bab iv analisa dan pembahasan 4.1 gambaran umum pt. …
TRANSCRIPT
29 Universitas Kristen Petra
BAB IV
ANALISA DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum PT. Indo Furnitama Raya
PT. Indo Furnitama Raya adalah produsen Woodworking dan Plywood
yang terletak di Desa Gerongan Kraton Pasuruan, Jawa Timur. PT. Indo
Furnitama Raya dimulai sebagai sebuah bisnis keluarga pada tahun 1924, dengan
Bapak Abdurachman Assegaff sebagai Presiden Direktur dan terkenal dengan
nama pendeknya IFURA. PT. Indo Furnitama Raya memiliki lebih dari 150
anggota staf termasuk QC dan R & D staf, dan lebih dari 2000 pekerja produksi
di dua pabrik itu dengan luas area pabrik mencakup 90.000 meter persegi. Dengan
pengalaman dan teknologi yang di miliki, PT. IFURA berhasil di pasar lokal
maupun ekspor dan juga menjalin hubungan yang solid dengan pembeli di Eropa,
Jepang, Timur Tengah, Australia, dan Amerika. PT. IFURA memiliki varian
produk yang lebih banyak untuk ditawarkan kepada pelanggan dengan
menggunakan bahan baku baik kayu keras seperti Merbau, Nyato, Meranti dan
juga jenis kayu lunak (sengon). Berbagai macam produk yang dihasilkan pada
divisi Woodworking meliputi : Decking , Flooring Padat , Finger Jointed dan
Laminated. Untuk divisi Plywood, PT. IFURA memproduksi kayu lapis,
barecore, dan blockboard. PT. IFURA memiliki prinsip bahwa kepercayaan
merupakan dasar dari hubungan bisnis yang baik yaitu dengan menunjukkan
komitmen tinggi pada pelestarian pertumbuhan bisnis jangka panjang melalui
kualitas tinggi dari produk yang dihasilkan dan konsistensi operasi dan di tambah
dengan harga yang kompetitif untuk mencocokkan dengan kondisi pasar yang
selalu berubah, PT. IFURA telah mampu mengembangkan spesialisasi sendiri
dalam rangka memenuhi kebutuhan klien. Tujuan utama dari PT. IFURA adalah
untuk memberikan semua klien kepuasan 100 % dengan perusahaan dan produk
yang berkualitas tinggi.
30 Universitas Kristen Petra
4.2 Visi, Misi, dan Value PT. Indo Furnitama Raya
Di bawah ini adalah Visi, Misi, dan Value yang telah di tetapkan oleh
manajemen PT. Indo Furnitama Raya :
4.2.1 Visi PT. Indo Furnitama Raya
Visi dari PT. Indo Furnitama Raya adalah :
“Terus tumbuh dan berinovasi menjadi perusahaan kayu kelas dunia”
Pengertian tiap komponen penting dalam visi tersebut adalah :
Terus tumbuh : Terus berusaha untuk menambah kapasitas dan
pangsa pasar.
Berinovasi : Terus mencari peluang variasi produk yang
menjanjikan.
Kelas dunia : Tertata dengan baik dengan mengutamakan
transparansi, kepatuhan hukum, dan pengembangan yang
berkelanjutan.
4.2.2 Misi PT. Indo Furnitama Raya
Misi dari PT. Indo Furnitama Raya adalah :
“Memberikan produk kayu terbaik Indonesia kepada pengembang
internasional, dengan ikut serta mengembangkan komunitas domestik”
Dalam misi yang di jalani oleh PT. Indo Furnitama Raya terdapat 3
komponen utama yaitu :
a. Tujuan Perusahaan :
Ikut mengembangkan komunitas pabrik lokal
Menjadi tempat mencari nafkah bersama
Memanfaatkan potensi alam Indonesia
31 Universitas Kristen Petra
b. Proses inti perusahaan :
Pengolahan kayu terintegrasi
Produksi kayu massal
c. Pelanggan perusahaan :
Pengembang perumahan internasional
Pembangunan rumah lokal
4.2.4 Value PT. Indo Furnitama Raya
Value dari PT. Indo Furnitama Raya adalah :
a. Perbaikan terus menerus : Tidak pernah puas dan terus mencari ide-ide
untuk perbaikan dan peningkatan proses.
b. Kerja sama: Dengan tanggung jawab masing-masing untuk mencapai satu
tujuan perusahaan.
c. Tanggap : Bertindak cepat dan solutif dalam menyelesaikan permasalahan
yang terjadi dalam perusahaan.
d. Menghormati sesama : Saling menghormati antara rekan kerja, pembeli,
supplier, dan seluruh pihak yang berkaitan.
e. Kepemimpinan : Bisa mempengaruhi (memimpin) orang lain ke arah yang
lebih baik.
f. Integritas : Apapun yang saya lakukan akan saya lakukan dengan sebaik
mungkin.
32 Universitas Kristen Petra
4.3 Proses Produksi Pembuatan Plywood Pada PT. Indo Furnitama Raya
Proses produksi pembuatan plywood pada PT. Indo Furnitama Raya
terbagi dalam 2 section yaitu Veneer Section dan Assembly Section dimana Veneer
section di bagi dalam 2 proses yaitu proses pembuatan Face/Back dan proses
pembuatan Core. Di bawah ini akan di jelaskan tahap-tahap proses produksi
plywood pada PT. Indo Furnitama Raya :
4.3.1 Veneer Section
Pada Veneer section di bagi dalam 2 proses yaitu proses pembuatan
Face/back dan proses pembuatan Core. Pada ke dua proses ini memiliki tahapan
proses yang sama dan yang membedakannya adalah kualitas kayu untuk face/back
lebih baik di bandingkan untuk corenya. Di bawah ini adalah tahapan proses
pembuatan Core :
Proses Pembuatan Core Tabel 4.1 Tahapan Proses Pembuatan Core
No Langkah Proses Produksi Gambar
1. Proses awal kayu log setelah di
potong direndam dalam air untuk
menghilangkan kotoran dan
sampah yang melekat pada kayu
seperti pasir dan batu agar ketika
di kupas pada mesin rotary pisau
tidak cepat tumpul/aus.
2. Proses selanjutnya adalah kayu
log tersebut di kupas kulitnya
dengan mengunakan mesin
rotary 4’
33 Universitas Kristen Petra
No Langkah Proses Produksi Gambar
3. Hasil kupasan kulit kayu dari
mesin rotary tersebut berupa
lembaran dan ada juga yang ada
yang patah-patah. Hasil kupasan
yang lembaran kemudian di
potong sesuai dengan ukuran
untuk Core nya pada meja
potong dan hasil yang patah di
potong untuk di rapikan bagian
pinggirnya
4. Setelah di potong lembaran core
tersebut di masukan dalam mesin
press dryer untuk di keringkan
dengan tujuan mengurangi kadar
air untuk corenya yaitu menjadi
12-14% MC. Untuk spot mata
kayu toleransi sampai 16%.
Dengan suhu 100°c selama 110
detik.
5. Proses selanjutnya adalah proses
repair/ memperbaiki cacat pada
lembaran corenya seperti ada
mata kayu di potong dan di
tambal (patching) dan untuk
lembaran corenya yang patah-
patah di sambung (joint) dengan
gumme tape secara manual oleh
operator.
34 Universitas Kristen Petra
No Langkah Proses Produksi Gambar
6. Untuk lembaran core yang
patah di sambung/ di joint
dengan mengunakan mesin
joint mengunakan benang dan
lem
7. Proses terakhir adalah setting
dimana lembaran core yang
telah selesai di repair di susun
dan dipilah sesuai gradenya
berdasarkan kualitas dari core
itu sendiri.
Proses Pembuatan Face/Back Tabel 4.2 Tahapan Proses Pembuatan Face/back
No. Langkah proses produksi Gambar
1. Langkah pertama adalah kayu
log di rendam dulu untuk
menghilangkan pasir atau batu
yang menempel pada kayu log
agar ketika di kupas tidak
membuat pisau mesin roll up
menjadi tumpul/aus
35 Universitas Kristen Petra
No Langkah Proses Produksi Gambar
2. Setelah di rendam kayu log
tersebut di kupas kulitnya pada
mesin roll up 9’
3. Hasil kayu log yang telah di
kupas kulitnya selanjutnya di
masukan ke mesin spindel
untuk di kupas menjadi
lembaran veneer untuk
face/back.
4. Hasil kupasan berupa lembaran
di potong dengan mesin clipper
sesuai ukuran.
36 Universitas Kristen Petra
No Langkah Proses Produksi Gambar
5. Setelah di potong dimasukan ke
dalam mesin press dryer untuk
mengeringkan lembaran face/
back dengan tujuan mengurangi
kadar air menjadi 12-14% MC
dan untuk spot mata kayu
toleransi kadar airnya 16%.
6. Langkah terkahir setelah di
keluarkan dari mesin press
dryer adalah di repair untuk
yang mata kayu di potong dan
di tambal (patching) dan untuk
yang patah-patah di joint
dengan gume tape dan setelah
itu di setting atau disusun
berdasarkan kualitas face
/backnya untuk masing-masing
grade.
4.3.2 Assembly Section
Assembly section merupakan proses perakitan face, back, dan core menjadi
sebuah lembaran plywood. Untuk proses assembly section ini terdiri dari lima
tahapan proses yaitu :
37 Universitas Kristen Petra
Tabel 4.3 Tahapan Proses Assembly Section No Langkah Proses Produksi Gambar
1. Langkah pertama adalah
pelaburan lem melalui mesin
Glue Spreader. Pada mesin ini
lembaran core di masukan pada
mesin glue yang di lewatkan
pada roll yang telah di lumuri
lem yang kemudian keluar dari
mesin dan di susun/ di tata oleh
operator untuk pengabungan
dengan bagian face/backnya.
2. Proses selanjutnya adalah pada
mesin cold press yaitu untuk
merekatkan lem dengan tekanan
sebesar 110 kg/cm2 selama 30
menit.
3. Setelah di press pada mesin
cold press maka selanjutnya
akan di repair/diperbaiki jika
ada cacat dari ke dua proses
sebelumnya.
38 Universitas Kristen Petra
No Langkah Proses Produksi Gambar
4. Proses selajutnya setelah di
repair adalah pada mesin Hot
press dimana lembaran plywood
di masukan ke dalam mesin hot
press untuk di press dengan
mengunakan panas 100°c
selama 110 detik
5. Setelah dari mesin hot press
selanjutnya akan di potong dan
dirapikan sisi-sisinya pada
mesin double sizer
6. Setelah di rapikan maka proses
selanjutnya akan di amplas agar
permukaannya halus dengan
mesin sanding
7. Proses terakhir adalah grading
dan inspeksi dimana pada
proses ini produk plywood di
grading sesuai kualitasnya
sekaligus di inspeksi oleh
grader
39 Universitas Kristen Petra
4.4 Tahapan DMAIC
Di bawah ini akan dijelaskan tahapan-tahapan dalam siklus DMAIC pada
PT. IFURA guna perbaikan dan peningkatan kualitas prose produksi plywood
untuk ukuran 2,7 mm FALCATA grade UTY :
4.4.1 Tahap Define
Tahap Define merupakan langkah pertama dalam siklus DMAIC. Pada
tahap define ini langkah-langkah yang di lakukan adalah menentukan
permasalahan yang terjadi pada PT. IFURA, memilih obyek yang diteliti,
membuat peta proses, diagram SIPOC, dan menentukan Critical to Quality
(CTQ).
a. Mendefinisikan Masalah
Permasalahan yang terjadi pada PT. IFURA adalah tingginya produk
plywood untuk grade UTY-1 sebagai hasil downgrade dari grade UTY
karena adanya cacat pada produk akhir sehingga tidak memenuhi
standar untuk dapat diekspor dimana hal tersebut tentu saja akan
merugikan perusahaan karena untuk produk grade UTY yang
seharusnya dapat di ekspor dan di jual dengan harga yang lebih tinggi
tapi karena adanya cacat maka produk tersebut harus di downgrade ke
UTY-1 dimana untuk grade UTY-1 hanya dapat di jual di pasar lokal
dengan harga yang lebih murah. Di bawah ini akan di sajikan data
hasil produksi selama tiga bulan terakhir :
Tabel 4.4 Data Produksi Plywood 2,7mm FALCATA
Ukuran 2.7mm.FALCATA
Jan-14 Feb-14 Mar-2014 PCS % PCS % PCS %
Total 57010 102902 77613
BB/CC 0 0,00% 0 0,00% 0 0,00% UTY 9228 16,19% 8879 8,63% 6105 7,87% UTY-1 43400 76,13% 86555 84,11% 68429 88,17% Reject 4382 7,69% 7468 7,26% 3079 3,97%
- 100,00%
- 100,00% 100%
40 Universitas Kristen Petra
b. Menentukan obyek penelitian
Obyek yang diambil dalam penelitian ini adalah PT. Indo Furnitama
Raya. Penelitian ini difokuskan pada produk plywood dengan ukuran
2,7mm FALCATA untuk grade UTY yang berbahan dasar kayu
sengon dan merupakan produk yang rutin di produksi untuk di ekspor
sebagai bahan dasar pembuatan furniture rumah tangga.
c. Membuat Peta Proses (Process Mapping)
Process Mapping merupakan pemetaan atau gambaran proses secara
umum dalam suatu perusahaan. Pemetaan proses biasanya
mengunakan IDEF (International Definition). Di bawah ini adalah
IDEF 0 level 0 yang mengambarkan proses utama pada PT. IFURA :
Gambar 4.1 Peta proses IDEF 0 level 0
IDEF 0 level 0 di atas mengambarkan proses utama pada PT. IFURA
dimana informasi dan data demand dari bagian marketing dipakai
sebagai acuan untuk menentukan perencanaan produksi dan kemudian
produk akhirnya di grading untuk penentuan grade plywood. Untuk
proses produksi secara rincinya dapat di lihat pada IDEF 0 level 1 di
bawah ini :
41 Universitas Kristen Petra
Gambar 4.2 Peta Proses Veneer Section untuk Core
Gambar 4.3 Peta Proses Veneer Section untuk Face and Back
Proses produksi pada PT. IFURA terbagi dalam 2 section yaitu veneer
section dan assembling section. Veneer section terbagi lagi dalam 2
section yaitu core section dan face and back section. Veneer section
merupakan proses awal di mana bahan mentah kayu log di kupas
menjadi lembaran pada mesin rotary dan kemudian di press pada
mesin press dryer untuk mengurangi kadar airnya, lalu disortir apabila
ada cacat langsung di repair, dan yang tidak cacat langsung di setting/
disusun urutan face/back nya dan setelah itu baru dikirim ke gudang
raw timber. Untuk proses veneer section antara core section dan face
and back section memiliki tahapan proses yang hampir sama.
42 Universitas Kristen Petra
Gambar 4.4 Peta Proses Assembly Section
Setelah veneer section, tahap berikutnya adalah assembling section,
pada tahap ini lembaran-lembaran core dari proses veneer di masukan
ke mesin glue spreader untuk di laburi lem lalu di susun menjadi satu
kesatuan dengan bagian face dan backnya oleh operator, setelah itu di
lanjutkan ke mesin cold press untuk di press dengan tujuan
merekatkan lemnya, jika ada cacat maka langsung di repair, jika tidak
maka di teruskan ke mesin hot press, pada mesin hot press ini di press
dengan panas 100°c selama 110 detik dengan tujuan lemnya menjadi
matang, lalu setelah itu di lanjutkan ke mesin double sizer untuk di
potong atau di rapikan sisi-sisi sampingnya agar rata dan presisi, dan
proses terakhirnya adalah proses sanding yaitu proses pengamplasan
untuk bagian permukaan dan belakangnya sehingga menjadi lebih
halus dan setelah itu produk akhir tersebut di grading oleh grader
sesuai kualitasnya.
43 Universitas Kristen Petra
Pada proses produksi plywood untuk ukuran 2,7mm FALCATA, jenis
cacat yang sering terjadi adalah :
Tabel 4.5 Jenis Cacat dan Pengertiannya
No.
Jenis cacat Keterangan Gambar
1. Core lap Cacat ini di identifikasi dengan
melihat letak antar layer yang
saling tumpang tindih atau
adanya gelombang sehingga
menyebabkan permukaannya
menjadi tidak rata.
