bab ii a.eprints.umm.ac.id/66582/4/bab ii.pdf · 2020. 9. 17. · mengirim surat tagihan atau surat...
TRANSCRIPT
5
BAB II
Tinjauan Pustaka
A. Penelitian Terdahulu
Sebagai bahan perbandingan penulis untuk memperdalam pengetahuan
serta memperkaya bahan untuk kajian maka penulis telah melihat dan
membaca penelitian yang terdahulu yang berhubungan dengan penagihan
pajak terhutang dengan penagihan aktif. Dalam perbandinganya penulis tidak
menemukan judul yang sama dengan judul yang akan diteliti, akan tetapi
penulis membandingkan dengan bahan kajian yang masih terhubung dengan
topik yang dibahas. Adapun penelitian yang dijadikan acuan dengan materi
yang akan dikaji adalah sebagai berikut.
Menurut Sri Deva Riska (2018) tentang Efektivitas Penagihan Pajak
Dengan Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan Terhadap Pencairan
Tunggakan Pajak Di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Medan Timur
(Tahun 2014 Sampai Dengan Tahun 2017). Penelitian ini menggunakan
metode deskriptif kualitatif dengan hasil temuan Tingkat kegunaan dari surat
perintah melaukan penyitaan dalam pencaiaran tunggakan pajak di KPP
Pratama Medan Timur dari kriteria pengukuran efektivitas surat perintah
melakukan penyitaan digolongkan “Tidak Efektif”. Yang mana tingkat
efektivitas penagihan pajak dengan surat ini terhadap pelunasan tunggakan
pajak dengan rincian tahun 2014 sebesar 27%. Tahun 2015 sebesar 18%, tahun
2016 sebesar 12% dan pada tahun 2017 sebesar 7%. Penyebab pelunasan
tunggakan pajak tidak mencapai 100% antara lain yaitu: rendahnya kepatuhan
wajib pajak memenuhi kewajibannya dalam membayar pajak, penanggung
pajak mengajukan permohonan angsuran pembayaran karena kondisi
keuangan tidak memungkinkan jika dibayarkan sekaligus dan penanggung
pajak lalai dalam membayar pajaknya. Selain itu, adanya Wajib Pajak yang
pindah alamat tanpa pemberitahuan kepada pihak KPP Pratama Medan Timur.
6
Persamaan topik penulis dengan topik penelitian terdahulu adalah sama
sama meneliti tentang penagihan aktif sedangkan perbedaan yang di temukan
yaitu pada penelitian terdahulu menggunakan mekanisme penyitaan terhadap
efektifitas sedangkan penulis memilih tentang penyanderaan terhadap
kepatuhan wajib pajak.
Menurut Mulyatsih Wahyumurti,Sh (2005) tentang Pengaruh
Lembaga Sandera (Gijzeling) Terhadap Tingkat Kepatuhan Wajib
Pajak/ Penanggung Pajak. Penelitian ini dilakukan dengan metode
pendekatan yuridis empiris untuk megetahui implementasi peraturan di bidang
perpajakan dalam mengkaji keterikatannya dengan tingkat kepatuhan WP/PP.
Dari hasil penelitian, diketahui bahwa tingkat kepatuhan WP/PP pajak dalam
melakukan kewajiban pajaknya masih atas dasar paksaan. Dapat diketahui pula
bahwa penerapan lembaga sandera (gijzeling) belum dapat menimbulkan efek
jerah (different effect) secara maksimal kepada WP/PP yang lain. Dari hasil
penelitian juga diketahui bahwa WP/PP dapat mengajukan upaya hukum
terkait dengan keputusan Ditjen Pajak yang dianggap tidak adil dalam hal
penyanderaan terhadap wajib pajak/ penanggung pajak. Jika upaya tersebut
dimenangkan tersandera, maka ia mempunyai hak direhabilitasi namanya,
tetapi jika kalah ia harus membayar utag pajak, denda dan bunganya.
Persamaan topik penulis dengan topik penelitian terdahulu adalah sama
sama dengan topik penyanderaan dengan kajian kepatuhan penyanderaan
terhadap tingkat kepatuhan. Perbedaan terletak pada masalah yang dibahas
yaitu jika peneliti terdahulu membahas tentang peran lembaga sandera dan
penulis membahas prosedur penyanderan.
