coronary artery disease
DESCRIPTION
cadTRANSCRIPT
Patofisiologi Penyakit Arteri Koroner
Abstrak
Selama dekade terakhir, pemahaman mengenai patofisiologi coronary artery
disease (CAD) atau penyakit arteri koroner telah melalui evolusi yang mengagumkan.
Kami disini meninjau bagaimana perkembangan ini telah mengubah konsep dan
pendekatan klinis terhadap fase-fase kronik dan akut CAD. Sebelumnya dianggap
sebagai penyakit penyimpanan kolesterol, aterosklerosis sekarang dianggap sebagai
kelainan inflamasi. Remodeling arteri (pembesaran kompensasi) telah menarik
perhatian diluar stenosis yang tampak pada angiografi untuk memahami biologi dari
plak nonstenotik. Revaskularisasi dengan efektif menghilangkan iskemia, tapi
sekarang telah dikenali kebutuhan untuk juga mengatasi lesi nonobstruktif.
Manajemen agresif faktor-faktor resiko yang dapat dimodifikasi mengurangi kejadian
kardiovaskular dan perlu untuk mendampingi revaskularisasi yang tepat. Kami juga
sekarang mengetahui bahwa gangguan pada plak yang mungkin tidak menyebabkan
stenosis kritis mengakibatkan banyak acute coronary syndromes (ACS) atau sindrom
koroner akut. Plak yang terganggu mewakili stimulus “keadaan solid” trombosis.
Perubahan pada protrombotik sirkulasi atau mediator antifibrinolitik pada “fase cair”
dari darah juga dapat menjadi predisposisi ACS. Hasil-hasil penelitian terbaru
menunjukkan keberagaman plak “resiko tinggi” dan sifat luasnya inflamasi pada
pasien yang rentan terkena ACS. Penemuan ini menantang pandangan kuno bahwa
aterosklerosis koroner merupakan penyakit yang terlokalisir atau segmental. Karena
itu, terapi ACS perlu melibatkan 2 fase yang saling overlap: pertama, untuk lesi
penyebab, dan kedua, untuk “stabilisasi” cepat plak lain yang mungkin menyebabkan
kejadian rekuren. Konsep “kardiologi intervensi” harus meluas melebihi
revaskularisasi mekanis ke arah intervensi preventif yang mencegah kejadian-kejadian
yang akan datang.
Dalam dekade terakhir, pemahaman mengenai patofisiologi coronary artery disease
(CAD) atau penyakit arteri koroner telah melalui evolusi yang mengagumkan. Karena
pasien dengan CAD umumnya datang dengan manifestasi kronik maupun akut,
diskusi ini akan mempertimbangkan cara-cara berbeda untuk gejala-gejala ini.
Patofisiologi CAD Kronik
Pembentukan Lesi
Sebelumnya dianggap penyakit penyimpanan kolesterol, sekarang ini aterogenesis
dipahami sebagai interaksi kompleks faktor-faktor resiko yang meliputi sel-sel
dinding arteri dan darah dan pesan molekular yang ditukarkan sel. Tema organisasi
yang berguna, yang pertama muncul dari studi-studi laboratoris dan sekarang telah
menarik perhatian klinis, menunjukkan inflamasi mempunyai peran mayor dalam
semua tahap aterogenesis. Inflamasi juga berperan dalam komplikasi lokal, miokard,
dan sistemik dari aterosklerosis.
Ketika endotel arteri bertemu dengan produk bakterial atau faktor-faktor
resiko seperti dislipidemia, hormon vasokonstriktor pada hipertensi, produk-produk
glikoksidasi yang berkaitan dengan hiperglikemia, atau sitokin proinflamasi yang
diderivasi dari jaringan adiposa yang berlebihan, sel-sel ini meningkatkan ekspresi
molekul-molekul adhesi yang meningkatkan perlekatan leukosit darah ke permukaan
dalam dari dinding arteri. Transmigrasi leukosit yang melekat bergantung pada
ekspresi sitokin chemoattractant yang diregulasi oleh sinyal yang berkaitan dengan
faktor-faktor resiko kuno dan baru untuk aterosklerosis. Ketika ada dalam intima
arteri, leukosit darah—terutama fagosit mononukleus dan limfosit T—berkomunikasi
dengan sel-sel endotel dan otot polos (SMC), sel endogen dinding arteri. Pesan-pesan
mayor yang ditukar antar tipe sel yang terlibat dalam aterogenesis bergantung pada
mediator inflamasi dan imunitas, termasuk molekul-molekul kecil yang meliputi
mediator lipid seperti prostanoid dan derivat asam arachidonic lain seperti leukotrien.
