19
BAB II
UANG DAN BANK DALAM PERSPEKTIF EKONOMI
KONVENSIONAL DAN EKONOMI ISLAM
A. Uang
1. Definisi Uang
Untuk bisa mengetahui segala sesuatu yang berkaitan dengan
uang, kita harus bisa memberi pengertian atau definisi dari uang itu.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, uang adalah suatu alat tukar atau
standar pengukur nilai (kesatuan hitungan) yang sah, dikeluarkan oleh
pemerintah suatu negara berupa kertas, emas, perak, atau logam lain yang
dicetak dengan bentuk dan gambar tertentu.1
Menurut Muchdarsah Sinungan, uang yang selalu kita gunakan
dalam kehidupan sehari-hari adalah sesuatu yang bisa diterima oleh umum
sebagai alat pembayaran dan sebagai alat tukar menukar.2 Menurut
Nopirin, uang adalah segala sesuatu yang dapat dipakai atau diterima
untuk melakukan pembayaran baik barang, jasa maupun utang.3
Menurut Adiwarman Karim, konsep uang dalam Islam berbeda
dengan konsep konvensional, perbedaan itu ia tunjukkan sebagai berikut:4
1Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2002, hlm. 1232 2Muchdarsah Sinungan, Uang dan Bank, Jakarta: Bina Aksara, 1987, hlm. 5 3Novirin, Pengantar Ilmu Ekonomi Makro dan Mikro, Yogyakarta: BPFE, 1994, hlm.
119. 4Adiwarman Karim, Ekonomi Islam Suatu Kajian Ekonomi Makro, Jakarta: IIIT
Indonesia, 2002, hlm. 21
20
Konsep Islam Konsep Konvensional
o Uang tidak identik dengan
modal
o Uang adalah public goods
o Modal adalah private goods
o Uang adalah flow concept
o Modal adalah stock concept
o Uang sering diidentikkan dengan
modal
o Uang (modal) adalah private goods
o Uang (modal) adalah flow concept
bagi Fisher
o Uang (modal) adalah stock concept
bagi Cambridge School
Dewasa ini, uang menjadi suatu cabang yang penting dalam ilmu
ekonomi. Salah satu sebabnya ialah, karena uang memegang peranan
penting dalam lapangan hidup manusia. Juga karena uang memegang
peranan dalam hubungannya dengan perdagangan internasional. Harga
uang sesuatu negeri dalam hubungannya dengan harga uang negeri
lainnya, menjadi indikator bagaimana kedudukan perdagangan negara
yang bersangkutan dalam dunia pada umumnya. Persoalan uang itu bukan
saja penting dalam hubungannya dengan perekonomian nasional, tetapi
juga penting dalam hubungannya dengan perekonomian dunia. Sangat
penting bagi suatu negara, untuk menjamin kestabilan harga uangnya dan
kalau mungkin menaikkan harga uang tersebut dalam hubungannya
dengan harga uang asing di luar negeri. Salah satu usaha untuk mencapai
maksud itu adalah dengan politik keuangan, yang menjadi lingkungan
ekonomi keuangan.5
5M.Manullang, Ekonomi Moneter, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1980, hlm. 11-12.
21
Dalam hubungannya dengan kebutuhan manusia, manusia yang
hidup dalam suatu negara membutuhkan stabilitas perekonomian. Salah
satu cara untuk menstabilkan perekonomian suatu negara ialah melalui
kebijakan keuangan yang tepat. Pada dasarnya instrumen/alat
kebijaksanaan yang dipakai adalah pertama, instrumen yang umum,
meliputi: (politik pasar terbuka, politik cadangan minimum, dan politik
diskonto). Kedua, instrumen yang selektif, meliputi: (margin requirement,
dan pembatasan/penentuan tingkat bunga), yang kesemuanya ini untuk
mempengaruhi alokasi kredit untuk sektor-sektor ekonomi tertentu.
Ketiga, instrumen yang sering disebut dengan “moral suasion” atau open
mouth policy. Di samping itu, penentuan tingkat bunga, pengaturan sistem
perbankan serta devaluasi termasuk juga dalam instrumen kebijaksanaan
stabilitas keuangan.6
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa uang adalah alat tukar
menukar yang dapat diterima umum dan menjadi alat pembayaran yang
sah
2. Fungsi Uang Secara Konvensional dan Menurut Islam
Sejak ratusan tahun yang lalu, masyarakat telah menyadari bahwa
uang sangat penting peranannya dalam melancarkan kegiatan
perdagangan. Tanpa uang kegiatan perdagangan menjadi sangat terbatas
dan pengkhususan tidak dapat berkembang. Keadaan seperti ini akan
membatasi perkembangan ekonomi yang dapat dicapai. Peranan uang
6Ibid, hlm. 45-46
22
yang sangat penting ini dapat dengan nyata dilihat dengan memperhatikan
masalah-masalah yang dihadapi pada saat perdagangan dijalankan secara
barter.7
Dari kesulitan-kesulitan yang timbul sebagai akibat dari barter
maka uang diciptakan dalam perekonomian dengan tujuan untuk
melancarkan kegiatan tukar menukar dan perdagangan. Oleh karena itu
uang selalu didefinisikan sebagai: benda-benda yang disetujui oleh
masyarakat sebagai alat perantaraan untuk mengadakan tukar
menukar/perdagangan. Yang dimaksudkan dengan kata "disetujui" dalam
definisi ini adalah terdapat kata sepakat di antara anggota-anggota
masyarakat.8
Pertukaran berarti penyerahan suatu komoditi sebagai alat penukar
komoditi lain. Bisa juga berarti pertukaran dari satu komoditi dengan
komoditi lainnya, atau satu komoditi ditukar dengan uang, ada juga
perdagangan secara komersial yang mencakup penyerahan satu barang
untuk memperoleh barang lain, yang disebut saling tukar menukar. Jadi
terjadi tawar menawar dua barang dimana yang satu diberikan sebagai
bahan penukar untuk barang lain
Menurut ahli Fiqih Islam, pertukaran diartikan sebagai
pemindahan barang seseorang dengan menukar barang-barang tersebut
dengan barang lain berdasarkan keikhlasan/kerelaan. Pada zaman dahulu,
pertukaran hanya ada dalam bentuk barter, dalam hal ini barang ditukar
7Sadono Sukirno, Pengatar Teori Makroekonomi, Edisi Kedua, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1992, hlm. 190
8Ibid, hlm. 192.
23
untuk mendapatkan barang. Bahkan dewasa ini banyak rakyat dari negara
berkembang di daerah-daerah pedalaman memperoleh kebutuhan mereka
melalui barter. Akan tetapi karena peradaban dan kebudayaan mereka
semakin berkembang, sistem pertukaran mereka juga meningkat.
Sekarang ini semua kelompok-kelompok masyarakat menggunakan
pertukaran melalui uang. Hal ini disebabkan karena nilai semua barang
dan jasa dapat dengan mudah terlihat dan dengan segera ditetapkan
dengan menggunakan uang.9
Agar masyarakat menyetujui penggunaan sesuatu benda sebagai
uang, haruslah benda itu memenuhi syarat. Dengan kata lain syarat-syarat
suatu benda berfungsi sebagai uang: pertama, nilainya tidak mengalami
perubahan dari waktu ke waktu; kedua, mudah dibawa-bawa; ketiga
mudah disimpan tanpa mengurangi nilainya; keempat, tahan lama; kelima,
jumlahnya terbatas (tidak berlebihan); keenam, bendanya mempunyai
mutu yang sama.10
Berdasarkan keterangan di atas, maka fungsi uang menurut
Muchdarsah Sinungan adalah
Sebagai alat tukar menukar (medium of exchange), sebagai satuan hitung (unit of account), sebagai penimbun kekayaan, dan sebagai standar pencicilan uang.11 Keterangan yang sama dikemukakan oleh Winardi bahwa fungsi uang adalah pertama, sebagai standar nilai; kedua, sebagai alat tukar; ketiga, sebagai alat penghimpun kekayaan; dan keempat, sebagai alat pembayaran yang ditangguhkan.12
9Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, Jilid 2, terj. Soerojo, Nastangin,
Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 2002, hlm. 71-72 10Sadono Sukirno, op. cit, hlm. 192 11Muchdarsyah Sinungan, Uang dan Bank, Jakarta: PT.Bina Aksara, 1987, hlm. 6 – 9 12Winardi, Pengantar ilmu Ekonomi, Buku 1, Bandung: Tarsito, 1995, hlm. 225-226.
24
Adiwarman Karim menyatakan sebagai berikut:
Fungsi uang berbeda antara sistem ekonomi konvensional dan sistem ekonomi Islam. Dalam ekonomi konvensional, dikenal 3 fungsi uang, yaitu: 1. Alat pertukaran (medium of exchange) 2. Satuan nilai (unit of account) 3. Penyimpan nilai (store of value).13
Selanjutnya Adiwarman Karim menegaskan bahwa Dalam
ekonomi Islam, fungsi uang hanya dikenal sebagai berikut: (1) Alat
pertukaran (medium of exchange for transaction); (2) Satuan nilai (unit of
account). Tegasnya, Islam hanya mengenal uang dalam fungsinya sebagai
alat pertukaran (medium of exchange), yaitu media untuk mengubah
barang dari satu bentuk kepada bentuk lain. Fungsinya yang kedua adalah
sebagai satuan nilai (unit of account).14
Pada dasarnya Islam memandang uang hanya sebagai alat tukar,
bukan sebagai barang dagangan (komoditas). Oleh karena itu motif
permintaan akan uang adalah untuk memenuhi kebutuhan transaksi
(money demand for transaction), bukan untuk spekulasi. Islam juga sangat
menganjurkan penggunaan uang dalam pertukaran karena Rasulullah telah
menyadari kelemahan dari salah satu bentuk pertukaran di zaman dahulu
yaitu barter (bai' al muqayadah), di mana barang saling dipertukarkan.15
Menurut Afzalur Rahman:
Rasulullah saw menyadari akan kesulitan-kesulitan dan kelemahan-kelemahan sistem pertukaran ini, lalu beliau ingin menggantinya dengan sistem pertukaran melalui uang. Oleh karena itu beliau
13Adiwarman Karim, op. cit, hlm. 21-22 14Ibid, hlm. 22 15Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syari’ah, Jakarta : Alvabeta, 2003,
hlm. 16
25
menekankan kepada para sahabat untuk menggunakan uang dalam transaksi-transaksi mereka. Hal ini dapat dijumpai dalam hadits-hadits antara lain seperti diriwayatkan oleh Ata bin Yasar, Abu Said dan Abu Hurairah, dan Abu Said Al Khudri. 16
Ternyata Rasulullah SAW tidak menyetujui transaksi-transaksi
dengan sistem barter, untuk itu dianjurkan sebaiknya menggunakan uang.
Tampaknya beliau melarang bentuk pertukaran seperti ini karena ada
unsur riba di dalamnya.
Dalam konsep Islam tidak dikenal money demand for speculation,
karena spekulasi tidak diperbolehkan. Kebalikan dari sistem konvensional
yang memberikan bunga atas harta, Islam malah menjadikan harta sebagai
obyek zakat. Uang adalah milik masyarakat sehingga menimbun uang di
bawah bantal (dibiarkan tidak produktif) dilarang, karena hal itu berarti
mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat. Dalam pandangan
Islam, uang adalah flow concept, sehingga harus selalu berputar dalam
perekonomian. Semakin cepat uang berputar dalam perekonomian, maka
akan semakin tinggi tingkat pendapatan masyarakat dan semakin baik
perekonomian.
