapat masyarakat Desa Karangmangu. Kuisioner

memuat pilihan mengenai syarat/prosedur poligami sebagaimana dalam HPI.

Kuisioner ini juga memuat identitas responden, yang diklasifikasi berdasarkan

jenjang pendidikan, status ekonomi, dan jenis kelamin sebagai bahan acuan

dalam pengolahan data yang diterangkan pada bab berikutnya.

Pada bab IV akan dianalisis materi dari bab III, yakni kondisi responden

yang terdapat pada kuisioner. Selanjutnya dalam bab ini juga dianalisis

pendapat masyarakat Desa Karangmangu tentang Poligami dalam Perspektif

Hukum Islam dan Hukum Perkawinan Indonesia berdasarkan variabel yang

telah ditentukan, yaitu tingkat pendidikan, status ekonomi dan jenis kelamin

sebagai variabel kontrol.

Bab V, sebagai bab penutup atas keseluruhan isi skripsi ini

menyimpulkan data yang dihasilkan dari bab IV, serta masukan berupa saran-

saran yang dianggap perlu dan penutup.