bab ii tinjauan pustaka 2.1 sejarah dan pengertian...
TRANSCRIPT
18
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Dan Pengertian Jurnalisme
Jurnalistik (journalistic) secara harfiyah artinya kewartawanan atau
kepenulisan. Kata dasarnya “jurnal” artinya laporan atau catatan, yang berasal dari
bahasa Yunani kuno, “du jour” yang berarti hari, yakni kejadian hari ini yang
diberitakan dalam lembaran tercetak. Secara konseptual jurnalistik dapat dipahami
dari tiga sudut pandang: sebagai proses, teknik, dan ilmu.
Sebagai proses, jurnalistik adalah “aktivitas” mencari, mengelolah, menulis,
dan menyebarluaskan informasi kepada publik melalui media massa.
Aktifitas ini dilakukan oleh wartawan (jurnalis).
Sebagai teknik, jurnalistik adalah “keahlian” atau “keterampilan” menulis
karya jurnalistik termasuk keahlian dalam pengumpulan bahan penulisan
seperti peliputan peristiwa (reportase) dan wawancara. Yang dimaksud
karya jurnalistik adalah berita (news) dan opini (views).
Sebagai ilmu, jurnalistik adalah “bidang kajian” mengenai pembuatan dan
penyebarluasan informasi (peristiwa, opini pemikiran, ide) melalui media
massa. Jurnalistik merupakan ilmu terapan yang dinamis dan terus
berkembang sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan
komunikasi dan dinamika masyarakat itu sendiri. sebagai ilmu,
jurnalistik termasuk dalam kajian ilmu komunikasi, yakni ilmu yang
mengkaji proses penyampaian pesan, gagasan, pemikiran, atau informasi
yang kepada kepada orang lain dengan maksud memberitahu,
mempengaruhi, atau memberikan kejelasan. (Asep Samsul, 2004:17-18).
Asal muasal lahirnya jurnalisme dalam kehidupan manusia. Kapan
jurnalistik ini lahir? Dalam bukunya yang terkenal the elements of jurnalism (new
york:2001), Bill Kovach dan Tom Rosentstiel mencatat bahwa pada akhir abad
pertengahan, berita datang dalam bentuk lagu dan cerita, dalam belada-balada
yang disenandungkan para pengamen keliling. Apa yang mungkin dianggap
sebagai jurnalisme modern mulai muncul pada awal abad 17 dan betul-betul lahir
19
dari perbincangan, terutama di tempat publik seperti kafe di Inggris. Surat kabar
pertama muncul dari kafe-kafe di Inggris sekitar tahun 1609, ketika percetakan
mulai mengumpulkan berita perkapalan, gosip, dan argumen politik yang
menyebar dari kafe-kafe dan dicetak secara sederhana di atas kertas. Dalam
catatan lain disebutkan pula bahwa produk jurnalistik pertama berupa surat edaran
bernama Acta Diurna yang terbit di Roma kuno (Romawi) pada 59 sebelum
masehi yang isinya menyajikan peristiwa-peristiwa sosial dan politik. Begitu pula
di Cina, pada masa Dinasti Tang diterbitkan selebaran pendek yang disebut pao
atau laporan yang diterbitkan pejabat pemerintah.produk jurnalistik ini dalam
beberapa bentuk dan sejumlah nama , berlangsung hingga akhir Dinasti Ching
pada tahun 1911. (Zaenuddin HM, 2011:1)
Surat kabar pertama di Indonesia terbit pada zaman pemerintahan Van
Imhoff 7 Agustus 1744 dalam bentuk cetakan yang bernama bataviasche
nouvelles en politique raisonementen. Pada tahun 1929 di zaman pemerintahan
Gubernur Jendral Daendels diterbitkan pula javasche courant. Semua surat kabar
yang terbit pada masa itu menggunakan bahasa Belanda karena wilayah Indonesia
masih dalam koloni atau jajahannya. (Zaenuddin HM, 2011:1-2)
Pelopor pers nasional Indonesia ialah surat kabar medan prijaji yang
pertama kali terbit mingguan pada tahun 1907 dengan pimpinan redaksinya adalah
RM Tirtoadisuryo, dan di berbagai wilayah Indonesia terbit surat kabar yang
terkemuka. Di Jakarta menjelang abad ke 20 terbit Taman Sari dibawah pimpinan
F Wiggers, dan Pemberita Betawi dipimpin J Hendrik. Di Bandung, Raden
Ngabehi TA sejak 1894 memimpin Pewarta Hindia, sedangkan di Semarang, ada
Bintang Pagi dan Sinar Djawa. (Zaenuddin HM, 2011:2-3)
Bagi seorang reporter atau wartawan, khususnya media cetak, baik itu Surat
kabar atau majalah, harus mengetahui apa itu berita? Sebab tugas pokok dari
seorang wartawan adalah mencari berita, menulis atau menyusun berita, kemudian
mengirimkan berita ke media di mana si wartawan tersebut menjadi anggota dari
media tersebut. Dalam pengertian sederhana berita adalah fakta atau informasi
yang ditulis oleh wartawan, dan dimuat di media pers. Baik itu di Surat Kabar, di
Majalah, di Radio ataupun di Televisi. Nothlife, seorang ahli komunikasi
20
berpendapat: “If a dog bites a man, it is not news. But if a man bites a dog is
news”. Jika seorang anjing menggigit seorang manusia, hal itu bukan berita. Akan
tetapi sebaliknya, jika manusia menggigit anjing itu adalah berita”. Disini menitik
beratkan kepada keanehan, yang mampu menarik perhatian manusia itu
berita.(widodo, 1997:17).
Secara teknis jurnalistik, pengelompokan berita meliputi antara lain; berita
langsung (straight news), berita foto (photo news), berita suasana-berita warna
(colour news), berita menyeluruh (chomprehensive news), berita mendalam
(depth news), berita penafsiran (interpretative news), dan berita penyelidikan
(investigative news). Begitu pula dalam pengelompokan opini, seperti meliputi:
tajuk rencana atau editorial, karikatur, pojok, artikel, kolom, dan surat pembaca.
(Sumadiria, 2011:2).
Untuk memisahkan secara tegas antara berita (news) dengan opini (views),
maka tajuk rencana, karikatur, pojok , artikel, dan surat pembaca di tempatkan di
satu halaman khusus. Inilah yang disebut halaman opini (opinion page). Pemisah
secara tegas berita dan opini tersebut merupakan konsekuensi dari norma dan
etika luhur jurnalistik yang tidak menghendaki berita sebagai fakta objektif,
diwarnai atau dibaurkan dengan opini sebagai pemandangan yang sifatnya
subjektif. (Sumadiria, 2011:3).
2.1.1 Tajuk rencana atau editorial adalah suatu bentuk opini yang lazim
ditemukan dalam surat kabar dan berisikan pendapat, sikap resmi
suatu media sebagai institusi penerbitan terhadap persoalan aktual,
dan konrtoversial yang berkembang dalam masyarakat.
2.1.2 Karikatur diartikan sebagai opini redaksi media dalam bentuk gambar
yang sarat dengan muatan kritik sosial dengan memasukan unsur
humaniora, anekdot, kelucuan, agar siapapun yang melihatnya bisa
tersenyum, termasuk tokoh atau objek yang dikarikaturkan itu sendiri.
2.1.3 Pojok adalah kutipan pernyataan singkat nara suber atau peristiwa
tertentu yang dianggap menarik atau konversial, untuk kemudian
dikomentari oleh pihak redaksi dengan kata-kata atau kalimat yang
21
mengusik, menggelitik dan adakalanya reflektif. Tujuannya untuk
“mencubit”, mengingatkan, menggugat, kritis tapi tetap etis.
2.1.4 Kolom adalah opini singkat seseorang yang lebih banyak menekankan
aspek pengamatan dan pemaknaan terhadap suatu persoalan atau
keadaan yang terdapat dalam masyarakat. Dan lebih banyak
mencerminkan cap pribadi penulis, sifatnya memadat memakna
bandingkan dengan sifat artikel yang lebih banyak memapar melebar,
dan kolom ditulis inferensial.