Autacoid lain seperti histamin, biasanya meregulasi tonus vaskular dan meningkatkan
permeabilitas vaskular. Akhir-akhir ini, banyak perhatian yang difokuskan terhadap
mediator protein dari inflamasi dan imunitas, termasuk sitokin dan komponen
komplemen. Meski hampir tidak diketahui oleh para kardiologist satu dekade yang
lalu, sitokin sekarang termasuk bagian besar dalam bidang kami.
Sebagai konsekuensi mayor dari keadaan inflamasi yang terjadi pada ateroma
dini, SMC (sel otot polos) bermigrasi dari tunika media ke intima. Sel-sel ini
berproliferasi dan menghasilkan matriks ekstraselular yang kaya dan kompleks.
Seiring dengan sel endotel dan monosit, mereka mensekresi matriks metalloproteinase
(MMP) sebagai respon terhadap berbagai sinyal oksidatif, hemodinamik, inflamasi,
dan autoimun. MMP, dengan inhibitor jaringan endogennya, memodulasi berbagai
fungsi sel-sel vaskuler, termasuk aktivasi, proliferasi, migrasi, dan kematian sel, serta
formasi pembuluh darah baru, remodeling geometrik, penyembuhan atau destruksi
matriks ekstraseluler arteri dan miokardium. Konstituen tertentu dari matriks
ekstraseluler (terutama proteoglikan) mengikat lipoprotein, memperpanjang
keberadaan mereka dalam intima, dan membuatnya lebih rentan terhadap modifikasi
oksidatif dna glikasi (konjugasi nonenzimatik dengan gula). Produk-produk
modifikasi lipoprotein ini, termasuk fosfolipid teroksidasi dan produk akhir glikasi
lanjut, mempertahankan dan menyebarkan respon inflamasi. Ketika lesi berkembang,
kalsifikasi mungkin dapat terjadi melalui mekanisme yang mirip dengan pembentukan
tulang. Selain proliferasi, kematian sel (termasuk apoptosis) umumnya terjadi pada
lesi aterosklerotik. Kematian makrofag yang penuh lipid dapat menyebabkan
pengendapan ekstraseluler dari tissue factor (TF), sebagian dalam bentuk partikel.
Lipid ekstraseluler yang terakumulasi di intima dapat bergabung dan membentuk inti
“nekrotik” klasik, kaya lipid, dari plak aterosklerotik.
Remodeling Arteri, Komponen Klinis Penting Dari Aterogenesis
Dari perspektif klinis praktis, beberapa aspek biologis dari aterogenesis
memiliki pengaruh yang lebih baru daripada konsep remodeling arteri (Gambar 1).
Didasari oleh peningkatan penggunaan angiografi dan kesuksesan strategi
revaskularisasi yang mentarget stenosis arteri, tingkat penyempitan arteri
mendominasi pemikiran kami mengenai patofisiologi CAD selama berdekade-dekade.
Kami memandang resiko kejadian bergantung pada tingkat stenosis dan memandang
aterosklerosis sebagai penyakit fokal atau segmental.
Cara pandang kuno ini telah melalui revisi-revisi radikal, karenanya
memperluas kecanggihan kami dan memberikan perspektif baru dalam memperbaiki
hasil bagi pasien. Kami sekarang mengetahui bahwa untuk sebagian besar riwayatnya,
lesi aterosklerotik tumbuh keluar, atau secara abluminal, dibanding ke dalam. Karena
itu, beban besar aterosklerosis dapat tetap ada tanpa mengakibatkan stenosis. Studi-
studi ultrasound intravaskular telah mengkonfirmasi studi-studi otopsi in vivo
terdahulu: stenosis mewakili “puncak gunung es” dari aterosklerosis. Pada saat lesi
berkembang ke tahap mengakibatkan stenosis, aterosklerosis intima biasanya banyak
terdapat dengan distribusi difus yang luas. Studi-studi ultrasound intravaskular telah
menggarisbawahi prevalensi mengkhawatirkan dari lesi aterosklerotik bahkan pada
remaja dan dewasa muda di Amerika. Pengetahuan mengenai ubikuitas lesi
aterosklerotik besar tapi tidak menghambat aliran memiliki konsekuensi penting
untuk pemahaman kami sekarang ini mengenai acute coronary syndromes (ACS).
