Download - Isu Gender
KEBIJAKAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DI DAERAH BENCANA:STUDI KASUS DI PADANG DAN SIDOARJO
Aris MunandarMohammad Noer
ABSTRAK
Kebijakan yang tidak sensitive gender akan berpengaruh pada keadilan dalam akses, kontrol, partisipasi dan pemanfaatan sumber daya pembangunan antara laki-laki dan perempuan. Dengan perspektif gender, studi ini mengkaji penanggulangan bencana di Padang dan Sidoarjo dengan fokus pada empat fase kebijakan penanganan bencana yaitu Pra-bencana, Tanggap Darurat, Rehabilitasi dan Rekonstruksi. Hasil studi menunjukkan bahwa isu gender di kedua daerah bencana belum terintegrasi ke dalam kebijakan pengelolaan bencana.
PENDAHULUAN
Pengalaman bencana yang menimpa Indonesia mulai dari Tsunami Aceh, tanah
longsor, gempa bumi, badai tropis, angin puting beliung, rob, yang datang secara
berturut-turut, membuat kita gagap dan terkesan tidak siap menghadapinya. Meskipun
tidak mengharapkan kejadian itu berulang, akan tetapi menghadapi kenyataan bahwa
Indonesia terletak di ‘sabuk bencana Pasifik’ sehingga kewaspadaan dan kesiapan dalam
bentuk pengelolaan bencana adalah suatu keniscayaan.
Banyak isu yang harus dipertimbangkan dalam pengelolaan bencana; dari isu
yang berkaitan dengan hal-hal fisik lingkungan, infrastruktur, sampai isu yang
menyangkut ekonomi dan sosial-budaya. Dari semua isu itu, kecenderungan yang ada
memperlihatkan isu sosial-budaya khususnya isu perempuan dan isu gender belum
mendapat perhatian secara proporsional. Meskipun sangat penting dan relevan, tetapi
sering luput dalam pertimbangan ketika pengelolaan bencana diformulasi, ketika
kebijakan dan strategi ditentukan dan ketika program, panduan, prosedur standar operasi
serta hal-hal teknis lainya, dikembangkan dan diimplementasikan.
Isu gender dalam pengelolaan bencana dewasa ini mendapat perhatian yang
sangat penting mengingat dalam beberapa pengalaman peristiwa bencana di berbagai
tempat, keberadaan perempuan, anak-anak, dan orang-orang yang tergolong ke dalam
kelompok rentan seringkali kurang atau bahkan tidak terlindungi secara memadai,
1
sehingga mereka menjadi korban yang paling besar akibat peristiwa bencana. Di sisi
lain, peran perempuan pada peristiwa bencana cukiup besar, misalnya ketika mereka
berusaha menyelamatkan anak-anak, harta benda, dan memberikan pertolongan kepada
korban yang lain, tetapi seringkali peran mereka kurang diperhatikan.
Sehubungan dengan itu, pemerintah dan masyarakat perlu memberikan perhatian
yang lebih tinggi terhadap upaya perlindungan perempuan dan kelompok rentan pada
peristiwa bencana, karena kaum perempuan mempunyai pengalaman, perhatian,
kecepatan, dan keterampilan yang berbeda dengan kaum laki-laki ketika menghadapi
bencana.
Penyelenggaraan pengelolaan bencana berperspektif gender adalah suatu cara
untuk memperlakukan adil dan setara terhadap perempuan dan laki-laki, mengingat
keduanya berbeda dalam peran gender yang mereka sandang serta hubungan sosial yang
mengaturnya. Peran gender laki-laki dianggap sebagai pemimpin, kepala keluarga dan
pengambil keputusan sehingga mereka lebih terpapar dengan pemegang otoritas,
kesempatan, pilihan-pilihan, akses terhadap sumber daya termasuk informasi,
pengetahuan, keterampilan; dibandingkan dengan perempuan yang peran gendernya
lebih pada ranah rumahtangga (care giver). Hasilnya, perempuan (keberadaan, suara,
pengalaman, kebutuhan, kerisauann dan rasa amannya) terpinggirkan dari arusutama
(mainstream) kebijakan, program dan kegiatan. Itulah sebabnya dalam setiap upaya
men-gender-kan kebijakan, program, termasuk penanggulangan bencana, kecenderungan
lebih difokuskan pada perempuan. Yaitu dengan memberi keadilan gender melalui
kebijakan, program dan kegiatan agar mereka dapat ikut serta dengan memperhatikan
kesulitan mereka sebagai perempuan. Dengan demikian dipercayai kesetaraan (hak dan
status) antara keduanya dapat tercapai.
Keberadaan kaum perempuan sering luput dari perhatian para otoritas pengelola
bencana. Suara perempuan hampir tidak terwakili karena sudah dianggap terwakili oleh
suara laki-laki. Akibatnya perempuan (suara, aspirasi, kebutuhan, dst) terabaikan dalam
proses pengambilan keputusan sejak fase tanggap darurat sampai dengan fase
membangun kembali kehidupan dirancang, diformulasikan dan dimplementasikan.
Adalah suatu kenyataan bahwa sampai saat ini perspektif gender hampir-hampir absen
dalam analisis bencana.
2
Sejatinya perempuan itu bukan saja sebagai korban tetapi mereka adalah
sumberdaya yang berpotensi dapat memobilisasi kekuatan dalam masyarakatnya,
terutama ketika sendi-sendi kehidupan tidak berfungsi seperti dalam keadaan bencana.
Dari pengalaman berbagai bencana yang baru kita alami, peran dan inisiatif perempuan
untuk menjaga kelangsungan kehidupan keseharian dalam keluarga dan dalam
bermasyarakat, berjalan dan diakui secara luas. Potensi ini akan dapat lebih bermanfaat
jika peran serta dan inisiatif mereka itu diapresiasi dan diakomodasi dalam
penyelenggaraan pengelolaan bencana pada setiap tahapannya.
Studi ini bermaksud mengakomodasi pendekatan sensitif gender ke dalam
penyelenggaraan pengelolaan bencana dengan bertolak dari argumen banwa
menggunakan lensa gender memperkaya analisis penanggulangan bencana dan
menyodorkan lebih banyak option response yang cocok untuk kemaslahatan perempuan
dan laki-laki. Jadi tujuannya tidak semata-mata untuk memberi perhatian pada nasib
perempuan saja, akan tetapi juga untuk kebaikan dari penyelenggaraan pengelolaan
bencana itu sendiri, yang selama ini bias laki-laki.
Permasalahan
Dalam kajian ini ada dua pertanyaan besar yang akan dijawab:
1. Apakah isu perempuan dan isu gender sudah terintegrasi dalam pengelolaan
bencana? Jika sudah, bagaimana implementasinya di lapangan?
2. Jika belum, mengapa isu perempuan dan isu gender tidak terintegrasi ke dalam
pengelolaan bencana?
Tujuan Penelitian
1. Melakukan telaah dari perspektif gender atas peraturan, kebijakan, strategi, program-
program kegiatan, pedoman dan instrumen berkaitan dengan perlindungan perempuan
dalam pengelolaan bencana pada fase-fase penanganan bencana yang meliputi
persiapan, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi yang dikeluarkan oleh
beberapa Kementerian / Lembaga serta organisasi lainya.
2. Melakukan studi yang berkaitan dengan implementasi beberapa program kegiatan
terpilih (meliputi fase persiapan, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi)
3
termasuk implementasi metode dan instrumen untuk penguatan kapasitas kelembagaan,
dengan fokus pada keterkaitan antara gender dan pengelolaan bencana, sembari
mengidentifikasi ‘celah’ di mana integrasi perspektif gender dapat meningkatkan
model-model penyelenggaraan pengelolaan bencana yang ada.
Metode Penelitian
1. Melakukan telaah atas dokumen (desk review) yang berkaitan dengan pengelolaan
bencana dari perspektif gender
2. Melakukan studi lapanga untuk mengumpulkan data dan informasi mengenai
implementasi; best practice, pengalaman serta tantangan yang dihadapi serta
rekomendasi dari:
a. Stakeholders terpilih (pemegang otoritas dari Dinas/ Lembaga di daerah terpilih
yang bertanggung jawab menangani penanggulangan bencana di tingkat daerah;
b. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Organisasi Sosial Kemasyarakatan
yang bekerja dalam penanggulangan bencana di daerah;
c. Para korban (khususnya perempuan dan penduduk rentan (anak-anak, lansia,
penderita cacat).
Pengumpulan data dan informasi dilakukan dengan cara:
a. Obervasi
b. FGD dengan 5 kelompok terpilih : survivor (1)kelompok-kelompok perempuan
dan lansia perempuan; (2)survivor laki-laki dan lansia laki-laki; (3)remaja; (4)
masyarakat di tingkat desa; dan (5) otoritas di tingkat desa
c. Wawancara mendalam dengan narasumber di lapangan bekerjasama dengan
PSW setempat
TINJAUAN KONSEPTUAL
Beberapa konsep dan definisi yang dipakai dalam kajian ini mencakup:
Kebijakan (Policy). Prinsip atau cara bertindak yang dipilih untuk mengarahkan
pengambilan keputusan. Menurut Titmuss, kebijakan senantiasa berorientasi pada
masalah (problem-oriented) dan kepada tindakan (action-oriented). Dengan demikian,
4
kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk mengarahkan cara-
bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.
Perempuan. Kategori jenis kelamin (sex) yang ditandai oleh ciri-ciri biologis
tertentu, antara lain; memiliki alat menyusui, memiliki vagina, memiliki alat reproduksi
dan melahirkan. Ciri-ciri biologis yang melekat pada perempuan seringkali berimplikasi
pada perbedaan peran atau perbedaan gender yang meliputi; kultur, psikologis, dan
sosial dengan laki-laki, di mana kaum perempuan menjadi subordinasi kaum laki-laki.
