bab ii kajian pustaka dan kerangka pikir a. kajian … · makalah ini pada intinya membahas...
TRANSCRIPT
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Kajian Pustaka
1. Penelitian Terdahulu
Kajian terdahulu dalam penelitian dilakukan dengan cara menelusuri
penelitian-penelitian terdahulu, khususnya penelitian yang berkaitan dengan
pengkajian feminisme. Berikut ada beberapa penelitian yang berkaitan
dengan penelitian penulis.
Penelitian ataupun jurnal mengenai feminisme yang pertama adalah
jurnal yang ditulis oleh Zita Rarastesa pada Jurnal Bahasa, Sastra dan Studi
Amerika Vol.5, No.6, bulan September 2001 yang berjudul The Image of
Women in Louise Erdrich’s Love Medicine: a feminist Approach, diterbitkan
oleh sastra Inggris, Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Jurnal ini membicarakan tentang pandangan wanita pada novel Love
Medicine karya Louise Erdrich, yaitu pada keempat tokoh yang terdapat
dalam novel. Keempat tokoh tersebut adalah June, Zelda, Albertine dan
Aurelia. June adalah tokoh yang menyatukan karakter-karakter lainnya, dia
menyebut dirinya adalah seorang penggerak feminisme dan bukan korban
feminisme. Makalah ini pada intinya membahas mengenai power atau
kekuatan yang dimiliki oleh wanita asli Amerika. Wanita asli Amerika atau
disebut dengan native American biasanya adalah seorang yang sangat
tradisional, namun adanya tokoh June membuat ketradisionalan yang dimiliki
11
wanita menjadi modern. Selain tokoh June, tokoh Albertine memiliki karakter
yang hampir sama dengan June. Dia menginginkan kebahagiaan bukan hanya
menjadi Ibu rumah tangga, namun wanita juga bisa bekembang menjadi
wanita karir. Secara umum pada jurnal ilmiah ini memunculkan kekuatan
wanita dan kelemahan laki-laki.
Perbedaan penelitian di atas dengan penelitian penulis terletak pada
objek yang dikaji dan problematika yang ada dalam objek kajian. Perbedaan
problematika menyebabkan adanya perbedaan teori yang akan digunakan.
Penelitian feminis yang kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh
Zakiah Putri Mudjiono mahasiswa Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas
Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Hasanudin, tahun 2012 yang
berjudul Representasi Human Traffickung dan Kekerasan pada Wanita dalam
Novel Galaksi Kinanthi. Hasil dari penelitian yang dilakukan Zakiah Putri
Mudjiono adalah mengenai penggunaan teori konstruksi sosial Luckmann-
Berger, teks yang dihasilkan penulis dalam novel ini adalah hasil konstruksi
melalui tiga tahap, yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi sehingga
lahirlah teks trafficking dan kekerasan pada wanita dalam novel. Representasi
posisi subjek-objek dan posisi pembaca dilakukan dengan menggunakan
metode analisis wacana Sara Mills. Di posisi subjek-objek, penulis
memposisikan diri sebagai subjek pencerita dan tokoh dalam novel sebagai
objek penceritaan. Pada posisi pembaca, penulis menempatkan pembaca
sebagai pihak ketiga, pembaca tidak memosisikan diri pada posisi tokoh
utama agar tidak terjadi pemihakan terhadap tokoh novel. Kemudian dari
12
analisis representasi ini terdapat pesan yang ingin disampaikan oleh penulis
bahwa trafficking terjadi karena faktor kemiskinan dan pendidikan yang
rendah, tingkat kekerasan yang menimpa wanita yang bekerja sebagai TKW
di luar negeri masih tinggi. Wanita adalah korban utama dari trafficking dan
kekerasan yang menimpa tenaga kerja Indonesia di luar negeri.
Perbedaan penelitian yang kedua dengan penelitian penulis adalah
objek kajian, problematika dan teori yang digunakan. Namun, pada penelitian
penulis juga mengandung unsur kekerasan pada wanita. Perbedaannya adalah
pada penelitian kedua kekerasan yang terjadi pada wanita TKW sedangkan
penelitian penulis, kekerasan yang terjadi pada wanita yang berada di tanah
air, khususnya daerah Jawa Tengah.