Trianah Agustinah (2009) Analisis Pengaruh Persepsi Penyanderaan
Wajib Pajak Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak. Penelitian ini
menggunaakan Metode Convinience sampling untuk mengetahui apakah
terdapat korelasi dan seberapa besar pengaruh (kontribusi) persepsi
penyanderaan wajib pajak terhadap kepatuhan wajib pajak. Dengan
menggunakan metode Convenience sampling dalam pemilihan sampel. Sampel
dalam penelitian ini adalah sebanyak 45 responden. Dari hasil penelitian
7
diketahui bahwa hasil uji regresi linear antara variabel independen (persepsi
penyanderaan wajib pajak) terhadap kepatuhan wajib pajak menunjukkan nilai
R square sebesar 0,187. hal ini dapat diartikan bahwa kepatuhan wajib pajak
dapat dijelaskan oleh variabel independen sebesar 18,7% dan sisanya
dijelaskan oleh variabel lain, ini menunjukkan bahwa variabel independen
tersebut berpengaruh secara signifikan terhadap variabel dependen (Kepatuhan
Wajib Pajak)
Persamaan topik penulis dengan topik penelitian terdahulu adalah sama
sama dengan topik penyanderaan. Perbedaan terletak pada masalah yang
dibahas yaitu jika peneliti terdahulu membahas tentang presepsi lembaga
sandera terhadap kepatuhan wajib pajak dan penulis membahas prosedur
penyanderan sebagai efek jerah terhadap wajib pajak nakal.
Dalam perjalananya lembaga sandera membutuhkan waktu untuk
menunjukkan apasitasnya dalam memberi dampak positif (deterrent effect)
terhadap wajib pajak WP/ penanggung pajak PP dalam melakukan kewajiban
perpajakannya .
Dapat disimpulkan dari hasil penelitian terdahulu di dapat persamaan
antara topik penulis yaitu pengaruh dari adanya lembaga sendera terhadap
tingkat kepatuhan wajib pajak. Perbedaan yang ada yaitu peneliti terdahulu
juga meneliti tentang penyelesaian sengketa pajak sedangkan penulis fokus
tentang perosedur penagihan aktif sampai dengan penyanderaan dan efek jera
yang di hasilkan dari penyanderaan di KPP Malang Utara.
B. Landasan Teori
1. Wajib Pajak dan Subjek Pajak
Menurut Undang-undang No.6 tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata cara Perpajakan (KUP) sebagaimana telah diubah terakhir
dengan Undang-undang No. 16 tahun 2009 Pasal 1 nomor urut 2 Wajib
Pajak atau penanggung pajak adalah orang pribadi atau badan, meliputi
pembayaran pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai
8
hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan perpajakan.
Sedangkan subjek pajak adalah sebuah istilah yang telah di atur
dalam undang- undang perpajakan untuk orang pribadi dan juga
perkumpulan atau organisasi berdasarkan peraturan undang-undang pajak
yang berlaku. Suatu subjek pajak bukan berarti mempunyai kewajiban
perpajakan.
Menurut Mardiasmo (2018) dalam bukunya subjek pajak adalah:
a. 1). OP atau Orang pribadi.
2). Warisan yang belum terbagi.
b. Badan antaralain perseroan terbatas (PT), perseroan komonditer,
perseroan lainya, BUMN/BUMD dengan nama dan bentuk apapun,
firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan,
yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi
lainnya, lembaga, dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi
public.
c. Bentuk Usaha Tetap (BUT)
Subjek pajak dapat dibedakan menjadi:
1) Subjek pajak dalam negeri yang terdiri dari:
a) Subjek Pajak Orang Pribadi, yaitu:
i. Orang pribadi yang bertempat tinggal atau berada di Indonesia
lebih dari 183(seratus delapan puluh tiga) hari (tidak harus
berturut turut) dalam jangka waktu 12 (duabelas) bulan.
ii. Orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di
Indonesia dan mempunyai niat bertempat tinggal di Indonesia.
b) Subjek Pajak Badan, yaitu:
Badan yang didirikan atau bertempet tinggal di Indonesia,
kecuali unit tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi
kriteria:
9
i. Pembentuknya berdasarkan peraturan perundang–undangan.
ii. Pembiayaannya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah.
iii. Penerimaannya di masukkan kedalam anggaran Pemerintah
Pusat atau Pemerintah Daerah dan
iv. Pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional
Negara.
