bab i pendahuluan a. latar belakang...
TRANSCRIPT
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Kemiskinan merupakan salah satu permasalahan sosial yang masih belum
bisa teratasi dan selalu menimbulkan efek domino terhadap seseorang. Pada
umumnya masyarakat yang masih terbelakang, berpenghasilan rendah, dan jika
diukur dengan kebutuhan hidup minimum masih dibawah standar itulah yang
kebanyakan orang mendefinisikannya sebagai masyarakat miskin (Sumodiningrat
1999, h.13). Kebanyakan negara berkembang yang masih memiliki masyarakat yang
demikian maka dengan sadarnya pemerintah akan melakukan tindakan yang
kemudian dicerminkan dalam sebuah kebijakan. Misalkan di Indonesia, banyak
kebijakan yang sifatnya untuk pengentasan kemiskinan dan pemberdayaan
masyarakat, contohnya BLT (Bantuan Langsung Tunai), P2KP (Program
Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan); PNPM Mandiri; dan Inpres Desa
Tertinggal.
Terlebih lagi pada saat terjadi pengurangan subsidi BBM secara otomatis
yang menimbulkan dampak kenaikan berbagai harga komoditas pokok di dalam
masyarakat. Dan hal ini menyebabkan terjadinya penurunan daya beli masyarakat.
Masyarakat miskin yang sebelumnya sudah sulit untuk memenuhi kebutuhan
pokoknya ditambah dengan pencabutan subsidi BBM menyebabkan masyarakat
miskin tersebut tidak kuasa lagi untuk mencukupi kebutuhannya. Beban yang
mereka tanggung menjadi semakin berlipat-lipat akibat pencabutan subsidi BBM
tersebut. Masyarakat miskin menjadi semakin terjepit, dan masyarakat menengah
menjadi ikut miskin.
Salah satu kebutuhan dasar masyarakat yang menjadi tanggung jawab
pemerintah yang harus dipenuhi adalah pendidikan dan kesehatan. Pemerintah harus
menjamin bahwa semua warga negaranya berhak mengenyam kebutuhan tersebut
2
seperti yang tercantum dalam mandat UUD 1945. Untuk itu pemerintah
mencanangkan berbagai kebijakan agar masyarakat miskin tetap bisa mengakses
kebutuhan pendidikan dan kesehatan tersebut. Dan tindakan ini dilakukan
pemerintah juga untuk melindungi masyarakat miskin yang notabene sama sekali
tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi dirinya dan keluarganya.
Melihat kemiskinan yang telah terjadi di Indonesia sejak lama pemerintah
selaku policy maker tentu menggunakan kewajibannya untuk membuat sebuah
kebijakan guna mengentaskan kemiskinan. Kita ambil contoh saja di daerah Gunung
Kidul. Pada tahun 2013 sendiri pemerintah menganggarkan Rp 46 Miliar untuk
program kemiskinan.1 Dan anggaran tersebut digunakan untuk memberikan bantuan
dana guna meringankan beban pengeluaran masyarakat. Angka yang cukup banyak
jika digunakan untuk pengeluaran sekaligus terhadap beberapa rumah tangga miskin.
Tentu saja orientasi keluarga tersebut secara logika pasti akan menggunakan dana
tersebut untuk kebutuhan sehari-hari dibanding untuk memutarnya kembali agar bisa
berkembang atau sekedar untuk tabungan masa depan seperti halnya investasi dalam
pendidikan anak-anaknya.
Sejatinya kebijakan pemerintah untuk memberikan sejumlah bantuan kepada
masyarakat miskin merupakan kebijakan yang cukup membantu masyarakat tersebut
mengurangi beban pengeluaran. Namun masyarakat Indonesia yang terbilang
memiliki permasalahan yang kompleks tidak bisa memanfaatkan bantuan yang
diberikan dari pemerintah. Masyarakat miskin yang sangat membutuhkan
pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari tentu akan lebih memilih untuk
menghabiskan dana tersebut guna membeli kebutuhan akan pangan ketimbang untuk
investasi masa depan atau untuk keperluan sekolah anak-anaknya. Dengan demikian
dana yang diberikan secara cuma-cuma oleh pemerintah sama sekali belum mampu
untuk membantu masyarakat keluar dari kemiskinan. 1 http://jogja.tribunnews.com/2013/03/28/pemda-diy-alokasikan-rp-46-miliar-genjot-penurunan-kemiskinan/, diunduh pada tanggal 2 April 2013
3
Program pemerintah yang memberikan bantuan dana tanpa adanya pemilihan
target salah satunya adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT). BLT merupakan
bantuan sosial yang memberikan sejumlah dana kepada masyarakat miskin tanpa
syarat, dan program ini telah lama dijalankan di Indonesia, bantuan tersebut hanya
membuat ketidakefektifan untuk masyarakat karena penggunaan dana tersebut yang
kurang tepat. Misalkan saja rumah tangga miskin yang telah mengantri berjam-jam
untuk mendapatkan bantuan dana tersebut justru menggunakannya untuk konsumsi
rokok dan bukan untuk kebutuhan primer lainnya. Dari sini bisa disimpulkan bahwa
kebijakan penanggulangan kemiskinan masih banyak yang kurang efektif terutama
dalam implementasinya. BLT juga dinilai kurang tepat sasaran dalam pemberian
bantuan, masyarakat yang dirasa mampu atau masyarakat menengah pun turut
mendapatkan bantuan karena tidak ada ketentuan khusus yang diajukan oleh BLT
dalam mendapat bantuannya.
Pemerintah yang menanggapi ketidakefektifan bantuan tersebut kembali
membentuk Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K)
berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomer 15 tahun 2010 tentang
percepatan penanggulangan kemiskinan. TNP2K ini merupakan lembaga yang
dibentuk sebagai wadah koordinasi lintas sektor dan lintas pemangku kepentingan di
tingkat pusat untuk melakukan percepatan penanggulangan kemiskinan.2 TNP2K
inilah yang nantinya akan menyusun program dan kebijakan sebagai penanggulangan
kemiskinan yang akan lebih ditajamkan kembali terkait sasaran program dan
kebijakan nantinya. TNP2K menjelaskan bahwa pemerintah saat ini memiliki
program penanggulangan kemiskinan yang terintegrasi mulai dari program
penanggulangan kemiskinan berbasis bantuan sosial, program penanggulangan
kemiskinan yang berbasis pemberdayaan masyarakat serta program penanggulangan
kemiskinan yang berbasis pemberdayaan usaha kecil. Pengelompokan tersebut lebih
dikenal dengan pembagian kelompok menjadi 3 kluster. 2 http://www.tnp2k.go.id/id/mengenai-tnp2k/tentang-tnp2k/ diunduh pada tanggal 1 Juli 2014
4
Program penanggulangan kemiskinan dengan basis bantuan sosial yang
merupakan baru di Indonesia adalah program pemberian bantuan dana bersyarat atau
lebih dikenal dengan Conditional Cash Transfer (CCT), program tersebut merupakan
kebijakan perlindungan sosial bagi masyarakat miskin yang sama sekali tidak mampu
untuk mendapatkan kebutuhan dasar akan pendidikan dan kesehatan dengan fokus
target adalah keluarga sangat miskin. Program pemberian bantuan ini masuk ke
dalam kluster 1, dimana program bantuan sosial dan perlindungan sosial ditujukan
untuk pemenuhan hak dasar seperti pendidikan dan kesehatan.3
Kebijakan penangulangan kemiskinan dengan basis pemberian bantuan sosial
yang ada setelah BLT adalah Program Keluarga Harapan (PKH) yang memberikan
bantuan dana bersyarat. PKH merupakan CCT yang masuk kedalam kluster 1 yang
berdampingan dengan program Jamkesmas, Raskin, dan juga BSM (Bantuan Siswa
Miskin).4 Secara konsep, Departemen Sosial menjelaskan bahwa Program Keluarga
Harapan (PKH) adalah program yang memberikan bantuan tunai bersyarat kepada
Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) yang telah ditetapkan sebagai peserta PKH.