Penelitian yang ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Hespi
Septiana dari Universitas Negeri Surabaya pada tahun 2016. Penelitian
tersebut berjudul Kekerasan Seksual pada Tokoh Diar dalam Novel Rembang
Jingga Karya TJ Oetoro dan Dwiyana Premadi. Novel tersebut
menceritakan tentang permasalahan hidup yang menerpa beberapa tokoh
wanita dalam novel tersebut, salah satunya ialah gadis bernama Diar. Ia
dipaksa ayahnya menjadi pekerja seks yang melayani sopir-sopir truk
pelanggan di warung ibunya. Hal tersebut semakin membuat Diar kecewa
dengan hidupnya, setiap malam ia mimpi buruk dan hidupnya tidak pernah
tenang. Pada penelitian ini, kekerasan seksual yang dialami oleh Diar dalam
novel Rembang Jingga dianalisis menggunakan pendekatan Psikoanalisis
Sigmund Freud. Berdasarkan analisis diperoleh simpulan bahwa (1)
13
kekerasan seksual yang diterima oleh Diar adalah akibat dari id, ego, dan
super ego Sugeng yang tidak seimbang, (2) Super ego yang ada dalam diri
Diar membuatnya untuk tetap bertahan pada situasi yang tidak dia inginkan,
dan (3) dampak kekerasan seksual yang diterima oleh tokoh Diar.
Perbedaan penelitian ketiga dengan penelitian penulis terletak pada
problematika dan teori yang digunakan. Objek yang digunakan adalah sama.
Di dalam problematikanya, penelitian di atas hanya mengungkapkan deskripsi
kekerasan seksual wanita pada satu tokoh saja, sedangkan penelitian penulis
akan mendeskripsikan tentang citra wanita dan ketidakadilan gender yang ada
dalam novel Rembang Jingga.
Penelitian yang keempat adalah penilitian yang dilakukan oleh Risky
Nur Soelika Apriana, mahasiswa Program Studi Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Universitas Nusantara PGRI Kediri pada tahun 2016.
Penelitian tersebut berjudul Inferioritas Wanita dalam Novel Rembang Jingga
karya TJ Oetoro dan Dwiyana Premadi. Karya sastra dibangun oleh unsur
intrinsik dan unsur ekstrinsik, unsur intrinsik meliputi tema, penokohan dan
perwatakan, dan konflik. Unsur ekstrinsik dalam penelitian ini membahas
inferioritas wanita meliputi: kekerasan terhadap wanita, identifikasi tokoh
dan prasangka gender.
Dari analisis yang dilakukan, diperoleh deskripsi sebagai berikut.
Dalam novel tersebut terdapat tema mayor dan tema minor, terdapat tokoh
utama, tokoh pendamping, tokoh bawahan, tokoh figuran dan tokoh
bayangan, terdapat perwatakan datar dan perwatakan bulat, dan terdapat
14
konflik fisik, konflik sosial dan konflik batin. Tinjauan aspek inferioritas
wanita meliputi kekerasan terhadap wanita yang mencakup: kekerasan
domestik, kekerasan fisik, kekerasan emosional, kekerasan ekonomi dan
kekerasan seksual. Identifikasi tokoh meliputi citra wanita dan citra laki-laki.
Yang terakhir adalah prasangka gender, aspek ini terbagi menjadi dua, yaitu
peran tradisional wanita sebagai istri, ibu dan ibu rumah tangga dan
ketergantungan wanita terhadap laki-laki.
Perbedaan yang ada dalam penelitian keempat dengan penelitian
penulis adalah pada problematika dan teori yang digunakan. Meskipun objek
kajiannya adalah sama, tetapi problematika yang akan penulis bahas berbeda.
Penelitian kelima adalah penelitian yang ditulis oleh Endah Susanti
Staff Pengajar di SMP Muhammadiyah Malang dalam Jurnal Artikulasi Vol.
10, No. 2 yang berjudul Analisis Ketidakadilan Gender Pada Tokoh Wanita
dalam Novel Kupu-Kupu Malam Karya Achmad Munif. Kekuasaan wanita
sebagai kekuasaan inferior, memaksa wanita melakukan apa saja yang
diminta oleh kaum laki-laki sebagai kaum patriarkat. Hasil analisis
menunjukkan bahwa subordinasi dan stereotip membuat wanita mendapatkan
perlakuan semena-mena, karena adanya anggapan bahwa kekuasaan terbesar
ada pada kaum laki-laki dan wanita harus tunduk terhadap laki-laki. Wanita
yang dianggap lemah dan tidak mampu melakukan segala sesuatunya sendiri,
membuat wanita selalu bergantung dan mengakibatkan anggapan bahwa
wanita tidak layak untuk menjadi seorang pemimpin. Asumsi bahwa wanita
bersolek dalam rangka memancing lawan jenisnya mengakibatkan setiap
15
kasus kekerasan seksual atau pelecehan seksual selalu dikaitkan dengan label
semakin merendahkan kedudukan wanita. Maka, akan semakin diabaikannya
kesempatan yang dimiliki wanita di dalam masyarakat karena merasa
dinomorduakan dan tidak dianggap penting. Marginalisasi membuat
kedudukan wanita inferior dan berdampak pada pekerjaan wanita yang tidak
terlalu bagus (baik dari gaji, jaminan kerja, status pekerjaaan).