2. Core hole Cacat ini hampir mirip dengan
core lap hanya saja cacat ini di
identifikasi dengan adanya
pecahan pada bagian core nya
sehingga beresiko untuk patah.
3. Press mark Cacat ini merupakan cacat yang
terjadi pada mesin Hot press
karena hasil pengepressan yang
tidak rapi yang di sebabkan oleh
adanya sampah, sisa kayu, atau
benda keras yang menempel
pada permukaan layer
4. Noda/flek Cacat ini terjadi pada mesin Hot
Press dimana terdapat noda/flek
hitam pada permukaan layer
yang di sebabkan karena
kebocoran platen sehingga
menyebabkan keluarnya uap air
dan mengenai permukaan layer
44 Universitas Kristen Petra
d. Menentukan Critical to Quality (CTQ)
Langkah selanjutnya setelah process mapping adalah menentukan
Critical to Quality (CTQ). Critical to Quality di gunakan untuk
menentukan aspek-aspek penting yang berkaitan dengan kebutuhan
atau permintaan pelanggan. Penentuan Critical to Quality (CTQ) pada
PT. IFURA di dasarkan pada ketentuan standar ekspor menurut standar
mutu JAS (Japanese Agriculutural Standar) karena plywood
merupakan bahan komoditi yang sudah standar sehingga melalui
standar JAS ini sudah mewakili apa yang menjadi permintaan
konsumen. Standar JAS ini di jadikan sebagai acuan dalam pembuatan
grading rule pada PT. IFURA untuk produk plywoodnya. Grading rule
tersebut berisikan kriteria cacat untuk masing-masing grade plywood
yaitu untuk grade UTY dan UTY-1 . Standar mutu JAS ini banyak di
pakai sebagai standar acuan untuk mengekspor plywood ke Timur
Tengah dan ke kawasan Asia seperti Jepang. Berikut adalah Critical to
Quality dan jenis cacat pada proses produksi plywood pada PT. IFURA
yang disusun berdasarkan standar JAS :
Tabel 4.6 Critical to Quality dan Jenis Cacat Proses Critical to Quality Jenis Cacat
Glue spreader Kesan tidak rata di permukaan harus sedikit maks. 4 buah
Core Hole
Permukaan yang tidak rata maks. Lebar 1 cm panjang 40 cm, maks 2 buah dan tidak botak
Core Lap
Hot Press Cacat bulat maks. 5mm dan cacat persegi 2mmx300mm dan kedalaman 2 mm, harus di dempul dan di amplas halus
Press Mark
Tidak mencolok Noda/flek
45 Universitas Kristen Petra
e. Diagram SIPOC
SIPOC diagram merupakan salah satu tools dari Six Sigma yang
digunakan untuk memahami proses yang ingin di tingkatkan. SIPOC
diagram membantu untuk mengetahui alur proses bisnis mulai dari
pemasok (suplier) sampai ke customer. Di bawah ini akan di sajikan
diagram SIPOC pada PT. IFURA :
Tabel 4.7 Diagram SIPOC Supplier Input Process Output Customer
Supplier
kayu lokal
Kayu log Veneer
section :
- Roll Up
- Spindel
- Clipper
- Press dryer
- Sortir
- Gudang
Assembly
section :
- Glue
spreader
- Cold press
- Hot Press
- Double sizer
- Sanding
- Grading
Plywood
2,7mm
Distributor
Supplier oli Oli hidrolis Agent ekspor
Suplier
gumme tape
dan railing
tape
Lem Retailer
Supplier
peralatan
produksi
Resin
Tepung
industri
Gumme
tape
railing tape
Berdasarkan diagram SIPOC diatas yang menjadi fokus perbaikan
adalah pada Assembly section yaitu pada proses Glue spreader dan Hot
press karena pada ke dua proses ini sering terjadi cacat dan
menyumbangkan jumlah cacat terbanyak dalam proses produksi.
46 Universitas Kristen Petra
4.4.2 Tahap Measure
Pada tahap Measure ini akan di tampilkan diagram pareto dan perhitungan
nilai DPO,DPMO, dan nilai sigma untuk mengetahui proses produksi yang
berjalan pada PT. IFURA.
a. Diagram Pareto
Diagram pareto merupakan diagram batang yang menggambarkan suatu
permasalahan berdasarkan frekuensi kejadian. Konsep pareto mengatakan
bahwa 80% gangguan berasal dari 20% masalah yang ada. Di bawah ini
akan di sajikan diagram pareto untuk empat jenis cacat yang paling sering
muncul selama tiga bulan terakhir berdasarkan data yang diperoleh dari
PT. Indo Furnitama Raya : Tabel 4.8 Jumlah Cacat Bulan Januari 2014
Jumlah cacat (pcs) Persen (%) Akumulasi (%) Core lap 18750 76,01 76 Core hole 4261 17,27 93 Noda/flex 1132 4,59 98 Press mark 525 2,13 100 24668 100
Berdasarkan data jumlah cacat pada bulan Januari 2014 diatas
maka di sajikan diagram pareto seperti dibawah ini :
Gambar 4.5 Diagram Pareto Jumlah Cacat Januari 2014
Core lap Core hole Noda/flex Press mark
Jumlah cacat (pcs) 18750 4261 1132 525Akumulasi (%) 76 93 98 100
0
20
40
60
80
100
0
5000
10000
15000
20000
Jum
lah
caca
t (pc
s)
Januari 2014
47 Universitas Kristen Petra
Berdasarkan diagram pareto diatas dapat dilihat bahwa cacat
tertinggi pada bulan Januari 2014 pada PT. IFURA adalah cacat core lap
yang mencapai 18750 pcs atau sebesar 76,1% dan cacat ke dua terbesar
adalah core hole yaitu berjumlah 4261 pcs atau sebesar 17,27%, cacat ke
tiga terbesar adalah noda/flek sebesar 1132 pcs atau 4,59%, dan untuk
cacat press mark berjumlah 525 pcs atau 2,13%.
Di bawah ini akan disajikan tabel jumlah cacat pada PT. Indo
Furnitama Raya untuk bulan Februari 2014 :
Tabel 4.9 Jumlah Cacat Bulan Februari 2014 jumlah cacat (pcs) Persen (%) Akumulasi (%) Core lap 71981 94,57 95 Noda flex 2006 2,64 97 Press mark 1431 1,88 99 Core hole 693 0,91 100 76111
Berdasarkan data jumlah cacat pada bulan Februari 2014 diatas
maka dibuat diagram pareto seperti dibawah ini :
Gambar 4.6 Diagram Pareto Jumlah Cacat Februari 2014
core lap noda flex
press mark
core hole
jumlah cacat (pcs) 71981 2006 1431 693Akumulasi (%) 95 97 99 100
0102030405060708090100
01000020000300004000050000600007000080000
Jum
lah
caca
t (pc
s)
Februari 2014
48 Universitas Kristen Petra
Diagram pareto untuk bulan Februari 2014 diatas cacat tertinggi
adalah core lap yaitu berjumlah 71981 pcs atau sebesar 94,5%, cacat
terbesar ke dua adalah noda/flek yaitu sebesar 2006 pcs atau sebesar
2,64%, cacat terbesar berikutnya adalah press mark sebesar 1431 pcs atau
1,88% dan cacat terendah adalah core hole yaitu berjumlah 693 pcs atau
0,9%.
Di bawah ini akan disajikan tabel jumlah cacat pada PT. Indo
Furnitama Raya untuk bulan Maret 2014 : Tabel 4.10 Jumlah Cacat Bulan Maret 2014
Jumlah Defect (pcs) Persen (%) Akumulasi (%) Core lap 36246 89 89 Noda/flex 3566 9 98 Press mark 1130 3 100 Core hole 0 0 100 40942
Berdasarkan data jumlah cacat pada bulan Maret 2014 diatas maka
dibuat diagram pareto seperti dibawah ini
Gambar 4.7 Diagram Pareto Jumlah Cacat Maret 2014
Core lap
Noda/flex
Press mark
Core hole
Jumlah Defect (pcs) 36246 3566 1130 0Akumulasi (%) 89 97 100 100
0102030405060708090100
05000
10000150002000025000300003500040000
Jum
lah
caca
t (pc
s)
Maret 2014
49 Universitas Kristen Petra
Untuk bulan Maret 2014 dapat di lihat bahwa cacat tertinggi adalah
core lap yaitu berjumlah 36246 pcs atau sebesar 89%, cacat ke dua
terbesar adalah noda/flex sebesar 3566 pcs atau 9%, cacat terbesar
berikutnya adalah press mark sebesar 1130 atau 3%, dan untuk cacat core
hole tidak terjadi pada bulan Maret ini atau nol.
Berdasarkan diagram pareto dari bulan Januari sampai Maret 2014
dapat dilihat bahwa untuk cacat core lap terjadi peningkatan yang cukup
drastis dari bulan Januari ke Februari 2014 yaitu dari 18750 pcs menjadi
71981 pcs tapi pada bulan Maret 2014 turun menjadi 36246 pcs.
Berdasarkan data tersebut dapat dilihat bahwa kurangnya konsistensi dari
operator produksi menyebabkan jumlah cacat yang terjadi kadang
meningkat dan kadang juga bisa menurun.Untuk cacat Core hole dari
bulan Januari sampai Maret 2014 terjadi penurunan yang cukup signifikan
yaitu dari 4261 pcs pada bulan Januari menjadi 693 pcs pada bulan
Februari dan menjadi 0 pcs pada bulan Maret. Hal ini dapat terjadi karena
operator yang sudah baik dalam penataan atau bisa juga karena kualitas
material core yang sudah baik atau bisa juga karena kualitas repair yang
sudah baik sehingga cacat tersebut dapat berkurang.
Untuk cacat noda/flek dari bulan Januari sampai Maret 2014 terjadi
peningkatan yaitu pada bulan Januari sebesar 1132 pcs, bulan Februari
2006 pcs, dan bulan Maret 3566 pcs. Peningkatan jumlah cacat ini dapat
disebabkan lebih disebabkan karena faktor performa mesin yang kurang
baik atau terjadi kerusakan pada mesin tetapi masih di pakai untuk
produksi. Untuk cacat press mark pada bulan Januari sebesar 525 pcs,
meningkat pada bulan Februari menjadi 1431 pcs, dan pada bulan Maret
turun menjadi 1130 pcs. Naik turunnya jumlah cacat press mark ini lebih
disebabkan karena kurang konsistensi dari operator pada mesin hot press
dalam membersihkan platen tempat memasukan plywood sehinga masih
ada sisa kotoran kayu atau serat kayu yang menempel yang ikut di press
sehingga menyebabkan terjadinya cacat press mark.
50 Universitas Kristen Petra
b. Perhitungan DPO, DPMO, dan Nilai Sigma
Perhitungan nilai sigma dan DPMO dilakukan dengan mengunakan
calculator six sigma. Perhitungan ini bertujuan untuk melihat nilai sigma
untuk setiap proses produksi pada PT. IFURA sebelum diterapkan
perbaikan.
Departemen Glue Spreader (Pelaburan Lem)
Data jumlah cacat yang digunakan untuk perhitungan nilai DPO, DPMO,
dan nilai sigma ini adalah data jumlah cacat mulai tanggal 4 Maret 2014
sampai 23 Maret 2014 di PT. Indo Furnitama Raya pada shift pagi yaitu
dari jam 07.30-15.30 WIB :
Tabel 4.11 Data Jumlah Cacat Pada Departemen Glue Spreader Hari jumlah produksi Core lap Core hole Banyak potential cacat
1 762 312 0 2 2 1720 1021 0 2 3 1280 905 0 2 4 569 332 0 2 5 1718 974 0 2 6 1246 568 0 2 7 1814 858 0 2 8 1784 908 0 2 9 1635 563 0 2
10 1214 314 0 2 11 1117 533 0 2 12 1721 847 0 2 13 304 86 0 2 14 1708 888 0 2 15 1288 679 0 2 16 1056 579 0 2 17 370 127 0 2 18 1790 608 0 2 19 2584 853 0 2
Total 25680 11955 0
51 Universitas Kristen Petra
Berdasarkan data jumlah cacat diatas dapat di hitung nilai DPO,
DPMO, dan nilai sigma pada departemen glue spreader :
DPO = ୳୫୪ୟ୦ ୡୟୡୟ୲
୳୫୪ୟ୦ ୮୰୭ୢ୳୩ୱ୧୶ ୠୟ୬୷ୟ୩ ୮୭୲ୣ୲୬୲୧ୟ୪ ୡୟୡୟ୲
DPO = ଵଵଽହହ
ଶହ଼ ୶ ଶ = 0,232769
DPMO = DPO x 1.000.000
DPMO= 0,232769 x 1.000.000 = 232768,7
Hasil perhitungan nilai DPO dan DPMO di atas di gunakan untuk
perhitungan nilai sigma. Perhitungan nilai sigma mengunakan calculator
six sigma seperti tampilan di bawah ini :
Tabel 4.12 Hasil perhitungan Nilai Sigma dengan Calculator Six Sigma
Defect 11955
Unit inspected 25680
Opportunities per unit 2
DPO 0,232769
DPMO 232768,7
Nilai sigma 2,23
Berdasarkan hasil perhitungan dengan calculator six sigma diperoleh nilai
sigma sebesar 2,23 dengan nilai DPMO sebesar 232768,7. Nilai sigma sebesar
2,23 ini berarti bahwa kemungkinan proses akan menimbulkan 210000
defect/ketidaksesuaian dalam 1 juta kesempatan. Proses produksi pada mesin glue
spreader ini memiliki nilai sigma sebesar 2,23 dimana nilai sigma tersebut sesuai
dengan Gaspersz (2002) yang menyatakan bahwa rata-rata industri di Indonesia
memiliki tingkat level nilai sigma antara 2σ-3σ. PT. IFURA sebagai perusahaan
yang berorientasi pada ekspor perlu meningkatkan level sigmanya melalui
perbaikan secara terus menerus.
52 Universitas Kristen Petra
Perbaikan secara terus menerus tersebut dapat dilakukan dengan
meningkatkan kualitas produk dan mengurangi jumlah cacat yang terjadi. Pada
proses di mesin glue spreader ini menghasilkan jumlah cacat tertinggi yaitu
sebesar 11955 pcs dari total produksi 25680 pcs sehingga pada departemen ini
perlu mendapat perhatian khusus dari manajemen dan di butuhkan langkah
perbaikan untuk mengurangi jumlah cacat yang terjadi pada proses di mesin glue
spreader ini.
Departemen Hot Press
Data jumlah cacat yang digunakan untuk perhitungan nilai DPO, DPMO, dan
nilai sigma ini adalah data jumlah cacat mulai tanggal 4 Maret 2014 sampai
23 Maret 2014 di PT. Indo Furnitama Raya pada shift pagi yaitu dari jam
07.30-15.30 WIB :
Tabel 4.13 Data Jumlah Cacat Pada Departemen Hot Press Hari jumlah produksi press mark noda/flek Banyak potential cacat
1 762 8 27 2 2 1720 16 86 2 3 1280 9 53 2 4 569 9 56 2 5 1718 47 116 2 6 1246 21 72 2 7 1814 29 57 2 8 1784 21 61 2 9 1635 18 103 2
10 1214 29 84 2 11 1117 13 47 2 12 1721 17 61 2 13 304 18 14 2 14 1708 17 48 2 15 1288 9 53 2 16 1056 11 26 2 17 370 12 24 2 18 1790 24 34 2 19 2584 37 58 2
Total 25680 365 1080
1445
53 Universitas Kristen Petra
Berdasarkan data jumlah cacat diatas dapat di hitung nilai DPO dan
DPMO dengan mengunakan rumus seperti di bawah ini :
DPO = ୳୫୪ୟ୦ ୡୟୡୟ୲
୳୫୪ୟ୦ ୮୰୭ୢ୳୩ୱ୧୶ ୠୟ୬୷ୟ୩ ୮୭୲ୣ୲୬୲୧ୟ୪ ୡୟୡୟ୲
DPO = ଵସସହ
ଶହ଼ ୶ ଶ = 0,028135
DPMO = DPO x 1.000.000
DPMO= 0,028135x 1.000.000 = 28134,74
Hasil perhitungan nilai DPO dan DPMO di atas di gunakan untuk
perhitungan nilai sigma. Perhitungan nilai sigma mengunakan calculator Six
Sigma seperti tampilan di bawah ini :
Tabel 4.14 Hasil perhitungan Nilai Sigma dengan Calculator Six Sigma
Defect 1445
Unit inspected 25680
Opportunities per unit 2
DPO 0,028135
DPMO 28134,74
Nilai sigma 3,41
Berdasarkan hasil perhitungan dengan calculator Six Sigma diperoleh nilai
sigma sebesar 3,41 dengan nilai DPMO sebesar 28134,74 . Nilai sigma sebesar
3,41 ini berarti bahwa kemungkinan proses akan menimbulkan 29000
defect/ketidaksesuain dalam 1 juta kesempatan. Menurut Gaspersz (2002) di
ketahui bahwa rata-rata industri di Indonesia memiliki tingkat level nilai sigma
antara 2σ-3σ. Pada proses hot press ini memiliki nilai sigma 3,41 yang berarti
bahwa proses pada hot press ini berada diatas rata-rata nilai sigma industri di
Indonesia.
