bab i,ii,iii insomnia

24
BAB I PENDAHULUAN Tidur merupakan suatu kebutuhan setiap individu, dengan rata-rata waktu tidur yaitu 7 sampai 8 jam untuk remaja dan dewasa setiap harinya. Pada perkembangan zaman yang semakin modern ini, banyak individu yang mengeluhkan waktu tidur yang semakin singkat atau kurang dari 7 jam sehari, khususnya remaja yang sering disebut dengan insomnia. Hal ini disebabkan oleh adanya masalah kesehatan, pengaruh hormone pubertas dan yang lebih sering dikarenakan maraknya penggunaan internet di kalangan remaja yang membuat remaja semakin lupa dengan waktu tidur mereka. Insomnia adalah persepsi atau keluhan tentang waktu tidur yang tidak cukup dan kualitas tidur yang rendah karena sejumlah faktor, seperti sulit tidur, sering terbangun pada malam hari dengan kesulitan kembali tidur, bangun terlalu pagi, atau tidur yang tidak menyegarkan. Insomnia dapat menyebabkan masalah pada siang hari, seperti kelelahan , kekurangan energi , sulit berkonsentrasi , dan mudah tersinggung. Insomnia bisa terjadi pada usia remaja. Pada remaja, faktor predisposisi yang memicu terjadinya insomnia adalah perubahan pola tidur yang terjadi karena adanya 1

Upload: priska

Post on 30-Jan-2016

9 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Insomnia adalah persepsi atau keluhan tentang waktu tidur yang tidak cukup dan kualitas tidur yang rendah karena sejumlah faktor, seperti sulit tidur, sering terbangun pada malam hari dengan kesulitan kembali tidur, bangun terlalu pagi, atau tidur yang tidak menyegarkan . Insomnia adalah ukuran kualitas tidur dan bukan berapa lama individu tersebut tidur atau berapa lama masa yang diambil oleh individu tersebut untuk tidur.1 Untuk tiap individu kebutuhan tidur bervariasi antara mereka. Insomnia dapat menyebabkan masalah pada siang hari, seperti kelelahan , kekurangan energi , sulit berkonsentrasi , dan mudah tersinggung

TRANSCRIPT

Page 1: BAB I,II,III Insomnia

BAB I

PENDAHULUAN

Tidur merupakan suatu kebutuhan setiap individu, dengan rata-rata waktu tidur

yaitu 7 sampai 8 jam untuk remaja dan dewasa setiap harinya. Pada

perkembangan zaman yang semakin modern ini, banyak individu yang

mengeluhkan waktu tidur yang semakin singkat atau kurang dari 7 jam sehari,

khususnya remaja yang sering disebut dengan insomnia. Hal ini disebabkan oleh

adanya masalah kesehatan, pengaruh hormone pubertas dan yang lebih sering

dikarenakan maraknya penggunaan internet di kalangan remaja yang membuat

remaja semakin lupa dengan waktu tidur mereka.

Insomnia adalah persepsi atau keluhan tentang waktu tidur yang tidak cukup dan

kualitas tidur yang rendah karena sejumlah faktor, seperti sulit tidur, sering

terbangun pada malam hari dengan kesulitan kembali tidur, bangun terlalu pagi,

atau tidur yang tidak menyegarkan. Insomnia dapat menyebabkan masalah pada

siang hari, seperti kelelahan , kekurangan energi , sulit berkonsentrasi , dan mudah

tersinggung.

Insomnia bisa terjadi pada usia remaja. Pada remaja, faktor predisposisi yang

memicu terjadinya insomnia adalah perubahan pola tidur yang terjadi karena

adanya perubahan irama sirkadian dimana fase tidur akan menjadi telat. Remaja

akan terjatuh tidur lebih malam dan bangun lebih terlambat pada permulaan masa

pubertas, dimana remaja akan lebih terjaga pada malam hari sehingga sulit untuk

terjatuh tidur. Pola tidur yang tidak memadai pada remaja diduga karena

kombinasi dari faktor intrinsik dan ekstrinsik. Faktor intrinsik meliputi perubahan

perkembangan seperti pergeseran irama sirkadian selama masa pubertas dan

gangguan pernapasan saat tidur seperti obstruktif sleep apnea (OSA). Faktor

ekstrinsik antara lain waktu sekolah yang lebih awal dan kebiasaan tidur seperti

konsumsi kafein dan penggunaan perangkat elektronik dekat waktu tidur.

