bab ii tinjauan pustaka 1eprints.umm.ac.id/47516/3/bab ii.pdf2.2 tinjauan nefrolitiasis 2.2.1...
TRANSCRIPT
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.1 Tinjauan Tanaman Nampu
2.1.1 Klasifikasi Nampu
Kingdom : Plantae
Clade : Angiosperms
Clade : Monocots
Order : Alismatales
Family : Araceae
Subfamily : Aroidae
Tribe : Homalomenae
Genus : Homalomena Schott
Species : Homalomena occulta
2.1.2 Nama Daerah Nampu
Homalomena occulta tersebar dari berbagai daerah di Indonesia dengan
nama yang beragam seperti cariyang bodas, cariyang beureum (Sunda) dan juga
sebutan nampu ataupun nyampu dari Jawa tengah (Dalimartha,2003).
Gambar 2.1 Tanaman Nampu
5
2.1.3 Morfologi dan Penyebaran
Tanaman nampu adalah tanaman yang dapat ditemukan di daerah
pegunungan, pinggiran sungai dan tepi danau. Tetapi selain di alam, tanaman
nampu dapat juga digunakan sebagai tanaman hias ataupun tanaman obat
(Dalimartha, 2003).
Tanaman nampu memiliki ciri-ciri yang spesifik dan berbeda dengan
tanaman lain, nampu merupakan tanaman terna yang memiliki usia hidup lama
dan tingginya berkisar antara 50-100 cm, batangnya bulat, tidak berkayu, warna
ungu sampai kecoklatan dan memiliki rimpang yang bentuknya memanjng.
Tanaman nampu memiliki daun tunggal dan tangkai yang panjangnya berkisar 50-
60 cm dengan bentuk bulat dan berdaging, ujung daun berbentuk runcing, pangkal
berbentuk rompang, semua tepi rata, kedua permukaan licin, memiliki tulang daun
yang menyirip, panjang daun berkisar 70-90 cm dengan lebar 20-35 cm dan
berwarna hijau tua. Selain daun, tanaman nampu juga memiliki bunga dengan ciri
bunga majemuk, warna ungu dan memiliki bentuk bongkol yang tumbuh pada
ketiak daun, memiliki kelamin ganda dengan panjang bunga 15-30 cm dan tangkai
yang berwarna ungu. Terdapat pula buah buni yang memiliki bentuk bulat, kecil,
warnanya merah dan bijinya panjang. (Dalimartha,2003).
2.1.4 Kandungan Kimia Nampu
Rimpang nampu mengandung beberapa senyawa yang memiliki efek
terapi dalam bidang pengobatan. Senyawa tersebut adalah saponin, flavonoid,
tannin dan polifenol. Pada bagian daun nampu mengandung senyawa saponin dan
flavonoid (Dalimartha,2003).
Contoh kandungan senyawa metabolit sekunder pada nampu diantaranya
adalah :
2.1.4.1 Senyawa Flavonoida
Tanaman nampu memiliki kandungan kimia yang bermacam-macam,
diantaranya adalah flavonoida. Flavonoida merupakan senyawa polar yang dapat
membentuk kompleks dengan ion logam. Mekanisme dalam melaurtkan batu
ginjal adalah dengan membentuk kompleks antara ion kalsium batu ginjal dengan
6
gugus hidroksi karbonil flavonoida yang terkandung dalam obat tradisional (Ida
and Anang, 2015).
2.1.4.2 Senyawa Terpen
Senyawa terpen atau biasa disebut isoprena karena memiliki motif pada
strukturnya yang berulang (unit C5). Terpen terbagi lagi dalam beberapa
kelompok, diantaranya yaitu monoterpen dengan unit atom C10, seskuiterpen
C15, diterpen C20 triterpen dan steroid C30 dan tetraterpen C40 (Heinrich et al.,
2005).
2.1.4.3 Apigenin
Gambar 2.2 Struktur Kimia Flavonoida
Gambar 2.3 Struktur Kimia Terpen
Gambar 2.4 Struktur Kimia Apigenin
7
Apigenin merupakan komponen flavonoid utama yang termasuk dalam
golongan flavon. Rumus molekulnya adalah C15H10O5 dan bobot molekul 270,23
g/mol. Nama Intenational Union of Pure and Applied Chemistry dari apigenin
adalah 5,7-dihidroksi-2-(4-hidroksifenil)-4H-1-benzopiran-4-on. Titik leleh
apigenin 345–350. Apigenin memiliki banyak kegunaan, salah satunya dalam
bidang farmasi. Senyawa ini dapat digunakan sebagai obat asam urat (Duke,
1999).