54 Universitas Kristen Petra
Walaupun nilai sigma pada proses hot press ini telah menunjukan nilai
sigma di atas rata-rata industri di Indonesia tetapi masih diperlukan upaya
perbaikan guna mengurangi jumlah cacat yang terjadi. Berdasarkan hasil
pengamatan jumlah cacat yang terjadi yaitu sebesar 1445 pcs walaupun jumlah
cacat yang terjadi tidak setinggi pada departemen glue spreader tapi proses
produksi pada departemen hot press ini perlu di kendalikan dan di butuhkan
beberapa langkah perbaikan untuk mengurangi jumlah cacat yang terjadi pada
proses hot press ini.
4.4.3 Tahap Analyze
Pada tahap ini akan dianalisis penyebab cacat yang terjadi pada
departemen glue spreader dan hot press di PT. IFURA dengan mengunakan
diagram ishikawa dan Failure Mode and Effect Analysis (FMEA).
a. Diagram Ishikawa
Diagram Ishikawa digunakan untuk mengidentifikasi hubungan antara suatu
masalah dan kemungkinan penyebabnya. Di bawah ini akan di tampilkan
diagram ishikawa untuk jenis cacat yang terjadi pada departemen glue spreader
dan hot press.
1. Departemen Glue Spreader
Pada departemen glue spreader ini cacat yang sering terjadi adalah core
hole dan core lap. Berdasarkan pengamatan langsung pada lantai produksi
dan wawancara dengan operator, penyebab cacat core hole dan core lap
adalah :
Cacat Core Hole
Cacat core hole merupakan cacat yang terjadi karena adanya lubang
pada bagian corenya. Di bawah ini akan di tampilkan diagram
ishikawa untuk faktor-faktor penyebab cacat core hole :
55 Universitas Kristen Petra
Gambar 4.8 Diagram Ihsikawa Cacat Core Hole
Berdasarkan hasil wawancara dengan operator dan pengamatan
langsung pada lantai produksi untuk cacat core hole disebabkan karena
dua faktor yaitu faktor manusia dan material. Faktor manusia
berdasarkan hasil pengamatan langsung pada lantai produksi ditemukan
bahwa operator pada departemen glue spreader ini sering tidak konsisten
dalam menjalankan instruksi kerja (IKA) pada mesin Glue spreader.
Salah satu instruksi kerja yang sering diabaikan adalah proses repair
dimana ketika melihat ada core yang bertindih atau berlubang harus di
perbaiki dulu tapi hal tersebut tidak dilakukan sehingga menyebabkan
terjadinya cacat core lap atau core lap. Berdasarkan hasil pengamatan
dilantai produksi di temukan bahwa operator sering terburu-buru ketika
melakukan penataan sehingga instruksi kerja tersebut tidak dilakukan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan operator hal ini disebabkan karena
sistem pembayaran upah berdasarkan jumlah unit yang di hasilkan
sehingga operator bekerja untuk dapat menghasilkan output sebanyak-
banyaknya dengan tujuan mendapat bayaran yang banyak juga karena
ketika mereka melakukan repair membutuhkan waktu sehingga akan
menurunkan jumlah output yang dihasilkan yang berdampak pada upah
yang diperoleh lebih sedikit.
56 Universitas Kristen Petra
Faktor material juga berpengaruh pada terjadinya cacat core hole
ini yaitu adanya joint/sambungan core yang terlepas/patah ketika di
luncurkan pada mesin glue sehingga akan menimbulkan lubang pada
bagian corenya dan apabila lubang tersebut tidak di tambal dengan istilah
“tusuk sate” maka akan menyebabkan cacat core hole. Berdasarkan hasil
wawancara dengan supervisor QC, hal ini di sebabkan karena sifat dari
kayu sengon itu sendiri yang lunak sehingga mudah patah atau pecah
walaupun sudah di joint dengan gumme tape.
Cacat Core Lap
Cacat core lap merupakan cacat yang terjadi karena bagian corenya
ada yang bertindih sehingga menyebabkan permukaan plywood
menjadi tidak rata. Di bawah ini akan di tampilkan diagram ishikawa
untuk faktor-faktor penyebab cacat core lap :
Gambar 4.9 Diagram Ishikawa Cacat Core Lap
Berdasarkan hasil wawancara dengan operator dan pengamatan
langsung pada lantai produksi untuk cacat core lap disebabkan karena
tiga faktor yaitu faktor manusia, mesin, dan material. Faktor manusia
berdasarkan hasil pengamatan langsung pada lantai produksi ditemukan
bahwa operator pada departemen glue spreader ini sering tidak konsisten
57 Universitas Kristen Petra
dalam menjalankan instruksi kerja pada mesin glue spreader ini. Hal ini
disebabkan karena operator terburu-buru ketika melakukan penataan
sehingga sering mengabaikan instruksi kerja (IKA) pada mesin glue
spreader ini. Salah satu instruksi kerja yang sering diabaikan adalah
ketika ada core yang lubang harus di perbaiki dengan di tambal dahulu
atau ada core yang bertindih harus di rapikan tapi hal ini tidak di lakukan
oleh operator. Berdasarkan hasil wawancara dengan operator hal ini
disebabkan karena sistem pembayaran upah berdasarkan jumlah unit
yang di hasilkan sehingga operator bekerja untuk dapat menghasilkan
output sebanyak-banyaknya sehingga sering mengabaikan instruksi kerja
untuk proses repair karena ketika operator melakukan repair maka akan
membutuhkan waktu sehingga akan mengakibatkan pada menurunnya
jumlah output yang di hasilkan yang berdampak pada upah yang
diperoleh lebih sedikit.
Faktor material juga berpengaruh pada terjadinya cacat core lap ini
yaitu adanya joint/sambungan core yang saling bertindih yang
menyebabkan permukaaan plywood menjadi tidak rata ketika dilekatkan
dengan bagian face/backnya. Berdasarkan hasil wawancara dengan
supervisor QC, hal ini di sebabkan karena joint/sambungan pada corenya
yang lepas ketika di luncurkan pada mesin glue spreader dan tidak di
repair oleh operator.
Untuk faktor mesin yang berpengaruh adalah pada proses di mesin
cold press yaitu ketika di press dapat menyebabkan cacat core lap.
Berdasarkan hasil wawancara dengan supervisor di temukan kan bahwa
cacat yang di sebabkan oleh mesin cold press di sebabkan karena hasil
penataan dari operator yang tidak benar/salah. Proses penataan core yang
pecah atau ada sambungan/joint berdasarkan parameter dari perusahaan
adalah tidak boleh terlalu rapat dan harus di beri jarak/space 1-2 cm
karena ketika jika tidak di beri jarak/space maka core yang terlalu rapat
ketika di press akan menyebabkan cacat core lap/core yang saling
bertindih karena mendapat tekanan dari mesin cold press.
58 Universitas Kristen Petra
Analisis Permasalahan Pada Proses Glue Spreader :
Permasalahan faktor manusia dalam proses glue spreader adalah
kurangnya konsistensi dari operator dalam menjalankan prosedur kerja
sesuai dengan instruksi kerja (IKA) yang telah di tetapkan oleh
perusahaan. Tujuan dari IKA adalah untuk memberi pedoman tentang
proses produksi yang benar dengan tujuan untuk mengurangi resiko
terjadinya produk cacat. Berdasarkan hasil pengamatan di lantai produksi
di temukan beberapa prosedur IKA pada mesin glue spreader yang tidak di
jalankan oleh operator seperti data checklist di bawah ini :
Tabel 4.15 Checklist Pelaksaan Instruksi Kerja Proses Penataan Pada Mesin Glue Spreader
No. Instruksi Kerja Proses Penataan Pada Glue
spreader
Keterangan
Dilakukan Tidak
dilakukan
1. Terimalah vinircore yang sudah terlabur lem dan
letakkan pada alas di atas meja angkat (X-lift).
Luruskan vinir pada stopper.
√
2. Singkirkan potongan vinir atau sampah yang ada
di atas vinir.
√
3 Perhatikan permukaan vinir core. Bila ada
bagian yang tidak terkenai lem, ambil lem
secukupnya dan saputkan pada bagian tersebut.
√
4. Perbaiki vinircore yang bertumpuk atau lepas
sambungan.Tambahkan bila kurang panjang.
√
5. Minta perhentian pada pengumpan bila
melakukan perbaikan
√
6. Cepat tarik vinir face dan back secara bersa-
maan. Tutupkan pada vinircore yang telah
diterima. Perbaiki bila terlipat
√
7. Kirim tumpukan vinir yang telah dilabur ke Cold
Press. Letakan papan pada tumpukan paling
atas.
√
59 Universitas Kristen Petra
Berdasarkan data hasil checklist diatas dapat dilihat bahwa
prosedur IKA yang tidak dilakukan adalah proses perbaikan atau repair
jika ada core yang lubang atau bertindih. Dampak dari prosedur repair
tersebut tidak dilakukan adalah berdasarkan data cacat yang diperoleh
untuk beberapa bulan terakhir cacat core hole dan core lap merupakan
cacat dengan jumlah terbanyak di bandingkan dengan yang lainnya. Di
bawah ini akan di tampilkan data jumlah cacat untuk tiga bulan terakhir
pada PT. IFURA :
Tabel 4.16 Jumlah Cacat Tiga Bulan Terakhir Jenis Cacat Jumlah Cacat
Januari 2014 Feburari 2014 Maret 2014 Core Lap 18750 71981 36246 Core Hole 4261 693 0 Noda/flek 1132 2006 3566 Press Mark 525 1431 1130 Jumlah 24668 76111 40942 Total Produksi 57010 102902 77613
Berdasarkan data jumlah cacat tiga bulan terakhir diatas dapat
dilihat bahwa jumlah cacat terbanyak adalah core hole dan core lap
sebagai dampak dari instruksi kerja yang tidak di jalankan dengan benar.
Berdasarkan hasil diskusi dengan operator dan supervisor QC diketahui
bahwa faktor yang mempengaruhi konsistensi dari operator yaitu target
produksi yang di tetapkan perusahaan. Kapasitas dari mesin glue spreader
itu sendiri adalah 1600 pcs/hari sehingga kapasitas per/jamnya adalah
1600/7 = 225 pcs/jam. Target dari perusahaan untuk mesin glue spreader
adalah 1500 pcs/hari tetapi rata-rata realnya cuma 1200 pcs/hari karena
mengejar target dari perusahaan tersebut maka operator sering
mengabaikan prosedur kerja yang telah di tetapkan pada IKA karena
ketika mereka menjalankan prosedur untuk repair seperti pada IKA
otomatis akan mengurangi kapasitas mereka dan output jadi menurun tapi
ketika operator tidak menjalankan prosedur sesuai IKA maka akan
mengakibatkan tingginya produk cacat yang terjadi yaitu cacat core hole
dan core lap.
60 Universitas Kristen Petra
Di bawah ini akan di tampilkan data waktu repair di glue spreader
dan waktu repair setelah cold press : Tabel 4.17 Data waktu repair cacat core hole dan core lap
Tanggal 21 April 2014 Tanggal 22 April 2014
Jenis cacat Waktu repair
setelah cold press
Jumlah
cacat
waktu Repair di
Glue spreader
Jumlah
cacat
Core hole 30-50 detik 82 30-45 detik 21
Core lap 2-3 menit 416 30 detik 237
Kapasitas 1181 910
Ratio (82+416)/1181=
42,1%
(21+237)/910=
28,35%
Data diatas diambil pada tanggal 21 dan 22 April 2014 pada shift
pagi di PT. IFURA dan dari data diatas dapat dilihat bahwa pada tanggal
21 April ketika repair dilakukan setelah cold press maka kapasitasnya
mesin glue spreadernya adalah 1181 pcs/hari dengan ratio jumlah cacat
sebesar 42,1% tetapi pada tanggal 22 April ketika repair dilakukan pada
proses glue spreader maka terjadi penurunan kapasitas menjadi
900pcs/hari dengan ratio jumlah cacat sebesar 28,35%. Penurunan
kapasitas tersebut di karenakan adanya waktu yang terbuang untuk repair
pada proses glue spreader. Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa
ketika repair dilakukan di proses glue spreader maka terjadi penurunan
ratio jumlah cacat core hole dan core lap dari sebelumnya 42,1 % menjadi
28,35% dimana dalam menghitung presentase cacat yang terjadi ini
mengunakan ratio perbandingan karena jumlah produksi yang tidak sama.
Penurunan ratio jumlah cacat ini disebabkan karena pada adanya proses
repair yang dilakukan di mesin glue spreader sehingga cacat dapat di di
kurangi karena ketika sudah di cold press maka cacat core hole dan core
lap akan susah di repair.
61 Universitas Kristen Petra
Berdasarkan data diatas dapat dilihat bahwa ketika produktivitas di
tingkatkan maka akan berdampak pada menurunnya kualitas produk yang
dihasilkan karena terjadinya cacat. Hal ini sesuai dengan pendapat
McCannon (2008) dalam jurnal “The Quality–Quantity Trade-off” yang
menyatakan bahwa ketika produktivitas di tingkatkan maka akan
mengorbankan kualitas artinya bahwa ketika sebuah perusahaan ingin
meningkatkan produktivitas maka resikonya adalah kualitas produk yang
dihasilkan akan menurun. Dalam jurnal tersebut McCannon menyatakan
bahwa kualitas dan kuantitas harus ditingkatkan secara bersamaan dan
tidak boleh ada yang di korbankan.
Faktor lain yang berpengaruh pada konsistensi karyawan tersebut
adalah sistem upah yang di bayarkan berdasarkan jumlah unit yang
dihasilkan dimana hal ini menyebabkan operator bekerja untuk dapat
menghasilkan jumlah output sebanyak-banyaknya sehingga sering
mengabaikan instruksi kerja pada mesin glue spreader yang berdampak
pada terjadinya cacat core hole dan core lap dimana cacat tersebut
mengakibatkan penurunan kualitas produk plywood dari grade UTY ke
UTY-1. Hal ini sesuai dengan pendapat Ridwan (1984) yang menyatakan
bahwa sistem upah yang dibayarkan per satuan tidak memperhatikan
kualitas produk karena pekerja dimotivasi untuk menghasilkan produk
sebanyak mungkin dan akan dibayar sesuai jumlah produk yang
dihasilkan. Pendapat yang sama juga dikemukan oleh Dessler (2003) yang
menyatakan bahwa skema pembayaran/insentif yang di bayarkan sesuai
dengan jumlah item/unit yang di produksi memiliki kecenderungan untuk
lebih mementingkan kuantitas output dari pada kualitas dimana hal
tersebut dapat menyebabkan penurunan kualitas dari produk/jasa.
62 Universitas Kristen Petra
Faktor lain yang berpengaruh adalah tidak adanya sistem reward
and punishment untuk operator produksi pada PT. IFURA. Sistem reward
dan punishment yang dimaksudkan disini adalah terkait masalah kualitas
produk yang dihasilkan seperti yang terjadi adalah target presentase cacat
dari perusahaan sebesar 2% dari total produksi, ketika presentase cacat
yang ditargetkan perusahaan tercapai atau bahkan dibawah 2 % maka tidak
ada reward/bonus dari perusahaan bagi operator dan sebaliknya ketika
presentase cacat meningkat dan melebihi 2% maka tidak ada punishment
bagi operator. Artinya bahwa operator merasa tidak di hargai upaya atau
kerja kerasnya oleh manajemen sehingga mereka lebih memilih untuk
bekerja biasa-biasa saja karena ketika mereka berusaha untuk
menghasilkan kualitas produk yang baik, kerja keras dan usaha mereka
tidak dihargai. Hal ini sesuai dengan pendapat Deming (dalam Kashfi,
2002) yang menyatakan bahwa jika komitmen manajemen rendah untuk
memperhatikan kesejahteraan karyawannya maka karyawan tersebut tidak
akan terlibat dalam upaya peningkatan kualitas dan produktivitas.