Perempuan menjalankan peran domestik dan laki-laki menjalankan peran publik;
perempuan menjalankan peran ibu rumah tangga dan laki-laki menjadi kepala rumah
tangga. (Fakih, 2005).
Bencana. Suatu kejadian alam maupun kesalahan ulah manusia yang membuat
fungsi kehidupan masyarakat terganggu (karena banyaknya manusia yang tewas,
kehilangan materi, kerusakan lingkungan) untuk dapat memanfaatkan sumberdaya
sendiri.
Penanggulangan Bencana. Serangkaian upaya/ kegiatan yang meliputi
penetapan kebijakan pembangunan untuk antisipasi menghadapi risiko timbulnya
bencana, dari upaya/ kegiatan kesiapsiagaan menghadapi bencana, tanggap darurat,
rehabilitasi dan rekonstruksi dengan mengakomodasi pengalaman serta kebutuhan
masyarakat dengan memperhatikan bahwa masyarakat tidak homogen; masyarakat
terdiri dari perempuan dan laki-laki termasuk anak-anak, lansia dan penduduk rentan
lainnya.
Fase Kesiapsiagaan. Serangkaian upaya/ kegiatan yang dilakukan untuk
mengantisipasi bencana melalui pengorganisasian serta melalui langkah-langkah yang tepat
guna dan berdaya guna, dengan memperhatikan bahwa masyarakat yang terdiri dari
perempuan dan laki-laki berpotensi berbeda dalam kesiapsiagaannya karena adanya isu
gender (isu yang muncul karena adanya perbedaan diantara keduanya dalam memperoleh
akses dan manfaat dari adanya informasi, pengetahuan tentang bencana, dst).
Fase Tanggap Darurat Bencana. Serangkaian upaya/ kegiatan yang dilakukan
dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang
ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda,
5
pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, penyelamatan, serta
pemulihan prasarana dan sarana, dengan memperhatikan bahwa pengalaman, kerisauan,
tantangan/ kesulitan, kebutuhan yang berbeda antara perempuan dan laki-laki.
Fase Rehabilitasi. Perbaikan dan pemulihan semua aspek pelayanan publik atau
masyarakat sampai tingkat yang memadai pada wilayah pascabencana dengan sasaran
utama untuk normalisasi atau berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan
kehidupan masayarakat pada wilayah pascabencana, dengan memastikan adanya
keterlibatan perempuan terutama yang berkaitan dengan partisipasinya dalam
pengambilan keputusan pada setiap tahap fase rehabilitasi ini.
Fase Rekonstruksi. Pembangunan kembali semua prasarana dan sarana,
kelembagaan pada wilayah pascabencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun
masayarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan perekonomian,
sosial dan budaya, tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran serta
masyarakat dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat pada wilayah pascabencana;
dan memastikan tertampungnya aspirasi dan kebutuhan perempuan dalam fase
rekonstruksi ini.
Analisis Gender. Suatu cara untuk menelaah perbedaan dalam kehidupan
perempuan dan kehidupan laki-laki (perbedaan dalam peran, kewajiban, hubungan
sosial, kebutuhan, kesempatan dalam konteks tertentu, dalam hal ini konteks bencana)
yang bisa berpengaruh terhadap keduanya di dalam mendapatkan akses dan manfaat dari
usaha/ kegiatan setiap fase pengelolaan bencana.
Integrasi Gender. Mengintegrasikan/ mengakomodasikan isu gender termasuk
isu yang spesifik perempuan (seperti pengalaman, kerisauan, kebutuhan, tantangan
perempuan) ke dalam keseluruhan fase pengelolaan bencana; termasuk meningkatkan
partisipasi perempuan untuk ikut serta mengambil keputusan yang berkaitan dengan
pengelolaan bencana.
Pengelola Bencana. Suatu kelembagaan dengan kebijakan dan keputusan serta
kegiatan-kegiatan operasional yang berkaitan dengan berbagai tahapan penanganan
bencana (meliputi fase persiapan, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi).
6
Perspektif Gender. Sudut pandang dalam menilai sesuatu usaha dari
kemaslahatan dan mudaratnya terhadap perempuan dan laki-laki. Dalam konteks
pengelolaan bencana sudut pandang itu dipakai dalam menilai setiap tahapan usaha/
kegiatan penanggulangan bencana dengan fokus pada implikasi yang mungkin muncul
terhadap perempuan dan laki-laki.
Pengarusutamaan Gender. Suatu strategi untuk memastikan kebutuhan,
kepedulian dan pengalaman perempuan dan juga laki-laki terintegrasi ke dalam
rancangan, implementasi, pengawasan dan evaluasi pada setiap tahapan pengelolaan
bencana. Dengan demikian, baik laki-laki maupun perempuan akan mendapatkan akses
yang adil dan mendapatkan manfaat yang setara dari semua tahapan usaha/ kegiatan
penanggulangan bencana.
Kerangka Analisis
Studi ini menawarkan pendekatan dengan menggunakan lensa gender dalam
(pengembangan) penyelenggaraan pengelolaan bencana serta bekerja dengan para
pelaku (para pemegang otoritas, implementator serta beneficieries), sehingga
memperkaya analisis dan konteks, pada giliranya memberikan lebih banyak response
options yang adil bagi perempuan dan laki-laki, dan ’masuk’ dengan sistim yang ada.
Ada 3 komponen sebagai ’entry point’ untuk men-gender-kan pengelolaan
bencana, yaitu (1) pengumpulan data dan informasi; (2) proses analisis (gender) dalam
menemukenali faktor-faktor (berpengaruh) risiko dan cara praktis integrasi gender ; (3)
rekomendasi: formulasi response options.
7
Kerangka AnalisisIntegrasi isu gender ke dalam Pengelolaan Bencana
Untuk komponen 1, telaah dokumen menggunakan Gender Analysis Pathway
(GAP-POP), terutama dalam mengidentifikasi isu gender;
Untuk komponen 2, studi lapangan menggunakan analisis gender terhadap data
dan informasi yang terkumpul:
1) Faktor-faktor dominan yang memengaruhi para pejabat yang bertanggung jawab
terhadap pengelolaan bencana (para pengambil keputusan/ perumus kebijakan dan
pengelola program, dalam usaha melaksanakan Pengarusutamaan Gender (PUG)
dalam pengelolaan bencana;
2) Gambaran realitas kehidupan di masyarakat dengan mengidentifikasikan peran dan
kedudukan perempuan dan laki-laki serta memahami berbagai perbedaan antara
kehidupan perempuan dan laki-laki di daerah bencana. Gambaran perbedaan bisa
8
1a. Data dan informasi:
(1) hasil dari:telaah dokumen pengelolaan bencana;
(2). Hasil dari: obeservasi, FGD, wawancara mendalam, di tingkat nasional dan daerah studi
2.Analisis Gender
2aFaktor-faktor
utama berpengaruh
2bCara tepat dan
praktis integrasi isu gender
dalam pengelolaan
bencana
3Formulasi
response options
1. Hasil Telaah
Dokumen
juga mencakup perbedaan antara kehidupan sesama perempuan atau sesama laki-
laki dalam setting (sosial-ekonomi dan sosial-budaya) yang berbeda;
3) Gambaran yang spesifik perempuan di daerah rawan bencana dalam implementasi
program penanggulangan bencana (pada fase-fase penanganan bencana yang
meliputi persiapan, tanggap darurat, rehabilitasi dan rekonstruksi);
4) Gambaran bagaimana pengelolaan bencana yang netral (tidak bermaksud
diskriminatif) sekalipun, dapat berdampak berbeda terhadap perempuan dan laki-
laki;
5) Kesenjangan (jika ada) antara perempuan dan laki-laki (korban bencana) dalam
mendapatkan manfaat akses dari pengelolaan bencana yang ada (di fase fase
persiapan, tanggap darurat); serta keikutsertaan keduanya dalam mengambil
keputusan atau dalam mengakomodasi kebutuhan/ kepeduliannya di fase
rehabilitasi dan rekonstruksi melalui penyajian data dan informasi terpilah menurut
jenis kelamin.
Komponen 3 adalah rekomendasi formulasi response options sebagai masukan
untuk bahan persiapan penanggulangan bencana dan mitigasi yang responsive gender
melalui penguatan kelembagaan; strategi dan mekanisme pelaksanaan kebijakan
perlindungan perempuan di daerah bencana.
TELAAH DOKUMEN: ISU GENDER DALAM KEBIJAKAN PENGELOLAAN BENCANA
Hasil telaah dan evaluasi terhadap dokumen pengelolaan bencana selama ini
memperlihatkan kegagalan dalam mengintegrasikan isu perempuan dan isu gender ke
dalam kebijakan pengelolaan bencana. Sekalipun isu perempuan atau isu gender sudah
terintegrasi dalam formulasi pengelolaan bencana, namun masih berpotensi gagal dalam
implementasinya. Berbagai kemungkinan sebagai penyebab dan pemecahannya harus
diidentifikasi. Mungkin karena pemahaman dari berbagai pihak yang terlibat masih
’buta’ terhadap isu perempuan dan isu gender sehingga tidak ada kemauan dan
dukungan. Atau juga karena faktor eksternal, seperti kondisi sosial-budaya dan sikap
masyarakat yang tidak kondusif.
9
Respon pemerintah dalam upaya penanganan dan pengelolaan bencana
sebenarnya sangat baik, mencakup semua aspek; dari tahap pencegahan sebelum teerjadi
bencana sampai pada tahap pemulihan pasca bencana; dari mullai pembangunan sarana
dan prasarana sampai pada penyelematan korban bencana; serta pengerahan tenaga-
tenaga ahli dan pelibatan partisipasi masyarakat dari mulai tingkat lokal, nasional,
sampai tingkat internasional. Respon pemerintah ini diwujudkan, antara lain dalam
kegiatan-kegiatan:
1. Januari 2007 Bappenas meluncurkan Rencana Aksi Nasional untuk Pengurangan
Resiko Bencana (RAN PRB).
