exchange rate 2006-2010

119
BAB I PENDAHULUAN Secara sederhana, foreign exchange adalah mata uang asing dan aset keuangan yang sangat liquid lainnya yang dinyatakan dalam mata uang asing. Foreign exchange market adalah pasar di mana mata uang dari suatu negara ditukarkan dengan mata uang negara lainnya. Foreign exchange market tersebut diciptakan oleh importir, eksportir, bank dan para spesialis yang bergerak dalam jual beli mata uang asing yang disebut Foreign exchange brokers. Foreign exchange rate adalah harga di mana suatu mata uang dipertukarkan dengan mata uang lainnya. Contohnya, satu Dollar Australia dibeli dengan 60 Yen Jepang, maka nilai tukar antara Dollar Australia dan Yen Jepang adalah 60 Yen per Dollar. FOREIGN EXCHANGE REGIMES Douglas McTaggart, dkk. (2003, 609) menyatakan ada tiga sistem exchange rate yang dapat digunakan, yaitu: 1. Flexible exchange rate Nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar, tanpa intervensi dari bank sentral. 2. Fixed exchange rate Nilai tukar ditetapkan oleh bank sentral. 3. Managed exchange rate Terdapat intervensi bank sentral untuk mengendalikan fluktuasi nilai tukar, tetapi tidak mempertahankan nilai tukar pada tingkat tertentu. Apabila terjadi kenaikan nilai tukar, maka disebut currency appreciation, sedangkan apabila terjadi penurunan disebut currency depreciation.

Upload: nfajri6

Post on 03-Jul-2015

792 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I PENDAHULUAN

Secara sederhana, foreign exchange adalah mata uang asing dan aset keuangan yang sangat liquid lainnya yang dinyatakan dalam mata uang asing. Foreign exchange market adalah pasar di mana mata uang dari suatu negara ditukarkan dengan mata uang negara lainnya. Foreign exchange market tersebut diciptakan oleh importir, eksportir, bank dan para spesialis yang bergerak dalam jual beli mata uang asing yang disebut Foreign exchange brokers. Foreign exchange rate adalah harga di mana suatu mata uang dipertukarkan dengan mata uang lainnya. Contohnya, satu Dollar Australia dibeli dengan 60 Yen Jepang, maka nilai tukar antara Dollar Australia dan Yen Jepang adalah 60 Yen per Dollar. FOREIGN EXCHANGE REGIMES Douglas McTaggart, dkk. (2003, 609) menyatakan ada tiga sistem exchange rate yang dapat digunakan, yaitu: 1. Flexible exchange rate

Nilai tukar ditentukan oleh kekuatan pasar, tanpa intervensi dari bank sentral. 2. Fixed exchange rate

Nilai tukar ditetapkan oleh bank sentral. 3. Managed exchange rate

Terdapat intervensi bank sentral untuk mengendalikan fluktuasi nilai tukar, tetapi tidak mempertahankan nilai tukar pada tingkat tertentu. Apabila terjadi kenaikan nilai tukar, maka disebut currency appreciation, sedangkan apabila terjadi penurunan disebut currency depreciation. EXCHANGE RATE DETERMINATION: FLEXIBLE EXCHANGE RATE Foreign Transaction by Domestic Residents Faktor-faktor yang dapat meningkatkan permintaan atas foreign exchange:y y

Pembelian dengan cara impor; Pendapatan dan transfer ke luar negeri (misalnya pembayaran dividen kepada investor asing, pembayaran bunga kepada lender, pemberian bantuan/hibah ke negara lain, dan lain-lain);

y

Pembelian aset luar negeri (capital outflow)

Hukum Permintaan untuk Foreign Exchange Makin tinggi harga foreign exchange, makin kecil permintaan foreign exchange di foreign exchange market. Exchange rate mempengaruhi jumlah foreign exchange dalam dua hal: 1. 2. Import Effect Expected Profit Effect

Apabila digambarkan dalam sebuah kurva, maka permintaan terhadap foreign exchange adalah sebagai berikut: Perubahan dalam Permintaan atas Foreign Exchange Faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan atas foreign exchange adalah: 1. 2. 3. 4. Domestic GDP dan Tingkat Impor Harga Domestik Relatif terhadap Harga Luar Negeri Interest Rate Differential Future Value dari Currency yang Diharapkan (Expected Future Value)

Tabel 1. Permintaan terhadap Foreign Exchange Hukum Permintaan: Kuantitas foreign exchange yang diminta Meningkat jika: Turun jika:y

Nilai tukar valas turun

y

Nilai tukar valas naik

(Domestic currency apresiasi) (Domestic currency depresiasi) Perubahan Permintaan: permintaan terhadap Foreign Exchange Increases If: Decreases If:y y

Domestic GDP increase Harga domestik naik relatif terhadap harga luar negeri Interest rate differential decreases Domestic melemah currency diharapkan

y y

Domestic GDP decreases Harga domestik turun terhadap harga luar negeri relatif

y y

y y

Interest rate differential increases Domestic menguat currency diharapkan

Domestic Transaction by Foreign Residents Transaksi-transaksi yang akan meningkatkan supply foreign exchange diantaranya: 1. 2. 3. Penjualan Ekspor, jumlah supply yang dihasilkan = nilai ekspor Pendapatan dan transfer lainnya ke dalam negeri Penjualan domestic assets ke luar negeri (capital inflow)

Hukum Penawaran atas Foreign Exchange Makin tinggi harga foreign exchange, makin besar pula kuantitas supply foreign exchange di pasar. Exchange rate mempengaruhi kuantitas foreign exchange karena dua hal: 1. 2. Export Effect Expected Profit Effect

Apabila digambarkan dalam sebuah kurva, maka penawaran terhadap valas adalah sebagai berikut: Perubahan dalam Penawaran atas Foreign Exchange Faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran atas foreign exchange adalah: 1. 2. 3. 4. Foreign GDP dan Tingkat Ekspor Harga Domestik Relatif terhadap Harga Luar Negeri Interest Rate Differential Future Value dari Currency yang Diharapkan (Expected Future Value)

Tabel 2. Penawaran terhadap Foreign Exchange Hukum Penawaran: Kuantitas foreign exchange yang tersedia Meningkat jika: Turun jika:y