Agar memperoleh bantuan, peserta PKH diwajibkan memenuhi persyaratan dan
komitmen yang terkait dengan upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia
(SDM), yaitu pendidikan dan kesehatan.5 Peningkatan bidang pendidikan
mewajibkan RTSM harus menyekolahkan anaknya yang masih mempunyai usia
sekolah minimal sampai tingkat sekolah menengah. Sedangkan untuk bidang
kesehatan, bagi RTSM yang mempunyai ibu hamil harus memeriksakan
kandungannya secara rutin ke puskesmas.
PKH juga memberikan skema bantuan untuk setiap rumah tangga secara
detail, setiap keluarga mendapatkan bantuan berbeda-beda sesuai kriterianya. Tidak
3 http://www.tnp2k.go.id/id/program/program/ diunduh pada tanggal 1 Juli 2014 4 http://www.tnp2k.go.id/id/program/program/ diunduh pada tanggal 1 Juli 2014 5 http://pkh.depsos.go.id/index.php/2012-09-13-09-47-44/apa-itu-pkh, diunduh pada tanggal 30 Maret
2013
5
seperti BLT yang memukul rata bantuan kepada seluruh keluarga miskin yaitu
sebesar kurang lebih Rp. 150.000 per kepala keluarga, namun untuk PKH ini antara
keluarga yang mempunyai satu anak usia sekolah dengan keluarga yang mempunyai
beberapa anak sekolah ataupun keluarga yang mendapati ibu hamil akan
mendapatkan nominal bantuan yang berbeda. Misalkan saja keluarga yang
mempunyai dua anak yang duduk di bangku Sekolah Dasar dan terdapat ibu hamil
akan mendapatkan bantuan sejumlah Rp. 1.000.000 per kepala keluarga per
tahunnya. Sedangkan untuk keluarga yang hanya mempunyai anak usia Sekolah
Dasar akan mendapatkan bantuan sebesar Rp. 600.000 per kepala keluarga per
tahun.
Terkait dengan sumber pendanaan PKH, dinas sosial menginfokan bahwa
sumber dana PKH berasal dari APBN dan APBD, namun tidak dapat dipungkiri juga
bahwa negara juga meninjam uang dari luar negeri. Menurut pengamat ekonomi,
tercatat bahwa anggaran untuk kebijakan PKH berasal dari hutang luar negeri yang
bunganya akan dibayarkan lebih besar.6 Total anggaran PKH pada tahun 2009 dan
2010 saja mencapai Rp. 1,1 Triliun, sedangkan untuk tahun 2011 naik hingga Rp.
1,3 Triliun, dan bertambah lagi pada tahun 2012 yang mencapai Rp. 1,6 Triliun. Hal
ini tentu saja akan semakin membebankan anggaran negara hanya untuk sejumlah
bantuan dana langsung kepada masyarakat, disamping juga pelaksanaan program
tersebut yang kurang efektif.
Terkait dengan kemiskinan Di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), menurut
BPS DIY tingkat kemiskinan pada tahun 2011 di kota mencapai 13,16% sedangkan
di desa mencapai 16,08%.7 Meskipun pada tahun 2012 tingkat kemiskinan penduduk
DIY menurun hingga 15,88%. Ditambah kondisi Yogyakarta yang masih terbilang
banyak daerah-daerah yang belum terjamah kegiatan perekonomian seperti Gunung
Kidul. Daerah Gunung Kidul merupakan daerah pegunungan yang setiap tahunnya 6 http://www.beritasatu.com/makro/28615-program-keluarga-harapan-didanai-utang-luar-negeri.html, diunduh pada tanggal 1 April 2013 7 Wawancara penulis dengan Sunarto, staff BPS Gunung Kidul, di Yogyakarta, 21 Februari 2014
6
mengalami kekeringan dan memiliki kondisi lingkungan yang minim sumber daya
alam. Karena di Gunung Kidul termasuk pegunungan kapur yang cukup sulit untuk
menjadi lahan pertanian musiman yang bisa dijadikan sebagai mata pencaharian
tetap masyarakat setempat.
Di Kabupaten Gunung Kidul yang merupakan salah satu kabupaten di DIY
dan yang akan menjadi lokus penelitian evaluasi PKH ini mempunyai jumlah
penduduk miskin yang mencapai 23,03% dari jumlah penduduk per pertengahan
tahun 2011 mencapai 678.043 jiwa. Kabupaten ini terbilang mempunyai masyarakat
miskin yang cukup banyak, dilihat dari banyaknya buruh yang terdapat dikota-kota
besar yang berarti mereka belum mampu mencari pekerjaan di daerah asalnya. Dan
juga keadaan geografis daerahnya yang kurang memadai untuk mendapatkan mata
pencaharian yang beragam, karena setiap tahun daerah tersebut mengalami
kekeringan sehingga sektor pertanian di Gunung Kidul masih belum maksimal. Hal
tersebut membuat masyarakatnya harus mencari pekerjaan sambilan selain
bergantung pada alam disekitar, dan salah satu yang menjadi andalan adalah
pekerjaan sebagai nelayan.
Sementara itu keadaan penduduk desa Tepus mayoritas tamatan SD dan SMP,
hanya sedikit sekali penduduk yang dapat mengenyam bangku pendidikan SMA,
terlebih lagi perguruan tinggi. Hal ini dikarenakan memang keadaan yang memaksa
anak-anak di Desa Tepus tidak mampu menikmati bangku sekolah layaknya
penduduk di daerah lain. Penduduk lebih mengutamakan permasalahan keberlanjutan
hidup sehari-hari daripada untuk membiayai anak sekolah karena pada kenyataanya
untuk kebutuhan hidup sehari-haripun mereka merasa banyak kesulitan. Hal inilah
yang menjadi salah satu penyebab kemiskinan yang terjadi di Desa Tepus, seakan
sudah mengakar dan sulit untuk dihilangkan.