2. Maret 2007 DPR mengesahkan UU No. 24 tentang Penanggulangan Bencana (UU
PB).
3. Peraturan Pemerrintah RI No. 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan
Bencana.
4. Peraturan Pemerintah RI No. 23 Tahun 2008 tentang Peranserta Lembaga
Internasional dan Lembaga Non Pemerintah dalam Penanggulangan Bencana.
5. Peraturan Presiden No. 8 Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penangggulangan
Bencana (BNPB).
6. Respon darikejadian Tsunami Aceh, berrbagai sektor/ institusi telah mempunyai
pedoman, SOP, Manual sendiri-sendiri.
Namun demikian, dari 38 dokumen yang telah ditelaah meliputi; Undang-
Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Pedoman, Panduan, dan Buku Saku
yang telah dirumuskan dinilai masih kurang sensitif terhadap isu gender, atau luput
mempertimbangkan bahwa peran dan relasi gender antara laki-laki dan perempuan tidak
setara.
1. Hampir semua dokumen yang ditelaah menunjukkan netral gender; tidak mengintegrasikan isu gender ke dalam kebijakan pengelolaan bencana, baik eksplisit maupun implisit.
Misalnya dalam buku pedoman yang dikeluarkan oleh Departemen Sosial tentang
Pedoman Komunikasi Penanggulangan Bencana Tahun 2004. Pada bagian
pendahuluan menjelaskan, ”Mekanisme penanggulangan bencana terdiri: keluarga,
organisasi informal (kegiatan keagamaan berrupa pengajian dan pelayanan
10
kemattian, kegiatan kegotongroyongan, arisan, dan lain-lain), serta masyarakat
lokal.” Istilah keluarga, organisasi informal, kelompok arisan adalah istilah yang
netral gender. Padahal dalam penanggulangan bencana peran serta kelompok
perempuan sangat penting karena ada sejumlah kepentingan atau kebutuhan kaum
perempuan sukar dipahami atau tidak sensitif bagi kaum laki-laki. Oleh karena itu,
keterlibatan kaum perempuan perrlu dinyatakan secara eksplisit dan aktif di dalam
penanggulangan bencana sesuai dengan kodrat dan kapasitasnya.
Dalam penataan sistem komunikasi juga belum sensitif gender, sebagaimana tertulis
dalam aspek tujuan yaitu ”Agar tercapai terciptanya pemahaman dan kesatuan
pelaksanaan kegiatan Bantuan Komunikasi Penanggulangan Bencana di seluruh
Indonesia. Data informasi bencana meliputi; tempat kejadian, jumlah korban,
bantuan logistik yang diperlukan, kerusakan akibat bencana (sarana fisik dan jalan),
Jembatan, rumah, sekolah, tempat ibadah, fasos, fasum...” Data informasi mengenai
jumlah korban dan bantuan logistik tidak menjelaskan secara rinci kategori korban
seperti; jumlah korban laki-laki dan perempuan, jumlah korban anak-anak dan lanjut
usia. Dalam sistem informasi bencana data harus terinci untuk menentukan tindakan
penyelamatan dan distribusi bantuan yang cepat dan tepat.
Lebih lanjut dapat dilihat dalam Kebijakan Pergudangan pada buku pedoman yang
sama, berkaitan dengan penataan barang bantuan disebutkan bahwa ”...kelompokan
barang sesuai dengan jenisnya.” Pengelompokan barang menurut jenisnya bisa
ditafsirkan bahwa barang yang akan didistribusikan mempertimbangkan keperluan
untuk perempuan dan laki-laki. Tetapi kata ”jenis barang” ini masih bersifat netral
gender. Begitu pula yang menyangkut mekanisme penyaluran barang dinyatakan
bahwa ”Mekanisme Penyaluran Barang Bantuan dari gudang ke lokasi bencana: a.
Jumlah data korban bencana; b. Jenis barang bantuan yang dibutuhkan.” Poin a dan b
masih bersifat netral gender.
Dalam Pedoman Umum Bantuan Sosial Korban Bencana Alam yang dikeluarkan
oleh Departemen Sosial RI. Tahun 2005 pada sub bab Kebijakan Umum menyatakan
bahwa ”Pemantapan bantuan kepada para korban bencana alam, baik bantuan pada
tahap darurat bencana alam (bantuan pangan dan sandang), bantuan pada tahap pasca
11
bencana alam (bantuan rehabilitasi rumah/ BRR), maupun bantuan tahap
resosialisasi dan rujukan (pemberdayaan masyarakat dan kemitraan).” Dalam hal
pemberdayaan masyarakat dan kemitraan bencana tidak memuat pertimbangan
gender, padahal dalam kenyataan di lapangan sebagian besar pemulihan ekonomi
keluarga banyak ditopang oleh peranan kaum perempuan. Mereka ikut terlibat
menjadi tulang punggung/ pencari nafkah keluarga.
Pada saat bencana juga dapat dilihat telah ada pertimbangan gender tapi masih netral
seperti yang tercantum dalam kutipan buku pedoman terutama pada poin 1) dan poin
3) di bawah ini :
Protap saat Bencana :
1. Mendapatkan informasi lokasi bencana dan korban bencana dari petugas/
masyarakat.
2. Memonitor perkembangan lokasi bencana, melakukan upaya penyelamatan
pertama dan bila dianggap perlu mengaktifkan Posko, penampungan dan Dapur
Umum.
3. Menyiapkan tempat penampungan bantuan.
Kemudian pada sasaran kebijakan disebutkan “Pelatihan bagi Petugas maupun
Masyarakat dibidang Penanggulangan Bencana 20 orang”. Jumlah ini juga belum
menyebutkan berapa komposisi laki-laki dan perempuan. Katagori gender perlu
dimasukkan agar dalam pelaksanaan di lapangan para petugas dapat melakukan
pemilahan sesuai dengan kebutuhan penganan bencana. Hakikatnya, penanganan
korban laki-laki dan perempuan dalam batasan tertentu perlu mempertimbangkan
siapa melayani siapa.
Pada bagian lain, dalam kontek pemberian bantuan program sudah mulai
mempertimbangkan gender, seperti tercantum dalam poin 2, 3 dan 5 pada kutipan
berikut, “…..2. Bantuan sandang bagi para korban bencana alam yang tidak mampu
dan atau pakaiannya rusak/hilang, diberikan bantuan sandang berupa antara lain:
kain sarung, kain panjang, kaos, daster, pakaian anak, selimut, tikar dan lain-lain;
3. Bagi para korban bencana alam yang tidak mampu dan atau peralatan dapurnya
rusak/ hilang, diberikan bantuan peralatan dapur berupa: kompor, panci, tempat
12
nasi, wajan, piring, gelas, sendok dan lain-lain;….5. Penampungan Sementara.
Mendirikan tenda-tenda atau barak-barak untuk penampungan sementara para
korban bencana alam yang diungsikan. Tempat penampungan sementra harus aman
dari jangkauan bencana dan atau aman dan segi kesehatan dan keamanan.”
2. Sebagian kecil memasukkan kata gender, tetapi terkesan menempel tidak memperlakukannya sebagai cross-cutting issue.
Sebagian kecil memasukkan kata gender tetapi terkesan ’menempel’ tidak
memperlakukannya sebagai cross-cutting issue; tidak mempertimbangkan dan
mengintegrasikan isu gender ke dalam keseluruhan proses pengelolaan bencana pada
setiap tahapan (pra bencana; tanggap darurat; rekonstruksi, dan rehabilitasi). Pada
tingkat kebijakan, tidak menunjukkan keterkaitan antara kebijakan strategis ((UU;
PP; Inpres, RPJMN, dst), kebijakan managerial (SK. Menteri; Misi, Renstra,
Program kegiatan), dan kebijakan teknis (Pedoman; Manual, Rencana Aksi,
Mekanisme MONEV, data dan informasi, indikator, pencatatan pelaporan).
Misalnya, pada bagian Pendahuluan buku Pedoman Manajemen Sumber Daya
Manusia (SDM) Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana, Departemen Kesehatan
RI tahun 2006 dikatakan bahwa ”kebijakan penanganan krisis dan dan masalah
kesehatan merupakan bagian integral pembangunan kesehatan dengan visi
“Masyarakat yang mandiri untuk hidup sehat” dan misinya “Membuat Rakyat Sehat”
Peningkatan profesionalisme, berdasarkan pola desentralisasi dan pengembangan
peran serta masyarakat melalui dukungan sumberdaya masyarakat dan potensi yang
ada. Kebijakan dilakukan adalah peningkatan kerjasama. Peningkatan kemampuan
sumberdaya manusia kesehatan, pemberdayaan masyararakat daerah bencana,
peningkatan mutu dan keterjangkauan pelayayanan kesehatan bagi korban bencana
serta meningkatkan bantuan kemanusiaan” Dari isi pendahuluan tersebut ada
beberapa poin yang dapat dijadikan fokus masalah isu gender. Pertama, menciptakan
masyarakat yang mandiri hidup sehat. Kedua, meningkatkan peran serta masyarakat.
Ketiga, profesionalisme. Beberapa pokok pikiran tersebut hendak diwujudkan dalam
pelatihan bagi tenaga pelayan kesehatan. Ketiga prinsip tersebut tidak terintegrasi
13
dalam isi buku pedoman tentang pelatihan penanganan kesehatan, khususnya dilihat
dari kurikulum.
Contoh lain dapat dilihat dalam buku pedoman yang dikeluarkan oleh Departemen
Kesehatan tahun 2007 tentang Kurikulum Peningkatan Kapasitas Petugas Teknis
Penanggulangan Bencana Alam. Dari tujuh materi inti pelatihan hanya satu yang
secara eksplisit mencantumkan gender yaitu pada materi “Penanganan Kesehatan
Reproduksi dan Pengarusutamaan gender”. Materi pelatihan tersebut memang syarat
dengan upaya penanganan bantuan yang mempertibangkan kepentingan gender.