Terapi CAD Kronik: Perspektif Masa Depan
Hingga akhir-akhir ini, adanya iskemia miokard berkaitan dengan stenosis
yang menghambat aliran menjadi pertimbangan terapi CAD (Gambar 1 dan 2).
Berbagai metode pencitraan yang dilakukan pada saat istirahat atau tes provokatif
memungkinkan monitoring perfusi miokard regional dan fungsi dengan akurasi
diagnostik tingkat tinggi. Terapi untuk mengurangi kebutuhan oksigen miokard
dan/atau meningkatkan aliran darah miokard (misal, nitrogliserin, nitrat, agen beta-
blocker, dan calcium channel blockers) mengurangi kebutuhan oksigen dengan
mempengaruhi faktor-faktor seperti denyut nadi dan inotropik dan kondisi loading
jantung (Gambar 2). Obat-obat yang meningkatkan efektivitas produksi energi dengan
menginhibisi oksidasi asam lemak bebas dan meningkatkan penggunakan glukosa
sedang dikembangkan. Prosedur revaskularisasi dapat secara efektif mempertahankan
aliran darah arteri pada mayoritas pasien. Generasi perkembangan dalam
revaskularisasi bedah dan perkutaneus secara turun temurun menunjukkan
perkembangan terapeutik hebat dalam abad terakhir. Modalitas revaskularisasi terbaru
meliputi stimulasi ateriogenesis dengan terapi gen, protein atau sel.
Diluar terapi untuk lesi yang menghambat aliran darah, kita juga harus
menangani plak yang nonobstruktif (Gambar 1 dan 2). Angiografi tradisional hanya
memberikan perkiraan keparahan kebanyakan lesi; iskemia dapat terjadi akibat
obstruksi dinamis yang bertumpangtindih pada stenosis yang menetap, dan lesi dapat
berkembang dengan cepat, sehingga memberikan prognosis yang buruk. Memang,
stenosis yang menetap tidak berkembang secara halus dan kontinu tapi mendadak.
Progresi diskontinu dari plak kemungkinan mencerminkan episode disrupsi lesi akut,
trombosis in situ, dan penyembuhan yang meningkatkan keparahan obstruksi secara
mendadak, suatu skenario yang paling sering terjadi pada lesi obstruksi yang tidak
parah. Revaskularisasi yang tepat dapat menghilangkan gejala untuk minoritas dari
ateromata pada pohon koroner yang menyebabkan iskemia tapi mungkin tidak
melindungi terhadap kejadian trombotik akut yang akan datang. Bukti terbaru
menunjukkan bahwa memodifikasi faktor-faktor resiko dapat menunda progresi
penyakit dan bahkan mungkin menyebabkan regresi. Konvergensi dari penemuan-
penemuan baru ini menjadi dasar kuat untuk mengkombinasi strategi revaskularisasi
yang optimal dengan penurunan resiko jangka panjang dalam gaya hidup, seringkali
juga diiringi dengan usaha farmakologis pada pasien aterosklerotik (Gambar 1 dan 2).
Berbagai uji klinis prevensi primer dan sekunder telah menunjukkan bahwa
manajemen agresif terhadap faktor-faktor resiko yang dapat dimodifikasi menurunkan
angka kematian, infark miokard (IM), stroke, dan kejadian kardiovaskular lain,
termasuk perlunya revaskularisasi. Penurunan 1 mmHg pada tekanan darah
menurunkan resiko jangka panjang IM sebesar 2% hingga 3%, sedangkan penurunan
10% pada kolesterol LDL menurunkan kematian kardiovaskular hingga 10% dan
kejadian kardiovaskular hingga 25%. Selain itu, penghentian kebiasaan merokok
secara cepat menurunkan resiko kardiovaskular yang ada. Diabetes mellitus dan
sindrom metabolik meningkatkan resiko kematian kardiovaskular 2 hingga 4 kali lipat
dna menurunkan harapan hidup sebanyak 5 hingga 10 tahun. Laporan dari The
National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III telah
mendefinisikan dan baru-baru ini memperbarui pedoman untuk pencegahan primer
dan sekunder aterosklerosis dengan dasar skala resiko yang meliputi lipid darah,
faktor-faktor resiko nonlipid yang dapat dimodifikasi dan yang tidak, dan faktor-
faktor resiko lain yang muncul.