Insomnia pada remaja harus ditangani secara serius karena akan berdampak pada

kualitas hidup penderita

1

Page 2: BAB I,II,III Insomnia

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Insomnia adalah persepsi atau keluhan tentang waktu tidur yang tidak cukup dan

kualitas tidur yang rendah karena sejumlah faktor, seperti sulit tidur, sering

terbangun pada malam hari dengan kesulitan kembali tidur, bangun terlalu pagi,

atau tidur yang tidak menyegarkan . Insomnia adalah ukuran kualitas tidur dan

bukan berapa lama individu tersebut tidur atau berapa lama masa yang diambil

oleh individu tersebut untuk tidur.1 Untuk tiap individu kebutuhan tidur bervariasi

antara mereka. Insomnia dapat menyebabkan masalah pada siang hari, seperti

kelelahan , kekurangan energi , sulit berkonsentrasi , dan mudah tersinggung .2

2.2 Epidemiologi

Berdasarkan World Health Organization (WHO) definisi remaja adalah individu

yang berusia 10 sampai 19 tahun. Secara garis besar, fase remaja dibagi menjadi

tiga periode yaitu fase awal, pertengahan dan lanjut. Fase remaja awal dimulai

pada usia 10 sampai 13 tahun, fase pertengahan pada usia 14 sampai 16 tahun dan

fase remaja lanjut pada usia 17 sampai 19 tahun. Penelitian Ohayon menunjukkan

bahwa prevalensi gangguan tidur pada remaja bervariasi antara 6 sampai 39% dan

sekitar setengahnya termasuk insomnia primer. Penelitian Ohayon juga

menunjukkan bahwa prevalensi insomnia primer pada remaja lebih sering dialami

remaja perempuan dibandingkan dengan remaja laki-laki dengan persentase 3,4%

dan 1,2%.3

2.3 Fisiologi Tidur

Tidur merupakan salah satu perilaku makhluk hidup yang universal, dimana pada

manusia, terjadi sekitar satu per tiga kehidupannya. Tidur penting dalam

keberlangsungan hidup makhluk hidup. Hal ini dapat dilihat salah satunya dari

peninjauan ulang kembali dimana gangguan kognitif dan fisik ternyata didapatkan

dari gangguan tidur yang lama.4

2

Page 3: BAB I,II,III Insomnia

Tidur merupakan suatu proses pencegahan atau hambatan yang aktif. Stimulasi

dari beberapa area pada otak dapat memproduksi tidur, salah satunya adalah

nukleus raphe yang terdapat pada separuh bawah pons dan pada medula. Serat

saraf dari nukleus ini menyebar pada formatio retikuler batang otak dan juga

menjalar ke atas ke dalam thalamus, hipothalamus, sebagian besar sistem limbik,

dan juga serebrum, serta ke bawah menuju medula spinalis. Serotonin adalah

bahan kimia yang banyak disekresikan oleh ujung-ujung serat saraf dari neuron-

neuron ini. Serotonin diasumsikan menjadi substansi yang memproduksi atau

menghasilkan tidur karena dalam penelitian, binatang yang diberikan obat

penghambat formasi dari serotonin tidak dapat tidur beberapa hari berikutnya.

Area lain yang bila distimulasi dapat menghasilkan reaksi tidur adalah nukleus

dari traktus solitaries dan beberapa regio pada diencefalon. Dalam penelitian-

penelitan selanjutnya, diperkirakan adanya zat lain yang diasosiasikan dengan

timbulnya reaksi tidur seperti peptide muramyl yang ditemukan pada cairan

serebrospinal binatang yang tidak tidur beberapa hari dan ditemukan pula

beberapa zat lain yang belum diidentifikasi secara molekuler. Diperikirakan

keadaan terbangun yang lama mengakumulasi secara progresif faktor-faktor atau

zat-zat perangsang tidur pada cairan serebrospinal. Zat lain yang memiliki peran

dalam regulasi tidur lain adalah asetilkolin. Asetilkolin terutama memiliki dampak

pada produksi tidur fase REM. Pemberian asetilkolin pada neuron di formatio

retikuler pons menunjukkan perubahan dari keadaan terbangun menjadi tidur fase

REM.4,5

Secara elektrofisiologis, tidur terdiri dari 2 keadaan fisiologis, yaitu non-rapid eye