Sedangkan 6 materi lainnya seperti; Manajemen Penanganan Air bersih, Manajemen
Penanganan Masalah Gizi Darurat, Manajemen Penanganan Kesehatan Jiwa, Sarana
Penunjang Kesehatan di RS Lapangan, Pengelolaan RS. Lapangan, masih bersifat
umum. Dari gambaran ini dapat disimpulkan bahwa pencantuman kata gender hanya
tempelan saja karena pada isi materi lainnya tidak memuat isu gender secara
kongkrit.
Kemudian pada bagian Pelatihan Pengelola Pelayanan Kesehatan Korban Bencana
Alam dinyatakan bahwa “….jumlah peserta sebanyak 30 orang”. Tidak menjelaskan
berapa komposisi lelaki dan perempuan, padahal pelayanan kesehatan sangat erat
berhubungan dengan kebutuhan kaum perempuan dan anak-anak. Komposisi
perempuan dan laki-laki perlu dijelaskan karena hasil pelatihan itu akan terkait
langsung dengan pelayanan yang akan diberikan kepada kelompok gender.
3. Dalam beberapa dokumen isu gender tercermin secara implisit tetapi tidak by design, atau tidak dirancang sebagai pendekatan khusus yang menekankan pengarusutamaan gender dalam pengelolaan bencana.
Pasal 1 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan
Penanggulangan Bencana menyatakan bahwa “Pencegahan bencana adalah
serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan risiko
bencana, baik melalui pengurangan ancaman bencana maupun kerentanan pihak
yang terancam bencana”. Pada pernyataan tersebut isu gender secara implisit
dimasukkan dalam kata kerentanan, tetapi dalam keseluruhan dokumen tersebut isu
gender tidak merupakan pendekatan khusus sebagai suatu kebijakan pengelolaan
14
bencana. Kaum perempuan sebagai bagian dari kelompok rentan, hanya menjadi
bagian kecil dari kelmpok masyarakat yang perlu diperhatikan ketika terjadi peristiwa
bencana bukan sebagai subyek yang perlu dilibatkan secara aktif.
Pasal 28 ayat 2 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan
Pengelolaan Bantuan Bencana menyatakan bahwa “Bantuan darurat bencana untuk
pemenuhan kebutuhan dasar korban bencana diberikan dengan memperhatikan
standar minimal kebutuhan dasar dengan memperhatikan prioritas kepada kelompok
rentan”. Pada pasal ini juga isu gender hanya secara implisit dimasukkan sebagai
bagian dari pengelolaan bencana.
Isu gender tercermin secara implisit pada Pedoman Pemetaan dalam Penanggulangan
Bencana di Puskesmas yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Bina Kesehatan
Masyarakat, Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2006. dalam maksud
dan tujuan pemetaan, yaitu “mampu melakukan pemetaan berbagai komponen peta
antara lain jenis potensi bencana atau resiko bencana, sumber daya kesehatan,
masyarakat kelompok rentan beserta lokasinya, yang ada di wilayah kerja”. Dalam
pernyataan maksud dan tujuan tersebut pemetaan sumber daya kesehatan tidak
diuraikan secara spesifik tentang kepentingan gender, misalnya; dokter umum, dokter
anak, dokter kandungan, bidan, rumah sakit, rumah bersalin, dan sebagainya.
4. Isu gender tercermin dalam target atau kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk spesifik perempuan.
Misalnya dalam PP No. 21 pasal 55 ayat 2 tertulis, ”Kelompok rentan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas: a. Bayi, balita dan anak-anak; b. Ibu yang
sedang mengandung dan menyusui; c. Penyandang cacat dan d. Orang lanjut usia”
Ayat ini dipahami oleh BPNB sudah memperhatikan atau sensitif gender (FGD tim
peneliti yang dilakukan bersama BPNB dan Kementerian Negara Pemberdayaan
Perempuan di Jakarta, 15 September 2008).
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENGELOLAAN BENCANA
A. Kasus Bencana Alam di Sumatera Barat
15
Sejak tahun 2005 hingga 2006 berbagai bencana alam telah melanda berbagai
daerah di Sumatera Barat. Bencana tersebut teridentifikasi dalam berbagai bentuk, yaitu
gempa bumi telah terjadi sebanyak 4 kali, bencana longsor 2 kali, abrasi pantai 1 kali.
Dari bencana tersebut tercatat banyak korban jiwa diantaranya; 12 orang meninggal, 4
orang luka berat, dan 20 orang luka ringan. Selanjutnya pada tahun 2007, bencana alam
kembali melanda beberapa wilayah di Sumatera Barat, khususnya yang terparah adalah
kenagarian Koto Tuo IV dan Kabupaten Agam; pemukiman warga yang rusak mencapai
300, baik rusak berat maupun ringan. Demikian pula kerusakan infrastruktur terjadi di
berbagai wilayah kabupaten/kota (Dinas Sosial Sumatera Barat, 2008).
Kebijakan penanganan dan pengelolaan bencana alam di Sumatera Barat belum
menunjukkan adanya program pentahapan secara sistemik dalam hal tahap-tahap pra-
bencana, tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Produk peraturan daerah belum
ada yang spesifik proaktif untuk menghadapi bencana alam. Permasalahan klasik yang
sering muncul dari pemerintah daerah adalah keterbatasan sumber dana untuk
mempersiapkannya, sehingga langkah yang sering dilakukan adalah penanganan
bencana yang bersifat umum pada saat bencana itu tiba.
Berkenaan dengan pentingnya mengakomodasi isu gender dalam kebijakan
pengelolaan bencana, studi kasus bencana alam di Sumatera Barat bertujuan untuk
menelaah sejauhmana perspektif gender tercermin dalam kebijakan penanganan dan
pengelolalan bencana di Sumetera Barat? Pada umumnya, pemahaman pihak pemerintah
dan masyarakat tentang konsep gender sangat terbatas. Gender dianggap sebagai
masalah perbedaan jenis kelamin atau lebih memberikan perhatian pada masalah
perempuan, sehingga kerap terjadi salah pengertian bahkan sinisme terhadap kaum
perempuan. Hal ini karena sosialisasi konsep gender pada jajaran pemerintah masih
terbatas, sehingga pertimbangan gender tidak diakomodasi dalam pembuatan kebijakan
maupun pengeloaan program.
Hasil kajian terhadap hal ini terpapar dalam empat fase kebijakan penanganan
bencana sebagai berikut:
1. Isu Gender pada Tahap Pra-Bencana
16
Secara umum, pemerintah daerah belum mampu menempatkan program-program
yang sensitif gender untuk menghadapi dan mengantisipasi kemungkinan terjadinya
bencana. Studi-studi tentang pengarusutamaan gender untuk menghadapi berbagai
bentuk bencana alam yang potensial terjadi di Sumatera Barat belum dimanfaatkan
untuk merumuskan program dan tindakan yang prioritas dalam mengantisipasi bencana.
Ironisnya, hasil studi lapangan justru menunjukkan bahwa pertimbangan gender menjadi
perhatian utama dari berbagai LSM untuk mengantisipasi datangnya bencana. Bahkan,
beberapa LSM secara khusus mempunyai kelompok perempuan.
Praktis pada tahap pra-bencana tidak ada persiapan menghadapi bencana.
Masyarakat umumnya mengetahui informasi dari berbagai sumber bahwa Sumatera
Barat adalah daerah rawan bencana sehingga mereka dihimbau untuk selalu waspada
terhadap kemungkinan datangnya bencana. Sosialisasi tentang potensi bencana yang
mungkin terjadi di Sumatera Barat dilakukan pemerintah secara terbatas dengan alasan
keterbatasan dana. Oleh karena itu, program atau bantuan yang diberikan pemerintah
pada masa pra-bencana sebatas penyampaian informasi secara umum pada masyarakat
tentang posisi daerah Sumatera Barat sebagai daerah rawan bencana. Pemerintah daerah
menggunakan elemen-elemen organisasi pemerintah di tingkat bawah untuk
mengingatkan masyarakat akan potensi bencana alam di wilayah Sumatera Barat.
Permasalahannya adalah sistem itu kurang efektif karena dilaksanakan tanpa kebijakan
yang jelas sehingga tidak dapat terevaluasi dengan baik. Kebijakan pemerintah untuk
menyediakan program yang sensitif gender di masa pra-bencana belum terlaksana
dengan baik.
Secara ringkas dapat dikemukakan bahwa dalam fase pra-bencana:
Keterlibatan Pemda lebih pada memberi informasi tentang titik rawan (zona merah)
agar masyarakat waspada.
Studi-studi mengenai bencana dan menghadapi bencana serta isu gender dalam
pengelolaan bencana sudah dilakukan, tetapi ’terisolasi’ di kalangan akademisi dan
belum dimanfaatkan.
Pertimbangan gender baru menjadi perhatian LSM, terutama LSM yang berkaitan
dengan pemberdayaan perempuan.
17
Masyarakat tidak ada persiapan spesifik mengadapi bencana, tetapi mendapat cukup
informasi tentang zona merah, yaitu daerah yang paling potensial menjadi kawasan
bencana alam berdasarkan kajian ilmiah Badan Meteorologi dan Geofisika.
Kebijakan pemerintah yang pro-gender pada tahap pra-bencana belum terpapar
setiap kali program diarahkan untuk mengantisipasi terjadinya bencana.
2. Isu Gender pada Tahap Tanggap Darurat
Pada tahap tanggap darurat, pelayanan yang diberikan oleh pemerintah bersifat
umum dan belum ada perhatian khusus pada isu gender. Prmerintah berkeyakinan bahwa
fase ini adalah fase di mana semua korban memerlukan bantuan dan perlakuan yang
sama. Kondisi ini dapat djelaskan dengan beberapa alasan:
1. Program kegiatan yang dilakukan pada saat tanggap darurat lebih berorientasi pada
pendekatan klinis, yaitu berupa pelayanan bermakna sempit yang bertumpu pada
penyelamatan secara umum (belum ada data terpilah), evakuasi warga, memberi
makanan untuk kebutuhan sementara (sembako), mengobati korban yang luka, dan
memulangkan mereka setelah bencana alam reda.
