Download - LAPkas lagi
BAB 1
PENDAHULUAN
Fraktur mandibula adalah putusnya kontinuitas tulang mandibula. Hilangnya
kontunitas pada rahang bawah (mandibula), dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan
benar. Mandibula adalah tulang rahang bawah manusia dan berfungsi sebagai tempat
menempelnya gigi geligi. Faktor etiliogi utama terjadinya fraktur mandibula bervariasi
berdasarkan lokasi geografis, namun kecelakaan bermotor menjadi penyebab paling umum.
Beberapa penyebablain berupa kelainan patologis seperti keganasan pada mandibula,
kecelakaan saat kerja dan kecelakaan akibat olahraga.
Fraktur mandibula merupakan fraktur kedua tersering pada kerangka wajah, hal ini
disebabkan kondisi mandibula yang terpisah dari kranium. Diagnosis fraktur mandibula dapat
ditunjukan dengan adanya rasa sakit, pembengkaan, nyeri tekan, dan maloklusi. Patahnya
gigi, adanya gap, tidak ratanya gigi, tidak simetrinya arcus dentalis, adanya laserasi intra oral,
gigi yang longgar dan trismus.
Secara khusus penangan fraktur mandibula dan tulang pada wajah (maksilofasial)
mulai diperkenalkan oleh hipocrates (460-375 SM) dengan menggunakan panduan oklusi dan
diagnosis fraktur mandibula.
Anestesi berarti suatu keadaan dengan tidak ada rasa nyeri. Anestesi umum ialah
suatu keadaan yang ditandai dengan hilangnya persepsi terhadap semua sensasi akibat
induksi obat. Dalam hal ini, selain hilangnya rasa nyeri, kesadaran juga hilang. Obat anestesi
umum terdiri atas golongan senyawa kimia yang heterogen, yang mendepresi SSP secara
reversibel dengan spektrum yang hampir sama dan dapat dikontrol. Obat anastesi umum
dapat diberikan secara inhalasi dan secara intravena. Obat anastesi umum yang diberikan
secara inhalasi (gas dan cairan yang mudah menguap) yang terpenting di antaranya adalah
N2O, halotan, enfluran, metoksifluran, dan isofluran. Obat anastesi umum yang digunakan
secara intravena, yaitu tiobarbiturat, narkotik-analgesik, senyawa alkaloid lain dan molekul
sejenis, dan beberapa obat khusus seperti ketamin
BAB II
LANDASAN TEORI
I. ANASTESI UMUM
a. Enfluran
Merupakan halogenasi eter, pada EEG menunjukkan tanda-tanda epileptik, apalagi
disertai hipokapnia. Kombinasi dengan adrenalin lebih aman 3 kali dibanding halotan. Di
metabolisme hanya 2-8% oleh hepar menjadi produk non volatil yang dikeluarkan lewat urin.
Sisanya dikeluarkan lewat paru dalam bentuk asli. Induksi dan pulih anestesi lebih cepat
dibandingkan halotan. Efek depresi nafas lebih kuat, depresi terhadap sirkulasi lebih kuat,
dan lebih iritatif dibandingkan halotan, tetapi jarang menimbulkan aritmia. Efek relaksasi
terhadap otot lurik lebih baik dibandingkan halotan.
b. Isofluran
Merupakan halogenasi eter yang pada dosis anestetik atau sub anestetik dapat
menurunkan laju metabolisme otak terhadap oksigen, tetapi meninggikan aliran darah otak
dan tekanan intrakranial, namun hal ini dapat dikurangi dengan teknik anestesia
hiperventilasi, sehingga banyak digunakan untuk bedah otak. Efek terhadap depresi jantung
dan curah jantung minimal, sehingga digemari untuk anesthesia teknik hipotensi dan banyak
digunakan pada pasien dengan gangguan koroner. Isofluran dengan konsentrasi > 1%
terhadap uterus hamil menyebabkan relaksasi dan kurang responsive jika diantisipasi dengan
oksitosin, sehingga dapat menyebabkan perdarahan pasca persalinan. Dosis pelumpuh otot
dapat dikurangi sampai 1/3 dosis biasa jika menggunakan isofluran.
c. Desflurane
Desflurane merupakan halogenasi eter yang rumus bangun dan efek klinisnya mirip
isoflurane. Desflurane sangat mudah menguap dibandingkan anastetik volatile lain, sehingga
perlu menggunakan vaporizer khusus (TEC-6). Titik didihnya mendekati suhu ruangan
(23,5C). Potensinya rendah (MAC 6,0 %). Ia bersifat simpatomimetik menyebabkan
takikardi dan hipertensi. Efek depresi napasnya seperti isoflurane dan etran. Desflurane
merangsang jalan napas atas, sehingga tidak digunakan untuk untuk induksi anastesia.
d. Sevofluran
Merupakan halogenasi eter. Induksi dan pulih dari anestesi lebih cepat dibandingkan
dengan isofluran. Baunya tidak menyengat dan tidak merangsang jalan nafas, sehingga
digemari untuk induksi anestesia inhalasi di samping halotan. Efek terhadap kardiovaskular
cukup stabil, jarang menyebbakan aritmia. Efek terhadap sistem saraf pusat sama seperti
isofluran dan belum ada laporan toksik terhadap hepar. Setelah pemberian dihentikan
sevofluran cepat dikeluarkan oleh badan. Belum ada laporan yang membahayakan terhadap
tubuh manusia.
I.1. Anastetik Intravena (Anestetik Parenteral)
Keuntungan anestesi intravena lebih dapat diterima pasien, kurang perasaan
klaustrofobik, tahap tidak sadar yang lebih cepat dan lebih menyenangkan bagi ahli anestesi.
Oleh karena itu, agen intravena dapat digunakan sendiri untuk menimbulkan anestesi.
Di antara kekurangannya, paling menonjol induksi yang cepat (kadang-kadang sangat
cepat) dan depresi cerebrum yang jelas, seperti terlihat pada gangguan pernapasan yang
mengharuskan digunakannya ventilasi dan ketidak-stabilan hemodinamik. Agen induksi
intravena biasanya digunakan bersama dengan anestesi inhalasi lain untuk mendapatkan
analgesia yang memadai dan dengan relaksan otot untuk mendapatkan operasi yang
optimum.
Pemakaian obat anestetik intravena, dilakukan untuk : induksi anesthesia, induksi dan
pemeliharaan anesthesia bedah singkat, suplementasi hypnosis pada anesthesia atau tambahan
pada anelgesia regional dan sedasi pada beberapa tindakan medik atau untuk membantu
prosedur diagnostik misalnya tiopental, ketamin dan propofol. Untuk anestesia intravena total
biasanya menggunakan propofol. Anestesi intravena ideal membutuhkan kriteria yang sulit
dicapai oleh hanya satu macam obat yaitu larut dalam air dan tidak iritasi terhadap jaringan,
mula kerja cepat, lama kerja pendek, cepat menghasilkan efek hypnosis, mempunyai efek
analgesia, disertai oleh amnesia pascaanestesia, dampak yang tidak baik mudah dihilangkan
oleh obat antagonisnya, cepat dieliminasi dari tubuh, tidak atau sedikit mendepresi fungsi
respirasi dan kardiovaskuler, pengaruh farmakokinetik tidak tergantung pada disfungsi
organ, tanpa efek samping (mual muntah), menghasilkan pemulihan yang cepat. Untuk
mencapai tujuan di atas, kita dapat menggunakan kombinasi beberapa obat atau cara anestesi
lain. Kombinasi beberapa obat mungkin akan saling berpotensi atau efek salah satu obat
dapat menutupi pengaruh obat yang lain.
a. Barbiturat
Contoh di sini ialah pentothal atau sodium thiopenthon ialah obat anestesi intravena
yang bekerja cepat (short acting). Bekerja menghilangkan kesadaran dengan blockade sistem
sirkulasi (perangsangan) di formasio retikularis. Barbiturate menghambat pusat pernafasan di
medula oblongata. Tidal volume menurun dan kecepatan nafas meninggi dihambat oleh
barbiturate tetapi tonus vascular meninggi dan kebutuhan oksigen badan berkurang, curah
jantung sedikit menurun. Barbiturate tidak menimbulkan sensitisasi jantung terhadap
katekolamin.
Tiopental dikemas dalam bentuk tepung atau bubuk berwarna kuning, berbau
belerang, biasanya dalam ampul 500 mg atau 1000 mg. Sebelum digunakan dilarutkan dalam
aquades steril sampai kepekatan 2,5 % (1 ml = 25 mg).
Tiopental hanya boleh digunakan untuk intravena dengan dosis 3-7 mg/kg dan
disuntikkan perlahan dihabiskan dalam 30-60 detik. Larutan ini sangat alkalis dengan pH 10-
11, sehingga suntikan keluar vena akan menimbulkan nyeri hebat apalagi masuk ke arteri
akan menyebabkan vasokonstriksi dan nekrosis jaringan sekitar.
Tiopental akan menyebabkan sedasi, hipnosis, anestesia, atau depresi nafas. Tiopental
menurunkan aliran darah otak, tekanan likuor, tekanan intrakranial dan diduga dapat
melindungi otak akibat kekurangan O2. Dosis rendah bersifat anti analgesi.Tiopental di dalam
darah 70% diikat oleh albumin, sisanya dalam bentuk bebas. Sehingga pada pasien dengan
albumin rendah dosis harus dikurangi. Tiopental jarang digunakan untuk anestesia intravena
total.
b. Propofol
Propofol dikemas dalam cairan emulsi lemak berwarna putih susu bersifat isotonik
dengan kepekatan 1% (1 ml=10 mg). Onset cepat, lama kerja pendek. Efek kerja dicapai
dalam 15-45 detik. Efek puncak 1 menit, lama aksi 5-10 menit. Akumulasi minimal, cepat
dimetabolisme, pemulihan cepat. Suntikan intravena sering menyebabkan nyeri, sehingga
beberapa detik sebelumnya dapat diberikan lidokain 1-2 mg/kg intravena. Efek hipnotik 1,8
kali pentothal. Depresi jalan nafas lebih besar dibandingkan pentothal. Efek anti emetik
positif. Mekanisme kerja diduga menghasilkan efek sedatif hipnotik melalui interaksi dengan
GABA (gamma-amino butyric acid), neurotransmitter inhibitori utama pada SSP.
Propofol menyebabkan penurunan resistensi vaskuler sistemik dan juga tekanan
darah. Relaksasi otot polos disebabkan oleh inhibisi simpatik. Efek negatif inotropik
disebabkan inhibisi uptake kalsium intraseluler. Tergantung dosis, propofol dapat
menyebabkan depresi nafas dan apnea sementara pada beberapa pasien setelah induksi IV.
Pemberian opioid preoperatif dapat meningkatkan depresi nafas. Dapat menurunkan volume
tidal dan frekuensi nafas serta dilatasi bronkus. Efek pada SSP dapat menurunkan
metabolisme O2 di otak, aliran darah serebral, dan tekanan intrakranial.
Dosis bolus untuk induksi 2-2,5 mg/kg, dosis rumatan untuk anestesi intravena total
4-12 mg/kg/jam dan dosis sedasi untuk perawatan intensif 0,2 mg/kg. Pengenceran propofol
hanya boleh dengan dekstrose 5%. Pada manula dosis harus dikurangi, pada anak < 3 tahun
dan pada wanita hamil tidak dianjurkan.
c. Ketamin
Ketamine adalah derivat fensiklidin yang menghasilkan anestesi disosiatif yang
menyerupai keadaan kataleptik dimana mata pasien tetap terbuka dengan nistagmus lambat.
Pada saat yang sama pasien tidak dapat berkomunikasi, terjadi amnesia dan analgesia yang
sangat baik. Ketamin meningkatkan tekanan darah sistolik 23% dari baseline, denyut jantung
meningkat, kadang-kadang timbul aritmia, serta menimbulkan hipersekresi. Mekanisme kerja
ketamin berinteraksi dengan reseptor N-metil-D-aspartat (NMDA), reseptor opioid, reseptor
monoaminergik, reseptor muskarinik, dan saluran voltage sensitive ion calcium. Daya larut
dalam lemak tinggi membuat transfer obat ini melewati sawar darah otak dan menghasilkan
anestesi. Mula kerja 30 detik pada IV, 2-4 menit pada IM. Lama kerja pada IV 10-20 menit,
tetapi memerlukan waktu 60-90 menit untuk berorientasi penuh. Waktu paruh 7-11 menit.