Nilai tukar valas naik

y

Nilai tukar valas turun

(Domestic currency depresiasi) (Domestic currency apresiasi) Perubahan Penawaran: penawaran terhadap Foreign Exchange Increases If: Decreases If:y

Foreign GDP increase

y

Foreign GDP decreases

y

Harga domestik turun relatif terhadap harga luar negeri Interest rate differential increases Domestic menguat currency diharapkan

y

Harga domestik naik terhadap harga luar negeri

relatif

y y

y y

Interest rate differential decreases Domestic melemah currency diharapkan

The Equilibrium Exchange Rate Apabila nilai tukar terlalu tinggi, maka akan terjadi surplus (Qs > Qd) tukar terlalu rendah, maka akan terjadi kekurangan/shortage (Qs menyebabkan foreign currency depreciation (domestic currency kekurangan foreign exchange akan menyebabkan foreign currency currency depresiasi). sedangkan apabila nilai > Qd). Surplus valas apresiasi), sedangkan appreciation (domestic

Apa yang terjadi pada equilibrium exchange rate apabila demand/supply berubah? 1. Increase demand of foreign exchange Apabila terjadi kenaikan impor, maka permintaan terhadap foreign exchange akan meningkat, sehingga kurva demand bergeser ke kanan. Peningkatan pemintaan atas impor menyebabkan depresiasi atas domestic currency. 2. Increase supply of foreign exchange Apabila terjadi kenaikan ekspor, supply foreign exchange meningkat dan menggeser kurva penawaran ke kanan. Domestic currency mengalami apresiasi terhadap foreign exchange. EXCHANGE RATE DETERMINATION: FIXED EXCHANGE RATE Dalam sistem Fixed Exchange Rate, bank sentral menetapkan nilai tukar dari domestic currency. Untuk melakukan ini, bank sentral melakukan intervensi pasar dengan membeli dan menjual valas untuk menghilangkan potensi kekurangan atau kelebihan valas yang dapat menyebabkan variasi dalam equilibrium exchange rate. Terkadang, bank sentral membantu intervensinya dengan cara memaksakan kendali atas valas yang disebut exchange control. Exchange control adalah regulasi yang didesain untuk membatasi pengaruh permintaan dan penawaran valas sehingga potensi variasi equilibrium exchange rate tidak terlalu besar. Contoh regulasi ini adalah pembatasan atas transaksi valas yang dilakukan bank-bank, membatasi saldo valas atau membatasi pinjaman untuk investasi. Potensi Kekurangan Valas Apabila terjadi kenaikan permintaan valas (misalnya peningkatan impor), maka domestic currency mengalami depresiasi dan terjadi kenaikan nilai tukar. Dalam kondisi ini bank sentral

harus mempertahankan nilai tukar valas dengan cara menjual valas sebesar kenaikan permintaannya. Potensi kelebihan Valas Apabila terjadi kenaikan penawaran valas (misalnya peningkatan ekspor), maka domestic currency mengalami apresiasi dan terjadi penurunan nilai tukar. Dalam kondisi ini bank sentral harus mempertahankan nilai tukar valas dengan cara membeli valas sebesar kenaikan penawarannya. EXCHANGE RATE DETERMINATION: MANAGED EXCHANGE RATE Sebagian besar bank sentral melakukan managed exchange rate di mana intervensi pasar dilakukan secara periodik dengan membeli atau menjual valas untuk mempengaruhi equilibrium exchange rate tetapi tidak menentukan nilai tukar tertentu terhadap domestic currency. Argumen Pendukung Intervensiy y y y

Mengurangi ketidakstabilan dalam nilai tukar; Mencegah/mengurangi inflasi; Meningkatkan daya saing; Untuk tujuan testing and smoothing (mengetahui trend dan menghilangkan fluktuasi)

Argumen Penentang Intervensiy y

Sulit untuk menetapkan kapan dan berapa besar intervensi yang harus dilakukan oleh bank sentral; Sulit untuk mnjalankan kebijakan moneter secara independen, karena selalu ada keterkaitan dengan kebijakan lainnya (moneter maupun fiskal).

PURCHASING POWER PARITY Menurut Shapiro (1996, 820) Purchasing power parity is the notion that the ratio between domestic and foreign price level should equal the equilibrium exchange rate between domestic and foreign currencies. Shapiro berusaha menjelaskan paritas daya beli merupakan persamaan yang menyatakan bahwa rasio antara tingkat harga domestik dan luar negeri seharusnya sama dengan tingkat ekuilibrium nilai tukar mata uang domestik dan luar negeri. Pada dasarnya, teori paritas daya beli adalah sebuah cara untuk meramalkan kurs keseimbangan, jika suatu negara mengalami ketidakseimbangan neraca pembayaran. Kurs keseimbangan adalah kurs yang akan menyeimbangkan nilai impor dan ekspor suatu negara (Salvatore, 1997, 43). Jadi jika nilai impor lebih besar daripada nilai ekspornya (defisit) maka mata uang negara tersebut akan mengalami depresiasi atau kursnya melemah.