Perbedaan penelitian kelima dengan penelitian ini terletak pada
problematika dan objek yang digunakan. Hal ini menyebabkan terdapatnya
perbedaan teori, pendekatan dan metode yang dipakai.
2. Landasan Teori
a. Feminisme
Pendekatan feminisme merupakan salah satu bagian dari sosiologi
konflik, adapun sosiologi konflik merupakan aliran ilmu sosial yang
menjadi alternatif dari aliran sosiologi fungsionalisme. Menurut Fakih
(1999:84) setiap kelompok masyarakat memiliki kepentingan (interest)
dan kekuasaan (power) yang adalah pusat dari setiap hubungan sosial
termasuk hubungan kaum laki-laki dan wanita. Bagi mereka, gagasan dan
nilai-nilai selalu dipergunakan sebagai senjata untuk menguasai dan
melegitimasi kekuasaan, tidak terkecuali hubungan antara laki-laki dan
wanita. Berdasarkan asumsi seperti ini maka perubahan akan terjadi
melalui konflik yang akhirnya akan merubah posisi dan hubungan
keduanya.
16
Pada umumnya, orang berprasangka bahwa feminisme merupakan
gerakan pemberontakan terhadap kaum laki-laki dalam upaya melawan
pranata sosial yang ada, misalnya institusi rumah tangga, perkawinan
maupun usaha pemberontakan wanita untuk mengingkari kodratnya.
Dengan kesalahpahaman seperti ini, maka feminisme tidak saja kurang
mendapat tempat di kalangan kaum wanita, bahkan secara umum ditolak
oleh masyarakat.
Feminisme sebenarnya berasal dari kata Latin femina yang berarti
memiliki sifat kewanitaan. Feminisme diawali oleh persepsi tentang
ketimpangan posisi wanita dibandingkan dengan laki-laki di masyarakat.
Akibat persepsi ini, timbul berbagai upaya untuk mengkaji penyebab
ketimpangan tersebut untuk mengeliminasi dan menemukan formula
penyetaraan hak wanita dan laki-laki dalam segala bidang sesuai dengan
potensi mereka sebagai manusia (human being). Operasionalisasi upaya
pembebasan diri kaum wanita dari berbagai ketimpangan perlakuan
dalam segala aspek kehidupan disebut gerakan feminis. Dalam
praktiknya, gerakan ini menghasilkan berbagai istilah di kalangan
akademisi seperti mainstream feminist, solft feminist, socialist feminist,
liberal feminist, dan women’s lib yang akhirnya menimbulkan bias
terhadap makna feminisme sebagai sebuah gerakan (Nugroho, 2008:30).
Hakikat feminisme adalah gerakan transformasi sosial, dalam arti
tidak selalu hanya memperjuangkan masalah wanita belaka. Dengan
demikian, strategi perjuangan gerakan feminisme dalam jangka panjang
17
tidak sekadar dalam upaya pemenuhan kebutuhan praktis kondisi kaum
wanita saja atau hanya dalam rangka mengakhiri dominasi gender dan
manifestasinya, seperti eksploitasi, marginalisasi, subordinasi, pelekatan
stereotip, kekerasan dan penjinakan belaka, melainkan perjuangan
transformasi sosial ke arah penciptaan struktur yang secara fundamental
baru dan lebih baik (Nugroho, 2008:31).