Menurut Redpath dkk (2007) menyatakan bahwa pekerja outsource
cenderung bersifat transaksional dan memiliki komitmen yang rendah
terhadap organisasi karena mereka memberikan keahlian mereka untuk
mendapat penghargaan dari organisasi. Hal ini sesuai dengan yang terjadi
pada PT. IFURA dimana operator produksi pada PT. IFURA merupakan
pekerja outsource dan mereka cenderung bersifat transaksional karena jika
mereka melakukan suatu pekerjaan yang lebih atau kinerjanya meningkat
maka mereka menuntut untuk di hargai atau di bayar. Ketika usaha untuk
meningkatkan kinerja mereka tidak di hargai maka akan berdampak pada
rendahnya komitmen mereka terhadap perusahaan sehingga di perlukan
pertimbangan untuk membuat sistem reward berupa variabel pay atau skill
based pay untuk menyelesaikan masalah tersebut (Robbins, 2001).
63 Universitas Kristen Petra
Dalam penelitian Koencoro dkk (2013) menyatakan bahwa reward
memberikan pengaruh yang besar bagi kinerja karyawan karena ketika
hasil pekerjaan karyawan di hargai dengan pemberian reward maka akan
mendorongan karyawan tersebut untuk dapat bekerja lebih baik lagi
sehingga dapat meningkatkan kinerjanya. Menurut Koencoro dkk (2013)
dalam penelitiannya menyatakan bahwa sistem reward dan punishment
berpengaruh pada kinerja karyawan, kinerja karyawan yang dimasksud
disini adalah hasil dari kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang
karyawan (Mangkunegara, 2000).
Untuk permasalahan material karena adanya core yang di
joint/disambung tidak di bahas dalam penelitian ini karena pihak PT.
IFURA sudah melakukan langkah perbaikan untuk mengantisipasi
masalah terkait material ini yaitu dengan menempatkan pengawas untuk
melakukan pengecekan hasil joint.
Berdasarkan hasil wawancara dengan supervisor di temukan bahwa
untuk permasalahan cacat yang terjadi setelah di press di mesin cold press
lebih di sebabkan karena penataan core yang salah dari operator pada
proses glue spreader di mana penataan yang benar untuk core yang pecah
atau ada sambungan/joint harus diberi jarak 1-2 cm dan tidak boleh terlalu
rapat karena jika terlalu rapat maka setelah di cold press maka corenya
akan saling bertindih akibat dari tekanan pada mesin cold press. Apabila
setelah di proses pada mesin cold press baru di ketahui terjadi cacat maka
akan susah untuk diperbaiki karena lemnya sudah merekat dan jika di
perbaiki untuk cacat core lap ini kemungkinan rusaknya tinggi karena
harus mengupas/merobek permukaan plywood untuk di hilangkan/di
potong atau di sayat bagian yang ada core lapnya sehingga sering di
loloskan oleh operator ketimbang harus di rusak dan menjadi barang grade
reject. Sehingga untuk itu di butuhkan upaya pencegahan untuk mencegah
terjadinya cacat sebelum di press pada mesin cold press.
64 Universitas Kristen Petra
2. Departemen Hot Press
Pada departemen hot press ini cacat yang sering terjadi adalah cacat press
mark dan cacat noda/flek. Berdasarkan hasil pengamatan langsung pada
lantai produksi dan wawancara dengan operator penyebab cacat press
mark dan noda/flek adalah :
Cacat Press Mark
Cacat press mark merupakan cacat yang terjadi karena adanya kotoran
atau sampah yang ikut terpress sehingga menempel pada permukaan
layer plywood dan mengakibatkan adanya bekas/tanda pada layer
plywood. Di bawah ini akan di tampilkan diagram ishikawa untuk jenis
cacat press mark :
Gambar 4.10 Diagram Ihsikawa Cacat Press Mark
Untuk cacat press mark di sebabkan karena dua faktor yaitu
manusia dan material. Untuk faktor manusia lebih dikarenakan operator
yang tidak teliti karena kurangnya pengawasan dan juga kurang konsisten
ketika membersihkan platen pada mesin hot press sehingga kurang bersih
atau kadang-kadang tidak dibersihkan tapi langsung di proses sehingga
masih ada sisa kotoran yang menempel pada platen mesin hot press yang
ketika di press dapat menyebabkan cacat press mark selain itu juga ketika
65 Universitas Kristen Petra
ada kotoran/sampah yang melekat pada permukaan plywood yang tidak
dibersihkan. Untuk faktor material di sebabkan karena adanya kotoran dan
sisa kayu pada sisi tepi layer yang tidak dibersihkan oleh operator
sehingga dapat menyebabkan cacat press mark.
Cacat Noda/Flek
Cacat noda/flek merupakan cacat yang terjadi karena adanya noda/flek
hitam pada permukaan plywood. Di bawah ini akan di tampilkan
diagram ishikawa untuk jenis cacat noda/flek :
Gambar 4.11 Diagram Ihsikawa Cacat Noda/flek
Untuk cacat noda/flek disebabkan karena dua faktor yaitu faktor
manusia dan mesin. Untuk faktor manusia ditemukan bahwa operator
kurang teliti sehingga ketika terjadi kebocoran platen pada mesin hot
press, operator tidak mengetahuinya dan juga tidak dilaporkan ke
pengawas atau supervisornya sehingga tetap di pakai untuk produksi yang
berdampak pada terjadinya cacat noda/flek. Untuk faktor mesin
disebabkan karena kebocoran dari platen pada mesin hot press sehingga
keluar uap air yang mengenai permukaan plywood yang menyebabkan
terjadinya noda/flek. Kebocoran ini disebabkan karena kualitas selang
pada mesin platen yang kurang bagus sehingga sering bocor selain itu juga
disebabkan karena umur pakai selang yang sudah habis sehingga harus di
ganti.
66 Universitas Kristen Petra
Analisis Permasalahan Pada Proses Hot Press :
Berdasarkan hasil temuan di lantai produksi faktor yang berpengaruh
pada cacat press mark adalah lebih ke faktor manusia atau operator yang
kurang konsisten ketika membersihkan platen sehingga masih ada sisa
kotoran yang menempel pada platen dan adanya sisa-sisa kayu pada bagian
tepi yang tidak di bersihkan. Untuk proses pembersihan bagian tepi layer
ini telah tertera pada instruksi kerja yang di buat oleh PT. IFURA tetapi
berdasarkan hasil temuan di lantai produksi bahwa kotoran yang
menempel pada platen dapat menyebabkan cacat press mark. Dalam
instruksi kerja pada mesin hot press ini untuk proses pengecekan dan
pembersihan platen masih belum dimasukan sehingga ke depannya perlu
di tambahkan. Di bawah ini akan ditampilkan checklist hasil pengamatan
pelaksanaan instruksi kerja pada mesin hot press :
Tabel 4. 18 Checklist Pelaksaan Instruksi Kerja Proses Persiapan Pada Mesin Hot Press No. Instruksi Kerja Proses Penataan Pada Glue spreader Keterangan
Dilakukan Tidak
dilakukan
1. Proses tumpukan panel sesuai urutannya dengan
memperhatikan keterangan waktu yang tertera pada
sisi tumpukan
√
2. Pastikan perekatan pada panel dalam keadaan kering
dan tidak lembek
√
3 Lihat penampakan panel satu per satu. Pisahkan bila
vinir face/back kurang, face/back bertumpuk atau
pecah. Tandai bagian yang harus diperbaiki (repair)
dengan kapur tulis dan kelompokkan secara terpisah
untuk memu-dahkan dalam pengerjaannya.
√
4. Turunkan meja angkat (X-lift) hingga setinggi roda
pemindah (dead roller). Pindahkan tumpukan panel
√
5. Bersihkan bagian tepi finir yang koyak atau berlebih
untuk menghindari press mark .
√
6. Waktu tunggu di muka hot press maksimum 120 menit . Hindarkan lem kering sebelum dikempa .
√
67 Universitas Kristen Petra
Berdasarkan checklist diatas dapat dilihat bahwa instruksi kerja
untuk proses pembersihan hanya dilakukan pada bagian tepi layer saja
tetapi untuk bagian pengecekan dan pembersihan platennya belum ada
instruksi kerjanya sehingga untuk itu di perlukan revisi atau penambahan
instruksi kerja terkait pembersihan platen karena berdasarkan temuan di
lantai produksi bahwa sering terdapat kotoran/sisa kayu yang menempel
pada platen yang tidak dibersihkan sehingga waktu di press menyebabkan
cacat press mark.
Berdasarkan analisis permasalahan diatas dapat dilihat bahwa
faktor utama penyebab terjadinya cacat press mark adalah faktor manusia
dalam hal ini adalah kurang konsistennya operator dalam membersihkan
bagian tepi layer dan platen pada mesin hot press sehingga menyebabkan
adanya kotoran/sisa kayu yang menempel pada platen atau bagian tepi
layer yang dapat menyebabkan cacat press mark apabila di press.
Kurangnya konsistensi dari operator tersebut di sebabkan karena
kurangnya pemahaman dari operator tentang pentingnya kualitas.
Kurangnya pemahaman operator tentang pentingnya kualitas
menyebabkan operator tersebut tidak terlibat dalam upaya perbaikan dan
peningkatan kualitas yang dilakukan oleh perusahaan.
Keberhasilan sebuah organisasi dalam upaya peningkatan kualitas
produknya tidak terlepas dari keterlibatan dan partisipasi dari seluruh
karyawannya. Contoh perusahaan yang berhasil mengimplementasikan six
sigma dalam upaya peningkatan kualitas adalah Genereal Electric (GE)
dan Motorola dimana keberhasilan tersebut di capai dengan menciptakan
suatu budaya kualitas melalui partisipasi dari karyawannya (Motwani,
2004). Menurut Chakrabarty and K. C. Tan, (2009) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa kurangnya keterlibatan karyawan menyebabkan
gagalnya upaya peningkatan dan perbaikan kualitas. Hal inilah yang
terjadi pada PT. IFURA dimana kurangnya keterlibatan karyawan/operator
dalam upaya peningkatan kualitas menyebabkan menurunnya kualitas
produk plywood pada PT. IFURA.
68 Universitas Kristen Petra
Seperti permasalahan yang terjadi pada PT.IFURA adalah kurang
konsistennya operator dalam menjalankan instruksi kerja yang telah di
buat oleh perusahaan dimana tujuan dari instruksi kerja tersebut adalah
untuk meminimalkan terjadinya cacat pada produk sehingga dapat
meningkatkan kualitas produk akhirnya. Ketika karyawan tidak
menjalankan instruksi kerja tersebut maka secara tidak langsung karyawan
tersebut tidak terlibat atau tidak ikut berpartisipasi dalam upaya
perusahaan untuk mengurangi cacat guna peningkatan kualitas produknya
sehingga untuk itu di perlukan langkah perbaikan untuk mengatasi
masalah ini.
Untuk cacat noda/flek lebih disebabkan karena faktor mesin yaitu
kebocoran platen pada mesin hot press dan untuk faktor manusia lebih
kepada kurang telitinya operator dalam melakukan pengecekan pada mesin
hot press sebelum proses sehingga jika terjadi kebocoran platen dapat
segera di tangani. Untuk mengali informasi mengenai permasalahan
kebocoran platen ini maka di gunakan 5 why’s analisis.
Gambar 4.12 5 Why’s Analisis
69 Universitas Kristen Petra
Berdasarkan 5 why’s analisis diatas dapat di lihat bahwa kebocoran
platen pada mesin hot press di sebabkan karena kebocoran pada selang dan
karet sill pada platen. Kebocoran selang dan karet sill tersebut di sebabkan
karena kualitas dari selang dan karet sill yang kurang bagus dan juga
karena umur pakai yang sudah habis sehingga sudah harus diganti.
Kualitas selang yang jelek di karenakan spare part yang asli tidak ada
sehingga mengunakan yang kualitas no. 2 (KW) dan juga untuk
permasalahan umur pakai yang habis sehingga sudah harus di ganti
disebabkan karena kurangnya penjadwalan dan pemeriksaan mesin oleh
bagian maintenance. Kurang berjalan dengan baiknya bagian maintenance
ini di sebabkan karena kurangnya control dan perhatian dari manajemen
sehingga sistem yang sudah ada tidak berjalan dengan baik.
Berdasarkan hasil wawancara dengan operator, bagian maintenance
biasanya lebih menunggu ketika ada laporan kerusakan pada mesin baru di
cek atau di perbaiki dan tidak ada tindakan pencegahan/preventif untuk
permasalahan platen yang sering bocor ini. Berdasarkan wawancara
tersebut maka dapat disimpulkan bahwa bagian maintenance pada PT.
IFURA di kategorikan ke dalam level Corrective Maintenance. Menurut
Patrick (2001) dan Assauri (1999) (dalam Abbas dkk 2011) Corrective
Maintenance merupakan kegiatan perawatan yang dilakukan setelah mesin
atau fasilitas produksi mengalami kerusakan atau gangguan sehingga tidak
dapat berfungsi dengan baik. Permasalahan yang di temui pada PT.
IFURA ketika bagian maintenancenya kurang berjalan dengan baik adalah
terjadinya cacat noda/flek pada produk plywood karena kebocoran platen
pada mesin hot press. Menurut Nakajima (1988) salah satu kerugian akibat
kurangnya penjadwalan maintenance yang baik adalah kerugian akibat
cacat (quality losses). Salah satu tujuan dari maintenance adalah
mengurangi atau menghilangkan kerugian akibat cacat (Ireland and Dale,
2001).
70 Universitas Kristen Petra
Hal ini sesuai dengan yang terjadi pada PT. IFURA dimana pada
PT. IFURA penyebab utama cacat noda/flek adalah kebocoran platen pada
mesin hot press sebagai akibat kurangnya penjadwalan maintenance yang
baik untuk mengantisipasi kebocoran platen pada mesin hot press.
Penjadwalan maintenance yang kurang baik ini di sebabkan karena
kurangnya komitmen dan control dari pihak manajemen untuk bagian
maintenance seperti yang terjadi pada PT. IFURA adalah tidak adanya
tindakan preventif untuk pencegahan kerusakan mesin tapi lebih ke arah
korektif ketika ada masalah pada mesin baru di perbaiki.
Menurut Davis (1997) alasan kegagalan program maintenance
adalah kurangnya komitmen dari manajemen puncak, kurangnya
pendidikan dan pelatihan karyawan, kurangnya keterlibatan karyawan, dan
kegagalan dalam perubahan pada lantai produksi. Sedangkan menurut
Fredendall et al (1997) menyatakan bahwa potensi hambatan yang sering
mempengaruhi program maintenance adalah ketidakmampuan organisasi
untuk mengkoordinasikan sumber daya manusianya, praktek kebijakan
manajemen dan teknologi.
Kegagalan dalam menjalankan program maintenance pada PT.
IFURA ini sesuai dengan pendapat Davis (1997) dan Fredendall (1997)
yang menyatakan bahwa kegagalan dalam program maintenance di
sebabkan karena kurangnya komitmen dari manajemen puncak dalam
mengkoordinasikan sumber daya manusianya dan kebijakan dari
manajemen yang masih kurang menyebabkan program maintenance tidak
berjalan dengan baik. Seperti yang terjadi pada PT.IFURA adalah
Kurangnya koordinasi manajemen dengan bagian maintenance membuat
sering terlambatnya proses perbaikan dan juga proses pengadaan suku
cadang yang sering terlambat karena tidak adanya cadangan spare part
untuk mesin yang rusak.
71 Universitas Kristen Petra
b. Failure Mode and Effect Analysis (FMEA)
Failure Mode and Effect Analysis merupakan metode yang digunakan untuk
mencegah dan menghilangkan cacat yang terjadi dalam proses manufaktur.