Lebih lanjut, teori paritas daya beli mencoba untuk menjelaskan bahwa pergerakan kurs antara mata uang dua negara disebabkan oleh tingkat harga masing-masing negara. Dalam jangka panjang, tingkat harga domestik akan mempengaruhi pembentukan suatu kurs. Teori paritas daya beli memprediksikan bahwa kenaikan tingkat harga domestik mencerminkan adanya penurunan daya beli mata uang domestik. Penurunan daya beli mata uang tersebut akan diikuti dengan depresiasi mata uangnya. Demikian pula sebaliknya, kenaikan daya beli mata uang domestik mencerminkan terjadinya apresiasi mata uang tersebut secara proporsional dalam pasar valuta asing. Adanya depresiasi ataupun apresiasi mata uang yang proporsional ini menyebabkan terjadinya keseimbangan dalam perdagangan internasional. Jadi, suatu negara tidak akan mengalami kelebihan impor atau ekspor, dengan kata lain, nilai ekspor-impornya seimbang. Teori paritas daya beli memiliki dua versi yaitu versi absolut dan versi relatif. Teori paritas daya beli absolut mengatakan bahwa kurs ekuilibrium sama dengan rasio tingkat- tingkat harga yang berlaku di kedua negara yang terkait. Sedangkan versi relatifnya menyatakan bahwa perubahan kurs dalam jangka waktu tertentu akan bersifat proporsional atau sebanding besarannya terhadap perubahan tingkat-tingkat harga yang berlaku di kedua negara selama periode yang sama. Jadi, paritas daya beli relatif mengubah versi absolutnya, dari sebuah pernyataan mengenai tingkatan harga dan kurs menjadi perubahan harga dan perubahan kurs (Salvatore, 1997:126). Karena banyaknya kelemahan-kelemahan yang disebabkan asumsi-asumsi yang tidak realistis dalam versi absolut teori paritas daya beli, maka terbentuklah versi relatifnya. Rumusan paritas daya beli versi relatif ini adalah : Berbagai pengujian empiris membuktikan bahwa versi relatif teori paritas daya beli dapat memberikan perkiraan yang cukup baik dalam jangka panjang dan dalam berbagai kasus terjadinya gangguan moneter murni, seperti lonjakan inflasi dan sebagainya (Salvatore, 1997:133). Namun tidak dapat disangkal, dibalik manfaat-manfaat yang dapat diperoleh, teori paritas daya beli versi relatif masih memiliki beberapa kelemahan. Ada beberapa kelemahan di dalam teori paritas daya beli ini. Menurut Madura, dua hal utama yang menyebabkan teori paritas daya beli ini tidak konsisten adalah adanya faktor-faktor lain sebagai pembentuk kurs dan tidak adanya barang pengganti (substitute goods) (Madura, 1997:238). Sedangkan menurut Salvatore (1997:137-139), ada beberapa hal yang dapat melemahkan konsep paritas daya beli, pertama, asumsi hukum satu harga yang tidak memperhitungkan adanya biayabiaya transportasi dan hambatan perdagangan seperti tarif dan sebagainya. Kedua, adanya pasar monopolistik dan oligopolistik akan semakin melemahkan hukum satu harga ini. Apalagi bila hal tersebut diikut besarnya biaya transportasi dan hambatan perdagangan. Ketiga, adanya barang dan jasa yang tidak dapat diperdagangkan secara internasional yang akan mempengaruhi pembentukan indeks harga umum tiap-tiap negara dan keempat, jenis komoditi acuan yang

digunakan tiap-tiap negara untuk menghitung tingkat inflasinya berbeda-beda. Hal ini disebabkan karena preferensi akan konsumsi masing-masing negara berbeda-beda. Namun, kenaikan tersebut belum tentu dialami oleh negara lain yang tidak menjadikan beras sebagai komoditi acuannya.

BAB II PEMBAHASAN

A. KONDISI EXCHANGE RATE TAHUN 2006 Sepanjang 2006 nilai tukar rupiah secara umum mengalami penguatan terhadap dolar disertai pergerakan yang lebih stabil dibandingkan tahun sebelumnya. Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh kondisi fundamental makroekonomi yang membaik, daya tarik investasi keuangan di dalam negeri yang terjaga, serta perkembangan ekonomi global yang relatif lebih kondusif. Dengan kebijakan moneter dan fiskal yang dijalankan secara konsisten dan berhatihati, nilai tukar rupiah dapat bergerak stabil meskipun menghadapi harga minyak dan suku bunga global yang masih terus meningkat selama paro pertama 2006, serta munculnya tekanan regional pada penghujung 2006.

Nilai tukar rupiah pada 2006 secara umum cenderung menguat dengan volatilitas yang menurun. Nilai tukar rupiah terhadap dolar menguat 9,3%1 dari Rp9.831 per dolar pada akhir 2005 menjadi Rp8.995 per dolar pada akhir 2006. Secara rata-rata rupiah juga menguat sebesar 6,0% dari Rp9.713 per dolar menjadi Rp9.167 per dolar (Grafik 4.1). Perkembangan nilai tukar rupiah selama 2006 juga lebih stabil dibandingkan tahun sebelumnya, tercermin dari tingkat volatilitas yang menurun dari 4,2% pada 2005 menjadi 3,9%2 (Grafik 4.2). Terpeliharanya kestabilan nilai tukar rupiah selama 2006 ditopang kondisi ekonomi global yang secara umum lebih kondusif dan membaiknya fundamental makroekonomi yang didukung kebijakan moneter yang konsisten dalam mencapai sasaran inflasi serta kebijakan fiskal yang berhati-hati. Perbaikan kinerja perekonomian makro khususnya menguatnya neraca pembayaran Indonesia (NPI) mencerminkan membaiknya kondisi keseimbangan pasokan dan permintaan valuta asing. Pasokan valuta asing mengalami peningkatan signifikan seiring dengan ekspor yang tumbuh pesat dan aliran masuk modal portofolio asing ke pasar keuangan yang terus bertambah selama 2006. Di pihak lain, permintaan valuta asing cenderung menurun searah dengan melemahnya kegiatan impor yang disebabkan oleh melambatnya permintaan terutama pada paro pertama 2006.

Perkembangan nilai tukar rupiah ditandai dengan penguatan hampir di sepanjang paro pertama 2006, pelemahan pada pertengahan Mei-Juni, dan selanjutnya bergerak stabil hingga akhir tahun. Sejak Januari hingga awal Mei 2006, nilai tukar rupiah menguat terhadap dolar hingga mencapai level Rp8.722 per dolar, atau menguat 11,3% dibanding akhir 2005. Penguatan rupiah dalam periode tersebut disebabkan meningkatnya pasokan di pasar valuta asing dibanding permintaannya (excess supply). Pasokan valuta asing meningkat signifikan terutama bersumber dari aliran masuk modal portofolio asing ke pasar keuangan di dalam negeri. Dalam kurun waktu yang sama, permintaan valuta asing cenderung merosot akibat melemahnya kegiatan impor seiring dengan menurunnya kegiatan ekonomi, sebagai dampak lanjutan kenaikan harga BBM pada Oktober 2005. Namun, rupiah sempat melemah pada pertengahan Mei 2006 hingga mencapai Rp9.288 per dolar, dipicu oleh perubahan ekspektasi kenaikan suku bunga Federal Reserve yang lebih besar dari perkiraan semula. Hal ini mendorong investor asing menarik investasi portofolionya dari Indonesia. Meskipun demikian, tekanan pelemahan terhadap rupiah dalam waktu singkat mereda, didukung keyakinan pasar terhadap pengelolaan kebijakan makroekonomi Indonesia yang cukup berhatihati serta melemahnya ekspektasi keyakinan pelaku pasar terhadap kenaikan suku bunga Federal Reserve (Fedres). Selanjutnya, sampai akhir 2006 nilai tukar rupiah bergerak relatif stabil dan mencapai level Rp8.995 per dolar.