Pendekatan feminisme adalah pendekatan terhadap karya sastra
dengan fokus perhatian pada relasi gender yang timpang dan
mempromosikan pada tataran yang seimbang antara laki-laki dan wanita
(Djajanegara, 2000:27). Seperti yang dipaparkan oleh Fakih (1999:99),
hal ini disebabkan oleh feminisme bukan merupakan pemberontakan
kaum wanita kepada laki-laki, upaya melawan pranata sosial, seperti
intuisi rumah tangga dan perkawinan atau pandangan upaya wanita untuk
mengingkari kodratnya, melainkan lebih sebagai upaya untuk mengakhiri
penindasan dan eksploitasi wanita.
b. Citra Wanita Jawa
Citra wanita yang dimaksud dalam uraian ini adalah semua wujud
gambaran mental spiritual dan tingkah laku keseharian yang terekspresi
oleh tokoh wanita. Dalam Sugihastuti (2000:7) gambaran tersebut baik
sebagai makhluk individu yang mencakup aspek fisik dan psikologisnya,
maupun citra wanita dalam aspek sosial. Citra wanita dapat dilihat
melalui peran yang dimainkan wanita dalam kehidupan sehari-hari.
18
Apabila hal tersebut terdapat dalam karya sastra, khususnya dalam
bentuk prosa, maka citra wanita dapat dilihat dari kehidupan tokoh utama
wanita dan juga melalui tokoh-tokoh lain yang terlibat dalam kehidupan
tokoh wanita yang ditampilkan dalam karya sastra tersebut.
Burns menyatakan bahwa citra lebih bersifat ideografis
dibandingkan dengan konsep diri. Walaupun konsep diri terbentuk
berdasarkan gabungan antara penilaian diri sendiri (ke dalam) dengan
penilaian orang lain di luar dirinya, namun konsep diri cenderung lebih
bersifat subjektif. Adapun citra lebih bersifat keluar, artinya, citra
tersebut diberikan oleh orang lain atau kelompok lain atas dasar
pandangan sepintas dan bahkan sepihak. Kadang kala orang orang atau
sekelompok orang tidak mengetahui tentang citra dirinya sendiri karena
yang membentuk citra itu orang yang ada disekelilingnya. Citra
menyangkut sistem norma dan nilai budaya setempat, sehingga citra
wanita di berbagai daerah tidak sama (dalam Partini, 2013:209).
Berbicara mengenai citra wanita, pencitraan memiliki kaitan yang
erat dengan feminisme karena keduanya mempresentasikan pemikiran
dan tingkah laku tokoh utama. Pencitraan atau citra wanita adalah
gambaran yang dimiliki setiap individu mengenai pribadi wanita. Hal ini
juga sejalan dengan pendapat Altenbend yang terpapar dalam buku
Sugihastuti (2000:43) mengenai citraan yaitu gambar-gambar angan atau
pikiran, sedangkan setiap gambar pikiran disebut citra atau imaji. Wujud
citra wanita ini dapat digabungkan dengan aspek fisik, psikis, dan sosial
19
budaya dalam kehidupan wanita yang melatarbelakangi terbentuknya
wujud citra wanita. Dalam menjaga citranya tersebut, wanita sebagai
individu harus memerankan perannya dengan baik sebagai individu, istri,
dan perannya di sosial masyarakat (Sugihastuti, 2000:44).
Wanita berasal dari kata wani (berani) dan ditata (diatur).
Artinya, seorang wanita adalah sosok yang berani ditata atau diatur.
Dalam kehidupan praktis masyarakat Jawa, wanita adalah sosok yang
selalu mengusahakan keadaan tertata sehingga untuk itu dia harus
menjadi sosok yang berani ditata. Dalam hal ini, akan tampak bahwa
berani ditata tidak berarti wanita menjadi pasif dan bergantung kepada
orang lain yang mengaturnya. Sementara itu, istilah “perempuan”
tampaknya tidak cukup bisa menggambarkan kenyataan praktis sehari-
hari wanita Jawa. Akar kata “perempuan” adalah empu yang berarti guru
(Handayani & Ardhian, 2011:24). Di dalam masyarakat, kata perempuan
dianggap lebih terhormat daripada kata wanita. Namun, makna kata
wanita lebih menggambarkan kenyataan normatif daripada kenyataan
praktis sehari-hari. Oleh karena itu, penulis dalam penelitian ini penulis
lebih memilih menggunakan kata “wanita” daripada “perempuan”.
Citra wanita Jawa sangat identik dengan kultur Jawa, seperti
bertutur kata halus, tenang, pendiam, kalem, tidak suka konflik,
mementingkan harmoni, menjunjung tinggi nilai keluarga, mandiri,
mampu mengerti dan memahami orang lain, sopan, pengendalian diri
tinggi atau terkontrol, dan daya tahan untuk menderita tinggi. Bila ada
20
perselisihan ia lebih baik mengalah, tidak gegabah, tidak grusa-grusu,
dan dalam mengambil langkah mencari penyelesaian dengan cara halus.