Untuk mengetahui seberapa jauh kebijakan PKH tersebut sudah mampu
melindungi kehidupan sosial rumah tangga miskin, penulisan ini akan secara jelas
menjelaskan bagaimana implementasi kebijakan tersebut berjalan dengan lokus
7
penelitian di Desa Tepus Kabupaten Gunung Kidul. Untuk melihat implementasi ini
penulis menggunakan instrumen kebijakan sebagai pisau ukur untuk mengetahui
seberapa jauh PKH telah diterapkan. Lokasi Gunung Kidul dipilih karena dengan
pertimbangan bahwa Gunung Kidul merupakan daerah yang banyak penduduk
miskin. Kemudian yang menjadi pertanyaan besar disini adalah seberapa jauh kah
pemberian kebijakan Program Keluarga Harapan (PKH) dalam memberdayakan
masyarakat miskin?
Untuk membungkus seberapa jauh kah implementasi kebijakan tersebut,
maka perlu adanya evaluasi terhadap implementasi kebijakan PKH. Misalkan saja
salah satu dari variable dalam sebuah evaluasi kebijakan adalah sejauh mana sebuah
program tersebut mencapai target populasi yang tepat. Program Keluarga Harapan
menjadi target evaluasi karena program tersebut sangat berkaitan dengan
penyelesaian masalah kemiskinan sehingga akan dilihat apakah kebijakan tersebut
sudah sesuai yang diharapkan atau justru tidak terutama pada implementasinya di
Kabupaten Gunung Kidul.
Kabupaten tersebut menarik untuk diamati lebih jauh karena kemiskinan yang
bisa dibilang menjadi sebuah warisan yang diturunkan sehingga banyak kebijakan
yang sifatnya memberikan bantuan dana menjadi tidak efektif. Masyarakat miskin
masih belum sepenuhnya sadar bahwa mereka sedang dibantu untuk dapat mengakses
kebutuhan dasar akan pendidikan dan kesehatan. Kesempatan yang diberikan belum
sepenuhnya digunakan dengan baik, banyak diantara RTSM yang hanya
menyekolahkan anaknya pada saat akan mendekati pencairan dana. Desa Tepus juga
menarik untuk diteliti karena di Desa Tepus masih banyak rumah tangga yang
membutuhkan perlindungan sosial agar bisa sekiranya mampu menjangkau hak-hak
dasarnya yang selama ini masih sulit untuk mereka dapatkan. Kondisi masyarakat
Tepus yang masih banyak belum mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar menjadi
alasan mengapa PKH perlu diimplementasikan disini. Selain itu angka putus sekolah
8
karena keterbatasan biaya juga masih banyak ditemukan di sejumlah RTSM Desa
Tepus.
Kebiasaan masyarakat di sana juga menjadi penyebab kemiskinan tersebut
diturunkan ke anak cucunya. Misalkan saja, jika kepala keluarga mendapatkan
bantuan berupa dana lewat PKH tersebut untuk meringankan pengeluaran mereka
dengan harapan anaknya bisa melanjutkan sekolah dan tidak bekerja, namun justru
dana tersebut digunakan untuk kepentingan lain misalkan saja untuk cicilan
kendaraan bermotor. Namun pemerintah setempat yang mengetahui hal demikian
justru membiarkan saja, dan belum ada pendampingan yang maksimal dalam
pelaksanaannya.
Keberadaan pekerja anak pun masih banyak, dari awal diimplementasikan
kebijakan PKH di Desa Tepus masih belum banyak penurunan soal jumlah pekerja
anak. Bantuan yang diberikan belum mampu mencukupi insentif anak untuk kembali
ke sekolah, sehingga banyak dari mereka lebih memilih untuk bekerja dibanding
sekolah. Meskipun anak tersebut bersedia untuk bersekolah, namun tingkat
kehadiran dan prestasinya tidaklah naik. Tingkat kehadiran yang menurun ini
disebabkan karena anak-anak lebih mengutamakan pekerjaan mereka membantu
orang tua berdagang di pantai. Mereka lebih memilih untuk berdagang karena
dengan berdagang sehari mereka mampu mendapatkan uang, dibanding dengan
harus menunggu pencairan dana yang tiga bulan sekali.
Guna mendukung pencarian informasi apakah kebijakan PKH tersebut
efektif ataukah belum, maka penelitian ini akan lebih mengarah pada evaluasi
terhadap berjalannya implementasi kebijakan PKH. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya bahwa pisau analisis yang akan digunakan nantinya ialah dengan
menggunakan kerangka teori dari instrument kebijakan yang ditawarkan oleh
Chritopher Hood, yaitu berupa nodality, authority, treasure, dan organization, atau
banyak ilmuwan yang menyingkatnya menjadi ‘NATO’.
9
Untuk mendukung dalam pencarian data lebih lanjut, penelitian ini akan
didukung menggunakan metode penelitian studi kasus. Studi kasus dianggap dapat
merepresentasikan fenomena-fenomena yang ditemui secara mendetail sehingga
peneliti dapat mengeksplor hal-hal dasar pendukungnya. Dalam proses pengumpulan
data, metode studi kasus ini akan didukung dengan observasi langsung, wawancara
lebih mendalam, dan tentunya studi literasi dari pemberitaan-pemberitaan yang ada.
Karena studi kasus memerlukan penggalian data lebih dalam maka metode-metode
seperti observasi langsung dan wawancara memang sangat dibutuhkan.
B. Rumusan Masalah
Program Keluarga harapan (PKH) mempunyai tujuan untuk meringankan
beban pengeluaran keluarga miskin dan juga untuk meningkatkan kemampuan
keluarga miskin dalam mengakses pelayanan kesehatan dan pendidikan. Namun
program tersebut belum sepenuhnya dimanfaatkan betul oleh RTSM untuk
mengakses layanan pendidikan dan kesehatan. Dari permasalahan yang telah
diuraikan diatas maka penelitian studi kasus ini menarik sebuah rumusan masalah
yaitu SEBERAPA JAUH PELAKSANAAN KEBIJAKAN PKH (PROGRAM
KELUARGA HARAPAN) DI TEPUS DALAM MEMBERIKAN
PERLINDUNGAN SOSIAL BAGI RTSM?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dilaksanakannya penelitian ini antara lain adalah sebagai berikut:
1. Untuk melihat bagaimana proses implementasi kebijakan PKH di Kabupaten
Gunung Kidul
2. Untuk mengetahui sebab atau faktor dari kebijakan PKH yang tidak bisa
mengurangi tingkat kemiskinan di Kabupaten Gunung Kidul, Khususnya
kecamatan Tepus.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat :
10
1. Dari segi akademis, penelitian ini diharapkan memberi kontribusi bagi
pemahaman dan pengembangan pada bidang ilmu politik, khususnya pada
studi evaluasi terhadap implementasi kebijakan
2. Dari segi praktis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan
bagi pemerintah dan stakeholders agar kedepannya mampu memperbaiki
apa yang menjadi kendala pada suatu kebijakan baik dalam perencanaan,
pelaksanaan atau implementasi, maupun monitoring program sehingga
bisa didapat kebijakan yang lebih tepat dan mencapai tujuan kebijakan itu
sendiri. Sehingga bisa menjadi acuan apakah PKH akan dilanjutkan atau
digantikan.