Kadar plasma tertinggi pada IV 1 menit, pada IM 5 menit.
Ketamin kurang digemari untuk induksi anestesia, karena sering menimbulkan
takikardia, hipertensi, hipersalivasi, nyeri kepala, pasca anestesia dapat menimbulkan mual
muntah, pandangan kabur dan mimpi buruk. Kalau harus diberikan sebaiknya sebelumnya
diberikan sedasi midazolam atau diazepam dengan dosis 0,1 mg/kg intravena dan untuk
mengurangi salivasi diberikan sulfas atropin 0,01 mg/kg.
Dosis bolus untuk induksi intravena ialah 1-2 mg/kg dan untuk intramuskular 3-10
mg. Efek analgesik dicapai dengan dosis sub anestetik 0,2-0,5 mg/kg IV. Ketamin dikemas
dalam cairan bening kepekatan 1% (1 ml= 10mg), 5% (1 ml = 50 mg) dan 10% (1 ml = 100
mg).
d. Opioid
Opioid (morfin, petidin, fentanil, sufentanil) untuk induksi diberikan dosis tinggi.
Opioid tidak mengganggu kardiovaskular, sehingga banyak digunakan untuk induksi pasien
dengan kelainan jantung. Untuk anestesia opioid digunakan fentanil dosis induksi 20-50
mg/kg dilanjutkan dengan dosis rumatan 0,3-1 mg/kg/menit.
e. Benzodiazepin
Benzodiazepin yang digunakan sebagai anestetik ialah diazepam, lorazepam, dan
midazolam. Benzodiazepine juga digunakan untuk medikasi pra-anestetik (sebagai
neurolepanalgesia) dan untuk mengatasi konvulsi yang disebabkan oleh anestetik lokal dalam
anestetik regional.Digunakan untuk induksi anesthesia, kelompok obat ini menyebabkan
tidur, mengurangi cemas, dan menimbulkan amnesia anterograd (setelah pemberian
midazolam IM, IV), tetapi tidak berefek analgesic. Efek pada SSP ini dapat diatasi dengan
antagonisnya, flumazenil.
Midazolam
Obat induksi jangka pendek atau premedikasi, pemeliharaan anestesi, bekerja cepat
dan karena transformasi metaboliknya cepat dan lama kerjanya singkat, bekerja kuat
menimbulkan sedasi dan induksi tidur. Kemasan suntik 1 mg/ml, 5 mg/ml.
Mula kerja 30 detik-1 menit IV, 15 menit IM. Efek puncak pada IV 3-5 menit, IM 15-
30 menit. Lama kerja 15-80 menit IV/IM. Konsentrasi plasma maksimum dicapai dalam 30
menit. Efek farmakologik dengan meningkatnya fungsi saluran ion klorida yang
menyebabkan hiperpolarisasi pada membran sel melalui neurotransmiter inhibitor GABA.
Tereksposnya midazolam pada pH darah menyebabkan perubahan strukturnya, dari yang
larut dalam air menjadi larut pada lemak yang mampu menembus sawar darah otak.
Kontraindikasi pemberian pada pasien dengan hipersensitivitas, insufisiensi paru-paru akut,
depresi pernafasan, dan kehamilan 3 bulan pertama.
Midazolam menyebabkan tekanan darah menurun, lebih rendah dari diazepam,
penurunan sistolik maksimal 15%, yang disebabkan oleh vasodilatasi perifer. Efek depresi
pernafasan minimal. Juga menurunkan metabolisme O2 di otak dan aliran darah ke otak.
Dosis pre medikasi 0,03-0,04 mg/kg IV, sedasi 0,5-5 mg/kg IV, induksi 0,1-0,4 mg/kgbb IV.
Diazepam
Adalah obat yang berkhasiat ansiolitik, sedatif, relaksasi otot, antikonvulsi dan
amnesia. Ikatan dan metabolitnya pada protein plasma sangat tinggi (98%), menembus sawar
darah otak dan sawar plasenta serta ditemukan dalam ASI. Diazepam diubah menjadi
nordiazepam, hydroxydiazepam dan oxazepam yang aktif secara farmakologi. Waktu paruh
20-50 jam, tergantung fungsi liver. Eliminasi 70% dalam urine dalam bentuk bebas atau
konjugasi. Konsentrasi maksimal di plasma dicapai lebih lama. Dibandingkan dengan
barbiturate, efek anestesi diazepam kurang memuaskan karena mula kerjanya lambat dan
masa pemulihannya lama.
Diazepam digunakan untuk berbagai macam intervensi (menimbulkan sedasi basal
sebelum dilakukan pengobatan utama), meringankan kecemasan, anxietas atau stress akut,
dan prosedur seperti berkurangnya ingatan, juga untuk induksi anestesia terutama pada
penderita dengan penyakit kardiovaskular. Diazepam juga digunakan untuk medikasi
preanestetik dan untuk mengatasi konvulsi. Menyebabkan tidur dan penurunan kesadaran
yang disertai nistagmus dan bicara lambat, tetapi tidak berefek analgesikKontraindikasi
pemberian obat terhadap pasien dengan hipersensitivitas, insufisiensi pulmonal akut, depresi
nafas, keadaan phobia atau obsesi, psikosis kronis, glaukoma sudut sempit akut dan lebar.
Dosis premedikasi 10-20 mg IM, induksi 0,3-0,6 mg/kgBB IV. Anak-anak 0,1-0,2
mg/kgBB 1 jam sebelum induksi. Dewasa dan remaja 2-20 mg/kg IM/IV tergantung indikasi
dan beratnya gejala. Kemasan suntik 5 mg/ml. Injeksi dilakukan secara lambat ± 0,5-1
ml/menit, karena pemberian terlalu cepat dapat menimbulkan apnea.
I.2. Macam-macam obat keseimbangan Anastesi
Terlepas dari cara penggunaanya, suatu anestetik yang ideal sebenarnya harus
memperlihatkan 3 efek utama yang dikenal sebagai “Trias Anestesia”, yaitu efek hipnotik,
efek analgesia, dan efek relaksasi otot. Akan lebih baik lagi kalau terjadi juga penekanan
reflex otonom dan sensoris, seperti yang diperlihatkan oleh eter.
Obat-obat tertentu misalnya thiopental hanya menyebabkan tidur tanpa relaksasi atau
analgesia, sehingga hanya baik untuk induksi. Hanya eter yang memiliki trias anestesia.
Karena anestesi modern saat ini menggunakan obat-obat selain eter, maka trias anestesi
diperoleh dengan menggabungkan berbagai macam obat. Eter menyebabkan tidur, analgesia
dan relaksasi, tetapi karena baunya tajam dan kelarutannya dalam darah tinggi sehingga agak
mengganggu dan lambat (meskipun aman) untuk induksi. Sedangkan relaksasi otot
didapatkan dari obat pelemas otot (muscle relaxant). Relaksasi otot diperlukan untuk
mengurangi tegangnya tonus otot sehingga akan mempermudah tindakan pembedahan. Obat-
obat opium seperti morfin dan petidin akan menyebabkan analgesia dengan sedikit
perubahan pada tonus otot atau tingkat kesadaran. Kombinasi beberapa teknik dan obat dapat
dipergunakan untuk mencapai tujuan ini dan kombinasi ini harus dipilih yang paling sesuai
untuk pasien.
Metoda penghilang nyeri, biasanya digunakan golongan opioid untuk nyeri hebat dan
golongan anti inflamasi non steroid (NSAID, nonsteroidal anti inflammatory drugs) untuk
nyeri sedang atau ringan. Metoda menghilangkan nyeri dapat dengan cara sistemis (oral,
rectal, transdermal, sublingual, subkutan, intramuscular, intravena atau perinfus). Cara yang
sering digunakan dan paling digemari ialah intramuscular opioid.Metoda regional misalnya
dengan epidural opioid (untuk dewasa morfin 1-6 mg, petidin 20-60 mg, fentanil 25-100ug)
atau intraspinal opioid (untuk dewasa morfin 0,1-0,3 mg, petidin 10-30 mg, fentanil 5-25
ug).Kadang-kadang digunakan metoda infiltrasi pada luka operasi sebelum pembedahan
selesai misalnya pada sirkumsisi atau pada luka apendektomi.
a. Opioid
Opioid ialah semua zat baik sintetik atau natural yang dapat berikatan dengan reseptor
morfin. Opioid disebut juga sebagai analgetika narkotika yang sering digunakan dalam
anesthesia untuk mengendalikan nyeri saat pembedahan dan nyeri pasca pembedahan,
sehingga kadang-kadang digunakan untuk anesthesia narkotik total pada pembedahan
jantung. Opium ialah getah candu. Opiate ialah obat yang dibuat dari opium. Narkotik ialah
istilah tidak spesifik untuk semua obat yang dapat menyebabkan tidur.
Klasifikasi Opioid
Dalam klinik opioid digolongkan menjadi lemah (kodein) dan kuat (morfin), tetapi
penggolongan ini kurang popular. Penggolongan lain menjadi natural (morfin, kodein,
papaverin, dan tebain), semisintetik (heroin, dihidromorfin/morfinon, derivate tebain) dan
sintetik (petidin, fentanil, alfentanil, sufentanil dan remifentanil).
1. Morfin
Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih mudah
dan lebih menguntungkan dibuat dari bahan getah papaver somniferum. Morfin paling mudah
larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long
acting).
Terhadap Sistem Saraf Pusat, mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi.
Digolongkan depresi yaitu analgesi, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar stimulasi
termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual-muntah, hiperaktif reflex spinal, konvulsi, dan
sekresi hormone antidiuretik (ADH).
Terhadap Sistem Jantung-Sirkulasi dosis besar merangsang vagus dan beralkibat
bradikardi, walaupun tidak mendepresi miokardium. Dosis terapetik pada dewasa sehat
normal tidur terlentang hamper tidak mengganggu sistem jantung-sirkulasi. Morfin
menyebabkan hipotensi ortostatik.
Terhadap Sistem Respirasi harus hati-hati, karena morfin dapat melepaskan
histamine, sehingga menyababkan konstriksi bronkus. Oleh sebab itu di indikasi-kontrakan
pada kasus asma dan bronchitis kronis.
Terhadap Sistem Saluran Cerna morfin menyebabkan kejang otot usus, sehingga
terjadi konstipasi. Kejang sfingter Oddi pada empedu menyebabkan kolik, sehingga tidak
dianjurkan digunakan pada gangguan empedu. Kolik empedu menyerupai serangan jantung,
sehingga untuk membedakannya diberikan antagonis opioid.
Terhadap Sistem Ekskresi Ginjal, morfin dapat menyebabkan kejang sfingter buli-buli
yang berakibat retensio urin.
2. Petidin
Petidin (meperidin, demerol) adalah zat sintetik yang formulanya sangat berbeda
dengan morfin, tetapi mempunyai efek klinik dan efek samping yang mendekati sama.
Perbedaannya dengan morfin sebagai berikut:
1. Petidin lebih larut dalam lemak dibandingkan dengan morfin yang lebih larut dalam air.
2. Metabolism oleh hepar lebih cepat dan menghasilkan normeperidin, asam meperidinat
dan asam normeperidinat. Normeperidin ialah metabolit yang masih aktif memiliki sifat
konvulsi dua kali lipat petidin, tetapi efek analgesinya sudah berkurang 50%. Kurang
dari 10% petidin bentuk asli ditemukan dalam urin.
3. Petidin bersifat seperti atropine menyebabkan kekeringan mulut, kekaburan pandangan
dan takikardia.
4. Seperti morfin ia menyebabkan konstipasi, tetapi efek terhadap sfingter Oddi lebih
ringan.
5. Petidin cukup efektif untuk menghilangkan gemetaran pasca bedah yang tak ada
hubungannya dengan hipotermi dengan dosis 20-25 mg iv pada dewasa. Morfin tidak.