FMEA adalah teknik analitis yang baik untuk menghubungkan antara sebab dan
akibat dari cacat serta mencari, memecahkan dan memberikan solusi terbaik untuk
tindakan perbaikan (M. Dudek, D. Szewieczek, 2003). FMEA di ringkas sebagai
menggambarkan produk atau proses, mendefinisikan fungsi, mengidentifikasi
mode kegagalan potensial, menggambarkan efek kegagalan, menentukan
penyebab, metode arah atau kontrol,menghitung resiko mengambil tindakan dan
menilai hasil (Ebrahimipour et al, 2010).
Langkah pertama adalah identifikasi parameter kritis dan potetial failure mode
melalui wawancara dengan supervisor produksi. Langkah kedua adalah
mengidentifikasi potential effect dari cacat yang muncul dan langkah terakhir
adalah menilai masalah berdasarkan kerumitan dan pengaruh buruk (severity),
probabilitas kejadian (occurance), dan kemampuan terdeteksi (detection) dengan
mengunakan skala 1-10 dan setelah itu di tentukan prioritas perbaikan
berdasarkan nilai risk priority number (RPN) yang terbesar. Nilai dari RPN di
peroleh dari hasil perkalian antara severity, occurance, dan detection. Di bawah
ini akan di lakukan analisis FMEA pada departemen glue spreader dan hot press
untuk penentuan prioritas perbaikan :
Departemen Glue Spreader
Pada proses glue spreader mempunyai niai sigma 2,23 hal tersebut
menunjukan bahwa proses masih belum terkendali sehingga harus ada
perbaikan sehingga cacat dapat di minimalkan lagi. Di bawah ini akan di
tampilkan analisis FMEA pada proses glue spreader :
72 Universitas Kristen Petra
Tabel 4.19 Analisis FMEA Departemen Glue Spreader
Mode of failure
Effect of failure
SEV Cause of failure
OCC Current proses control
DET
RPN
Cacat Core Hole
Bagian core yang berlubang
akan di repair yang menyebab
kan downgrade
6 karena cacat
tersebut masih dapat diterima tapi
dijual dengan
harga lebih murah
Operator kurang
konsisten dan
terburu-buru
8 Tidak ada pengawasa
n oleh supervisor
8 384
6 Sistem upah
8
Pembayaran upah
berdasarkan output
per pcs dan tidak ada
sistem control
8 384
Cacat Core Lap
Bagian core yang bertindih akan di
repair yang menyebab
kan downgrade
6 karena cacat
tersebut masih dapat diterima tapi
dijual dengan
harga lebih murah
Operator kurang
konsisten dan
terburu-buru
8 Tidak ada pengawasa
n oleh supervisor
8 384
6 Sistem upah
8 Pembayaran upah
berdasarkan output per pcs
tidak ada sistem control
8 384
6 Penataan salah
8 Tidak ada control
dari supervisor
atau foreman
8 384
73 Universitas Kristen Petra
Departemen Hot Press
Pada proses hot press mempunyai niai sigma 3,41 hal tersebut menunjukan
bahwa proses masih belum terkendali sehingga harus ada perbaikan
sehingga cacat dapat di minimalkan lagi. Di bawah ini akan di tampilkan
analisis FMEA untuk proses pada hot press : Tabel 4.20 Analisis FMEA Departemen Hot Press
Mode of failure
Effect of failure
SEV Cause of failure
OCC Current proses control
DET
RPN
Cacat press mark
Dowgrade dan dijual
lebih murah
6 Operator kurang
teliti dan
terburu-buru
8 Ada inspeksi
tapi kadang-kadang tidak
dilakukan
8 384
Cacat noda/flek
Dowgrade dan dijual
lebih murah
6 Platen bocor
8 Mesin tidak di periksa dengan
baik
8 384
Berdasarkan hasil RPN diatas maka prioritas perbaikan di pilih
berdasarkan angka/ nilai RPN yang terbesar sampai terkecil untuk
penentuan ranking atau urutan prioritas perbaikan yang akan di lakukan
pada tahap improve.
4.4.4 Tahap Improve
Tahap ini bertujuan untuk meminimalkan dan memperkecil variabilitas
proses serta mencegah terjadinya cacat agar dapat meningkatkan sigma proses
dengan cara melakukan perbaikan terhadap proses yang bermasalah. Pada tahap
ini dilakukan penentuan prioritas perbaikan berdasarkan nilai RPN yang didapat
dari analisis FMEA. Setelah diketahui urutan prioritas perbaikan juga ditetapkan
tindakan perbaikan untuk dapat mengurangi besarnya masing-masing cacat pada
tiap departemen.
74 Universitas Kristen Petra
a. Menentukan Prioritas Perbaikan Berdasarkan RPN
Di bawah ini adalah urutan rangking prioritas perbaikan berdasarkan
nilai RPN yang diperoleh pada tahap sebelumnya :
Tabel 4.21 Prioritas Perbaikan Berdasarkan RPN No. Proses Jenis
Cacat Penyebab Cacat Nilai
RPN Ranking
1. Glue Spreader
Core hole dan Core Lap
Operator kurang teliti dan terburu-buru
384 1
Sistem upah 384 2 Penataan salah 384 3
2. Hot press
Press mark
Operator kurang teliti
384 4
Noda/flek Platen bocor 384 5
b. Usulan Perbaikan
Tindakan perbaikan dilakukan dengan melakukan analisis dan
brainstorming dengan pihak perusahaan.
Tabel 4.22 Ringkasan Usulan Perbaikan Untuk Tiap Departemen No. Proses Jenis
Cacat Penyebab Cacat
Usulan Perbaikan
1. Glue Spreader
Core hole dan Core lap
Operator kurang teliti, terburu-buru, dan kurang konsisten
Mengubah paradigma dari sistem inspeksi ke “Build in Quality” Menempatkan pengawas pada proses glue spreader untuk mengawasi proses pelaburan lem
Sistem upah Membuat sistem reward untuk memotivasi operator
Penataan salah
Menempatakan operator untuk inspeksi sebelum masuk ke cold press
2. Hot press Press mark
Operator kurang teliti
Menciptakan budaya kualitas melalui komunikasi dan komitmen
Platen bocor
Mengabungkan sistem perawatan korektif, preventive, dan proaktif.
75 Universitas Kristen Petra
c. Pembahasan Usulan Perbaikan
Di bawah ini akan di berikan beberapa penjelasan tentang usulan
perbaikan yang di berikan kepada PT.IFURA :
1. Mengubah paradigma sistem inspeksi ke “build in quality”
Usulan perbaikan yang dapat di berikan kepada PT. IFURA dalam upaya
peningkatan kualitas pada proses Glue spreader adalah mengubah paradigma
dari sistem inspeksi ke “build in quality” yang artinya bahwa mengubah
sistem dari inspeksi pada akhir proses menjadi kualitas produk ini di buat/di
rencanakan dengan mengutamakan pada pencegahan cacat pada setiap proses
produksi. Kurangnya konsistensi dari operator dalam bekerja menyebabkan
tingginya jumlah cacat yang dihasilkan pada proses glue spreader. Hal ini
membuat manajemen perlu untuk membuat suatu sistem untuk dapat
mencegah terjadinya cacat pada proses glue spreader ini sehingga dapat
meminimalkan atau mengurangi jumlah cacat yang terjadi pada proses di
mesin glue spreader.
Proses inspeksi pada PT. IFURA masih dilakukan pada akhir proses yaitu
dengan melakukan inspeksi 100% terhadap hasil produksi. Menurut Gaspersz
(2001), Inspeksi pada akhir proses tidak memberikan kontribusi pada
peningkatan kualitas. Proses inspeksi seperti ini hanya di lakukan untuk
mencegah agar produk cacat tidak sampai ke tangan konsumen. Menurut
Gaspersz (2001) sekarang ini konsep kualitas telah berkembang bukan hanya
sekedar proses inspeksi (pandangan tradisional) tetapi lebih di tekankan pada
bagaimana membangun suatu sistem kualitas (pandangan modern). Proses
inspeksi pada PT. IFURA masih tergolong dalam pandangan tradisional
dimana mengangap kualitas dicapai melalui proses inspeksi yang ketat.
Beberapa perbedaan pandangan antara konsep kualitas tradisional dan modern
adalah sebagai berikut :
76 Universitas Kristen Petra
Tabel 4.23 Perbedaan Pandangan Tradisional dan Modern Pandangan Tradisional Pandangan Modern
Produktivitas dan kualitas merupakan
sasaran yang bertentangan
Produktivitas dan kualitas merupakan
sasaran yang bersesuaian karena hasil-
hasil produktivitas dicapai melalui
peningkatan dan perbaikan kualitas
Kualitas di capai melalui inspeksi
secara intensif terhadap produk
Kualitas di tentukan melalui desain
produk yang di capai melalui teknik
pengendalian yang efektif serta
memberikan kepuasan selama masa
pakai produk
Beberapa kerusakan atau cacat di
ijinkan jika produk telah memenuhi
standar kualitas minimum
Cacat atau kerusakan di cegah sejak
awal melalui teknik pengendalian
proses yang efektif
Kualitas di ukur melalui derajat
nonkonformansi mengunakan
ukuran-ukuran kualitas internal
Kualitas diukur melalui perbaikan
proses/produk dan kepuasan penguna
produk secara terus-menerus dengan
mengunakan ukuran-ukuran kualitas
menurut pelanggan Sumber : Gaspersz (2001)
Berdasarkan perbedaan di atas dapat di lihat bahwa untuk mencapai upaya
peningkatan kualitas maka sebuah organisasi perlu untuk mengubah sistem
kualitasnya dari pandangan tradisional ke pandangan modern. Langkah
perubahan inilah yang perlu di lakukan oleh manajemen PT.IFURA ke
depannya untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas produk yang di
hasilkan karena proses inspeksi (pandangan tradisional) tidak memberikan
kontribusi pada upaya peningkatan kualitas sedangkan pada pandangan
modern lebih berfokus kepada pencegahan cacat sehingga tidak terjadi cacat
pada produk melalui desain proses atau desain produk yang efektif sehingga
akan membantu organisasi dalam upaya peningkatan kualitas.
77 Universitas Kristen Petra
Kualitas dalam industri manufaktur di tekankan tidak hanya pada produk
yang di hasilkan tetapi juga pada kualitas dari proses produksinya (Ariani,
2003). Menurut Gaspersz (2003), perhatian pada kualitas bukan pada produk
akhir tetapi pada proses produksinya atau produk yang masih ada dalam
proses (work in process) sehingga apabila diketahui ada cacat atau kesalahan
dapat dikoreksi lebih dini. Dengan demikian, produk akhir yang dihasilkan
adalah produk yang bebas cacat dan tidak ada lagi pemborosan yang harus
dibayar mahal karena produk tersebut harus dibuang atau dilakukan
pengerjaan ulang.
Desain kualitas dan pencegahan cacat harus menjadi tujuan utama
dalam suatu sistem kualitas. Dalam rangka untuk mencapai hal ini, kita perlu
membangun kualitas produk/jasa melalui proses yang menghasilkan
produk/jasa tersebut. Aplikasi inovatif dari teknologi, sistem yang dirancang
dengan baik dan terintegrasi dengan baik dengan proses, dan perencanaan
produk atau jasa baru adalah beberapa konsep kreatif yang perlu didorong
untuk membangun kualitas produk/jasa. Crosby (1979) menekankan pada
sebuah filosofis “do it right the first time” and “defect prevention over
detection” and hence “zero defects”, Menurut Crosby yang terpenting adalah
melakukan dengan benar pertama kali dan melakukan pencegahan cacat
melalui deteksi sedini mungkin sehingga dapat menghasilkan produk bebas
cacat (Zero defect). Filosofis diatas harus menjadi standar dalam membangun
sistem dan proses yang terkait dengan semua kegiatan kualitas. Crosby
mendefinisikan “empat kualitas mutlak” yang harus di capai dan membentuk
landasan setiap proses untuk menciptakan produk/jasa yang bebas cacat :
1. Kualitas adalah kesesuaian dengan persyaratan : Manajemen harus
mengkomunikasikan kepada karyawan semua tindakan yang diperlukan
untuk menjalankan sebuah organisasi, menghasilkan produk atau jasa, dan
berurusan dengan pelanggan dan membantu mereka mematuhinya melalui
kepemimpinan, pelatihan, dan mengembangkan budaya kerjasama dalam
organisasi.
78 Universitas Kristen Petra
2. Pencegahan adalah sistem kualitas : Satu-satunya sistem yang
menghasilkan kualitas adalah pencegahan dengan menghilangkan
kesalahan karena jika sudah terjadi maka akan memberikan biaya yang
mahal. Pendekatan Crosby untuk pencegahan adalah pelatihan,
kepemimpinan, disiplin, dan contoh. Dengan demikian, manajemen harus
berkomitmen untuk budaya yang berorientasi pada pencegahan.
3. Zero defect adalah standar kinerja : Hal ini sejalan dengan pandangan
mendasar Crosby tentang kualitas dan generasi. Manajemen memiliki
tugas untuk memberikan karyawan alat-alat, keterampilan, dan sumber
daya lain untuk memfasilitasi mereka untuk memproduksi produk dan jasa
yang bebas cacat (zero-defect).
4. Harga dari ketidaksesuaian adalah ukuran kualitas : Crosby percaya bahwa
jika manajemen mematuhi dan menjalankan proses sesuai dengan prinsip
"empat kualitas mutlak " maka organisasi akan berhasil dalam mengurangi
biaya sebagai peningkatan kualitas (Crosby, 1979). Pandangan Crosby
tentang kualitas didasarkan pada fundamental filsafat mencegah kesalahan
dari sumber/penyebabnya, maka proses pelaksanaannya didasarkan hanya
pada pencegahan. Baginya, berpikir pencegahan, merencanakan dan
menganalisis proses untuk mengantisipasi di mana kesalahan dapat terjadi
dan kemudian mengambil tindakan yang tepat untuk mencegah merupakan
siklus kontinyu yang tidak pernah berhenti untuk menciptakan kualitas
produk/jasa yang baik.
Crosby menekankan pentingnya pemahaman, komitmen, kompetensi,
komunikasi, koreksi, dan keberlangsungan dalam upaya peningkatan kualitas.
Pemahaman melibatkan memahami apa yang dimaksud dengan kualitas dan
dimulai di bagian atas hirarki organisasi sampai ke orang terakhir. Komitmen
terhadap kebijakan mutu oleh manajemen dan seluruh karyawan merupakan
dasar untuk menciptakan sebuah budaya yang berorientasi pada pencegahan.
Orang-orang harus kompeten dalam apa yang mereka lakukan dan
kompetensi dicapai melalui pendidikan dan pelatihan. Dokumentasi dari
79 Universitas Kristen Petra
semua upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas adalah suatu
keharusan dan harus dikomunikasikan untuk meningkatkan dan menciptakan
pemahaman yang lengkap dari proses yang mendukung kualitas. Dengan
demikian, komunikasi mendukung peningkatan kompetensi karyawan dalam
organisasi. Koreksi melibatkan pencegahan kesalahan, meningkatkan kinerja
yang berkelanjutan, dan mengolahnya menjadi suatu cara hidup dalam
organisasi. Crosby percaya bahwa jika manajemen mematuhi prinsip “empat
kualitas mutlak” maka organisasi akan berhasil dalam upaya peningkatan
kualitas.
Dalam membangun suatu sistem kualitas yang baik di perlukan strategi
peningkatan proses yang tepat dalam upaya peningkatan kualitas yang di
tekankan pada strategi pencegahan. Strategi pencegahan merupakan strategi
baru yang menunjukkan pergeseran fokus pada fungsi dan kegiatan yang
berkaitan dengan meningkatkan proses setiap elemen dan operasi yang lebih
luas (Dudek, 1998). Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan di
bidang kualitas telah di temukan beberapa cara/metode untuk mendukung
strategi pencegahan tersebut.