E. Kerangka Teori
Program Keluarga Harapan (PKH) merupakan salah satu kebijakan
pemerintah yang berusaha untuk membantu mengurangi tingkat pengeluaran keluarga
miskin dan sebagai imbalannya keluarga miskin diminta untuk melaksanakan syarat
yang sudah ditetapkan guna meningkat kualitas SDM masing-masing keluarga.
Kebijakan ini menjadi salah satu langkah dari pemerintah sebagai jalan lain untuk
menggantikan subsidi BBM yang mulai dikurangi. Kementerian Sosial merancang
program ini dengan baik, mulai dari tujuan, sasaran, hingga pendampingan yang
harus dilakukan. Namun di beberapa daerah program ini masih belum efektif,
sehingga disini bisa dipertanyakan bagaimana tingkat ketidakefektifan implementasi
kebijakan tersebut. Untuk itu perlu adanya evaluasi terhadap implementasi kebijakan
tersebut guna mengetahui disfungsi unit-unit administratif yang melaksanakan
implementasi kebijakan ataukah terdapat kesalahan dalam memobilisasi sumberdaya
yang ada.
11
1. Conditional Cash Transfer
Perkembangan penanggulangan kemiskinan semenjak krisis ekonomi 1998 yang
dialami oleh bangsa Indonesia semakin menunjukan keseriusan. Setelah program
BLT yang belum cukup mampu untuk mengurangi tingkat kemiskinan di Indonesia,
pemerintah kembali meluncurkan kebijakan PKH yang salah satu program
Conditional Cash Transfer (CCT) atau bantuan tunai bersyarat. Dalam penelitian
World Bank terkait CCT, mereka mendefinisikan bahwa CCT adalah:
Bantuan tunai bersyarat (CCT) adalah program yang mentransfer uang, biasanya untuk rumah tangga miskin, dengan syarat bahwa rumah tangga melakukan investasi yang sudah ditentukan dalam modal manusia anak-anak mereka. (Schady & Fizsbein 2009: 1)
CCT dibanggakan di beberapa Negara yang masih memiliki penduduk miskin
dengan kesenjangan jauh seperti yang terjadi di Amerika Latin. Seperti yang telah
diterapkan oleh Brazil, Nikaragua, Columbia dan lain sebagainya. Negara tersebut
mengawali penerapan CCT dan terbukti mampu mengurangi kemiskinan karena
persyaratan yang diberikan oleh CCT. Dalam laporan terkait perkembangan CCT di
Nikaragua, kemiskinan mampu turun 5-9 poin pada tahun 2002 (Schady & Fizsbein
2009: 15). Hal tersebut dikarenakan CCT tidak hanya memberikan bantuan secara
mentah namun penerima manfaat juga mempunyai kewajiban untuk merubah kualitas
diri mereka, sehingga bantuan mampu digunakan dengan baik.
Program CCT ini merupakan program perlindungan sosial yang ditujukan
untuk masyarakat miskin dan yang ada pada garis batas kemiskinan berdasarkan BPS.
Perlindungan sosial ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia terutama kelompok masyarakat miskin. Pemerintah setempat mentransfer
dana kepada masyarakat miskin yang memenuhi kriteria yang diantaranya adalah
mendaftarkan anak ke sekolah, memeriksakan rutin anaknya ke pelayan kesehatan,
diberikan vaksin dan lain sebagainya.
12
Pada umumnya CCT mampu untuk meningkatkan tingkat konsumsi
masyarakat miskin, sehingga dengan CCT setidaknya mampu menghasilkan
pengurangan yang cukup besar dalam kemiskinan (Fiszbein 2009 : xii). CCT juga
mampu untuk meningkatkan peran wanita karena penerima dana pada Program
Keluarga Harapan adalah wanita. Dengan adanya program ini wanita mampu untuk
terlibat dalam kegiatan sosial sehingga peran wanita semakin meningkat dari yang
sebelumnya hanyalah ibu rumah tangga yang mengurusi dapur dan anaknya.
2. Kebijakan Publik
Pada dasarnya kebijakan merupakan sebuah instrumen untuk mengontrol
tingkah laku warga negara dan juga pasti mempunyai dampak terhadap masyarakat
luas. Di era globalisasi sekarang ini pergeseran paradigma kajian pemerintahandari
government ke governance menjadikan proses kebijakan publik juga tidak sekedar
proses perumusan yang terjadi di institusi pemerintah, namun juga concern pada
output dan outcome yang nantinya akan dihasilkan. Sehingga masyarakat juga bisa
ikut andil dalam pengawasan kebijakan. Proses input sumberdaya kebijakan hingga
menghasilkan sebuah outcome itulah yang akan menghasilkan sebuah kefektifitasan
sebuah kebijakan. Sehingga tepat untuk menganalisa evaluasi sebuah implementasi
kebijakan dengan melihat output dan outcome kebijakan.
Kebijakan publik adalah penyaringan dan pemilihan yang telah terumuskan
dari tuntutan masyarakat yang dipenuhi atau tidak dipenuhi karena keterbatasan
sumberdaya yang tersedia (Sitompul 2006:47).Didalam kebijakan tersebut terdapat
aspek politik karena terdapat penyaringan dan pemilihan kepentingan dan akan
memperjuangkannya menjadi sebuah kebijakan.
Tahap-tahap dalam proses pembuatan kebijakan menurut Dunn adalah sebagai
berikut (Nugroho 2007: 7):
13
1. Fase penyusunan agenda; disini para pejabat yang dipilih menentukan
masalah dalam agenda publik
2. Formulasi kebijakan; masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan
kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan untuk perumusan
alternatif atau pilihan kebijakan.
3. Fase Adopsi Kebijakan; disini alternatif atau pilihan kebijakan dipilih
dandidopsi dengan dukungan suatu masyarakat.
4. Implementasi Kebijakan; kebijakan yang telah diambil kemudian
dilaksanakan oleh unit-unit administrative dengan memobilisir sumber
daya yang dimiliki.
5. Penilaian Kebijakan; disini unit-unit pemeriksaan menilai apakah pembuat
kebijakan telah memenuhi syarat dari pembuat dan pelaksana kebijakan.