movement (NREM) sleep dan rapid eye movement (REM) sleep. Ada perbedaan

yang cukup signifikan antara 2 keadaan fisiologis ini. Pada keadaan NREM,

kebanyakan fungsi fisiologis ditemukan menurun bila dibandingkan pada keadaan

sadar atau bangun. Sedangkan aktivitas fisiologis dan aktivitas otak yang sama

dengan aktivitas pada keadaan sadar, ditemukan pada keadaan fisiologis tidur

REM. Jadi secara kualitatif, NREM berbeda dengan REM.5

Pada NREM, keadaan tubuh sangat diistirahatkan dan diasosiasikan dengan

menurunnya fungsi vegetatif tubuh dan resistensi vaskular di perifer. Penurunan

3

Page 4: BAB I,II,III Insomnia

tekanan darah, kecepatan napas, dan fungsi metabolik ditemukan sebanyak 10

hingga 30 persen. Mimpi dapat terjadi pada fase ini namun biasanya tidak dapat

diingat karena tidak terjadi penyimpanan pada memori. Pada REM, ada beberapa

karakteristik yang penting. REM adalah suatu bentuk tidur yang aktif dan

diasosiasikan dengan mimpi dan pergerakan otot tubuh secara aktif. Orang-orang

yang tertidur ketika dalam fase REM akan sulit dibangunkan atau dirangsang

dengan stimulus sensorik, bila dibandingkan pada NREM. Hal lain yang

membedakan REM dengan NREM adalah kecepatan nadi dan napas yang ireguler

pada REM. Karakteristik mendasar yang ditemukan pada REM adalah tingginya

aktivitas otak dan metabolisme otak yang diperkirakan meningkat sebanyak 20

persen. Pola gelombang yang ditunjukkan oleh otak melalui elektoencefalogram

menunjukkan gelombang yang sama atau mirip dengan gelombang yang

ditunjukkan ketika seseorang terbangun. Siklus tidur antara NREM dan REM

bersifat regular. Subjek masuk ke dalam fase REM setiap 90 hingga 100 menit

dan berlangsung antara 9 hingga 40 menit. Fase tidur REM mencakup 25 persen

dari total lama tidur, sementara NREM mencakup 75 persen.4,5

Pada remaja, dapat ditemukan perubahan proses fisiologis tidur dari tidur. Remaja

akan membutuhkan waktu tidur yang lebih banyak, berkurangnya waktu pada fase

tidur gelombang lambat, keterlambatan untuk masuk fase tidur REM, dan

memiliki kecenderungan kepada fase tidur yang terlambat.

2.4 Etiopatofisiologi

Pada tahun 1986, Spielman mengembangkan suatu model, yaitu model 3-P

(Predisposition, Precipitating, Perpetuating) insomnia. Model ini memberikan

konsep bahwa insomnia muncul karena adanya faktor predisposisi pada suatu

individu yang akan dicetuskan kemudian oleh suatu faktor pencetus dan kemudian

faktor penetap yang mempertahankan kondisi insomnia setelah faktor pencetus

tersebut ditiadakan atau hilang. Pertama-tama, faktor predisposisi pada satu

individu. Faktor predisposisi yang paling penting pada individu yang rentan

adalah hipotesis tentang reaktivitas terhadap suatu stres atau rangsangan saat tidur.

Menurut berbagai penilitian terkini, reaktivitas ini terbukti didapatkan pada

sejumlah individu dimana terdapat 30 persen faktor herediter. Pada penderita

4

Page 5: BAB I,II,III Insomnia

insomnia, reaktivitas ini lebih tinggi dibandingkan pada orang-orang normal.

Reaktivitas ini menjadi faktor predisposisi yang bila kemudian dilanjutkan dengan

adanya stresor, akan menyebabkan peningkatan respon saat tidur yang lama

kelamaan akan berujung pada insomnia. Beberapa studi menemukan bahwa pada

penderita insomnia dapat ditemukan adanya aktivitas yang berlebih pada sistem

saraf otonom, dan pada aksis hipotalamus-pituitari-adrenal sebagai indikator

peningkatan tingkatan rangsangan yang mendukung hipotesis dari peningkatan

reaktivitas. Penurunan tingkat kadar asam gamma-aminobutyric acid (GABA)

diduga memiliki peran dalam patofisiologi insomnia. GABA adalah suatu

neurotransmiter penghambat sistem saraf pusat yang berperan dalam meregulasi

keadaan tidur dan terbangun seseorang. Berkurangnya tingkat GABA

mengganggu penghambatan dari pusat perangsang otak, sehingga pendorong

pasien untuk tidurpun berkurang. Studi lain menggunakan alat pencitraan positron

emission tomography (PET) mengungkapkan bahwa pada proses perubahan dari

keadaan tersadar ke tidur, didapatkan adanya penurunan inhibisi aktivitas otak

pada sistem aktivasi retikuler yang menuju ke atas, hipothalamus, thalamus,

amygdala, hipokampus, insula, anterior cingulate, dan korteks prefrontal.