2.1.5 Surat pembaca adalah opini singkat yang ditulis oleh pembaca dan
dimuat dalam rubrik khusus surat pembaca. Surat pembaca biasanya
berisikan keluhan atau komentar pembaca tentang apa saja yang
menyangkut kepentingan dirinya atau masyarakat.
Kini setelah inonesia merdeka, jurnalistik telah mengalami pertubuhan dan
perkembangan yang sangat pesat. Pers Indonesia modern tidak lagi sebagai alat
perjuangan semata, tetapi telah menjadi industri dan lembaga bisnis. Jumlah surat
kabar, majalah, radio, televisi, dan internet nyaris tidak bisa lagi terhitung dengan
jari. Keberadaan media-media cetak dan elektronik serta online berkembang pesat
seiring dengan perkembangan kehidupan masyaraat Indonesia. Jurnalistik atau
berita sudah menjadi kebutuhan masyarakat yang pada masa sekarang disajikan
secara canggih, kini Indonesia telah memasuki era jurnalisme global dan modern.
(Zaenuddin HM, 2011:3)
2.2 Bentuk-Bentuk Jurnalistik
1. Jurnalistik Media Cetak
2. Jurnalistik Media Elektronik
3. Jurnalistik Media Online
2.2.1 Jurnalisme Media Cetak
Jurnalisme media cetak adalah berita-berita yang disiarkan melalui benda
cetak. Dalam sejarahnya, jurnalistik media cetak adalah bentuk jurnalistik pertama
sebelum munculnya radio, televisi, dan internet. Dari segi format atau ukurannya,
22
media massa cetak terbagi menjadi berbagai segi. Pertama, format broadsheet,
yakni media cetak yang berukuran surat kabar umum. Di Indonesia hampir
seluruh surat kabar berukran sama karena yang digunakan ukuran standar
internasional. Kedua, format tabloid, yakni media yang ukurannya setengah dari
format broadsheet. Dengan ukuran tersebut, mereka dengan mudah membaca
koran dengan tanpa membua lebar-lebar, yang bisa mengganggu orang di
sebelahnya. Ketiga, format majalah, yakni setengah ukuran tabloid. Pengertian
format ini selain karena ukuran, juga karena halaman demi halaman diikat dengan
kawat (diheker)juga menggunakan sampul yang jenis kertasnya lebih tebal dan
lebih mengkilap bila dibandingkan dengan kertas halaman dalam. Keempat,
format buku, yakni ukuran setengah halaman majalah. (Zaenuddin HM, 2011:3-
4).
Koran, tabloid, dan majalah memiliki perbedaan bukan hanya dari segi
format atau dari ukuran kertasnya saja, melainkan dari jadwal terbit dan isinya.
Koran nasional, sedangkan tabloid dan majalah umumnya terbit seminggu sekali
atau sastu bulan sekali. Ada juga media cetak format tabloid yang terbit dua kali
sepekan (kecuali koran tempo, meski bentuknya tabloid, sesungguhnya koran kran
yang terbit setiap hari). (Zaenuddin HM, 2011:4).
2.2.2 Jurnalistik Media Elektronik
Selain melalui media massa cetak, kita juga mengenal jurnalistik untu media
elektronik khususnya radio dan televisi. Bahkan, kini sudah muncul jurnalisik
yang disiarkan lewat internet yang disebut situs berita atau media online. Dalam
beberapa hal, media elektronik telah mengungguli media cetak, terutama karena
kekuatan audio-visualnya. (Zaenuddin HM, 2011:5).
Televisi kini merupakan media dominan dalam komunikasi massa di seluruh
dunia, dan sampai sekarang masih terus berkembang. Artinya televisi di masa
modern seperti sekarang telah menjadi primadona media massa yang bisa
merangkum banyak wilayah kehidupan manusia; informasi, hiburan, gaya hidup,
politik, ekonomi, sport, dan budaya, yang dikemas dan dikelola secara bisnis.
23
Dibanyak negara maju, televisi telahmenjadi media massa yang paling
berpengaruh terhadap perubahan sosial dan budaya. (Zaenuddin HM, 2011:6).
Di Indonesia, jurnalistik media elektronik juga mengalami perkembangan
yang sangat pesat. Pada tahun 1980-an , radio masih memiliki penggemar dan
mejadi teman setia keluarga di desa-desa maupun di kota. Lewat siaran radio,
masyarakat dapat memperoleh informasi setiap saat, melainkan hiburan yang
murah meriah. Kini penggemar semakin menciut dan terspesialisasi karena
masyarakat sudah mulai jarang mendengarkan siaran radio, apalagi siaran berita.
(Zaenuddin HM, 2011:6).
2.2.3 Jurnalistik Media Online
Harus diakui, jurnalistik media online memiliki sejumlah keunggulan
dibandingkan jurnalisik madia cetak. Pertama, berita-berita yang disampaikan
jauh lebih cepat, bahkan dalam beberapa menit dapat di up-date. Faktor kecepata
inilah yang tidak diperoleh lewat media cetak dan media online dapat dibutuhkan
bagi ereka yang ingin mengetahui perkembangan dunia setiap saat, termasu foto-
foto yang menyertai berita tersebut. Kedua, untuk mengakses berita- berita yang
disajikan, tidak hanya dilakukan lewat komputer atau laptop yang dipasang lewat
internet, tetapi lewat ponsel atau HP pun bisa sehingga sangat mudah dan praktis.
Tidak heran bila kalangan profesional yang sibuk dan membutuhkan berita-berita
yang aktual memilih berlangganan media online disamping koran atau majalah.
Ketiga, pembaca media online dapat memberikan tanggapan atau komentar secara
langsung terhadap berita-berita yang sukai atau berita-berita yang tidak disukainya
dengan mengetik pada kolom komentar yan sudah disediakan. Pembaca dapat
mengekspresikan pikiran dan unek-uneknya jadi pembaca tidak perlu menulis
surat pembaca yang pemuatannya bisa memakan waktu beberapa hari. (Zaenuddin
HM, 2011:8).
Maka dari itu, jika media online dikelola dengan sangat baik dan
profesional, boleh jadi akan menyaingi bahkan menggusur media cetak seperti
koran atau tabloid yang digarap dengan „asal-asalan‟kenyataan ini juga akan
24
berdampak pada membesarnya minat kalangan muda untuk berkarier di dunia
jurnalistik media online. (Zaenuddin HM, 2011:9).
2.3 Sejarah Dan Perkembangan Sastra Indonesia
Masalah anhkatan sastra tak lepas dari kaitannya dengan penulisan sejarah
sastra Indonesia, atau penulisan sajarah sastra Indonesia itu tak dapat
mengesampingkan pemecahan masalah angkatan dalam Sastra Indonesia. Sejarah
sastra merupakan salah satu dari cabang studi sastra yang oleh Rene Wellek
(1968:39) dipecahkan menjadi tiga: teori sastra, kritik sastra dan sejarah sastra.
Teori sastra berhubungan dengan karya sastra yang kongkret; sedang sejarah
sastra ialah studi sastra yang membicarakan perkembangan sastra sejak lahirnya
sampai perkembangannya yang terakhir. (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:2).
Sastra (kesusastraan) suatu bangsa dari waktu kewaktu selalu mengalami
perkembangan, begitu juga halnya kesusastraan Indonesia, dengan demikian
sejarah sastra itu tak lain dari rangkaian atau jajaran periode-periode sastra.
Pengertian periode disini ialah sebuah bagian waktu yang dikuasai oleh sesuatu
sistem norma-norma sastra, standar-standar, dan konvesi-konveksi sastra yang
kemunculannya, penyebarannya, keberagaman, integrasi dan kelenyapannya dapat
diruntut. Periode-periode sastra ini erat hubungannya dengan angkatan-angkatan
sastra yang menempati periode-periode tersebut. Itulah sebabnya mengapa
masalah angkatan tak dihindari dalam penulisan sejarah sastra Indonesia, ataupun
penulisan-penulisan sastra Indonesia tak lepas dari pembicaraan angkatan dari
periodisasi. Angkatan sastra disini juga tak lain adalah sekumpulan sastrawan
yang hidup dalam satu kurun masa atau menempati suatu periode tertentu. Karena
mereka hidup dalam kurun masa yang sama atau periode tertentu itu, tentulah ada
saling pengaruh hingga mereka mempunyai ide, gagasan, pemikiran, semangat
yang sama atau setidak-tidaknya ada kemiripannya. Dalam biadang kesusastraan,
ide, gagasan, pikiran, semangat itu dituangkan dalam bentuk karya sastra. Karya
sebuah angkatan berupa kumpulan karya sastra itu menunjukan ciri-ciri intrinsik
yang sama, hampir sama, atau mirip. (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:2).