2) Subjek pajak luar negeri yang terdiri dari:
a) Orang pribadi yang tidak bertepat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 (dua belas) bulan, serta badan yang tidak
didirikaan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk
usaha tetap di Indonesia; dan
b) Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang
pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam
jangka waktu 12 bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
berkedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau
memperoleh penghasilan dari Indonesia tidak dari menjalankan
usaha atau melakukan kegiatan melalui pentuk usaha tetap di
Indonesia.
Subjek pajak orang pribadi dalam negeri menjadi Wajib Pajak
apabila telah menerima atau memperoleh penghasilan yang besarnya
melebihi Penghasilan Tidak Kena Pajak.
2. Penagihan Pajak
Penagihan pajak adalah suatu cara yang di lakukan atau sebuah
tindakan yang terjadi sebagai akibat dari kelalaian ataupun ketidak patuhan
wajib pajak terhadap kewajibannya melapor dan membayar pajak.
10
Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun
2000 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997
Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa penagihan pajak adalah
serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan
biaya penagian pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan
penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa,
mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan
penyanderaan, menjual barang- barang yang telah disita.
Penagihan pajak dapat di kelompokkan menjadi 2 (dua), yaitu
penagihan pasif dan penagihan aktif:
a. Penagihan pajak pasif
Penaguhan pajak pasif dilakukan dengan menggunakan Surat
Tagihan Pajak (STP), Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB)
Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) Surat
Keputusan Pembetulan yang menyebabkan pajak terhutang menjadi
lebih bayar, Surat Keputusan Keberatan yang menyebabkan pajak
terhutang menjadi lebih besar, Surat Keputusan Banding yang
menyebabkan pajak terhutang menjadi lebih besar. Jika dalam jangka
waktu 30 hari belum dilunasi maka tujuh hari setelah jatuh tempo akan
di ikuti dengan penagihan pajak secara aktif yang dimulai dengan
menerbitkan surat teguran.
b. Penagihan Pajak Aktif
Merupakan kelanjutan dari penagihan pajak pasif, dimana dalam
upaya penagihan ini fiskus berperan aktif dalam arti tidak hanya
mengirim surat tagihan atau surat keputusan pajak, tetapi akan diikuti
dengan tindakan sita dan dilanjutkan dengan pelaksanaan lelang.
11
3. Pejabat dan Jurusita Pajak
Pejabat adalah pihak yang mempunyai tanggungjawab dan memiliki
kewenangan untuk memilih dan memutuskan menghentikan jurusita pajak
dan menerbitkan surat perintah penagihan aktif dan surat lain yang
sehubungan dengan wajib pajak yang memiliki hutang pajak untuk melunasi
utang baik itu sebagian maupun seluruhnya sesuai dengan peraturan
perundang undangan yang berlaku.
Jurusita pajak adalah pihak yang ditunjuk untuk melaksanakan suatu
penagihan pajak yang meliputi penagihan seketika dan sekaligus,
pemberitahuan surat paksa, penyitaan dan penyanderaan. Seorang jurusita
merupakan jabatan yang masuk dalam struktur penagihan dan bertanggung
jawab atas penagihan yang telah dilakukan terhadap pimpinan. Menurut
Mardiasmo (2018) tugas jurusita antaralain;
a. Melakukan Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus;
b. Memberitahukan Surat Paksa;
c. Melaksanakan penyitaan atas barang penanggung Pajak berdasarkan
Surat Perintah Melaksanakan Penyitaan;
d. Melaksanakan Penyanderaan berdasarkan surat perintah
Penyanderaan.
Dalam pelaksanaan peyitaan, Jurusita Pajak berwenang memasuki
dan memeriksa semua ruangan termasuk membuka lemari, laci, dan tempat
lain untuk menemukan objrk sita di tempat usaha, ditempat lain yang dapat
di duga sebagai tempat penyimpanan objek sita.