6. Lama kerja petidin lebih pendek dibandingkan morfin.
Dosis petidin intramuscular 1-2 mg/kgBB (morfin 10 x lebih kuat) dapat diulang tiap
3-4 jam. Dosis intravena 0,2-0,5 mg/kgBB. Petidin subkutan tidak dianjurkan karena iritasi.
Rumus bangun menyerupai lidokain, sehingga dapat digunakan untuk analgesia spinal pada
pembedahan dengan dosis 1-2 mg/kg BB.
3. Fentanil
Fentanil ialah zat sintetik seperti petidin dengan kekuatan 100xmorfin. Lebih larut
dalam lemak dibandingkan petidin dan menembus sawar jaringan dengan mudah. Setelah
suntikan intravena ambilan dan distribusinya secara kualitatif hamper sama dengan morfin,
tetapi fraksi terbesar dirusak paru ketika pertama melewatinya. Dimetabolisiir oleh hati
dengan N-dealkilasi dan hidroksilasi dan sisa metabolismenya dikeluarkan lewat urin.
Efek depresi napasnya lebih lama disbanding efek analgesinya. Dosis 1-3 ug/kgBB
analgesinya kira-kira hanya berlangsung 30 menit, karena itu hanya dipergunakan untuk
anestesi pembedahan dan tidak untuk pasca bedah.
Dosis besar 50-15- ug/kgBB digunakan untuk induksi anesthesia dan pemeliharaan
anesthesia dengan kombinasi bensodiasepin dan anestetik kekakuan otot punggung yang
sebenarnya dapat dicegah dengan pelumpuh otot.
4. Sufentanil
Sifat sufentanil kira-kira sama dengan fentanil. Efek pulihnya lebih cepat dari
fentanil. Kekuatan analgesinya kira-kira 5-10 kali fentanil. Dosisnya 0,1-0,3 mg/kgBB.
5. Alfentanil
Kekuatan analgesinya 1/5-1/3 fentanil. Insiden mual-muntahnya sangat besar. Mula
kerjanya cepat. Dosis analegesinya 10-20 ug/kgBB.
6. Tramadol
Tramadol (tramal) adalah analgetik sentral dengan afinitas rendah pada reseptor dan
kelamahan analgesinya 10-20% dibanding morfin. Tramadol dapat diberikan dengan dosis
maksimal 400 mg per hari.
b. Antagonis Opioid
1. Nalokson
Naloksom ialah antagonis murni opioid. Pemberian nalokson pada pasien setelah
mendapat morfin akan terlihat laju napas meningkat, kantuk menghilang, pupil mata dilatasi,
tekanan darah meningkat. Nalokson biasanya digunakan untuk melawan depresi napas pada
akhir pembedahan dengan dosis dicicil 1-2 ug/kgBB intravena dan dapat diulang tiap 3-5
menit, sampai ventilasi dianggap baik.. Dosis intramuscular 2x dosis intravena. Pada
keracunan opioid nalokson dapat diberikan per-infus dosis 3-10ug/kgBB. Untuk depresi
napas neonates yang ibunya mendapat opioid berikan nalokson 10 ug/kgBB dan dapat
diulang setelah 2 menit. Biasanya 1 ampul nalokson 0,4 mg diencerkan sampai 10 ml,
sehingga tiap ml mengandung 0,04 mg.
2. Naltrekson
Naltrekson merupakan antagonis opioid kerja panjang yang biasanya diberikan per
oral, pada pasien dengan ketergantungan opioid. Waktu paruh plasma 8-12 jam. Pemberian
per oral dapat bertahan sampai 24 jam. Naltrekson per oral 5 atau 10 mg dapat mengurangi
pruritus, mual muntah pada analgesia epidural saat persalinan, tanpa menghilangkan efek
analgesinya.
I.3. Efek Relaksasi Otot1,4
Relaksasi otot lurik dapat dicapai dengan mendalamkan anesthesia umum inhalasi,
melakukan blockade saraf regional dan memberikan pelumpuh otot. Pendalaman anesthesia
beresiko depresi napas dan depresi jantung, blockade saraf terbatas penggunaannya.
Anesthesia tidak perlu dalam, hanya sekedar supaya tidak sadar, analgesinya dapat diberikan
opioid dosis tinggi dan otot lurik dapat relaksasi akibat pemberian pelumpuh otot. Ketiga
kombinasi ini dikenal sebagai trias anesthesia “the triad of anesthesia” dan ada yang
memasukkan ventilasi kendali. Pelumpuh otot disebut juga sebagai obat blockade neuro-
muskular.
Akibat rangsang terjadi depolarisasi pada terminal saraf. Influks ion kalsium memicu
keluarnya asetil-kolin sebagai transmiter saraf. Asetilkolin saraf akan menyeberang dan
melekat pada reseptor nikotinik-kolinergik di otot. Jika jumlahnya cukup banyak, maka akan
terjadi depolarisasi dan canal ion tebuka, ion natrium, dan kalsium masuk dan ion kalium
keluar, terjadilah kontraksi otot. Asetilkolin cepat dihidrolisa oleh asetilkolin-esterase (kolin-
esterase khusus atau murni) menjadi asetil dan kolin, sehingga canal tertutup kembali
terjadilah repolarisasi.
a. Pelumpuh Otot Depolarisasi
Pelumpuh otot depolarisasi (nonkompetitif, leptokurare) bekerjanya seperti asetil-
kolin, tetapi di celah saraf otot tak dirusak oleh kolinesterase, sehingga cukup lama berada di
celah sinaptik, sehingga terjadilah depolarisasi ditandai oleh fasikulasi yang disusul relaksasi
otot lurik. Termasuk golongan pelumpuh otot depolarisasi ialah suksinil-kolin (diasetil-kolin)
dan dekametonium.
Di dalam vena suksinil-kolin dimetabolisir oleh kolin-esterase-plasma, pseudo-kolin-
esterase, menjadi suksinil-monokolin. Obat anti kolinesterase (prostigmin)
dikontraindikasikan, karena menghambat kerja pseudokolinesterase.
Efek samping suksini ialah :
1. Nyeri otot pasca pemberian.
Nyeri otot dapat dikurangi dengan memberikan pelumpuh otot nondepolarisasi dosis kecil
sebelumnya. Dapat terjadi mialgia sampai 90%, dan mioglobinuria.
2. Peningkatan tekanan intraocular.
Akibat kontraksi otot mata eksternal dan dapat dicegah seperti nyeri otot.
3. Penigkatan tekanan intracranial.
4. Peningkatan tekanan intragastrik.
5. Peningkatan kadar kalium plasma.
6. Aritmia jantung Berupa bradikardi atau ‘ventricular premature beat’.
7. Salviasi Akibat efek muskarinik.
8. Alergi, anafilaksis Akibat efek muskarinik.
b. Pelumpuh Otot Non-Depolarisasi
Pelumpuh otot nondepolarisasi (inhibitor kompetitif, takikurare) berikatan dengan
reseptor nikotinik-kolinergik, tetapi tak menyebabkan depolarisasi, hanya menghalangi asetil-
kolin menempatinya, sehingga asetilkolin tak dapat bekerja.
Berdasarkan susunan molekul, maka pelumpuh otot nondepolarisasi digolongkan
menjadi :
1. Bensiliso-kuinolinum : d-tubokurarin, metokurin, atrakurium, doksakurium, mivakurium.
2. Steroid : pankuronium, vekuronium, pipekuronium, ropakuronium, rokuronium.
3. Eter-fenolik : gallamin.
4. Nortoksiferin : alkuronium.
Tanda-tanda kekurangan pelumpuh otot
1. Cegukan (hiccup).
2. Dinding perut kaku.
3. Ada tahanan pada inflasi paru.
c. Penawar pelumpuh otot
Penawar pelumpuh otot atau antikolinesterase bekerja pada sambungan saraf-otot
mencegah asetilkolin-esterase bekerja, sehingga asetilkolin dapat bekerja. Asetilkolinesterase
yang paling sering digunakan ialah neostigmine (prostigmin), piridostigmin dan
edrophonium. Physostigmine (eserin) hanya untuk penggunaan per-oral.
Dosis neostigmin 0,04-0,08 mg/kg, piridostigmin 0,1-0,4 mg/kg, edrophonium 0,5-1,0
mg/kg dan fisostigmin 0,01-0,03 mg/kg. penawar pelumpuh otot bersifat muskarinik
menyebabkan hipersalifasi, keringatan, bradikardia, kejang bronkus, hipermotilitas usus, dan
pandangan kabur, sehingga pemberiannya harus disertai oleh obat vagolitik seperti atropine
dosis 0,01-0,02 mg/kg atau glikopirolat 0,005-0,01 mg/kg sampai 0,2-0,3 mg pada dewasa.
I.4. Persiapan Dan Penilaian Pra Anastesia
I.4.1. Persiapan Tindakan Anestesi
Dokter anestesi memberi salam kepada pasien dan memperkenalkan dirinya.
Memeriksa identitas pasien, bila perlu: tanggal lahir, jenis dan lokasi operasi (misalnya,
lutut kanan).
Bertanya mengenai kapan pasien makan terakhir kali
Memeriksa mulut dan keadaan gigi (dalam keadaan terbuka).
Memasang alat monitor standar: EKG, oksimetri nadi, pengukur tekanan darah yang tidak
invasive, jalan masuk melalui vena, bila perlu: pengukur tekanan darah arteri.
Tujuan utama kunjungan pra anesthesia ialah untuk mengurangi angka kesakitan operasi,
mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.
Kunjungan pre-anestesi dilakukan untuk mempersiapkan pasien sebelum pasien menjalani
suatu tindakan operasi. Pada saat kunjungan, dilakukan wawancara (anamnesis) sepertinya
menanyakan apakah pernah mendapat anestesi sebelumnya, adakah penyakit – penyakit
sistemik, saluran napas, dan alergi obat. Kemudian pada pemeriksaan fisik, dilakukan
pemeriksaan gigi – geligi, tindakan buka mulut, ukuran lidah, leher kaku dan pendek.
Perhatikan juga hasil pemeriksaan laboratorium atas indikasi sesuai dengan penyakit yang
sedang dicurigai, misalnya pemeriksaan darah (Hb, leukosit, masa pendarahan, masa
pembekuan), radiologi, EKG.
Dari hasil kunjungan ini dapat diketahui kondisi pasien dan dinyatakan dengan status
anestesi menurut The American Society Of Anesthesiologist (ASA).
ASA I : Pasien dalam keadaan normal dan sehat.
ASA II : Pasien dengan kelainan sistemik ringan sampai sedang baik karena penyakit
bedah maupun penyakit lain. Contohnya : pasien batu ureter dengan hipertensi sedang
terkontrol, atau pasien appendisitis akut dengan lekositosis dan febris.
ASA III : Pasien dengan gangguan atau penyakit sistemik berat yang diakibatkan karena
berbagai penyebab. Contohnya: pasien appendisitis perforasi dengan septisemia, atau pasien
ileus obstrukstif dengan iskemia miokardium.
ASA IV : Pasien dengan kelainan sistemik berat yang secara langsung mengancam
kehidupannya. Contohnya : Pasien dengan syok atau dekompensasi kordis.
ASA V : Pasien tak diharapkan hidup setelah 24 jam walaupun dioperasi atau tidak.
Contohnya : pasien tua dengan perdarahan basis kranii dan syok hemoragik karena ruptur
hepatik.
Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda
darurat ( E = EMERGENCY ), misalnya ASA IE atau IIE
Pengosongan lambung untuk anestesia penting untuk mencegah aspirasi lambung
karena regurgutasi atau muntah. Pada pembedahan elektif, pengosongan lambung dilakukan
dengan puasa : anak 4 – 6 jam, bayi 3 – 4 jam., dewasa 6-8 jam. Pada pembedahan darurat
pengosongan lambung dapat dilakukan dengan memasang pipa nasogastrik atau dengan cara
lain yaitu menetralkan asam lambung dengan memberikan antasida (magnesium trisilikat)
atau antagonis reseptor H2 (ranitidin). Kandung kemih juga harus dalam keadaan kosong
sehingga boleh perlu dipasang kateter. Sebelum pasien masuk dalam kamar bedah, periksa
ulang apakah pasien atau keluarga sudah memberi izin pembedahan secara tertulis (informed
concent).