Usaha perubahan gaya hidup harus tetap menjadi dasar pencegahan primer
penyakit kardiovaskular. Namun, individu yang memiliki resiko kejadian
kardiovaskular hingga melebihi 2% per tahun dan pasien dengan CAD atau ekuivalen
dari CAD diuntungkan dengan terapi obat. The Heart Protection Study (HPS)
menunjukkan manfaat jelas pemberian statin pada individu usia 40 hingga 80 tahun
dengan kolesterol total > 135 mg/dL dan memiliki resiko akibat MI sebelumnya atau
penyakit oklusi arteri koroner atau nonkoroner, diabetes mellitus, atau dalam
pengobatan hipertensi. The Physicians’ Health Study (PHS) menunjukkan bahwa
aspirin secara signifikan menurunkan angka MI pada pria usia 40 hingga 80 tahun.
Studi The Heart Outcomes Prevention Evaluation (HOPE) melibatkan pasien usia 55
tahun atau lebih dengan bukti adanya penyakit vaskular atau diabetes plus 1 faktor
resiko kardiovaskular lain diacak untuk menerima angiotensin-converting enzyme
(ACE) inhibitor ramipril atau plasebo, dan the European Trial on Reduction of
Cardiac Events with Perindopril in Stable Coronary Artery Disease (EUROPA)
mempelajari efekp perindopril pada pasien dengan CAD stabil kategori resiko rendah.
Kedua studi menunjukkan bahwa pemberian ACE inhibitor secara signifikan
menurunkan angka kejadian kardiovaskular. Uji klinis terbaru dalam populasi resiko
rendah menunjukkan tidak ada keuntungan terapi ACE inhibitor dibandingkan
manajemen konvensional baru, yang menegaskan peran modifikasi gaya hidup pada
individu-individu tersebut.
Berbagai biomarker terkait inflamasi memprediksi rekurensi kejadian koroner
jangka pendek pada pasien setelah ACS sama baiknya atau lebih baik daripada faktor-
faktor resiko konvensional. Marker-marker ini meliputi reaktan fase akut, sitokin pro-
dan anti-inflamasi, MMP, molekul adesi shed cell, dan marker lain aktivasi trombosit
dan sel darah putih, termasuk ligan CD40 soluble dan enzim leukosit
myeloperoxidase. Karena marker-marker ini seringkali memprediksi kejadian
kardiovaskular pada populasi normal dan pasien dengan CAD stabil, marker tersebut
mencerminkan mekanisme dasar dari penyakitnya. Pedoman yang ada tidak
merekomendasikan pemeriksaan klinis rutin untuk marker-marker resiko. Namun,
kombinasi dari beberapa marker ini dengan marker lain, seperti varian genetik,
mungkin dapat memberikan pandangan baru terhadap mekanisme dasar insiasi dan
progresi aterosklerosis dan kerapuhan plak sehingga mungkin dapat menjadi panduan
terapi. Karena itu analisis dari beberapa database memastikan bahwa individu yang
diuntungkan oleh terapi aspirin dan statin pada uji klinis pencegahan primer adalah
mereka dengan peningkatan nilai protein C-reaktif pada awal penelitian. Statin dan
agonis peroxisome proliferator activated receptor (α dan γ) dapat menurunkan kadar
protein C-reaktif darah dan marker inflamasi lain. Penurunan ini mendukung
pentingnya efek antiinflamasi obat-obat tersebut dan manfaat terapi antiinflamasi atau
yang memodulasi sistem imun yang secara spesifik ditargetkan pada aterosklerosis.
Namun, untuk saat ini kami masih kurang bukti bahwa penurunan farmakologis
marker inflamasi memiliki keuntungan klinis.
Patofisiologi ACS
Dari tahun 1980-an, ada ketidakpastian yang menetap mengenai peran kausatif
trombosis dalam ACS. Teknik pencitraan in vivo yang diterapkan pada manusia dan
kesuksesan terapi antitrombotik dan fibrinolitik pada ACS menunjukkan peran
trombosis dalam patogenesis ACS. Sejumlah mekanisme mikroanatomis mendasari
trombosis koroner akut (Gambar 3). Menurut studi-studi otopsi – yang jelas bias
terhadap hasil fatal – ruptur lengkap kap fibrous protektif dari plak paling sering
menyebabkan trombosis koroner yang mematikan. Mekanisme lain yang
menyebabkan minoritas dari trombosis koroner fatal meliputi erosi superfisial,
perdarahan intraplak, dan erosi nodul yang kalsifikasi (Gambar 3). Karena itu,
pelepasan fisik plak aterosklerotik merupakan penyebab hampir semua trombosis
koroner akut.