Metode-metode tersebut membantu organisasi dalam meminimalkan
biaya, menghilangkan cacat, dan meningkatkan kualitas proses. Metode yang
di gunakan harus dapat menganalisa masalah yang terjadi dalam setiap
tahapan proses sehingga dapat di lakukan langkah pengamanan dan
pencegahan untuk masalah yang terjadi. Pengumpulan informasi tentang
kekurangan yang muncul dan mencegah agar tidak terjadi lagi adalah cara
yang jauh lebih efisien untuk meningkatkan kualitas dari kontrol kualitas
standar (Pande, et al 2003 dan Dudek dkk, 2006). Kualitas yang baik dapat
dicapai organisasi dengan menerapkan Sistem Manajemen Mutu (SMM) dan
yang menggunakan ide perbaikan terus-menerus dari semua proses dan juga
yang menggunakan alat-alat kualitas dan metode kualitas, dan teknologi daur
ulang dalam proses produksi (Ishikawa, 1982 and Feigenbaum, 1983).
80 Universitas Kristen Petra
Salah satu metode yang efektif di gunakan untuk mencegah terjadinya
cacat adalah metode atau Teknik Poka – Yoke. Teknik Poka -yoke adalah
strategi perbaikan Jepang untuk mencegah cacat (atau ketidaksesuaian) yang
timbul selama proses produksi. Poka -yoke adalah tindakan pencegahan yang
berfokus pada identifikasi dan menghilangkan penyebab khusus dari variasi
dalam proses produksi yang menyebabkan ketidaksesuaian produk atau cacat
(Dudek dkk, 2009). Poka-yoke memberikan strategi dan kebijakan untuk
mencegah cacat pada sumbernya, memberikan solusi untuk biaya yang efektif
dan juga mudah untuk di pahami dan di terapkan. Poka Yoke ini adalah salah
satu alat penting untuk proses perbaikan terus-menerus pada setiap organisasi
dan juga strategi perbaikan berkelanjutan untuk menuju tingkat kinerja yang
lebih tinggi (Anderson, 2002). Poka - yoke merupakan konsep yang dihasilkan
pada pertengahan 1960-an oleh Shigeo Shingo yang insinyur industri Jepang.
Shingo bekerja untuk Toyota dan perusahaan Jepang lainnya, di mana ia
mengembangkan seluruh sistem produksi difokuskan pada pencapaian zero
defect dalam produksi (Dudek dkk 2009, Anderson 2002 ).
Poka-Yoke adalah teknik untuk untuk mencegah kesalahan manusia di
tempat kerja. Teknik ini dimulai dengan menganalisis proses untuk potensi
masalah, mengidentifikasi bagian karakteristik dimensi, bentuk, bobot, dan
mendeteksi penyimpangan proses dari prosedur. Fungsi dasar Poka-yoke terdiri
dari tiga jenis (Anderson 2002) :
Shutdown Poka Yoke
Shutdown (Pencegahan) adalah metode pencegahan dengan mengecek
parameter proses kritis dan mematikan proses ketika situasi bergerak
keluar dari zona toleransi, itu adalah indikasi dari produk cacat baik telah
diproduksi atau akan diproduksi. Dengan menerapkan metode shutdown
kita dapat meyakinkan sekitar 100% produk bebas cacat (Dudek et al,
2009). Penerapan poka yoke memiliki 0% kesempatan untuk
menghasilkan produk yang cacat (Anderson, 2002).
81 Universitas Kristen Petra
Control Poka Yoke
Metode Control adalah peraturan dalam kerja yang dipasang pada
peralatan yang membuat tidak mungkin untuk menghasilkan cacat atau
mengalir suatu produk yang tidak sesuai untuk proses selanjutnya.
Penerapan metode kontrol ini memungkinkan untuk memberikan 100%
produk bebas cacat. Kontrol membuat kepastian bahwa jika ada cacat itu
tidak datang di luar jalur produksi dan tidak mencapai kepada pelanggan.
Warning Poka Yoke
Metode Peringatan adalah metode yang membuat operator sadar tentang
sesuatu yang tidak beres dan menunjukkan kepada pekerja ada produk
cacat yang telah diproduksi. Ketika operator mendapat peringatan tersebut
maka ia harus segera memperbaiki proses yang menyebabkan cacat.
Metode ini tergantung pada sifat dan perilaku manusia. Metode peringatan
memberikan jaminan 30% produk yang baik. Metode ini memberikan
peringatan tentang adanya cacat tetapi tidak menjamin menghasilkan
kualitas 100% (Dudek et al, 2009).
Di bawah ini akan di tampilkan pendekatan dalam pelaksanaan dari
metode poka yoke :
Gambar 4.13 Types of poka yoke (Dudek et al, 2009)
82 Universitas Kristen Petra
Ke tiga fungsi dari metode Poka Yoke diatas dapat di terapkan pada proses
produksi di PT. IFURA dengan tujuan untuk pengurangan jumlah cacat yang
terjadi pada proses glue spreader. Metode poka yoke ini juga dapat di terapkan di
proses produksi lainnya pada PT. IFURA guna mengantisipasi terjadinya cacat. Di
bawah ini akan di jelaskan metode-metode Poka yoke pada PT.IFURA :
Shutdown Poka Yoke
Metode Shutdown poka yoke ini dapat di jalankan pada proses glue spreader
untuk mengantisipasi terjadinya cacat core hole atau core lap. Metode
shutdown ini dapat di lakukan tanpa harus mematikan mesin glue spreader
dan hanya prosesnya saja yang diberhentikan sementara ketika terjadi cacat
karena operator membutuhkan waktu untuk melakukan repair/memperbaiki
penataan antara face/back dan corenya atau melakukan tambalan pada core
yang berlubang agar tidak terjadi cacat core hole atau core lap. Untuk
pemberhentian proses untuk repair ini perlu mendapat pengawasan dan
kontrol yang lebih dari supervisor atau foreman.
Control Poka Yoke
Metode control Poka Yoke ini telah di jalankan oleh PT.IFURA yaitu
dengan menempelkan instruksi kerja pada setiap proses produksinya.
Masalah yang terjadi pada proses glue spreader adalah instruksi kerja
tersebut tidak di jalankan oleh operator sehingga menyebabkan tingginya
jumlah cacat core hole dan core lap untuk itu diperlukan pengawasan dan
control dari supervisor atau foreman untuk memastikan instruksi kerja
dijalankan dengan benar. Tugas dan fungsi seorang foreman adalah untuk
mengawasi jalanya proses produksi dan memastikan instruksi kerja telah di
jalankan dengan benar. Untuk simulasi ini telah di coba oleh PT.IFURA
sebagai usulan dari peneliti dengan menempatkan pengawas untuk
mengontrol proses produksi pada proses glue spreader ini dan di peroleh
hasil yang cukup baik yaitu terjadi penurunan jumlah cacat seperti pada
tabel di bawah ini :
83 Universitas Kristen Petra
Tabel 4.24 Tabel Jumlah cacat dengan pengawasan dan tanpa pengawasan Tanpa pengawasan
Tanggal 21 April 2014 Ada pengawasan
Tanggal 22 April 2014 Jenis cacat Jumlah cacat Jumlah cacat
Core hole 82 21
Core lap 416 237
Kapasitas 1181 910 Ratio (82+416)/1181= 42,1% (21+237)/910= 28,35%
Berdasarkan hasil pada tabel di atas dapat di lihat bahwa terjadi penurunan
ratio jumlah cacat ketika di lakukan pengawasan oleh foreman yaitu dari
42,1% menjadi 28,35%. Perhitungan jumlah cacat ini mengunakan ratio
perbandingan karena jumlah produksi yang tidak sama. Penurunan jumlah
cacat ini di sebabkan karena operator bekerja sesuai dengan instruksi kerja
yang telah di tetapkan oleh manajemen dan ketika ada langkah-langkah
yang di lewatkan oleh operator maka foreman bertugas untuk menegurnya.
Warning Poka Yoke
Metode warning poka yoke ini dapat di terapkan pada proses glue spreader
dimana level peringatan dapat di lakukan dengan menempatkan
foreman/pengawas untuk mengontrol dan mengawasi jalannya proses
produksi pada mesin glue spreader. Foreman ini berfungsi untuk memberi
peringatan kepada operator apabila terjadi cacat core hole atau core lap dan
operator mempunyai kewajiban untuk memperbaikinya. Foreman di sini
berfungsi sebagai sistem alarm dengan melihat secara visual dimana ketika
terjadi cacat, maka foreman mempunyai tugas untuk memberikan peringatan
kepada operator bahwa telah terjadi cacat dan operator harus
memperbaikinya. Untuk ke depannya di perlukan suatu sistem alarm
otomatis yang berfungsi untuk mendeteksi cacat pada proses glue spreader
sehingga ketika cacat terjadi operator sudah langsung mengetahuinya dan
dapat segera di perbaiki.
84 Universitas Kristen Petra
Usulan perbaikan yang dapat di berikan terkait permasalahan pada
penataan core yang salah oleh operator yang tidak sesuai dengan parameter
yang telah di tetapkan perusahaan sehingga mengakibatkan cacat core lap
ketika di press pada mesin cold press adalah dengan menambah operator
untuk melakukan inspeksi/mensortir hasil penataan core dengan face/back
dari proses glue spreader sehingga sebelum di masukan ke mesin cold press
sudah dapat di deteksi apabila terjadi cacat core lap sehingga dapat di
lakukan perbaikan/repair sebelum di cold press karena ketika setelah di cold
press akan sulit untuk memperbaiki cacat core lap karena kemungkinan
rusak akan lebih tinggi. Penambahan operator untuk inspeksi ini tentu saja
akan mempengaruhi kapasitas dari mesin cold press itu sendiri karena
operator membutuhkan waktu untuk mensortir hasil dari proses glue
spreader. Operator pada proses inspeksi sebelum di masukan ke mesin cold
press ini berfungsi sebagai alarm untuk mendeteksi apakah terjadi cacat atau
tidak. Operator untuk proses ini harus memahami dengan benar parameter-
parameter kritis dalam penentuan cacat core lap sehingga untuk itu di
butuhkan training dan pemahaman yang jelas tentang parameter tersebut.
Operator pada proses ini di berikan wewenang untuk mengambil keputusan
dalam penentuan produk baik atau cacat. Sistem seperti ini di sebut sebagai
sistem manajemen alarm yang merupakan sebuah sistem manajemen yang
melibatkan peranan operator dengan memberi mereka lebih banyak waktu
untuk berfokus pada proses dan membuat keputusan cerdas yang
mempengaruhi produktivitas dan kinerja perusahaan (O’brien and woll,
2004). Manajemen Alarm adalah tentang keselamatan, lingkungan,
mengoptimalkan operasi, dan meningkatkan keuntungan perusahaan
(DeVries, 2010). Sistem alarm yang di usulkan pada PT.IFURA ini baru
sampai pada level penambahan manusia/operator yang berfungsi sebagai
pendeteksi/alarm ketika ada produk cacat. Sistem manajemen alarm ini
merupakan langkah perbaikan guna mencapai continous improvement di
mana sistem alarm ini membantu operator dalam mengelola dan mencegah
situasi yang abnormal pada lantai produksi (DeVries, 2010).
85 Universitas Kristen Petra
2. Membuat sistem reward untuk memotivasi dan meningkatkan kinerja operator
Salah satu permasalahan pada proses glue spreader ini adalah kurangnya
motivasi dari operator dalam bekerja karena mereka merasa kinerja mereka
tidak di hargai ketika berkinerja baik sehingga operator cenderung untuk
bekerja lebih mengejar banyaknya output yang di hasilkan ketimbang harus
memperhatikan kualitas produk yang di hasilkan. Menurut Ooi et al. (2007)
dan Farndale et al. (2011) menyatakan bahwa pekerja berharap akan diakui
untuk upaya dan kontribusi mereka terhadap pencapaian tujuan perusahaan.
Pekerja memandang penilaian dan sistem penghargaan kinerja sebagai
indikator komitmen organisasi terhadap tenaga kerjanya sehingga pekerja juga
akan bertindak secara timbal balik dengan juga menampilkan komitmen
mereka untuk organisasi.
Menurut Robbins (2001) diperlukan pertimbangan untuk membuat sebuah
sistem reward berupa variabel pay atau skill based pay untuk memotivasi
karyawan untuk dapat meningkatkan kinerja mereka. Motivasi karyawan
sangat penting dalam keberhasilan upaya peningkatan kualitas melalui
pelaksanaan Six Sigma. Manajemen harus menghubungkan antara program Six
Sigma dengan karyawannya melalui insentif/kompensasi (Motwani dkk, 2004).
Menurut Crosby (1989) menyatakan bahwa salah satu langkah yang paling
penting dari proses peningkatan kualitas adalah menghubungakan antara sistem
reward dan upaya peningkatan kualitas yang berbasis Six Sigma. Salah satu
survei yang dilakukan pada sebuah organisasi Amerika (Buch dan Tolentino,
2006), menyimpulkan bahwa karyawan merasa bahwa Six Sigma didukung
dengan adanya pemberian penghargaan intrinsik kepada pekerjanya seperti,
peningkatan kepuasan kerja, pengembangan keterampilan baru, tanggung
jawab pekerjaan baru, dan penghargaan sosial. Sistem imbalan memiliki peran
penting dalam menentukan kemampuan organisasi untuk memperoleh
karyawan yang potensial dan untuk mempertahankan karyawan yang
berkinerja tinggi untuk mencapai tingkat kualitas dan kinerja yang lebih baik
(Fay dan Thompson, 2001).
86 Universitas Kristen Petra
Sistem reward sebagai bagian dari sistem pengendalian organisasi
memainkan peran penentu untuk memotivasi karyawan sehingga mereka dapat
secara konsisten memberikan komitmen yang tinggi terhadap implementasi
strategi yang direncanakan (Goold & Quinn, 1993). Blackburn dan Rosen
(1993) dan Knouse (1995) memberikan beberapa dukungan bahwa ada
hubungan antara praktek reward, strategi berbasis TQM, dan kinerja
perusahaan. Menurut Knouse (1995) Fungsi reward dalam upaya peningkatan
kualitas berbasis TQM adalah :
Meningkatkan perilaku karyawan untuk dapat bekerja dalam team karena
upaya peningkatan kualitas membutuhkan kerja sama team bukan
individu, kerja sama untuk menyelesaikan masalah kualitas dengan
mengunakan metode statistik, dan berinteraksi dengan internal maupun
external customer.
Meningkatkan budaya kualitas, melalui sistem reward dapat meningkatkan
komitmen karyawan dalam upaya peningkatan kualitas yang dilakukan
oleh organisasi. Menurut Deming sistem reward dapat mengubah filosofis
organisasi menuju quality continous improvement.
Pernyataan Nilai-nilai organisasi
Sistem reward membuat statement tentang apa yang penting bagi
perusahaan seperti kualitas, kepuasan customer, dan continous
improvement.
Menurut Jason et al, (2001) (dalam Mehmood et al, 2013) sistem
penghargaan kelompok lebih efektif dari pada sistem penghargaan individu
karena sistem penghargaan kelompok dapat menciptakan perusahaan dan tim
kerja yang efisien dan efektif guna meningkatkan kinerja organisasi. Tipe-tipe
reward menurut Knouse (1995) yang berpengaruh dalam upaya peningkatan
kualitas berbasis pada TQM :
87 Universitas Kristen Petra
1. Cash
kebanyakan dari karyawan memilih uang tunai sebagai bentuk
penghargaan atas prestasi kerjanya. Pada kenyataannya uang dianggap
sebagai reward umum yang akan bekerja hampir di mana saja dengan
hampir semua orang. Hadiah uang tunai bisa dalam bentuk bonus atau
kenaikan gaji.
2. Gainsharing and Profit sharing
Gainsharing lebih berfokus kepada sebuah tim yang memberikan saran
perbaikan/continous improvement melalui persentase penghematan biaya
yang dihasilkan. Sedangkan profit sharing dilakukan oleh organisasi
melalui pembagian keuntungan perusahaan kepada individu atau tim.
3. Nonmonetary reward
Ada tiga jenis nonmonetary reward yaitu simbol, sesuatu yang digunakan,
dan bentuk lain dari pengakuan. Simbol termasuk pujian dari supervisor
atau teman kerja, memberikan sesuatu yan biasanya di pakai oleh
karyawan seperti seperti pena, kalkulator, pin dan pemberian lencana bagi
yang menyumbangkan prestasi bagi organisasi seperti penghargaan
presentasi formal dan makan malam formal.