Bagi mereka yang tidak dapat memproduktifkan hartanya, Islam
menganjurkan untuk melakukan investasi dengan prinsip Musyarakah atau
Mudharabah, yaitu bisnis dengan bagi-hasil. Bila ia tidak ingin mengambil
resiko karena bermusyarakah atau bermudharabah, maka Islam sangat
menganjurkan untuk melakukan qard, yaitu meminjamkannya tanpa
16Afzalur Rahman, op. cit, hlm. 73
26
imbalan apa pun, karena meminjamkan uang untuk memperoleh imbalan
adalah riba.
Secara mikro, qard17 tidak memberikan manfaat langsung bagi
orang yang meminjamkan. Namun secara makro, qard akan memberikan
manfaat tidak langsung bagi perekonomian secara keseluruhan. Hal ini
disebabkan karena pemberian qard membuat velocity of money
(percepatan perputaran uang) akan bertambah cepat, yang berarti
bertambahnya darah baru bagi perekonomian, sehingga pendapatan
nasional (national income) meningkat. Dengan peningkatan pendapatan
nasional, maka si pemberi pinjaman akan meningkat pula pendapatannya.
Demikian pula, pengeluaran shadaqah juga akan memberikan manfaat
yang lebih kurang sama dengan pemberian qard.
Islam juga tidak mengenal konsep time value of money, namun
Islam mengenal konsep economic value of time yang artinya bahwa yang
bernilai adalah waktu itu sendiri. Islam memperbolehkan penetapan harga
tangguh bayar lebih tinggi daripada harga tunai. Zaid bin Ali Zainal
Abidin bin Hussein bin Alt bin Abi Thalib, cicit dasar-dasar manajemen
bank syari'ah Rasulullah SAW, adalah orang yang pertama kali
menjelaskan diperbolehkannya penetapan harga tangguh bayar (deferred
payment) lebih tinggi daripada harga tunai.18
17Qard adalah meminjamkan harta kepada orang lain tanpa mengharap imbalan.
Dalam literatur fiqih qard dikategorikan sebagai aqad tathawwu, yaitu akad saling membantu dan bukan transaksi komersial. Zainul Arifin, op. cit, hlm. 27.
18Ibid, hlm.24
27
Yang lebih menarik adalah bahwa dibolehkannya penetapan harga
tangguh yang lebih tinggi itu sama sekali bukan disebabkan time value of
money, namun karena semata-mata ditahannya hak si penjual barang. Dapat
dijelaskan di sini bahwa bila barang dijual tunai dengan untung Rp 500, maka
si penjual dapat membeli lagi dan menjual lagi sehingga dalam satu hari itu
keuntungannya adalah Rp 1.000. Sedangkan bila dijual tangguh-bayar, maka
hak si penjual menjadi tertahan, sehingga dia tidak dapat membeli lagi dan
menjual lagi. Akibat lebih jauh dari itu, hak dari keluarga dan anak si penjual
untuk makan malam pada hari itu tertahan oleh pembeli. Untuk alasan inilah,
yaitu tertahannya hak penjual yang telah memenuhi kewajibannya
(menyerahkan barang), maka Islam membolehkan penetapan harga tangguh
lebih tinggi daripada harga tunai.19
Dalam Islam fungsi uang sebagai alat tukar-menukar diterima secara
meluas. Penerimaan fungsi ini disebabkan karena fungsi uang ini dirasakan
dapat menghindarkan kecenderungan ketidakadilan dalam sistem perdagangan
barter. Sebagai alat tukar, uang dapat dipecah dalam satuan-satuan terkecil.
Hal serupa tidak dapat dilakukan terhadap sejumlah barang tertentu kecuali
mengakibatkan rusak atau nilai barang tersebut menjadi berkurang, Oleh
karena itu perdagangan barter berpotensi riba, yakni riba fadhal. 20
Dalam masyarakat industri dan perdagangan seperti yang sedang
berkembang sekarang ini fungsi uang tidak hanya diakui sebagai alat tukar,
tetapi juga diakui berfungsi sebagai komoditas (hajat hidup yang bersifat
19Ibid, hlm, 17-18. 20Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual, Jakarta: PT.Raja Grafindo
Persada, 2002, hlm. 14.
28
terbatas) dan sebagai modal. Dalam fungsinya sebagai komoditas, uang
dipandang dalam kedudukan yang sama dengan barang yang dapat dijadikan
sebagai obyek transaksi untuk mendapatkan keuntungan (laba). Sedang dalam
fungsinya sebagai modal (kapital) uang dapat menghasilkan sesuatu (bersifat
produktif) baik menghasilkan barang maupun menghasilkan jasa. Lembaga
keuangan seperti pasar modal, bursa efek, dan perbankan konvensional yang
berkembang sekarang ini merupakan suatu kenyataan bahwa fungsi uang telah
berkembang sebagai komoditas dan modal, tidak terbatas pada fungsinya
sebagai alat tukar. Berbeda dengan fungsinya sebagai alat tukar-menukar yang
diterima secara bulat, fungsi uang sebagai komoditas dan modal masih
diperselisihkan. Sebagian ekonom Islam menentang keras fungsi uang sebagai
komoditas dan sebagai modal.21
Penolakan fungsi uang sebagai komoditas dan sebagai modal
mengandung implikasi yang sangat besar dalam rancang bangun sistem
ekonomi Islam. Kedua fungsi tersebut oleh kelompok yang menyangkalnya
dipandang sebagai prinsip yang membedakan antara sistem ekonomi Islam
dan sistem ekonomi non-Islam (konvensional). Atas dasar prinsip ini mereka
menjatuhkan keharaman setiap perputaran (transaksi) uang yang disertai
keuntungan (laba atau bunga) sebagai praktek riba.
Dalam masalah muamalah, khususnya di bidang ekonomi, syari'ah
Islam tidak kurang dalam memberikan prinsip-prinsip dan etika yang
21Ibid, hlm. 15
29
seharusnya bisa dijadikan acuan dan referensi, serta merupakan kerangka
bekerja dalam ekonomi Islam. Prinsip ekonomi Islam telah mengatur bahwa:
1. Kekayaan merupakan amanah dari Allah dan tidak dapat dimiliki secara
mutlak;
2. Manusia diberi kebebasan untuk bermuamalah selama tidak melanggar
ketentuan syari'ah;
3. Manusia merupakan khalifah dan pemakmur di muka bumi
وإذ قال ربك للمالئكة إني جاعل في األرض خليفة قالوا
أتجعل فيها من يفسد فيها ويسفك الدماء ونحن نسبح بحمدك
)30:البقرة(ونقدس لك قال إني أعلم ما ال تعلمون Artinya: Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat:
"Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?"Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". (Q.S. Al-Baqarah:30)22
4. Di dalam harta seseorang terdapat bagian bagi orang miskin, yang
meminta-minta atau tidak meminta-minta
والمحروم للسائل* معلوم حق أموالهم في والذين
) 25-24:المعارج( Artinya: dan orang-orang yang dalam hartanya tersedia bagian
tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan orang
22Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, Depag RI, 1986, hlm. 13
30
yang tidak mempunyai apa-apa (yang tidak mau meminta) (Q.S. Al-Ma’arij: 24-25)23
5. Dilarang makan harta sesama secara batil, kecuali dengan perniagaan
secara suka sama suka
أن إال بالباطل بينكم أموالكم تأآلوا ال آمنوا الذين أيها يا
آان الله إن أنفسكم تقتلوا وال منكم تراض عن تجارة تكون
نصليه فسوف وظلما عدوانا ذلك يفعل ومن رحيما بكم
)29-30:النساء(يسيرا الله على ذلك وآان نارا
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Q.S. An-Nisa’: 29-30)24
Dalam tafsir al-Maraghi ayat di atas dijelaskan, bahwa kata al-batil
berasal dari al-batlu dan al-butlan berarti kesia-siaan dan kerugian. Menurut
syara adalah mengambil harta tanpa pengganti hakiki yang biasa, dan tanpa
keridaan dari pemilik harta yang diambil itu; atau menafkahkan harta bukan
pada jalan hakiki yang bermanfaat, maka termasuk ke dalam hal ini adalah
lotre, penipuan di dalam jual beli, dan menafkahkan harta pada jalan-jalan
23Ibid, hlm 974 24Ibid, hlm. 122
31
yang diharamkan, serta pemborosan dengan mengeluarkan harta untuk hal-hal
yang tidak dibenarkan oleh akal. Kata bainakum menunjukkan bahwa harta
yang haram biasanya menjadi pangkal persengketaan di dalam transaksi antara
orang yang memakan dengan orang yang hartanya dimakan. Masing-masing
ingin menarik harta itu menjadi miliknya. 25
6. Penghapusan praktik riba
الذي يقوم آما إال يقومون ال الربا يأآلون الذين
مثل البيع ماإن قالوا بأنهم ذلك المس من الشيطان يتخبطه
من موعظة جاءه فمن الربا وحرم البيع الله وأحل الربا
فأولـئك عاد ومن الله إلى وأمره سلف ما فله فانتهى ربه
) 275:البقرة (خالدون فيها هم النار أصحاب
Artinya: Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat
berdiri melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual bell dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba), maka orang itu adalah
25Ahmad Mustafa Al-Maragi, Tafsir al-Maragi, Mesir: Mustafa Al-Babi al-Halabi,
1394 H/1974 M, hlm. 25.
32
penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya. (Q.S. Al-Baqarah: 275)26
Prinsip inilah yang pada ujung-ujungnya menjadi dasar pembentukan
lembaga keuangan bebas bunga dengan dua produk unggulan, yakni
mudharabah27 dan bai' al-murabahah28
Persoalan uang sebetulnya sangat berkaitan dengan masalah riba.
Sebagai perbandingan dengan teori ekonomi konvensional – kapitalisme -
Islam membicarakan uang sebagai sarana penukar dan penyimpan nilai, tetapi
uang bukanlah barang dagangan. Mengapa uang berfungsi? Uang menjadi
berguna hanya jika ditukar dengan benda yang nyata atau jika digunakan
untuk membeli jasa. Oleh karena itu, uang tidak bisa dijual atau dibeli secara
kredit. Orang perlu memahami kebijakan Rasulullah SAW., bahwa tidak
hanya mengumumkan bunga atas pinjaman sebagai sesuatu yang tidak sah
tetapi juga melarang pertukaran uang dan beberapa benda bernilai lainnya
untuk pertukaran yang tidak sama jumlahnya, serta menunda pembayaran jika
barang dagangan atau mata uangnya adalah sama. Efeknya adalah mencegah
26Ibid, hlm. 69 27Mudharabah secara bahasa berasal dari kata dharb artinya "memukul" atau
melangkahkan kaki dalam melakukan suatu usaha di muka bumi. Secara terminologis mudharabah berarti suatu akad kerja-sama antara dua pihak, pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh modal dan pihak lain (mudharib) sebagai pengelola modal, di mana keuntungan dibagi bersama sesuai prosentasi yang disepakati, sedang kerugian ditanggung oleh pemilik modal. Baca Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah Wacana Ulama dan Intelektual, Jakarta: Tazkiah Institut, 1999, hlm.171.