Plak yang terlepas menyebabkan trombosis dengan beberapa cara. Pertama,
kontak dengan kolagen dalam matriks ekstraseluler plak dapat memicu aktivasi
trombosit. Kedua, TF yang dihasilkan oleh makrofag dan SMC mengaktivasi cascade
koagulasi. Karena itu plak yang terlepas mencerminkan stimulus “tahap solid”
trombosis dan koagulasi; pathway-pathway ini saling menguatkan, dengan
pembentukan thrombin meningkatkan aktivasi trombosit dan sel-sel lain dalam lesi
(Gambar 4). Konversi fibrinogen menjadi fibrin dan pelepasan faktor von Willebrand
dari trombosit yang teraktivasi akan memberikan jembatan molekular cross-linking
antara trombosit yang menghasilkan jaringan trombosit yang padat dan 3-dimensi
yang terperangkap dalam karakteristik fibrin dari trombus arteri “putih”.
Selain dari tahap solid plak yang terlepas, “fase cair” dari darah juga dapat
menjadi predisposisi untuk trombosis koroner (Gambar 4). Plasminogen activator
inhibitor-1 (PAI-1) memadamkan mekanisme fibrinolitis alami tubuh yang melawan
persistensi dan akumulasi trombi dengan menginhibisi aktivator mirip urokinase dan
plasminogen tipe jaringan. Kadar PAI-1 dalam sirkulasi meningkat pada diabetes dan
obesitas, dan mediator hipertensi seperti angiotensin II dapat meningkatkan ekspresi
PAI-1 dengan berbagai tipe sel. Selain itu, plak yang terlepas dapat meningkatan
partikel TF, yang meningkatan trombogenisitas darah.
Perubahan fase-cair ini menjadi dasar konsep “pasien rentan,” karena itu
mengubah apresiasi kami mengenai “plak rentan.” Dalam konteks ACS, embolisasi
distal debris kaya TF yang masuk ke aliran darah dari inti plak yang tiba-tiba terlepas
dapat menyebabkan trombosis distal dalam mikrosirkulasi. Embolisasi distal seperti
itu menjelaskan sebagaian fenomena “no-reflow” yang dapat menyebabkan
komplikasi pelepasan plak spontan dan iatrogenik dan mencegah re-perfusi efektif
dari mikrosirkulasi distal.
Plak Rentan: Fakta atau Bukan?
Munculnya konsep yang disebut plak rentan memicu pencarian metode untuk
mengidentifikasi plak-plak yang beresiko tinggi menyebabkan komplikasi trombotik.
Studi-studi anatomis-patologis menemukan karakteristik plak rentan ruptur, yang
meliputi kap yang tipis dan fibrous dan inti lipid yang besar yang berisi berbagai sel-
sel inflamasi dan relatif kurang SMC. Namun, hasil-hasil terbaru menunjukkan
multiplisitas dari plak-plak “resiko tinggi” tersebut dan sifat luasnya inflamasi pada
pasien rentan terkena ACS. Sebagaimana yang telah disebutkan, studi-studi otopsi dan
ultrasound intravaskuler telah menggarisbawahi sifat difus dari penyakit intima pada
pasien dengan ACS. Bagian pohon arteri koroner yang tampak normal dengan kriteria
angiografik pun seringkali menanggung beban besar dari aterosklerosis. Khususnya,
plak dengan remodeling luar, atau “pembesaran kompensasi,” dapat memiliki kap
tipis yang fibrous dan endapan lipid besar yang tidak memasuki lumen (Gambar 1).
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, lesi-lesi “tersembunyi” tersebut tidak
hanya lepas dari deteksi angiografis tapi juga tidak memunculkan gejala hingga
trombosis terpicu, karena tidak menyebabkan iskemia. Meskipun dengan
menggunakan kriteria angiografis yang relatif tidak sensitif untuk pelepasan plak,
pasien-pasien dengan ACS umumnya datang dengan lebih dari satu plak ulkus.
Multiplisitas lesi aktif menandakan prognosis yang lebih buruk pada saat follow-up.
Studi-studi ultrasound intravaskular sistematis pada pasien dengan ACS telah
menunjukkan bahwa banyak pasien memiliki lebih dari satu plak yang lepas;
observasi angioskopik mempunyai penemuan yang sama. Selain itu, penggunaan
marker inflamasi seperti myeloperoxidase mengindikasikan step-up transmiokard
dalam kadar marker inflamasi ini, bahkan pada regio-regio yang tidak diperfusi oleh
arteri penyebab. Karena itu, walaupun gejala klinis seringkali melibatkan lesi fokal,
inflamasi arteri yang mendorong biologi dasar yang menjadi predisposisi komplikasi
lokal tampaknya bersifat difus.