I.4.2. Penilaian Pra-Bedah
Identitas setiap pasien harus lengkap dan harus dicocokan dengan gelang identitas yang
dikenakan pasien. Pasien ditanya lagi mengenai hari dan jenis bagian tubuh yang akan
dioperasi.
Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapatkan anesthesia sebelumnya sangatlah
penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat perhatian khusus,
misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau sesak napas pasca bedah, sehingga
kita dapat merancang anesthesia berikutnya dengan lebih baik.
Kebiasaan merokok sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya untuk eliminasi nikotin
yang mempengaruhi sistem kardiosirkulasi, dihentikan beberapa hari untuk mengaktifkan
kerja silia jalan pernapasan dan 1-2 minggu untuk mengurangi produksi sputum. Kebiasaan
minum alcohol juga harus dicurigai akan adanya penyakit hepar.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan keadaan gigi-geligi, tindakan buka mulut, lidah relative besar sangat
penting untuk diketahui apakah akan menyulitkan tindakan laringoskopi intubasi. Leher
pendek dan kaku juga akan menyulitkan laringoskopi intubasi.Pemeriksaan rutin lain secara
sistematik tentang keadaan umum tentu tidak boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi,
perkusi, dan auskultasi semua sistem organ tubuh pasien.
Pemeriksaan Laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan dugaan penyakit
yang walaupun pada pasien sehat untuk bedah minor, misalnya pemeriksaan darah kecil (Hb,
leukosit, masa perdarahan dan masa pembekuan) dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50
tahun ada anjuran pemeriksaan EKG dan foto toraks.
Kebugaran untuk anestesi
Pembedahan elektif boleh ditunda tanpa batas waktu untuk menyiapkan agar pasien
dalam keadaan bugar, sebaliknya pada operasi sito penundaan yang tidak perlu harus
dihindari.
Klasifikasi Status Fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik seseorang ialah yang
berasal dari The American Society of Anesthesiologists (ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat
prakiraan risiko anestesia, karena dampak samping anestesia tidak dapat dipisahkan dari
dampak samping pembedahan.
Kelas I : Pasien sehat organik, fisiologik, psikiatrik, biokimia
Kelas II : Pasien dengan penyakit sistemik ringan atau sedang. Termasuk juga semua pasien
yang berusia >80 tahun.
Kelas III : Pasien dengan penyakit sistemik berat sehingga aktivitas rutin terbatas.
Kelas IV : Pasien dengan penyakit sistemik berat tidak dapat melakukan aktivitas- rutin dan
penyakitnya merupakan ancaman kehidupan setiap saat
Kelas V : Pasien sekarat yang diperkirakan dengan atau tanpa pembedahan, hidupnya tidak akan
lebih dari 24 jam.
Pada bedah cito atau emergensi biasanya dicantumkan huruf E.
Masukan Oral
Refleks laring mengalami penurunan selama anesthesia. Regurgitasi isi lambung dan
kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama pada pasien-pasien yang
mengalami anesthesia. Untuk meminimalkan risiko tersebut, semua pasien yang dijadwalkan
untuk operasi elektif dengan anesthesia harus dipantangkan diri masukan oral (puasa) selama
periode tertentu sebelum induksi anesthesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada bayi 3-4
jam. Air putih, teh manis sampai 3 jam dan untuk keperluan minum obat air putih dan dalam
jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum induksi anesthesia.
I.4.3. Premedikasi
Premedikasi ialah pemberian obat 1-2 jam sebelum induksi anesthesia dengan tujuan
untuk melancarkan induksi, rumatan, dan bangun dari anesthesia diantaranya:
1. Meredakan kecemasan dan ketakutan.
2. Memperlancar induksi anesthesia.
3. Mengurangi sekresi kelenjar ludah dan bronkus.
4. Meminimalkan jumlah obat anestetik.
5. Mengurangi mual-muntah pasca bedah.
6. Menciptakan amnesia.
7. Mengurangi isi cairan lambung.
8. Mengurangi reflex yang membahayakan.
Kecemasan merupakan reaksi alami, jika seseorang dihadapkan pada situasi yang tidak
pasti. Membina hubungan baik dengan pasien dapan membangun kepercayaan dan
menentramkan hati pasien. Obat pereda kecemasan bisa digunakan diazepam peroral 10-15
mg beberapa jam sebelum induksi anesthesia. Jika disertai nyeri karena penyakitnya dapat
diberikan opioid misalnya petidin 50 mg intramuscular.
Cairan lambung 25 ml dengan pH 2,5 dapat menyebabkan pneumonitis asam. Untuk
meminimalkan kejadian diatas dapat diberikan antagonis reseptor H2 histamin misalnya oral
simetidin 600 mg atau oral ranitidine (zantac) 150 mg 1-2 jam sebelum jadwal operasi.
Untuk mengurangi mual-muntah pasca bedah sering ditambahkan premedikasi suntikan
intramuscular untuk dewasa droperidol 2,5-5 mg atau ondansetron 2-4 mg (zofran,narfoz).
I.5. Induksi dan Rumatan anastesia
I.5.1. Induksi Anstesi Umum
Induksi anastesi ialah tindakan untuk membuat pasien dari sadar menjadi tidak sadar,
sehingga memungkinkan dimulainya anestesia dan pembedahan. Induksi dapat dikerjakan
dengan secara intravena, inhalasi, intramuscular atau rektal. Setelah pasien tidur akibat
induksi anastesi langsungdilanjutkan dengan pemeliharaananastesi sampaitindakan
pembedahan selesai.
Untuk persiapan induksi anesthesia sebaiknya kita ingat kata STATICS:
S= Scope Stetoskop untuk mendengar suara paru jantung.
Laringo-scope. Pilih bilah atau daun (blade) yang sesuai dengan usia
pasien. Lampu harus cukup terang.
T= Tubes Pipa trakea. Pilih sesuai usia.
A= Airway Pipa mulut faring (Guedel, orotracheal airway) atau pipa hidung-faring
(naso-tracheal airway). Pipa ini untuk menahan lidah saat pasien tidak
sadar untuk menjaga supaya lidah tidak menyumbat jalan nafas.
T= Tape Plester untuk fiksasi pipa supaya tidak terdorong atau tercabut.
I= Introducer Mandrin atau stilet dari kawat dibungkus plastic (kabel) yang mudah
dibengkokkan untuk pemandusupaya pipa trakea mudah dimasukkan.
C= Connector Penyambung antara pipa dan peralatan anestesia
S= Suction Penyedot lender, ludah dan lain-lainnya.
Usia Diameter (mm) Skala FrenchJarak Sampai
Bibir
Prematur 2,0-2,5 10 10 cm
Neonatus 2,5-3,5 12 11cm
1-6 bulan 3,0-4,0 14 11 cm
½-1 tahun 3,0-3,5 16 12 cm
1-4 tahun 4,0-4,5 18 13 cm
4-6 tahun 4,5-,50 20 14 cm
6-8 tahun 5,0-5,5* 22 15-16 cm
8-10 tahun 5,5-6,0* 24 16-17 cm
10-12 tahun 6,0-6,5* 26 17-18 cm
12-14 tahun 6,5-7,0 28-30 18-22 cm
Dewasa wanita 6,5-8,5 28-30 20-24 cm
Dewasa pria 7,5-10 32-34 20-24 cm
Induksi anestesi umum dapat dikerjakan melalui cara / rute :
1. Induksi Intravena
Induksi intravena paling banyak dikerjakan dan digemari, apalagi sudah terpasang
jalur vena, karena cepat dan menyenangkan. Obat induksi bolus disuntikan dalam kecepatan
30-60 detik. Selama induksi anesthesia, pernapasan pasien, nadi, dan tekanan darah harus
diawasi dan selalu diberikan oksigen. Induksi cara ini dikerjakan pada pasien yang
kooperatif.
Induksi intravena dapat dikerjakan secara full dose maupun sleeping dose. Induksi
intravena sleeping dose yaitu pemberian obat induksi dengan dosis tertentu sampai pasien
tertidur. Sleeping dose ini dari segi takarannya di bawah dari full dose ataupun maximal dose.
Induksi sleeping dose dilakukan terhadap pasien yang kondisi fisiknya lemah
(geriatri, pasien pre-syok).
2. Induksi Inhalasi
Induksi inhalasi hanya dikerjakan dengan halotan (fluotan) atau sevofluran. Cara
induksi ini dikerjakan pada bayi atau anak yang belum terpasang jalur vena atau dewasa yang
takut disuntik.
Induksi halotan memerlukan gas pendorong O2 atau campuran N2O dan O2. Induksi
dimulai dengan aliran O2> 4 liter/menit atau campuran N20 : O2 = 3 : 1 aliran > 4 liter/menit,
dimulai dengan halotan 0,5 vol % sampai konsentrasi yang dibutuhkan. Kalau pasien batuk
konsentrasi halotan diturunkan untuk kemudian kalau sudah tenang dinaikkan lagi sampai
konsentrasi yang diperlukan.
Induksi dengan sevofluran lebih disenangi karena pasien jarang batuk. Walaupun
langsung diberikan dengan konsentrasi tinggi sampai 8 vol %. Seperti dengan halotan
konsentrasi dipertahankan sesuai kebutuhan.
Induksi dengan enfluran (etran), isofluran (foran, aeran) atau desfluran jarang
dilakukan, karena pasien sering batuk dan waktu induksi menjadi lama.
Obat yang digunakan untuk induksi inhalasi adalah obat-obat yang memiliki sifat-sifat :
tidak berbau menyengat / merangsang, baunya enak, cepat membuat pasien tertidur.
3. Induksi Intramuskular
Induksi intramuskular biasanya menggunakan injeksi ketamin (ketalar) yang dapat
diberikan secara intramuscular dengan dosis 5-7 mg/kgBB dan setelah 3-5 menit pasien tidur.
4. Induksi per rectal
Cara ini hanya untuk anak atau bayi yang menggunakan tiopental atau midazolam.
Tanda-tanda induksi berhasil adalah hilangnya refleks bulu mata. Jika bulu mata
disentuh, tidak ada gerakan pada kelopak mata.
Induksi, pemeliharaan dan pulih dari anestesia umum pada eter lambat. Sehingga stadium
anestesia yang disusun oleh Guedel pasien napas spontan dapat terlihat jelas.
Stadium I : Analgesia
Mulai induksi sampai mulai tidak sadar.
Stadium II : Eksitasi, delirium
Mulai tidak sadar sampai mulai napas teratur otomatis. Pada stadium ini pasien batuk, mual-
muntah, henti napas dan lain-lainnya.
Stadium III : Anestesia bedah
Mulai napas otomatis sampai mulai napas berhenti.
Plana 1. Mulai napas otomatis sampai gerak bola mata berhenti.
Plana 2. Mulai gerak bola mata berhenti sampai napas torakal lemah.
Plana 3. Mulai napas torakal lemah sampai napas torakal berhenti.
Plana 4. Mulai napas torakal berhenti sampai napas diafragma berhenti.
Stadium IV : Intoksikasi
Mulai paralisis diafragma sampai henti jantung atau meninggal.
a. Teknik anastesi umum
a. Sungkup Muka (Face Mask) dengan napas spontan
Indikasi :
1. Tindakan singkat ( ½ - 1 jam)
2. Keadaan umum baik (ASA I – II)
3. Lambung harus kosong
Prosedur :
1. Siapkan peralatan dan kelengkapan obat anestetik
2. Pasang infuse (untuk memasukan obat anestesi)
3. Premedikasi + / - (apabila pasien tidak efek sedasi/anti-anxiety :benzodiazepine;tenang
bisa diberikan obat penenang) analgesia: opioid, non opioid.
4. Induksi
5. Pemeliharaan
b. Intubasi Endotrakeal dengan napas spontan
Intubasi endotrakea adalah memasukkan pipa (tube) endotrakea (ET= endotrakeal tube)
kedalam trakea via oral atau nasal.