28Bai' al-murabahah adalah akad jual-beli barang dengan harga pokok dengan tambahan keuntungan yang disepakati, Dalam bai' al-murabahah pihak penjual harus memberitahu secara transparan harga barang dan menentukan tingkat keuntungan sebagai tambahan harga. Ibid, hlm. 121.
33
bunga uang yang masuk ke sistem ekonomi melalui cara yang tidak
diketahui.29
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa fungsi uang adalah
sebagai alat kesatuan hitung, alat tukar menukar dan sebagi alat
pembayaran.
3. Teori tentang Uang
Di dalam ekonomi Islam uang bukanlah modal. Sementara ini
orang kadang salah kaprah menempatkan uang. Uang disamaartikan
dengan modal (capital). Uang adalah barang khalayak/public goods
masyarakat luas. Uang bukan barang monopoli seseorang. Jadi semua
orang berhak memiliki uang yang berlaku di suatu negara. Sementara
modal adalah barang pribadi atau orang per orang. Jika uang sebagai flow
concept sementara modal adalah stock concept.
a. Money as Flow Concept
Uang adalah sesuatu yang mengalir. Sehingga uang diibaratkan
seperti air. Jika air di sungai itu mengalir, maka air tersebut akan bersih
dan sehat. Jika air berhenti (tidak mengalir secara wajar) maka air tersebut
menjadi busuk dan bau, demikian juga dengan uang. Uang berputar untuk
produksi akan dapat menimbulkan kemakmuran dan kesehatan ekonomi
masyarakat. Sementara, jika uang ditahan maka dapat menyebabkan
macetnya roda perekonomian. Dalam ajaran Islam, uang harus diputar
29Muhammad, Bank Syari’ah Analisis Kekuatan, Peluang, dan Ancaman,
Yogyakarta: Econisia, 2003, hlm. 33
34
terus sehingga dapat mendatangkan keuntungan yang lebih besar. Untuk
itu uang perlu digunakan untuk investasi di sektor riil. Jika uang disimpan
tidak diinvestasikan kepada sektor riil, maka tidak akan mendatangkan
apa-apa (Q.S Al-Lahab). Penyimpanan uang yang telah mencapai haulnya,
menurut ajaran Islam, akan dikenai zakat.
b. Money as Public Goods
Uang adalah barang untuk masyarakat banyak. Bukan monopoli
perorangan. Sebagai barang umum, maka masyarakat dapat
menggunakannya tanpa ada hambatan dari orang lain. Oleh karena itu,
dalam tradisi Islam menumpuk uang sangat dilarang, sebab kegiatan
menumpuk uang akan mengganggu orang lain menggunakannya.30
Umat Islam telah akrab dengan mata uang yang terbuat dari emas,
disebut Dinar dan mata uang yang terbuat dari perak disebut Dirham. Mata
uang ini telah digunakan secara praktis sejak kelahiran Islam hingga
runtuhnya Khilafah Utsmaniyah di Turki pasca perang Dunia I. Oleh karena
itu, kebanyakan negara Islam dijajah oleh Barat dengan sistem kapitalisnya,
maka seluruh aspek ekonomi dan kehidupan juga mengikuti pola-pola
kapitalis, termasuk masalah mata uang. Dinar dan dirham yang digunakan
orang Arab waktu itu tidak didasarkan pada nilai nominalnya, melainkan
menurut beratnya. Sebab dinar dan dirham tersebut dianggap sebagai mata
uang yang dicetak, mengingat bentuk timbangan dirham yang tidak sama dan
karena kemungkinan terjadinya penyusutan berat akibat peredarannya.
30Ibid, hlm. 34-35
35
Datangnya Rasulullah SAW, sebagai tanda kedatangan Islam, maka beliau
mengakui berbagai muamalah yang menggunakan dinar Romawi dan dirham
Persia. Beliau juga mengakui standar timbangan yang berlaku di kalangan
kaum Quraisy untuk menimbang berat dinar dan dirham. Sehubungan dengan
hal ini, Rasulullah bersabda" "Timbangan berat (wazan) adalah timbangan
penduduk Makkah, dan takaran (mikyal) adalah takaran penduduk Madinah"
(HR. Abu Daud dan An Nasa'i) Kaum Muslimin terus menggunakan dinar
Romawi dan dirham Persia dalam bentuk cap, dan gambar aslinya sepanjang
hidup Rasulullah SAW dan dilanjutkan oleh masa kekhalifahan Abu Bakar
Ash-Shiddiq pada awal kekhalifahan Umar bin Khaththab.31
Pada masa pemerintahannya, khalifah Umar Bin Khaththab, pada
tahun 20 Hijriah, yaitu tahun kedelapan kekhalifahan Umar bin Khaththab,
beliau mencetak uang dirham baru berdasarkan pola dirham Persia. Berat,
gambar, maupun tulisan Bahlawinya (huruf Persianya) tetap ada, hanya
ditambah dengan lafaz yang ditulis dengan huruf Arab gaya Kufi, seperti lafaz
Bismillah (Dengan nama Allah) dan Bismillahi Rabbi (Dengan nama Allah
Tuhanku) yang terletak pada tepi lingkaran.
Khalifah Abdul Malik bin Marwan pada tahun 75 hijriah (695 Masehi),
mencetak dirham khusus bercorak Islam, dengan lafaz-lafaz Islam yang ditulis
dengan huruf Arab gaya Kufi. Dengan demikian, dirham Persia tidak
digunakan lagi. Dua tahun kemudian, (tepatnya tahun 77 Hijriah/697 Masehi).
Abdul Malik bin Marwan mencetak dinar khusus yang bercorak Islam setelah
31Eko Suprayitno, Ekonomi Islam Pendekatan Ekonomi Makro Islam dan
Konvensional, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2005, hlm. 198-199
36
meninggalkan pola dinar Romawi. Gambar-gambar dinar lama diubah dengan
tulisan atau lafaz-lafaz Islam, seperti Allahu Ahad (Allah itu Tunggal), Allah
Baqa' (Allah itu Abadi). Sejak saat itulah orang Islam memiliki dinar dan
dirham Islam yang secara resmi digunakan sebagai mata uangnya.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, sebenarnya di zaman Khalifah
Umar bin Kaththab dan Usman bin Affan, mata uang telah dicetak dengan
mengikuti gaya dirham Persia dengan perubahan pada tulisan yang tercantum
pada mata uang tersebut. Pada awal pemerintahan Umar pernah terbetik
pikiran untuk mencetak uang dari kulit, namun dibatalkan karena tidak
disetujui oleh para sahabat yang lain. Mata uang khalifah Islam yang
mempunyai kecirian khusus baru dicetak oleh pemerintah Imam Ali r.a.
Namun sayang peredarannya sangat terbatas karena keadaan politik saat itu.32
Mata uang dengan gaya Persia dicetak pula di zaman Muawiyah
dengan mencantumkan gambar dan pedang Gubernurnya di Irak. Ziyad juga
mengeluarkan dirham dengan mencantumkan nama khalifah. Cara yang
dilakukan Muawiyah dan Ziyad mencantumkan gambar dan nama kepala
pemerintah pada mata uang-masih dipertahankan sampai saat ini, juga
termasuk di Indonesia.
Mata uang yang beredar pada waktu itu belum terbentuk bulat seperti
uang logam sekarang ini. Baru pada zaman Ibnu Zubair dicetak untuk pertama
kalinya mata uang dengan bentuk bulat, namun peredarannya berbatas di
Hijaz. Sedangkan Mus'ab, gubernur di Kufah mencetak uang dengan gaya
32Ibid, 199-200
37
Persia dan Romawi. Pada tahun 72-74 Hijriah, Bisr bin Marwan mencetak
mata uang yang disebut dengan dinar Athawiya. Sampai dengan zaman ini
mata uang khalifah beredar bersama dengan dinar Romawi, dirham Persia dan
sedikit Himiyarite Yaman. Barulah pada zaman Abdul Malik (76 H)
pemerintah mendirikan tempat percetakan uang di Daar Idjard, Suq ahwaj,
Sus, Jay, Manadar, Maisan, Rai, Abarkubadh, dan mata uang khalifah dicetak
secara terorganisir dengan kontrol pemerintah. Nilai mata uang ditentukan
oleh beratnya. Mata uang dinar mengandung emas 22 karat, dan terdiri dari
pecahan setengah dinar dan sepertiga dinar. Pecahan yang lebih kecil didapat
dengan memotong uang Imam Ali, misalnya, pernah membeli daging dengan
memotong dua karat dari dinar. (H R Abu Dawud). Dirham terdiri dari
beberapa pecahan nash (20 dirham), nawat (5 dirham), Sha ira (1/60
driham).33
Dalam hubungannya dengan uang, bahwa uang dinar-dirham jarang
mengalami perubahan seperti naik turun, sehingga dalam pertukaran
perbandingannya dengan kurs dinar-dirham 1:10 pada saat itu perbandingan
emas perak 1:7, sehingga satu dinar 20 karat sama dengan 20 dinar 44 karat.
Akan tetapi perubahan mata uang tersebut pernah dilakukan oleh Abdul Malik
yaitu dirham diubah menjadi 15 karat. Di zaman Ibnu Faqih (289 H) nilai
dinar menguat menjadi 1:17, tetapi kemudian menetap pada kurs 1:15. Ulama
Islam Ibnu Taimiyah di zaman pemerintahan raja Mamluk, telah mengalami
situasi di mana beredar jenis mata uang dengan nilai kandungan logam mulia
33Muslimin H.Kara, Bank Syariah di Indonesia Analisis Kebijakan Pemerintah
Indonesia terhadap Perbankan Syariah, Yogyakarta: UII Press, 2005, hlm. 62.
38
yang berbeda. Ketika itu beredar tiga jenis mata uang: dinar (emas), dirham
(perak), dan fullus (tembaga). Peredaran dinar sangat terbatas, peredaran
dirham mengalami naik turun kadang-kadang malah menghilang, sedangkan
yang beredar luas adalah fullus. Fenomena inilah yang dirumuskan oleh Ibnu
Taimiyah bahwa uang dengan kualitas rendah (fullus) akan menghilangkan
uang yang berkualitas baik (dinar-dirham). Pemerintah Mamluk ditandai
dengan stabilnya sistem keuangan karena banyaknya fullus yang beredar dan
karena meningkatnya jumlah tembaga dalam mata uang dirham. Oleh sebab
itu, sistem keuangan dengan menggunakan uang kertas sering mengalami naik
turun.34
Diperkenalkannya fullus sebagai mata uang memberi inspirasi kepada
beberapa kepala pemerintahan Bani mamluk untuk menambah jenis uang.
Berbeda dengan dinar dan dirham yang terbuat dari emas dan perak, maka
pencetakan fullus relatif lebih mudah dilakukan, karena tembaga lebih mudah
didapat. Pemerintah mulai terlena dengan kemudahan pencetakan uang baru.