FAKTOR YANG MEMPENGARUHI Kestabilan nilai tukar rupiah selama 2006 didukung kondisi eksternal yang lebih kondusif dan fundamental ekonomi domestik yang membaik. Dari sisi eksternal, perkembangan nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh masih melimpahnya likuiditas di pasar keuangan global dan kecenderungan pelemahan mata uang dolar terhadap mata uang dunia terutama Asia. Besarnya likuiditas global bersumber dari global saving yang terus meningkat seiring dengan membesarnya surplus transaksi berjalan yang dialami negara-negara pengekspor minyak dan beberapa negara emerging markets di Asia. Likuiditas global terutama mengalir ke negaranegara emerging markets, termasuk Indonesia, yang memiliki prospek pertumbuhan ekonomi dan pengelolaan kebijakan makro yang semakin baik, serta ditopang imbal hasil penanaman dana di pasar finansial yang lebih menarik. Sementara itu, kecenderungan pelemahan dolar merupakan konsekuensi dari proses penyesuaian terhadap ketidakseimbangan ekonomi global, terutama terkait dengan membesarnya defisit neraca transaksi berjalan AS dan surplus neraca transaksi berjalan negara-negara Asia. Secara umum, nilai tukar dolar melemah, terutama terhadap beberapa mata uang Asia, yang pada gilirannya memberikan dampak rambatan ke nilai tukar rupiah (Grafik 4.3 dan 4.4). Dolar cenderung semakin melemah seiring dengan menguatnya ekspektasi berakhirnya siklus kebijakan moneter ketat oleh Federal Reserve. Ekspektasi tersebut terwujud sejak Agustus 2006 pada saat Federal Reserve mempertahankan suku bunga di level 5,25% sampai akhir 2006 akibat indikasi pelemahan kegiatan ekonomi pada sektor perumahan di AS.

Meskipun demikian, beberapa perkembangan dalam perekonomian global sempat menekan rupiah. Perubahan ekspektasi arah suku bunga di AS pada Mei 2006 yang lebih besar dari perkiraan semula dan dampak regional dari langkah pembatasan aliran modal jangka pendek oleh Bank of Thailand sempat menimbulkan kejutan di pasar finansial dalam negeri. Ekspektasi berlanjutnya peningkatan suku bunga yang lebih besar di AS terutama dipicu indikasi tekanan inflasi yang meningkat3 , sehingga membalikkan pandangan semula yang memperkirakan siklus pengetatan kebijakan moneter oleh Federal Reserve berakhir pada pertengahan 2006. Perubahan pandangan tersebut memicu penarikan modal portofolio dari sejumlah emerging markets, termasuk Indonesia, sehingga turut menimbulkan tekanan depresiasi terhadap mata uang domestik. Namun, pelemahan rupiah tidak berlangsung lama. Rupiah kembali stabil didukung keyakinan kuat pelaku pasar terhadap ketahanan makroekonomi Indonesia yang semakin baik dan meredanya ekspektasi kenaikan suku bunga di AS. Tekanan terhadap rupiah kembali muncul di penghujung 2006 menyusul kebijakan yang diambil Bank of Thailand untuk membatasi aliran masuk modal jangka pendek. Investor asing mengkhawatirkan langkah Thailand akan diikuti oleh bank sentral lainnya di kawasan regional. Namun, kejutan dalam skala regional ini berdampak minimal terhadap nilai tukar rupiah. Dalam kaitan itu, Pemerintah dan Bank Indonesia senantiasa meyakinkan pasar mengenai pentingnya menjaga konsistensi kebijakan dan komitmen dalam memelihara kestabilan makro sebagai landasan pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dan berkesinambungan.

Fundamental makroekonomi yang semakin baik menjadi pilar utama penopang terpeliharanya kestabilan nilai tukar rupiah. Membaiknya fundamental makroekonomi terutama tercermin dari kinerja neraca pembayaran yang semakin kuat, tingkat inflasi yang berangsur menurun, serta defisit fiskal yang terjaga rendah. Perkembangan ini tidak terlepas dari sinergi antara kebijakan moneter dan fiskal yang dijalankan secara konsisten dan berhati-hati selama 2006. Dengan pengelolaan kebijakan makroekonomi yang semakin baik, kepercayaan masyarakat baik domestik maupun internasional terhadap rupiah pun semakin menguat, meskipun harga minyak dunia dan suku bunga global terus bergerak naik. Hal ini berdampak positif terhadap kestabilan makro secara keseluruhan sehingga membuka ruang bagi penguatan pertumbuhan ekonomi sekaligus menumbuhkan optimisme terhadap prospek ekonomi, yang pada gilirannya semakin memperkuat kepercayaan terhadap rupiah. Sejalan dengan membaiknya fundamental makroekonomi, faktor risiko investasi di pasar keuangan Indonesia membaik. Perkembangan fundamental makroekonomi juga berdampak positif terhadap penurunan risiko investasi pada instrumen keuangan rupiah. Beberapa indikator risiko menunjukkan perkembangan yang membaik selama 2006 sebagaimana tercermin pada peningkatan peringkat (rating) Indonesia oleh beberapa lembaga pemeringkat internasional, peningkatan country risk index, penurunan yield spread antara global bond Indonesia dan US Treasury Notes dan penurunan premi swap. Pada Mei 2006 Moody s meningkatkan rating Indonesia satu tingkat dari B2+ menjadi B1. Selanjutnya, pada Juli 2006 Standard and Poor s dan pada September 2006 Japan Credit Rating Agency meningkatkan rating Indonesia dari B+ menjadi BB-. Demikian pula, indikator risiko dalam bentuk country risk index5, yield spread, dan premi swap menunjukkan perbaikan secara gradual. Indeks risiko Indonesia selama 2006 membaik secara gradual dari 65,5 menjadi 68 (Grafik 4.5). Yield spread antara global bond Indonesia dan US Treasury Notes menurun cukup signifikan selama 2006, yaitu dari 2,4% menjadi 1,3% (Grafik 4.6) yang merupakanspread terbaik yang pernah dicapai. Premi swap juga menurun signifikan, dari sekitar 10% pada akhir 2005 menjadi sekitar 3,7% pada akhir 2006 (Grafik 4.7).