2.1.5 Manfaat Nampu
Tanaman nampu dapat mengatasi gejala penyakit seperti menggigil,
rematik, pegal linu dan dapat meningkatkan nafsu seks dari pria (Dalimartha,
2003).
2.2 Tinjauan Nefrolitiasis
2.2.1 Definisi Nefrolitiasis
Nefrolitiasis mengacu pada adanya batu kristal (batu) dalam sistem kemih
(ginjal dan ureter). Batu ginjal tersebut tersusun dari berbagai jumlah kristaloid
dan matriks organik. Batu ureter hampir selalu berasal dari ginjal tetapi kemudian
diturunkan ke ureter (Stoller, 2004).
Gambar 2.5 Nefrolitiasis
8
2.2.2 Epidemiologi Nefrolitiasis
Batu ginjal merupakan masalah kesehatan yang cukup signifikan, baik di
Indonesia maupun di dunia. Prevalensi penyakit ini diperkirakan 13% pada
lakilaki dewasa dan 7% pada perempuan dewasa dengan puncak usia dekade
ketiga dan keempat. Angka kejadian batu ginjal berdasarkan data yang
dikumpulkan dari rumah sakit di seluruh Indonesia tahun 2002 adalah sebesar
37.636 kasus baru, dengan jumlah kunjungan sebesar 58.959 orang. Selain itu
jumlah pasien yang dirawat mencapai 19.018 orang, dengan mortalitas 378 orang
(Abdurrosid et al., 2017).
2.2.3 Penyebab Batu Ginjal
Menurut (Soenarto,2005) penyakit batu ginjal dapat disebabkan oleh
beberapa faktor, yaitu :
A. Genetik (bawaan)
Ada orang-orang tertentu memiliki kelainan atau gangguan organ ginjal
sejak dilahirkan, meskipun kasusnya relatif sedikcit. Anak yang sejak kecil
mengalami ganggua metabolisme khususnya dibagian ginjal yaitu air seninya
memiliki kecenderungan mudah mengendapkan garam membuat mudah terbentuk
batu. Karena fungsi ginjalnya tidak dapat bekerja secara normal maka kelancaran
proses pengeluaran air juga mudah mengalami gangguan, misalnya banyak zat
kapur dalan air kemih sehingga mudah mengendapkan batu
B. Makanan
Sebagian besar kasus penyakit batu ginjal discbabkan oleh faktor makanan
dan minuman Makanan-makanan tertentu memang mengandung bahan kimia
yang berefek pada pengendapan air kemih, misalnya kalsium tinggi, seperti
oksalat dan fosfat. Kedua bahan tersebut mudah mengkristal di ginjal. Demikian
juga pada makanan yang kadar asam uratnya tinggi. Orang yang mengkonsumsi
air (khususnya air putih) dalam jumlah yang sedikit sangat beresiko terkena
penyakit batu ginjal. Ini dikarenakan terjadi kekurangan cairan diginjal sehingga
air seni menjadi pekat, lalu mudah membentuk batu. Selain faktor makan dan
minum, suplemen vitamin ikut berperan dalam pembenrtukan batu ginjal,
misalnya kekurangan vitamin A atau terlalu banyak mengkonsumsi vitamin D.
9
C. Aktivitas
Faktor pekerjaan dan olahraga dapat mempengaruhi penyakit batu ginjal.
Resiko terkena penyakit ini pada orang yang pekerjaannya banyak duduk lebih
tinggi dari pad orang yang banyak berdiri atau bergerak dan orang yang kurang
berolah raga. Karena tubuh kurang bergerak (baik olahraga mupun aktifitas
bekerja) menyebabkan peredaran darah maupun aliran seni menjadi kurang lancr.
Bahkan tidak hanya penyakit ginjal yang diderita, penyakit lain bisa dengan
gampang menyerang.