Keadaan memburuk ketika Kirbugha dan zahir Barkuk mulai mencetak fullus
dalam jumlah yang sangat besar dan nilai nominasi yang lebih besar dari nilai
kandungan tembaga. Fullus banyak dicetak namun masyarakat banyak
menolak kehadiran fullus tersebut. Menyadari kekeliruannya, kemudian Sultan
Kirbugha menyatakan fullus ditentukan nilainya dari beratnya dan bukan dari
34Eko Suprayitno, op. cit, hlm. 200-2001
39
nominasinya. Dengan adanya batasan tersebut, maka untuk menambah jumlah
fullus Sultan Barkuk mulai mengimpor tembaga dari negara-negara Eropa.35
Secara khusus Ibnu Taimiyah juga mengomentari praktik mengimpor
tembaga dari negara-negara Eropa sebagai bagian dari bisnis uang. Secara
garis besar Ibnu Taimiyah menyampaikan lima poin penting. Pertama,
perdagangan uang akan memicu inflasi. Kedua, hilangnya kepercayaan orang
akan stabilitas nilai uang akan mencegah orang melakukan kontrak jangka
panjang dan menzalimi golongan masyarakat yang berpenghasilan tetap
sebagai pegawai. Ketiga perdagangan domestik akan menurun karena
kekhawatiran stabilitas nilai uang. Keempat, perdagangan internasional akan
menurun. Kelima, logam berharga akan mengalir keluar dari negara.36
Tujuh ratus tahun sebelum Adam Smith menulis buku The Wealth of
Nations, seorang ulama Islam bernama Abu Hamid Al-Ghazali telah
membahas uang dalam perekonomian.37 Beliau menjelaskan ada kalanya
seseorang mempunyai sesuatu yang tidak dibutuhkannya, dan membutuhkan
sesuatu yang tidak dipunyainya. Dalam ekonomi Barter transaksi hanya terjadi
bila kedua pihak mempunyai dua kebetulan sekaligus, yaitu pihak pertama
membutuhkan barang dan pihak kedua sebaliknya.
Al-Ghazali berpendapat bahwa dalam ekonomi barter sekalipun, uang
dibutuhkan sebagai nilai suatu barang. Misalnya unta senilai 100 dinar, dan
kain senilai satu dinar. Dengan adanya uang sebagai ukuran nilai barang, maka
35Ibid, hlm. 201-202 36Muhammad, Kebijakan Fiskal dan Moneter Dalam Ekonomi Islam, 2002, Jakarta:
Salemba Empat, hlm. 54, 37Ibid
40
uang akan berfungsi pula sebagai media pertukaran. Namun uang tidak
dibutuhkan untuk nilai yang tidak wajar dari pertukaran tersebut. Menurut Al-
Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna namun dapat
merefleksikan semua warna. Uang tidak mempunyai harga namun
merefleksikan harga semua barang. Atau dalam istilah ekonomi klasik
dikatakan bahwa uang tidak memberi kegunaan langsung (direct utility
function), hanya bila uang itu digunakan untuk membeli barang, maka barang
itu akan memberi kegunaan. Dalam teori ekonomi neo-klasik dikatakan
kegunaan uang timbul dari daya belinya. Jadi uang memberi kegunaan tidak
langsung (indirect utility function). Apa pun debat para ekonom konvensional,
kesimpulan tetap sama dengan Al-Ghazali, yaitu uang tidak dibutuhkan untuk
uang itu sendiri.38
B. Bank
1. Pengertian Bank
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bank adalah badan usaha
di bidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang di masyarakat,
terutama memberikan kredit dan jasa di lalu lintas pembayaran dan
peredaran uang.39 O.P. Simorangkir menegaskan bank adalah salah satu
badan usaha lembaga keuangan yang bertujuan memberikan kredit dan
38Ahmad Muhammad al-Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem Ekonomi
Islam, Prinsip-Prinsip dan Tujuannya, terj Abu Ahmadi dan Anshori Sitanggal, an-Nizam al-Iqtisadi Fi al Islam Mabadi Uhu Wahdafuhu, Surabaya: PT.Bina Ilmu, 1980, hlm. 33
39Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi III, Cet 2, Balai Pustaka, Jakarta, 2002, hlm. 103-104
41
jasa-jasa.40 Dalam Kamus Ekonomi, bank dirumuskan sebagai sebuah
lembaga untuk meminjamkan uang, mengeluarkan uang kertas, atau yang
membantu menyimpankan uang.41
Dalam Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang Perubahan
Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan bahwa dalam
pasal 1 butir 2 menyebutkan bank adalah badan usaha yang menghimpun
dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada
masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.42 Menurut Masjfuk
Zuhdi, Bank non-Islam atau conventional bank ialah sebuah lembaga
keuangan yang fungsi utamanya menghimpun dana untuk disalurkan
kepada yang memerlukan dana, baik perorangan atau badan guna investasi
dalam usaha-usaha yang produktif dan lain-lain dengan sistem bunga;
sedangkan Bank Islam, ialah sebuah lembaga keuangan yang menjalankan
operasinya menurut hukum syari'at Islam. Sudah tentu Bank Islam tidak
memakai sistem bunga, sebab bunga dilarang oleh Islam.43
Dalam kerangka ekonomi umat Islam, istilah bank memiliki
konsep tersendiri, yakni bank Syari'ah yang beroperasi berdasarkan ajaran
(syari'at) Islam, yang memiliki prinsip operasional berbeda dengan prinsip
operasional bank konvensional (convensional bank). Menurut Karnaen A.
40O.P. Simorangkir, Kamus Perbankan Inggris Indonesia, Jakarta: PT Bina Aksara,
1985, hlm. 33. 41Winardi, Kamus Ekonomi (Inggris – Indonesia), Bandung: Alumni, 1984, hlm. 29 42Undang-Undang Perbankan No. 10 Tahun 1998, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm.
9 43 Masjfuk Zuhdi, Masail Fiqhiyah, Jakarta: CV. Haji Masagung, 1988, hlm. 109
42
Perwataatmadja dan Syafi'i Antonio, bank Syari'ah memiliki dua
pengertian, yaitu:
1. Bank yang beroperasi sesuai dengan prinsip-prinsip syari'at Islam;
2. Bank yang tata cara beroperasinya mengacu kepada ketentuan-ketentuan
al-Qur'an dan al-Hadits.44
Dalam pengertian lain disebutkan bahwa yang dimaksud dengan bank
Syari'ah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit
dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang
operasionalnya disesuaikan dengan prinsip syari'at Islam. Dalam pengertian
ini, usaha bank akan selalu dikaitkan dengan masalah uang yang merupakan
barang dagangan utama.45
Selain itu, banyak juga orang yang terjebak ke dalam pengertian bahwa
bank Syari'ah itu sama dengan bank tanpa bunga (Zero interest = bunga nol).
Pengertian ini memang tidak terlalu salah, karena bank Syari'ah tidak
mengenal bunga. Namun pengertian bank Syari'ah tidak hanya mesti sampai
di situ, tetapi ia harus dipahami secara komprehensif dan universal.
Pemahaman tentang bank Syari'ah tidak hanya dilihat dari aspek praktis
operasional, tetapi harus pula dilihat dari perspektif ekonomi makro ke-
Islamannya.46
44 Karnaen A. Perwataatmadja dan Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank
Syari’ah, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 1992, hlm. 1. 45 Abdul Aziz Dahlan, dkk (Ed.). Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta: Ikhtiar Baru van
Hoeve, 1997, hlm; 194. 46 Djazuli dan Yadi Janwari, Lembaga-lembaga Perekonomian Umat (Sebuah
Pengenalan) Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, 54-55.
43
Berdasarkan keterangan di atas ada pula yang merumuskan bank
Syari’ah sebagai suatu lembaga keuangan yang fungsi utamanya menghimpun
dana untuk disalurkan kepada orang atau lembaga yang membutuhkannya
dengan sistem tanpa bunga.47 Dengan singkat, Muhammad merumuskan, Bank
Syari’ah adalah bank yang beroperasi dengan tidak mengandalkan pada
bunga. Bank Islam atau biasa disebut dengan Bank tanpa bunga adalah
lembaga keuangan/perbankan yang operasional dan produknya dikembangkan
berlandaskan pada Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW. Dengan kata lain, Bank
Islam adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan
pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu lintas pembayaran serta
peredaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan prinsip syariat
Islam.48
Bank Islam dalam menjalankan usahanya mempunyai prinsip
operasional yang terdiri dari (1) sistem simpanan; (2) bagi hasil; (3) margin
keuntungan; (4) sewa; (5) fee
(1) Prinsip Simpanan Murni
Prinsip simpanan murni merupakan fasilitas yang diberikan oleh Bank
Islam untuk memberikan kesempatan kepada pihak yang kelebihan dana
untuk menyimpan dananya dalam bentuk Al Wadiah. Fasilitas Al Wadiah
biasa diberikan untuk tujuan investasi guna mendapatkan keuntungan
seperti halnya tabungan dan deposito. Dalam dunia perbankan
konvensional al Wadiah identik dengan giro.
47 Masjfuk Zuhdi, op. cit, hlm. 143. 48 Muhammad, Konstruksi Mudharabah Dalam Bisnis Syari’ah, Yogyakarta: Pusat
Studi Ekonomi Islam, 2003, hlm. 13.
44
(2) Bagi Hasil
Sistem ini adalah suatu sistem yang meliputi tata cara pembagian hasil
usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana. Pembagian hasil usaha
ini dapat terjadi antara bank dengan peyimpan dana, maupun antara bank
dengan nasabah penerima dana. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip
ini adalah Mudharabah dan Musyarakah.
(3) Prinsip Jual Beli dan Margin Keuntungan
Prinsip ini merupakan suatu sistem yang menerapkan tata cara jual beli,
dimana bank akan membeli terlebih dahulu barang yang dibutuhkan atau
mengangkat nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian barang atas
nama bank, kemudian bank menjual barang tersebut kepada nasabah
dengan harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan (margin/mark-
up).49
(4) Prinsip Sewa
Prinsip ini secara garis besar terbagi kepada 2 jenis:
a. Ijarah, sewa murni, seperti halnya penyewaan traktor dan alat-alat
produk lainnya.
b. Bai al takjiri atau ijarah al muntahiya bit tamlik merupakan
penggabungan sewa dan beli, dimana si penyewa mempunyai hak untuk
memiliki barang pada akhir masa sewa (finansial lease).
(5) Prinsip fee (Jasa)
49 Muhammad, Bank Syari’ah: Analisis, Kekuatan, Peluang, Kelemahan dan
Ancaman, Yogyakarta: Ekonisia, 2003, hlm. 17-18
45
Prinsip ini meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang diberikan bank.
Bentuk produk yang berdasarkan prinsip ini antara lain Bank Garansi,
Kliring, Inkaso, JasaTransfer, dll. Secara syari'ah prinsip ini didasarkan
pada konsep al ajr wal umulah.50
2. Sejarah Bank
Perbankan Islam sekarang ini telah dikenal secara luas di belahan
dunia muslim dan Barat.51 Berkembangnya bank-bank syari’ah di negara-
negara Islam berpengaruh ke Indonesia. Pada awal periode 1980-an, diskusi
mengenai bank syariah sebagai pilar ekonomi Islam mulai dilakukan. Para
tokoh yang terlibat dalam kajian tersebut adalah Karnaen A Perwataatmadja,
M.Dawam Rahardjo, AM. Saefuddin, M. Amien Azis, dan lain-lain.52
Beberapa uji coba pada skala yang relatif terbatas telah diwujudkan. Di
antaranya adalah Baitut Tamwil-Salman, Bandung, yang sempat tumbuh
mengesankan. Di Jakarta juga dibentuk lembaga serupa dalam bentuk
koperasi, yakni Koperasi Ridho Gusti.