Hasil kebijakan atau dalam hal ini adalah implementasi kebijakan menurut
William N. Dunn dibedakan antara keluaran (outputs) yaitu produk layanan yang
diterima kelompok sasaran kebijakan dan impak (impacts), yaitu perubahan perilaku
yang nyata pada kelompok sasaran kebijakan (Nugroho 2007: 26). Dalam penelitian
ini focus yang akan diambil adalah pada keluaran atau output, karena ukuran dari
efektivitas sebuah kebijakan adalah berkenaan dengan apakah suatu alternatif
mencapai hasil yang diharapkan (Nugroho 2007: 24).
Riset evaluasi membahas dua dimensi: yang pertama adalah bagaimana
sebuah kebijakan bisa diukur berdasarkan tujuan yang ditetapkan, dan yang kedua
adalah dampak aktual dari kebijakan (Parsons 2008: 548). Jika analisis evaluasi
implementasi yang diutamakan maka dimensi yang terkait adalah bagaimana sebuah
kebijakan bisa diukur dari tujuan kebijakan, karena ini merupakan sebuah pengukuran
kinerja kebijakan antara tujuan dengan hasil yang dicapai. Sedangkan pendekatan
untuk analisis evaluasi sendiri masih menurut Parsons, antara lain:
1. Teknik yang mengukur hubungan antara biaya dan manfaat dengan utilitas
14
2. Teknik yang mengukur kinerja
3. Teknik yang menggunakan eksperimen untuk mengevaluasi kebijakan dan
program.
3. Karakteristik Evaluasi
Dalam sebuah kebijakan, tindakan yang dilakukan pemerintah dirancang
sedemikian rupa sehingga tujuan kebijakan diharapkan akan bisa mencapai tujuan
dari kebijakan. Namun seandainya kebijakan tersebut gagal, maka pemerintah perlu
mengetahui letak kegagalan tersebut agar hal yang sama tidak terulang di masa
mendatang. Dan untuk itulah evaluasi diperlukan dalam sebuah proses kebijakan
publik. Evaluasi kebijakan sekiranya bermaksud untuk mengetahui 4 aspek (Wibawa
1994: 9), yaitu: (1) proses pembuatan kebijakan, (2) proses implementasi, (3)
konsekuensi kebijakan, dan (4) efektivitas dampak kebijakan. Dalam evaluasi
kebijakan PKH ini, fokus akan ditujukan pada aspek kedua, atau disebut juga dengan
evaluasi implementasi.
Sebelum mengetahui lebih lanjut terkait evaluasi pada proses implementasi
kebijakan, alangkah baiknya untuk mengetahui arti dari proses evaluasi itu sendiri.
Menurut Darwin, (1994: 34 dalam Nurharjadmo 2008: 217) evaluasi kebijakan pada
dasarnya adalah suatu proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan
membuahkan hasil yaitu dengan membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan
tujuan atau target kebijakan yang ditentukan. Tujuan dan target kebijakan ini dilihat
dari seberapa jauh proses implementasi menghasilkan output di masyarakat. Evaluasi
kebijakan digunakan untuk mengetahui masa depan keberlanjutan dari kebijakan
tersebut,dan bertujuan untuk memperbaiki kebijakan. Oleh karena kebijakan PKH ini
dirasa kurang efektif maka evaluasi diperlukan karena untuk digunakan kedepannya
agar kebijakan pemerintah bisa benar-benar tepat sasaran dan tepat penggunaannya
dan tepat sasaran. Evaluasi kebijakan sendiri menurut Thomas Dye (1987:351)
adalah:
15
Evaluasi kebijakan adalah pemeriksaan yang obyektif, sistematis, dan empiris
terhadap efek dari kebijakan dan program publik terhadap targetnya dari segi
tujuan yang ingin dicapai. (Parsons 2008: 547)
Evaluasi kebijakan ini lebih difokuskan pada evaluasi sebuah implementasi
kebijakan atau dalam konsep Palumbo disebut sebagai evaluasi formatif, Palumbo,
1937: 40 menerangkan bahwa evaluasi kebijakan yang sedang diimplementasikan
merupakan analisis tentang seberapa jauh sebuah program diimplementasikan dan apa
yang bisa meningkatkan keberhasilan implementasi (Parsons 2008: 549). Jika
dihubungkan dengan evaluasi implementasi kebijakan PKH ini maka nanti akan
diperoleh seberapa jauh program tersebut telah diimplementasikan dan apa saja yang
membuat program tersebut menjadi kurang efektif terutama didaerah Gunung Kidul.
Sementara agar dapat mendeskripsikan evaluasi kebijakan PKH maka penulis
memilih satu model evaluasi. Model evaluasi yang digunakan adalah model evaluasi
formatif, menurut Rossi dan Freeman model evaluasi formatif mendeskripsikan tiga
persoalan, yaitu: (1) sejauh mana sebuah program mencapai target populasi yang
tepat; (2) apakah penyampaian pelayanannya konsisten dengan spesifikasi desain
program atau tidak; (3) dan sumberdaya apa yang dikeluarkan dalam melaksanakan
program (Parsons 2008: 550). Dalam kebijakan PKH populasi yang dicapai dirasa
sudah tepat karena banyak dari keluarga miskin yang mendapatkan bantuan dana dari
pemerintah.
Tidak jauh beda dengan Rossi dan Freeman. Ernest R. House (1980) dalam
Nugroho (2006) juga mempunyai model evaluasi tersendiri yang mempunyai lebih
banyak poin di dalamnya. Ernest R. House menyebutkan bahwa terdapat beberapa
model dalam evaluasi, yaitu:
1. Model sistem, dengan indikator utama adalah efisiensi,
16
2. Model perilaku, dengan indikator utama adalah produktivitas dan
akuntabilitas,
3. Model formulasi keputusan, dengan indikator utama adalah kefektifan dan
keterjagaan kualitas,
4. Model tujuan-bebas (goal free), dengan indikator utama adalah pilihan
pengguna dan manfaat sosial,
5. Model kekritisan seni (art critism), dengan indikator utama adalah standar
yang semakin baik dan kesadaran yang semakin meningkat,
6. Model review professional, dengan indikator utama adalah penerimaan
professional,
7. Model kuasi-legal (quasi-legal), dengan indikator utama adalah resolusi,
dan
8. Model studi kasus, dengan indikator utama adalah pemahaman atas
diversitas.
4. Implementasi
Suatu kebijakan publik yang telah disepakati dan disahkan tidak akan
bermanfaat jika pelaksanaan implementasi kebijakan tersebut kurang maksimal.
Karena pembuatan kebijakan tidak berakhir setelah kebijakan ditentukan atau
disetujui. Kebijakan dibuat saat ia sedang diatur dan diatur saat sedang dibuat
(Anderson, 1975: 98) dalam (Pasons 2008: 464). Oleh karena itu Parsons juga
menjelaskan bahwa implementasi merupakan pelaksanaan pembuatan kebijakan
dengan cara-cara lain.