25
Secara umum kesusastraan Indonesia adalah gambaran dari proses
pertemuan antara nilai-nilai tradisional (nilai-nilai subkultur) dengan nilai-nilai
baru dari kebudayaan baru (barat). Pertemuan nilai-nilai tersebut lebih banyak
terlihat dalam bentuk-bentuk konflik. Didalam sastra indonesia, lebih banyak yang
terlihat (terungkap) arah dari pikiran-pikiran Sutan Takdir Alisyahbana dan
pikiran-pikiran pokok yang terlihat di dalam surat kepercayaan Gelanaggang
Angkatan 45. Hampir seluruh roman-roman Angkatan Balai Pustaka (Dua
Puluhan) mengungkapkan masalah feodalisme. Mempertanyakan dan memberikan
kritik yang pedas terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalam sistem feodalisme
tersebut. (Mursal Esten, 2013:56).
Sebelum sebuah angkatan lenyap sama sekali, maka akan mulai tumbuh
benih-benih angkatan baru. Hal ini disebabkan oleh situasi dan kondisi tertentu
yang menyebabkan lahirnya gagasan sastra baru. Sebelum sebuah angkatan
berakhir, biasanya karena situasi dan kondisi tertentu yang istimewa, maka timbul
gagasan baru yang biasanya didukung oleh sebuah generasi sastra baru yang mulai
menampakan diri. Setelah angkatan baru terintegrasi, akan tampak ciri-ciri sastra
angkatan tersebut akan menjadi dominan dalam kurun masa tersebut. Dengan
demikian, betul-betul sudah ada angkatan baru yang tercermin dalam karya-karya
sastranya yang menunjukan adanya persamaan-persamaan intrinsik karya sastra.
Dalam studi sastra dituntut metode yang sesuai dengan hakikat dan kenyataan
karya sastra itu sendiri, bahwa kesusastraan jangan selalu dikonsepsi hanya
sebagai cermin pasif atau tiruan perkembangan politik, masyarakat, atau bahkan
intelek manusia, sastra hendaknya ditetapkan dengan kreteria sastra yang murni,
dan bila bersamaan dengan perkembangan politik, sosial, artistik, dan sejarah
intelektual, maka tak ada keberatannya. Akan tetapi titik pangkal sastra haruslah
dari perkembangan sastra sebagai sastra. (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:3).
Di dalam puisi, masalah itu akan terlihat dalam bagaimana perkembangan
penghayatan para penyair (di dalam karya puisi-puisi mereka). Terhadap
kemerdekaan. Bergerak dari mulai merindukannya (puisi-puisi M. Yamin dan
Rustam Effendi), mencita-citakan (dalam puisi-puisi Amir Hamzah,J.E.
Tatengkeng, ataupun puisi-puisi Sutan Takdir Alisyahbana), mempersoalkan dan
26
memberontak (dalam puisi-puisi Chairil Anwar), menghayatinya (dalam puisi-
puisi Goenawan dan Sapardi Djoko Damono), sampai kepada bentuk yang lebih
“ekstrim” (dalam puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri, Ibrahim Sattah, dan Hamid
Jabbar).proses perkembangan dan penghayatan terhadap kemerdekaan tersebut
didalam puisi-puisi Indonesia juga memperlihatkan suatu gambaran dari proses
pertemuan dan bantuan-bantuan nilai antara nilai-nilai tradisional (subkultur)
dengan nilai-nilai baru dari kebudayaan yang baru. (Mursal Esten, 2013:58).
Perkembangan sastra Indonesia yang demikian tidak hanya terbatas dengan
tema-tema, amanat karya sastra, serta dalam visi kepengarangan, akan tetapi juga
akan terlihat pengaruhnya terhadap struktur terhadap karya sastra tersebut. Di
dalam perkembangan Sastra Indonesia terlihat kecenderungan untuk
mempertanyakan dan kemudian meninggalkan secara berangsur-angsur nilai-nilai
tradisional untuk menggantinya dengan nilai-nilai yang baru (yang berasal dari
nilai-nilai kebudayaan barat). Pertemuan nilai-nilai banyak berlangsung melalui
proses konflik-konflik. (Mursal Esten, 2013:63).
Kelahiran Kesusastraan Indonesia Modern atau sastra Indonesia modern
adalah tahun 1920 karena disekitar tahun itu secara nyata baru ada karya sastra
dan mengingat bahwa secara resmi telah diakui pada tahun 1908, tahun dimana
lahirnya Budi Utomo (20 mei 1908) sebagai tahun kebangkitan nasional
Indonesia. Oleh karena itu, karya cipta budaya, termasuk sastra, sesudah itu dapat
dianggap secara resmi adalah karya sipta budaya Indonesia modern. (Rachmat
Djoko Pradopo, 1995:58).
Dalam menyusun sejarah sastra Indonesia perlu dibuat deskripsi mengenai
ciri-ciri sastra pada setiap periode yang merupakan ciri khusus yang
membedakannya dengan ciri-ciri periode sebelumnya atau sesudahnya. Maka ciri-
ciri sastra adalah dilihat dari ciri intrinsik dalam struktur karya sastra, baik gaya
bahasa, gaya cerita, alur, penokohan, sarana-sarana sastra seperti pusat
pengisahan, humor. Namun, perkembagan yang demikian bukan saja tidaklah
satu-satunya (sebagaiman yang terkesan selama ini), tetapi seharusnya hanyalah
merupakan satu sisi kecil saja dari perkembangan Sastra Indonesia. Sisi yang lain
yang seharusnya terbentang ialah suatu bentuk sastra yang bermula (berakar)
27
dari pertemuan berbagai nilai dari berbagai subkultur yang ada di Nusantara ini.
karana Sastra Indonesia merupakan suatu bentuk sastra dari zamannya (zaman
ini), dalam berhadapan dengan nilai-nilai dari berbagai subkultur tersebut tidak
dapat tidak memperlihatkan ekspresi yang baru, dari ekspresi dari masa silam.
Sastra Indonesia yang demikian tidak hanya mengungkapkan (mengandalkan
kepada) adanya konflik-konflik saja, tetapi dapat juga mencari dan menemukan
konsensus-konsensus. Bagaimanapun sastrawan Indonesia berasal dari subkultur
tertentu, memahaminya lebih dari nilai-nilai dari kultur yang manapun. (Mursal
Esten, 2013:64).
Untuk menjadikan subkultur itu menjadi suatu nilai yang baru diperlukan
suatu penghayatan yang baru dan ekspresi yang baru. Diperlukan pula suatu
pemahaman yang luas terhadap nilai-nilai dari subkultur yang lain sehingga suatu
pertemuan pertemuan niali-nilai berpangkal dari suatu proses saling menganal dan
pemahaman. Dengan demikianlah bisa ditemukan konsensus-konsensus. Konsep
sastra berdasarkan alternatif yang demikian tidak hanya terbatas bertolak dari
struktur karya sastra tradisional, tapi yang lebih penting adalah menangkap jiwa
dan makna dari tradisi sastra subkultur (sastra tradisional) yang bersangkutan dan
fungsi dari struktur yang lama dapat dipertahankan, namun juga dapat
dikembangkan. Diberi makna dan fungsi yang baru. Atau makna dan fungsi yang
lama diberi struktur yang telah dikembangkan. (Mursal Esten, 2013:64).