Akan tetapi, prakarsa lebih khusus untuk mendirikan bank Islam di Indonesia
baru dilakukan pada tahun 1990. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tanggal
50Muhammad, Konstruksi Mudharabah Dalam Bisnis Syari’ah, Yogyakarta: Pusat Studi Ekonomi Islam, 2003, hlm. 27.
51 Abdullah Saeed, Bank Islam dan Bunga, terj. Muhammad Ufuqul Mubin, Nurul Huda, Ahmad Sahidah, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003, hlm. 1.
52 M. Amin, Aziz, Mengembangkan Bank Islam di Indonesia, Jakarta: Bankit, 1992, hlm. 25
46
18-20 Agustus 1990 menyelenggarakan Lokakarya Bunga Bank dan Perbankan
di Cisarua, Bogor, Jawa Barat. Hasil lokakarya tersebut dibahas lebih
mendalam pada Musyawarah Nasional IV MUI yang berlangsung di Hotel
Sahid Jaya Jakarta, 22-25 Agustus 1990. Berdasarkan amanat Munas IV MUI,
dibentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Islam di Indonesia. Kelompok
kerja yang disebut Tim Perbankan MUI, bertugas melakukan pendekatan dan
konsultasi dengan semua pihak terkait.
Bank Muamalat Indonesia lahir sebagai hasil kerja Tim Perbankan MUI
tersebut di atas. Akte Pendirian PT Bank Muamalat Indonesia ditandatangani
pada tanggal 1 November 1991. Pada saat penanda-tanganan akte pendirian ini
terkumpul komitmen pembelian saham sebanyak Rp 84 miliar.
Pada tanggal 3 November 1991, dalam acara silaturahmi Presiden di
Istana Bogor, dapat dipenuhi dengan total komitmen modal disetor awal
sebesar Rp l06.126.382.000,00. Dengan modal awal tersebut, pada tanggal 1
Mei 1992, Bank Muamalat Indonesia mulai beroperasi. Hingga September
1999, Bank Muamalat Indonesia telah memiliki lebih 45 outlet yang tersebar
di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Balikpapan, dan Makasar.53
Pada awal pendirian Bank Muamalat Indonesia, keberadaan bank
syari’ah ini belum mendapat perhatian yang optimal dalam tatanan industri
perbankan nasional. Landasan hukum operasi bank yang menggunakan
sistem syari’ah ini hanya dikategorikan sebagai '"bank dengan sistem bagi
hasil; tidak terdapat rincian landasan hukum syari’ah serta jenis-jenis usaha
53 Bank Muamalat, Annual Report, Jakarta: 1999, hlm 26
47
yang diperbolehkan. Hal ini sangat jelas tercermin dari UU No. 7 Tahun
1992, di mana pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil diuraikan
hanya sepintas lalu dan merupakan "sisipan" belaka.
Namun demikian, perkembangan perbankan syariah pada era
reformasi ditandai dengan disetujuinya Undang-Undang No. 10 Tahun 1998.
Dalam undang-undang tersebut diatur dengan rinci landasan hukum serta
jenis-jenis usaha yang dapat dioperasikan dan diimplementasikan oleh bank
syari’ah. Undang-undang tersebut juga memberikan arahan bagi bank-bank
konvensional untuk membuka unit layanan syari’ah atau bahkan
mengkonversi diri secara total menjadi bank syari’ah.
Peluang tersebut ternyata disambut antusias oleh masyarakat
perbankan. Sejumlah bank mulai memberikan pelatihan dalam bidang
perbankan syari’ah bagi para stafnya. Sebagian bank tersebut ingin menjajaki
untuk membuka divisi atau cabang syariah dalam institusinya. Sebagian
lainnya bahkan berencana mengkonversi diri sepenuhnya menjadi bank
syari’ah. Hal demikian diantisipasi oleh Bank Indonesia dengan mengadakan
“Pelatihan Perbankan Syari’ah" bagi para pejabat Bank Indonesia dari
segenap bagian, terutama aparat yang berkaitan langsung seperti DPNP
(Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan), kredit, pengawasan,
akuntansi, riset, dan moneter.54 Sebabnya masyarakat merespon positif
terhadap munculnya bank syari’ah adalah karena tingkat kehalalannya lebih
terjamin. Bank syari’ah dalam operasionalnya tanpa bunga melainkan sistem
54 Bank Indonesia, Petunjuk Pelaksanaan Pembukaan Kantor Bank Syariah, Jakarta:
Bank Indonesia, 1999, hlm 26
48
bagi hasil. Sebab lainnya adalah karena bank konvensional tidak mampu
bertahan di saat krisis ekonomi, bahkan bank konvensional turut andil atas
keterpurukan ekonomi nasional.
Kemudian Bank Syari’ah Mandiri (BSM) merupakan bank milik
pemerintah pertama yang melandaskan operasionalnya pada prinsip syari’ah.
Secara struktural, BSM berasal dari Bank Susila Bakti (BSB), sebagai salah
satu anak perusahaan di lingkup Bank Mandiri (ex BDN), yang kemudian
dikonversikan menjadi bank syari’ah secara penuh. Dalam rangka
melancarkan proses konversi menjadi bank syari’ah, BSM menjalin kerja
sama dengan Tazkia Institute, terutama dalam bidang pelatihan dan
pendampingan konversi.
Sebagai salah satu bank yang dimiliki oleh Bank Mandiri yang
memiliki aset ratusan triliun dan networking yang sangat luas, BSM
memiliki beberapa keunggulan komparatif dibanding pendahulunya.
Demikian juga perkembangan politik terakhir di Aceh menjadi blessing in
disguise bagi BSM. Hal ini karena BSM akan menyerahkan seluruh cabang
Bank Mandiri di Aceh kepada BSM untuk dikelola secara syari’ah. Langkah
besar ini jelas akan menggelembungkan aset BSM dari posisi pada akhir
tahun 1999 sejumlah Rp 400.000.000.000,00 (empat ratus miliar rupiah)
menjadi di atas 2 hingga 3 triliun. Perkembangan ini diikuti pula dengan
peningkatan jumlah cabang BSM, yaitu dari 8 menjadi lebih dari 20 buah.55
Satu perkembangan lain perbankan syari’ah di Indonesia adalah
55 Muhamad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema
Insani Press, 2003. hlm. 25-27.
49
diperkenankannya konversi cabang bank umum konvensional menjadi
cabang syari’ah..
Ketentuan tentang kegiatan usaha bank berdasarkan prinsip syariah
dalam UU No.7 Tahun 1992 sangat terbatas, yakni hanya menyangkut
kegiatan pembiayaan dan tidak diatur tentang penghimpunan dana. Maka
diatur kembali dalam UU yang baru secara lebih jelas, lengkap, dan lebih
eksplisit/baik yang menyangkut penghimpunan dana maupun penyediaan
pembiayaan.
Dalam UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan UU No. 7 Tahun
1992 tentang Perbankan terdapat beberapa perubahan yang memberikan
peluang yang lebih besar bagi pengembangan perbankan syariah. Dari UU
tersebut kita bisa menangkap bahwa sistem perbankan syari’ah
dikembangkan dengan tujuan, antara lain, sebagai berikut.
1. Memenuhi kebutuhan jasa perbankan bagi masyarakat yang tidak dapat
menerima konsep bunga. Dengan diterapkannya sistem perbankan syari’ah
yang berdampingan dengan sistem perbankan konvensional, mobilisasi
dana masyarakat dapat dilakukan secara lebih luas terutama dari segmen
yang selama ini belum dapat tersentuh oleh sistem perbankan
konvensional yang menerapkan sistem bunga.
2. Membuka peluang pembiayaan bagi pengembangan usaha berdasarkan
prinsip kemitraan. Dalam prinsip ini, konsep yang diterapkan adalah
hubungan investor yang harmonis (mutual investor relationship).
50
Sementara dalam bank konvensional konsep yang diterapkan adalah
hubungan debitur dan kreditur (debtor to creditor relationship).
3. Memenuhi kebutuhan akan produk dan jasa perbankan yang memiliki
beberapa keunggulan komparatif berupa peniadaan pembebanan bunga
yang berkesinambungan (perpetual interest effect), membatasi kegiatan
spekulasi yang tidak produktif (unproductive speculation), pembiayaan
ditujukan kepada usaha-usaha yang lebih memperhatikan unsur moral.
Beberapa perubahan penting dalam UU No. 10 Tahun 1998, antara
lain, sebagai berikut:
1. Dalam rangka memperluas jangkauan pelayanan perbankan oleh bank
perkreditan rakyat, khususnya untuk masyarakat golongan ekonomi
lemah/pengusaha kecil yang dalam kenyataannya terdapat baik di wilayah
pedesaan maupun perkotaan, maka persyaratan bahwa pendirian dan atau
pembukaan kantor bank perkreditan rakyat harus dilakukan di wilayah
kecamatan dihapuskan. Dengan demikian, BPR dapat didirikan dan
membuka kantor di seluruh wilayah Indonesia.
2. Bank umum dan bank perkreditan rakyat dapat menjalankan kegiatan
usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip syari’ah. Khusus bagi
bank umum yang selama ini menjalankan kegiatan usaha secara
konvensional dapat membuka cabang penuh (full branch} untuk kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syari’ah.
Dengan dimasukkannya prinsip syariah pada sistem perbankan (bank
umum perkreditan rakyat), maka diharapkan akan benar-benar
51
mengakomodasi operasional bank syari’ah. Sejalan dengan itu diharapkan
juga pengembangan, pembinaan, dan sosialisasi oleh Bank Indonesia akan
lebih maksimal. Tentu saja, dampak berikutnya juga diharapkan pada
pengembangan lembaga keuangan BMT.
Di samping dari, sisi peraturan perundangan, lembaga keuangan
syariah seperti BPRS dan BMT lebih mempunyai peluang dibanding dengan
bank konvensional karena hal-hal, antara lain, sebagai berikut.
1. Lembaga keuangan syari’ah dijalankan dengan prinsip keadilan, wajar,
dan rasional, di mana keuntungan yang diberikan kepada nasabah
penyimpan adalah benar berasal dari keuntungan penggunaan dana oleh
para pengusaha lembaga keuangan syari’ah. Dengan pola ini, maka
lembaga keuangan syari’ah terhindar dari spread negative, sebagaimana
bank konvensional.
2. Lembaga keuangan syari’ah mempunyai misi yang sejalan dengan
program pemerintah, yaitu pemberdayaan ekonomi rakyat, sehingga
berpeluang menjalin kerjasama yang saling bermanfaat dalam upaya
pencapaian masing-masing tujuan. Kita mengetahui saat ini pemerintah
sedang giat mengembangkan perekonomian yang berbasis pada ekonomi
kerakyatan melalui kredit-kredit program seperti KKPA Bagi Hasil,
Pembiayaan Modal Kerja (PMK) BPRS, Pembiayaan Pengusaha Kecil dan
Mikro (PPKM). Hal ini membuka peluang bagi BPRS/BMT untuk
mengembangkan pola kemitraan.56
56 Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, Bandung: Pustaka Setia, 2001, hlm. 276.