Imbal hasil investasi di pasar keuangan domestik selama 2006 dapat dijaga meskipun perkembangan BI Rate secara bertahap menurun. Terjaganya imbal hasil investasi tercermin dari tingginya imbal hasil rupiah dibandingkan dengan imbal hasil investasi keuangan di negaranegara kawasan. Di pasar saham, daya tarik imbal hasil ditopang oleh perbaikan prospek perekonomian sebagaimana tercermin dari naiknya indeks harga saham selama 2006 sebesar 55,3%. Sementara itu, imbal hasil investasi rupiah dalam bentuk suku bunga (direpresentasikan oleh selisih suku bunga dalam dan luar negeri6 masih merupakan yang tertinggi di kawasan, meskipun cenderung menurun (Grafik 4.8). Sebagaimana imbal hasil suku bunga, investasi pada obligasi rupiah juga memberikan imbal hasil (selisih yield obligasi domestik dan US T-Notes) yang lebih tinggi dibanding obligasi negara kawasan (Grafik 4.9). Kepercayaan terhadap fundamental makroekonomi yang membaik, imbal hasil investasi rupiah yang cukup tinggi, serta perbaikan faktor risiko, menyebabkan investasi keuangan di Indonesia semakin menarik bagi investor global. Hal ini tercermin dari akumulasi instrumen keuangan oleh investor global yang terus meningkat selama 2006.

Terjaganya kestabilan nilai tukar rupiah, dengan kecenderungan menguat selama 2006, didukung meningkatnya surplus neraca pembayaran. Pada 2006 surplus neraca pembayaran mencapai $15,0 miliar, jauh lebih besar dari tahun sebelumnya yang hanya $444 juta7 . Kenaikan surplus disebabkan lebih besarnya devisa hasil ekspor nonmigas yang mencapai $80,6 miliar, daripada kebutuhan devisa untuk impor nonmigas yang mencapai $62,3 miliar. Dengan demikian, terdapat surplus $18,3 miliar yang mencerminkan potensi kelebihan pasokan valuta asing dari transaksi perdagangan nonmigas. Surplus neraca pembayaran 2006 juga bersumber dari lalu lintas modal portofolio yang mencatat surplus $3,8 miliar. Sejalan dengan membesarnya surplus neraca pembayaran, cadangan devisa terus meningkat mencapai $42,6 miliar pada akhir 2006 sehingga turut memperkuat kepercayaan pasar terhadap nilai tukar rupiah (Grafik 4.10).

TRANSAKSI DI PASAR VALUTA ASING Kegiatan transaksi di pasar valuta asing secara umum meningkat terutama ditopang meningkatnya volume transaksi spot. Meningkatnya transaksi di pasar valuta asing tercermin pada peningkatan volume transaksi spot, meskipun volume transaksi forward dan swap cenderung menurun. Total volume transaksi valuta asing di pasar spot selama 2006 mencapai $391 miliar, meningkat 26% dibanding tahun sebelumnya yang mencapai $310 miliar (Grafik 4.11). Sementara itu, struktur pasar spot relatif tidak mengalami perubahan. Transaksi spot masih didominasi oleh pertukaran antara dolar dan rupiah, yakni dengan pangsa mencapai 76% dari total transaksi spot atau tidak berubah banyak dibanding 2005. Selain itu, perbandingan volume transaksi berdasarkan kelompok pelakunya juga relatif tidak berubah banyak, yaitu transaksi nasabah dalam negeri sebesar 35,8% dari total volume transaksi, nasabah luar negeri sebesar 34,6%, dan antar bank sebesar 29,6%.

Berbeda dengan transaksi spot, selama 2006 transaksi forward dan swap menurun dibanding tahun sebelumnya. Volume transaksi forward selama 2006 sebesar $23,4 miliar, menurun sekitar 13,6% dibanding 2005 yang mencapai $27,1 miliar. Sementara itu, volume transaksi swap menurun cukup signifikan 32,7%(yoy), menjadi $132 miliar. Penurunan volume transaksi tersebut antara lain disebabkan oleh pembatasan transaksi derivatif yang diberlakukan sejak Juli 20058. Kondisi ini menjadikan pangsa transaksi forward dan swap terhadap total transaksi menurun (Grafik 4.12). Meskipun demikian, penurunan tersebut terutama terjadi pada transaksi yang bersifat spekulatif, diindikasikan oleh penurunan transaksi swap jangka pendek (1-5 hari), sehingga secara umum berpengaruh positif terhadap nilai tukar rupiah.

Pasar valuta asing secara keseluruhan mengalami kelebihan pasokan, berbeda dengan tahun sebelumnya yang mengalami kelebihan permintaan. Sejalan dengan kinerja neraca