Penemuan ini menggambarkan sebuah aktivitas berlebih secara umum pada

stimulus, pengatur emosi, dan sistem kognitif yang berperan dalam patofisiologi

insomnia.6,7

Pada remaja, faktor predisposisi yang dimiliki adalah perubahan pola tidur yang

terjadi karena adanya perubahan irama sirkadian dimana fase tidur akan menjadi

telat. Remaja akan terjatuh tidur lebih malam dan bangun lebih terlambat pada

permulaan masa pubertas, dimana remaja akan lebih terjaga pada malam hari

sehingga sulit untuk terjatuh tidur, ketika ternyata remaja membutuhkan waktu

tidur yang lebih banyak, yaitu 9-9.25 jam. Beberapa hal yang dapat menimbulkan

hal ini adalah adanya pertambahan aktivitas inhibisi dari fase tidur REM

sepanjang hidup manusia. Pertambahan aktivitas inhibisi ini dipengaruhi oleh

adanya pertambahan aktivitas hormon-hormon inhibisi, seperti serotonergik,

noradrenergik, kolinergik, dan GABAergik. Selain hal tersebut, pubertas adalah

faktor yang mencolok pada gangguan tidur remaja. Pada masa pubertas,

ditemukan adanya penurunan kadar melatonin dalam tubuh. Melatonin adalah

5

Page 6: BAB I,II,III Insomnia

hormon yang disekresikan saat gelap yang berguna sebagai media untuk

sinkronisasi irama sirkadian untuk fungsi fisiologis seperti waktu tidur,

pengaturan tekanan darah, dan fungsi lain. Penurunan kadar melatonin dalam

tubuh membuat irama sirkadian menjadi terganggu sehingga terjadi keterlambatan

waktu tidur dan waktu bangun yang ditemukan pada remaja.8

Faktor pencetus adalah faktor berikutnya yang berperan. Insomnia dapat

dicetuskan oleh bermacam-macam faktor, seperti faktor medis, psikiatri,

psikososial, atau faktor lingkungan. Pada remaja, faktor psikososial seringkali

menjadi faktor pencetusnya. Beberapa contoh stresor faktor psikososial adalah

masalah keluarga atau disfungsi hubungan dalam keluarga, perpisahan, atau

hubungan interpersonal. Ketika stresor-stresor tersebut berakumulasi dan

berkembang selama beberapa waktu menjadi pikiran yang mengganggu dan

mendalam saat seorang individu mencoba untuk tidur dan tidak bisa

merelaksasikan diri, masalah tidur akan muncul. Kesulitan untuk tidur pada

penderita insomnia diasosiasikan dengan peningkatan reaktivitas amygdala

dimana penderita memiliki reaktivitas yang tinggi terhadap emosi negatif saat

akan tidur.6,7

Perubahan dari tanggung jawab sosial pada remaja, seperti waktu sekolah yang

lebih awal, tanggung jawab setelah jam sekolah, aktivitas-aktivitas ekstrakurikuler

dan sosial di luar jam sekolah memiliki kontribusi dan berdampak pada waktu

tidur yang berkurang dan pola tidur yang terganggu. Hal ini kemudian akan

membuat remaja merasa lelah, mengganggu fungsi dan performa kognitif,

pengendalian emosi dan kesehatan fisik yang buruk yang kemudian akan kembali

berdampak pada pola tidur remaja. Ada pula ditemukan hubungan antara insomnia

dengan onset menstruasi dimana menstruasi meningkatkan resiko akan keadaan

insomnia sehingga angka kejadian insomnia pada remaja perempuan lebih tinggi

dibandingkan dengan remaja laki-laki. Insomnia dengan pertumbuhan dimasa

pubertas memiliki hubungan yang rumit dimana gangguan tidur dipengaruhi oleh

banyak faktor baik biologis maupun sosial. Pada faktor biologis, adanya

perubahan kadar hormon testoteron dan estrogen berhubungan dengan

peningkatan resiko gangguan tidur pada remaja. Gangguan tidur yang muncul

6

Page 7: BAB I,II,III Insomnia

mengarah kepada kesulitan untuk mempertahankan tidur dan tidur yang tidak

restoratif. Pada masa siklus menstrual, aktivitas hormon serotonin, progesterone,

dan estrogen memberikan dampak inhibisi pada fase tidur. Insomnia pada masa

menstrual juga seringkali menjadi gejala sekunder dari kondisi lain. Gejala

sindrom pre-menstrual seperti nyeri, iritabilitas, frekuensi urinasi, berkeringat saat

malam hari dapat mengganggu kualitas tidur.9

Perilaku-perilaku adaptif terhadap gangguan tidur yang sudah terjadi sebelumnya

dapat membuat insomnia yang berkelanjutan meskipun faktor pencetus insomnia

tersebut sudah tidak ada. Perilaku-perilaku seperti kebiasaan tidur yang buruk,

rangsangan kognitif, merenung, konsumsi kafein atau alkohol yang berlebihan,

lama waktu di ranjang yang meningkat, tidur siang, atau perilaku higienitas tidur