Karya sastra dari waktu ke waktu selalu mendapat tanggapan pembaca,
selalu mendapat penilaian kembali. Sebuah karya sastra tidak tinggal tetap tak
berubah sepanjang sejarahnya. Sebuah karya sastra tak cuma menampakan wajah
yang sama kepada setiap pembaca pada tiap periode. Sebuah karya sastra jauh
lebih menyerupai orkestrasi yang selalu membunyikan suara-suara baru kepada
para pembacanya. Sebuah karya sastra harus dipahami sebagai pencipta dialog,
dan keahlian filologi harus didasarkan pada pembaca kembali teks sastrasecara
terus menerus, bukan hanya didasarkan pada fakta-fakta saja. sejarah sastra
merupakan sebuah proses resepsi dan produksi estetik yang terjadi pada
pelaksanaan teks-teks sastra yang dilakukan terus-menerus oleh pembaca,
kritikus, dan penulis dalam kreativitas sastra. Sejarah sastra yang didasarkan oleh
28
data-data yang selalu bertambah yang tampak pada sejarah sastra konvensional,
hanyalah merupakan masa lalu yang dikumpulkan dan dikelas-kelaskan saja,
maka itu bukan sejarah sama sekali, melainkan pseudo sejarah. (pradopo,
1995:9).
Kini orang lebih berani menilai diri sendiri, berani mawas diri. Akan tetapi,
sebelum melangkah kesana alangkah baiknya kalau mengetahui dahulu apa yang
disebut kritik dan kritik sastra itu, bagaimana prinsip-prinsipnya, falsafahnya,
fungsinya, jenis-jenisnya, bagaimana hubungan kritik sastra dengan apresiasi
sastra dan lain-lain. (Heri Guntur Tarigan, 2015:186).
Kata kritik yang lazim di pergunakan dalam bahasa Indonesia yaitu berasal
dari bahasa Yunani krinein yang artinya mengamati, membanding, dan
menimbang. Jamalludin Adinugoro mengatakan bahwa “kritik ialah bandingan
dan bendungan”, dan seterusnya mengemukakan bahwa” ... dengan mempunyai
pedoman tata kritik itu (seseorang) dapat membanding segala yang di bacanya,
apa yang di dengarnya dan di lihatnya, bahwa ia dapat membendung pikiran dan
perasaan umum yang simpang-siur itu sesuai batas-batas Ke-Indonesiaannya,
hingga tidak dapat lagi di ombang ambingkan oleh pengaruh yang hendak
membalutnya, tidak lekas lagi ia jatuh gelisah dalam kebingungan karena lenyap
kepribadiannya, melainkan kebal ia menahan segala kritik, ibarat batu karang di
tengah-tengah ombak yang terus-terusan memukulnya...” (Heri Guntur Tarigan,
2015:186). Dari sumber-sumber itu dapat membuat suatu ramuan yang merupakan
batasan sementara sebagai pegangan terhadap kata-kata kritik, mengkritik,
kritikus, yang akan di jelaskan sebagai berikut: (Heri Guntur Tarigan, 2015:188).
Dangan mengambil analogi dan keterangan di atas maka dapat dikatakan
bahwa:
“kritik sastra : ialah pengamatan yang teliti, perbandingan yang tepat serta
perbandingan yang adil terhadap baik buruknya suatu kualitas, nilai, dan
kebenaran suatu karya sastra.” Secara singkat: “kritik sastra ialah pengamatan,
perbandingan, dan pertimbangan baik-buruknya nilai suatu karya sastra”. (Heri
Guntur Tarigan, 2015:188).
29
Dewasa ini teori struktural dan semiotik merupakan teori kritik sastra
objektif, pada umumnya bahwa ada empat pendekatan terhadap karya sastra,
yaitu: (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:141).
(1) pendekatan memetik yang menganggap karya sastra sebagai tiruan alam
(kehidupan).
(2) pendekatan pragmatik yang menganggap karya sastra itu adalah alat untuk
mencapai tujuan tertentu.
(3) pendekatan ekspresif yang menggap karya sastra sebagai ekspresi, perasaa,
pikiran, dan pengalaman penyair (sastrawan). Dan
(4) pendekatan objektif yang menganggap karya sastra sebagai sesuatu yang
otonom, terlepas dari alam sekitarnya, pembaca, dan pengarang.
Maka dalam kritik ini yang paling terpenting adalah karya sastra sendiri,
yang khusus dianalisis struktur intrisiknya. (Rachmat Djoko Pradopo, 1995:141).
Pada dasarnya, karya sastra sangat bermanfaat bagi kehidupan, karena karya
sastra dapat memberi kesadaran kepada pembaca tentang kebenaran-kebenaran
hidup, walaupun dilukiskan dalam bentuk fiksi. Karya sastra dapat memberikan
kegembiraan dan kepuasan batin. (Purba, 2012:2)
2.4 Unsur-unsur pembentuk karya sastra
Karya sastra dibedakan menjadi tiga yaitu :
1. Puisi ( disusun berdasarkan bait ).
2. Prosa ( disusun berdasarkan paragraf ).
3. Drama ( disusun berdasarkan dialog ).
Unsur-unsur karya sastra terdiri dari Intrinsik dan Ekstrinsik. Intrinsik
terdiri dari tema, diksi, alur, tokoh, latar, sudut pandang dan amanat. Sedangkan
Ekstrinsik terdiri dari daftar riwayat hidup pengarang, latar sosial masyarakatnya,
atau kehidupan sipengarang tersebut. (Purba, 2012:3-4)
30
2.4.1 Unsur Intrinsik
Intrinsik adalah unsur karya sastra yang mendukung dari dalam (intern)
sebuah karya sastra tersebut. Yang terdiri atas:
a. Tema
Sebuah inti atau pokok pikiran pengarang ke dalam karya sastra tersebut.
b. Diksi
Bahasa yang digunakan merupakan diksi atau pilihan kata yang tepat,
indah, dan mudah dipahami tanpa meninggalkan kesan kata berkonotasi.
c. Alur
Alur atau plot adalah hubungan cerita dari awal sampai akhir secara runtut
sehingga menimbulkan cerita yang runtut. Alur bisa berupa maju, mundur,
atau maju mundur.
d. Tokoh
Penokohan adalah karakteristik watak pelaku dalam cerita tersebut.
e. Latar
Latar atau setting adalah tempat terjadinya peristiwa tersebut di ceritakan.
f. Sudut Pandang
Sudut pandang atau biasa disebut juga point of view adalah cara pengarang
menceritakan tokoh-tokohnya dalam suatu cerita. Sudut pandang hanya
terbagi dua, yaitu sudut pandang orang pertama dan kedua.
g. Amanat
Amanat merupakan pesan yang akan disampaikan pengarang lewat sebuah
penceritaan tersebut. Biasanya menggunakan bahasa yang tersirat atau
tersembunyi.
2.4.1 Unsur Ekstrinsik
Ekstrinsik adalah unsur karya sastra yang mendukung dari luar (ekstern)
sebuah karya sastra tersebut. Unsur ekstrinsik tersebut , seperti daftar riwayat
hidup pengarang, latar sosial masyarakatnya, atau kehidupan sipengarang
tersebut.
31
2.5 Pengertian Semiotika Dalam Sastra
Pada umumnya kritik sastra atau apa yang dinamakan kritik sastra di
Indonesia dewasa ini masih menggunakan teori-teori sastra (kritik) yang lama,
yang sudah ketinggalan oleh perkembangan kemajuan studi sastra pada umumnya.
Teori struktural dan semiotik ini merupakan salah satu teori sastra (kritik
sastra)yang terbaru di samping teori estika resepsi dan dekontruksi. Akan tetapi,
teori ini belum banyak dimanfaatkan dalam bidang kritik sastra di Indonesia.
(Rachmat Djoko Pradopo, 1995:140).