Menurut Handayani, wanita selalu mempertahankan keseimbangan batin
dan berkelakuan sesuai dengan tuntutan keselarasan sosial; dalam hal ini
terkandung pula kepasrahan aktif yang total kepada Tuhan. Di dalam
kepasrahan inilah sesungguhnya rahasia ketahanan wanita Jawa untuk
“menderita” yang begitu tinggi berada.
Secara umum, masyarakat Jawa memiliki prinsip-prinsip dasar
tentang sikap batin, yaitu terkontrol, tenang, berkepala dingin, sabar,
halus, tenggang rasa, bersikap sederhana, jujur, sumarah, dan tidak
mengejar kepentingan diri sendiri. Sementara dalam hal tata krama,
orang Jawa memiliki prinsip mengambil sikap yang sesuai dengan derajat
masing-masing pihak, pendekatan tidak langsung, tidak memberi
informasi tentang kenyataan yang sebenarnya, dan mencegah segala
ungkapan yang menunjukkan kekacauan batin atau kekurangan kontrol
diri. Konsekuensi dari sikap batin semacam itu adalah orang Jawa
cenderung tidak mengungkapkan secara langsung apapun yang menjadi
keinginannya. Dalam berkomunikasi, orang Jawa dituntut memiliki
ketajaman penafsiran untuk menangkap apa yang ada di balik satu
simbol, apakah itu suatu tutur kata yang halus, satu senyuman, tatapan
mata, bahkan fenomena alam (Handayani & Ardhian, 2011:2).
Citra juga dapat dibentuk melalui pandangan-pandangan yang
lebih bersifat filsafat, seperti dalam budaya Jawa. Pandangan-pandangan
21
hidup orang Jawa lebih merupakan wujud abstraksi atau pengaturan
mental dari pengalaman hidup, serta pada akhirnya mengembangkan
sikap terhadap hidup. Guna mengetahui watak dan sikap wanita yang
menganut budaya Jawa, dapat digali atau dilihat melalui konsep
pendidikan dari naskah-naskah Jawa. Menurut Soedarsono dan
Murniatmo (dalam Partini, 2013:211), salah satu konsep pendidikan pada
wanita terdapat dalam naskah Wulang Estri Yasan Dalem Kanjeng Gusti
Pangeran Adipati Pakualam II. Demikian juga dengan Wulang Reh Putri
dari Mangkunegaran yang memuat nasihat ayah terhadap anak
wanitanya. Nasihat tersebut dapat diumpamakan dengan jari tangan. Ibu
jari merupakan lambang bahwa wanita itu harus berhati tulus. Telunjuk,
mengisyaratkan agar selalu menurut perintah suami. Jari tengah,
menghendaki agar selalu memelihara pemberian suami. Jari manis,
bermaksud agar seorang istri selalu berbicara dan bersikap manis.
Kelingking, memberikan isyarat seorang istri harus dapat melayani suami
secara sabar.
Naskah Jawa tersebut merupakan hasil kebudayaan Jawa yang
berwujud tulisan-tulisan, yang memuat berbagai aspek kehidupan masa
lalu orang Jawa. Soedarsono dan Murniatmo menunjukkan bahwa, nilai-
nilai luhur yang terkandung dalam naskah Jawa, terutama tentang sikap
dan watak wanita Jawa agar dapat dijadikan teladan bagi wanita
Indonesia pada umumnya. Teladan-teladan tadi diharapkan agar dapat
22
dimanfaatkan sebagai pengetahuan atau landasan sikap dalam hidup
berumah tangga (Partini, 2013:211).
Jika dulu wanita begitu tinggi dan sangat dihargai oleh
masyarakat Jawa, tetapi mengapa pada saat zaman pembangunan justru
menunjukkan gejala yang sebaliknya (tersubordinasi)? Hal ini terjadi
dikarenakan pembelokan tafsir orang-orang Belanda tentang makna
Raden Ayu. Menurut Carey dan Houben (dalam Partini, 2013:215),
Raden Ayu disamakan dengan kualitas wanita bangsawan yang terdapat
di Eropa pada masa itu. Wanita di sana tidak lebih dari semacam boneka
cantik, berwajah manis, halus, enak dipandang, namun berkepala kosong.
Yang mereka tonjolkan hanyalah bentuk-bentuk lahiriah yang lebih
sekadar sebagai pemuas nafsu laki-laki. Oleh karena itulah persepsi
wanita Jawa menjadi berubah dan menyebabkan ketidakadilan gender.