2.2.4 Gejala Nefrolitiasis
Batu yang terjebak diureter menyebabkan gelombang nyeri yang luar
biasa,akut, kolik, yang menyebar kepaha dan genitalia. Pasien merasa selalu ingin
berkemih, namun hanya sedikit urin yang keluar dan biasanya mengandung darah
akibat aksi abrasive batu. Batu yang terjebak dikandung kemih biasanya
menyebabkan gejala iritasi dan berhubungan dengan infeksi traktus urinarius dan
hematuria.
Keluhan yang sering ditemukan adalah sebagai berikut :
A. Hematuria
B. Piuria
C. Polikisuria/frequency
D. Urgency
E. Nyeri pinggang menjalar ke daerah pingggul, bersifat terus menerus pada
daerah pinggang.
F. Kolik ginjal yang terjadi tiba-tiba dan menghilang secara perlahan-lahan.
G. Rasa nyeri pada daerah pinggang, menjalar ke perut tengah bawah,
selanjutnya ke arah penis atau vulva.
H. Anorexia, muntah dan perut kembung
I. Hasil pemeriksaan laboratorium, dinyatakan urine tidak ditemukan adanya
batu leukosit meningkat
10
2.2.5 Etiologi Nefrolitiasis
Terbentuknya batu saluran kemih ada hubungannya dengan gangguan
aliran urin, gangguan metabolik, infeksi saluran kemih, dehidrasi, dan keadaan-
keadaan lain yang masih belum terungkap (idiopatik). Secara epidemiologi
terdapat beberapa faktor yang mempermudah terbentuknya batu pada saluran
kemih pada seseorang. Faktor tersebut adalah faktor intrinsik yaitu keadaan yang
berasal dari tubuh orang itu sendiri dan faktor ekstrinsik yaitu pengaruh yang
berasal dari lingkungan di sekitarnya.
Menurut Purnomo, 2003 Faktor intrinsik nefrolitiasis antara lain :
A. Herediter (keturunan) : penyakit diturunkan dari orang tua.
B. Umur : Penderita sering didapatkan pada usia 30-50 tahun
C. Jenis kelamin : jumlah pasien laki-laki tiga kali lebih banyak dibandingkan
dengan pasien perempuan.
Faktor ekstrinsik diantaranya adalah :
A. Geografis : pada beberapa daerah menunjukkan angka kejadian batu
saluran kemih yang lebih tinggi dari pada daerah lain sehingga dikenal sebagai
daerah stonebelt.
B. Iklim dan temperatur
C. Asupan air : kurangnya asupan air akan mempercepat penumpukan batu
pada saluran ginjal.
D. Diet : Diet tinggi purin, oksalat dan kalsium mempermudah terbentuknya
batu.
E. Pekerjaan : penyakit ini sering dijumpai pada orang yang pekerjaannya
banyak duduk atau kurang aktivitas.
2.2.6 Patofisiologi Nefrolitiasis
Nefrolitiasis merupakan kristalisasi dari mineral dan matriks. Komposisi
dari batu ginjal bervariasi, kirakira tiga perempat dari batu adalah kalsium, fosfat,
asam urin dan cistien.peningkatan konsentrasi larutan akibat dari intake yang
rendah dan juga peningkatan bahan-bahan organik akibat infeksi saluran kemih
atau urin sehingga membuat tempat untuk pembentukan batu. Ditambah dengan
11
adanya infeksi meningkatkan kebasaan urin oleh produksi amonium yang
berakibat presipitasi kalsium dan magnesium pospat (Sjamsuhidajat, 1998).
Proses pembentukan batu ginjal dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
kemudian dijadikan dalam beberapa teori :
A. Teori supersaturasi
Tingkat kejenuhan komponen pembentuk batu ginjal mendukung
terjadinya kristalisasi. Kristal yang menumpuk menyebabkan terjadinya agresi
kristal kemudian timbul menjadi batu.
B. Teori matriks
Matriks merupakan mukoprotein yang terdiri dari 65% protein, 10%
heksose, 3-5 heksosamin dan 10% air. Matriks menyebabkan penempelan kristal-
kristal sehingga menjadi batu.
C. Teori inhibitor
Pada kondisi normal jumlah kalsium dan fosfat sudah melampui daya
kelarutan, sehingga diperlukan zat penghambat pengendapan. Fosfat
mukopolisakarida dan dipospat merupakan penghambatan pembentukan kristal.
Bila terjadi kekurangan zat ini maka akan mudah terjadi pengendapan.
