bab satu pendahuluan -...

13
Bab Satu Pendahuluan Pada saat ini Indonesia masih berada pada posisi yang mengkhawatirkan terkait dengan ketimpangan distribusi pendapatan di dalam masyarakat. Di satu sisi, terdapat sejumlah kecil kelompok masyarakat yang memiliki pendapatan tinggi namun di sisi lain ada sejumlah besar kelompok masyarakat yang memiliki pendapatan rendah. Menurut BPS (Biro Pusat Statistik) dalam survei sosial- ekonomi per Maret 2013, Indeks Gini Indonesia sebesar 0,41 atau dengan kata lain kondisi keadilan ekonomi Indonesia masih jauh dari titik diagonal pemerataan. Bahkan dalam perkembangannya, Indeks Gini Indonesia dari tahun ke tahun menjauh dari angka 0 dan cenderung mendekat ke angka 1. Indeks Gini Indonesia sejak 2009 hingga 2013 secara berturut-turut adalah 0,37; 0,38; 0,39; 0,40 dan 0,41. Sehingga bisa dikatakan bahwa terdapat kesenjangan antara penduduk berpendapatan rendah dengan yang berpendapatan tinggi dimana penduduk berpendapatan rendah dan menengah berada pada kisaran masing-masing 40%, sedangkan penduduk berpendapatan tinggi sebesar 20%, dimana pengeluaran dari penduduk berpendapatan rendah tersebut sebesar 16,87% dari keseluruhan pengeluaran. Menurut BPS, ketimpangan terjadi dalam distribusi asset. 1 Data di atas menunjukkan bahwa masih terdapat ketimpangan distribusi pendapatan di kalangan masyarakat Indonesia. Hal itu juga berarti bahwa masyarakat Indonesia masih menghadapi masalah besar yang oleh John Rawls (2011) disebut sebagai ketidakadilan distributif (distributive injustice). Menurutnya, keadilan distributif mengandung dua prinsip, yaitu: the greatest equal principle (prinsip kesamaan yang paling mendasar) dan social and economic inequalities that should be 1 (http://ekonomi.kompasiana.com/ moneter/2013/10/16/ , diunduh pada 19 Juli 2014).

Upload: trinhduong

Post on 28-Mar-2019

218 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Bab Satu Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7054/1/D_902009003_BAB I.pdf · Data di atas menunjukkan bahwa masih terdapat ketimpangan distribusi

Bab Satu

Pendahuluan

Pada saat ini Indonesia masih berada pada posisi yang mengkhawatirkan terkait dengan ketimpangan distribusi pendapatan di dalam masyarakat. Di satu sisi, terdapat sejumlah kecil kelompok masyarakat yang memiliki pendapatan tinggi namun di sisi lain ada sejumlah besar kelompok masyarakat yang memiliki pendapatan rendah. Menurut BPS (Biro Pusat Statistik) dalam survei sosial-ekonomi per Maret 2013, Indeks Gini Indonesia sebesar 0,41 atau dengan kata lain kondisi keadilan ekonomi Indonesia masih jauh dari titik diagonal pemerataan. Bahkan dalam perkembangannya, Indeks Gini Indonesia dari tahun ke tahun menjauh dari angka 0 dan cenderung mendekat ke angka 1. Indeks Gini Indonesia sejak 2009 hingga 2013 secara berturut-turut adalah 0,37; 0,38; 0,39; 0,40 dan 0,41. Sehingga bisa dikatakan bahwa terdapat kesenjangan antara penduduk berpendapatan rendah dengan yang berpendapatan tinggi dimana penduduk berpendapatan rendah dan menengah berada pada kisaran masing-masing 40%, sedangkan penduduk berpendapatan tinggi sebesar 20%, dimana pengeluaran dari penduduk berpendapatan rendah tersebut sebesar 16,87% dari keseluruhan pengeluaran. Menurut BPS, ketimpangan terjadi dalam distribusi asset.1

Data di atas menunjukkan bahwa masih terdapat ketimpangan distribusi pendapatan di kalangan masyarakat Indonesia. Hal itu juga berarti bahwa masyarakat Indonesia masih menghadapi masalah besar yang oleh John Rawls (2011) disebut sebagai ketidakadilan distributif (distributive injustice). Menurutnya, keadilan distributif mengandung dua prinsip, yaitu: the greatest equal principle (prinsip kesamaan yang paling mendasar) dan social and economic inequalities that should be

1 (http://ekonomi.kompasiana.com/ moneter/2013/10/16/, diunduh pada 19 Juli 2014).