yang buruk. Perilaku-perilaku ini dilakukan untuk membantu individu tersebut

tertidur ketika faktor pencetus insomnia didapatkan sebelumnya, tetapi perilaku

ini menetap menjadi kebiasaan hingga faktor pencetus tidak ada dan insomnia pun

tetap ditemukan. Salah satu faktor penetap lain yang sering ditemukan pada

remaja adalah tidur pada siang hari sebagai kompensasi. Meningkatnya frekuensi

tidur siang membuat terganggunya homeostatik tidur saat malam sehingga terjadi

gangguan tidur. Pada studi menggunakan alat pencitraan, didapatkan adanya

penurunan performa dalam menjalankan tugas neuropsikologis pada siang hari

yang diasosiasikan dengan hipoaktivasi pada area yang berhubungan dengan

penugasan, terutama pada jaringan frontosubkortikal yang dapat menjadi

penyebab atau konsekuensi dari insomnia.6,7

2.5 Manifestasi Klinis

Pola tidur pada usia remaja memiliki karakteristik ketidaksesuaian pola tidur

antara hari sekolah dan hari libur, termasuk pergeseran jam tidur malam selama

hari libur rata-rata 1 sampai 2 jam. Pola tidur yang tidak memadai pada remaja

diduga karena kombinasi dari faktor intrinsik dan ekstrinsik.10 Faktor intrinsik

meliputi perubahan perkembangan seperti pergeseran irama sirkadian selama

masa pubertas dan gangguan pernapasan saat tidur seperti obstruktif sleep apnea

(OSA). Faktor ekstrinsik antara lain waktu sekolah yang lebih awal dan kebiasaan

7

Page 8: BAB I,II,III Insomnia

tidur seperti konsumsi kafein dan penggunaan perangkat elektronik dekat waktu

tidur. Manifestasi klinis insomnia pada remaja meliputi8:

a. Keluhan adanya kesulitan memulai tidur dan mempertahankan tidur

b. Kualitas tidur yang buruk

c. Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1 bulan

d. Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan kualitas tidur yang mempengaruhi

fungsi sosial dan belajar

2.6 Diagnosis

Diagnosis insomnia pada remaja dapat dilakukan dengan metode subyektif dan

metode obyektif. Metode subyektif meliputi pertanyaan tidak terstruktur yang

meliputi kebiasaan tidur dan pertanyaan yang terstruktur seperti Sleep

Disturbances Scale for Children.9 Metode obyektif untuk mendiagnosis gangguan

tidur yaitu menggunakan Polysomnography, Actigraphy, Multiple sleep latency

test.11

Salah satu metode subyektif yang bisa digunakan untuk menilai gangguan tidur

pada remaja adalah Sleep Disturbances Scale for Children.11 Sleep Disturbances

Scale for Children terdiri dari 26 pertanyaan yang mengemukakan enam kategori

gangguan tidur yaitu (1) gangguan memulai dan mempertahankan tidur, (2)

gangguan pernapasan waktu tidur (frekuensi mengorok, apnea saat tidur, dan

kesulitan bernapas), (3) gangguan kesadaran (berjalan saat tidur, mimpi buruk dan

teror tidur), (4) gangguan transisi tidur-bangun (gerakan involunter saat tidur,

gerakan menganggukkan kepala, bicara saat tidur), (5) gangguan somnolen

berlebihan (mengantuk saat pagi dan tengah hari), (6) hiperhidrosis saat tidur

(berkeringat saat tidur).12

Metode obyektif meliputi Polysomnography, Actigraphy, Multiple sleet latency

test.11 Polysomnography merupakan baku emas penilaian stadium tidur dan

gangguan fisiologis tidur. Polysomnography diindikasikan ketika ada kecurigaan

sleep apnea dan ada gangguan pergerakan.11 Actigraphy adalah teknik

pemeriksaan menggunakan monitor aktivitas untuk merekam aktivitas selama

tidur. Actigraphy berguna dalam diagnosis gangguan tidur mispersepsi stadium

8

Page 9: BAB I,II,III Insomnia

tidur dan insomnia primer lainnya. Multiple sleep latency test digunakan untuk

mengukur level mengantuk pada siang hari.11

2.7 Penanganan

Penanganan insomnia dilakukan berdasarkan dari penyebab yang mendasari timbulnya

insomnia itu sendiri. Ada 2 jenis insomnia antara lain insomnia primer yaitu insomnia

yang terjadi tanpa didasari adanya kelainan kesehatan dan insomnia sekunder yaitu

insomnia yang terjadi karena didasari oleh masalah kesehatan. Penanganan pada kedua

jenis insomnia ini secara umum sama, namun pada insomnia sekunder harus diberikan

penangan awal berdasarkan masalah kesehatan yang mendasari timbulnya insomnia, lalu

diberikan tambahan terapi insomnia secara umum, apabila setelah diberikan penangan

tersebut penderita masih mengeluhkan insomnia. Tujuan utama terapi insomnia yaitu

meningkatkan kualitas dan kuantitas tidur, serta mengatasi daytime disfunction akibat

insomnia. Secara garis besar, penanganannya dapat dibagi berdasarkan terapi

nonfarmakologi dan terapi farmakologi.12

A. Terapi Nonfarmaklogi

1. CBT (cognitive behavioral treatment)

CBT merupakan terapi yang paling sering digunakan sebagai penanganan

nonfarmakologi terhadap insomnia, terutama pada insomnia yang bersifat kronis.