2. Pengarusutamaan gender dalam perumusan kebijakan belum mendapat perhatian
sehingga tanggup jawab pengelolaan bencana dianggap berhasil jika sudah
melakukan pelayanan secara umum kepada para korban bencana alam.
3. Pendekatan program kegiatan penanganan bencana saat tanggap darurat belum
berdasarkan pada aspek keberlanjutan dan penuntasan dalam menormalkan keadaan
para korban bencana alam, sehingga pertimbangan-pertimbangan gender relatif
terabaikan.
Pada lingkup keluarga, pelayanan bantuan penyelamatan sesungguhnya lebih
banyak dilakukan sendiri oleh anggota keluarga korban bencana. Keadaan ini sekaligus
memberi informasi bahwa Pemerintah belum mempunyai pilihan-pilihan kebijakan yang
memang secara spesifik sensitif gender. Selama ini, tindakan-tindakan kebijakan yang
dipilih lebih umum untuk memberi pertolongan pada korban bencana pada titik-titik
yang paling rawan saat bencana itu tiba. Alasan klasik yang banyak didapatkan dari
permasalahan ini adalah keterbatasan dana dan sumber daya yang dimiliki pemerintah.
Oleh karena itu, gerakan penyelamatan korban bencana berdasar gender secara umum
18
lebih banyak dilakukan pada tingkat keluarga itu sendiri untuk saling membantu
mengatasi resiko bencana yang terjadi.
Pada tingkat komunitas, permasalahan yang dialami para korban bencana alam
tidak berbeda. Tindakan yang lebih utama mereka lakukan adalah menolong keluarga
mereka sendiri. Bantuan yang diterima dari pemerintah saat bencana bersifat umum
(evakuasi dan pangan), sehingga isu gender tidak terakomodasi dalam pelaksanaan
program bantuan. Kepekaan gender dalam pemberian bantuan, justru dilakukan sendiri
oleh organisasi keluarga yang terkenan bencana dengan mendahulukan pertolongan pada
anak, isteri dan orang tua renta.
Meskipun program bantuan pemerintah dalam penanganan masih netral gender,
namun sensitifitas gender ditunjukkan oleh kelompok-kelompok LSM yang terlibat aktif
dalam menolong dan mengevakusi para korban bencana, terutama para korban yang
tidak berdaya seperti anak-anak, orang tua renta, dan kaum ibu yang tidak mampu
menolong dirinya. Peranan LSM saat tanggap darurat lebih dominan dalam melakukan
pelayanan bantuan yang berorientasi gender dibanding dengan peran lembaga-lembaga
pemerintah itu sendiri. Masalahnya kemudian adalah kerjasama dan koordinasi di
tingkat lapangan antara peran pemerintah dan LSM hampir tidak ada, sehingga
pelayanan bantuan sering tidak merata menjangkau para korban bencana.
Meskipun demikian, pada tanggap darurat penanganan bencana alam sebenarnya
sudah baik, tetapi pola penanganan yang terkait dengan isu gender belum terlihat,
semuanya bersifat umum seperti pembagian kebutuhan pangan. Masalah lain yang
dihadapi adalah distribusi bantuan belum dapat menjangkau semua korban bencana,
selain karena keterbatasan kemampuan dana pemerintah, juga disebabkan karena
ketidaktertiban pendataan administrasi kependudukan.
3. Isu Gender pada Tahap Rehabilitasi
Sebagaimana pada tahap sebelumnya, pada tahap rehabilitasi pun isu gender
luput dari perhatian. Peranan pemerintah pada tahap rehabilitasi lebih terfokus pada
bantuan fisik. Ketidakpekaan ini dilatarbelakangi oleh minimnya pengalaman
pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah tentang manajemen penanggulangan
bencana alam. Di samping itu, regulasi penanggulangan bencana yang dibuat oleh
19
pemerintah belum cukup memadai untuk mengakomodasi isu gender. Misalnya, dalam
sistem pendataan korban masih bersifat umum dan belum ada data terpilah, tidak
memunculkan katagori gender; jumlah laki-laki, perempuan, anak-anak, orang tua dan
sebagainya.
Pada tahap rehabilitasi, peranan LSM cukup aktif dalam mengumpulkan bantuan
dari para donor untuk disalurkan kepada masyarakat yang terkena bencana. Peranan ini
sangat positif, mengingat kemampuan pemerintah dalam pengelolaan program dan
bantuan sangat terbatas, baik dalam hal ketersediaan dana maupun sumber daya
manusia. Disamping itu, LSM juga aktif melakukan sosialisasi tentang resiko bencana,
terutama kepada ibu-ibu rumah tangga. Peranan LSM tidak hanya memfokuskan pada
penyaluran logistik, tetapi mengambil peran strategis, yaitu menawarkan pelbagai
program pelatihan untuk mengatasi masalah trauma bencana kepada kelompok
perempuan. Sementara pemerintah lebih banyak memberikan perhatian pada penyaluran
bantuan pembangunan fisik terutama rumah tinggal.
4. Isu Gender pada Tahap Rekonstruksi
Pada fase rekonstruksi bantuan kepada korban sudah berkurang bahkan boleh
dikatan sudah tidak ada. Para korban sudah kembali normal menjalani aktifitas hidup
sehari-hari seperti sediakala. Fase rekonstruksi tidak terdapat banyak perbedaan antara
peranan LSM dan peranan pemerintah. Dari segi variasi program dan kegiatan juga tidak
bertambah, hanya meneruskan program pada masa rehabilitasi. Perhatian pemerintah
lebih banyak difokuskan pada bantuan fisik yaitu kegiatan identifikasi dan perbaikan
tempat para korban.
Bantuan fisik dan keuangan yang diberikan oleh pemerintah lebih banyak
mengarah pada perbaikan rumah tempat tinggal yang sama sekali tidak mengakomodasi
isu gender. Bantuan fisik, perbaikan atau pengadaan rumah bagi korban bencana
pemerintah mengikuti standar teknis yang sudah baku, ada ruangan dan ada kamar
mandi dan disesuaikan dengan persedianan dana yang sangat terbatas.
Sementara itu, kelompok LSM pada fase ini aktif menawarkan program tentang
pelatihan untuk mengatasi masalah trauma bencana kepada kelompok perempuan.
Program yang dibuat oleh LSM lebih bersifat spontan, karena memang tidak
20
dilatarbelakangi oleh perspektif gender yang sengaja dipersiapkan secara sistematis.
Program LSM ini merupakan kesinambungan dari masa rehabilitasi, fokusnya lebih
banyak pada penyuluhan dan mengatasi trauma.
B. Kasus Bencana Luapan Lumpur di Sidoarjo
Tragedi bencana luapan lumpur panas yang melanda Kabupaten Sidoarjo yang
bersumber dari eksplorasi PT. Lapindo Brantas Inc. dimulai sejak tanggal 29 Mei 2006.
Tragedi tersebut telah menyebabkan kerugian yang tidak terhingga bagi masyarakat
Porong dan wilayah luapan lumpur lainnya di Kabupaten Sidoarjo. Volume lumpur
diperkirakan sekitar 5.000 hingga 50 ribu meter kubik per hari (setara dengan muatan
penuh 690 truk peti kemas berukuran besar). Akibatnya, semburan lumpur ini membawa
dampak yang luar biasa bagi masyarakat sekitar maupun bagi aktivitas perekonomian di
Jawa Timur. Jumlah korban akibat luapan lumpur pada Tahap I di Kecamatan Porong
mencapai 10.223 jiwa (2.655 KK) yang kemudian diungsikan ke Pasar Baru Porong.
Pada Tahap II luapan lumpur menjangkau Kecamatan Tanggulangin dan Jabon yang
memaksa lebih dari 12.000 jiwa juga harus mengungsi ke Pasar Baru Porong (Dinas
Kesejahteraan Sosial Kabupaten Sidoarjo, Juli 2008).
Berbagai fasilitas publik seperti jalan, sekolah, saluran irigasi dan ratusan
rumah penduduk terbenam lumpur. Dampak sosial, ekonomi dan lingkungan menjadi
konsekuensi logis yang harus dibayar warga masyarakat korban musibah luapan lumpur
panas. Beberapa perusahaan yang berada di sekitar sumber luapan lumpur ekplorasi PT.
Lapindo Brantas telah menjadi korban dan praktis mengganggu aktivitas dan kinerja
perindustrian yang mempengaruhi perekonomian di Kabupaten Sidoarjo, seperti
semakin meningkatnya angka pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja yang tak
terhindarkan.
Menanggapi permasalahan luapan lumpur dengan segala dampak sosial
ekonomi, dan lingkungan yang semakin kompleks, pemerintah melalui Peraturan
Presiden Nomor 14 Tahun 2007 membentuk suatu badan khusus yang sifatnya jangka
panjang yaitu Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) yang bertugas
menangani persoalan infrastruktur atas dampak luapan lumpur. Di samping itu, Presiden
juga menunjuk beberapa menteri yang ditugasi untuk menangani musibah ini, di
21
antaranya Menteri Pekerjaan Umum, Menteri Lingkungan Hidup, dan Menteri Energi
dan Sumberdaya Mineral (ESDM).
Dalam Peraturan Presiden tersebut pemerintah menginstruksikan agar PT.
Lapindo Brantas bertanggung jawab membeli lahan dan menangani dampak sosial
terhadap masyarakat yang masuk dalam wilayah peta terdampak seluas 615 hektar yang
terdiri dari 7 desa, yang merupakan wilayah paling dekat dengan pusat semburan
lumpur. Sedangkan untuk wilayah di luar peta terdampak, menurut pasal 15 (3) Perpres
tersebut, pelaksanaan ganti rugi akan dibayar oleh APBN.