Page 2: Bab Satu Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7054/1/D_902009003_BAB I.pdf · Data di atas menunjukkan bahwa masih terdapat ketimpangan distribusi

Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah

2

arranged based on the principles of: (1) the different principle, dan (2) the principle of fair equality of opportunity.

The greatest equal principle mengacu kepada azas bahwa setiap orang harus memiliki hak yang sama atas kebebasan dasar yang paling luas, seluas kebebasan yang sama bagi semua orang. Ini berarti bahwa hanya dengan adanya jaminan kebebasan yang sama bagi semua orang maka keadilan akan terwujud atau yang disebut sebagai Prinsip Kesamaan Hak.

Sementara prinsip kedua, yaitu mengenai pengaturan ketidaksamaan sosial ekonomi yang didasarkan atas prinsip the different principle (prinsip yang berbeda) dan the principle of fair equality of opportunity (prinsip kesamaan kesempatan yang adil) dimaksudkan untuk memberikan keuntungan terbesar bagi orang-orang yang kurang beruntung, serta memberikan penegasan bahwa dengan kondisi dan kesempatan yang sama di mana semua posisi dan jabatan harus terbuka bagi semua orang. Menurut Rawls, prinsip kedua ini merupakan “prinsip perbedaan obyektif” yang menjamin terwujudnya proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban para pihak, sehingga secara wajar (obyektif) diterima adanya perbedaan pertukaran asalkan memenuhi syarat good faith (loyalitas/keimanan yang baik) dan fairness (kejujuran/ keadilan).

Untuk membangun keadilan yang hakiki, prinsip pertama dan prinsip kedua harus diterapkan secara komprehensif. Rawls tampaknya mencoba untuk menjembatani perbedaan persepsi antara keadilan model masyarakat kapitalis dan masyarakat sosialis. Dengan penekanannya yang begitu kuat pada pentingnya memberi peluang yang sama bagi semua pihak, Rawls tampaknya berusaha agar keadilan tidak terjebak dalam ekstrem kapitalisme di satu pihak dan sosialisme di lain pihak. Namun demikian Rawls mengatakan bahwa bila terjadi konflik antara dua prinsip tersebut, maka yang harus lebih diprioritaskan adalah prinsip pertama. Demikian juga prinsip 2, bagian b yaitu the principle fair equality of opportunity harus lebih diprioritaskan daripada bagian a yaitu the different principle. Menurutnya, keadilan harus dipahami sebagai fairness dimana tidak hanya mereka yang memiliki bakat dan kemampuan yang lebih baik

Page 3: Bab Satu Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7054/1/D_902009003_BAB I.pdf · Data di atas menunjukkan bahwa masih terdapat ketimpangan distribusi

Pendahuluan

3

saja yang berhak menikmati berbagai manfaat sosial lebih banyak, tetapi keuntungan tersebut juga harus membuka peluang bagi mereka yang kurang beruntung untuk meningkatkan masa depan kehidupannya.

Rawls juga menambahkan bahwa pertanggungjawaban moralitas ”kelebihan” dari mereka yang beruntung harus ditempatkan pada ”bingkai kepentingan” kelompok mereka yang kurang beruntung. Dalam hal ini “the different principle” tidak menuntut manfaat yang sama (equal benefits) bagi semua orang, melainkan manfaat yang sifatnya timbal balik (reciprocal benefits). Namun demikian menurut Rawls agar terjamin suatu aturan main yang obyektif maka keadilan yang dapat diterima sebagai fairness adalah pure procedural justice, artinya keadilan sebagai fairness harus berproses sekaligus terrefleksi melalui suatu prosedur yang adil untuk menjamin hasil yang adil pula. Di sini aturan main yang dapat diwujudkan dalam bentuk produk perundang-undangan menjadi sangat penting yang akan mengatur hubungan-hubungan kontrak antar berbagai elemen dalam kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya kontrak-kontrak bisnis.