Komponen – komponen pada CBT meliputi kombinasi antara behavioral therapy

(stimulus control therapy, sleep restriction therapy, dengan/atau tanpa relaxation

therapy) yang dikombinasikan dengan cognitive therapy dan sleep hygiene

education. Komponen - komponen penting dari CBT, antara lain13.14:

Stimulus control therapy

Terapi ini bertujuan untuk membantu penderita agar dapat mencapai tidur

yang konsisten, serta memodivikasi tempat tidur dan kamar tidur agar dapat

membangun perasaan kantuk, serta mengurangi segala sesuatu yang dapat

mempengaruhi tidur. Hal-hal yang diperhatikan pada terapi ini antara

lain13,14:

a. Tidur hanya ketika merasa kantuk

b. Gunakan tempat tidur hanya untuk tidur atau sex

c. Meninggalkan tempat tidur ketika belum ada perasaan kantuk dan

tidak dapat tidur

9

Page 10: BAB I,II,III Insomnia

d. Tetap bangun pada pagi hari di waktu yang sama tanpa

memperhatikan durasi tidur pada malam sebelumnya

e. Tidak boleh tidur pada durasi waktu yang singkat (daytime naps)

Sleep restriction therapy

Merupakan terapi pembatasan waktu tidur dengan tujuan untuk mengurangi

waktu yang dihabiskan penderita ditempat tidur tetapi tidak tidur dan

menambah waktu tidur penderita, agar tidak membuang-buang waktu

tidurnya. Pada terapi ini, penderita diharuskan untuk berada ditempat tidur

hanya pada rata-rata waktu tidurnya (tidak kurang dari 4 jam) dan durasi

waktunya semakin hari semakin ditambah 15-20 menit (selama 1 minggu)

sampai mencapai durasi tidur yang optimal, serta penderita harus bangun

pada waktu yang sama setiap harinya (sesuaikan dengan waktu tidur).13

Sleep hygiene education

Merupakan terapi pemberian pembelajaran atau pendidikan mengenai faktor

lingkungan dan perilaku penderita sebelum tidur karena dapat

mempengaruhi kualitas dan kuantitas tidur penderita. Hal-hal yang

diperhatikan pada terapi ini antara lain13:

a. Mengatur jadwal waktu tidur dan bangun

b. Hindari tidur yang lama setelah begadang (tidur yang kurang) dihari

sebelumnya

c. Hindari tidur pada durasi waktu yang singkat (daytime naps) dan

menghabiskan waktu ditempat tidur tetapi tidak untuk tidur (bekerja,

telepon, internet, dll)

d. Hindari minum yang terlalu banyak dan makanan berat sebelum

tidur

e. Hindari kafein dan nikotin 4-6 jam sebelum tidur

f. Jangan menggunakan alkohol untuk membantu tertidur

g. Hindari olahraga 3 jam sebelum tidur, tetapi lakukan olahraga 4-5

jam sebelum tidur

h. Meminimalisir cahaya lampu, suara yang mengganggu dan

sesuaikan temperatur ruangan

i. Hindari melihat jam terlalu sering dan kurangi perasaan cemas

sebelum tidur

Cognitive therapy

10

Page 11: BAB I,II,III Insomnia

Merupakan terapi untuk memperbaiki dan membantu membangun pemikiran

yang realistik mengenai tidur penderita. Bertujuan untuk mengatasi siklus

insomnia, stres emosional, disfungsi pemikiran yang dapat menyebabkan

gangguan tidur. 13,14

Relaxcation therapy

Diperlukan pada penderita yang tidak dapat mengatasi perasaan cemas atau

susah merasa tenang. Ada 2 jenis teknik utama terapi relaksasi yaitu

progressive muscle relaxant dan relaxation respone.13

a. Progressive muscle relaxant

Penderita mengontraksikan otot-otot wajah 1-2 detik dan kemudian

merelaksasikan. Proses ini diulang beberapa kali dan dilakukan pada

otot-otot yang lain seperti rahang, leher, lengan atas, lengan bawah,

jari-jari, dada, perut, bokong, paha, betis dan kaki.

b. Relaxation respone

Dimulai dengan menempatkan penderita pada posisi yang nyaman.

Dengan mata tertutup, penderita merelaksasikan tubuh secara

keseluruhan dan bernafas dengan rileks.