Penemuan baru ini menantang pandangan tradisional bahwa aterosklerosis
koroner sebagai penyakit segmental atau terlokalisir dapat diperbaiki hanya dengan
terapi lokal seperti pembedahan bypass atau revaskularisasi perkutaneus. Teknologi
pencitraan terbaru seperti optical coherence tomography, thermografi, Raman/near-
infrared spectroscopy, electron beam computed tomography, magnetic resonance
imaging, dan multidetector atau multislice spiral computed tomography dapat
memberikan informasi tambahan mengenai resiko progresi dan kejadian
kardiovaskular dengan melihat beban aterosklerotik dan aktivitasnya. Strategi
pencitraan terbaru tersebut akan lebih berguna dan efektif biaya pada individu resiko
tinggi dibandingkan untuk skrining populasi asimtomatik yang tidak diseleksi.
Terapi ACS: Perspektif Masa Depan
Dengan memandang ketepatan terapi lokal untuk menghilangkan angina dan
iskemia akut yang berkaitan dengan lesi penyebab yang dapat dideteksi secara
angiografis dan perpanjangan harapan hidup dan pencegahan IM dengan terapi
sistemik yang mengatasi faktor-faktor resiko, pendekatan yang ada sekarang untuk
menterapi ACS perlu melibatkan 2 fase yang tumpang tindih: fase akut dan stabilisasi
cepat dari lesi penyebab.
Prioritas awal adalah untuk membatasi kehilangan kardiomiosit dengan
mengatasi proses trombotik yang menghalangi aliran dan/atau embolisasi distal dari
debris plak dan materi trombotik. Kolerasi klinis dari iskemia berat meliputi status
klinis yang tidak stabil, abnormalitas segmen ST-T iskemik, dan pelepasan troponin T
atau I. Penemuan ini akan mengindikasikan prognosis yang relatif buruk. Pendekatan
manajemen agresif yang mengkombinasi inhibisi trombosit dan pembentukan
thrombin dengan angiografi koroner yang ditujukan pada revaskularisasi perkutaneus
atau pembedahan lesi penyebab yang sesuai dapat memperbaiki hasil pada pasien
resiko tinggi. Kombinasi aspirin oral, clopidogrel, dan antagonis glikoprotein IIb/IIIa
intravena selama angioplasti merupakan terapi trombosit yang paling efektif untuk
pasien resiko tinggi. Terapi trombosit masa depan mungkin dapat memberikan
blokade yang lebih komplit terhadap P2Y1 dan P2Y12 reseptor ADP dan juga
menginhibisi kompleks faktor von Willebrand-glikoprotein Ib/IX yang memediasi
peningkatan adesi trombosit dan agregasi trombosit. Inhibisi aktivasi trombosit ini
mungkin memberikan manfaat diluar dari mencegah agregasi dan progresi trombus
dengan melemahkan pelepasan trombosit dari produk protrombotik poten dan
proinflamasi dan pembentukan agregat trombosit-monosit, sehingga memutus
beberapa hubungan yang ada antara trombosis dan inflamasi. Antikoagulasi pada
ACS sekarang ini menggunakan unfractionated heparin atau heparin dengan berat
molekuler rendah. Agen-agen antitrombotik yang sedang dikembangkan antara lain
inhibitor spesifik trombin spesifik dan faktor Xa, yang beraksi secara oral atau
parenteral, dengan paruh-waktu yang bervariasi, dan inhibitor dari kompleks TF-
faktor VIIa yang menginisiasi pembentukan trombus.
Aplikasi kemajuan pengetahuan biologis ACS dan peran inflamasi
memberikan kesempatan-kesempatan baru untuk melemahkan trombogenisitas plak,
mencapai pengendalian proses penyakit yang lebih cepat, dan mencegah rekurensi
lebih dini. Pemberian terapi statin dini setelah ACS kemungkinan memperbaiki hasil
karena efek antiinflamasinya yang berdampak pada penurunan kolesterol dan aksi
antiinflamasi langsung. Potensi agen lain yang mentarget inflamasi memerlukan
penelitian lebih lanjut. Beberpaa studi eksperimental telah menunjukkan bahwa
inhibisi dari cyclooxygenase-2 atau reseptor thromboxane mencegah aterosklerosis.