Indikasi : operasi lama, sulit mempertahankan airway (operasi di bagian leher dan kepala)
Prosedur :
1. Sama dengan diatas, hanya ada tambahan obat (pelumpuh otot/suksinil dengan durasi
singkat)
2. Intubasi setelah induksi dan suksinil
3. Pemeliharaan
Teknik Intubasi
1. Pastikan semua persiapan dan alat sudah lengkap
2. Induksi sampai tidur, berikan suksinil kolin → fasikulasi (+)
3. Bila fasikulasi (-) → ventilasi dengan O2 100% selama kira - kira 1 mnt
4. Batang laringoskopi pegang dengan tangan kiri, tangan kanan mendorong kepala sedikit
ekstensi → mulut membuka
5. Masukan laringoskop (bilah) mulai dari mulut sebelah kanan, sedikit demi sedikit,
menyelusuri kanan lidah, menggeser lidah kekiri
6. Cari epiglotis → tempatkan bilah didepan epiglotis (pada bilah bengkok) atau angkat
epiglotis ( pada bilah lurus )
7. Cari rima glotis ( dapat dengan bantuan asisten menekan trakea dar luar )
8. Temukan pita suara → warnanya putih dan sekitarnya merah
9. Masukan ET melalui rima glottis
10. Hubungkan pangkal ET dengan mesin anestesi dan atau alat bantu napas (alat resusitasi)
c. Intubasi Endotrakeal dengan napas kendali (kontrol)
Pasien sengaja dilumpuhkan/benar-benar tidak bisa bernafas dan pasien dikontrol
pernafasanya dengan kita memberikan ventilasi 12 - 20 x permenit. Setelah operasi selesai
pasien dipancing dan akhirnya bisa nafas spontan kemudian kita akhiri efek anestesinya.
Teknik sama dengan diatas
Obat pelumpuh otot non depolar (durasinya lama)
Pemeliharaan, obat pelumpuh otot dapat diulang pemberiannya.
Klasifikasi Mallampati :
Mudah sulitnya dilakukan intubasi dilihat dari klasifikasi Mallampati :
I.5.2. Rumatan Anastesia
Rumatan anestesi adalah menjaga tingkat kedalaman anestesi dengan cara mengatur
konsentrasi obat anestesi di dalam tubuh pasien. Jika konsentrasi obat tinggi maka akan
dihasilkan anestesi yang dalam, sebaliknya jika konsentrasi obat rendah, maka akan didapat
anestesi yang dangkal. Anestesi yang ideal adalah anestesi yang adekuat. Untuk itu
diperlukan pemantauan secara ketat terhadap indikator-indikator kedalaman anestesi.
Rumatan anesthesia (maintenance) dapat dikerjakan dengan secara intravena
(anesthesia intravena total) atau dengan inhalasi atau dengan campuran intravena inhalasi.
Rumatan anesthesia biasanya mengacu pada trias anesthesia yaitu tidur ringan (hipnosis)
sekedar tidak sadar, analgesia cukup, diusahakan agar pasien selama dibedah tidak
menimbulkan nyeri dan relaksasi otot lurik yang cukup.
Rumatan intravena misalnya dengan menggunakan opioid dosis tinggi, fentanil 10-50
ug/kgBB. Dosis tinggi opioid menyebabkan pasien tidur dengan analgesia cukup, sehingga
tinggal memberikan relaksasi pelumpuh otot. Rumatan intravena dapat juga menggunakan
opioid dosis biasa, tetapi pasien ditidurkan dengan infuse propofol 4-12 mg/kgBB/jam.
Bedah lama dengan anesthesia total intravena menggunakan opioid, pelumpuh otot dan
ventilator. Untuk mengembangkan paru digunakan inhalasi dengan udara+O2 atau N20+O2.
Rumatan inhalasi biasanya menggunakan campuran N2O dan O2 3:1 ditambah halotan
0,5-2 vol% atau enfluran 2-4 vol% atau isofluran 2-4 vol% atau sovofluran 2-4 vol%
bergantung apakah pasien bernapas spontan, dibantu (assisted) atau dikendalikan
(controlled).
I.6. Mempertahankan Anastesi dan Pengakhiran Anastesi
I.6.1. Mempertahankan Anestesi
Pemantauan yang minimal harus dilakukan selama operasi: EKG, pengukuran tekanan darah
yang tidak invasive, oksimetri nadi, kapnometri, gas napas, pengukuran gas
anestesi.Pertahankan anestesi sehingga tercapai keseimbangan anestesi, dengan opioid
(misalnya, remifentanil 0,2-0,3 ug/kg/menit) dan gas anestesi (misalnya 0,5 MAC Desfluran)
atau sebagai anestesi intravena total (TIVA) dengan opioid dan propofol. Segera rencanakan
terapi nyeri pasca-operasi, bila perlu, pemberian analgetik non-steroid (misalnya 30 mg/kg
metamizol) dan pemberian opioid kerja lama (misalnya 0,1 mg/kg piritramid).Tanda-tanda
klinis untuk kedalaman anestesi yang tidak memadai :
1. Peningkatan tekanan darah.
2. Peningkatan frekuensi denyut jantung.
3. Pasien mengunyah/menelan dan menyeringai.
4. Terdapat pergerakan.
5. Berkeringat
I.6.2. Pengakhiran Anestesia
Pengakhiran pemberian anesthesia dilakukan sesaat sebelum operasi berakhir (pada
penggunaan remifentanil, anestesi baru diakhiri setelah kulit dijahit).
FiO2 100% dipasang selama beberapa menit sebelum rencana ekstubasi.
Penyedotan secret yang terkumpul di dalam mulut dan faring.
Ekstubasi, bila pernapasan spontan mencukupi dan reflex perlindungan telah kembali
(antagonisasi dari relaksasi otot).
Pasien yang stabil secara hemodinamik dan respiratorik diletakkan di dalam ruangan
pasca-bedah.
I.7. Kontraindikasi anastesi umum
Tergantung efek farmakologi pada organ yang mengalami kelainan (harus hindarkan
pemakaian obat atau dosis dikurangi/diturunkan).
Hepar : obat hepatotoksik/obat yang toksis terhadap hepar.
Jantung : obat-obat yang mendepresi miokard/menurunkan aliran darah koroner.
Ginjal : obat yang diekskresi di ginjal.
Paru : obat yang merangsang sekresi paru/bronkus
Endokrin : hindari obat yang meningkatkan kadar gula darah/ hindarkan pemakaian obat
yang merangsang susunan saraf simpatis pada diabetes karena bisa meningkatkan gula
darah.
II. FRAKTUR MANDIBULA
Etiologi dan insidensi
Literatur menunjukkan bahwa 43% dari fraktur mandibula diakibatkan oleh
kecelakaan lalulintas, 34% dikarenakan suatu serangan, 7% dikarenakan suatu hubungan
kerja, 7% terjadi dikarenakan jatuh, 4% terjadi dalam kecelakaan olahraga, dan sisanya
dikarenakan berbagaimacam hal. Luka dental dan wajah yang terjadi pada kecelakaan
olahraga secara khusus telah dievaluasi oleh Hill et al; dari 130 pasien, 31% menderita
fraktur mandibula, dan 26% mengalami fraktur alveolar dan dental. Sane dan Ylipaavalniemi
mempelajari 8640 kecelakaan yang terjadi pada pemain sepak bola Finnish. Mereka
menemukan 6,4% luka terjadi pada region maxillofacial dan dental. Dalam hal ini, 81%
berpengaruh pada gigi atau prosesus alveolaris, dan 11% fraktur pada mandibula dan
pertengahan ketiga dari wajah. Linn et al melaporkan pada 319 pasien untuk kecelakaan
dalam olahraga di Netherland, 15% pasien yang mengalami fraktur mandibula dan 5,5%
fraktur prosesus alveolaris mandibula atau mengalami gigi luxasi atau keduanya.
Terdapat sedikit pembelajaran pada fraktur mandibula yang diakibatkan oleh luka
tembakan pada pegawai sipil. Khalil dan Shaladi dari Libya melaporkan dari 18 pasien, 8
mengalami fraktur mandibula dan luka jaringan lunak. Kasus ini berkaitan dengan
perkelahian, yang lainnya karena kecelakaan. France Vaillant dan Benoist mengevaluasi 14
kasus dari luka tembakan pada mandibula. Usia pasien berkisar antara 6 sampai 68 tahun.
Dua anak merupakan korban kecelakaan, dan yang dewasa korban pembunuhan atau
penyerangan.
Dental implant telah merevolusi perawatan restorative dari pasien edentulous pada
decade terakhir. Sayangnya sambungan penempatan dan muatan implant telah patah. Sejak
implantasi menjadi popular, fraktur pada mandibula dan tulang maxillofacial lain menjadi
lebih umum. Sejumlah resorpsi osseous sekunder pada penggunaan protesa dalam jangka
waktu yang panjang dan peningkatan insiden dari abnormalitas metabolic pada populasi usia
lanjut tersedia untuk lower grade pada penerimaan tulang. Untuk alasan ini, seleksi pasien
yang tertinggi, dan melekat pada prinsip osteointegrasi yang bagus memberikan hasil yang
lebih baik. Manson et al menjelaskan penyebab dari fraktur sebagai penurunan masa tulang,
defisiensi mineral tulang dari tulang atrophic dan pergeseran tulang, penekanan selama
penempatan implant, dan tempat tekanan tensil selama fungsi mandibula. Pada beberapa
kasus lanjutan, Tolman dan Keller menganjurkan pada implant yang mengalami undergone
osteointegration dan termasuk kedalam garis fraktur sebaiknya tidak dikembalikan. Implan
yang terinfeksi tentu harus dikembalikan. Penggunaan dari open reduction and internal
fixation (ORIF) harus dihindari dikarenakan oleh sejumlah patahan periosteal dan sejumlah
tulang pada atrophic mandibula. Untuk alasan ini, perawatan konservatif pada fraktur
merupakan pilihan terbaik.
Klasifikasi
Fraktur mandibula menurut daerah terjadinya fraktur diklasifikasikan menjadi:
1. Fraktur dento-alveolar
2. Symphyseal, parasymphyseal
3. Badan mandibula
4. Angle
5. Ramus
6. Koronoid dan
7. Kondilus
Fraktur mandibula dapat terjadi beriringan dengan trauma pada bagian lain seperti
mulut (termasuk fraktur mandibula yang terjadi melewati membran periodontal gigi), atau
kulit, atau dapat hanya berupa fraktur yang simpel atau kominutif.
Perawatan standar untuk fraktur mandibula adalah open reduction and internal
fixation (ORIF) dengan mini-plates. Fraktur mandibula pada pasien dengan trauma pada gigi
bisa di reduksi dan diperbaiki menggunakan intermaxillary fixation (IMF) yang dicapai
dengan penempatan arch bars.
Jika pasien memiliki gigi yang sedang atau baru erupsi setengahnya pada garis
fraktur, maka harus dipertimbangkan apakah gigi tersebut harus dicabut untuk menghindari
kecenderungan terjadinya infeksi lanjut atau gigi tersebut dapat dipertahankan. Pada
umumnya ahli bedah akan cenderung mempertahankan daripada mencabutnya kecuali gigi
tersebut mengalami fraktur, memiliki karies yang besar atau memiliki patologi periapikal.
Fraktur kondilus yang tidak mengganggu oklusi biasanya dirawat secara konservatif, yaitu
dengan soft diet dan pemeriksaan rutin. Perawatan dengan cara IMF selama2 minggu biasa
digunakan jika fraktur mandibula menyebabkan terganggunya oklusi.
Tanda Klinis
Sebagai dokter gigi yang berkompeten kita harus tahu dan memahami apa saja tanda-
tanda dari fraktur mandibula untuk memudahkan proses diagnosa. Berikut adalah beberapa
tanda dari adanya fraktur mandibula.
1. Perubahan oklusi
Pasien dengan fraktur mandibula biasanya memiliki gangguan oklusi, sebagai klinisi
kita bisa menanyakan pada pasien mengenai ada atau tidaknya kelainan yang
dirasakan ketika mereka mengoklusikan gigi karena, perubahan oklusi dapat di
anggap sebagai tanda diagnostik utama dari fraktur mandibula. Fraktur pada gigi,
tulang alveolar, trauma TMJ serta otot pengunyahan bisa menyebabkan kelainan
oklusi ini.