pembayaran 2006 yang mencerminkan potensi kelebihan pasokan (potential supply) valuta asing, pasar valuta asing juga mengalami kelebihan pasokan (effective supply) valuta asing, mencapai $181 juta. Pada tahun sebelumnya pasar valuta asing justru mengalami kelebihan permintaan sebesar $4,2 miliar (Grafik 4.13)9 . Berdasarkan karakteristiknya, kelebihan pasokan valuta asing bersumber dari pelaku luar negeri yang mencatat kelebihan pasokan valuta asing sebesar $4,3 miliar. Sementara pelaku dalam negeri mengalami kelebihan permintaan valuta asing sebesar $4,2 miliar. Sejalan dengan meningkatnya aliran devisa dari pelaku luar negeri, penempatan investor asing pada beberapa instrumen keuangan rupiah juga meningkat signifikan. Selama 2006 penempatan modal portofolio asing dalam SUN mencapai Rp23,8 triliun atau $2,9 miliar, sehingga dengan penambahan tersebut kepemilikan asing pada SUN meningkat mencapai Rp54,9 triliun atau $6,1 miliar (Grafik 4.14). Penempatan pada SBI hanya sebesar Rp3,3 triliun atau $509 juta, sehingga total kepemilikan asing pada SBI meningkat menjadi Rp18,1 triliun atau $2,0 miliar. Sementara itu, penempatan investor asing pada saham juga meningkat sekitar Rp17,6 triliun atau $1,9 miliar. Besarnya aliran investasi asing ke saham mendorong indeks harga saham gabungan meningkat 55,3% dari level 1163 menjadi 1806 pada akhir 2006. KEBIJAKAN YANG DITEMPUH Perkembangan nilai tukar rupiah selama 2006 yang bergerak cukup stabil tidak terlepas dari berbagai kebijakan yang ditempuh oleh Bank Indonesia dan Pemerintah. Dari sudut kebijakan makroekonomi, terpeliharanya kestabilan nilai tukar didukung oleh konsistensi kebijakan moneter 2006 yang diarahkan pada pencapaian sasaran inflasi dan komitmen kebijakan fiskal terhadap pencapaian keseimbangan dan stimulus fiskal. Bauran antara kebijakan moneter dan fiskal (policy mix) yang senantiasa diselaraskan melalui peningkatan kualitas koordinasi telah menjadi landasan bagi penguatan kredibilitas pengelolaan kebijakan makro sehingga meningkatkan kepercayaan terhadap rupiah. Sejalan dengan sistem nilai tukar fleksibel yang dianut, nilai tukar rupiah dapat bergerak sejalan dengan mekanisme pasar, sebagai cerminan dari proses penyesuaian menuju keseimbangan, baik keseimbangan internal maupun eksternal, tanpa perlu mengarahkan pergerakan nilai tukar pada level tertentu. Kendati demikian, Bank Indonesia dengan instrumen moneter yang tersedia berupaya menjaga agar dalam menuju keseimbangan fundamental tersebut, nilai tukar dapat bergerak stabil tanpa disertai dengan fluktuasi yang berlebihan. Kestabilan nilai tukar rupiah sangat penting dan perlu dijaga, tidak hanya untuk mendukung pencapaian sasaran inflasi, tetapi juga untuk menumbuhkan kepastian usaha yang diperlukan bagi sehatnya kegiatan perekonomian (Boks: Tantangan Kebijakan Moneter dalam Small Open Economy ). Selain melalui instrumen moneter, upaya untuk memelihara kestabilan nilai tukar rupiah juga didukung oleh berlanjutnya implementasi beberapa peraturan (PBI) yang digulirkan pada 2005, terutama untuk meminimalkan transaksi spekulatif (Boks: Evaluasi Paket Kebijakan Stabilisasi Nilai Tukar Rupiah 2005). Secara umum kebijakan-kebijakan tersebut berhasil meminimalkan kegiatan transaksi valuta asing yang bersifat spekulatif sehingga turut berdampak positif terhadap menurunnya tingkat volatilitas nilai tukar. Dalam pelaksanaannya, penegakan kepatuhan (law enforcement) terhadap peraturan-peraturan tersebut disertai dengan upaya meningkatkan kehandalan sistem monitoring transaksi devisa, serta pengawasan yang dilakukan baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap sektor perbankan. Selain itu, dalam upaya mendeteksi kemungkinan terjadinya tekanan terhadap nilai tukar rupiah, Bank Indonesia juga mengembangkan model Early Warning System (EWS). Satu hal yang tidak kalah penting adalah

upaya Bank Indonesia dan Pemerintah yang secara berkala melakukan diseminasi kebijakan untuk meyakinkan pelaku pasar mengenai komitmennya dalam menjaga konsistensi kebijakan makro dan mengendalikan kestabilan makro.

B. STABILITAS NILAI TUKAR RUPIAH TAHUN 2007 Nilai tukar rupiah merupakan salah satu bagian dari asumsi makro ekonomi yang diyakini akan mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2007. Asumsi-asumsi yang digunakan dalam APBN 2007: GDP 3,531.1 triliun, Pertumbuhan ekonomi 6.3%, Inflasi 6.5%, 3-mo SBI 8.5%, Rp/USD 9,300, Harga minyak USD 65.0/barrel, Produksi minyak 1,000,000.00. Dari asumsi-asumsi diatas, didapatkan bahwa, dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 6.3% dapat dicapai dengan salah satunya adalah mempertahankan nilai tukar rupiah terhadap dolar sebesar Rp. 9,300 (rata-rata) sepanjang tahun 2007. Perkiraan Nilai Tukar Rupiah Riil (rata-rata) Tahun 2007 Stabilitas nilai tukar mata uang rupiah sepanjang tahun 2007 akan dipengaruhi oleh beberapa faktor untuk jangka panjang: 1. Kinerja ekspor, 2. Kewajiban pemerintah Indonesia terhadap luar negeri, termasuk juga pembayaran bunga hutang dan principalnya, 3. Inflasi dan harga minyak mentah dunia. Sedangkan untuk jangka pendek, nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh permintaan valuta asing oleh pelaku ekonomi termasuk fluktuasi valuta asing akibat stabilitas keamanan dalam negeri dan penegakan hukum. Kinerja ekspor Nilai ekspor Indonesia di tahun 2005 sekitar Rp. 936 triliun dan meningkat menjadi Rp. 1,030.8 triliun pada tahun 2006 merupakan faktor yang menentukan dalam menentukan stabilitas nilai tukar (berdasarkan harga berlaku) atau meningkat 9.2% dari tahun 2005. Peningkatan nilai ekspor pada tahun 2006 memang memberikan kontribusi sekitar 4.1% (ekspor barang dan jasa) untuk peningkatan PDB 2006, diikuti oleh konsumsi rumah tangga 1.9%, konsumsi pemerintah 0.7%, dan pembentukan modal tetap bruto sebesar 0.7% serta pengaruh impor 2.8%. Peningkatan ekspor Indonesia pada tahun 2006 sebesar 9.2% dari tahun sebelumnya atau senilai Rp. 1,030.8 triliun merupakan prestasi yang sangat menggembirakan karena telah menembus level psikologis USD 100 miliar, walau peningkatan tersebut lebih karena peningkatan harga komoditas ekspor di pasar dunia seperti minyak sawit mentah, batu bara, timah, nikel, dan lainnya atau dengan kata lain bahwa kenaikan nilai ekspor Indonesia tahun 2006 lebih banyak didominasi oleh perdagangan produk primer yang tidak diolah dulu di dalam negeri.