Sejauh ini, hanya beberapa uji klinis fase 2 pada manusia dengan ACS telah meneliti
agen antiinflamasi, tanpa mencapai hasil efektivitas yang konklusif. Terapi
metilprednisolon intravena selama 48 jam tidak memperbaiki hasil jangka pendek
pada pasien dengan unstable angina. Sebuah recombinant, soluble P-selectin
glycoprotein ligand-1–immunoglobulin dan 2 antibodi berbeda terhadap integrin
leukosit CD11b/CD18 tidak menunjukkan penurunan ukuran infark pada pasien yang
diterapi dengan angioplasti fibrinolisis atau primer. Pexelizumab, sebuah antibodi
monoklonal terhadap C5 juga gagal pada 2 uji klinis dalam mempengaruhi ukuran
infark sebagaimana diperkirakan oleh pelepasan creatine kinase-MB, yang merupakan
hasil utamanya. Namun obat tersebut secara mengejutkan menurunkan mortalitas dan
syok kardiogenik pada uji klinis angioplasti primer, Compliment Inhibition in
Myocardial Infarction Treated with Percutaneous Transluminal Coronary
Angioplasty (COMMA). Disasosiasi antara ukuran infark dan manfaat pada mortalitas
menantang konsep tradisional dan menunjukkan peran komplemen dan inflamasi pada
mortalitas dan morbiditas terkait ACS. Pexelizumab mencegah pembentukan C5a,
sebuah anafilatoksin poten yang berkaitan dengan recruitment leukosit dan ekspresi
mediator proinflamasi, termasuk sitokin, sintase nitrat oksida inducible, dan C5b,
yang memicu kematian sel dan apoptosis akibat membrane attack complex. Sebuah
substudi menunjukkan bahwa kadar marker inflamasi memprediksi terjadinya
kematian/syok kardiogenik dan kadar-kadar ini menurun dengan pexelizumab yang
berhubungan dengan penurunan hasil yang buruk. Observasi ini dan lainnya dari uji
klinis Should We Emergently Revascularize Occluded Coronaries for Cardiogenic
Shock (SHOCK) bahwa kematian pasien dengan syok kardiogenik tidak berkaitan
dengan status hemodinamik dan secara signifikan memperbaiki survivalitas jangka
pendek dan panjang dengan terapi re-perfusi juga mendukung kepentingan klinis
inflamasi pada ACS. Memang, studi-studi terdahulu pada pasien dengan syok
kardiogenik refrakter telah menunjukkan perbaikan status hemodinamik dan
survivalitas dengan NG-mono-methyl-L-arginine, sebuah inhibitor sintase nitrat
oksida. Dengan mempertimbangkan kemungkinan peran dalam destabilisasi plak dan
dalam remodeling vaskular dan miokard, MMP mewakili target terapeutik potensial
baru. Inhibitor MMP sekarang ini sedang diteliti pada IM akut, walaupun kurang
mungkin suatu inhibitor MMP spektrum luas yang kronik akan memiliki profil
toleransi yang menguntungkan.
Diluar dari marker resiko klasik terkait pembentukan trombus intrakoroner
seperti pergeseran segmen ST dan peningkatan troponin, munculnya resiko ACS lebih
berkaitan dengan aktivitas aterosklerosis mendasar dan dengan faktor-faktor
metabolik dibandingkan aktivitas trombotis sesungguhnya dari lesi penyebab. Sebagai
contoh, diabetes dan gagal ginjal secara kuat memprediksi prognosis yang buruk.
Karena itu, sebuah fase kedua dalam manajemen ACS perlu mengiringi
revaskularisasi yang tetap, dengan tujuan menstabilisasi lesi. Terapi semacam itu
bertujuan untuk menurunkan kerentanan pasien secara keseluruhan terhadap kejadian
rekurensi dengan mengatasi faktor sistemik yang mempengaruhi penyebab potensial
multipel dan juga faktor-faktor sistemik yang membuat pelepasan plak tidak
memproduksi trombus yang persisten dan oklusif. Dalam hal ini, bukti yang kuat dan
observasi terdahulu pada manusia menunjukkan bahwa terapi untuk menurunkan lipid
mencapai sebagian dari keuntungan konsistennya yang jelas dalam menurunkan
angka kejadian rekurensi koroner dengan mempengaruhi plak secara biologis. Karena
inflamasi mendasari patofisiologi dari pembentukan plak dan komplikasinya, strategi
terapeutik yang sukses tampaknya berkaitan dengan mengatasi inflamasi. Data terbaru
menunjukkan bahwa penurunan protein C-reaktif yang berhubungan dengan statin
memperbaiki hasil setelah ACS, independen dari penurunan LDL, sehingga
mendukung pandangan ini.