Sebagai contoh:
Kelainan Oklusi Daerah yang diduga
mengalami fraktur
Kontak prematur gigi post.
Openbite anterior
Kondilus atau sudut mandibula
(bilateral)
Openbite posterior Prosesus alveolar anterior atau
daerah parasymphyseal
Posterior crossbite Kondilus dan midline
symphyseal dengan miringnya
segmen posterior dari
mandibula
Retrognatik Kondilus dan sudut mandibula
Unilateral openbite Sudut ipsilateral dan
parasymphyseal
Prognatik Efusi TMJ
2. Anestesia, Parestesia atau Disestesia Bibir Bawah
Hal ini berkaitan dengan gangguan pada nervus alveolar inferior dimana nervus ini
melewati foramen mandibula. Jika bibir bawah mati rasa, mungkin saja terjadi fraktur
pada daerah distal foramen mandibula.
3. Pergerakan Mandibula yang Abnormal
Fraktur pada daerah mandibula bisa menimbulkan keabnormalan dari pergerakan
mandibula secara signifikan. Keterbatasan pembukaan mulut dan trismus bisa menjadi
tanda dari fraktur mandibula. Hal ini juga berkaitan dengan kerja otot-otot
pengunyahan. Salah satu contoh sederhana adalah jika terjadi fraktur kondilus
unilateral maka saat pembukaan mulut akan terjadi deviasi ke daerah yang terjadi
fraktur, hal ini terjadi karena fungsi dari otot pterygoid pada sisi yang tidak terkait
tetap ada sehingga terjadilah deviasi.
Contoh lain:
Kelainan Pergerakan Mandibula Daerah yang Kemungkinan
Mengalami Fraktur
Ketidakmampuan membuka rahang Prosesus koroniod, ramus dan lengkung
zigomatikum
Ketidak mampuan menutup rahang Prosesus alveolaris, ramus, sudut atau
symphysis
Pergerakan lateral Kondilus (bilateral), ramus dengan
displacement tulang
4. Perubahan Kontur Wajah dan Lengkung Mandibula
Perubahan kontur wajah yang disebabkan karena fraktur mandibula bisa tersamarkan
dengan adanya pembengkakan, namun kita tetap harus bisa membedakannya, apalagi
bila sudah terlihat adanya ketidaksimetrisan pada bentuk wajah pasien dan adanya
penyimbangan dari bentuk kurva mandibula (u-shaped).
Perubahan pada wajah Daerah yang Kemungkinan
Mengalami Fraktur
Bagian lateral yang lebih datar Korpus, ramus, sudut mandibula
Retruded chin Parasymphyseal (bilateral)
Pemanjangan wajah Subkondilar (bilateral), sudut,
korpus menyebabkan posisi
mandibula lebih ke bawah
5. Laserasi, Hematoma dan Ekimosis
Arah dan tipe fraktur bisa kita lihat dan perkirakan melalui laserasi yang terjadi
namun untuk lebih tepatnya bisa dengan bantuan pemeriksaan radiografik. Ekimosis
pada dasar mulut bisa mengindikasikan terjadinya trauma pada korpus mandibula dan
symphyseal.
6. Hilangnya Gigi dan Krepitasi atau Palpasi
Tenaga yang kuat bisa menyebabkan kehilangan gigi dan tidak menutup kemungkinan
terjadinya fraktur pada tulang dibawahnya. Sebagai dokter gigi, kita harus melakukan
palpasi pada bagian mandibula dengan menggunakan kedua tangan dengan posisi ibu
jari pada gigi dan jari yang lain berada di batas bawah mandibula, namun dibutuhkan
pemeriksaan radiofrafis untuk memastikan fraktur tersebut. Palpasi pada tepi-teepi
mandibula mungkin bisa menunjukkan deformitas seperti tangga (step deformity)
apabila edema dan hematoma tidak parah. Pemeriksaan ini sering menunjukkan
terpisahnya gigi satu dengan yang lain dan terputusnya kontinuitas dataran oklusal
yang mengalami fraktur.
7. Dolor, Tumor, Rubor dan Color
Adanya keempat tanda ini, merupakan tanda utama dari trauma , pada daerah
mandibula meningkatkan kemungkinan adanya fraktur pada daerah tersebut.
8. Kesulitan atau ketidakmampuan untuk mengunyah
Pemeriksaan radiologis juga diperlukan untuk memperkuat diagnosa, beberapa teknik
foto yang bisa digunakan pada kasus fraktur mandibula ini antara lain, panoramik, lateral
oblique, posteroanterior, occlusal view, periapikal view, reverse towne’s dan CT scan.
PENATALAKSANAAN
Ada dua cara penatalaksanaan fraktur mandibula, yaitu cara tertutup/ konservatif dan
terbuka/ pembedahan. Pada teknik tertutup, reduksi fraktur dan imobilisasi mandibula dicapai
dengan jalan menempatkan peralatan fiksasi maksilomandibular. Pada prosedur terbuka,
bagian yang fraktur dibuka dengan pembedahan, dan segmen direduksi dan difiksasi secara
langsung dengan menggunakan kawat atau plat. Teknik terbuka dan tertutup tidaklah selalu
dilakukan tersendiri, tetapi kadang-kadang dikombinasikan. Pendekatan ketiga adalah
merupakan modifikasi dari teknik terbuka, yaitu metode fiksasi skeletal eksternal. Pada
teknik fiksasi skeletal eksternal pin ditelusupkan ke dalam kedua segmen untuk mendapatkan
tempat perlekatan alat penghubung (connecting appliance), yang bisa dibuat dari logam atau
akrilik, yang menjembatani bagian-bagian fraktur dan menstabilkan segmen tanpa melakukan
imobilisasi mandibula. Semua metode perawatan tersebut masing-masing mempunyai
indikasi, keuntungan, dan kekurangan. Dasar pemikiran perawatan yang baik adalah respons
fleksibel, yakni kemauan dan kemampuan untuk menggunakan teknik yang ada (alat-alat
yang diperlukan), dengan profesionalisme yang memadai.
1. Reduksi tertutup
Reduksi tertutup sangat sesuai untuk penatalaksanaan
kebanyakan fraktur mandibular dan secara spesifik diindikasikan
untuk kasus dimana gigi terdapat pada semua segmen atau segmen
edentulus di sebelah proksimal dengan pergeseran yang hanya
sedikit. Indikasi metode reduksi tertutup adalah sebagai berikut:
a. Fraktur menguntungkan tanpa adanya pergeseran
tempat (nondisplace favorable fracture)
b. Fraktur comunitted yang luas
c. Fraktur pada mandibula yang edentulous
d. Fraktur mandibula pada anak
e. Fraktur processus coronoidalis
f. Fraktur kondilus
Gigi-gigi sangat diperlukan untuk fungsi perlekatan alat, misalnya untuk malleable
arch bars berbagai teknik perawatan, dan splint logam/ akrilik. Malleable stock arch bar
tersedia dalam bentuk gulungan atau potongan-potongan dengan panjang tertentu. Arch bar
dengan mudah bisa dipasang menggunakan anestesi local atau anestesi umum, dengan jalan
mengikatkannya terhadap gigi menggunakan kawat baja tahan karat ukuran 0,018 atau 0,20
inchi, 0,45 atau 0,5 mm (dapat dilihat pada tabel). Kawat tersebut diinsersikan melingkari
tiap-tiap gigi (melalui diatas arch bar pada satu sisi, dan di bawah arch bar pada sisi yang
lain), dan ujung-ujung kawat dipilin searah dengan jarum jam. Ujung kawat yang berlebih
dipotong dan dilipat sedemikian rupa sehingga tidak melukai mukosa bukal atau labial. Jika
terjadi pergeseran segmen yang nyata, biasanya diatasi dengan memotong arch bar pada
bagian yang mengalami fraktur, karena apabila bar menjembatani fraktur, maka akan
cenderung memisahkan atau mengganggu segmen-segmennya.
Tabel ukuran kawat
Ukuran gauge Diameter
(inch) (mm)
22 0,028 0,70
23 0,024 0,60
24 0,022 0,55
25 0,020 0,50
26 0,018 0,45
27 0,016 0,40
28 0,014 0,35
Fiksasi
Fiksasi maksilomandibular dilakukan dengan menggunakan elastic atau kawat untuk
menghubungkan loop (lug) arch bar atau alat maksilar dan mandibular yang lain. Apabila
suatu segmen mengalami pergeseran cukup banyak, maka dianjurkan untuk melakukan
imobilisasi segmen yang pergeserannya sedikit dahulu, kemudian melakukan reduksi dan
imobilisasi segmen yang lain secara digital atau manual. Apabila suatu fraktur belum lama
terjadi yakni kurang dari 72-96 jam, reduksi biasanya dilakukan dengan memanipulasi. Pada
fraktur yang sudah lama terjadi, stabilisasi dari elemen yang tidak bergeser atau hanya
bergeser sedikit, dilakukan pertama kali dengan menggunakan elastic atau kawat dan
kemudian memasang elastic yang cukup kuat tarikannya terhadap segmen yang
pergeserannya lebih banyak. Kawat bersifat pasif, sedangkan elastik bersifat aktif. Elastik
yang dikenakan pada gigi yang tidak mempunyai antagonis akan mengakibatkan ekstruksi
atau pada kasus yang lebih hebat mengakibatkan gigi lepas. Semua pasien dengan
pengawatan maksilomandibular harus dibekali alat pemotong kawat yang bisa digunakan
setiap saat.
System eyelet
Pengawatan langsung yang paling sering digunakan adalah tekni eleyet (Ivy loop).
Pada sistem ini kawat dipilinkan satu sama lain untuk membentuk loop. Kedua ujung kawat
dilewatkan ruang interproksimal, dengan loop tetap disebelah bukal. Satu ujung dari kawat
dilewatkan di sebelah distal dari gigi distal dan kembalinya di bawah atau melalui loop,
sedangakan ujung yang lain ditelusupkan pada celah interproksimal mesial dari gigi mesial.
Akhirnya loopnya dikencangkan dengan jalan memilinnya. Beberapa eyelet bisa ditempatkan
pada gigi posterior untuk mendapatkan tempat perlekatan kawat atau elastik yang digunakan
untuk fiksasi maksilomandibular. Sistem eyelet tidak rumit dan mudah dilakukan. Ini ideal
untuk penanganan kasus dengan cepat apabila diperlukan stabilitas sementara, atau apabila
durasi anestesi umum harus dikurangi. Empat eyelet, dengan fiksasi maksilomandibular yang
baik, sering memberikan hasil imobilisasi mandibular yang memuaskan untuk merawat
fraktur subkondilar unilateral dengan pergeseran yang hanya sedikit.
Keterangan gambar :
Teknik pengawatan langsung. A. Metode pengawatan langsung
yang sederhana adalah dengan ,eme,patkan kawat melingkari gigi-gigi di
dekatnya pada rahang yang berlawanan. B. Kawat-kawat tersebut
kemudian dikaitkan satu sama lainsedemikian rupa sehingga membentuk
X (Teknik Gilmer) untuk membantu fiksasi maksilomandibular. C.
Pengawatan eyelet dilakukan dengan membentuk loop kawat dan
memasukkan kedua ujung kawat keruang interproksimal (1). Kedua
ujung kawat kemudian dimasukkan lagi ke arah bukal (2). Ujung distal
ditelusupkan ke dalam loop (3). Kemudian ujung-ujung kawat tersebut
ditarik, supaya ikatannya kuat, dan akhirnya dipilinkan satu sama lain (4). (Catatan: Ujung-
ujung kawat dipilin pada bagian mesial) Suatu eyelet bisa ditempatkan pada satu gigi
individual dengan membentuk sebuah loop, menyusupkan ujung kawat dan kemudian
memilin ujungnya pada aspek mesial (5).
Splint
Arch bar memberikan daerah perlekatan untuk fiksasi maksilomandibular, tetapi
secara teknik tidak berfungsi sebagai splint, karena jarang memeberikan imobilisasi dan
stabilisasi segmen fraktur dengan baik. Suatu splint merupakan alat individual yang
ditujukan untuk imobilisasi atau membantu imobilisasi segmen-segmen fraktur. Pembuatan
suatu splint memerlukan bahan cetak, fasilitas labolatorium dan waktu yang relatif lama.