D. Teori epistaxis
Pembentukan batu oleh beberapa zat secara bersamaan, salah satu batu
merupakan inti dari batu yang merupakan pembentuk pada lapisan luarnya.
Contohnya agresi asam urat dalam urin akan mendukung pembentukan batu
kalsium dengan bahan asam urat sebagai inti pengendapan kalsium.
E. Teori kombinasi
Batu terbentuk karena kombinasi dari berbagai macam teori di atas.
2.2.7 Klasifikasi Nefrolitiasis
Klaisifkasi nefrolitiasis diantaranya adalah :
A. Kalsium oksalat: 80% dari batu kalsium, faktor risiko termasuk volume
urin rendah, hiperkalsiuria, hiperurikosuria, hiperoksaluria dan hipositraturia.
B. Kalsium fosfat : 20% dari batu kalsium. Faktor risiko termasuk pH urin
tinggi dan asidosis tubulus ginjal.
12
C. Batu asam urat: 10% hingga 20% pada batu ginjal disebabkan oleh
hiperurisemia.
D. Batu sistin: 1% dari batu ginjal, biasanya disebabkan oleh kesalahan
metabolisme bawaan yang menghasilkan reabsorpsi yang abnormal pada tubulus
ginjal yaitu asam amino cystine, ornithine, lysine, dan arginine.
E. Batu struvite: 1% hingga 5% batu ginjal, juga dikenal sebagai batu infeksi.
Terdiri dari magnesium, amonium, dan fosfat (Pak CY, 2003).
2.2.8 Penatalaksanaan Nefrolitiasis
Nefrolitiasis memiliki berbagai macam metode untuk penyembuhannya,
diantaranya adalah :
A. Obat Kimia
Obat kimia banyak dipilih oleh kebanyakan masyarakat karena selain
biaya yang terjangkau, juga akses unuk mendapatkan obatnya sangat mudah. Ada
beberapa obat kimia sebagai terapi utama nefrolitiasis tergantung dari jenis batu
pada pasien. Untuk terapi kalium sitrat digunakan untuk batu kalsium dengan
kadar kalsium yang normal dalam tubuh. Sedangkan diuretik thiazid digunakan
Gambar 2.6 Mekanisme Terapi Obat Kimia pada Nefrolitiasis
13
untuk terapi batu kalsium dengan kadar kasium yang tinggi dalam tubuh. Selain
itu ada allopurinol yang digunakan untuk batu asam urat (Wolf, 2012).
1) Diuretik
Diuretik adalah suatu zat yang dapat memperbanyak pengeluaran kemih
(diuresis) melalui kerja langsung terhadap ginjal. Obat lainnya yang menstimulasi
diuresis dengan mempengaruhi ginjal secara tidak langsung tidak termasuk dalam
defenisi ini, misalnya zat yang memperkuat kontraksi jantung (digoksin dan
teofilin), memperbesar volume darah (dekstran), atau merintangi sekresi hormon
anti diuretik (Tjay, 2002).
Obat diuretik merupakan penghambat transpor ion yang menurunkan
reabsorbsi Na+ dan ion lain seperti Cl
- memasuki urine dalam jumlah lebih banyak
dibanding dalam keadaan normal bersama dengan air yang mengangkut secara
pasif untuk mempertahankan keseimbangan osmotic. Perubahan Osmotik dalam
tubulus menjadi meningkat karena natrium lebih banyak dalam urine, dan
mengikat air lebih banyak dalam tubulus ginjal serta produksi urine menjadi lebih
banyak. Dengan demikian, diuretik meningkatkan volume urine dan sering
mengubah PH-nya serta komposisi ion dalam urine dan darah (Halimudin, 2007).
Mekanisme Kerja Diuretik dipengaruhi oleh tiga faktor. Pertama, tempat
kerja diuretik di ginjal. Diuretik yang bekerja pada daerah yang reabsorbsi
natrium sedikit, akan memberi efek lebih kecil dibandingkan dengan diuretik yang
bekerja pada daerah dengan reabsorbsi natrium tinggi. Kedua, status fisiologi dari
organ. Misalnya dekompensasi jantung, sirosis hati, gagal ginjal. Dalam keadaan
ini akan memberikan respon yang berbeda terhadap diuretik. Ketiga, interaksi
antara obat dengan reseptor. Sebagaimana umumnya diketahui, diuretik
digunakan untuk merangsang terjadinya diuresis. Penggunaan diuretik sudah
sedemikian luas sampai saat ini (Siregar, 2008).