Dalam pandangan umum masyarakat mengetahui bahwa implementasi
kebijakan adalah suatu proses dimana rancangan kebijakan mulai dilaksanakan dan
memastikan tujuan kebijakan tersebut tecapai. Seperti yang dinyatakan oleh Presman
dan Wildavsky, bahwa implementasi adalah proses interaksi antara penentuan tujuan
dan tindakan untuk mencapai tujuan kebijakan ( Parsons 2008: 466). Dalam
17
pandangan Parsons, implementasi pada dasarnya adalah untuk membangun hubungan
sebab-akibat agar kebijakan tersebut mempunyai dampak. Oleh karena itu tidak
berlebihan jika dikatakan implementasi merupakan aspek yang paling penting dari
seluruh proses kebijakan. Karena suatu kebijakan harus diimplementasikan agar
mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan (Winarno 2002: 34).
Implementasi sendiri memiliki tujuan secara umum, menurut Grindle , tugas
implementasi adalah untuk membangun link yang memungkinkan tujuan kebijakan
publik dapat direalisasikan sebagai hasil dari kegiatan pemerintah (Grindle 1980: 6).
Hasil dari kegiatan pemerintah tersebut yang kemudian kita sebut dengan sebuah
program yang akan dilaksanakan oleh birokrat yang berada di lapangan (street level
bureaucracy) yang kemudian diarahkan kepada kelompok sasaran. Oleh karena itu,
berhasil atau tidaknya implementasi kebijakan dipengaruhi oleh beberapa faktor,
berikut ini merupakan kutipan beberapa pendapat terkait faktor-faktor yang
mempengaruhi implementasi kebijakan.
Grindle mengarahkan bahwa keberhasilan sebuah kebijakan ditentukan oleh
dua faktor yaitu content atau isi kebijakan dan konteks implementasi. Seperti yang
ditunjukan gambar dibawah ini:
18
Gambar 1.1. Model Implementasi Kebijakan Menurut Grindle Tujuan kebijakan
Sumber: Samodra Wibawa, 1994: 23
Dalam (Nugroho 2006: 134) Grindle menjabarkan content atau isi kebijakan
dipengaruhi oleh faktor kepentingan yang terpengaruhi oleh kebijakan yaitu:
1. Kepentingan yang dipengaruhi oleh substansi kebijakan.
Hal ini berarti bahwa dalam setiap perumusan kebijakan tentu akan
mengundang kepentingan aktor-aktor tertentu, sehingga jika kebijakan
Tujuan yang ingin dicapai
Program aksi dan proyek individu yang didesain daan dibiayai
Melaksanakan kegiatan Dipengaruhi oleh (a) Isi kebijakan:
1. Kepentingan yang dipengaruhi 2. Tipe manfaat 3. Derajat perubahan yang
diharapkan 4. Letak pengambilan keputusan 5. Pelaksana program 6. Sumber daya yang dilibatkan
(b) Konteks kebijakan: 1. Kekuasaan, kepentingan dan
strategi aktor yang terlibat 2. Karakteristik lembaga dan
penguasa 3. Kepatuhan dan daya tanggap
Mengukur keberhasilan
Program yang dijalankan seperti direncanakan?
Hasil Kebijakan
a. Dampak pada masyarakat, individu, dan kelompok
b. Perubahan dan penerimaan oleh masyarakat
19
tersebut berimplikasi negatif maka implementasi kebijakan akan terancam
gagal.
2. Jenis manfaat / tipe manfaat yang akan dihasilkan.
Tipe manfaat dari kebijakan yang diterima juga berpengaruh pada keberasilan
proses implementasi dan pencapaian dampak kebijakan yang diinginkan.
3. Derajat perubahan yang diinginkan.
Dalam hal ini implementasi kebijakan haruslah selalu memperhatikan tingkat
perubahan yang mendasar, karena pemerintah harus meminimalisir perubahan
yang mendasar tersebut.
4. Kedudukan / letak pembuat kebijakan
Hal ini berarti bahwa setiap keputusan akan mempertimbangkan dimana
keputusan tersebut akan diambil.
5. (Siapa) pelaksana program
Artinya bahwa keputusan yang akan dibuat dalam tahapan implementasi
kebijakan akan mementingkan juga siapa yang akan ditugaskan untuk
melaksanakan berbagai macam program rancangan
6. Dan sumber daya yang dilibatkan.
Artinya bahwa setiap keputusan yang diambil akan berakibat pada pemenuhan
sumberdaya yang dibutuhkan untuk mengimplementasikan program yang
telah ditetapkan.
Sedangkan untuk konteks implementasi terdapat beberapa faktor yaitu:
1. Kekuasaan; kepentingan; dan strategi aktor yang terlibat
Proses implementasi kebijakan akan sangat dipengaruhi oleh aktor-aktor
tertentu yang terlibat dalam perumusan kebijakan dan juga pada saat
implementasi tersebut berlangsung.
2. Karakteristik lembaga dan penguasa.
Kunci dari keberhasilan implementasi adalah pada penyusunan strategi yang
tepat, dan untuk menyususn strategi yang tepat maka diperlukan
pengorganisasian lembaga yang massive pula.
20
3. Kepatuhan dan daya tanggap.
Selain strategi yang tepat, kepatuhan pelaksana kebijakan juga sangat penting,
karena jika strategi yang telah disusun tidak dilaksanakan oleh pelaksana
kebijakan maka akan menjadi tidak berguna.
Tidak jauh dengan Grindle, teori implementasi yang ditawarkan oleh ilmuwan
Van Meter dan Van Horn juga menyatakan terdapat beberapa variable yang
mempengaruhi implementasi kebijakan diantaranya adalah (Nugroho 2006: 128):
1. Aktivitas implementasi dan komunikasi organisasi
2. Karakteristik dari agen pelaksana/ implementor
3. Kondisi ekonomi, sosial, dan politik
4. Kecenderungan dari pelaksana/ implementor
Efektif atau tidaknya suatu kebijakan juga tergantung pada sikap dari
implementor kebijakan. Karena salah satu komponen kebijakan adalah cara mencapai
sasaran dari tujuan kebijakan tersebut, maka dalam cara tersebut juga terkandung
komponen keijakan antara lain, siapa pelaksana atau implementornya, berapa besar
dan dari mana dana diperoleh, siapa kelompok sasarannya, bagaimana program
dilaksanakan, dan bagaimana keberhasilannya. (Wibawa et. al. 1994: 15). Sehingga
penting adanya untuk melihat bagaimana sikap atau tindakan yang dilakukan oleh
para implementor kebijakan atau para birokrasi.