Splint ini biasanya merupakan logam tuang (cor), atau terbuat dari akrilik. Pada fraktur
komplikata, apabila reduksi oklusi yang benar tidak mudah dilakukan, orientasi model
dengan menggunakan tangan dan pematahan model untuk mewakili segmen fraktur mungkin
bisa mengatasi masalah ini. Splint secara khusus diindikasikan apabila terjadi kehilangan
substansi tulang (misalnya luka kena tembak) untuk mencegah kolaps atau untuk
mendapatkan kembali panjang lengkung rahang. Splint bisa disemenkan atau dipasang
dengan kawat terhadap gigi.
Gunning splint
Fraktur edentulus membawa problema tersendiri dalam imobilisasi.
Apabila mempunyai protesa gigi maka bisa digunakan untuk fiksasi
maksilomandibular. Salah satu cara adalah dengan membuat lubang pada basis
akrilik di regio interproksimal gigi-gigi dari geligi tiruan dan kemudian dilakukan
pengawatan arch bar terhadap basis protesa. Apabila pasien tidak memakai geligi tiruan,
maka dilakukan pencetakan dan kemudian dibuat gunning splint yang mirip basis protesa
dengan bite plane. Splint dibuat overclosed, karena dimensi vertical yang berlebihan sering
tidak dapat ditolelir dengan baik. Geligi tiruan yang digunakan sebagai splint, atau Gunning
splint sering dilapisi dengan kondisioner jaringan.
Pengawatan sirkummandibular
Geligi tiruan atau splint mandibular sering distabilisasi dengan menggunakan tiga
pengawatan sirkummandibular, satu melingkari mandibula pada regio parasimfis dan dua
pada daerah posterior dari foramen mentale. Kawat-kawat ini diinsersikan dengan jarum
penusuk (awl) atau metode jarum lurus ganda (double straight needle). Awl adalah sebuah
jarum yang dilengkapi dengan pegangan. Pada teknik awl, jarum tersebut ditusukkan pada
kulit (yang sudah dipersiapkan) di bawah mandibula dan muncul pada dasar mulut. Awl
tersebut ditelusupi kawat, ditarik, dan dilewatkan pada aspek bukal mandibula ke dalam
vestibulum, di sini kawat dilepas. Kemudian kawat dilewatkan diatas geligi tiruan dan ujung-
ujungnya dipuntir/dipilin agar terjadi stabilisasi. Pada teknik jarum lurus ganda, suatu jarum
dilewatkan sebelah lingual dari mandibula, masuk ke dalam dasar mulut dan kawat ditarik.
Yang lain diinsersikan dari bagian bukal pada titik insersi yang sama untuk menuju ke
vestibulum dan kemudian ditarik. Ujung-ujung kawat tersebut dilewatkan diatas geligi tiruan
kemudian dikencangkan satu sama lain.
Stabilisasi pada geligi tiruan atas
Geligi tiruan atau splint maksila distabilisasi dengan pengawatan sirkumzigomatik,
dan apabila diperlukan, insersi kawat pada apertura piriformis atau spina nasalis. Kawat
sirkumzigomatik diinsersikan dengan teknik yang serupa dengan pengawatan
sirkummandibular, satu ujung kawat dilewatkan di bawah (medial) arcus zygomaticus dan
satu di atas (lateral). Untuk ini digunakan awl atau teknik double straight needle. Insersi
pengawatan pada fossa piriformis dan spina nasalis memerlukan pengangkatan flap agar bisa
mencapai tulang, membur tulang, dan melewatkan kawat (transosseus) untuk perlekatan
geligi tiruan.
Fiksasi tulang eksternal
Fiksasi tulang eksternal yang sering dipakai adalah alat fiksasi Bi-phase. Dengan alat
ini, pin-pinnya diinsersikan melalui insisi kutan ke dalam tulang yang sebelumnya dilubangi
dengan bur. Pin dimasukkan melalui korteks bukal dan tulang kanselus dan sedikit tertanam
pada tulang kortikal lingual. Paling tidak dua pin untuk tiap-tiap segmen fraktur. Kemudian
pin-pin tersebut dijembatani dengan bar (dengan menggunakan klem), dan reduksi diamati
dengan sinar-X. Kemudian bar digantikan dengan konektor akrilik, yang bentuknya
disesuaikan, dengan menggunakan peralatan khusus. Fiksasi eksternal untuk fraktur
mandibular memberikan keuntungan dalam mereduksi dan stabilisasi segmen proksimal yang
mengalami pergeseran apabila reduksi terbuka merupakan kontraindikasi, untuk mencegah
kolaps dimana tulangnya banyak yang hilang, dan untuk menstabilkan segmen pada teknik
grafting. Alat ini bisa digunakan untuk mengontrol segmen pada saat melakukan reseksi
mandibula, karena penyakit neoplastik.
2. Reduksi terbuka
Untuk melakukan reduksi terbuka pada fraktur mandibula bisa melalui kulit atau oral.
Antibiotik dan peralatan intraoral yang baik memberikan dukungan tambahan pada
pendekatan peroral. Secara teknis, setiap daerah pada mandibula dapat dicapai dan dirawat
secara efektif secara oral kecuali pada daerah subkondilar. Walaupun jalan masuk melalui
mulut tidak semudah perkutan, modifikasi pengawatan langsung (pengawatan tepi atas atau
transalveolar dan transsirkumferensial) menjadikan teknik ini mempunyai keberhasilan
tinggi, dengan rasa sakit dan komplikasi yang minimal. Jika digunakan pelat tulang,
pendekatan oral sering dikombinasi dengan pendekatan perkutan dengan menggunakan
teknik instrumentasi transkutan.
Indikasi metode ini adalah sebagai berikut:
a. Fraktur yang tidak menguntungkan (displaced unfavorable) pada sudut
mandibula.
b. Fraktur yang tidak menguntungkan (displaced unfavorable) pada badan
mandibula atau daerah parasimfisis mandibula
c. Terjadinya kegagalan pada metode tertutup
d. Fraktur yang membutuhkan tindakan osteotomy (malunion)
e. Fraktur yang membutuhkan bone graft
f. Multiple fraktur
Keterangan gambar :
A dan B. Reduksi terbuka peroral. A. Pergeseran superior dari segmen edentulous
proksimal dikontrol dengan menginsersikan kawat transirkummandibular tunggal. Awl
digunakan untuk melewatkan kawat di balik tepi bawah mandibula. B. Apabila didapatkan
tulang dan jalan masuk memadai, suatu kawat tunggal bias ditelusupkan dengan metode
transalveolar. C dan D. Osteosintesis. C. Pergeseran dari segmen proksimal edentulous
dikontrol dengan osteosintesis perkutan memakai kawat yang ditempatkan sedemikian rupa
sehingga membentuk huruf ”X”. D. Osteosintesis peroral diselesaikan dengan pelat kompresi
tulang (bone plate). Pada pendekatan ini sering digunakan kombinasi peralatan perkutan /
peroral.
Reduksi tulang peroral
Reduksi tulang peroral dari fraktur mandibula sering dilakukan untuk mengendalikan
fragmen edentulus proksimal yang bergeser. Situasi ini umumnya berupa fraktur yang
melalui alveolus gigi molar ketiga yang impaksi/ erupsi sebagian. Tindakan dilakukan pada
pasien diberi anestesi local atau sedasi atau anestesi umum. Arch bar atau alat fiksasi yang
lain pertama-tama diikatkan pada tempatnya dan suatu flap envelope mukoperiosteal yang
dimodifikasi (lebih besar dan terletak lebih ke arah bukal) dibuat untuk jalan masuk ke daerah
molar ketiga. Molar ketiga dikeluarkan, biasanya bisa dilakukan sangat mudah dengan
menggunakan elevator dan distraksi anterior dari segmen distal. Lubang unikortikal dibuat
pada dinding alveolar sebelah bukal dari kedua frakmen, dan sebuah kawat baja tahan karat
(0,018 atau 0,020 inch, 0,45 atau 0,5 mm) ditelusupkan ke dalamnya. Reduksi diakhiri
dengan manipulasi manual (seringkali segmen proksimal dipegang dengan tang pemegang
tulang. Stabilisasi awal didapatkan dari banyaknya gerigi fraktur yang saling mengunci.
Ujung-ujung kawat dipilin untuk mengencangkan segmen pada posisi reduksi, dan
ditempatkan kawat/elastic untuk fiksasi maskilomandibular. Bagian tersebut diirigasi dengan
larutan saline steril, diperiksa, dan kawat disesuaikan, dipotong, serta ditekuk. Penutupan flap
dilakukan dengan jahitan kontinu memakai chromic gut 3-0. Reduksi ini dikatakan berhasil
apabila segmen edentulus proksimal yang dapat bergerak tadinya bergeser dicekatkan ke
frakmen distal/anterior yang sudah diimbolisasi (fiksasi maksilomandibular).
Reduksi terbuka pada simfisis
Fraktur parasimfisis ini dirawat dengan pengawatan transalveolar pada tepi atas,
apabila gigi di dekat garis fraktur tidak ada. Pada situasi tipikal yang lain, fraktur parasimfisis
yang bergeser distabilisasi pada tepi bawah melalui jalan masuk yang diperoleh dengan
membuka simfisis. Flap dibuat dengan menempatkan insisi 3-4 mm di bawah pertemuan
mukosa bergerak dan tak bergerak. Inisisi submukosal dibuat miring sedemikian rupa
sehingga periosteum diiris di bawah origo m. mentalis. Pemisahan periosteum dimulai
dengan elevator periosteal, dan pengelupasan dilakukan dengan tekanan digital ke arah
inferior. Perhatian perlu diarahkan untuk mempertahankan bundle neurovascular mentalis,
dengan hati-hati menggesernya/melindunginya hanya jika bundle kemungkinan bisa cedera
yakni apabila digunakan instrument putar. Lubang dibuat pada kedua segmen pada tepi
bawah, dan sebuah kawat baja tahan karat (0,020 atau 0,022 inch, 0,5 atau 0,55 mm)
dilewatkan, sering dibuat berbentuk seperti angka 8. Keuntungan dari teknik bentuk angka 8
ini karena tidak diperlukannya insersi kawat lingual. Segmen-segmen diatur letaknya dan
ujung kawat dipilin, dipotong, dan dibengkokkan. Fiksasi maksilomandibular diakhiri dengan
menempatkan kawat atau elastic yang menghubungkan arch bar atau alat yang lain. Bagian
tersebut kemudian diirigasi dengan menggunakan larutan saline steril diperiksa, dan ditutup.
Kemungkinan terjadinya dehisensi (pemisahan) dari garis jahitan bisa dikurangi apabila m.
mentalis terjaga dengan baik. Submukosa dan mukosa dijahit dengan chromic gut 3-0 (atau
polyglycolic acid, Dexon) dengan teknik kontinu sederhana atau mattres. Pembalut dengan
tekanan (pressure dressing) dipasang untuk mempertahankan posisi jaringan lunak terhadap
tulang sehingga bisa mengurangi pembentukan rongga mati (dead space) dan hematom.
Pendekatan dari angulus mandibulae dan symphysis mandibulae bisa dimodifikasi sehingga
memungkinkan pembedahan dilakukan pada setiap bagian dari mandibula bagian anterior,
yakni korpus mandibulae dan regio mentalis.
Tindak lanjut
Perawatan pendukung pasca bedah terdiri atas analgesik, dan bila diindikasikan
ditambah antibiotik, aplikasi dingin dan petunjuk diet. Rontgen pasca reduksi dan pasca-
imobilisasi perlu dilakukan. Reduksi terbuka bisa memperpendek masa fiksasi
maksilomandibular, dan pembukaan percobaan yang dilakukan pada minggu keempat atau
kelima kadang-kadang dilakukan untuk mengetahui derajat kesembuhan klinis, terutama pada
anak yang masih muda. Normalnya, kawat transoseus untuk stabilisasi segmen tidak dilepas.