Wanita sering dijuluki sebagai makhluk yang lemah dan perlu
dilindungi oleh pria. Akan tetapi penyelidikan ilmiah akhir-akhir ini
menemukan bahwa otak wanita mempunyai kelebihan dari otak laki-laki,
sehingga dapat disimpulkan bahwa apabila wanita diberikan kesempatan
yang sama dalam mencerdaskan dirinya setiap kesempatan yang
diberikan kepada kaum lelaki maka ia tidak lagi dapat dikatakan
“lemah.” Beberapa pendapat justru mengatakan bahwa wanita
mempunyai kelebihan dari pria dalam hal keuletan atau tahan merasa
sakit, memiliki naluri yang lebih tajam, mempunyai daya khayal yang
lebih kuat dari kaum laki-laki. Seperti penelitian yang dilakukan oleh
23
Christina S. Handayani & Ardhian Novianto yang berjudul Kuasa
Wanita Jawa, penelitian yang dilakukan oleh Partini yang berjudul Bias
Gender dalam Birokrasi, dan jurnal-jurnal lain yang membahas tentang
wanita (http://sriyadi.dosen.isi=ska.ac.id/2010/03/31/karya=ilmiah/).
c. Ketidakadilan Gender
Hal yang menjadi faktor penting dari adanya ketidakadilan
gender adalah perbedaan gender yang dilakukan berdasarkan
kepentingan-kepentingan tertentu, seperti golongan tertentu, agama, ras,
dan lain sebagainya. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam
beberapa bentuk:
1) Marginalisasi wanita
Menurut Fakih (1999:13), marginalisasi merupakan proses
pengabaian hak-hak yang seharusnya didapat oleh pihak yang
termarginalkan. Namun, hak tersebut diabaikan dengan berbagai
alasan dan tujuan tertentu. Marginalisasi adalah bentuk pemiskinan
yang terjadi pada jenis kelamin tertentu, dalam hal ini adalah wanita.
Marginalisasi disebabkan oleh perbedaan pendapat mengenai gender.
Beberapa faktor yang menyebabkan adanya marginalisasi wanita,
yaitu kebijakan pemerintah, keyakinan, tafsiran agama, keyakinan
tradisi, dan kebiasaan bahkan asumsi ilmu pengetahuan.
24
2) Gender dan subordinasi
Subordinasi adalah anggapan atau penilaian bahwa suatu peran
yang dilakukan salah satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain,
khususnya wanita. Salah satu contohnya adalah saat seorang laki-laki
diperbolehkan untuk sekolah tinggi, sedangkan wanita pada akhirnya
hanya di dapur. Kedudukan laki-laki yang dianggap lebih tinggi juga
akan berimbas pada pendidikan yang rendah untuk wanita (Fakih,
1999:15).
3) Gender dan stereotip
Stereotip dimaknai dengan pelabelan atau penandaan terhadap
kelompok tertentu yang menimbulkan ketidakadilan, dalam hal ini adalah
wanita. Salah satu jenis stereotip itu adalah yang bersumber dari
pandangan gender. Banyak sekali ketidakadilan terhadap jenis kelamin
tertentu, umumnya wanita yang bersumber dari penandaan (stereotip)
yang diberikan kepada mereka. Oleh karena itu, stereotip juga diartikan
sebagai pandangan negatif masyarakat yang dilekatkan terhadap wanita
sehingga sangat merugikan kaum wanita (Fakih, 1999:16). Adanya
stereotip wanita dan laki-laki disebabkan oleh pandangan yang salah
kaprah terhadap jenis kelamin dan gender. Jenis kelamin adalah
pembagian jenis laki-laki dan wanita berdasarkan perbedaan biologis,
misalnya laki-laki mempunyai penis, kalamenjing (jakala), dan
memproduksi sperma, sedangkan wanita mempunyai vagina, rahim,
alat menyusui, serta memproduksi sel telur. Adapun gender adalah
25
suatu sifat yang melekat pada laki-laki dan wanita yang dikonstruksi
secara sosial budaya, misalnya laki-laki dianggap kuat, jantan, perkasa,
dan rasional, sedangkan wanita dianggap lembut, cantik, keibuan, dan
irasional. Penyifatan gender tersebut dapat dipertukarkan antara laki-laki
dan wanita berdasarkan tempat dan pergeseran waktu. Namun dewasa ini
terjadi peneguhan yang tidak pada tempatnya, apa yang disebut gender
dianggap sebagai kodrat sehingga muncul anggapan bahwa kodrat wanita
adalah mendidik anak dan mengelola rumah tangga (Fakih, 1999:7-11).