52
3. Sepanjang nasabah peminjam dan nasabah pengguna dana taat azas
terhadap sistem bagi hasil, maka sistem syari’ah sebenarnya tahan uji atas
gelombang ekonomi. Lembaga keuangan syari’ah tidak mengenal pola
eksploitasi oleh pemilik dana kepada pengguna dana dalam bentuk beban
bunga tinggi sebagaimana berlaku pada sistem konvensional.57
Tujuan bank Islam adalah untuk memacu perkembangan ekonomi
dan kemajuan sosial dari negara-negara anggota dan masyarakat muslim,
baik secara individual maupun secara kolektif, adapun tujuan utama
didirikannya bank Islam ialah untuk menghindari bunga uang yang
dilaksanakan oleh bank-bank konvensional (Conventional Banks),58 adapun
manfaat atau kegunaan bank Islam adalah sebagai berikut:
a. Turut serta dalam bentuk modal berimbang dari usaha-usaha produktif di
negara-negara anggota, menanam modal pada proyek prasarana ekonomi
dan sosial di negara-negara anggota dengan cara penyertaan;
b. Memberikan pinjaman pada sektor swasta dan negara untuk membiayai
proyek-proyek usaha dan program-program yang produktif;
c. Membentuk dan mengoperasikan dana khusus untuk keperluan-keperluan
khusus, termasuk dana sosial untuk membantu masyarakat muslim yang
berada di luar anggota;
d. Menyediakan bantuan teknis kepada negara-negara anggota dan
memajukan perdagangan internasional;
57Zainul Arifin, Memahami Bank Syariah Lingkup, Peluang, Tantangan dan
Prospek, Jakarta, Alvabet, 2000, hlm 135-137 58 Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah Membahas Ekonomi Islam, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2002, hlm 286
53
e. Melaksanakan penelitian agar kegiatan ekonomi, keuangan dan perbankan
di negara-negara Islam dapat disesuaikan dengan ketentuan syari'ah;
f. Bank mencoba mencari sebuah rasio yang layak untuk mempertahankan
suatu perbandingan yang cocok antara penanaman modal yang diberikan
kepada negara-negara anggota;
g. Bank akan mempertahankan hak dan kebebasannya untuk menjual saham
penyertaannya;
h. Berusaha mempertahankan suatu keanekaragaman yang wajar dalam
penanaman modal;
i. Memungut suatu biaya atas jasa-jasanya guna menutupi ongkos
administrasi.59
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa bank syari’ah ditinjau dari
aspek sejarah, ia lahir dan berkembang sebagai hasil kesepakatan umat
Islam yang diwakili oleh para ulama dan cendekiawan muslim. Ini berarti
masyarakat, khususnya masyarakat Islam perlu terus mendukungnya.
Karena hanya dari dukungan masyarakat muslim bank syari’ah tetap eksis.
3. Peranan Bank
Ditinjau secara umum, bank dalam melaksanakan kegiatannya
mempunyai peranan sebagai pencipta uang dan penampung uang
masyarakat.60 Sehubungan dengan itu menurut Adiwarman Karim, perbankan
59 Nejatullah Shiddiqi, Pemikiran Ekonomi Islam, Alih Bahasa A.M. Saefuddin,
Jakarta: LIPPM, 1986, hlm. 82-84 60Bambang Sunggono, Pengantar Hukum Perbankan, Bandung: Mandar Maju, 1995,
hlm. 11-12
54
adalah satu lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama, yaitu (1) menerima
simpanan uang; (2) meminjamkan uang; (3) memberikan jasa pengiriman
uang.61
Bank sebagai salah satu lembaga keuangan yang paling penting
peranannya dalam masyarakat adalah lembaga keuangan yang usaha
pokoknya memberikana kredit dan jasa-jasa dalam lalu lintas pembayaran dan
peredaran uang. Di sini kita bisa lihat betapa pentingnya kaitan antara bank
dan uang, oleh karena pada dasarnya bank adalah suatu lembaga yang
berniaga uang. Dari definisi atau keterangan tentang peranan bank tersebut di
atas, bisa kita simpulkan peranan dan ataupun fungsi bank dalam masyarakat,
yaitu:
a. Sebagai lembaga yang menghimpun dana-dana masyarakat;
b. sebagai lembaga yang menyalurkan dana dari masyarakat dalam
bentuk kredit atau sebagai lembaga pemberi kredit;
c. sebagai lembaga yang melancarkan transaksi perdagangan dan
pembayaran
Jadi tegasnya bank mempunyai tiga fungsi pokok yang amat berkaitan
dengan kegiatan uang dan kesemuanya itu adalah digunakan untuk
melancarkan seluruh aktivitas keuangan masyarakat.62
4. Perbedaan Bank Islam dengan Bank Konvensional
61Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan, Jakarta: The
International Institute of Islamic Thought III T, tth, hlm. 22 62 Muchdarsyah Sinungan, Uang dan Bank, Jakarta: PT Bina Aksara, 1987, hlm. 111-
112
55
Dalam beberapa hal, bank konvensional dan bank syariah memiliki
persamaan, terutama dalam sisi teknis penerimaan uang, mekanisme transfer,
teknologi komputer yang digunakan dan sebagainya.63 Sedangkan
perbedaannya sebagai berikut;
Dalam bank syariah, akad memiliki konsekuensi duniawi dan ukhrawi.
Seringkali nasabah berani melanggar kesepakatan/perjanjian yang telah
dilakukan bila hukum itu hanya berdasarkan hukum positif belaka, tapi tidak
demikian bila perjanjian tersebut memiliki pertanggungjawaban hingga yaumil
qiyamah nanti.64 Setiap akad dalam perbankan syariah, harus memenuhi
ketentuan akad, seperti hal-hal berikut
1. Rukun, Seperti: adanya penjual, pembeli, barang, harga, akad/ijab-qabul.
2. Syarat, seperti syarat berikut barang dan jasa harus halal sehingga
transaksi atas barang dan jasa yang haram menjadi batal demi hukum
syariah. Harga barang dan jasa harus jelas. Tempat penyerahan (delivery)
harus jelas karena akan berdampak pada biaya transportasi. Barang yang
ditransaksikan harus sepenuhnya dalam kepemilikan. Tidak boleh menjual
sesuatu yang belum dimiliki atau dikuasai seperti yang terjadi pada
transaksi short sale dalam pasar modal.
Berbeda dengan perbankan konvensional, jika pada perbankan syariah
terdapat perbedaan atau perselisihan antara bank dan nasabahnya, kedua belah
pihak tidak menyelesaikannya di peradilan negeri, tetapi menyelesaikannya
63 Muhammad Syafi'i Antonio, Bank Syari'ah dari Teori Ke Praktik, Jakarta: gema
Insani, 2001, hlm. 29 64 Afzalur Rahman, Economic Doctrines of Islam, Lahore: Islamic Publication, 1990,
hlm. 85.
56
sesuai tata cara dan hukum materi syariah. Lembaga yang mengatur hukum
materi dan atau berdasarkan prinsip syariah di Indonesia dikenal dengan nama
Badan Arbitrase Muamalah Indonesia atau BAMUI yang didirikan secara
bersama oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia dan Majelis Ulama
Indonesia.
Bank syariah dapat memiliki struktur yang sama dengan bank konven-
sional, misalnya dalam hal komisaris dan direksi, tetapi unsur yang amat
membedakan antar bank syariah dan bank konvensional adalah keharusan
adanya Dewan Pengawas Syariah yang bertugas mengawasi operasional bank
dan produk-produknya agar sesuai dengan garis-garis syariah.
Dewan Pengawas Syariah biasanya diletakkan pada posisi setingkat
Dewan Komisaris pada setiap bank. Hal ini untuk menjamin efektivitas dari
setiap opini yang diberikan oleh Dewan Pengawas Syariah. Karena itu,
biasanya penetapan anggota Dewan Pengawas Syariah dilakukan oleh Rapat
Umum Pemegang Saham, setelah para anggota Dewan Pengawas Syariah itu
mendapat rekomendasi dari Dewan Syariah Nasional.
Peran utama para ulama dalam Dewan Pengawas Syariah adalah
mengawasi jalannya operasional bank sehari-hari agar selalu sesuai dengan
ketentuan-ketentuan syariah. Hal ini karena transaksi-transaksi yang berlaku
dalam bank syariah sangat khusus jika dibanding bank konvensional. Karena
itu, diperlukan garis panduan (guidelines) yang mengaturnya. Garis panduan
ini disusun dan ditentukan oleh Dewan Syariah Nasional. Dewan Pengawas
Syariah harus membuat pernyataan secara berkala (biasanya tiap tahun) bahwa
57
bank yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah.
Pernyataan ini dimuat dalam laporan tahunan (annual report) bank
bersangkutan. Tugas lain Dewan Pengawas Syariah adalah meneliti dan
membuat rekomendasi produk baru dari bank yang diawasinya. Dengan
demikian, Dewan Pengawas Syariah bertindak sebagai penyaring pertama
sebelum suatu produk ditelitikembali dan difatwakan oleh Dewan Syariah
Nasional.
Sejalan dengan berkembangnya lembaga keuangan syariah di Tanah
Air, berkembang pulalah jumlah DPS yang berada dan mengawasi masing-
masing lembaga tersebut Banyaknya dan beragamnya DPS di masing-masing
lembaga keuangan syariah adalah suatu halyangharus disyukuri, tetapijuga
diwaspadai. Kewaspadaan itu berkaitan dengan adanya kemungkinan
timbulnya fatwa yang berbeda dari masing-masing DPS dan hal itu tidak
mustahil akan membingungkan umat dan nasabah. Oleh karena itu, MUI
sebagai payung dari lembaga dan organisasi keislaman di Tanah Air,
menganggap perlu dibentuknya satu dewan syariah yang bersifat nasional dan
membawahi seluruh lembaga keuangan, termasuk di dalamnya bank-bank
syariah. Lembaga ini kelak kemudian dikenal dengan Dewan Syariah Nasional
atau DSN.
Dewan Syariah Nasional dibentuk pada tahun 1997 dan merupakan
hasil rekomendasi Lokakarya Reksadana Syariah pada bulan Juli tahun yang
sama. Lembaga ini merupakan lembaga otonom di bawah Majelis Ulama
Indonesia dipimpin oleh Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia dan
58
Sekretaris (ex-officio). Kegiatan sehari-hari Dewan Syariah Nasional
dijalankan oleh Badan Pelaksana Harian dengan seorang ketua dan sekretaris
serta beberapa anggota.
Fungsi utama Dewan Syariah Nasional adalah mengawasi produk-
produk lembaga keuangan syariah agar sesuai dengan syariah Islam. Dewan
ini bukan hanya mengawasi bank syariah, tetapi juga lembaga-lembaga lain
seperti asuransi, reksadana, modal ventura, dan sebagainya. Untuk keperluan
pengawasan tersebut, Dewan Syariah Nasional membuat garis panduan
produk syariah yang diambil dari sumber-sumber hukum Islam. Garis panduan
ini menjadi dasar pengawasan bagi Dewan Pengawas Syariah pada lembaga-
lembaga keuangan syariah dan menjadi dasar pengembangan produk-
produknya.
Fungsi lain dari Dewan Syariah Nasional adalah meneliti dan memberi
fatwa bagi produk-produk yang dikembangkan oleh lembaga keuangan
syariah. Produk-produk baru tersebut harus diajukan oleh manajemen setelah
direkomendasikan oleh Dewan Pengawas Syariah pada lembaga yang
bersangkutan. Selain itu, Dewan Syariah Nasional bertugas memberikan
rekomendasi para ulama yang akan ditugaskan sebagai Dewan Syariah
Nasional pada suatu lembaga keuangan syariah.