4. Surat Pemberitahuan (SPt)
Surat pemberitahuan (SPt) adalah surat pelaporan atas penghitungan
pajak yang di sampaikan oleh wajib pajak atas harta, penghasilan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
12
Menurut Eny dan Setu (2019) Surat Pemberitahuan memiliki fungsi dan
jenis surat pemberitahuan:
a. Surat Pemberitahuan Pajak (SPt)
Fungsi surat pemberitahuan pajak atau SPt bagi WP ialah sebgai
pelaporan dan tanggung jawab atas pembayaran dan perhitungan jumlah
pajak yang terutang. Fungsi SPt yaitu untuk pelaporan:
1) Untuk pelaporan hasil kegiatan usaha dalam satu tahun pajak;
2) Untuk pelaporan pembayaran dan pelunasan pajak yang sudah
di lakukan WP;
3) Pelaporan pembayaran suatu potongan dalam 1 (satu) tahun
pajak;
4) Melaporkan posisi aktiva, modal dan pasiva;
5) Penyetoran bayar dari potongan atau pemungutan pajak OP
maupun badan lainnya dalam masa tahun pajak.
b. Jenis – Jenis Surat Pemberitahuan
Ada 2 (dua):
1) Surat pemberitahuan Masa
Adalah media yang dipakai oleh wajib pajak (WP) sebagai
pelaporan atas hasil pungutan atau pemotongan dalam
pembayaran pajak selama satu periode / 1 (satu) bulan.
2) Surat pemberitahuan Tahunan
Adalah media yang dipakai oleh wajib pajak (WP) untuk
pelaporan atas penghasilan, biaya, harta, kewajiban, modal serta
pungutan pajak, sehingga diketahui pajak penghasilan yang
telah dibayar atau dilunasi selama dalam satu tahun pajak.
5. Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan Surat Tagihan Pajak (STP)
a. Surat Ketetapan Pajak
Surat Ketetapan Pajak merupakan surat yang terdiri atas Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat Ketetapan Pajak Kurang
13
Bayar Tambahan (SKPKBT), Surat Ketetapan Pajak Nihil, serta Surat
Ketetapan Pajak Lebih Bayar. Surat Ketetapan Pajak dilakukan setelah
proses pemeriksaan selesai dilalui.
b. Surat Tagihan Pajak
Surat Taguhan Pajak yaitu surat yang digunakan untuk
melakukan penagihan dan juga sanksi pajak baik itu berupa bunga
maupun denda. Menurut Mardiasmo (2016) STP diterbitkan oleh pihak
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bila:
1) Pajak penghasilan dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar,
2) Dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak
sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;
3) Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda maupun
bunga;
4) Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak,
tetapi tidak membuat faktur pajak atau membuat faktur pajak tetapi
tidak tepat waktu.
5) Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak
yang tidak mengisi faktur secara lengkap (selain: identitas pembeli,
nama dan tanda tangan);
6) Pengusaha kena pajak melaporkan faktur pajak tidak sesuai dengan
masa penerbitan faktur pajak; atau
7) Pengusaha kena pajak yang gagal berproduksi dan telah diberikan
pengembalian pajak masukan sebagaimana dimaksudkan dalam
pasal 9 di ayat (6a) Undang-undang PPN pajak pertambahan nilai
1984 dan perubahannya.
6. Surat Teguran
Surat Teguran adalah suatu surat peringatan dan merupakan tahap
awal dari alur penagihan aktif. Surat tagihan dilakukan jika wajib pajak
memiliki suatu tunggakan yang tertulis di dalam Surat Tagihan Pajak, Surat
14
Ketetapan Pajak Kurang Bayar, Surat ketetapan pajak kurang bayar
tambahan, dan belum di lunasi sampai periode 7 (Tujuh) hari setelah jatuh
tempo / 1 (satu) bulan sejak penerbitan.
Fungsi Surat Teguran adalah sebagai pengingat kepada wajib pajak
agar supaya wajib pajak mengindahkan dan melunasi tungakan pajak secara
sadar dan suka rela.
7. Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus
Surat ini merupakan tindakan lanjutan apabila surat teguran tidak di
patuhi. Dari surat ini mengakibatkan jenis penagiha seketika dan sekaligus.
Penagihan seketika dan sekaligus merupakan penagihan pajak yang di
lakukan jurusita pajak kepada wajib pajak tanpa menunggu tanggal jatuh
tempo pembayaran yang meliputi seluruh utang pajak dari semua jenis
pajak, masa pajak, dan tahun pajak. Jurusita melakukan penagihan seketika
dan sekaligus berdasarka surat perintah penagihan seketika dan sekaligus.
Surat ini di terbitkan apabila:
a. Penanggung pajak akan meninggalkan Indonesia untuk selama-
lamanya atau berniat untuk itu;
b. Penanggung pajak memindah tangankan barang yang dimiliki atau
yang dikuasai dalam rangka menghentikan atau mengecilkan
kegiatan perusahaan, atau pekerjaan yang di lakukan di Indonesia.
c. Terdapat tanda tanda bahwa penanggung pajak akan membubarkan
badan usahanya, atau memindahtangankan perusahaan yang dimiliki
atau dikuasainya, atau melakukan oerubahan bentuk lainya.
d. Badan usaha akan dibubarkan oleh Negara;
e. Terjadinya penyitaan atas barang penanggung pajak oleh pihak
ketiga atau terhadap tanda tanda kepailitan
Surat Perintah Penagihan Seketika dan Sekaligus harua memuat:
i. Nama wajib pajak, atau
ii. Besarnya Utang pajak
15
iii. Perintah untuk membayar
iv. Saat pelunasan pajak.
8. Surat Paksa
Surat paksa adalah surat yang di berlakukan untuk memerintahkan
wajib pajak membayar hutang pajak dan segala biaya yang ditimbulkan dari
penagihan pajak. Surat paksa diberlakukan jika utang pajak tidak
dibayarkan setelah 21 hari dari tempo yang telah di tentukan dari semenjak
surat di terbitkan surat teguran maka akan di terbitkan surat paksa.
Menurut Mardiasmo (2018) surat paksa di terbitkan sekurang
kurangnya apabila:
a. Penanggung pajak tidak melunasi utang pajak dan kepadanya
diterbitkan suratnteguran dan surat peringatan dan atau surat lain
yang sejenis;
b. Terhadap penanggung pajak telah dilaksanakan penagihan seketika
dan sekaligus; atau
c. Penanggung pajak tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
tercantum dalam keputusan persetujuan atau penundaan
pembayaran pajak.
Surat paksa terhadap orang pribadi diberitahukan jurusita pajak
kepada:
i. Penanggung pajak
ii. Orang dewasa bertempat tinggal bersama ataupun bekerja
ditempat usaha penanggung pajak. Apabila penanggung pajak
tidak bisa dijumpai.
iii. Salah satu ahli waris pelaksana wasiat apabila wajib pajak telah
meninggal dunia dan warisan belum dibagi.
iv. Para ahli waris, apabila wajib pajak telah membagi warisannya.
16
Surat paksa memiliki kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum
yang sama dengan keputusan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan ukum tetap.
Setalah pemberitahuan surat paksa yang di lakukan oleh jurusita
maka selanjutnya jurusita akan membuat berita acara pemberitahuan
bahwasannya surat paksa telah di beritahukan dengan resmi kepada
wajib pajak.
Menurut Pita Puspitasari (2017) dalam berita acara juga terdapat
peringatan bahwa pelaksanaan surat paksa dapat dilanjutkan tindkan
penyitaan dan dapat juga dengan tindakan pencegahan dan
penyanderaan. Bagian akhir dari berita acara berisi tentang pernyataan
kepada siapa salinan surat paksa di serahkan disertai dengan alasan
bahwasannya salinan asli tidak bisa di sampaikan secara langsung.