Pengamat ekonomi Hendrawan Supratikno berpendapat kondisi tersebut tidak memberikan nilai tambah dan multiplier efek seperti penyerapan tenaga kerja, karena industri dalam negeri belum mampu mengolah produk primer tersebut ke dalam bentuk produk turunannya. Namun walau demikian, dengan trend meningkatnya nilai ekspor Indonesia dari tahun ke tahun memberikan sedikit gambaran kemungkinan nilai ekspor Indonesia sepanjang tahun 2007 akan meningkat atau dipertahankan. Banyak transaksi ekspor yang menggunakan mata uang dolar amerika, maka meningkatnya nilai ekspor diharapkan akan terjadi penguatan nilai tukar rupiah terutama terhadap dolar amerika atau minimal mempertahankan tingkat nilai tukar rupiah di level aman. Gambaran diatas memberikan gambaran bahwa nilai ekspor Indonesia pada bulan Januari 2007 adalah senilai USD 8.35 milliar atau meningkat 10.52% dari bulan Januari 2006, serta bulan Februari 2007 senilai USD 8.32 milliar atau meningkat 12.43% dibanding bulan Februari 2007. Sehingga jika trend ini dapat dipertahankan, bukan tidak mungkin nilai ekspor Indonesia mampu kembali menembus USD 100 milliar sepanjang tahun 2007. Kewajiban pemerintah RI tahun 2007. Total kewajiban pemerintah RI dalam bentuk pembayaran bunga hutang dalam dan luar negeri adalah sekitar Rp. 85.1 triliun untuk tahun 2007 yang terdiri dari Rp. 58.4 triliun untuk pembayaran hutang dalam negeri dan sekitar 26.6 triliun untuk bunga hutang luar negeri. Sementara itu total pembayaran bunga hutang (dalam dan luar negeri tahun 2006 adalah 83,464.9 miliar rupiah atau sekitar 83.5 triliun). Jika dibanding terhadap Produk Domestik Bruto tahun 2006, maka pembayaran bunga hutang luar negeri adalah (83.4/3,122) triliun atau sekitar 2.7% dari PDB 2006. Yang pembagiannya adalah 30% (sekitar 25 triliun) untuk pembayaran bunga hutang luar negeri dan sekitar 70% untuk pembayaran hutang dalam negeri. Sedangkan untuk APBN 2007, persentase pembayaran bunga hutang adalah 2.4% (85.1 triliun/3,531 triliun) terhadap PDB 2007, hal ini memperlihatkan bahwa pembayaran hutang dalam APBN 2007 menurun sekitar 0.3% dibawah tahun sebelumnya. Cicilan pokok hutang luar negeri sendiri sekitar Rp. 54.8 triliun (2007) atau hanya hanya meningkat 0.2 triliun (atau sekitar 200 miliar) dari Rp. 54.6 triliun di tahun 2006. Jika dlihat terhadap PDB 2006, maka persentase pembayaran cicilan pokok hutang luar negeri adalah 1.7% (54.6 triliun/3,122 triliun) serta tahun 2007 adalah sekitar 1.5% (54.8 triliun/3,531 triliun). Hal ini berarti penurunan sekitar 0.2% ditahun 2007 dibanding tahun 2006.

Mengingat bahwa pembayaran hutang luar negeri 2007 (bunga hutang dan cicilan pokok) tidak terlalu jauh berbeda dengan tahun 2006 sehingga diperkirakan tidak akan memicu permintaan terhadap mata uang asing yang berlebihan untuk membayar bunga hutang luar negeri. Hal ini tercermin dari nilai tukar rupiah pada tahun 2006 bergerak pada level USD1 sebesar Rp. 9,000 9,200, walau asumsi APBN 2006 nilai tukar rupiah terhadap USD dipatok pada kisaran 9,900 (kemudian di revisi pada APBNP USD 1 = Rp 9,300). Yang berarti bahwa pemerintah RI tetap mempertahankan posisi pembayaran bunga hutang dan cicilan pokoknya di level yang aman (walau secara nominal meningkat ditahun 2007, namun secara persentase jelas terlihat menurun dibanding tahun 2006) dengan harapan bahwa permintaan akan mata uang asing juga tidak meningkat tajam. Persentase yang berkurang dari tahun 2006 ke tahun 2007 juga berkaitan dengan berkurangnya nilai hutang luar negeri Indonesia, jika dilihat dari ratio hutang luar negeri Indonesia terhadap PDB yang saat ini mencapai 40% dan diharapkan mencapai batas yang cukup aman yaitu 30% pada tahun 2009. Inflasi dan harga minyak mentah dunia Inflasi yang terjadi Januari sampai Maret 2007 (tahun kalender) sebesar 1.91% karena kenaikan harga dari kenaikan indeks semua kelompok barang dan jasa sebagai berikut: bahan makan, makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau, perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar serta lainnya. Untuk laju inflasi year on year (Maret 2007 terhadap Maret 2006) adalah sebesar 6.52%, dimana terlihat bahwa target pemerintah untuk mempertahankan inflasi pada level 6.5% sepanjang tahun 2007 akan mengalami perjalanan yang berat. Hal lain yang mempengaruhi inflasi adalah harga minyak mentah dunia. Pada akhir Maret 2007, harga minyak mentah dunia meningkat sampai level USD 68 per barrel, kenaikan ini disebabkan ketegangan antara Amerika Serikat dan Iran. Kekhawatiran ini menyamgkut kemungkinan hilangnya pasokan minyak Iran sekitar 2.2 juta barel per hari. Di Indonesia juga telah terjadi kenaikan harga BBM industri dan pertamax sekitar 17.4%, yang kemungkinan besar akan membuat inflasi bertambah seiring dengan naiknya harga barang-barang industri. Walau banyak pengamat ekonomi meramalkan bahwa nilai minyak mentah dunia akan mencapai level USD70 per barel, namun hal ini akan diperlambat dengan datangnya musim kemarau dan menghangatnya temperatur terutama di Amerika, Jepang, Korea dan Cina. Hal lain yang akan meghambat naiknya harga minyak dunia adalah cenderung menguatnya stok minyak mentah komersial Amerika dan keputusan OPEC untuk tidak mengurangi produksi minyak mentahnya.