1. Isu Gender pada Tahap Pra-Bencana
Secara normatif, program sosialisasi untuk mempersiapkan warga masyarakat
menghadapi bencana sudah ada meskipun tidak sensitif gender, misalnya sebagaimana
tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Penyelenggaraan
Penaggulangan Bencana dan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2008 Tentang
Pendanaan dan Pengelolaan Bantuan Bencana. Bahkan, dalam kebijakan pembangunan
Kabupaten Sidoarjo, Pemerintah Kabupaten menjadikan isu gender sebagai
pengarusutamaan dalam pembangunan sebagaimana tercantum dalam Instruksi Bupati
Sidoarjo Nomor 1 Tahhun 2004. Tetapi dalam tahap implementasi khususnya berkaitan
dengan penanggulangan bencana, sosialisasi gender terhadap masyarakat dalam
menghadapi bencana belum menjadi program prioritas kerena daerah ini sebelum
terjadinya peristiwa bencana luapan lumpur tidak termasuk dalam peta daerah rawan
bencana. Terjadinya bencana luapan lumpur tidak diperkirakan sebelumnya dan
dianggap bukan sebagai bencana alam biasa, tetapi merupakan akibat kesalahan operasi
PT. Lapindo Brantas
Kondisi daerah Sidoarjo yang tenteram dan tidak termasuk dalam peta daerah
rawan bencana menyebabkan warga masyarakat kurang peduli dan tidak mempunyai
pengetahuan yang cukup tentang bagaimana cara-cara menghadapi bencana, termasuk di
dalamnya peran gender. Peristiwa bencana luapan lumpur yang terjadi secara tiba-tiba,
menyebabkan tidak ada pelayanan persiapan baik yang dilakukan oleh pemerintah,
swasta, LSM, maupun masyarakat pada umumnya. Isu gender tidak terakomodasi dan
tidak terintegrasi sama sekali dalam tahap persiapan menghadapi bencana.
22
2. Isu Gender pada Tahap Tanggap Darurat
Pada tahap tangggap darurat, Pemerintah Provinsi Jawa Timur melalui
Keputusan Gubernur Jawa Timur Nomor: 360/1417/031/2006 tanggal 27 Juni 2006,
memberikan pelayanan dan program dalam upaya penyelematan korban bencana lumpur
Sidoarjo di bawah koordinasi SATKORLAK. Dalam tahap ini, tindakan evakuasi
terhadap warga yang berada di daerah semburan lumpur dilakukan dan dikonsentrasikan
pada suatu tempat guna memudahkan penyediaan fasilitas umum pendukung serta
sarana dan prasarana penunjang antara lain; Posko Satkorlak, lokasi pengungsian
korban, Dapur Umum, penyediaan air bersih, sarana/ prasarana belajar mengajar
sementara, pos kesehatan.
Pelayanan tersebut diberikan kepada seluruh korban bencana dengan
pertimbangan bahwa pemberian bantuan tersebut merupakan prioritas utama yang paling
dibutuhkan warga korban saat itu untuk menyelamatkan jiwa dan sebagian harta benda
mereka. Selain itu, kelangsungan hidup mereka terutama yang berkaitan dengan
pemenuhan kebutuhan dasar, seperti; makan, kesehatan, pendidikan anak, sanitasi, air
bersih, merupakan kebutuhan yang harus diutamakan karena mereka tidak mungkin bisa
memenuhinya sendiri dalam suasana kepanikan.
Pada tahap tanggap darurat tidak ada isu gender yang mengemuka dalam
program/ bantuan yang diberikan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Timur terhadap korban
bencana. Semua pelayanan diberikan secara umum kepada seluruh korban bencana tanpa
mempertimbangkan aspek gender. Namun demikian, pertimbangan gender lebih
mengemuka dalam program pelayanan yang diberikan oleh Badan Keluarga Berencana,
Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan (BKBPMP), diantaranya adalah::
Pembuatan Posko Peduli Perempuan dan Anak Pengungsi Korban luapan lumpur
dan membantu pelayanan distribusi barang kebutuhan perempuan dan anak.
Kegiatan pendampingan psikososial perempuan dan anak pengungsi korban luapan
lumpur.
Operasional Mobil Media Informasi Keliling (MONIK) perempuan dan anak
berperspektif gender bagi pengungsi korban musibah luapan lumpur.
23
Program Pemberdayaan Perempuan Pengembang Ekonomi Lokal (P3EL) pada masa
pengungsian.
Peran Pemerintah Daerah dalam penanggulangan bencana hanya dilakukan
pada tahap tanggap darurat, karena dalam perkembangan selanjutnya penanganan
bencana dilaksanakan oleh Tim Nasional Penanggulangan Semburan Lumpur di
Sidoarjo sebagaimana Keputusan Presiden RI Nomor: 13 Tahun 2006, kemudian pada
tanggal 8 April 2007 tugas Tim Nasional digantikan oleh BPLS sebagaimana Peraturan
Presiden RI Nomor: 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.
Dengan demikian, dalam tahapan penangan bencana selanjutnya (Rehabilitasi dan
Rekonstruksi) Pemerintah Daerah tidak terlibat secara langsung, melainkan hanya
sebatas mengawasi dan membantu memfasilitasi kepentingan warga korban dengan
BPLS/ PT. Lapindo Brantas Inc.
Selain pemerintah, pemberian pelayanan dalam rangka penanggulangan korban
akibat bencana juga melibatkan beberapa komponen masyarakat, seperti LSM dan
organisasi komunitas/ lokal. Ada tiga organisasi/ lembaga komunitas yang menjadi
narasumber dalam studi ini, yaitu Pusat Perlindungan Perempuan dan Anak (P3A);
Posko Keadilan, dan Perkumpulan Aisyiah. Pelayanan yang diberikan oleh ketiga
lembaga/ organisasi kemasyarakatan tersebut lebih sensitif gender. Program-program
yang dirancang diorientasikan untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan dan
anak. Dalam tahap implementasi, pelayanan tersebut dilakukan bekerjasama dengan
pemerintah Sidoarjo, swasta, dan kaum professional dalam bentuk pelatihan, pusat
konsultasi, advokasi, pelayanan kesehatan, dan bantuan barang yang sensitif gender.
Isu gender cukup terakomodasi dalam tahap tanggap darurat, tetapi dalam
pelaksanaannnya tidak terintegrasi dengan baik. Pemerintah melalui BPLS tidak tanggap
terhadap isu gender, sementara pemerintah daerah dan LSM sangat responsif gender
meskipun kurang terimplementasi sepenuhnya dalam program karena keterbatasan dana
dan kurang mendapat tanggapan dari korban yang lebih mementingkan ganti rugi atas
kehilangan tempat tinggal.
3. Isu Gender pada Tahap Rehabilitasi
24
Pada tahap rehabilitasi, secara operasional Pemerintah Daerah Jawa Timur dan
Kabupaten Sidoarjo tidak memberikan bantuan atau pelayanan yang bersumber dari
APBD, karena berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 14 Tahun 2007, penangangan
bencana Lumpur Sidoarjo diambil alih oleh BPLS. Ada tiga tugas utama atau program
pelayanan yang menjadi tanggung jawab BPLS: (1) Melakukan penanggulangan luapan
lumpur; (2) Mengatasi dampak sosial kemasyarakatan; (3) Membangun infrastruktur.
Pada tahap rehabilitasi, pelayanan yang diberikan oleh BPLS adalah
memberikan penggantian kerugian atas kehilangan tempat tinggal kepada para korban
akibat luapan lumpur sesuai dengan nilai yang disepakati antara BPLS dan korban
bencana. Selain itu, dalam upaya rehabilitasi korban, BPLS juga memberi bantuan
berupa pemberian uang tunai untuk jatah hidup (Jadup) kepada setiap korban sebesar
300 rupiah per bulan yang diserahkan lepada setiap kepala keluarga, serta pemberian
bantuan uang kontrak sebesar 5 juta rupiah untuk dua tahun dan ditambah uang pindah
rumah sebesar 500 ribu rupiah.
Program pelayanan lain yang diberikan oleh BPLS adalah penyelenggaraan
pelatihan kerja bagi 400 orang pemuda melalui penyeleksian. Ir. Cahyono, Deputi III
Bidang Sosial BPLS mengatakan, “…pelatihan ini hanya diberikan kepada kaum laki-
laki karena mereka paling bertanggung jawab sebagai pencari nafkah dan diberikan
untuk jumlah yang terbatas karena dananya juga terbatas”. Dengan demikian, isu gender
tidak mendapat perhatian yang serius dalam pemberian pelayanan yang diberikan oleh
BPLS.
Meskipun ada regulasi yang berkaitan dengan tanggung jawab penanggulangan
bencana lumpur Sidoarjo, namun tidak membatasi komitmen Pemerintah Sidoarjo
(BKBPMP), LSM dan Organisasi Kemasyarakatan untuk tetap membantu dan
memberikan dukungan sepenuhnya terhadap korban bencana terutama kaum permpuan.
Pada tahap rehabilitasi, BKBPMP bekerjasama dengan Pusat Perlindungan Perempuan
dan Anak (P3A), dan Pusat Studi Wanita Universitas Airlangga mengupayakan
pemulihan sumber-sumber penghidupan keluarga yang terkena dampak bencana melalui
program (P3EL) Pasca Pengungsian dalam bentuk kegiatan:
Penelusuran dan penilaian sumber-sumber penghidupan secara cepat.
25
Penguatan kapasitas dan pelatihan bagi fasilitator Pemerintah, LSM, dan Ormas
setempat.
Pelatihan Persiapan Sosial Kelompok
Pelatihan keterampilan usaha mikro
Bantuan modal usaha
Tetapi upaya tersebut kurang membuahkan hasil yang optimal. Hal ini
disebabkan oleh:
Belum pulihnya kemauan dan semangat bangkitnya korban dari trauma dan
keterpurukan.