2. Terapi cahaya (Bright light Therapy)

Pada penelitian-penelitian sebelumnya dikatakan bahwa terapi cahaya telah

banyak digunakan sebagai penanganan yang sangat efektif pada penderita dengan

gangguan tidur terutama pada orang dewasa, namun baru beberapa penelitian

yang mengatakan bagus digunakan pada remaja. Kontraindikasi terapi ini adalah

hipersensitivitas pada mata atau kulit, atau sedang memakai obat yang

meningkatkan resiko fotosensitivitas dan gangguan bipolar. Lampu dinyalakan

dan penderita dapat terlibat dalam kegiatan apapun yang diinginkan, seperti

membaca, menulis, makan, mendengarkan musik atau kegiatan lain yang dapat

dilakukan. Kepala dan tubuh diposisikan sehingga menghadap cahaya sedangkan

mata tetap terbuka. Hindari melihat cahaya secara langsung. Fokus pada kegiatan

yang dilakukan di bawah cahaya bukan pada cahaya itu sendiri.

Pemberian terapi cahaya dikombinasikan dengan CBT telah diteliti efektif untuk

penangan insomnia, terutama insomnia kronis. Pada penelitian yang dilakukan

dengan sample 23 remaja insomnia yang sehat tanpa ada kelainan kesehatan

menunjukkan adanya peningkatan terhadap kualitas tidur penderita, namun

ketaatan terapi pada remaja merupakan suatu tantangan.14

11

Page 12: BAB I,II,III Insomnia

B. Terapi Farmakologi

Pada penanganan ini, ada beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain: tidak

diperbolehkan meningkatkan dosis obat dan gunakan dosis seminimal mungkin,

digunakan berselang-seling, hindari penggunaan jangka panjang, serta perlu dilakukan

follow up berkala untuk mengetahui efektifitas obat dan kemungkinan timbulnya efek

samping yang tidak diinginkan.13 Beberapa jenis obat yang sering digunakan antara

lain:

1. Benzodiazepine

Merupakan obat yang paling sering digunakan pada penderita insomnia. Efektif

pada penanganan insomnia jangka pendek (memperpanjang fase tidur stage 2,

memperpanjang waktu tidur dan mengurangi fase REM), mengurangi kecemasan,

namun memiliki efek melemahkan otak, dan menimbulkan kejang. Penanganan

ini hanya boleh digunakan 4-6 minggu karena penggunaan jangka panjang dapat

mempengaruhi kebiasaan sehari-hari dan menimbulkan withdrawal symptoms

(gejala putus obat) dan menimbulkan toleransi terhadap efek hipnotis pada

penggunaan berulang, serta dapat menimbulkan rebound insomnia apabila

dihentikan secara tiba-tiba. Ada 3 pembagian jenis obat yang biasa digunakan

yaitu short-acting (triazolam), intermediate-acting (estazolam, temazepam) dan

long-acting (flurazepam, quazepam).13

Benzodiazepin merupakan obat yang menggunakan GABA sebagai mediatornya.