Seperti diketahui bahwa kontrak-kontrak dalam dunia bisnis memiliki dimensi yang sangat kompleks. Terkait dengan kompleksitas hubungan kontraktual dalam dunia bisnis, khususnya terkait dengan keadilan dalam kontrak, maka Rawls berpendapat bahwa analisis keadilan dalam kontrak harus memadukan konsep kesamaan hak dalam pertukaran (prestasi – kontra prestasi) sebagaimana dipahami dalam konteks keadilan komutatif (commutative justice) maupun konsep keadilan distributif (distributive justice) sebagai landasan hubungan kontraktual yang bersifat komprehensif. Keadilan komutatif, adalah keadilan yang memberikan hak sama kepada setiap orang, tanpa membeda-bedakan warna kulit, jenis kelamin, umur, dan sebagainya. Contohnya adalah hak atas sandang, pangan dan papan (perumahan) yang layak. Sementara itu keadilan distributif adalah keadilan yang tidak memberikan hak sama kepada setiap orang, tetapi keadilan yang memberikan hak proporsionalitas atau sebanding, dalam penerapannya sesuai dengan prestasi yang dilakukan seseorang dalam masyarakat.

Page 4: Bab Satu Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7054/1/D_902009003_BAB I.pdf · Data di atas menunjukkan bahwa masih terdapat ketimpangan distribusi

Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah

4

Dalam keadilan komutatif yang menjadi landasan hubungan antara person, termasuk dalam kontrak, hendaknya tidak dipahami sebagai kesamaan semata karena pandangan ini akan membawa ketidakadilan ketika dihadapkan dengan ketidakseimbangan para pihak yang berkontrak. Dalam keadilan komutatif terkandung pula makna distribusi-proporsional. Demikian pula dalam keadilan distributif yang dipolakan dalam hubungan negara dengan warga negara, konsep distribusi-proporsional yang terkandung di dalamnya dapat ditarik ke dalam perspektif hubungan kontraktual para pihak. Namun demikian barangkali persoalan akan muncul ketika penciptaan perundangan yang mengatur hubungan kontrak bisnis itu dikooptasi oleh kepentingan kelompok dominan yang menguasai modal sehingga aturan-aturan mengenai kontrak bisnis itu hanya akan mengesahkan ketidakadilan.

Sementara itu terkait dengan penyebab terjadinya ketidakadilan dan ketimpangan atau pun kecenderungan ke arah ketimpangan yang terjadi di dalam suatu masyarakat, Roemer (1998) mengidentifikasikan adanya beberapa faktor, yaitu: 1) ketimpangan dalam usaha, kerja keras, atau talenta dari individu; 2) ketimpangan dalam opportunity (kesempatan); dan 3) ketimpangan dalam kebijakan.

Terkait dengan ketimpangan dan kecenderungan ke arah kondisi yang semakin timpang dalam distribusi pendapatan, maka Bappenas (2012) berpendapat bahwa pemerintah sebagai pembuat kebijakan seyogyanya berfokus untuk mengurangi ketimpangan agar tetap berada dalam koridor fairness, yaitu bukan mengurangi ketimpangan pada outcome, tetapi mengurangi ketimpangan pada opportunity. Pemerintah menyadari bahwa upaya untuk mengurangi ketimpangan lebih kompleks daripada mengurangi kemiskinan. Dalam kerangka ini, banyak ahli yang menyatakan bahwa upaya untuk mengurangi ketimpangan atau meredam tren kenaikan ketimpangan di Indonesia tidak bisa semata-mata dilakukan dengan melakukan pengendalian ketimpangan dalam outcome (seperti pendapatan atau konsumsi), tetapi fokus pada pengurangan ketimpangan dalam opportunity. Dalam hal ini untuk mengurangi kecenderungan ketimpangan, maka pemerintah dapat melakukan dua

Page 5: Bab Satu Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7054/1/D_902009003_BAB I.pdf · Data di atas menunjukkan bahwa masih terdapat ketimpangan distribusi

Pendahuluan

5

hal besar, yaitu: meningkatkan equality of opportunity (penyamaan kesempatan) dan melakukan redistribution (redistribusi).

Equality of opportunity bisa dilakukan dengan berbagai kebijakan, misalnya pemberian akses kepada kelompok masyarakat ekonomi lemah dalam hal permodalan yang bisa dilakukan dalam bentuk pemberian kredit lunak. Dalam hal inilah lembaga keuangan mikro (micro finance) seperti LKMS maupun LKMK sebetulnya memiliki peluang atau peran yang strategis dalam ikut mengondisikan terbentuknya equality of opportunity di kalangan masyarakat ekonomi lemah.