Di era terdahulu, fokus utama pencegahan sekunder CAD adalah regresi dari
stenosis. Fokus kita sekarang seharusnya ada pada stabilisasi lesi dan perbaikan faktor
sistemik yang membuat pasien rentan terhadap komplikasi trombotik dari
aterosklerosis. Seiring dengan berbagai penemuan eksperimental, bukti ultrasound
intravaskular terbaru menunjukkan bahwa ateromata dapat mengecil ukurannya tanpa
menurunkan derajat luminal stenosis. Karena itu, pembesaran kompensasi tampaknya
terjadi terbalik, sehingga memungkinkan pengecilan lesi tanpa mengubah angiogram.
Kita perlu memperluas konsep kita mengenai reversibilitas aterosklerosis diluar dari
regresi stenosis untuk meliputi pengecilan lesi yang tertutup dibalik siluet angiografis.
Kita juga perlu mempertimbangkan tidak hanya aspek kuantitatif dari ateroma
(ukuran atau derajat stenosis) tapi juga sifat kualitatif dari lesi—sebagian rentan
ruptur dan lebih rentan untuk membentuk trombosis, sedangkan yang lainnya, dengan
rangka matriks ekstraselular yang lebih kuat, kurang mungkin mengalami pelepasan
dan memicu pembentukan clot.
Kesimpulan dan Implikasi Klinis
Dalam praktek kardiologi sehari-hari, kita terus menemui CAD. Walaupun
memiliki keterbiasaan dengan aspek klinisnya, pandangan kita terhadap patofisiologi
dari aterosklerosis koroner telah berubah secara radikal dalam dekade terakhir.
Pemahaman kita mengenai anatomi dan biologi yang mendasari aterosklerosis
koroner kemungkinan akan terus berkembang, sesuai dengan perkembangan
laboratoris dan klinis. Kita sekarang dapat menghubungkan biologi dari pembuluh
darah, miosit, dan respon inflamasi dengan pendekatan hemodinamik klasik untuk
mencapai pemahaman lebih jelas tentang CAD klinis.
Revisi pandangan klasik kami mengenai aterosklerosis memiliki implikasi
praktis yang penting untuk perawatan pasien. Strategi revaskularisasi kami menjadi
lebih baik dan lebih sukses. Pandangan terhadap mekanisme trombosis, baik pada
lokasi intervensi maupun mikrosirkulasi yang lebih distal, memberikan dasar
perbaikan terapi pasien revaskularisasi akut untuk mengurangi komplikasi dan
mempertahankan miokardium. Kami mengapresiasi perlunya terapi sistemik untuk
mencegah ACS pada individu yang memiliki resiko. Tujuan kedepannya meliputi
perlunya melakukan terapi menurut individu dengan dasar karakteristik spesifik
pasien. Bidang biomarker dan potensi stratifikasi resiko genetik dan farmakogenetik
akan menguntungkan dalam hal ini. Pendekatan serupa akan memungkinkan untuk
mentarget terapi preventif dengan cara yang lebih efisien dan efektif biaya. Kita
sekarang memiliki alat-alat hebat untuk menurunkan LDL. Intervensi farmakologis
dan terapeutik yang sedang dikembangkan akan memungkinkan kita mencapai lebih
dari LDL sebagai target mengurangi resiko komplikasi aterosklerotik. Pendekatan
demikian meliputi peningkatan kadar HDL, modalitas aterosklerotik, dan strategi
regeneratif yang melibatkan stem cell. Kita perlu mencari cara secara paralel untuk
memutarbalik epidemi obesitas, sindrom metabolik, dan diabetes dengan perubahan
gaya hidup dan kemungkinan terapi obat. Apabila kita gagal dalam hal ini, gelombang
obesitas dan komplikasinya akan mengancam perkembangan dalam aterosklerosis
dalam dekade-dekade terakhir.
Konsep “kardiologi intervensi” harus meluas melebihi revaskularisasi mekanis
untuk meliputi intervensi preventif yang mencegah kejadian di masa depan. Meski
kehati-hatian observasi klinis dan patologis telah mendorong ilmu mengenai biologi
arteri koroner, kesempatan riset translasional untuk memperbaiki pandangan terhadap
patofisiologi dan membuat terapi baru yang lebih baik untuk CAD mewakili
kesempatan besar untuk meningkatkan hasil pasien di masa yang akan datang.