4) Gender dan kekerasan
Kekerasan gender adalah kekerasan yang diterima oleh jenis
kelamin tertentu, yaitu wanita. Pada dasarnya, kekerasan gender
disebabkan oleh ketidaksetaraan dalam masyararakat. Adapun dalam hal
kekerasan gender, dibedakan atas dua jenis, yaitu kekerasan fisik dan
kekerasan psikis. Kekerasan fisik dibagi menjadi dua hal, yaitu
seksual dan nonseksual. Kekerasan fisik seksual adalah kekerasan
yang terkait mengenai masalah seksual, seperti pemerkosaan dan
pelecehan seksual, sedangkan kekerasan nonseksual adalah kekerasan
yang dilakukan dengan cara memukul, menampar, meninju, dan
sebagainya. Kekerasan psikis adalah kekerasan yang menyangkut
mental seseorang (Fakih, 1999:17).
5) Gender dan beban kerja
Adanya anggapan bahwa kaum wanita memiliki sifat memelihara
dan rajin serta tidak cocok untuk menjadi kepala rumah tangga,
26
berakibat bahwa semua pekerjaan domestik rumah tangga menjadi
tanggung jawab wanita. Konsekuensinya, banyak kaum wanita yang
harus bekerja keras dan lama untuk menjaga kebersihan dan kerapian
rumah tangganya, mulai dari mengepel, mencuci, memasak, mencari air,
hingga merawat anak. Bias gender yang mengakibatkan beban kerja
tersebut sering kali diperkuat dengan adanya pandangan masyarakat
bahwa pekerjaan domestik yang dilakukan wanita adalah lebih rendah
dibandingkan dengan pekerjaan yang dikerjakan laki-laki (Fakih,
1999:21).
d. Kritik Sastra Feminis
Gerakan kritik sastra feminis terjadi di Amerika pada tahun 1960-an.
Sebuah survei menunjukkan bahwa, dengan hanya beberapa pengecualian
kanon sastra negeri itu merupakan tulisan laki-laki. Bahkan ditemukan,
seperti yang diungkapkan bahwa “sejumlah besar bentuk sastra, kurun-kurun
waktu, bahkan berabad-abad dalam sejarah sastra Amerika, tidak
menyinggung satu orang pun penulis wanita”. Hasil survei tersebut tentu saja
menyebabkan banyak pengamat sastra negeri itu bertanya-tanya mengapa.
Yang terjadi kemudian adalah serangkaian usaha untuk menggali
kembali kekayaan sastra Amerika, membongkar untuk mengetahui jangan-
jangan ada karya-karya pengarang wanita yang penting dan tidak tercatat
dikarenakan antara lain, di zaman lampau yang menentukan bermutu atau
tidaknya karya sastra adalah kaum laki-laki. Dari sana munculah semacam
27
gerakan di bidang kritik sastra, menyertai gerakan yang sudah ada
sebelumnya di kalangan wanita, yang kemudian kita kenal sebagai kritik
sastra feminis.
Kritik sastra feminis berawal dari hasrat para feminis dan untuk
mengkaji karya penulis-penulis wanita di masa silam untuk menunjukkan
citra wanita dalam karya penulis-penulis pria yang menampilkan wanita
sebagai makhluk yang dengan berbagai cara ditekan, disalahtafsirkan, serta
disepelekan oleh tradisi patriarkat yang dominan (Djajanegara, 2000:27).
Kedua hasrat tersebut menimbulkan berbagai ragam cara mengkritik yang
terkadang berpadu.
Arti sederhana kajian sastra feminis adalah pengkaji memandang
sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang
banyak berhubungan dengan budaya, sastra dan kehidupan. Jenis kelamin
inilah yang membuat perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan
dan pada faktor luar yang mempengaruhi situasi karang-mengarang
(Sugihastuti dan Suharto, 2005:5).
Karya sastra dapat disebut berperspektif feminis jika karya itu
mempertanyakan relasi gender yang timpang dan mempromosikan
terciptanya tatanan sosial yang lebih seimbang antara wanita dan laki-laki.
Tetapi tidak semua teks tentang wanita adalah teks feminis. Demikian juga
analisis tentang penulis wanita tidak selalu bersifat feminis jika tidak
mempertanyakan proses penulisan yang berkenaan dengan relasi gender dan
perombakan tatanan sosial.