4. Team rewards
Judith Mower seorang ahli dalam bidang HRM menyatakan bahwa team
reward menghasilkan kinerja tim yang terbaik. Penghargaan tim umumnya
diimplementasikan ketika TQM telah ditanamkan dalam organisasi. Pada
titik ini tim berfungsi dengan baik dalam pemecahan masalah dan
perbaikan proses terus-menerus. Selama pelaksanaan TQM, struktur
reward organisasi dapat berkembang melalui banyak fase mulai dari
sistem pembayaran tradisional sesuai dengan kinerja karyawan, kemudian
sistem pembayaran/kompensasi berdasarkan skill/keterampilan, dan
akhirnya sistem penghargaan berbasis tim.
88 Universitas Kristen Petra
Beberapa artikel yang telah dipublikasi menyebutkan perlunya
penyelarasan sistem reward untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan
TQM (Clinton et al, 1994;. Wilkinson, 1993). Penggunaan praktik imbalan
ekstrinsik seperti profit sharing, gainsharing, keamanan kerja, dan waktu
memiliki pengaruh positif signifikan terhadap hubungan antara TQM dan
kinerja perusahaan, sementara praktik reward intrinsik tidak mengungkapkan
hubungan yang signifikan dengan kinerja organisasi (Allen dkk,
2001). Imbalan ekstrinsik disajikan di bawah ini biasanya berhubungan
langsung dengan pemberian kompensasi seperti :
Profit sharing/pembagian keuntungan dimana organisasi berbagi
beberapa bagian dari keuntungan dengan karyawan. Rencana
pembagian keuntungan dapat diharapkan untuk berkontribusi terhadap
retensi karyawan sejauh karyawan yang memandang imbalan keuangan
sebagai manfaat tambahan yang disediakan oleh perusahaan (Gomez-
Mejia dan Balkin, 1989).
Gainsharing dimana keuntungan di bagi kepada individu atau unit kerja
yang memberikan kontribusi dalam peningkatan produktivitas, kualitas,
efektivitas biaya, atau peningkatan kinerja lainnya yang dibagi dalam
bentuk bonus berdasarkan formula yang telah ditentukan oleh
perusahaan (Allen dan Kilmann, 2001).
Keamanan kerja seperti memiliki kebijakan perusahaan atau kontrak
kerja yang dirancang untuk mencegah terjadinya PHK. Program TQM
perlu didukung oleh praktik keamanan kerja sehingga Karyawan tidak
harus takut kehilangan pekerjaan mereka. Praktek keamanan kerja dapat
mencegah terjadinya PHK sebagai akibat dari perbaikan TQM melalui
kebijakan perusahaan atau ketentuan dalam kontrak kerja (Allen dan
Kilmann, 2001).
89 Universitas Kristen Petra
Upah lembur dimana para pekerja diberi upah tambahan untuk jam
kerja lembur. Sistem ini berbasis pada kinerja individu dimana
penilaian kinerja dan kenaikan gaji didasarkan terutama pada prestasi
individu (Stajkovic dan Luthans, 2001).
Penilaian kinerja berbasis Quantity/jumlah dimana penilaian kinerja
terutama didasarkan pada pencapaian kuantitas terkait tujuan organisasi
(Allen dan Kilmann, 2001).
Untuk faktor intrinsik reward yang berpengaruh dalam upaya peningkatan
kualitas adalah (Porter and Lawler, 1968) :
Bentuk pengakuan Non - moneter untuk mengakui pencapaian tujuan
peningkatan kualitas seperti pemberian plakat, sertifikat, surat, tiket gratis,
merchandise, dll.
Perayaan untuk mengakui pencapaian tujuan peningkatan kualitas seperti
makan siang, makan malam, acara khusus, dll.
Ekspresi reguler penghargaan oleh para manajer / pemimpin untuk
karyawan untuk mengakui pencapaian tujuan peningkatan kualitas seperti
pujian atau tepukan di punggung.
Penilaian kinerja 360 derajat dimana umpan balik dari rekan kerja (selain
hanya atasan langsung) dan atau pelanggan dimasukkan ke dalam
penilaian kinerja.
Memiliki sistem saran yang tersedia bagi individu untuk membuat saran
peningkatan kualitas seperti kotak saran.
Penggunaan penilaian kinerja berdasarkan perkembangan dimana
penilaian kinerja digunakan terutama untuk mengembangkan karyawan
untuk tampil lebih baik di masa depan bukan untuk mengevaluasi prestasi
masa lalu mereka dan kegagalan pada masa lalu.
Kualitas promosi dimana promosi terutama didasarkan pada pencapaian tujuan
berbasis kualitas sebagai lawan tujuan berbasis kuantitas.
90 Universitas Kristen Petra
Mengenai kompensasi sesuai dengan Quality Management, beberapa literatur
menyoroti kompensasi berbasis kelompok (group based pay) dan berbasis
keterampilan (skill based pay) lebih efektif dari pada penghargaan individu karena
dapat mendorong kerja sama tim dan mendorong karyawan untuk memperluas dan
meningkatkan keterampilan mereka sehingga dengan demikian dapat meningkatkan
kinerja organisasi. Penilaian kinerja dengan penghargaan berdasarkan kinerja dan
keterampilan kelompok membantu menghasilkan tenaga kerja yang berkomitmen
yang diperlukan dalam inisiatif peningkatan kualitas (Gomez, 2014). Menurut
Knouse (1995) dalam mendesain sistem reward di butuhkan beberapa prinsip
dasar yaitu :
1. The reward is valued
Sistem reward yang di buat oleh organisasi haruslah bernilai bagi
organisasi itu sendiri dan juga karyawannya.
2. The system is simple to understand
Sistem reward yang di buat oleh organsasi haruslah simpel dan mudah
di pahami oleh karyawannya dan efektif.
3. Performance standars are within the control of the team
Menetapkan performa/kinerja standar untuk dapat menciptakan
tantangan bagi karyawan untuk mencapainya melalui kerja sama dan
kerja keras antar individu dalam suatu tim.
4. Supervisor are motivated to maintain the system
Supervisor mempunyai wewenang dan kuasa untuk membuat sistem
dapat bekerja dengan baik ataupun memanipulasinya untuk tujuan
tertentu. Jika supervisor melihat bahwa sistem reward telah berjalan
dengan baik maka tugas dari supervisor adalah mempertahankan
sistem tersebut agar dapat berjalan dengan baik.
5. Employee have input into instaling the system
Partisipasi dari karyawan dalam setiap proses organisasi dan
pemberdayaan untuk mengubah proses merupakan komponen utama
dalam upaya peningkatan kualitas.
91 Universitas Kristen Petra
6. There is open communication
Jika organisasi menerapkan sistem komunikasi yang terbuka maka
akan membuat karyawan untuk terdorong membagikan ide dan
informasi yang dimilikinya. Dalam sistem yang terbuka, semua
prosedur dan konsekuensi terpapar dengan jelas, administrasi dalam
sistem reward harus bisa efisien dan adil. Sistem yang tertutup akan
menciptakan hilangnya kepercayaan, miss komunikasi dan persepsi,
dan menciptakan rumor yang negatif terkait sistem reward yang dibuat.
Sistem reward yang dapat di terapkan pada PT.IFURA adalah sistem
reward berupa kompensasi finansial dan non finansial. Untuk kompensasi
finansial dapat berupa gainsharing atau bonus tahunan yang di berikan
kepada operator yang di hitung berdasarkan pencapaian target produk cacat
harian atau bulan yang di akumulasikan selama satu tahun dan akan di
bagikan setiap akhir tahun. Sistem gainsharing yang di maksudkan di sini
adalah misalnya ketika target produk cacat harian dari perusahaan adalah
sebesar 5% dari total produksi maka jika operator pada shift tertentu dapat
mencapai target di bawah 5% maka selisihnya itu yang akan di hitung sebagai
bonus bagi operator pada shift tersebut dan ketika melebihi target dari
perusahaan maka operator tidak mendapat bonus pada hari tersebut dan
apabila pada hari-hari berikutnya operator dapat mencapai target di bawah
5% maka akan tetap di hitung sebagai bonus harian. Perhitungan bonus ini di
hitung harian yang kemudian di akumulasikan ke bulan dan dari bulan di
akumulasikan untuk tahunan. Sedangkan untuk kompensasi non finansial
yang dapat di berikan oleh pihak PT.IFURA adalah berupa rekreasi bersama
(group based) bagi shift yang dapat memberikan pengurangan cacat yang
signifikan. Sistem kompensasi ini di buat untuk memotivasi setiap shift untuk
dapat bekerja sebaik mungkin untuk menghasilkan produk cacat seminimal
mungkin. Sistem kompensasi seperti ini perlu di terapkan ole PT.IFURA
karena operator juga membutuhkan hiburan/refreshing ketika mereka sudah
jenuh dengan pekerjaan mereka.
92 Universitas Kristen Petra
3. Meningkatkan keterlibatan operator dengan menciptakan budaya
kualitas melalui komunikasi dan komitmen
Berdasarkan analisa permasalahan pada tahap sebelumnya di
temukan bahwa permasalahan yang mengakibatkan cacat press mark
adalah lebih di sebabkan karena faktor manusia di mana kurangnya
keterlibatan operator dalam upaya peningkatan kualitas yang dilakukan
oleh PT.IFURA dan kurangnya komitmen operator terkait masalah
kualitas. Kurangnya komitmen dan keterlibatan ini ditunjukan lewat
proses kerja yang tidak mengikuti instruksi kerja yang telah di buat
dimana tujuan dari instruksi kerja adalah sebagai pedoman untuk cara
kerja yang baik dan benar guna menghindari terjadinya cacat pada produk.
Menurut Motwani (2004) salah satu alasan keberhasilan GE,
Motorola, dan Dupont dalam upaya peningkatan kualitas adalah dengan
menciptakan budaya kualitas melalui partisipasi/keterlibatan karyawan dan
keterbukaan dalam berkomunikasi antar karyawan dan manajemen.
Menurut Sila dan Ebrahimpour (2002) salah satu faktor keberhasilan
dalam upaya peningkatan kualitas (Quality Improvement) adalah dengan
adanya keterlibatan penuh dari setiap karyawannya (employee
involvement).
Dalam penelitian Fening dkk (2013) menunjukan bahwa adanya
hubungan positif antara keterlibatan dan komitmen karyawan dengan
upaya peningkatan kualitas yang berdampak pada kinerja perusahaan.
Menurut Oakland (2001), Komunikasi merupakan salah satu faktor kunci
dalam keberhasilan upaya peningkatan kualitas. Komunikasi memainkan
peranan sentral dalam interaksi antar karyawan dengan karyawan maupun
antar individu dalam sebuah tim. Pesan tentang upaya peningkatan kualitas
harus dikomunikasikan kepada tiga peserta yang terlibat dalam upaya
peningkatan kualitas yaitu karyawan, customer, dan stakeholder (Claver et
al, 2001).
93 Universitas Kristen Petra
Menurut Oakland dkk (1992) dalam TQM model terdiri dari tiga
komponen utama yaitu komunikasi, komitmen, dan budaya seperti yang
dapat di lihat pada gambar TQM model di bawah ini :
Gambar 4.14 TQM Model Oakland dkk (1992)
Berdasarkan TQM model diatas dapat dilihat bahwa untuk
menciptakan budaya kualitas di butuhkan komunikasi dan komitmen dari
setiap individu atau tim yang terlibat dalam upaya peningkatan kualitas.
Langkah awal dalam upaya peningkatan kualitas di mulai melalui
komunikasi antara manajemen dan karyawan. Komunikasi ini penting
untuk di lakukan karena akan membantu karyawan untuk memahami
maksud dan tujuan dari top manajemen dalam upaya peningkatan kualitas.
Manajemen puncak perlu untuk mengkomunikasikan dan
mensosialisasikan strategi, tujuan, dan sasaran yang ingin dicapai dalam
upaya peningkatan kualitas kepada seluruh karyawan yang terlibat dalam
upaya peningkatan kualitas (Oakland, 2000). Sosialisasi yang dapat
dilakukan pada PT.IFURA adalah melalui rapat antar pemimpin tiap
departemen, briefing kepada karyawan, supervisor, dan operatornya setiap
hari sebelum mulai bekerja, dan menempelkan poster tentang strategi
peningkatan kualitas yang ingin di terapkan beserta langkah-langkahnya
pada dinding/tembok pada lantai produksi.
94 Universitas Kristen Petra
Setelah manajemen mengkomunikasikan dan mensosialisasian
strategi dan tujuannya untuk upaya peningkatan kualitas maka selanjutnya
adalah menciptakan komitmen karyawan untuk menjalankan strategi yang
telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang di inginkan manajemen
dalam upaya peningkatan kualitas. Komitmen karyawan dapat di ciptakan
melalui beberapa cara seperti seperti melalui pelatihan untuk karyawan
tentang prinsip-prinsip kualitas (Kaynak, 2003; Sila dan Ebrahimpour,
2005), melibatkan karyawan dalam upaya pengambilan keputusan kualitas
(Ahire et al, 1996), dan kompensasi terhadap kontribusi karyawan untuk
peningkatan kualitas (Daft, 1998).
Meningkatkan ketrampilan dan pengetahuan operator melalui
pelatihan akan meningkatkan komitmen operator terhadap organisasi
(Nguyen et al, 2014). Hal pertama yang harus di lakukan oleh PT.IFURA
adalah melakukan training/pelatihan bagi supervisor dan operator terkait
metode/strategi peningkatan kualitas yang akan di terapkan. Pelatihan
tersebut bertujuan untuk memperkenalkan metode peningkatan kualitas
yang di gunakan beserta cara-cara menjalankannya. Setelah supervisor dan
operator paham dan mengerti tentang metode yang akan di gunakan maka
selanjutnya adalah melibatkan ke duanya dalam pemgambilan keputusan
terkait masalah kualitas yang di temui setelah di terapkannya metode
peningkatan kualitas. Operator di berikan kebebasan memberikan ide dan
sarannya untuk perbaikan kualitas dimana operator di ajak berdiskusi
dengan supervisor dalam pengambilan keputusan untuk penyelesaian
masalah kualitas yang terjadi misalnya ketika terjadi masalah pada mesin
hot press karena platennya sering bocor yang menyebabkan terjadinya
cacat noda/flek, operator juga di ajak berdiskusi/rapat dengan supervisor
dan bagian maintenance untuk bersama-sama mencari penyebabnya dan
bersama-sama berusaha untuk menyelesaikannya. Ketika upaya perbaikan
mesin ini berhasil maka akan terjadi peningkatan kualitas dan penurunan
jumlah produk cacat karena masalah kebocoran platen dapat di atasi.
95 Universitas Kristen Petra
Peningkatan kualitas ini harus di hargai oleh manajemen sebagai
bentuk komitmen operator terhadap organisasinya sehingga organisasi
perlu untuk menunjukkan komitmennya kepada operator juga malalui
penghargaan atas kinerja mereka. Penghargaan tersebut dapat berupa
Kompensasi baik finansial maupun non finansial. Menurut Vance (2006)
Kompensasi memberikan pengaruh kuat keterlibatan dan komitmen
karyawan dalam upaya peningkatan kualitas. Kompensasi dapat berupa
finansial (gaji, tunjangan, bonus, insentif, dll) maupun non finansial
(pujian, sertifikat, penitipan anak, rekreasi perusahaan, dll).
Sistem kompensasi yang dapat di berikan oleh PT.IFURA adalah
finansial dan non finasial. Kompensasi finansial dapat berupa bonus ketika
terjadi peningkatan kualitas dan penurunan jumlah cacat. Sedangkan
kompensasi non finansial dapat berupa rekreasi bersama antara operator
yang dapat memberikan peningkatan kualitas melalui penurunan jumlah
cacat. Rekreasi ini juga bertujuan untuk menciptakan suasana
kekeluargaan dan saling mengenal antara operator yang di harapkan
berdampak pada terciptanya kerja sama yang baik dalam organisasi.