9. Penyitaan
Penyitaan adalah tindakan jurusita pajak untuk menguasai brang
penanggung pajak/ wajib pajak guna dijadikan jaminan untuk melunasi
utang pajak menurut peraturan perundang-undangan. Apabila utang pajak
tidak dilunasi oleh penanggung pajak dalam kurun waktu 2 kali 24 jam
setelah surat paksa di beritahukan, pejabat menerbitkan surat perintah
penyitaan penyitaan dilakukan oleh jursita pajak disaksikan oleh sekurang
kurangnya dua orang yang telah dewasa, penduduk Indonesia, dikenal oleh
juru sita pajak, dan dapat dipercaya.
Penyitaan oleh jurusita pajak tidak dapat dipaksakan apabila barang
penanggung pajak telah di sita oleh pengadilan negri atau instansi lain yang
berwenang. Setelah melakukan tindakan penyitaan, juru sita bisa melakukan
penyitaan tambahan apabila:
a. Nilai barang yang disita tidak cukup untuk melunasi biaya
penagihan pajak dan utang pajak;
17
b. Hasil lelang barang yang telah disita tidak cukup untuk melunasi
penagihan pajak dan tuang pajak.
10. Lelang
Lelang adalah suatu kegiatan atau proses dari penyitaan barang yang
dimiliki oleh penanggung pajak karena telah dikuasai dan kemudian dijual
untuk melunasi utang pajak. Lelang adalah suatu dari perilaku menjual
barang di depan umum dengan cara penawaran harga secara lisan dan atau
tertulisa dengan tujuan mengumpulkan peminat dari pembeli .
Penjualan secara lelang terhadap barang yang disita paling singkat
14 harui setelah pengumuman lelang melalui media masa. Bila hasil dari
pelelangan sudah memenuhi cukup untuk melakukan pelunasan biaya
penagihan maka lelang akan dihentikan meskipun barang yang di lelang
tersisa.
11. Penyanderaan dan Pencegahan
a. Pencegahan
Pencegahan merupakan larangan bersifat sementara bagi
Penanggung Pajak atau Wajib Pajak tertentu yang tidak diperizinkan
keluar dari Negara Indonesia atas alasan tertentu sesuai dengan ketentuan
protokol Undang-Undang. Pencegahan bisa dilakkukan terhadap
penanggun pajak yang memiliki hutang pajak sekurangnya Rp.
100.000.000,- (Seratus Jutah Rupiah) dan diragukan itikad baiknya
dalam melunasi utang pajak. Pencegahan dapat di hindarkan berdasarkan
keputusan pencegahan yang diterbitkan oleh menteri keuangan dan
permintaan pejabat atau atasan pejabat yang bersangkutan. Jangka waktu
pencegahan paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang selama-
lamanya 6 (enaam) bulan pencegahan terhadap penanggung pajak tidak
mengakibatkan lunasnya atau terhaapusnya hutang pajak dan terhentinya
pelaksanaan enagihan pajak.
18
b. Penyanderaan
Penyanderaan adalah pengekangan sementara waktu dalam artian
tidak selamanya untuk menyita hak kebebasan penanggung pajak hanya
dapat dilakukan dengan menempatkan di tempat tertentu. Penyanderaan
hanya dapat dilakukan terhadap penanggung pajak yang memiliki hutang
sebesar sekurang-kurangnya Rp. 100.000.000,- dan diragukan itikad
baiknya dalam melunasi utang pajak. Penyanderaaan hanya bisa
dilakukan berdasarkan surat perintah melakukan penyanderaan yang
diterbitkan oleh pejabat dan mendapat ijin tertulis dari menteri keuangan
dan gubernur kepala daera provinsi. Masa penyanderaan sekurang-
kurangnya atau paling lama 6 (enam) bulan dan dapat diperpanjang juga
selama 6 ( enam) bulan. Penyanderaan tidak boleh dilaksanakan dalam
hal penanggung pajak sedang beribadah, atau sedang mengikuti siding
remi, atau mengikuti pemilihan umum.
Penanggung pajak bisa lepas dari penyanderaan apabila:
1) Apabila utang pajak dan biaya penagihan pajak telah dibayar
lunas;
2) Apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam surat perintah
penyanderaan telah terpenuhi;
3) Berdasarkan peraturan pengadilan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap;
4) Berdasarkan pertimbangan tertentu dari Menteri Keuangan dan
Gubernur.