Dewan Syariah Nasional dapat memberi teguran kepada lembaga
keuangan syariah jika lembaga yang bersangkutan menyimpang dari garis
panduan yang telah ditetapkan. Hal ini dilakukan jika Dewan Syariah Nasional
59
telah menerima laporan dari Dewan Pengawas Syariah pada lembaga yang
bersangkutan mengenai hal tersebut
Jika lembaga keuangan syariah tersebut tidak mengindahkan teguran
yang diberikan, Dewan Syariah Nasional dapat mengusulkan kepada otoritas
yang berwenang, seperti Bank Indonesia dan Departemen Keuangan, untuk
memberikan sanksi agar perusahaan tersebut tidak mengembangkan lebih jauh
tindakan-tindakannya yang tidak sesuai dengan syariah.
Dalam bank syariah, bisnis dan usaha yang dilaksanakan tidak terlepas
dari saringan syariah. Karena itu, bank syariah tidak akan mungkin membiayai
usaha yang terkandung di dalamnya hal-hal yang diharamkan. Dalam
perbankan syariah suatu pembiayaan tidak akan disetujui sebelum dipastikan
beberapa hal pokok, di antaranya sebagai berikut
1. Apakah objek pembiayaan halal atau haram?
2. Apakah proyek menimbulkan kemudharatan untuk masyarakat?
3. Apakah proyek berkaitan dengan perbuatan mesum/asusila?
4. Apakah proyek berkaitan dengan perjudian?
5. Apakah usaha itu berkaitan dengan industri senjata yang ilegal atau
berorientasi pada pengembangan senjata pembunuh massal?
6. Apakah proyek dapat merugikan syiar Islam, baik secara langsung
maupun tidak langsung?
Sebuah bank syariah selayaknya memiliki lingkungan kerja yang
sejalan dengan syariah. Dalam hal etika, misalnya sifat amanah dan shiddiq,
harus melandasi setiap karyawan sehingga tercermin integritas eksekutif
60
muslim yang baik. Di samping itu, karyawan bank syariah harus skilljul dan
profesional (fathanah), dan mampu melakukan tugas secara team-work di
mana informasi merata di seluruh fungsional organisasi (tabligh). Demikian
pula dalam hal reward dan punishment, diperlukan prinsip keadilan yang
sesuadengansyariah. Selain itu, cara berpakaian dan tingkah laku dari para
karyawan merupakan cerminan bahwa mereka bekerja dalam sebuah lembaga
keuangan yang membawa nama besar Islam, sehingga tidak ada aurat yang
terbuka dan tingkah laku yang kasar. Demikian pula dalam menghadapi
nasabah, akhlak harus senantiasa terjaga. Nabi saw. mengatakan bahwa
senyum adalah sedekah.
Sebagai Perbandingan antara bank syariah dan bank konvensional
disajikan dalam tabel berikut:
BANK SYARI’AH BANK KONVENSIONAL
1. Melakukan investasi-investasi
yang halal saja
2. Berdasarkan prinsip bagi hasil,
jual beli, atau sewa
3. Profit dan falah oriented.65
4. Hubungan dengan nasabah
dalam bentuk hubungan
kemitraan.
5. Penghimpunan dan penyaluran
dana harus sesuai dengan fatwa
Dewan Pengawas Syari’ah
Investasi yang halal dan haram
Memakai perangkat bunga
Profit oriented
Hubungan dengan nasabah dalam
bentuk hubungan debitor-debitor
Tidak terdapat dewan sejenis
65 Falah berati mencari kemakmuran di dunia dan kebahagiaan di akhirat.
61
Berpijak dari uraian sebelumnya, dapat diambil kesimpulan, bahwa
bank syari’ah memiliki perbedaan dengan bank konvensional di antaranya
yang paling populer adalah penggunaan perangkat bunga bagi bank
konvensional. Sedangkan bank syari’ah berdasarkan prinsip bagi hasil, jual
beli, atau sewa.
5. Kebijakan Pemerintah Tentang Sektor Perbankan
Era pemerintahan Orde Baru merupakan masa kemerosotan ekonomi
yang begitu tinggi. Menghadapi masalah tersebut pemerintah Orde Baru
mengambil langkah strategis sekaligus pragmatis yakni dengan pembangunan
ekonomi yang berorientasi luar negeri. Orientasi ini dimaksudkan agar para
investor asing dapat masuk dan menanamkan sahamnya di Indonesia.
Kebijakan ini cukup membawa dampak positif bagi perkembangan
ekonomi Indonesia dengan masuknya para investor asing ke Indonesia,
terutama Jepang dan Eropa. Perekonomian Indonesia yang merosot, warisan
Orde Lama dapat diatasi dengan baik. Strategi pembangunan yang berorientasi
luar negeri tersebut didukung dengan melonjaknya harga minyak di pasaran
Internasional atau dikenal dengan era booming migas pada periode 1973-
1982.66
66 Anwar Nasution, Pembangunan dan Demokratisasi Sistem Ekonomi Indonesia, dalam
Elza Peldi Taher (Editor), Demokratisasi Politik, Budaya dan Ekonomi: Pengalaman Indonesia Masa Orde Baru, Jakarta: Yayasan Paramadina, 1994, hlm. 63
62
Tidak berlebihan bila faktor bantuan luar negeri dan devisa dari
minyak bumi dan gas (migas) merupakan dua faktor yang paling mendukung
dalam mengatasi perekonomian Indonesia. Dua faktor itu memberi sumbangan
terbesar bagi dana pembangunan nasional.
Akan tetapi, ketergantungan pada bantuan luar negeri sebagai sumber
dana pembangunan tidak dapat lagi menjadi sandaran utama seiring dengan
resesi ekonomi dunia yang terjadi pada awal 1980-an. Tentu saja, resesi
ekonomi dunia membawa dampak yang luas bagi negara-negara donor
Indonesia. Kondisi perekonomian mereka yang mengalami kemerosotan
berimbas pada bantuan dana yang dikucurkan kepada negara-negara penerima
bantuan, termasuk Indonesia.
Lesunya ekonomi dunia diawali dengan kelesuan ekonomi Amerika
Serikat yang disebabkan membengkaknya anggaran belanja tahunan Amerika
Serikat sehingga menimbulkan pembengkakan harga. Guna menutupi defisit
anggaran tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan dengan mengeluarkan
obligasi.67 Akibatnya, terjadi kenaikan tingkat suku bunga sehingga
mendorong aliran modal masuk ke Amerika Serikat.
Selain itu telah terjadi inflasi dengan melemahnya daya saing produksi
sehingga ekspor negara itu turun, sementara impor mengalami kenaikan yang
signifikans. Dalam bidang valuta asing, mata uang Amerika Serikat, dollar,
mengalami depresiasi terhadap Yen, mata uang Jepang. Semuanya berakhir
dengan melemahnya struktur ekonomi Amerika Serikat, dan tentu saja
67 Muslimin H. Kara, Bank Syari’ah Di Indonesia, Analisis Kebijakan Pemerintah
Indonesia Terhadap Perbankan Syari’ah, Yogyakarta: UII Press, 2005, hlm.. 128.
63
berimbas pada negara-negara di dunia. Sebab pada umumnya mereka
menggunakan Dollar Amerika Serikat dalam transaksi ekonomi. Indonesia
sendiri mengalami peningkatan utang luar negeri sekitar 30% akibat depresiasi
dollar terhadap yen.68
Kondisi perekonomian dunia di atas, diperparah lagi dengan
merosotnya harga minyak bumi di pasaran Internasional. Padahal devisa dari
sektor ini memberi sumbangan terbesar terhadap pendapatan dalam negeri
bagi dana pembangunan nasional. Sebagai salah satu negara penghasil
minyak, tentu Indonesia sangat bergantung pada pendapatan dari sektor
minyak bumi.
Menghadapi kondisi demikian, pemerintah Orde Baru pada awal
dekade 1980-an mengeluarkan beberapa kebijakan ekonomi, paling tidak,
mengurangi ketergantungan pada dana bantuan luar negeri bagi
kesinambungan pembangunan nasional. Kebijakan itu diambil agar
pembangunan yang sudah dijalankan dapat dijaga kesinambungannya.
Pemerintah menganggap pemanfaatan potensi dan kekuatan ekonomi
yang berbasis dalam negeri merupakan suatu pilihan yang tepat untuk
mengurangi ketergantungan pada bantuan luar negeri. Maka sejak tahun 1983,
pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan yang intinya menarik dana-dana
yang ada dalam masyarakat agar disimpan pada lembaga-lembaga
perekonomian, baik pemerintah maupun swasta. Dana-dana tersebut dapat
dimanfaatkan bagi pembangunan nasional.
68 Ibid, hlm. 129.
64
Pada bulan Juni 1983, pemerintah mengeluarkan paket deregulasi di
sektor perbankan yang memberi kewenangan kepada bank-bank nasional dan
bank campuran untuk menentukan sendiri tingkat suku bunga.69 Keluarnya
paket tersebut menempatkan pemerintah melalui Bank Indonesia tidak terlalu
jauh mencampuri tingkat suku bunga yang ditetapkan suatu bank kepada para
nasabahnya.
Memang dalam Undang-Undang No. 14 tahun 196770 tidak disebutkan
secara tegas tingkat bunga yang ditetapkan pemerintah bagi suatu lembaga
perbankan, namun dalam praktiknya, peran pemerintah sebagai pengawas dan
pembina bagi lembaga perbankan untuk menentukan tingkat suku bunga
begitu dominan. Hal itu ditandai dengan adanya ketentuan pemerintah
mengenai tingkat suku bunga yang harus dilaksanakan oleh bank.
Paket deregulasi perbankan Juni 1983 menjadi dasar bagi bank untuk
menentukan tingkat suku bunga yang sesuai dengan kondisi banknya masing-
masing. Dengan ketentuan itu, antara satu bank dengan bank lainnya akan
berbeda dalam menentukan tingkat suku bunganya. Dengan ketentuan itu pula,
pemerintah mengharapkan agar perbankan nasional dapat lebih agresif dalam
menarik minat masyarakat agar mau menginvestasikan dananya pada bank
dengan cara menentukan bunga yang menarik perhatian para calon nasabah.
69 Karnaen A.Perwataatmadja, Membumikan Ekonomi Islam di Indonesia, (Depok: Usaha
Kami, 1996), hlm. 31 70 Undang-Undang ini berisi 10 bab dengan 49 pasal. Bab I: Ketentuan Umum (2 pasal),
Bab II: Jenis dan Macam Lembaga Perbankan (2 pasal), Bab III: Pendirian dan Pimpinan Bank (14 pasal), Bab IV: Bank Asing (4 pasal), Bab V: Usaha-Usaha Perbankan (7 pasal), Bab VI: Pengawasan dan Pembinaan Bank (7 pasal), Bab VII: Ketentuan-Ketentuan Lain (2 pasal), Bab VIII: Ketentuan Pidana (3 pasal), Bab IX: Ketentuan Peralihan (6 pasal), dan Bab X: Ketentuan Penutup (3 pasal). Lihat Undang-Undang No. 14 Tahun 1967 tentahg Pokok-Pokok Perbankan.
65
Sebab secara teoritis, semakin tinggi tingkat bunga semakin menarik perhatian
calon nasabah menabung uangnya. Walaupun teori ini banyak mendapat
sanggahan dari beberapa kalangan.
Pada sisi lain, kebijakan deregulasi perbankan Juni 1983, dapat
menjadi dasar bagi dunia perbankan untuk menerapkan tingkat bunga 0%.