Ketika komitmen karyawan telah tercipta maka akan merubah
budaya dari organisasi tersebut dimana yang awalnya operator masih
kurang peduli terhadap kualitas sekarang berubah menjadi lebih peduli
kepada kualitas dikarenakan komitmen dari operator dalam menjalankan
strategi yang telah ditetapkan oleh perusahaan. Untuk itu di butuhkan
hubungan timbal balik yang baik antara perusahaan dan pekerjanya
sehingga ke dua pihak sama-sama saling menguntungkan. Komitmen para
pekerjanya ini perlu di jaga dengan baik oleh perusahaan melalui menjalin
relasi dan komunikasi yang baik antara atasan dan bawahannya sehingga
tidak terjadi gap/kesenjangan yang dapat mempengaruhi komitmen
pekerja terhadap organisasi dan juga perlunya transparansi/keterbukaan
dalam sistem kerja maupun admnistrasinya sehingga tidak menimbulkan
persepsi negatif/jelek dari pekerja terhadap organisasi.
96 Universitas Kristen Petra
4. Mengabungkan sistem corrective, preventive, predictive, dan proactive
maintenance
Berdasarkan hasil analisis masalah yang menyebabkan timbulnya
cacat noda/flek adalah faktor mesin. Faktor mesin yang menyebabkan
terjadinya cacat noda/flek adalah karena kebocoran platen pada mesin hot
press. Kebocoran platen ini di sebabkan karena kurangnya penjadwalan
perawatan yang baik sehingga tidak dapat mengantisipasi terjadinya
kebocoran pada platen. Berdasarkan hasil analisis masalah pada tahap
sebelumnya di simpulkan bahwa bagian maintenance pada PT. IFURA
tergolong ke dalam level corrective maintenance karena ketika terjadi
kerusakan pada mesin baru di perbaiki dan belum ada tindakan preventif
untuk mencegah terjadinya kebocoran platen pada mesin hot press. Selain
itu di temukan juga bahwa kurangnya dukungan dan control dari
manajemen untuk bagian maintenance membuat sistem maintenance
barjalan kurang baik.
Menurut Nakajima (1988) di temukan bahwa keberhasilan
pelaksanaan program maintenance membutuhkan dukungan dari
manajemen. Dalam penelitian Dhillon dkk (2012) di peroleh bahwa
keberhasilan pelaksanaan program maintenance memerlukan dukungan
dan komitmen manajemen puncak, selain itu juga di perlukan keterlibatan
dan tanggung jawab dari operator dalam proses pemeliharaan.
Keberhasilan program maintenance memberikan dampak pada
peningkatan produktivitas, kualitas, dan keselamatan pekerja (Dhillon,
2012). Menurut Fredendall et al (1997) Komitmen manajemen puncak di
butuhkan dalam program pengembangan sistem maintenance seperti
penetapan kebijakan program maintenance, penjelasan dan penetapan
tujuan dari program maintenance, mengkomunikasikan tentang program
maintenance ke semua karyawan yang ada dalam organisasi, membangun
sistem untuk pengembangan dan pelatihan karyawan, dan mempersiapkan
lingkungan yang sesuai untuk pelaksanaan program maintenance.
97 Universitas Kristen Petra
Dalam penelitian yang di lakukan oleh Dhillon dkk (2012)
menjelaskan bahwa perlunya kolaborasi dan integrasi antara departemen
pemeliharaan dan departemen produksi karena ketika mesin tidak dapat
beroperasi dengan baik maka akan mengurangi kapasitas dan dapat
mengakibatkan menurunnya kualitas sehingga akan menyebabkan beban
tambahan kerja bagi operator produksi karena adanya tekanan dari
manajemen untuk memenuhi target produksi sehingga perlu adanya
penjadwalan perawatan yang baik sehingga dapat mencegah terjadi
kerusakan pada mesin yang dapat menghambat proses produksi dan di
butuhkan tindakan preventif dari bagian maintenance.
Menurut Dhillon dan Liu (2006) untuk menciptakan suatu sistem
perawatan yang dapat berjalan dengan baik dalam suatu organisasi
dibutuhkan gabungan antara corrective dan preventive maintenance.
Preventive maintenance harus dilakukan untuk memastikan kondisi kerja
yang nyaman dan corrective maintenance di lakukan untuk menangani
kesalahan dan kegagalan yang tidak dapat di prediksi atau di cegah
sehingga kombinasi antara ke dua tipe perawatan tersebut menjadi bagian
penting dalam proses perawatan (Salonen dan Deleryd, 2011). Beberapa
kelebihan dan kekurangan dari sistem corrective dan preventive
maintenance adalah :
Tabel 4.25 Kelebihan dan Kekurangan Corrective dan Preventive Maintenance Type Of
Maintenance
Advantage Disadvantage
Corrective
Maintenance
Biaya perawatan yang
rendah selama operasi.
Komponen akan digunakan
untuk seumur hidup
Resiko tinggi kerusakan mengakibatkan downtime yang lama Tidak ada penjadwalan pemeliharaan Suku cadang logistik rumit karena Periode pengiriman yang lama
Preventive
Maintenance
Downtime diharapkan rendah. Pemeliharaan dapat dijadwalkan. Spare logistik mudah
Komponen tidak akan digunakan untuk seumur hidup Biaya pemeliharaan lebih tinggi dibandingkan dengan korektif pemeliharaan.
Sumber : Giebhardt dkk (2004)
98 Universitas Kristen Petra
Tabel 4.26 Kelebihan dan Kekurangan Corrective dan Preventive Maintenance Maintenace type
Advantage Disadvantage
Corrective
Maintenance
Biaya murah Peningkatan biaya karena downtime
Staff sedikit peningkatan biaya tenaga kerja terutama jika lembur diperlukan
Tidak efisiennya penggunaan staf sumber daya
Preventive Maintenance
Biaya investasi yang besar
Kegagalan masih mungkin terjadi
Peningkatan siklus hidup komponen
tenaga kerja intensif
Hemat energi
Termasuk kinerja pemeliharaan tidak dibutuhkan
mengurangi peralatan atau proses kegagalan
Sumber : Pride (2008)
Berdasarkan dua tabel di atas dapat dilihat bahwa masih adanya
kelebihan dan kekurangan dari ke dua sistem maintenance tersebut
sehingga ke duanya harus di kombinasikan dengan beberapa metode
perawatan lainnya sehingga dapat menciptakan sistem maintenance yang
baik. Menurut Kahn (2006) model strategi program pemeliharaan yang
baik terdiri dari empat komponen strategi pemeliharaan yaitu corrective,
preventifve, predictive, dan proactive. Corrective strategi memiliki biaya
investasi yang rendah, biaya operasi yang tinggi dan ketersediaan peralatan
yang rendah. Untuk strategi predictive dan proactive umumnya
memerlukan investasi yang besar, biaya operasi rendah, dan menghasilkan
ketersediaan peralatan yang tinggi. Strategi terbaik adalah dengan
memanfaatkan strategi yang berbeda untuk masing-masing peralatan
didasarkan pada kekritisan peralatan, analisis ekonomi (payback), dan
penilaian resiko.
99 Universitas Kristen Petra
Praktek strategi terbaik menurut Kahn (2006) adalah campuran
antara corrective, preventive, prediktive, dan proactive dengan komposisi
presentase 10% corrective, 30% preventive, 50% prediktive, dan 10%
proactive. Di bawah ini adalah model strategi pemeliharaan menurut Kahn
(2006) :
Gambar 4.15 Model Pemeliharaan (Kahn, 2006)
Model pemeliharaan di atas dapat di jadikan dasar dalam perancangan
sistem maintenance pada PT.IFURA untuk mengantisapi kebocoran platen
pada mesin hot press. Berdasarkan model diatas terdapat tiga metode
pemeliharaan yaitu proactive, preventive, dan corrective maintenance.
Proactive Maintenance :
Proaktif maintenance ini dapat dilakukan dengan memberikan training
kepada staff maintenance tentang cara pengecekan dan pergantian suku
cadang pada mesin hot press dengan benar misalnya cara-cara pengecekan
rutin untuk karet sill dan selang pada mesin hot press dan juga cara
mengantinya apabila rusak.
100 Universitas Kristen Petra
Preventive maintenance
Preventive maintenance ini di bagi ke dalam dua kelompok yaitu time
based dan prediktif maintenance. Time based maintenance dapat di
jalankan pada PT.IFURA dengan melakukan service rutin pada mesin hot
press sesuai dengan jadwal yang telah di tetapkan misalnya penambahan
oli pada hidrolik mesin hot press 1 bulan sekali, penambahan pelumas
pada karet sill sehingga tidak cepat aus dan juga melakukan
pengecekan/inspeksi untuk karet sill dan selang pada mesin hot press dan
melakukan pergantian rutin spare part seperti karet sill, selang, kran, dll
pada mesin hot press apabila masa pakainya sudah hampir habis.
Sedangkan untuk prediktif maintenance dapat di lakukan dengan
memonitor kondisi selang atau karet sill pada platen sehingga dapat
memprediksi kapan harus di ganti. Untuk preventive maintenance ini
membutuhkan data historis masa/lama waktu pemakaian spare part
sehingga dapat di prediksi kapan harus di ganti.
Corrective maintenance
Corrective maintenance bertujuan untuk melakukan perbaikan ketika
kegagalan telah terjadi karena tidak dapat di prediksi atau terjadi secara
tiba-tiba. Bagian maintenance harus mempunyai persiapan ketika terjadi
kerusakan pada mesin yang diluar prediksi atau di luar kebiasaanya.
Corrective maintenance ini harus di dukung dengan ketersediaan suku
cadang yang memadai sehingga jika terjadi kerusakan dapat langsung
segera di ganti dan tidak perlu menunggu waktu lama untuk
pemesanan/pembeliannya. Untuk permasalahan yang terjadi pada mesin
hot press ini adalah kebocoran platen karena kebocoran dari selang dan
karet sill pada platen sehingga untuk itu di butuhkan ketersediaan karet sill
dan selang sebagai persiapan untuk mengantisipasi kebocoran platen yang
tak terduga.
101 Universitas Kristen Petra
4.4.5 Tahap Control
Pada tahap ini akan di buat mekanisme control untuk proses pada PT.
IFURA yang bertujuan untuk mengendalikan proses produksi pada PT. IFURA.
Mekanisme kontrol di buat berdasarkan saran perbaikan yang diberikan sehingga
dapat dijadikan pedoman standar kinerja proses produksi selanjutnya.
a. Standar Operating Procedure staff QC untuk mengontrol proses
produksi pada mesin Glue spreader
1. Ruang lingkup : Ruang lingkup prosedur ini adalah pada proses
produksi di mesin glue spreader.
2. Tujuan pembuatan SOP ini adalah :
Memastikan proses produksi pada departemen glue spreader
berjalan sesuai standar agar dapat mencapai peningkatan kualitas.
3. SOP untuk mengontrol proses produksi pada mesin glue spreader :
Langkah pertama dalam SOP ini adalah briefing dari supervisor
kepada operator untuk menyampaikan target harian produksi
sebelum proses produksi di mulai. Selanjutnya operator melakukan
persiapan mesin glue spreader sesuai dengan instruksi kerja untuk
proses persiapan mesin. Setelah mesin siap maka proses produksi
dapat di mulai dan di awasi oleh supervisor dengan bantuan
foreman untuk memastikan proses produksi berjalan sesuai dengan
instruksi kerja pelaburan lem. Jika ada core hole atau core lap
maka foreman/supervisor berfungsi untuk memberhentikan
sementara proses peluncuran core untuk memberikan waktu
kepada operator untuk melakukan perbaikan pada core hole/core la
yang terjadi dengan berpedoman pada grading rule PT.IFURA
yang berisikan standar untuk penentuan produk cacat. Apabila
tidak terdapat core hole atau core lap maka proses dapat di
lanjutkan untuk pengabungan antara core dan face/backnya dengan
mengikuti instruksi kerja untuk proses pelaburan lem dan setelah
itu di susun dan ditumpuk untuk di kirim ke proses selanjutnya.
102 Universitas Kristen Petra
Gambar 4.16 SOP Proses Produksi Mesin Glue Spreader
103 Universitas Kristen Petra
b. Standar Operating Procedure untuk mengontrol sistem reward
1. Ruang lingkup : Staff HRD dan operator produksi
2. Tujuan pembuatan SOP ini adalah :
Untuk mengontrol dan mengevaluasi sistem reward.
3. SOP staff HRD untuk mengontrol sistem reward :
SOP yang di buat ini untuk mengevaluasi jalanya sistem reward,
dimana evaluasi tersebut di lakukan oleh staff HRD pada setiap
akhir tahun untuk penentuan pemberian reward kepada operator
atau tidak. Evaluasi tersebut di lakukan dengan menghitung jumlah
produk cacat hasil produksi yang di sesuaikan dengan target
perusahaan. Ketika penurunan jumlah cacat memberikan profit
yang signifikan bagi perushaan maka perusahaan akan memberikan
bonus/reward tahunan kepada operator dan jika tidak maka
perusahaan tidak memberi reward kepada operator.
Gambar 4.17 SOP Mengontrol Sistem Reward
104 Universitas Kristen Petra
c. Standar Operating Procedure untuk Mengontrol proses pada
departemen Hot press
1. Ruang lingkup : Ruang lingkup pada prosedur ini adalah pada
proses produksi di mesin Hot press
2. Tujuan pembuatan SOP ini adalah :
Memastikan proses produksi pada departemen hot press berjalan
sesuai standar agar dapat mencapai peningkatan kualitas.
3. SOP mengontrol proses produksi pada mesin hot press :
Langkah pertama dalam SOP ini adalah briefing dari supervisor
kepada operator untuk menyampaikan target harian produksi
sebelum proses produksi di mulai. Selanjutnya operator melakukan
persiapan mesin hot press sesuai dengan instruksi kerja untuk
proses penyetelan mesin hot press. Setelah mesin siap maka proses
produksi dapat di mulai dan di awasi oleh supervisor dengan
bantuan foreman untuk memastikan proses produksi berjalan
sesuai dengan instruksi kerja untuk proses pengempaan panas. Jika
ada sampah/kotoran dan sisa kayu pada permukaan dan pinggir
layer maka foreman bertugas memberhentikan proses sementara
dan operator membersihkan kotoran/sampah atau memotong sisa
kayu pada pinggir layer sesuai dengan instruksi kerja pada proses
pengempaan panas. Apabila tidak ada kotoran/sampah maka layer
dapat di masukan ke mesin hot press untuk di press dengan waktu
press selama 110 detik dan suhu 100°C. Setelah itu layer di
keluarkan dari mesin hot press dan disusun untuk di kirim ke
proses selanjutnya.
105 Universitas Kristen Petra
Gambar 4.18 SOP Proses Produksi Mesin Hot Press
106 Universitas Kristen Petra
d. Standar Operating Procedure Bagian Maintenance
1. Ruang lingkup : Ruang lingkup pada prosedur ini untuk mengatur
semua mesin dan peralatan yang berhubungan langsung dengan
proses produksi.
2. Tujuan pembuatan SOP ini adalah :
Membuat sistem maintenance dapat berjalan dengan baik melalui
sehingga dapat mendukung proses produksi dan upaya peningkatan
kualitas.
3. SOP bagian maintenance :
Langkah pertama dalam SOP ini adalah staff maintenance
melakukan pemeriksaan rutin harian untuk setiap mesin produksi
sebelum produksi di mulai dengan berpedoman pada checklist
pemeriksaan mesin. Apabila ada mesin yang rusak maka staff
maintenance bertugas untuk mengisi laporan kerusakan mesin
untuk di ajukan ke manajemen. Keputusan perbaikan berada pada
manajemen di mana tergantung pada kondisi kerusakan mesin
apakah parah/tidak. Jika parah dan harus di perbaiki maka proses
perbaikan di lakukan oleh mekanik sesuai dengan manual book
mesin tersebut. Apabila tidak parah dan masih dapat di pakai
produksi maka manajemen akan memutuskan untuk tetap
melanjutkan proses produksi dengan mempertimbangkan
keselamatan operator dan kualitas produk. Jika ada suku cadang
yang aus dan harus di ganti maka staff maintenance harus mengisi
form permintaan pergantian suku cadang untuk di ajukan ke
manajemen dan setelah di terima barulah akan di ganti oleh
mekanik sesuai dengan manual book untuk mesin tersebut. Setelah
semua pemeriksaan selesai maka staff maintenance bertugas
membuat laporan hasil pemeriksaan dan mengisi form historis
kerusakan/pergantian suku cadang pada mesin produksi.
107 Universitas Kristen Petra
Gambar 4.19 SOP Bagian Maintenance