Pendapat lainnya adalah yang dikemukakan oleh Christopher Hood yang juga
tidak jauh dengan apa yang dinyatakan oleh Grindle ataupun Van Meter dan van
Horn. Menurut Hood (Hood and Margetts, 2007) pada dasarnya pemerintah
mempunyai 4 (empat) sumberdaya atau instrument yang dapat mereka gunakan,
nodality, authority, treasure, dan organization (atau biasa disingkat menjadi NATO)
(Howlett 2009: 24). Berikut ini merupakan penjabaran lebih jelas mengenai empat
instrument tersebut:
21
1. Nodality
Menurut Hood dalam (Osuna 2012: 43) Nodality merupakan posisi
sentral pemerintah dalam jaringan informasi masyarakat yang bisa digunakan
melalui pesan, seperti pemberitahuan, pengumuman publik. Faktor yang
mencakup kejelasan isi kebijakan, sosialisasi kebijakan, dan penerimaan
terhadap kebijakan. Nodality digunakan melalui penyaluran pesan seperti
pemberitahuan atau pengumuman ke publik yang menjelaskan konten dari
kebijakan. Dengan adanya nodality pemerintah mampu menggunakan
informasi dalam menyampaikan kebijakannya kepada masyarakat dan
digunakan untuk mengubah perilaku institusi sosial yang ada. Oleh karena itu,
pemerintah harus dapat memastikan informasi itu memang dibutuhkan oleh
berbagai pihak yang dituju oleh kebijakan (Harahap 2004: 41).
2. Authority
Dalam (Margetts 2009: 5) authority merupakan otoritas yang
menunjukan bahwa pemerintah memiliki kekuatan hukum yang resmi untuk
menuntut, melarang, menjamin, atau mengadili. Selain itu pemerintah juga
mempunyai kemampuan untuk memfasilitasi, atau menerbitkan peraturan
administrative, atau dengan menguasi sumberdaya melalui pajak. Otoritas
inilah yang digunakan pemerintah untuk mengendalikan perilaku masyarakat
selaku objek kebijakan. Atau dengan kata lain authority (kewenangan)
merupakan tanggung jawab pemerintah untuk melakkan pengawasan untuk
mengawal agar kebijakan tersebut dapat dilksanakan (Harahap 2004: 41)
3. Treasure
Treasure atau yang berarti harta, menurut Hood treasure adalah
sebuah sesuatu yang dimiliki pemerintah berupa benda atau jasa yang
diberikan kepada masyarakat dari pemerintah. (Margetts 2009: 5). Treasure
juga mengindikasikan adanya ketersediaan dana atau benda bernilai lainnya
dan pemerintah bisa menggunakannya untuk meraih tujuan kebijakan yang
dibuat pemerintah (Osuna 2012: 44). Penggunaan resources memiliki peran
22
cukup penting dalam menjalankan kebijakan, dengan memaksimalkan
sumberdaya ini diharapkan tujuan kebijakan juga mudah untuk dicapai.
Dalam kondisi kebijakan PKH ini, pendamping menjadi sumberdaya yang
dimiliki pemerintah untuk mengontrol perilkau masyarakat miskin.
4. Organization
Organisasi sebagai sumberdaya dapat digunakan dalam apa yang
disebut oleh Hood sebagai ‘treatments’, yaitu penggunaan upaya masyarakat
dan kemampuan material lainnya dari organisasi tersebut (Osuna 2012: 44).
Organisasi yang dijalankan pemerintah berupa sumberdaya yang mampu
digunakan untuk mengontrol perilaku masyarakat. Sumberdaya ini tentunya
juga dibarengi dengan kualitas dan kuantitas yang memadai sehingga mampu
melaksanakan dan mencapai tujuan kebijakan. Organisasi ini juga mencakup
pada karakteristik lembaga pelaksana kebijakan PKH, sehingga jelas
bagaimana tugas masing-masing dalam menjalankan kebijakan.
Semua teori implementasi yang dikemukakan oleh para ilmuwan sejatinya
adalah untuk menggambarkan bahwa implementasi adalah untuk memastikan tujuan
dari kebijakan tersebut terlaksana. Namun, dalam konteks kebijakan PKH, untuk
mengetahui faktor yang mempengaruhi implementasi pendekatan yang digunakan
adalah menggunakan pendekatan yang dikemukakan oleh Hood yaitu berupa
nodality, authority (otoritas), treasure (harta benda), dan juga organization
(organisasi).
F. Definisi Konseptual
1. Kebijakan Publik
Kebijakan publik adalah penyaringan dan pemilihan yang telah terumuskan
dari tuntutan masyarakat yang dipenuhi atau tidak dipenuhi karena
keterbatasan sumberdaya yang tersedia.
23
2. Implementasi Kebijakan
Tindakan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta baik secara
individu maupun kelompok yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan
sebagaimana dirumuskan didalam kebijakan. Instrumen untuk melihat
implementasi:
a. Nodality, adalah kemampuan pemerintah untuk mengelola informasi yang
masuk dari berbagai lapisan masyarakat atau kelompok kepentingan yang
menuntut pemerintah untuk menginformasikan kembali kepada objek
kebijakan.
b. Authority, merupakan otoritas yang dimiliki pemerintah untuk mengatur
perilaku objek kebijakan agar tujuan kebijakan bisa dicapai dengan
menggunakan peraturan-peraturan yang berlaku.
c. Treasure, adalah sejauh mana pemerintah mampu untuk menggunakan
instrumen sumberdaya berupa jasa untuk mengontrol perilaku masyarakat
miskin selaku target kebijakan.
d. Organization, adalah lembaga yang dibentuk pemerintah untuk
menegakkan peraturan atau kebijakan yang berlaku.
3. Evaluasi implementasi
Evaluasi kebijakan adalah pemeriksaan yang obyektif, sistematis, dan empiris
terhadap efek dari kebijakan dan program publik terhadap targetnya dari segi
tujuan yang ingin dicapai.
G. Definisi Operasional
Guna mendukung terkumpulnya semua data yang diperlukan sehingga bisa
menjawab rumusan masalah penelitian dan menjawab keresahan dalam suatu kasus
atau dalam hal ini terkait imlementasi kebijakan PKH, maka diperlukan instrumen
pelaksanaan penelitian. Untuk itu dibawah ini akan dijabarkan operasional dalam
penelitian nantinya:
1. Implementasi kebijakan.
24
a. Nodality dapat dinilai melalui: Isi kebijakan, sosialisasi kebijakan, dan juga
respon dari objek kebijakan
b. Authority dapat dinilai melalui pengawasan kepada objek kebijakan dan
juga kepatuhan dan daya tanggap dari pelaksana kebijakan dalam
mensukseskan berjalannya kebijakan PKH.
c. Treasure, penggunaan model pemberian sumberdaya berupa jasa yaitu
pendamping yang dimaksudkan untuk mengontrol perilaku masyarakat
agar bisa mencapai tujuan dari kebijakan.
d. Organization, dapat dinilai melalui struktur organisasi, job description,
serta kualitas dan kuantitas dari sumber daya yang berada di dalam
organisasi tersebut.