2) Xantin Oksidase Inhibitor
Xantin oksidase inhibitor secara klinik digunakan sebagai penghambat
enzim xantin oksidase. Enzim tersebut berperan dalam metabolisme purin yang
berasal dari dalam (asam nukleat) dan juga luar tubuh (makanan dan minuman
yang mengandung purin). Metabolisme purin menghasilkan produk akhir yaitu
berupa adenilik acid (AMP: Adenosine Monophosphate), inosinik acid (IMP:
14
Inosine Monophosphate), dan guanilik acid (GMP: Guanosine Monophosphate)
yang dapat disintesa melalui sintesis secara de novo. Sintesis asam urat secara de
novo berawal dari GMP yang didegradasi oleh nukleotidase menjadi guanosin,
kemudian guanosin didegradasi oleh phosporilase menjadi guanin. Selanjutnya
guanin dideaminasi oleh guanin deaminase menjadi xantin yang dilanjutkan
degradasi oleh xantin oksidase menjadi asam urat. IMP didegradasi oleh
nukleotidase menjadi inosin yang dilanjutkan degradasi oleh phosporilase menjadi
hipoxantin dan didegradasi menjadi asam urat oleh enzim xantin oksidase. AMP
dideaminasi oleh AMP deaminase menjadi IMP dan didegradasi oleh nukleotidase
menjadi inosine yang dilanjutkan degradasi oleh phosporilase menjadi inosine.
Inosine yang terbentuk didegradasi oleh xantin oksidase menjadi xantin, kemudian
dikonversi menjadi asam urat (Kelley, 1991).
Contoh obat xantin oksidase inhibitor adalah allopurinol. Mekanisme
penghambatan allopurinol karena memiliki struktur yang hampir sama dengan
xantin (substrat enzim xantin oksidase). Allopurinol mampu berikatan dengan
xantin oksidase pada sisi aktifnya dengan membentuk ikatan yang terdiri dari
kombinasi ikatan kovalen, elektrostatik, dan hidrogen. Allopurinol memiliki
afinitas puluhan kali lebih kuat terhadap xantin oksidase dibandingkan xantin.
Oleh karena itu, apabila dalam lingkungan terdapat inhibitor ini
(allopurinol) bersamaandengan xantin (substrat), maka allopurinol akan lebih
Gambar 2.7 Penghambatan Xantin Oksidase oleh Allopurinol
15
bereaksi dengan xantin oksidase membentuk produk (oksipurinol) dibandingkan
dengan substratnya sendiri (xantin), sehingga efek penghambat pembentukan
asam urat dapat berlangsung terus selama masih terdapat allopurinol dalam
lingkungan (Ahmad, 2012). Tetapi, penggunaan allopurinol akan menimbulkan
banyak efek samping, seperti contoh reaksi kulit berupa kemerahan, reaksi alergi,
dan gangguan pada saluran cerna (Wilmana, 2007).
B. Obat Tradisional
Alternatif lain untuk menyembuhkan penyakit batu ginjal salah satunya
adalah pengobatan secara tradisional. Obat tradisional merupakan ramuan bahan
alam yang secara tradisional telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan
pengalaman secara turun-temurun (Katno & Pramono, 2009). Teknik pengobatan
secara tradisional mempunyai efek samping yang lebih kecil dibandingkan
penggunaan obat kimia (Thomas, 1989). Tetapi masih sangat jarang ditemukan
obat tradisional di toko obat maupun apotek. Obat tradisional yang banyak
ditemukan hanya batugin elixir®
(produk lokal) dan cystone®
(produk impor).
1) Cystone®
Cystone®
memiliki kandungan di dalamnya yaitu Didymocarpus
pedicellata 65 mg, Saxifraga ligulata 49 mg, Rubia cordifolia 16 mg, Cyperus
scariosus 16 mg, Achyranthes aspera 16 mg, Onosma bracteatum 16 mg,
Vernonia cinerea 16 mg, lime silicate calx 16 mg, asphaltum (purified) 13 mg.
Cystone®
adalah obat tradisional yang banyak digunakan untuk mengobati
masalah urologi. Cystone®
telah banyak digunakan di seluruh dunia, dan sekarang
juga sudah diperjual belikan di berbagai belahan dunia, seperti India dan Amerika.