Jika kawat teraba di bawah mukosa daerah edentulus yang akan diberi protesa atau terbuka
selama dilakukan bedah praprostetik, kawat harus dilepas. Pelepasan tersebut dilakukan
dengan bantuan anestesi local. Pelepasan dilakukan dengan membuat insisi di atas kawat,
kemudian kawat tersebut di bebaskan dan dipotong.
Reduksi terbuka perkutan
Reduksi terbuka perkutan pada fraktur mandibula diindikasikan apabila reduksi
tertutup atau peroral tidak berhasil, terjadi luka-luka terbuka, atau apabila akan dilakukan
graft tulang seketika. Fraktur subkondilar tertentu dan fraktur yang sudah lama atau yang
mengalami penggabungan yang keliru atau tidak bergabung juga merupakan indikasi untuk
reduksi perkutan terbuka. Pendekatan terbuka biasanya dikombinasikan dengan fiksasi
maksilomandibular untuk mendapatkan stabilisasi maksimum dari segmen fraktur. Apabila
terjadi luka-luka terbuka, jalan masuk langsung ke daerah fraktur bisa didapatkan hanya
dengan sedikit modifikasi. Fraktur pada daerah angulus dan corpus mandibulae dicarikan
jalan masuk melalui diseksi submandibular, misalnya dengan pendekatan Risdon, di mana
insisi ditempatkan sejajar garis tegangan kulit pada daerah inframandibular. Bagian yang
mengalami fraktur dibuka dengan diseksi tumpul dan tajam, dengan tetap mempertahankan n.
mandibularis marginalis cabang dari n. fascialis. Fraktur symphysis dan parasymphysis
mandibulae dirawat dengan membuat insisi submental. Seperti pada semua reduksi terbuka,
pengelupasan periosteum diusahakan minimal, dan hanya dilakukan pembukaan flap
secukupnya saja untuk jalan masuknya alat. Lubang dibuat pada tepi inferior dari kedua
frakmen, dan kawat baja tahan karat (0,018 atau 0,02 inch, 0,45 atau 0,5 mm) ditelusupkan.
Reduksi dilakukan pertamakali dengan manipulasi dan kemudian dipertahankan dengan
memilinkan kedua ujung kawat transoseus satu sama lain. Dasar dari teknik stabilisasi
konservatif adalah meninggalkan bahan asing sesedikit mungkin misalnya lebih memilih
menggunakan kawat disbanding pelat, dan memakai kawat sesedikit mungkin. Bagian yang
direduksi kemudian diirigasi dan diamati. Periosteum pertama-tama dirapatkan dengan
jahitan chromic gut 2-0 atau 3-0. Selanjutnya luka ditutup lapis demi lapis dan kemudian
dipasang pembalut tekanan, yakni berupa kasa penyerap dengan anyaman yang halus, yang
diberi bismuth tribromphenate/petrolatum (Xeroform) dan gulungan pembalut elastik yang
lebarnya 4-5 inch (Kerlix).
Pemasangan pelat tulang
Jika pasien mengalami gangguan mental/ inkompeten, memiliki gangguan konvulsif
yang kurang terkontrol, atau seorang pemabuk atau pecandu obat bius; jika mobilisasi awal
dari mandibula diinginkan agar dapat mengurangi kemungkinan terjadinya ankilosis
(beberapa fraktur subkondilar); dan untuk fraktur edentulous mandibular tertentu, reduksi dan
imobilisasi kaku dengan pelat tulang (Vitalium, titanium) akan sangat bermanfaat. Teknik ini
tidak dipilih untuk kasus kontaminasi yang luas, atau fraktur kominusi yang lebar, dan jika
penutupan primer baik mucosal atau dermal, tidak bisa dicapai. Pada beberapa kasus pelat
tulang bisa dikombinasikan dengan fiksasi maksilomandibular, splinting, atau fiksasi skeletal
eksternal. Dalam menangani masalah yang sulit ini, pendekatan individual dan orisinil
sangat dibutuhkan. Pembedahan biasanya dilakukan di dalam kamar bedah karena
menggunakan anestesi umum. Bagian yang mengalami fraktur dibuka secara peroral atau
dengan pendekatan submandibular (Risdon) atau submental. Sering digunakan pelat
kompresi, dimana bidang insersi dari sekrup ditempatkan sedemikian rupa sehingga
mengakibatkan penutupan bagian fraktur secara aktif dan bukannya pasif (pelat adaptasi).
Pelat kemudian dikunci dengan memasukkan sekrup setelah dilakukan reduksi dan diperiksa
dengan mengamati oklusinya. Periosteum kemudian didekatkan satu sama lain dan dilakukan
penutupan. Walaupun beberapa pelat mungkin tetap ditinggal ditempatnya, tetapi
pengeluaran sesudah terjadi penyembuhan dianjurkan oleh pabrik-pabrik tertentu sehingga
diperlukan pembedahan ulang. Pada keadaan edentulus, pemasangan pelat mungkin
mengganggu pembedahan praprostetik atau rehabilitasi praprostetik. Kegagalan system
imobilisasi dengan pelat tulang kebanyakan disebabkan oleh karena ketidakstabilan dan
infeksi/osteomielitis. Pelat tulang merupakan teknik yang relatif sensitif, dan kegagalan
kadang-kadang harus dihadapi oleh seorang ahli bedah.
Reduksi terbuka pada fraktur subkondilar
Banyak fraktur subkondilar mandibula bilateral dan kebanyakan fraktur kondilar pada
orang dewasa memerlukan reduksi terbuka. Pada kasus fraktur subkondilar bilateral, baik
segmen yang pergeserannya paling besar, maupun fragmen yang lebih besar bisa direduksi
sendiri-sendiri atau bersama-sama. Fraktur dislokasi yang parah dan tidak direduksi sering
mengakibatkan cacat permanen. Cacat ini termanifestasi berupa perubahan rentang gerakan,
keterbatasan dan oklusi yang tidak tepat. Pendekatan pembedahan yang biasanya dilakukan
pada regio subkondilar adalah preaulikular. Insisi vertical sepanjang 4-5 cm dibuat sebelah
anterior dari kartilago telinga.
Dengan diseksi tumpul dan tajam yang dilakukan hati-hati untuk melindungi cabang-
cabang n. facialis, maka bisa dicapai daerah yang mengalami fraktur. Segmen fraktur yang
mengalami pergeseran sering terletak pada fossa infratemporalis, yang cenderung
menyulitkan pengembaliannya ke tempat semula. Stabilitas dilakukan dengan pengawatan
transoseus atau pemasangan pelat. Fiksasi maksilomandibular idealnya sudah dipasang di
tempatnya sebelum dilakukan penutupan untuk memastikan bahwa stabilitas frakmen
kondilar telah dicapai.
Perawatan yang tertunda
Penatalaksanaan fraktur yang sudah lama, baik yang umurnya sudah lebih dari 14 hari
atau sudah tahunan, membawa masalah tersendiri. Fraktur yang sudah berumur 14 hari
menunjukkan tahap awal penyembuhan, yakni organisasi beku darah dan proliferasi jaringan
granulasi/jaringan ikat. Beberapa fraktur yang sudah lama, menunjukkan adanya
pseudartrosis, yang meliputi perkembangan kapsula fibrus dan tepi fraktur kortikal yang
tidak tervaskularisasi dengan baik serta tereburnasi. Fraktur-fraktur jenis ini, paling baik
dirawat dengan jalan masuk melalui kutan dan reduksi terbuka. Bagian yang mengalami
fraktur dipesiapkan, yaitu jaringan granulasi dan jaringan fibrous dibersihkan, dan tepi-tepi
fraktur yang sudah lama diperbarui untuk memaparkan tulang dengan vaskularisasi yang
lebih baik. Bila fraktur yang relatif masih baru sering direduksi dan distabilisasi secara
langsung, untuk fraktur yang sudah lama mungkin diperlukan graft tulang apabila terjadi
kehilangan lengkung rahang yang nyata, atau gangguan oklusi.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : Tn. I.T
Umur : 23 tahun
Alamat : Jl.Batu Putih
BB : 55 Kg
TB : 167 cm
Jenis kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen Protestan
Pekerjaan : Pelajar
Suku bangsa : Serui
Ruangan : Bedah Pria
Tanggal masuk rumah sakit : 08 Mei 2015
Tanggal operasi : 22 Mei 2015
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama: Patah tulang wajah (rahang atas dan bawah)
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien merupakan pasien rujukan dari RS Bhayangkara datang dengan keluhan 7 hari
sebelum masuk rumah sakit pasien mengalami kecalakaan lalu lintas motor dengan motor,
pasien tidak menggunakan helm. Pasien mengalami patah tulang wajah dan lengan kiri.
pasien sempat dirawat di ICU RS Bhayangkara selama 3 hari dan pasien dalam kondisi tidak
sadarkan diri.
Riwayat Penyakit Dahulu :
DM (-), Penyakit Jantung (-), Hipertensi (-), Riwayat Operasi (-), Alergi (-),
Riwayat Operasi :
Belum pernah operasi sebelumnya.
Riwayat Sosial :
Riwayat merokok (+), alkohol (+)
3.3 Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Tanda-tanda vital
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 59 x/m
Respirasi : 20 x/m
Suhu badan : 36,4 0C
Kepala : Conjungtiva anemis -/-, sclera ikterik -/-
Leher : Pembesaran KGB (-)
Thoraks : Paru : suara napas vesikuler, rhonki (-), wheezing (-)
Jantung: Bunyi jantung I-II reguler, murmur (-)
Abdomen : datar, supel, bisung usus (+), hepar dan lien tidak teraba membesar
Ekstremitas : akral hangat, edema (-)
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Status Anestesi
PS ASA : III
Hari/Tanggal : 22/05/2015
Ahli Anestesiologi : dr. D.S, Sp.An.KIC
Ahli Bedah : dr. J.A, Sp.OT dan dr.M, Sp.BM
Diagnosa Pra Bedah :CKR, Fraktur Mandibula sinistra + Fraktur Maxila,
Comunitive Fraktur Distal Radius sinistra, Distruption
DRUJ
Diagnosa Pasca Bedah : Post ORIF Mandibula et Maksila + Radius Distal II
TTV : TD : 120/80 mmHg; N: 80 x/m; T : 36,4 0C
B1 : airway bebas, retraksi (-), gerak dada simetris, suara nafas
vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-, RR : 20 x/m
Darah Lengkap
Hemoglobin 11,1
Leukosit 14.30
Trombosit 269.000
CT 11’00’’
BT 3’00’’
B2 : Perfusi : hangat, kering, merah. Capillary Refill Time< 2
detik, BJ : I-II regular, konjungtiva anemis -/-, nadi : , TD:
B3 : Kesadaran compos mentis, GCS E4V5M6 , refleks cahaya
+/+, refleks kornea +/+
B4 : Terpasang DC, produksi urine (+), warna
B5 : Perut datar, mual (-), muntah (-), bising usus (+), nyeri
tekan (-)
B6 : Akral hangat (+), edema (-), fraktur regio femur (-)
Medikasi pra bedah : -
Jenis Pembedahan : ORIF
Lama Operasi : 10.30-15.00WIT
Jenis Anestesi : General Anastesi
Anestesi dengan :
Teknik Anestesi :
Pernafasan : Spontan
Posisi : Terlentang
Infus : Tangan kanan, IV line abocath 18 G,
cairan RL 500 cc/30 menit
TTV Akhir pembedahan : TD : 115/75 mmHg; N; 71x/m; SB:36,20C ; RR 20x/m.
Medikasi :
- Propofol 100 ml
- Atracurium Besylate 25mg/2,5mL
- Fentanil 50 mg/cc
- Lidocain HCL 20mg + Epinephrine 0,0125 mg 2ml
- Ranitidine 50 mg
- Ondansentron 8 mg
- Antrain 500 mg
- Gentamicin 40mg/mL (2mL) 2amp
3.5 Observasi Durante Operasi
Observasi Tekanan Darah dan Nadi
Balance Cairan
Waktu Input Output
Pre operasi RL : 500 cc Urin 100 cc
Durante
operasi
RL 1500 cc
Gelofusal 500 Urin 300 cc
Total 400 cc