Lembaga keuangan mikro sesungguhnya telah dikenal di Indonesia sejak akhir abad ke-19 dengan perintisan berdirinya beberapa “De Purwokertosche Hulp en Spaarbank der Irlansdche” (Bank Bantuan dan Simpanan Purwokerto) pada 16 Desember 1895 oleh Raden Aria Wiraatmadja, Patih Purwokerto. Pendirian bank tersebut telah menggerakkan hati Asisten Residen De Wolff Van Westerrode untuk mengembangkan koperasi-koperasi kredit di kalangan petani di seluruh Karesidenan Banyumas. De Wolff Van Westerrode kemudian melakukan reorganisasi dengan mengubah nama bank yang didirikan Raden Arya Wiraatmadja itu menjadi “Purwokertosche Hulp Spaar en Landbouwercredit Bank” (Bank Bantuan dan Simpanan serta Kredit Petani Purwokerto). Bersamaan dengan perluasan bank, di seluruh Karesidenan Banyumas didirikan 250 lumbung desa yang bertugas memberikan kredit dalam bentuk padi. Upaya kaum pribumi ini dalam perjalanan waktu selanjutnya menggugah pemerintah kolonial untuk mendirikan lembaga keuangan dalam skala yang lebih besar. Pada 1905 lembaga kuangan makro tersebut ditingkatkan menjadi Bank Desa yang cakupan pelayanannya diperluas meliputi kegiatan usaha di luar bidang pertanian. Pada tahun 1929, pemerintah Hindia Belanda menerbitkan Staatblad 1929 No. 137 tentang pendirian Badan Kredit Desa (BKD) untuk menangani kredit pedesaan di Jawa dan Madura ( Bank Indonesia, 2). Selanjutnya pada tahun 1934, semua Volkscredit Bank disatukan menjadi Algemeene Volkscredit Bank yang memiliki cabang di seluruh Indonesia. Lembaga

Page 6: Bab Satu Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7054/1/D_902009003_BAB I.pdf · Data di atas menunjukkan bahwa masih terdapat ketimpangan distribusi

Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah

6

keuangan ini kemudian yang menjadi cikal bakal Bank Rakyat Indonesia (BRI).

Setelah kemerdekaan, Pemerintah Indonesia mendorong berdirinya bank-bank pasar (bank yang khusus memberi pinjaman kecil dengan bunga rendah kepada pedagang pasar), serta lembaga-lembaga keuangan mikro oleh pemerintah daerah, seperti Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan (LDKP) di Jawa Barat, Badan Kredit Kecamatan (BKK) di Jawa Tengah, Kredit Usaha Rakyat Kecil (KURK) di Jawa Timur, Lumbung Putih Nagari (LPN) di Sumatera Barat, dan Lembaga Perkreditan Desa (LPD) di Bali (Bank Indonesia, 2).

Pada saat itu lembaga-lembaga tersebut belum disebut sebagai Lembaga Keuangan Mikro (LKM), tetapi lebih sebagai bank pasar, atau lembaga kredit desa atau kecamatan. Keadaan ini berubah setelah keluarnya Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan yang menetapkan bahwa hanya ada dua jenis bank di Indonesia, yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Lembaga keuangan yang tidak memenuhi syarat sebagai BPR kemudian dikenal sebagai lembaga keuangan nonformal atau bank gelap. Tercatat ada 2.272 LDKP dan 5.345 BKD yang tidak memenuhi syarat sebagai BPR (Ibrahim, 2003).

Besarnya keyakinan bahwa keuangan mikro merupakan salah satu strategi penting dalam penanggulangan kemiskinan dan mengurangi ketimpangan pendapatan telah mendorong banyak pihak berusaha membuka pelayanan pembiayaan mikro. Apalagi pemerintah baik pusat maupun daerah menyalurkan berbagai program dana bergulir kepada kelompok masyarakat atau mendirikan semacam LKM. Demikian pula lembaga donor dan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) juga membentuk LKM. Pada saat ini usaha mikro merupakan usaha yang memiliki porsi tertinggi dibandingkan dengan jenis usaha masyarakat yang lain, yaitu sebesar 98, 9% dari jumlah keseluruhan.