Mobilitas korban yang masih sering berpindah-pindah tempat tinggal sehingga sulit
teridentifikasi.
Lokasi program P3EL belum tersebar ke seluruh desa/ kelurahan se Kabupaten
Sidoarjo dan ada kemungkinan tempat tinggal baru korban belum terjangkau oleh
program.
Keterbatasan kemampuan pendanaan pemerintah kabupaten (BKBPMP).
LSM dan Organisasi Kemasyarakatan juga terlibat dalam program pelayanan
dalam bentuk penguatan mental dan pelatihan keterampilan sebagai bekal buat para
korban menjalani kehidupan di tempat tinggalnya yang baru. Akan tetapi, program
pelayanan ini seringkali tidak diterima dengan mudah oleh para korban. Mereka
beranggapan bahwa program pelayanan tersebut kurang memberikan manfaat dan
mereka lebih menghendaki disegerakannya pembayaran ganti rugi atas kehilangan
tempat tinggal yang sangat penting bagi kelangsungan hidupnya.
Isu gender dalam tahap rehabilitasi sudah terakomodasi dalam beberapa
program pelayanan, khususnya yang dilakukan oleh BKBPMP, P3A, dan beberapa
organisasi sosial lokal, tetapi tidak terintegrasi sebagai kebijakan atau program yang
terencana dan terkoordinasi, di mana BPLS sebagai pemegang otoritas dalam
penanggulangan dampak luapan lumpur tidak merespons isu gender dalam tahap
rehabilitasi ini, sehingga pelayanan yang diberikan oleh instansi/ lembaga di luar BPLS
berjalan sendiri tanpa ada koordinasi dan tidak terintegrasi dengan program BPLS.
4. Isu Gender pada Tahap Rekontruksi
26
Prioritas program dalam tahap rekonstruksi lebih terfokus pada pembangunan
fisik dan penggantian kerugian harta benda kepada para korban, sehingga isu gender
pada tahap ini tidak mendapat perhatian sama sekali dari pihak BPLS.
Dalam tahap rehabilitasi LSM, Organisasi Kemasyarakatan, dan lembaga
donor, tidak lagi menunjukkan peran yang besar. Hal ini bukan karena mereka tidak lagi
memperhatikan kepentingan korban bencana, tetapi lebih disebabkan oleh adanya
penolakan dari korban dan juga kesulitan melakukan mobilisasi terhadap korban yang
sudah pindah dari pengungsian dan menempati rumah tinggalnya yang baru dari hasil
penggantian. Penolakan terhadap bantuan dari LSM maupun organisasi kemasyarkatan
oleh para korban karena dinilai oleh korban bahwa bantuan tersebut kurang bermanfaat
dan tidak membantu mengatasi masalah mereka yang sesungguhnya. Sebagaimana
dikatakan oleh Dodi (korban bencana), ”.....program bantuan yang saya dapatkan tidak
mengatasi masalah yang sebenarnya; pelatihan yang diikuti juga tidak memberikan
manfaat.... sampai saat ini saya masih tidak punya pekerjaan yang jelas.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Kesimpulan
Terletak di ‘sabuk bencana Pasifik’ dengan perubahan iklim global yang semakin
intens, Indonesia menghadapi bencana alam dengan intensitas yang semakin menaik.
Oleh sebab itu, suatu pengelolaan bencana yang komprehensif adalah suatu keniscayaan.
Pemerintah telah mengeluarkan beberapa piranti hukum, UU Nomor 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana; diikuti dengan tiga buah Peraturan Pemerintah (PP)
yaitu PP Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana; PP
Nomor 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan dan Pengelolaan Bencana; PP Nomor 23
Tahun 2008 tentang Peranserta Lembaga Internasional dan Lembaga Asing
Nonpemerintah dalam Penanggulangan Bencana. Selanjutnya, untuk pengaturan
kelembagaan di tingkat nasional pemerintah telah mengelurakan Peraturan Presiden
Nomer 8 Tahun 2008 tentang pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BPNB).
Sebelum BPNB dibentuk kordinasi penanganan bencana di tingkat nasional
ditangani oleh Bakornas, di tingkat propinsi oleh Satkorlak dan ditingkat
27
Kabupaten/Kota ditangani oleh Satlak. Sejak Tsunami Aceh banyak sektor menangani
bencana sesuai dengan tugas dan fungsinya, demikian juga halnya dengan organisasi
masyarakat. Berbagai macam pedoman, panduan, manual, Standar Operasi Prosedur
(SOP) telah dikeluarkan oleh masing-masing sektor.
Dari hasil telaah piranti hukum, dokumen yang dikeluarkan sektor dan beberapa
lembaga, memperlihatkan bahwa: (1) hampir semua piranti hukum dan dokumen yang
ditelaah bersifat netral gender; tidak mengintegrasikan isu gender ke dalam pengelolaan
bencana, baik secara eksplisit maupun implisit; (2) sebagian kecil memasukan kata
gender, tetapi terkesan ’menempel’, karena tidak memperlakukan gender sebagai cross-
cutting issue. (3) lainnya isu gender tercermin secara implisit, tetapi tidak by design; (4)
Isu gender tercermin dalam target atau kegiatan-kegiatan yang ditujukan untuk spesifik
perempuan.
Hasil kajian di lapangan, yaitu di Padang dan Sidoarjo, memperlihatkan bahwa
tanggapan terhadap isu gender dalam pengelolaan bencana beragam sifatnya.
1. Di Padang:
Keterlibatan Pemda lebih pada memberi informasi, termasuk tempat-tempat titik
rawan bencana (zona merah) agar masyarakat waspada.
Studi-studi mengenai bencana dan menghadapi bencana serta isu gender dalam
pengelolaan bencana, sudah dimulai, tetapi hasilnya masih ’terisolasi’ di
kalangan akademisi, belum dimanfaatkan luas.
Kelompok LSM dan akademisi/ peneliti gender cukup berperan dalam
’mewarnai’ pengelolaan bencana dengan isu gender. Khususnya yang berkaitan
dengan penyuluhan-penyuluhan ke masyarakat serta penelitian di daerah
bencana. Mereka juga ikut memberikan rekomendasi yang berkaitan dengan
gender dalam pengelolaan bencana. Tetapi pihak otoritas/ pemerintah daerah
masih kurang memberi tanggapan.
Masyarakat umum belum mempunyai persiapan spesifik mengadapi bencana,
tetapi sudah mendapat cukup informasi tentang zona merah
2. Di Sidoarjo
28
Keterlibatan Pemda Sidoarjo dalam pengelolaan bencana terbatas. Sesuai dengan
Keputusan Presiden RI No. 13 tahun 2006, pengelolaan bencana diambil alih
oleh Tim Nasional Penanggulan Semburan Lumpur. Kemudian diganti oleh
BPLS sesuai dengan Keputusan Presiden RI No. 14 Tahun 2007 . Semua
pelayanan/ pengelolaan bencana bersifat umum, lebih menekankan pada
pengelolaan fisik; tidak mempertimbangkan isu gender dan tingkat kerentanan.
Pertimbangan gender menjadi perhatian LSM, terutama LSM yang berkaitan
dengan pemberdayaan perempuan. Isu gender justru lebih menjadi kepedulian
Organisasi Kemasyarakatan dan LSM yang berkaitan dengan pemberdayaan
perempuan. Kegiatan mereka banyak memfasilitasi kebutuhan korban,
khususnya yang berkaitan dengan bantuan materi (sandang, pangan), layanan
kesehatan, Counseling, bimbingan agama, pendampingan para korban, dengan
fokus perempuan dan anak.
Kalangan akademisi juga melakukan kajian, misalnya yang berkaitan dengan
aspek trauma dari kejadian ’lumpur Sidoarjo’ ini.
Permasalahanya adalah isu gender belum diangkat ke tingkat kebijakan strategis
maupun kebijakan managerial. Di tingkat kebijakan teknis isu gender sudah mulai
diangkat, meskipun masih terfokus pada isu perempuan ketimbang isu gendernya,
seperti yang telah dilakukan oleh Organisasi Kemasyarakatan, LSM maupun kalangan
Perguruan Tinggi, akan tetapi masih terbatas cakupanya.
Padahal melaksanakan gender mainstreaming adalah mandatori untuk semua
usaha pembangunan, termasuk pengelolaan bencana (Instruksi Presiden No.9 /2000).
Hasil kajian yang dilakukan dan juga kajian lain memperlihatkan kentalnya isu gender
dilapangan,yang perlu diperhatikan dalam pengelolaan bencana.
Masalah yang harus menjadi perhatian adalah:
1. Pemahaman yang masih rancu tentang apa itu gender; mengapa gender masuk
dalam pengelolaan bencana; apalagi jika harus mengintegrasikan bagaimana gender
ke dalam pengelolaan bencana. Keengganan untuk mengintegrasikan gender ke
dalam pengelolaan bencana seringkali bersumber karena ketidak-tahuan; kerancuan
dalam memahami konsep gender dan pengarusutamaan gender
29
2. Penanggulangan dan pengelolaan bencana masih bersifat netral gender. Umumnya
para penglola merasa bahwa bencana tidak ’berkelamin’ sebab itu pengelolaan
bencana dimaksudkan untuk semua anggota masyarakat, tanpa harus memperhatikan
kebutuhan atau pengalaman perempuan atau laki-laki.
3. Pengelolaan bencana yang komprehensif dan terintegrasi merupakan hal yang baru,
belum tersosialisasi dengan baik.
4. Dengan adanya otonomi daerah, kebutuhan masyarakat di kala bencana maupun
pasca bencana seharusnya lebih ’dekat’ terpantau; tetapi dalam kenyataan tidak
selalu demikian. Bahkan di daerah yang mengalami bencana sekalipun kebutuhan
serta pengalaman para korban (perempuan) kurang menjadi pertimbangan.