Teori Ancangan semiotika, sebagai salah satu alternatif untuk megkaji karya
sastra, muncul sejak perhatian pakar susastra memfokuskan diri pada hubungan
antara penanda dan petanda dalam memahami makna. Kaum formalis Rusia
berpendirian bahwa ada hubungan antara perkembangan karya sastra dan sikap
pembaca terhadap karya sastra itu sendiri. Dalam hal ini nilai susastra terus
menerus berubah sehingga sukar untuk menetapkan sebuah batasan tentang
pengertian susastra itu sendiri. Perubahan inilah yang tampaknya mendominasi
pandangan para formalis Rusia itu. (Puji Santosa, 2013:1)
Penganut faham formalisme Rusia ini sama sekali tidak memahami bahwa
karya sastra merupakan tanda yang memungkinkan terjadinya komunikasi, baik
karya sastra itu sendiri secara otonom, karya sastra dengan pembaca, karya sastra
dengan semesta, maupun karya sastra dengan pengarangnya sendiri. Menurut
anggapan faham ini karya sastra sebagai teks atau naskah adalah tanda yang
mandiri dalam proses komunikasi. Oleh sebab itu karya sastra yang memiliki
kedudukan dalam proses komunikasi akan hilang eksistensinya sebagai karya seni
yang tak mungkin dipahami tanpa diberi makna pembacanya. (Puji Santosa,
2013:1).
Dalam konteks budaya, maka yang kebanyakan terjadi adalah integrasi
“logis-bermakna” sementara dalam sistem sosial yang terjadi lebih kepada
integrasi “kausual-fungsional” melalui analog organik. Hal ini memberi tandas
bahwa penglihatan terhadap kebudayaan bukan bersifat “eksplansi kausualitas”
melainkan sebuah “pencarian makna”, yang menjadikan posisi simbol begitu
urgen, bukan simbol secara abstrak. (Syaiful Arif, 2010:110). Dalam konteks
32
sosial, dimana masyarakat menjadikan makna dalam sistem simbol, yang
kemudian membentuk praktek kehidupan. Inilah yang disebut sebagai kebudayaan
untuk memaknai budaya sebagai persoalan semiotik sehingga mengkaji budaya
adalah mengkaji makna. (Syaiful Arif, 2010:111).
Untuk mengatasi terjadinya kemacetan komunikasi dalam merebut makna
karya sastra ini, maka diciptakanlah sebuah ancangan semiotika. Dasar dari
ancangan semiotika ini adalah tanda sebagai tindak komunikasi (teeuw,1982:18).
Berdasarkan pengertian ini maka setiap tanda yang terdapat dalam karya sastra
(baik mengenai tanda atau petandanya) selama masih dapat memungkinkan
terjadinya komunikasi dengan berbagai pihak yang terkait, terutama insan
susastra, dapat dikategorikan kedalam ancangan susastra semiotika. Bermula dari
bahasa sebagai sistem tanda maka karya sastra yang bermediakan bahasa maka
merupakan sistem semiotika atau sistem tanda. Pengarang pun dalam
mengekspresikan idenya menggukan bahasa, sudah barang tentu pengarang mau
tak mau memanfaatkan semiotika dalam karya sastranya. Jadi sastra merupakan
sistem tanda tingkat keduakarena menggunakan bahasa sebagai bahan dasarnya.
(Puji Santosa, 2013:2). Kata semiotika diurutkan dari bahasa Inggris semiotcs
berpangkal pada pedoman umum ejaan bahasa Indonesia yang disempurnakan
dan pedoman umum pembentukan istilah (produksi pusat dan pembinaan bahasa)
bahwa orientasi pembentukan istilah itu ada pada bahasa Inggris. Akhiran bahasa
Inggris –ics dalam bahasa Indonesia berubah menjadi –ik atau –ika, misalnya
dialektics berubah menjadi dialektik atau dialektika. Nama lain dari semiotika
adalah semiologi. Keduanya memiliki pengertian yang sama yaitu sebagai ilmu
tenang tanda. Baik itu semiotika atau semiologi berasal dari bahasa Yunani:
semion yang berarti tanda. (Puji Santosa, 2013:3).
Berbicara komponen dasar Semiotika tidak terlepas dari masalah-masalah
pokok mengenai tanda (sign), lambang (syimbol), dan isyarat (signal).
Pemahaman masalah lambang akan mencakup pemahaman masalah penanda
(signifier; signans; signifant) dan pertanda (signified;signatum; signifie). Ketiga
masalah diatas dimasukan kedalam cakupan ilmu semiotika, karena
33
memungkinkan terjadinya komunikasi antara subjek dan objek dalam jalur
pemahaman sebagai komponen dasar semiotika. (Puji Santosa, 2013:5).
2.5.1 Tanda merupakan bagian ilmu semiotika yang menandai sesuatu hal
atau keadaan untuk menerangkan atau memberitahukan objek kepada
subjek. Dalam hal ini, tanda selalu menunjukan pada sesuatu hal yang
nyata, misalnya, benda, kejadian, tulisan, bahasa, tindakan, peristiwa
dan bentuk tanda- tanda yang lainnya. Tanda-tanda tersebut dari dulu
sampai sekarang tetap, tidak berubah dan tanpa penambahan kreativitas
apapun. Jadi, tanda adalah arti yang statis,umum, lugas, dan objektif
2.5.2 Lambang adalah sesuatu hal atau keadaan yang memimpin pemahaman
si subjek kepada objek. Hubungan antara subjek dan objek terselip
adanya pengertian sertaan. Suatu lambang yang selalu dikaitkan dengan
tanda-tanda yang sudah diberi sifat-sifat kultural, situasional dan
kondisional. Misal, pada lambang “Sang Saka Merah Putih” merupakan
lambang kebanggaan bangsa Indinesia. Warna merah diberi secara
situasional, kondisional, dan kultural oleh bangsa Indonesia adalah:
gagah, berani, dan semangat yang berkobar-kobar untuk meraih cita-
cita untuk luhur bangsa Indonesai, yaitu masyarakat adil, makmur
berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Disamping itu warna merah pada
bendera kita melambangkan semangat yang tak mudah dipadamkan,
yakni semangat berjuang dan semangat membangun. Demikian pula
pada warna putih, secara kondisional, situasional, dan kultural diberi
makna: suci, bersih, mulia, luhur, bakti dan kasih sayang. Jadi lambang
adalah tanda yang bermakna dinamis, khusus, subjektif, kias, dan
majas.
2.5.3 Isyarat adalah sesuatu hal atau keadaan yang diberikan oleh si subjek
kepada objek. Dalam keadaan ini si subjek selalu berbuat sesuatu untuk
memberitahukan kepada si objek yang diberi isyarat pada waktu itu
juga. Jadi isyarat bersifat temporal.
34
Ketiganya (tanda, lambang, dan isyarat) terdapat nuansa, yakni perbedaan
yang sangat kecil mengenai bahasa, warna, dan sebagainya. (Puji Santosa, 2013:7-
8).
Dalam karya sastra, baik yang berupa puisi, cerita rekaan, maupun drama,
terdapat berbagai macam lambang, antara lain: lambang warna, lambang bunyi,
lambang suasana, lambang nada, dan lambang visualisasi imajinatif yang
ditimbulkan dari tata wajah tipografi. Sebaliknya tanda yang terdapat pada karya
sastra hanya bermanfaat untuk mengenal aspek formal atau bentuk strukturnya.
(Puji Santosa, 2013:7).
2.6 Pengertian Puisi
Kata puisi berasal dari bahasa Yunani poiesis yang berarti penciptaan. Akan
tatapi, arti yang semula ini lama kelamaan semakin dipersempit ruaing lingkupnya
menjadi “hasil seni sastra, yang kata-katanya disusun menurut syarat-syarat
tertentu dengan menggunakan irama, sajak, dan kadang kadang menggunakan
kata-kata kiasa”.(Heri Guntur Tarigan, 2015:3).
Dalam bahasa Inggris padanan kata puisi ini adalah poetry yang erat
berhubungan dengan kata poet dan kata poem. Kata poet sendiri berasal dari
bahasa Yunani yang berarti membuat, mencipta. Dalam bahasa Inggris kata poet
ini lama sekali disebut maker. Dalam bahasa Yunani sendiri kata poet diartikan
orang yang mencipta, melalui imajinasinya, orang yang hamper menyerupai
dewa, atau yang sangat suka dengan dewa-dewa. Dia adalah orang yang
berpenglihatan tajam, orang suci, sekaligus merupakan seorang filusuf,
negarawan, guru, orang yang dapat menebak kebenaran yang tersembunyi. (Heri
Guntur Tarigan, 2015:4).