GABA (gamma-aminobutyric acid) adalah inhibitor utama neurotransmiter di

susunan saraf pusat (SSP). Reseptor Benzodiazepin berikatan dengan reseptor

subtipe GABAA (pengatur tidur). Berikatan dengan reseptor agonis yang

menyebabkan masuknya ion klorida dalam sel, yang menyebabakan

hiperpolarisasi dari membran postsimpatik, dimana dapat membuat neuron ini

resisten terhadap rangsangan. Dengan cara demikian obat ini memfasilitasi efek

inhibitor dari GABA sehingga meningkatkan efek GABA dan menghasilkan efek

sedasi, tidur dan berbagai macam efek seperti mengurangi kegelisahan dan

sebagai muscle relaxant. Reseptor benzodiazepin dapat ditemukan di otak dan

medula spinalis, dengan densitas tinggi pada korteks serebral, serebelum dan

Hipokampus, serta densitas rendah pada medula spinalis.15

2. Benzodiazepine-like hypnotics

Merupakan obat hipnotik yang memiliki struktur dan efek yang sama dengan

benzodiazepine, yaitu untuk memperlambat waktu bangun tidur dan

12

Page 13: BAB I,II,III Insomnia

meningkatkan durasi tidur. Bekerja pada mediator yang sama dengan

benzodiazepine yaitu GABAA. Obat yang biasa digunakan antara lain

escozopiclone dan zaleplon.13,15

3. Benzodiazepine-like hypnotics (cont’d)

Merupakan obat hipnotik dengan struktur yang berbeda dengan benzodiazepine

namun memiliki efek yang sama. Bekerja pada mediator yang sama dengan

benzodiazepine yaitu GABAA. Obat yang biasa digunakan antara lain zolpidem

dan zopiclone.13,15

4. Melatonin receptor agonist

Merupakan obat yang hampir sama dengan melatonin namun hanya bekerja pada

receptor MT1 dan MT2 yang memiliki efek pada pengaturan tidur. Obat yang

biasa digunakan yaitu ramelteon. Ramelteon merupakan melatonin reseptor

agonis dengan selectivitas yang tinggi terhadap reseptor MT1 dan MT2 di

nucleus suprasiasma di hipotalamus. Reseptor ini dipercaya dapat memberikan

efek tertidur dan memelihara ritme sirkadian. Waktu paruh obat ini pendek yaitu

berkisar 1-6 jam, sehingga cocok untuk sleep-onset insomnia atau sleep-

maintenance insomnia. Ramelteon secara signifikan meningkatkan total waktu

tidur pada insomnia kronis. Dosis yang direkomendasikan yaitu 8mg. Obat ini

tidak memberikan efek samping seperti benzodiazepine, seperti rebound

insomnia dan withdrawal symptomps.16

5. Agen lain:

Antidepressants

TCAs (Tricyclic antidepressant) seperti amitripilin dengan dosis rendah

telah banyak digunakan untuk mengobati insomnia yang disertai depresi.

Pada pemberian kombinasi dosis rendah trazodone (triazolopiridin

antidepressant) dengan antidepressant lain dosis tinggi menunjukkan

peningkatan kualitas dan durasi tidur pada penderita insomnia dengan

gangguan depresi. Obat ini jarang digunakan untuk penderita insomnia yang

tidak disertai depresi.13

Antihistamines

Umumnya tidak begitu efektif dibandingkan benzodiazepine, namun dapat

menyebabkan efek kantuk dan tidak direkomendasikan untuk penderita

dengan insomnia kronis.13

Melatonin

13

Page 14: BAB I,II,III Insomnia

Melatonin adalah hormon yang dibentuk di glandula pineal, yaitu sebuah

kelenjar yang hanya sebesar kacang tanah yang terletak di antara kedua sisi

otak. Hormon ini mempunyai fungsi yang sangat khas karena produksinya

dipicu oleh gelap dan hening tetapi dapat dihambat oleh sinar yang terang.

Penelitian oleh American Academy of Child and Adolescent Psychiatry

Survey, menunjukkan bahwa obat ini cukup baik digunakan pada remaja

yang menderita gangguan tidur. Penelitian tersebut mengatakan pada sampel

anak pubertas usia 6-12 tahun dengan gangguan tidur yang diberikan

Melatonin, dengan dosis rata-rata 2,69 mg pada pemberian 3,1 tahun tidak

ditemukan adanya gangguan proses pubertas dan perubahan mental

penderita.16

2.8 Prognosis

Informasi mengenai prognosis pada pasien insomnia sangat sedikit, namun banyak yang

mengatakan kompliksi dari insomnia ini membuat penderita merasa kekurangan tidur,

peningkatan kewaspadaan ataupun berujung pada penggunaan obat perangsang kantuk.

Ditemukan juga beberapa populasi orang mengidap depresi dan gangguan kesemasan

diakibatkan oleh insomnia.17

14

Page 15: BAB I,II,III Insomnia

BAB III

PENUTUP

Insomnia adalah persepsi atau keluhan tentang waktu tidur yang tidak cukup dan

kualitas tidur yang rendah karena sejumlah faktor, seperti sulit tidur, sering

terbangun pada malam hari dengan kesulitan kembali tidur dan dapat

menyebabkan masalah pada siang hari, seperti kelelahan , kekurangan energi ,

sulit berkonsentrasi , dan mudah tersinggung. Penelitian Ohayon menunjukkan

bahwa prevalensi gangguan tidur pada remaja bervariasi antara 6 sampai 39% dan

sekitar setengahnya termasuk insomnia primer. Penelitian Ohayon juga

menunjukkan bahwa prevalensi insomnia primer pada remaja lebih sering dialami

remaja perempuan dibandingkan dengan remaja laki-laki dengan persentase 3,4%

dan 1,2%.

Diagnosis insomnia pada remaja dapat dilakukan dengan metode subyektif dan

metode obyektif. Metode subyektif meliputi pertanyaan tidak terstruktur yang

meliputi kebiasaan tidur dan pertanyaan yang terstruktur seperti Sleep

Disturbances Scale for Children. Metode obyektif untuk mendiagnosis gangguan

tidur yaitu menggunakan Polysomnography, Actigraphy, Multiple sleep latency

test.

Penanganan insomnia dilakukan berdasarkan dari penyebab yang mendasari

timbulnya insomnia itu sendiri. Tujuan utama terapi insomnia yaitu meningkatkan

kualitas dan kuantitas tidur, serta mengatasi daytime disfunction akibat insomnia.

Secara garis besar, penanganannya dapat dibagi berdasarkan terapi

nonfarmakologi dan terapi farmakologi. Terapi nonfarmakologi meliputi CBT

(cognitive behavioral treatment), terapi cahaya (Bright light Therapy) dan terapi

farmakologi dapat diberikan Benzodiazepine ataupun antidepressants

15