Cystone®
telah digunakan secara klinis untuk mengobati banyak komplikasi
saluran kemih seperti urolithiasis, nefrolitiasis, rasa sakit saat berkemih, neuro-
ureterolithiasis, komplikasi saluran kemih pada kehamilan dan berbagai gangguan
ginjal lainnya. Cystone®
juga memiliki efek antimikroba sehingga dapat
digunakan sebagai pencegahan penyakit infeksi saluran kemih (Erickson et al.,
2011) (Sharma et al., 1983).
Pada nefrolitiasis, cystone®
bekerja dengan cara menghambat
pembentukan zat yang memiliki potensi untuk membentuk batu pada ginjal seperti
asam oksalat, hidroksiprolin dan lain sebagainya. (Erickson et al, 2011)
16
C. Terapi Tindakan
Terapi tindakan terbagi atas beberapa metode, diantaranya adalah :
1) Extracorporal Shock Wave Lithotripsy ( ESWL )
ESWL banyak digunakan dalam penanganan batu saluran kemih. Prinsip
dari ESWL adalah memecah batu saluran kemih dengan menggunakan gelombang
kejut yang dihasilkan oleh mesin dari luar tubuh. Gelombang kejut yang
dihasilkan dapat difokuskan ke arah batu. Sesampainya di batu, gelombang tadi
akan melepas energinya. Diperlukan beberapa ribu kali gelombang kejut untuk
memecah batu hingga menjadi pecahan kecil, selanjutnya keluar bersama kencing
tanpa menimbulkan sakit. Komplikasi ESWL untuk terapi batu ureter hampir
tidak ada. Keterbatasan ESWL antara lain sulit memecah batu keras (misalnya
kalsium oksalat monohidrat), perlu beberapa kali tindakan dan sulit pada orang
bertubuh gemuk. Penggunaan ESWL untuk terapi batu ureter distal pada wanita
dan juga harus dipertimbangkan dengan serius karena ada kemungkinan terjadi
kerusakan pada ovarium (Badlani, 2002).
2) Ureterorenoskopic (URS)
Pengembangan ureteroskopi sejak tahun 1980an telah mengubah terapi
batu ureter. Kombinasi ureteroskopi dengan pemecah batu ultrasound, EHL, laser
dan pneumatik telah sukses memecah batu ureter. Keterbatasan URS adalah tidak
bisa untuk ekstraksi langsung batu ureter yang besar, sehingga diperlukan alat
pemecah batu seperti yang disebutkan di atas. Pilihan untuk menggunakan jenis
pemecah batu tertentu, tergantung pada pengalaman operator dan ketersediaan alat
tersebut.
3) Percutaneous Nefro Litotripsy (PCNL)
Menurut Al-Kohlany (2005), PCNL yang berkembang sejak dekade 1980
secara teoritis dapat digunakan sebagai terapi semua batu ureter. Namun, URS
dan ESWL menjadi pilihan pertama sebelum melakukan PCNL. Meskipun
demikian untuk batu ureter proksimal yang besar dan melekat memiliki peluang
untuk dipecahkan dengan PCNL.
Prinsip dari PCNL adalah membuat akses ke kalik atau pielum secara
perkutan. Kemudian melalui akses tersebut dimasukkan nefroskop rigid atau
fleksibel, yang selanjutnya batu ureter diambil secara utuh atau dipecah.
17
Keuntungan dari PCNL adalah apabila letak batu jelas terlihat, batu pasti dapat
diambil atau dihancurkan. Proses PCNL berlangsung cepat dan dapat diketahui
keberhasilannya dengan segera. Kelemahan PCNL adalah perlu keterampilan
khusus bagi ahli urologi.
4) Operasi Terbuka
Operasi terbuka memiliki beberapa variasi untuk batu ureter yang
mungkin masih bisa dilakukan. Hal tersebut tergantung pada anatomi dan posisi
batu, ureterolitotomi bisa dilakukan lewat insisi pada flank, dorsal atau anterior.
Saat ini operasi terbuka pada batu ureter kurang lebih tinggal 1 -2 persen saja,
terutama pada penderita dengan kelainan anatomi atau ukuran batu ureter yang
besar (Fillingham and Douglass, 2000).