Puisi didefinisikan sebagai karya tulis dimana bahasa digunakan sebagai
bahan untuk membangun kualitas estetiknya. Penekanan estetika suatu bahasa,
seperti yang penggunaan pengulangan, majas dan rima adalah yang membedakan
puisi dari prosa. Puisi juga bisa disebut sebagai perwujudan imajinasi dari
manusia yang menjadi sumber segala kreativitas. Selain itu puisi juga merupakan
curahan dari isi hati seseorang yang membawa keadaan orang lain kedalam
35
hatinya. Baris-baris pada penulisan puisi dapat berbentuk apa saja,seperti
melingkar, zigzag dan lain sebagainya. Puisi yang normatif selalu mengikuti
aturan persajakan yang jelas. Puisi seperti ini lebih mudah untuk dinikmati karena
secara struktur begitu teratur. Hal-hal yang seperti ini sesuai dengan pernyataan,
bahwa puisi adalah ekspresi dan pengalaman yang bernilai serta bermanfaat bagi
pembacanya. (burhan fanani, 2016:81).
Dari beberapa keterangan di atas masih lebih bersifat etrimologis terhadap
kata puisi. Unutk mendapatkan gambaran yang lebih jelas lagi, kita masih
membutuhkan gambaran tentang puisi, Ralph Waldo Emerson memberi
penjelasan bahwa “ puisi merupakan upaya abadi untuk mengekspresikan jiwa
sesuatu, untuk menggerakan tubuh yang kasar, dan mencari kehidupan serta
alasan yang menyebabkannya ada, karena bukanya irama melainkan argument
yang membuat iramalah (yaitu idea tau gagasan) yang menjelmakan suatu puisi.
(Heri Guntur Tarigan, 2015:3).
Gambaran puisi penghayatan terhadap kemerdekaan, Puisi Indonesia
Modern adalah suatu bentuk puisi yang baru, yang sebelumnya tidak dikenal
dalam tradisi puisi indonesia asli. Sebagai ana dengan kesusastraan indonesia
modern. Puisi Indonesia Modern juga merupakan bentuk sastra dari hasil
persentuhan dengan tradisi Sastra Asing, terutama kesusastraan perubahan-
perubahan dalam sestruktur, tapi juga dalam tema, sikap, dan visi kepengarangan
perkembangan puisi Indonesia Modern pada hakikatnya merupakan gambaran
perkembangan dari manusia Indonesia Modern. Sebagai mana Indonesia Modern
adalah era baru dari perkembangan manusia Indonesia. Proses perubahan dan
perkembangan itu dengan jelas terlihat dalam bagai mana perkembangan
pengayatan penyair terhadap kemerdekaan. Oleh kepekaan penyair terhadapa
permasalahan agak juga akan merupakan gambaran dari perkembangan
pengayatan terhadap kemerdekaan itu. (Mursal Esten, 2013:2).
Di dalam puisi, salah satu unsur struktur yang penting adalah unsur
musikalitas. Unsur musikalitas berperan membentuk dan membangun suasana di
dalam sebuah puisi. Dengan demikian, sesungguhnya unsur musikalitas didalam
sebuah puisi menyangkut keseluruhan struktur puisi tersebut. Ia juga dapat
36
membentuk dan membangun imaji-imaji. Pada fase awal puisi-puisi indonesia
modern (puisi-puisi M. Yamin dan Rustam Effendi) kemerdekaan dilihat sebagai
suatu yang dirindukan, jauh, dan sayup-sayup. Mungkin ada keinginan di
dalamnya tapi belum terlihat perjuangan dan sikap hidup yang menyertainya.
Perkebangan penghayatan para penyair terhadap kemerdekaan tidak hanya dapat
dilihat melalui tema, amanat, dan sikap-sikap kepengaragan saja, tapi bahkan juga
pada perkembangan unsur musikalitas dari puisi-puisi yang mereka tulis. Sejarah
dari perkembangan dan sikap penghayatannya terhadap kemerdekaan. (Mursal
Esten, 2013:4).
2.7 Unsur-Unsur Pembangun Puisi
Pada dasarnya, puisi dibangun oleh dua unsur penting, yakni bentuk dan isi
(konsep tradisional). Istilah konsep dan isi tersebut oleh para ahli dinamai
berbeda-beda, diantaranya unsur tematik atau semantik dan unsur sintaktik puisi,
tema dan struktur, bentuk fisisk dan bentuk batin, hakikat dan metode. Struktur
fiksi puisi terdiri atas baris-baris puisi yang bersama-sama membangun bait-bait
puisi. Bait-bait puisi itu membangun membangun kesatuan makna di dalam
keseluruhan puisi sebagai sebuah wacana. Struktur puisi ini merupakan medium
pengungkap struktur batin puisi. (sukino, 2010:115).
Untuk menulis sebuah puisi,harus mengetahui unsur-unsur pembangun puisi
yang akan diuraikan sebagai berikut: (Burhan Fanani, 2016:82).
2.7.1 Pilihan Kata (Diksi)
Kata adalah unsur utama terbentuknya sebuah puisi. Pemilihan kata (diksi)
yang tepat sangat menentukan kesatuan dan keutuhan unsur-unsur yang lain.
Kata-kata yang dipilih diformulasi menjadi sebuah larik. (Burhan Fanani,
2016:82).
Setiap kata yang dipilih dan dipergunakan oleh sang penyair mempunyai
makna dan misi tertentu, baik mengenai ruang maupun mengenai waktu. Semisal
kata-kata klasik yang dipilih dan dipergunakan oleh Sanusi Pane dalam sanjaknya
“ Candi Mendut” seperti: candi, berhala, Bhuda, Bodhisatwa, jiwa, Maya,
37
Nirwana, meningkatkan kita pada suasana abad ke 8; sedangkan kata-kata
mimbar, pikiran-pikiran dunia, suara-suara kebebasan, teknologi, kampus, tirani,
sangkur baja, panser, bren, barikade, demonstran yng terdapat dalam “tirani”
karya Taufik Ismail, membawa kita kesuasana perjuangan Angkatan 66
menumpas kezaliman dan kediktatoran rezim orde lama. Dengan uraian singkat
inilah dapat ditegaskan betapa pentingnya pilihan kata atau diksi bagi suatu
sanjak. Pilihan kata yang tepat dapat mencerminkan ruang, waktu, falsafah,
amanat, efek, dan nada suatu puisi dengan tepat. (Henri Guntur Tarigan, 2015:30)
Secara teoritis, diksi sering dimaknai dengan pilihan kata. Diksi merupakan
serapan dari kata „diction’ yang diartikan sebagai „choise and use of words‟. Diksi
mengandung dua makna. (sukino, 2010:117).
Pertama, pilihan kata merupakan kemampuan membedakan secara tepat
nuansa-nuansa makna sesuai dengan situasi dan gagasan yang ingin
disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai
dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.
Kedua, pilihan kata yang tepat dan sesuai dengan konteks kosa kata bahasa itu
sendiri. Diksi bukan hanya digunakan untuk menyatakan kata-kata mana
yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga
meliputi persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan.
Fraseologi mencakup persoalan kata-kata dalam pengelompokan atau susunannya,
atau cara-cara yang khusus berbentuk ungkapan. Gaya bahasa sebagai bagian dari
diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang individual atau yang memiliki
nilai artistik yang tinggi. Kesimpulan utama mengenai diksi, (sukino, 2010:117-
118).
(1) Diksi mencakup kesimpulan kata-kata mana yang dipakai untuk
menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata
yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat atau juga
menggukan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi.
(2) Diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna
dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan
bentuk yang sesuai situsi dan nilai rasa.
38
(3) Pilihan kata yang tepat hanya dimungkinkan oleh penguasa sejumlah besar
kosa kata atau pembendaharaan kata.