Undang Undang No.1 tahun 2013, tentang Lembaga Keuangan Mikro mendefinisikan Lembaga Keuangan Mikro sebagai lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota

Page 7: Bab Satu Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7054/1/D_902009003_BAB I.pdf · Data di atas menunjukkan bahwa masih terdapat ketimpangan distribusi

Pendahuluan

7

dan masyarakat, pengelolaan simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan. Definisi tersebut menyiratkan bahwa LKM di samping merupakan sebuah institusi profit motive juga bersifat social motive, yang kegiatannya lebih bersifat community development dengan tanpa mengesampingkan perannya sebagai lembaga intermediasi keuangan. Sebagai lembaga keuangan yang berfungsi sebagai lembaga intermediasi, LKM juga melaksanakan kegiatan simpan-pinjam, yang aktifitasnya di samping memberikan pinjaman juga membangkitkan kesadaran menabung kepada masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah.

Namun sistem keuangan konvensional yang menggunakan sistem bunga seringkali dinilai sebagai sistem yang tidak menguntungkan masyarakat yang berada dalam tingkat miskin. Konsep operasional lembaga keuangan yang dinilai menghormati hak-hak manusia untuk mendapatkan kehidupan sejahtera adalah sistem bukan riba yang mendasarkan transaksi penyediaan modal keuangan pada konsep bagi hasil. Dalam hal in secara teoritik BMT (Baitul Maal wat Tamwil) merupakan salah satu lembaga penyedia jasa keuangan bukan bank tanpa bunga yang memiliki potensi akses lebih besar kepada masyarakat miskin, begitu pula dengan LKM bukan bank seperti bentuk KSP (Koperasi Simpan Pinjam).

Melihat sistem keuangan konvensional yang mengarah ke riba dan belum teraplikasi dengan perannya untuk kesejahteraan rakyat, maka banyak orang berpandangan perlu adanya sistem Keuangan Mikro Syariah yang memberikan jasa keuangan secara syariah bagi pengusaha mikro dan masyarakat berpenghasilan rendah, baik formal, semi formal, maupun informal yang tidak terlayani oleh lembaga keuangan formal yang lebih berorientasi pasar untuk tujuan bisnis. Keuangan mikro sendiri adalah kegiatan sektor keuangan berupa penghimpunan dana dan pemberian pinjaman atau pembiayaan dalam skala mikro dengan suatu prosedur yang sederhana kepada masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah.

Lembaga keuangan syariah secara esensial berbeda dengan lembaga keuangan konvensional baik dalam tujuan, mekanisme,

Page 8: Bab Satu Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7054/1/D_902009003_BAB I.pdf · Data di atas menunjukkan bahwa masih terdapat ketimpangan distribusi

Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah

8

kekuasaan, ruang lingkup maupun tanggung jawabnya. Setiap institusi dalam lembaga keuangan syariah menjadi bagian integral dari sistem syariah. Dalam hal ini Lembaga Keuangan Syariah bertujuan membantu mencapai tujuan sosial ekonomi masyarakat Islam.

LKMS mengalami perkembangan yang pesat di Jawa Tengah. Hal ini didukung oleh ajaran agama yang melarang riba dan menganjurkan sedekah. Contoh riil dari LKMS adalah BMT yang merupakan leading sector untuk pembiayaan usaha mikro. Ini dikarenakan BMT merupakan salah satu multiplier effect dari pertumbuhan dan perkembangan lembaga ekonomi dan keuangan syariah. LKMS ini dekat dengan kalangan masyarakat bawah (grass root). Namun demikian perkembangan BMT belum diikuti dengan pengaturan atau landasan hukum yang memadai. Kekosongan hukum ini menyebabkan banyak penunggang liar (free riders) yang memanfaatkan keberadaan BMT untuk tujuan pragmatis dan kepentingan pribadi bahkan label syariah hanya sebagai slogan.

Bila syariah hanya sebagai slogan, tentu akan mengarah pada perwujudan dari ketidakadilan ekonomi yang bisa menambah penderitaan, kemiskinan, ketimpangan ekonomi, dan sebagainya. Dengan begitu LKMS tidak akan mampu memberikan dukungan bagi terciptanya keadilan dalam masyarakat. Sama seperti teori keadilan yang dibahas oleh John Rawls, terdapat pokok-pokok pikiran tentang keadilan yang merupakan salah satu nilai moral, meskipun dalam penerapannya pun sering kali juga menimbulkan polemik. Menurut John Rawls, dalam menyikapi hal tersebut diperlukan adanya kesamaan pandangan dan kesepakatan dari berbagai unsur masyarakat yang terlibat, demi terwujudnya kehidupan sosial yang adil dan makmur. Di sisi lain, kesamaan pandangan tentang keadilan saja juga tidak dapat menjamin terwujudnya keadilan sosial, tanpa dilandasi oleh itikad baik untuk melaksanakan prinsip keadilan sosial tersebut.