Rekomendasi
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengintegrasikan isu gender
sebagai cross-cutting issue ke dalam pengelolaan bencana:
1. Di tingkat pengelola. Idealnya semua kebijakan di tingkat kebijakan strategis,
kebijakan managerial dan kebijakan teknis yang belum mengintegrasikan isu
gender, direvisi agar gender ditempatkan sebagai cross-cutting issue.
2. Di tingkat kebijakan teknis. Isu gender dapat diintegrasikan ketika kebijakan
managerial dijabarkan menjadi kebijakan teknis, dalam bentuk manual, pedoman,
rencana aksi, protap maupun indikator.
3. Dikeluarkanya Surat Keputusan atau Instruksi dari pimpinan lembaga/ sektor/
Perda/ Surat Bupati/ Walikota tentang keharusan pengarusutamaan gender dalam
pengelolaan bencana, yaitu sebagai cerminan dari political will dan dukungan
nyata pimpinan. Untuk itu diperlukan advokasi dan sosialisasi isu gender dalam
pengelolaan bencana.
4. Pengelolaan bencana, meskipun menjadi tanggung-jawab pemerintah, harus
melibatkan peran serta masyarakat serta pihak swasta, media dan lembaga terkait
lainya seperti Perguruan Tinggi/ PSW/ pakar gender, dalam mengembangkan
kebijakan strategis, managerial dan teknis yang responsif gender
5. Di tingkat masyarakat. Menempatkan perempuan (survivor) bukan hanya sebagai
obyek, tetapi menempatkan mereka sebagai ‘change of agent’ dalam mengurangi
30
bencana maupun dalam pengelolaan bencana. Perempuan medapat peran aktif
dalam pengambilan keputusan dan pengelolan bencana, sehingga kebutuhan,
pengalamanya ’terdengar’ dan terakomodasi dalam pengelolaan bencana.
6. Akses informasi dan edukasi KIE bagi masyarakat, khususnya bagi perempuan dan
kelompok rentan.
7. Kearifan lokal dalam pengelolaan bencana sebagai bagian dari pengelolaan
bencana.
DAFTAR BACAAN
Buku:
Bemmelen, Sita van. 1995. “Gender dan Pembangunan; Apakah yang Baru?” dalam Kajian Wanita dalam Pembangunan. TO Ihromi (Ed). Jakarta. Yayasan Obor.
Dun, william. 2000. Pengantar Analisis Kebijakan Publik. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Edi Suharto. 2005. Analisis Kebijakan Publik: Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Alfabeta. Bandung.
Kantor Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan. 2001. Bunga Rampai Bahan Pembelajaran Pelatihan Pengarusutamaan Gender Bidang Kesehatan Reproduksi dan Kependudukan, Jakarta.
Mansour Fakih. 2005. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Sjaifudin, H. 1996. “Sensitifitas Gender Dalam Perumusan Kebijakan Publik”. Jurnal Analisis Sosial. Edisi 4, November 1996.
Dokumen, Undang-Undang, Buku Pedoman:
1. Peraturan Pemerintah RI No. 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana
2. Peraturan Pemerintah RI No. 22 Tahun 2008 tentang Pendanaan Dan Pengelolaan Bantuan Bencana
3. Undang-undang RI No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana
31
4. Pedoman Bantuan Santunan Bagi Ahli Waris Keluarga Korban yang Meninggal Dunia Akibat Bencana Alam, Direktorat bantuan Sosial Korban Bencana Alam, Departemen Sosial RI, 2007
5. Pedoman Pemetaan dalam Penanggulangan Bencana di Puskesmas, Departemen Kesehatan RI, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat, 2006
6. Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana (Mengacu pada standar internasional) – Panduan bagi Petugas Kesehatan yang bekerja dalam Penanganan Krisis Kesehatan Akibat Bencana di Indonesia, Departemen Kesehatan RI, 2007
7. Kesehatan Reproduksi Bagi Pengungsi (Referensi Bagi Pengelolaan Program), Departemen Kesehatan RI dan World Health Organization, 2003
8. Pedoman Umum Bantuan Sosial Korban Bencana Alam, Departemen Sosial RI Tahun 2005
9. Panduan Rehabilitasi Sosial Korban Bencana Sosial, Departemen Sosial RI Direktorat Jendral Bantuan dan Jaminan Sosial Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Sosial, 2006
10. Pedoman Penanggulangan Bencana Berbasis Komunitas, Departemen Sosial RI, Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial, Direktorat bantuan Sosial Korban Bencana Alam, 2005
11. Pedoman Pelatihan Taruna Siaga Bencana (Tagana), Departemen Sosial RI, Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial, Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Alam, 2005
12. Keputusan Presiden RI No. 3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Penaggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi dan Keputusan Presiden RI No. 111 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Keputusan Presiden No. 3 Tahun 2001 tentang Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi, Sekretariat Bakornas PBP, 2001
13. Pedoman Umum Penanganan/ Penanggulangan Dampak Bencana dan Kemiskinan Tahun 2007, Sekretariat Jenderal Departemen Pertanian, 2007
14. Membaca Strategi dan Kebijakan Penanganan Bencana di Indonesia, Departemen Komunikasi dan Informasika Badan Informasi Publik Pusat Informasi Kesejahteraan Rakyat, 2007
15. Panduan Tim Rehabilitasi Psikososial Korban Bencana Alam, Departemen Sosial RI, Direktorat Jenderal Bantuan dan Jamian Sosial, Direktorat Bantuan Sosial KTK dan PM, 2008
16. Kebijakan Teknis Penanggulangan Korban Bencana Sosial, Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Sosial Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial Departemen RI, 2006
17. Pedoman TRC Tim Reaksi Cepat, Departemen Sosial RI, Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial, Direktorat bantuan Sosial Korban Bencana Alam, 2005
32
18. Pedoman Nasional Manajemen Bencana di Indonesia, Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Kemanan RI, 2005
19. Taruna Siaga Bencana (Youth Disaster Preparedness Unit) Sebagai Gugus Tugas Penanggulangan Bencana Berbaasis Komunitas (disusun oleh Peserta Pemantapan Taruna Siaga Bencana (TAGANA) Nasional sebagai masukan untuk penanggulangan bencana berbaasis masyarakat diselenggarakan oleh Departemen Sosial RI tanggal 3 s/d 7 April 2006, di Lembang Bandung, Departemen Sosial RI, Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial, Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Alam, 2006
20. Partisipasi Perempuan dalam Penyelesaian Konflik dan bencana di Provinsi Nangroe Aceh Darusalam, Kerjasama Biro Pemberdayaan Perempuan Sekretariat Daerah Provinsi Nangroe Aceh Darussalam dengan Kementerian Pemberdayaan Perempuan RI, 2006
21. Pedoman Bantuan Bahan Bangunan Rumah (BBR)/ Rumah Tumbuh untuk Korban Bencana Alam, Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Alam Departemen Sosial RI, 2007
22. Pedoman Teknis Manajemen Gudang Penanggulangan Bencana, Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Alam Departemen Sosial RI, 2005
23. Pedoman Komunikasi Penanggulangan Bencana Bantuan Sosial, Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Alam, 2004
24. Pedoman Pengelolaan Bantuan Beras Untuk Korban Bencana, Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Alam, 2004
25. Kurikulum Peningkatan Kapasitas Petugas Teknis Penanggulangan Bencana, Pusat Penanggulangan Krisis (PPK) Departemen Kesehatan – RI, 2007
26. Pedoman Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan dalam Penanggulangan Bencana, Departemen Kesehatan RI, 2006
27. Pedoman Pengelolaan Bantuan Sosial Lauk Pauk Untuk Korban Bencana Alam, Departemen Sosial RI, Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Alam, 2006
28. Pedoman Bantuan Santunan Bagi Ahli Waris Keluarga Korban yang Meninggal Dunia Akibat Bencana Alam, Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Alam Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial, Departemen Sosial RI, 2006
29. Panduan Assertive Training dalam Penanganan Korban Kebakaran, Departemen Sosial RI Direktorat Jendral Bantuan dan Jaminan Sosial Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Sosial, 2006
30. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Lingkungan Hidup (tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air, Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut serta Pengendalian Pencemaran Udara, Departemen Komunikasi dan Informasi RI Badan Informasi Publik Pusat Informasi Kesehatan Rakyat, 2006
33
31. Penanggulangan Bencana Alam dalam Perspektif Agama di Indonesia, Departemen Komunikasi dan Informasi RI Badan Informasi Publik Pusat Informasi Kesehatan Rakyat, 2007
32. Penilaian Cepat Masalah Kesehatan pada Kejadian Bencanan (Rapid Health Assessment), Departemen Kesehatan RI, 2005
33. Pedoman Sistem Informasi Penanggulangan Krisis Akibat Bencana, Pusat Penanggulangan Krisis, Departemen Kesehatan, 2006
34. Pedoman Teknis Standardisasi Bantuan Sosial Korban Bencana Alam, Departemen Sosial RI, 2005
35. Panduan Kegiatan Sosialisasi Deteksi Dini Rawan Bencana Sosial, Departemen Sosial RI, Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Alam, 2007
36. Pedoman Bantuan Sosial Bagi Warga Negara Indonesia Terlantar Dalam dan Luar Negeri serta Pelintas Batas Antarnegara, Departemen Sosial RI, Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial, Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Sosial, 2006
37. Pengembangan Program Penanggulangan Bencana Sosial (Edisi II), Direktorat Bantuan Sosial Korban Bencana Sosial, Departemen Sosial RI, 2006
38. Laporan Penelitian Pengembangan Model Partisipasi Perempuan Dalam Penanganan Konflik di Kabupaten Poso, Kerjasama Dinas Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Poso dengan Pusat Studi Pengembangan Masyarakat Ilmiah (PSPMI) Universitas Sintuwu Maroso Poso, 2006
34