Apabila dipandang sepintas lalu maka kata-kata yang dipergunakan dalam
puisi pada umumnya sama jasa dengan kata-kata yang dipergunakan dalam
kehidupan sehari-hari. Secara kalimah kata-kata yang dipergunakan dalam puisi
dan dalam kehidupan sehari-hari mewakili makna yang sama; bahkan bunyi
ucapan pun tidak ada perbedaan. Walaupun demikian haruslah kita sadari bahwa
penempatan dan penggunaan kata-kata dalam puisi dilakukan secara hati-hati,
teliti, serta lebih tepat. Kata-kata yang dipergunakan dalam dunia persanjakan
tidak seluruhnya bergantung pada makna denotative, tetapi lebih cenderung pada
makna konotatif. Konotasi atau nilai kata inilah yang justru lebih banyak member
efek bagi para penikmatnya. Uraian-uraian ilmiah biasanya lebih mementingkan
denotasi. Itulah sebabnya maka sering orang mengatakan bahwa bahasa ilmiah
bersifat denotatif, sedangkan bahasa sastra bersifat konotatif. (Henri Guntur
Tarigan, 2015:29).
2.7.2 Larik
Larik atau baris memiliki pengertian yang berbeda dengan kalimat dalam
prosa. Larik bisa berupa satu kata saja, bisa frasa, bisa pula seperti sebuah kalimat.
Pada puisi lama, jumlah kata dalam sebuah larik biasanya empat buah, tapi pada
puisi baru, tidak ada batasan utuk larik. (Burhan Fanani, 2016:83).
2.7.3 Bait
Bait merupakan kumpulan lari yang tersusun harmonis. Pada bait inilah
biasanya ada kesatuan makna. Pada puisi lama, jumlah larik pada sebuah bait
biasanya empat buah, namun pada puisi baru, bait tidak terbasi. (Burhan Fanani,
2016:83).
2.7.4 Bunyi
Bunyi dibentuk oleh rima dan irama. Rima (persajakan) adalah bunyi-bunyi
yangditimbulkan oleh huruf atau kata-kata dalam larik dan bait. Irama (ritme)
39
adalah pergantian tinggi rendah, panjang pendek dan keras lembut ucapan bunyi.
Timbulnya irama disebabkan oleh perulangan bunyi secara berturut-turut dan
bervariasi (misalnya karena adanya rima, perulangan kata, perulangan bait),
tekanan-tekanan kata yang bergantian keras lemahnya (karena sifat-sifat konsonan
dan vokal), atau panjang pendek kata. Dari sini dapat dipahami bahwa rima adalah
salah satu unsur pembentuk irama, namun irama tidak hanya dibentuk oleh rima.
Baik rima ataupun irama inilah yang menciptakan efek musikalisasi pada puisi,
yang membuat puisi menjadi indah dan enak didengar meskipun tanpa dilagukan.
(Burhan Fanani, 2016:84).
Ritme dan rima, irama dan sajak, besar sekali pengaruhnya untuk
memperjelas makna suatu puisi.ritme dan rima suatu puisi erat sekali
hubungannya dengan sense, feeling, tone, intention, yang terkandung di dalam
nya. Jelas bahwa perubahan ritme cenderung untuk menimbulkan perubahan ke 4
unsur hakekat puisi itu. Dalam kepustakaan Indonesia, ritme atau irama adalah
turun-naiknya suara secara teratur, sedangkan rima atau sajak adalah persamaan
bunyi. Berbicara melalui ritme maka mau tak mau kita harus menyebut istilah foot
atau kaki sajak, dan yang terpenting di antaranya: (Henri Guntur Tarigan,
2015:35).
a. Jambe: U – / U –
b. Anapes: U U – / U –
c. Troche: – U / – U
d. Dactylus: – U U / – U U
(–) berarti aris (keras)
(U) berarti thesis (lunak).
Dengan demikian jelaslah bahwa kita baru dapat mengetahui kaki-sajak yang
terdapat pada seiap larik atau bait puisi, setelah kita mendengarkan atau membaca
puisi tersebut. (Henri Guntur Tarigan, 2015:36).
Selanjutnya mengenal beberapa jenis rima, antara lain menurut posisinya,
terbagi menjadi dua:
a. Rima awal
Bagaikan banjir gulung gemulung
40
Bagaikan topan seruh menderuh
Demikian rasa
Datang semasa
Mengalir, menimbun, mendesak, mengepung
Memenuhi sukma, menawan tubuh
b. Rima akhir
Habis kikis
Segala cinta ku hilang terbang
Hilang kembali aku pada mu
Seperti dulu
Menurut susunannya, rima dapat pula dibagi atas tiga bagian
a. Rima berbingkai; dengan susunan atau rumus: aa, bb, cc, dd
b. Rima berselang; dengan rumus: abab, cdcd
c. Rima berpeluk; dengan rumus: abba, cbdc
2.7.5 Citraan
Citraan atau imaji adalah kata atau susunan dari kata-kata yang dapat
mengungkapkan pengalaman indra, seperti penglihatan, pendengaran, dan
perasaan. Imaji dapat dibagi menjadi tiga yaitu: (Burhan Fanani, 2016:84).
a. Imaji suara (auditif)
b. Imaji penglihatan (visual)
c. Imaji raba atau sentuh (imaji taktil)
Imaji dapat mengakibatkan pembaca seakan-akan melihat, mendengar, dan
merasakan apa yang dialami oleh penyair.
Semua penyair ingin menyugukan pengalaman batin yang pernah di alami
nya kepada para penikmat karyanya. Salah satu usaha untuk memenuhi keinginan
tersebut ialah dengan pemilihan serta penggunaan kata-kata yang tepat dalam
karya mereka. Pilihan serta penggunaan kata-kata yang tepat itu dapat
memperkuat serta memperjelas imajinasi pikiran manusia, dan energi tersebut
dapat pula mendorong imajinasi untuk menjelmakan gambaran yang nyata. Semua
hal yang telah kita utarakan tadi yaitu segala yang di rasai atau di alami secara
41
imajinatif inilah yang biasa kita kenal dengan istilah imagery atau imaji. (Henri
Guntur Tarigan, 2015:30).
Dalam karyanya, sang penyair berusaha sekuat daya agar para penikmat
dapat melihat, merasakan, mendengar, menyentuh, bahkan bila perlu mengalami
segala sesuatu yang terdapat dalam sanjaknya, sebab hanya dalam jalan demikian
sajalah dia dapat meyakinkan para penikmat terhadap realitas dari segala sesuatu
yang sedang didendangkannya itu. (Henri Guntur Tarigan, 2015:31).
Citraan (pengimajian) dalam penulisan puisi dimaksudkan untuk
menimbulkan kesan atau suasana dari puisi. Pencitraan ini terfokus pada
gambaran yang jelas, menimbulkan suasana khusus, membuat gambaran hidup
dalam pengindraan, unuk menarik perhatian, untuk memberikan kesan mental atau
bayangan visual penyair menggunakan gambaran-gambaran angan. Citraan juga
bermanfaat untuk menciptakan suasana kepuitisan. Bahkan, ada penyair yang
menyadarkan kekuatan puisinya pada citraan ini. Menurut Situmorang citraan
dapat dibedakan: citraan penglihatan (visual), citraan pendengaran (audidif),
citraan pengucapan (altikulator), citraan penciuman (alfoktori), citraan kecapan
(gustatori), citraan perabaan/perasaan (faktual), citraan gerak (kienastik), dan
citraan organik. Citraan dapat dapat dihasilkan dengan jalan menampilkan nama-
nama, deskripsi, irama, asosiasi intelektual, atau dengan beberapa cara tersebut
tampil bersama-sama. Namun, sebagai bekal untuk para penulis, berikut ini
diuraikan citraan secara terpisah dari masing-masing bagian. (sukino, 2010:117-
121).
Pertama, Citraan penglihatan (Visual Imagery) merupakan citraan yang
timbul karena daya sarana penglihatan. Citraan ini cenderung membawa imaji
pembaca seakan-akan melihat objek. Contoh pengguna citraan penglihatan yang
dapat digunakan sebagai model bagi penulis, lihat puisi berikut:
STANZA
Ada burung dua, jantan dan betina
Hinggap di dahan
Ada daun dua, tidak jantan tidak betina
Gugur dari dahan
42
Ada angin dan kapuk gugur, dua-dua sudah tua
Pergi ke selatan
Ada burung dan kapuk, angin, dan mungkin juga debu,
Mengedap dalam nyanyiku.