Atas dasar inilah akan dicoba untuk merefleksikan salah satu konsep “keadilan sebagai fairness” menurut John Rawls yang pokok-pokok pikirannya lebih dekat dengan konsep tentang keadilan sosial sebagaimana tecermin dalam sila kelima dari Pancasila. Refleksi tentang makna keadilan sosial dalam kerangka teori keadilan John

Page 9: Bab Satu Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7054/1/D_902009003_BAB I.pdf · Data di atas menunjukkan bahwa masih terdapat ketimpangan distribusi

Pendahuluan

9

Rawls, yang berprinsip pada “keadilan sebagai fairness” dalam konteks ke-Indonesia-an tersebut kiranya cukup penting. Studi ini akan mengkaji sejauh mana LKMS yang diharapkan mampu menjadi salah satu media untuk mewujudkan keadilan distributif benar-benar bisa dipraktikkan dalam bidang pembiayaan dalam berbagai bisnis skala kecil di dalam masyarakat.

Dengan menggunakan perspektif yang dikembangkan oleh John Rawls yang menyatakan bahwa keadilan adalah kebajikan utama dalam institusi sosial, maka ada beberapa patokan yang akan digunakan untuk melihat lebih jauh eksistensi LKMS di Jawa Tengah. Pertama, setiap orang menerima dan mengetahui bahwa orang lain menganut prinsip keadilan yang sama sesuai dengan dasar syariah Islam. Kedua, lembaga dianggap adil ketika tidak ada pembedaan sewenang-wenang antar orang dalam memberikan hak dan kewajiban sesuai dengan syariah dan ketika aturan menentukan keseimbangan yang pas antara klaim-klaim yang saling berseberangan demi kemanfaatan kehidupan sosial. Ketiga, adanya prinsip keseimbangan dan kelayakan pada pembagian keuntungan dalam kehidupan sosial. Dalam hal ini makna keadilan sebagai fairness bukan merupakan prinsip yang berdiri sendiri, melainkan melibatkan persoalan tentang bagi hasil atau margin serta bunga maupun jasa. Untuk melaksanakan prinsip keadilan maka seharusnya profesionalisme di bidang lembaga keuangan mikro syariah harus dikembangkan.

Banyak pengakuan yang menuliskan bahwa LKM memiliki peran strategis sebagai intermediasi dalam aktivitas perekonomian bagi masyarakat yang selama ini tidak terjangkau jasa pelayanan lembaga perbankan umum/bank konvensional (Hendrayana & Bustaman, 2007). Ketidakmudahan akses masyarakat miskin pada sistem keuangan merupakan faktor utama yang menyebabkan ketidakmampuan masyarakat dalam pembangunan. Pembangunan sistem keuangan yang berpihak pada masyarakat miskin merupakan tujuan utama pembuat kebijakan dan perencana kebijakan demi menghadapi globalisasi (Obaidullah, 2008). Sementara itu Hasanah & Yusuf (2013) menyatakan bahwa LKM menjadi alat yang cukup penting untuk mewujudkan pembangunan dalam tiga hal sekaligus, yaitu:

Page 10: Bab Satu Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7054/1/D_902009003_BAB I.pdf · Data di atas menunjukkan bahwa masih terdapat ketimpangan distribusi

Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah

10

menciptakan lapangan kerja, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mengentaskan kemiskinan.

Data yang diperoleh dari surat kabar harian Kompas pada tanggal 8 Maret 2013 menyebutkan bahwa volume usaha atau jumlah pinjaman yang disalurkan oleh lembaga keuangan seperti Koperasi Simpan Pinjam (KSP), Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) dan Usaha Simpan Pinjam (USP) koperasi, serta Usaha Jasa Keuangan Syariah pada tahun 2012 juga mencapai jumlah yang tidak sedikit, yaitu Rp. 49,78 miliar. Sumbangsih UMKM khususnya usaha skala mikro sebagai bagian dari pembangunan perekonomian bangsa dalam menciptakan lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan di Indonesia merupakan fakta yang tidak dapat dipungkiri. Hal ini berdasarkan data dari Kemenkop dan UKM (2011) bahwa usaha mikro tahun 2011 sebesar 50,70 juta unit (98,90%), usaha kecil sebanyak 520,22 ribu unit (1,01%), usaha menengah sebanyak 39,66 ribu unit (0,08%) dan usaha besar 4,37 ribu unit (0,01%).