2.2.9 Spektrofotometri Serapan Atom (SSA)
Spektroskopi serapan atom digunakan untuk analisis kuantitatif unsur
logam dalam jumlah sekelumit (trace) dan sangat kelumit (ultratrace). Cara
analisis ini untuk melihat unsur logam dalam suatu sampel dan tidak tergantung
pada bentuk molekul logam dalam sampel tersebut. Cara ini cocok untuk analisis
kelumit logam karena mempunyai kepekaan yang tingggi (batas deteksi kurang
dari 1 ppm). Pelaksanaannya relatif sederhana dan interferensinya juga sedikit.
Spektroskopi serapan atom didasarkan pada penyerapan energi sinar oleh atom
netral dan sinar yang diserap adalah sinar tampak atau ultraviolet. Dalam garis
besarnya, prinsip spektroskopi serapan atom sama saja dengan spektrofotometri
ultraviolet. Perbedaannya terletak pada bentuk spektrum, cara pengerjaan sampel
dan peralatannya (Gandjar, 2010).
2.3 Tinjauan Ekstraksi
Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan
menggunakan pelarut yang sesuai. Proses ekstraksi dihentikan ketika tercapai
kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam pelarut dengan konsentrasi
dalam sel tanaman. Setelah proses ekstraksi, pelarut dipisahkan dari sampel
dengan penyaringan .Ekstrak awal sulit dipisahkan melalui teknik pemisahan
tunggal untuk mengisolasi senyawa tunggal. Oleh karena itu, ekstrak awal perlu
18
dipisahkan ke dalam fraksi yang memiliki polaritas dan ukuran molekul yang
sama (Mukhriani, 2014).
Identifikasi golongan senyawa dilakukan dengan uji warna, penentuan
kelarutan, bilangan Rf dan ciri spectrum UV. Identifikasi yang paling penting dan
digunakan secara luas ialah pengukuran spektrum serapan dengan menggunakan
spektrofotometer. (Mukhriani, 2014)
Jenis metode ekstraksi yang kami digunakan untuk penelitian adalah
maserasi. Maserasi merupakan metode sederhana yang paling banyak digunakan.
Cara ini sesuai, baik untuk skala kecil maupun skala industri. (Agoes,2007)
Metode ini dilakukan dengan memasukkan serbuk tanaman dan pelarut yang
sesuai ke dalam wadah inert yang tertutup rapat pada suhu kamar. Proses ekstraksi
dihentikan ketika tercapai kesetimbangan antara konsentrasi senyawa dalam
pelarut dengan konsentrasi dalam sel tanaman. Setelah proses ekstraksi, pelarut
dipisahkan dari sampel dengan penyaringan. Kerugian utama dari metode
maserasi ini adalah memakan banyak waktu, pelarut yang digunakan cukup
banyak, dan besar kemungkinan beberapa senyawa hilang. Selain itu, beberapa
senyawa mungkin saja sulit diekstraksi pada suhu kamar. Namun di sisi lain,
metode maserasi dapat menghindari rusaknya senyawa-senyawa yang bersifat
termolabil (Mukhriani, 2014).
2.4 Metode Pengujian Aktivitas Batu Ginjal Secara In Vivo
2.4.1 Etilen Glikol
Etilen glikol adalah suatu senyawa dengan nama IUPAC 1,2-etanadiol,
memiliki berat molekul 62,068 g/mol, senyawa ini adalah senyawa racun dengan
LD50 786 mg/KgBB manusia. Etilen glikol memiliki rasa yang manis, tidak
berbau dan tidak berwarna. Etilen glikol sendiri memiliki banyak fungsi,
diantaranya adalah sebagai pelarut, biasa digunakan sebagai bahan tambahan
kosmetik dan lain sebagainya. Dibalik semua itu, etilen glikol mempunyai efek
racun yang apabila terhirup, etilen glikol akan teroksidasi menjadi asam glikolat,
kemudian menjadi asam oksalat dan menjadi racun. Paparan jangka pendek pada
manusia akan menyebabkan gangguan pada sistem saraf pusat, Cardiopulmonary
19
dan kerusakan ginjal kemudian. Selain itu, efek pada tikus juga dapat
menyebabkan toksisitas pada hati dan ginjal. (Pubchem.com).
Etilen glikol diabsorbsi cepat oleh saluran pencernaan. Etilen glikol
dimetabolisme di hati sebanyak 80% dan sisanya akan diekskresikan ke ginjal.