Atau dengan kata lain, bank dapat melakukan transaksi ekonomi tanpa
menerapkan sistem bunga yang dalam pandangan ekonomi Islam tidak
dibenarkan. Sebenarnya paket itu juga memberi peluang bagi pendirian bank
Islam, namun pendirian bank baru pada saat itu tidak mendapat izin dari
pemerintah. Setelah diberlakukannya paket Juni 1983, pemerintah memandang
perlu mengeluarkan kebijakan baru yang lebih memberi peluang kepada dunia
perbankan untuk menarik dana dari masyarakat. Paket Juni 1983 dinilai belum
cukup, sebab beberapa hal penting seperti pendirian bank baru belum diatur.
Maka pemerintah mengeluarkan kebijakan baru di bidang keuangan, moneter
dan perbankan, yaitu kebijakan paket 27 Oktober 1988, lebih dikenal dengan
pakto 1988.
Kebijakan di bidang keuangan, moneter dan perbankan tersebut
bertujuan untuk pengerahan dana masyarakat, peningkatan ekspor non migas,
peningkatan efisiensi, peningkatan kemampuan pelaksanaan kebijakan
66
moneter, dan iklim pengembangan pasar modal.71 Semuanya bermuara
terjadinya peningkatan pendapatan negara dari dalam negeri.
Pengerahan dana masyarakat yang merupakan salah satu prioritas
penting pemerintah dalam pakto 1988, pemerintah mengeluarkan beberapa
kebijakan mendasar. Di antara kebijakan itu: kebijakan tentang pembukaan
kantor cabang bank, baik kantor cabang bank pemerintah, bank pembangunan
daerah, bank swasta nasional, dan bank koperasi72; kebijakan pembukaan
cabang Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB)73; pendirian bank swasta74;
pendirian dan usaha Bank Perkreditan Rakyat75; penerbitan sertifikat
deposito76; dan perluasan tabungan77.
Kemudahan membuka kantor cabang dan pendirian bank baru
merupakan hal penting dalam dunia perbankan di Indonesia. Sebab Undang-
Undang No. 14 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan walaupun
mengatur hal-hal yang berkaitan dengan pendirian bank dan pembukaan
kantor cabang, namun pemerintah sulit memberi perizinan, terutama untuk
71 CSIS, Himpunan Peraturan Perundang-undangan Paket Kebijakan Keuangan,
Moneter, dan Perbankan 27 Oktober 1988. tidak diterbitkan, hlm. i-vi 44 72 Keputusan Menteri Keuangan No. 1062/KMK.00/1988 tanggal 27 Oktober 1988
tentang Pembukaan Kantor Bank Pemerintah, Bank Pembangunan Daerah, Bank Swasta Nasional, dan Bank Koperasi. Lihat pula, Surat Edaran Bank Indonesia No. 21/3/BPPP tanggal 27 Oktober tenlang Pembukaan Kantor Bank Pemerintah, Bank Pembangunan Daerah, Bank Swasta Nasional, dan Bank Koperasi
73 Keputusan Menteri Keuangan No. 1063/KMK.00/1988 tanggal 27 Oktober 1988 tentang Pembukaan Kantor Cabang LKBB
74 Keputusan Menteri Keuangan No. 1061/KMK.00/1988 tanggal 27 Oktober 1988 tentang Pendirian Bank Swasta Nasional dan Bank Koperasi
75 Keputusan Presiden No. 38 tahun 1988 tentang Bank Perkreditan Rakyat; lihat pula Lihat Keputusan Menteri Keuangan No. 1064/KMK.00/1988 tanggal 27 Oktober 1988 tentang Pendirian Bank Swasta Nasional dan Bank Koperasi
76 Keputusan Menteri Keuangan No. 1065/KMK.00/I988 tanggal 27 Oktober 1988 tentang Penerbitan Sertifikat Deposito oleh LKBB
77 Surat Edaran Bank Indonesia No. 21/28/UPG tanggal 27 Oktober 1988 perihal Perluasan Penyelenggaraan Tabungan oleh Bank
67
bank-bank swasta. Dalam pasal 5 Undang- Undang No. 14 tahun 1967
disebutkan bahwa bank umum milik negara didirikan dengan undang-undang
berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam undang-undang ini. Sedangkan
pembukaan kantor cabang dan perwakilan dari bank umum milik negara
hanya dapat dilakukan dengan izin Menteri Keuangan setelah mendengar
pertimbangan Bank Indonesia.78 Sementara itu, pendirian bank umum swasta
disyaratkan:
a. Berbentuk hukum perseroan terbatas
b. Mempunyai modal yang telah dibayar sekurang-kurangnya Rp.
1.000.000,- (Menteri Keuangan dapat menetapkan jumlah modal dibayar
minimum yang lebih tinggi menurut perkembangan keadaan dengan
memperhatikan kondisi setempat.
c. Saham-saham dari perseroan terbatas seluruhnya harus dimiliki oleh
warga-warga Indonesia dan atau badan-badan hukum peserta-pesertanya
dan pimpinannya terdiri atas warga negara Indonesia, menurut syarat-
syarat yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
d. Pimpinan dan pegawai dari bank yang mempunyai kedudukan vital harus
seluruhnya warga negara Indonesia.79
Kesulitan mendirikan bank baru sebagaimana yang disyaratkan di atas
dijelaskan kembali pada penjelasan pasal 8 tersebut
Di samping syarat-syarat mengenai permodalan, pemilikan saham dan
pimpinan/pegawai bank, Menteri Keuangan mempunyai wewenang untuk jika
78 Pasal 5 ayat 1 dan 2 Undang-Undang No. 14 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan
79 Pasal 8 ayat 1 Undang-Undang No. 14 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan
68
perlu menetapkan syarat-syarat tambahan, antara lain dalam hubungannya
dengan kehendak riil dan urgensi dari pendirian suatu bank pada suatu
tempat/daerah menurut kondisi sosial-ekonomis dari tempat/daerah yang
bersangkutan.80
Syarat-syarat tambahan itulah membuat para pemilik modal
mengalami kesulitan untuk mendirikan bank baru dan berinvestasi dalam
dunia perbankan. Syarat tambahan itu berkaitan dengan keruwetan birokrasi
dalam sistem birokrasi di Indonesia. Apalagi bagi para pengusaha yang tidak
terlalu mempunyai modal yang cukup atau jaringan birokrasi akan mengalami
kesulitan untuk mendirikan sebuah bank baru.
Dengan lahirnya pakto 1988 yang memberi kemudahan mendirikan
kantor cabang dan bank umum baru, sejak itu perbankan Indonesia mengalami
perkembangan kuantitasnya. Jumlah bank mengalami perkembangan yang
cukup pesat, tentu saja menambah dana bagi pembangunan nasional. Pakto
1988 memberi harapan besar bagi pendirian bank umum Islam di Indonesia,
walaupun realisasi pendirian itu dapat dilakukan pada tahun 1991 dengan
berdirinya Bank Muamalat Indonesia. Namun demikian, pakto 1988 memberi
semangat kepada umat Islam untuk mendirikan bank-bank Islam yang
berskala kecil, seperti Bank Perkreditan Rakyat. Bank-bank tersebut cukup
memberi andil bagi penghimpunan dana masyarakat untuk pembangunan
nasional. Sebab sebagian umat Islam yang menganggap bunga uang sebagai
80 Penjelasan pasal 8 ayat 3 Undang-Undang No. 14 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok
Perbankan
69
riba dapat menyalurkan pandangan keagamaannya kepada BPR yang
menerapkan bunga 0% tersebut.
Kondisi BPR yang beroperasi dengan prinsip syari'ah yang belum ada
payung hukumnya, mengatur tata cara penerapan sistem syari'ah dalam
operasional perbankan Islam, mendorong pemerintah Indonesia melakukan
kebijakan hukum yang lebih jauh dalam masalah perbankan Islam di
Indonesia. Kondisi tersebut diperkuat lagi dengan keberadaan Bank Muamalat
Indonesia yang didirikan pada tahun 1992, bertepatan dengan pembahasan
Rancangan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Nasional di
DPR. Keberadaan Bank Muamalat Indonesia yang didirikan umat Islam
mendapat respons positif dari penguasa Orde Baru, khususnya presiden
Soeharto, mempunyai pengaruh yang cukup signifikans diakomodasinya
prinsip syari'ah. Maka pada tahun 1992 melalui Undang-Undang No. 7 tahun
1992 tentang Perbankan, diakomodasi ketentuan-ketentuan yang mengatur
operasional bank yang beroperasi dengan sistem syari'ah. Walaupun undang-
undang itu sendiri belum secara eksplisit menyebut bank syari'ah, tapi bank
dengan prinsip bagi hasil.
Secara ekonomis keberadaan bank-bank Islam akan menguntungkan
pemerintah Indonesia karena sebagai umat yang mayoritas memiliki potensi
ekonomi yang besar untuk pembangunan bangsa. Sebagian dari mereka
menganggap bunga termasuk dalam kategori perbuatan riba, sehingga mereka
tidak mau menginvestasikan dananya pada bank-bank konvensional. Mereka
meyakini bahwa riba merupakan perbuatan haram.
70
Menghadapi gejolak moneter yang diwarnai oleh tingkat bunga yang
sangat tinggi belakangan ini, perbankan syariah terbebas dari negative spread,
karena perbankan Islam tidak berbasis pada bunga uang; Konsep Islam
menjaga keseimbangan antara sektor nil dengan sektor moneter, sehingga
pertumbuhan pembiayaannya tidak akan lepas dari pertumbuhan sektor riil
yang dibiayainya. Pada saat perekonomian dunia usaha lesu, maka yield yang
diterima oleh perbankan Islam menurun, dan pada gilirannya return yang
dibagihasilkan kepada para penabung juga turun. Sebaliknya, pada saat
perekonomian booming, maka return yang dibagi-hasilkan akan booming
pula. Dengan kata lain, kinerja perbankan Islam ditentukan oleh kinerja sektor
riil, dan bukan sebaliknya.
Dalam pandangan Islam, uang hanyalah sebagai alat tukar dan bukan
merupakan barang dan komoditas. Islam tidak mengenal time value of money,
tetapi Islam mengenal economic value of time. Jadi, dengan kata lain, yang
berharga menurut pandangan Islam adalah waktu itu sendiri. Berbagai jenis
sumber daya adalah merupakan pemberian atau titipan Allah SWT kepada
manusia. Manusia harus memanfaatkannya seefektif dan seefisien mungkin
dalam berproduksi guna memenuhi kesejahteraan bersama di dunia, yaitu
untuk diri sendiri dan orang lain. Kegiatan tersebut harus
dipertanggungjawabkan kepada Allah SWT di akhirat kelak.
وتعاونوا على الرب والتقوى وال تعاونوا علىاإلثم ... ) 2:املائدة(...والعدوان
71
Artinya:"...Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran..." (QS Al-Maidah: 2).81
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa secara ekonomis
keberadaan bank-bank Islam akan menguntungkan pemerintah Indonesia
karena sebagai umat yang mayoritas memiliki potensi ekonomi yang besar
untuk pembangunan bangsa. Sebagian dari mereka menganggap bunga
termasuk dalam kategori perbuatan riba
81 Yayasan Penterjemah/Pentafsir, al-Qur'an dan Terjemahnya, Surabaya: Depag RI,
1978, hlm. 157.