BMT sebagai salah satu lembaga penyedia jasa keuangan bukan bank memiliki potensi akses lebih besar kepada masyarakat miskin, begitu pula dengan LKM bukan bank seperti KSP. Selain itu, Provinsi Jawa Tengah juga menjadi basis perkembangan BMT di Indonesia karena jumlah BMT yang telah tercatat menduduki posisi tiga besar dari seluruh provinsi di Indonesia (Sakai & Marijan, 2008). Dalam hubungan ini penelitian tentang kondisi LKM bukan bank dan pihak-pihak yang terkait dengan penyelenggaraan operasional LKM bukan bank yang berada di Jawa Tengah sangat menarik untuk diteliti lebih lanjut. Selama ini, penelitian-penelitian yang telah dilakukan belum ada yang menganalisis kontribusi LKMS dalam menciptakan keadilan di bidang ekonomi.

Memang beberapa peneliti telah melakukan kajian terhadap LKM. Seperti persoalan efisiensi LKM telah diteliti oleh Akbar (2010), yang melakukan kajian tentang analisis efisiensi BMT menggunakan Data Envelopment Analysis (DEA). Hasil penelitian menunjukkan ada 5 kantor cabang yang efisien secara relatif sedangkan 26 kantor cabang lain mengalami inefisiensi. Sementara itu analisis penyaluran kredit mikro telah dilakukan oleh Nuswantara (2012). Pengambilan data pool

Page 11: Bab Satu Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7054/1/D_902009003_BAB I.pdf · Data di atas menunjukkan bahwa masih terdapat ketimpangan distribusi

Pendahuluan

11

penyaluran kredit mikro dan kecil dilakukan di 29 kabupaten di Jawa Tengah periode tahun 2000-2005, serta dianalisis dengan menggunakan analisis regresi berganda. Hasil dari penelitian ini adalah jumlah kantor koperasi, jumlah anggota koperasi, jumlah aset koperasi, jumlah giro masyarakat, jumlah pinjaman per nasabah, jumlah nasabah per kantor bank, jumlah kantor bank, jumlah tabungan masyarakat, dan jumlah simpanan deposito berpengaruh nyata terhadap penyaluran kredit mikro dan kecil di wilayah Jawa Tengah.

Sedangkan kajian yang berhubungan dengan metode perhitungan bagi hasil pada pembiayaan mudharabah di BMT Khonsa di Cilacap dibandingkan dengan fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) telah dilakukan oleh Fausziyah (2006). Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa BMT Khonsa di Cilacap Jawa Tengah telah menggunakan metode bagi hasil (net revenue sharing) yang sesuai dengan fatwa dalam DSN No. 15/DSN-MUI/IX/2000. Kesesuaian metode revenue sharing dengan fatwa DSN tersebut dilihat dari kemaslahatan bersama karena pembagian hasil usaha (metode revenue sharing).

Sementara itu Anggadini (2010) melakukan penelitian tentang penerapan margin pembiayaan murabahah pada BMT As-Salam Pacet di Cianjur Jawa Barat. Kajian ini memberikan informasi bahwa prosedur keuangan yang terdapat pada sistem keuangan BMT As-Salam yang diadopsi dari petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam panduan konsep syariah, secara efektif dan efisien dengan visi yang menggunakan formula dalam perhitungan persentase margin dan dalam penentuan harga.

Selanjutnya penelitian Hasanah & Yusuf (2013) mengkaji tentang faktor-faktor yang menentukan pembentukan BMT di Indonesia, menunjukkan bahwa agama merupakan faktor penentu terkuat dalam pembentukan dan pendirian BMT. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa awalnya wilayah pedesaan dengan dominasi agama Islam yang menjadi keyakinan mereka untuk mendirikan lebih banyak BMT. Ternyata, pengaruh tersebut hanya kuat di wilayah perkotaan, sedangkan di daerah pedesaan adalah lemah. Sementara itu penelitian Frederik (2012) mengkaji analisis dari segi hukum tentang

Page 12: Bab Satu Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7054/1/D_902009003_BAB I.pdf · Data di atas menunjukkan bahwa masih terdapat ketimpangan distribusi

Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah

12

peranan bank syariah dalam kegiatan perbankan yang dilakukan di Indonesia.