(Rendra, empat kumpulan sajak)
Citaraan yang terdapat pada puisi di atas, dapat menggunakan sarana visual
seperti, burung dua, dua helai daun, debu. Seuanya ini dimaksudkan untuk
menciptakan suasana dan kekuatan puisi. (sukino, 2010:124).
Ke Dua, Citraan Pendengaran (Auditory Imagery), penggunaan pencitraan
pendengaran dalam puisi biasanya digunakan oleh penulis untuk merangsang
indra pendengaran pembaca. Bagi seorang penulis, auditory imagery ini puisi
yang dihasilkan didominasi dengan kekayaan citra audio. Perhatikan contoh puisi
berikut ini:
CERMIN 1
Cermin tak pernah berteriak, ia pun tak pernah
Meraung, tersedan, atau terhisak,
Meski apapun jadi terbalik di dalamnya,
Barang kali ia bisa bertanya,
Mengapa kau seperti kehabisan suara?
(Damono, 1983)
Kalau diamati secara kasat mata, kata-kata yang terdapat pada puisi di atas
tidak semuanya kata benda berbentuk auditory. Tetapi secara totalitas puisi diatas
dibangun melalui kekuatan bumi. Contohnya kata meraung, tersedan, terhisak,
berteriak merupakan kata-kata citraan pendengar. Kata-kata itu memberikan
gambaran kekuatan yang meerangsang daya dengar pembaca. (sukino, 2010:124).
Ke tiga, citraan penciuman (smell imagery) biasanya digunakan penyair atau
penulis untuk menciptakan daya imaji melalui setimulusasi indra penciuman.
Yang perlu ditekankan disini adalah kata-kata yang kita pilih harus mendukung
pada kekuatan makna puisi kita. Perhatikan contoh puisi berikut ini yang
didalamnya mengandung indra penciuman.
RAFLESIA
43
Kau mekar membawa aroma
Semerbak menembus kegelapan malam
Diantara pepohonan
Kini kau mekar di antara belukar
Semerbak baunya menembus dedaunan
Di antara harumnya kembang
Kau mengundang serangga datang
Mencium aroma putik
Mekarnya kembang
(Kino Sumarjo, 2004)
Ide-ide abstrak dalam puisi dikonkretkan dengan cara penggambaran
melalui aroma bunga sebagai bentuk citraan, namun perlu diingat bahwa tidak
semua kata-kata puisi citraan menggunakan penciuman semuanya. (sukino,
2010:125).
Ke empat, Citraa Rasaan (Taste Imagery) diguakan penyair denngan
mengetengahkan atau memili kata-kata untuk membangkitkan emosi pembaca.
Kekuatan puisi yang menekankan pada citraan rasaan adalah bagaimana penullis
mampu mensugesti dan mempengaruhi emosi pembaca. Contoh puisi yang
mengandung citraan rasaan:
TUHAN TELAH MENEGURMU
Tuhan telah menegur dengan cukup sopan
Lewat perut anak-anak yang kelaparan
Tuhan telah menegur dengan cukup sopan
Lewat semayup suara adzan
Tuhan telah menegur dengan cukup dengan menahan kesabaran
Lewat gempa bumi yang berguncang
Deru angin yang meraung-raung kencang
hujan dan banjir yang melintang-pukang
adakah mendengar
(Apip Mustopa,1977)
44
Kekuatan puisi diatas, menekankan pada rangsangan imaji pembaca melalui
keterlibatan emosi pembaca. Teguran tuhan kepada umatnya melalui berbagai
bencana dari yang ringan sampai yang berat. (sukino, 2010:125).
Ke Lima, Citraan Rabaan (Tactile Imagery) secara harfiyah citraan rabaan
berkaitan dengan pemberdayaan pencecapan indra kulit. Citraan rabaan ini bisa
dicontohkan dengan baris atau kata “lengan tersayat sembilu” atau ungkapan
lama “bagai hati tertusuk sembilu”. Citraan rabaan cenderung menggambarkan
suasana mencekam, kesedihan, kepasrahan, dan sebagainya. Citraan rabaan dalam
penulisan puisi memiliki frekuensi penggunaan yang terbatas. (sukino, 2010:126).
Ke emam, Citraan Gerakan (Kinaesthetic Imagery) dimanfaatkan dengan
tujuan lebih menghidupkan gambaran dengan melukiskan sesuatu yang diam
seolah-olah bergerak. Contoh citraan gerakan pada pengalan puisi di bawah ini:
MIKRAJ
Di ujung musim yang menggasing
Bagai dengus gurun pasir
Cahaya melompat
Dalam laut salju
Diseretnya langkah
Malam itu
Dalam putih waktu
(Abdul Hadi, MW)
Puisi diatas memberikan gambaran singkat bagaimana citraan raban
digunakan di dalam puisi. Kata “melompat” memberikan gambaran seakan-akan
ada cahaya matahari yang bergerak. Bermacam-macam citraan tersebut dalam
pemakaiannya kadang-kadang digunakan lebih cara bersama-sama untuk
memperkuat efek kepuitisan. (sukino, 2010:126).
2.7.6 Makna atau Isi
Makna adalah unsur tujuan dari pemilihan kata pembentukan larik dan bait.
Makna bisa menjadi isi dan pesan dari puisi tersebut. Melalui makna inilah
misipenulis puisi disampaikan. (Burhan Fanani, 2016:84). Isi atau makna bisa
45
berkaitan dengan ide atau skemata penyair yang akan dituangkan kedalam bentuk
puisi. Isi biasanya akan menjiwai keseluruhan puisi, dan yang terpenting adalah
kepekaan terhadap seluruh fenomena yang ditemui. Hal ini penting ditumbuh
suburkan karena keberadaan puisi tentunya tidak akan terlepas dengan
pengungkapan nilai-nilai kehidupan. Isi puisi sebenarnya sangat bervariasi. Hal ini
sangat tergantung pada kecenderungan penulis sendiri.
Seorang penulis kata WS Rendra, haruslah bisa mendalemi elemendasar
kehidupan itu sendiri. Sedangkan Derek Walcott, penerima Hadiah Nobel Sastra
1992, mengatakan bahwa penulis puisi adalah orang yang bergelut dengan lautan
emosi. (sukino, 2010:117).
Unsur pembangun puisi di atas kemudian disusun sesuai dengan struktur
fisik dan struktur batin. Keduanya dapat anda pelajari lebih lanjut dibuku-buku
lain mengenai penulisan puisi. Struktur yang baik akan membuat sebuah puisi
yang dapat dinikmati dan bermanfaat bagi orang lain. (Burhan Fanani, 2016:84).
Penulisan puisi merupakan suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni.
Sebagai produk seni, puisi tetap dinikati untuk ditulis dan dipublikasikan dengan
berbagai cara. Berbagai bentuk, tema, dan gaya muncul mengiringi pelahiran
sebuah puisi. Memang, pelahiran puisi ini tidak selamanya membuahkan hasil.
Maksudnya, banyak penulis puisi yang berhenti, hilang kreativitasnya untuk
menciptakan puisi.banyak penulis pemula berhenti setelah menghasilkan satu atau
beberapa puisi. Setelah dicermati, ternyata banyak penulis pemula yang dalam
mengakrabi penulisan puisi lupa akan sebuah pernyataan yang paling mendasar
bahwa sebuah puisi bisa menjadi sesuatu yang dihargai, dinikmati, disukai,
dihormati, serta dianggap berguna jika ia mengandung muatan nilai yang
bermanfaat bagi kehidupan. (sukino, 2010:111).
Bila hal ini terjadi, maka penulis pemula khususnya yang akan menekuni
penulisan puisi, harus mencoba menggali dan mengasah kepekaan terhadap
fenomena-fenomena yang ditemui dalam kehidupan sehari-hari, dan sesuatu yang
paling menggembirakan bagi penulis pemula, khususnya penulis puisi adalah
semakin terbukanya ruang untuk mengekspresikan pemikiran dalam bentuk puisi.
Hal ini mengingatkan banyaknya alternatif wadah untuk mengkomunikasikan ide
46
dalam puisi. Kondisi inilah yang selalu mendorong seseorang memilih puisi
sebagai alternatif menyalurkan ide kepada pembaca. (sukino, 2010:112).