2. Untuk mengetahui apakah kebijakan tersebut apakah menghasilkan efektivitas
atau tidak, maka perlu adanya variable evaluasi kebijakan untuk
mengukurnya. Dan variable tersebut antara lain adalah sebagai berikut:
- Sejauh mana sebuah program mencapai target populasi yang tepat;
- Apakah penyampaian pelayanannya konsisten dengan spesifikasi desain
program atau tidak;
- dan sumberdaya apa yang dikeluarkan dalam melaksanakan program
H. Metode Penelitian
1. Jenis penelitian
Dalam penelitian ini metode yang akan digunakan adalah metode penelitian
kualitatif yang menekankan pada obyektifitas dengan jenis penelitian adalah studi
kasus (case study). Yang berarti bahwa dalam menyajikan data yang didapat
bukanlah berupa angka-angka, namun berupa data wawancara, dokumen resmi
maupun pribadi, catatan lapangan dan lainnya. Selain itu tujuan dari penelitian
kualitatif adalah untuk menggambarkan realita empirik dengan yang ada dalam suatu
fenomena secara rinci dan mendalam, oleh karenanya penggunaan pendekatan
25
kualitatif dalam penelitian ini adalah dengan mencocokan antara realita empirik
dengan teori yang berlaku dengan menggunakan metode deskriptif (Moleong 2004:
131).
Tujuan penelitian kualitatif ini adalah untuk mendapatkan pemahaman
menyeluruh dari satu/beberapa kasus yang terdapat dalam suatu masyarakat. Dalam
hal ini kasus yang diambil dalam penelitian adalah kebijakan Program Keluarga
Harapan (PKH) yang dilaksanakan di Kabupaten Gunung Kidul. Selain itu rancangan
kualitatif itu bersifat naturalistik, yang berarti bahwa evaluator tidak boleh berupaya
untuk memanipulasi program atau kebijakan (Patton 2009: 13). Karena evaluasi ini
juga bertujuan untuk perbaikan kebijakan dimasa yang akan datang, sehingga
dibutuhkan hasil yang apa adanya dari kebijakan tersebut.
2. Unit Analisis
Unit analisis dalam penelitian ini adalah kebijakan Program Keluarga Harapan
(PKH) yang merupakan program dari Kementerian Sosial dan juga dilaksanakan di
Kabupaten Gunung Kidul. Program Keluarga Harapan di Kabupaten Gunung Kidul
ini dipilih secara purposive untuk menjelaskan bagaimana efektivitas program
melalui evaluasi implementasi kebijakan yang diliat dari aspek pencapaian tujuan
kebijakan dan penyelesaian masalah yang ada di Gunung Kidul. Sampel yang akan
diambil antara lain: Pemerintah Daerah Gunung Kidul, Dinas Sosial Kabupaten
Gunung Kidul, Dinas Kesehatan Kabupaten Gunung Kidul, Dinas Pendidikan
Kabupaten Gunung Kidul, masyarakat setempat dan lain-lain
3. Lokasi Penelitian
Penelitian yang berfokus pada melihat efektif atau tidaknya suatu kebijakan
yang dibungkus dalam evaluasi implementasi kebijakan ini akan mengambil lokasi
penelitian di Desa Tepus, Kabupaten Gunung Kidul. Lokasi ini menarik karena dalam
implementasi kebijakan PKH yang ada di Desa Tepus dirasa kurang berhasil dengan
26
indikator banyak warganya yang menggunakan dana tersebut untuk digunakan secara
percuma seperti halnya untuk membeli rokok, kredit kendaraan bermotor, dan lain
sebagainya yang bukan kebutuhan primer.
Selain itu, selain faktor implementor yang nantinya akan dilihat lebih jauh
bagaimana sikap mereka dalam mengimplementasikan kebijakan, faktor penting yang
harus dilihat adalah sifat masyarakat sekitar yang mendapatkan bantuan dana PKH.
Keadaan daerah Gunung Kidul bisa jadi menjadikan pribadi masyarakat setempat
kurang bisa bergantung pada alam sekitar. Alam sekitar yang kurang bisa diandalkan
menjadikan masyarakatnya begitu mendapatkan bantuan dana langsung mereka
gunakan sekali pakai untuk keperluan sehari-hari dan tidak digunakan untuk
kepentingan meningkatkan pendapatan dari pekerjaan pokok mereka.
4. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui
metode observasi, wawancara mendalam, dan analisis dokumen.
1. Observasi merupakan teknik pengumpulan data dengan melakukan
pengamatan dan pencatatan secara sistematik mengenai suatu peristiwa
atau fenomena yang terjadi dalam suatu penelitian.
2. Wawancara. Teknik wawancara merupakan salah satu cara pengumpulan
data kualitatif, yang dapat diartikan sebagai cara yang dipergunakan untuk
mendapatkan informasi (data) dari responden dengan cara bertanya
langsung secara bertatap muka (face to face) (Suyanto 2005: 69).
Wawancara sangat penting dilakukan untuk mendapatkan informasi yang
detail terkait pelaksanaan program.
3. Analisis dokumen dilakukan untuk mendapat data sekunder berupa arsip,
dokumen, maupun peristiwa yang tercatat yang cukup relevan dengan data
yang diperlukan.
27
5. Teknik Analisis Data
Proses analisa data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara
mengelompokan, mengurutkan, dan meringkas data yang diperoleh dari wawancara
mendalam, observasi, dan juga dokumentasi, termasuk didalamnya adalah
menyantumkan transkip wawancara dari beberapa narasumber. Data yang dieroleh
akan direduksi sesuai dengan maksud dan tujuan penelitian. Dan kemudian akan
disajikan dalam bentuk uraian penjelasan suatu fakta, yang kemudian akan ditarik
kesimpulan atau verifikasi.
Analisis yang digunakan dalam mengevaluasi implementasi kebijakan PKH
ini adalah dengan logika induktif. Pendekatan suatu evaluasi adalah bersifat induktif
dimaksudkan bahwa evaluator berupaya menyikapi dengan akal sehat suatu situasi
tanpa mengedepankan harapan yang diduga sebelumnya perihal latar belakang
program (Patton 2009: 15).
6. Sistematika Penulisan
Dalam menyajikan naskah penelitian akan dibagi dalam beberapa bab yang
saling terkait satu sama lain. Sistematika dari bab tersebut antara lain adalah sebagai
berikut:
1. BAB I : Pendahuluan
2. BAB II : Conditional Cash Transfer di Indonesia
3. BAB III : Nodality dan Authority
4. BAB IV : Treasure dan Organization
5. BAB V : Kesimpulan dan Saran