Kajian mengenai analisis perbandingan antara Koperasi Simpan Pinjam (KSP) dengan Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) BMT dari tinjauan yuridis dilakukan oleh Ma’wa (2013), bahwa secara yuridis, koperasi tersebut menggunakan Keputusan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Nomor 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah sebagai payung hukum dalam melaksanakan kegiatannya, dan belum memiliki UU yang mengatur khusus terkait BMT. Namun dalam praktiknya, kegiatan usaha koperasi ini sama dengan Koperasi Simpan Pinjam dan memiliki kemiripan dengan konsep kegiatan perbankan syariah.

Berdasarkan mapping penelitian yang telah dilakukan sebelumnya oleh para peneliti yang telah diuraikan di atas, maka penelitian ini mengambil judul: Keadilan Distributif: Studi tentang Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKMS) di Jawa Tengah. Pemilihan judul ini didasari atas beberapa pertimbangan utama bahwa LKMS mengalami perkembangan yang pesat meskipun Jawa Tengah bukan merupakan basis Islam yang kuat sehingga dapat diangkat sebagai studi kasus mengenai kontribusi LKMS dalam penciptaan keadilan khususnya di bidang ekonomi.

Berdasarkan latar belakang sebagaimana yang digambarkan di atas, permasalahan yang ingin dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Bagaimana gambaran perkembangan LKMS di Jawa Tengah (2) Bagaimana Perbandingan Sistem Bagi Hasil atau Bunga antara LKMS dan LKMK di Jawa Tengah?; (3) Apa kontribusi LKMS terhadap usaha para anggota dalam dimensi keadilan distributif?; (4) Bagaimana Implikasi kebijakan Pemerintah terhadap peran LKMS di Jawa Tengah?

Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran di lapangan yang jelas terhadap: (1) Perkembangan LKMS di Jawa Tengah; (2) Perbandingan sistem Bagi Hasil dan Bunga antara LKMS dan LKMK di Wilayah Penelitian; (3) Kontribusi LKMS

Page 13: Bab Satu Pendahuluan - repository.uksw.edurepository.uksw.edu/bitstream/123456789/7054/1/D_902009003_BAB I.pdf · Data di atas menunjukkan bahwa masih terdapat ketimpangan distribusi

Pendahuluan

13

terhadap Usaha para anggota dalam dimensi keadilan distributif; (4) Implikasi Kebijakan Pemerintah terhadap peran LKMS di Jawa Tengah.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: (1) Secara akademis penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berharga dalam bidang Pendidikan dan Ilmu Ekonomi Pembangunan di masa yang akan datang; (2) Secara praktis penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada pengambil kebijakan untuk melaksanakan mekanisme pengawasan terhadap LKMK atau LKMS secara umum, sehingga dapat berdampak pada peningkatan kesejahteraan dan peningkatan keadilan distributif dalam masyarakat di masa yang akan datang; (3) Secara umum penelitian ini diharapkan dapat membangkitkan hubungan yang sinergi antara masyarakat dan pemerintah sehingga masyarakat tidak merasa dipinggirkan dan terjadi pemerataan pendapatan sehingga jurang ekonomi bisa dikurangi serta kemakmuran dan kesejahteraan dapat tercapai.

Garis Besar Penulisan Hasil penelitian dalam wujud disertasi ini akan membahas hal-

hal seperti berikut ini: Bab satu merupakan pendahuluan. Selanjutnya bab dua membahas tinjauan pustaka yang mengkaji literatur yang ada korelasinya, sedangkan bab tiga membahas metode yang digunakan dalam penelitian ini. Bab empat mengkaji gambaran perkembangan LKMS di Jawa Tengah. Sementara Bab lima membahas perbandingan sistem bagi hasil atau bunga antara LKMS dan LKMK di Jawa Tengah. Bab enam membahas Kontribusi LKMS terhadap usaha para anggota dalam dimensi keadilan distributif, sedangkan Bab tujuh membahas Implikasi Kebijakan Pemerintah terhadap Peran LKMS di Jawa Tengah. Akhirnya Bab delapan merupakan penutup yang menyajikan simpulan, saran, implikasi teoritik dan implikasi kebijakan.