Oksalat yang merupakan produk akhirnya juga akan diekskresi ke ginjal. Asam
glikolat yang dihasilkan pada proses metabolisme pembentukan kalsium oksalat
oleh etilen glikol dapat mengakibatkan kondisi asidosis metabolik berat (Dasgupta
2012). Kondisi asidosis dan peningkatan produksi asam oksalat akan bereaksi
dengan kalsium membentuk kompleks kalsium oksalat yang bersifat sitotoksik
(Cheville 2006). Kompleks tersebut dapat menyebabkan sumbatan pada sel epitel
ginjal yang memicu proses pembentukan inti Kristal,agregasi, dan penempelan
pada sel epitel tubulus ginjal yang akan berkembang menjadi batu ginjal
(Anggarwai et al. 2013).
2.4.2 Amonium Klorida
Amonium klorida dengan molekular formula NH4Cl mempunyai berat
molekul 53,489 g/mol. Amonium klorida merupakan suatu kristal padat berwarna
putih dengan kelarutan dalam air yaitu sebesar 37%. Amonium klorida adalah
garam yang membentuk asam yang berfungsi membantu menjaga pH,
memberikan efek diuretik ringan dan bisa juga untuk indikasi sebagai
ekspektoran. (Pubchem.com)
Gambar 2.8 Proses Terbentuknya Batu Kalsium Oksalat oleh Paparan Etilen Glikol
20
Pada nefrolitiasis, senyawa amonium klorida berperan sebagai katalisator
untuk mempercepat terbentuknya batu ginjal kalsium oksalat. Adanya
penambahan amonium klorida akan menurunkan pH darah sehingga memperparah
asidosis metabolik. Kondisi asidosis sebenarnya dipengaruhi oleh adanya etilen
glikol di dalam ginjal, tetapi dengan adanya amonium klorida maka akan
memperparah kondisi asidosis metaboliknya. Sehingga etilen glikol akan bereaksi
dengan kalsium membentuk kompleks kalsium oksalat yang bersifat sitotoksik
dan akan berkembang menjadi batu ginjal (Cheville, 2006)
2.5 Penapisan Fitokimia
Penapisan fitokimia merupakan tahap pendahuluan dalam suatu penelitian
fitokimia yang bertujuan untuk memberikan gambaran tentang golongan senyawa
yang terkandung dalam tanaman yang sedang diteliti. Metode penapisan fitokimia
dilakukan dengan melihat reaksi pengujian warna dengan menggunakan suatu
pereaksi warna. Hal yang berperan penting dalam penapisan fitokimia adalah
pemilihan pelarut dan metode ekstraksi (Kristianti et al., 2008).
Penapisan fitokimia juga merupakan analisis kualitatif terhadap senyawa-
senyawa metabolit sekunder. Suatu ekstrak dari bahan alam terdiri atas berbagai
macam metabolit sekunder yang berperan dalam aktivitas biologinya. Senyawa-
senyawa tersebut dapat diidentifikasikan dengan pereaksi-pereaksi yang mampu
memberikan ciri khas dari setiap golongan metabolit sekunder (Harbone, 1987).
2.6 Tikus Wistar
Tikus putih banyak digunakan sebagai hewan percobaan di laboratorium.
Klasifikasi tikus putih adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Chordata
Kelas : Ammalia
Ordo : Rodentia
Subordo : Odontoceti
Familia : Muridae
Genus : Rattus
21
Spesies : Rattus norvegicus
Tikus putih yang digunakan untuk pecobaan laboratorium yang dikenal
ada tiga macam galur yaitu Sprague Dawley, Long Evans dan Wistar. Tikus putih
termasuk tikus wistar memiliki beberapa sifat yang menguntungkan sebagai
hewan uji penelitian di antaranya perkembangbiakan cepat, mempunyai ukuran
yang lebih besar dari mencit, mudah dipelihara dalam jumlah yang banyak. Tikus
putih juga memiliki ciri-ciri morfologis seperti albino, kepala kecil, dan ekor yang
lebih panjang dibandingkan badannya, pertumbuhannya cepat,temperamennya
baik, kemampuan laktasi tinggi, dan tahan terhadap arsenik tiroksid (Akbar,
2010).
Gambar 2.9 Ginjal Tikus