28
Kritik sastra feminis yang paling banyak diterapkan adalah
kritik ideologis. Kritik sastra feminis ini melibatkan wanita, khususnya kaum
feminis, sebagai pembaca dan yang menjadi pusat perhatian pembaca wanita
adalah citra serta stereotip wanita dalam karya sastra. Kritik ini juga meneliti
kesalahpahaman wanita dan sebab-sebab mengapa wanita sering tidak
diperhitungkan, bahkan nyaris diabaikan sama sekali dalam kritik sastra
(Djajanegara, 2000:28).
Kritik sastra feminis ragam lain adalah kritik yang mengkaji penulis-
penulis wanita. Dalam ragam ini termasuk penelitian tentang sejarah karya
sastra wanita, gaya penulisan, tema, genre, dan struktur tulisan wanita. Jenis
kritik sastra ini dinamakan ginokritik dan berbeda dari kritik ideologis, karena
yang dikaji di sini adalah masalah perbedaan. Ginokritik mencoba mencari
jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti: apakah penulis-
penulis wanita merupakan kelompok khusus, dan apa perbedaan antara
tulisan wanita dan tulisan laki-laki (Djajanegara, 2000:29-30).
Pada dasarnya, dominasi merupakan penguasaan oleh pihak yang
lebih kuat terhadap yang lebih lemah. Dalam kaitannya dengan relasi antara
laki-laki dan wanita, laki-laki diposisikan sebagai pihak yang kuat, sedangkan
wanita sebagai pihak yang lemah. Akibatnya, wanita sering sekali menerima
ketidakadilan. Ketidakadilan gender yang diterima wanita dan budaya
patriarkat yang tumbuh di masyarakat menimbulkan sikap dan pemikiran
wanita-wanita yang ingin membela dan mempertahankan haknya. Berawal
29
dari pemikiran ingin membela dan mempertahankan hak wanita, muncul
berbagai cara untuk mengkritisi ketidakadilan gender.
Masalah-masalah mengenai wanita pada umumnya dikaitkan dengan
emansipasi gerakan kaum wanita untuk menuntut persamaan hak dengan
kaum laki-laki, baik dalam bidang politik, ekonomi, maupun gerakan sosial
budaya. Kondisi fisik wanita yang lemah secara alamiah hendaknya tidak
digunakan sebagai alasan untuk menempatkan kaum wanita dalam posisinya
yang lebih rendah. Pekerjaan wanita selalu dikaitkan dengan memelihara,
laki-laki selalu dikaitkan dengan bekerja (Ratna, 2012:190-191).
B. Kerangka Pikir
Deskripsi penelitian ini dapat dijelaskan dalam kerangka berpikir sebagai
berikut.
1. Pada tahap awal, penulis membaca dan memahami novel Rembang Jingga
karya TJ dan Dwiyana yang merupakan objek penelitian.
2. Tahap kedua, penulis memahami dan menetapkan fokus permasalahan yang
akan diteliti. Permasalah yang ditemukan oleh penulis adalah tentang citra
wanita Jawa dan ketidakadilan gender. Tahap ini dilakukan untuk
mempertegas pembatasan masalah dalam penelitian ini.
3. Tahap ketiga, menentukan teori yang akan digunakan untuk menganalisis
permasalahan tersebut, yaitu kritik sastra feminis.
4. Tahap keempat, mengklasifikasikan data yang terdapat dalam novel,
berdasarkan citra wanita Jawa. Data tersebut adalah semua konsep yang
30
berkaitan dengan ketidakadilan gender. Dari tahap ini, akan diperoleh
gambaran citra wanita Jawa yang akan menunjukkan adanya ketidakadilan
gender dalam novel.
5. Tahap kelima adalah menginterpretasikan citra wanita Jawa dan
ketidakadilan gender yang dipaparkan oleh TJ Oetoro dan Dwiyana Premadi
dalam novel Rembang Jingga.
6. Tahap keenam adalah memberikan simpulan, yakni tentang citra wanita
Jawa dan ketidakadilan gender dalam novel Rembang Jingga karya TJ
Oetoro dan Dwiyana Premadi.
31
Berikut bagan kerangka pikir.
Novel Rembang Jingga
Ketidakadilan Gender
pada tokoh Ires dan
Diar
Kritik Sastra Feminis
Ketidakadilan Gender:
1. Subordinasi
2. Stereotip
3. Kekerasan
Fisik dan Psikis
4. Beban Kerja
Simpulan
Citra Wanita Jawa
Citra Wanita Jawa
Karinaa
Amanda
Diar
Ires