Inflasi yang berlebihan akan memicu perlemahan nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing terutama dolar amerika. Jika selisih inflasi US dengan RI di tahun 2007 melebihi selisih inflasi di tahun 2006, maka dapat dipastikan bahwa nilai tukar rupiah akan mengalami perlemahan. Permintaan valuta asing oleh pelaku ekonomi. Permintaan valuta asing terutama dalam bentuk dolar amerika juga mempengaruhi stabilitas nilai tukar rupiah. Hal ini dikarenakan mata uang dolar biasanya digunakan oleh pihak swasta untuk membayar hutang terhadap pihak dalam negeri ataupun luar negeri. Selain itu juga banyak pihak yang mengkhawatirkan inflasi dapat memicu permintaan valuta asing di dalam negeri. Hal ini perlu diantisipasi, terutama dengan investasi dan stabilitas keamanan. Dimana kedua hal tersebut dapat mencegah permintaan mata uang asing atau mengakibatkan keluarnya FDI dari Indonesia. Stabilitas keamanan dalam negeri dan penegakan hukum juga memainkan peranan penting dalam menjamin masuknya FDI ke Indonesia untuk memutar roda ekonomi Indonesia. Hal ini memerlukan iklim investasi yang menarik termasuk kemungkinan insentif yang diberikan bagi investor yang masuk. Namun hal lain yang penting juga adalah penegakan hukum termasuk didalamnya UU Investasi dan jaminan keamanan bagi MNC untuk beroperasi di Indonesia. Dari paparan diatas, dapat ditarik benang merah yang menarik tentang faktor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar rupiah selama tahun 2007 akan saling ketergantungan. Nilai tukar rupiah berdasarkan APBN 2007 sebesar Rp. 9,300 merupakan nilai tukar yang cukup riil dan aman dilihat dari beberapa sudut. Hal ini disebabkan beberapa hal, nilai inflasi Indonesia sudah hampir mencapai 2% untuk bulan Januari Maret 2007 namun naiknya harga minyak mentah dunia dapat menicu inflasi ke tingkat yang lebih tinggi dari perkiraan sebelumnya. Namun nilai tukar diharapkan dapat dipertahankan dengan meningkatkan nilai ekspor yang cukup tinggi sehingga nilai tukar tidak terlalu fluktuatif. Untuk kewajiban pemerintah terhadap pembayaran luar negeri juga pada level yang aman karena ratio hutang Indonesia yang cukup aman serta permintaan valuta asing oleh pelaku ekonomi yang rendah karena pada tahun 2007 tidak ada peristiwa yang cukup penting baik politik atau keamanan yang dapat memicu permintaan valuta asing dalam jangka pendek termasuk masih jauh dari masa pemilu nasional. Sepanjang tahun 2007 nilai tukar rupiah bergerak stabil dan secara rata-rata menguat dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Kestabilan nilai tukar rupiah tersebut didukung oleh kondisi fundamental makroekonomi domestik yang semakin membaik di tengah perkembangan ekonomi dan pasar keuangan global yang bergejolak. Krisis sektor perumahan di Amerika

Serikat (subprime mortgage) yang meluas dalam skala global disertai kenaikan harga minyak selama paruh kedua tahun 2007 sempat menimbulkan tekanan depresiasi terhadap nilai tukar rupiah. Namun, dengan kebijakan moneter dan fiskal yang ditempuh secara hati-hati dan konsisten disertai langkah kebijakan stabilisasi nilai tukar yang berhati-hati, tekanan tersebut dapat diminimalkan sehingga secara keseluruhan tahun kestabilan nilai tukar rupiah tetap terjaga.

Perkembangan nilai tukar rupiah pada tahun 2007 secara umum stabil dengan kecenderungan menguat disertai volatilitas yang menurun. Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS secara rata-rata menguat 0,3% dari Rp9.167/$ pada tahun 2006 menjadi Rp9.140/$ (Grafik 4.1). Kestabilan nilai tukar rupiah juga tercermin pada volatilitasnya yang menurun dari 3,9% pada tahun 2006 menjadi 1,4%1 (Grafik 4.2), Meskipun demikian, secara point to point rupiah melemah 4,2% dari Rp8.995/$ pada akhir tahun 2006 menjadi Rp9.393/$ pada akhir tahun 2007 terutama disebabkan oleh tekanan eksternal pada paruh kedua tahun 2007. Perkembangan nilai tukar rupiah yang stabil, di tengah perkembangan ekonomi dan pasar keuangan global yang kurang menguntungkan, ditopang oleh semakin membaiknya kepercayaan masyarakat, baik domestik maupun internasional, terhadap perekonomian Indonesia serta tingginya imbal hasil di pasar keuangan domestik. Nilai tukar rupiah sempat tertekan pada paruh kedua tahun 2007 terutama akibat dampak krisis di Amerika Serikat (AS) yang meluas dalam skala global (Boks: Dampak Krisis Subprime Mortgage terhadap Pasar Keuangan Indonesia) dan meningkatnya harga minyak dunia secara signifikan. Meskipun demikian, kebijakan moneter dan fiskal yang tetap ditempuh secara hati-hati dan konsisten, serta langkah Bank Indonesia dalam stabilisasi nilai tukar mampu menahan pelemahan nilai tukar rupiah lebih lanjut.

Pada paruh pertama tahun 2007 nilai tukar rupiah cenderung menguat dipengaruhi peningkatan arus masuk modal portofolio asing ke pasar keuangan. Meningkatnya arus masuk modal portofolio ditopang oleh kondisi fundamental makroekonomi yang semakin membaik sebagaimana tercermin pada meningkatnya surplus neraca pembayaran, menurunnya laju inflasi, meningkatnya pertumbuhan ekonomi, dan terjaganya kesinambungan fiskal. Perkembangan tersebut tidak terlepas dari hasil pengelolaan kebijakan makroekonomi yang ditempuh secara hati-hati dan konsisten sehingga semakin mempertebal kepercayaan masyarakat, baik internasional maupun domestik, terhadap rupiah. Selain itu, di tengah tingginya ekses likuiditas di pasar keuangan global, imbal hasil di pasar keuangan domestik yang tinggi juga turut menarik arus modal portofolio asing tersebut. Seiring dengan perkembangan tersebut rupiah terapresiasi dan mencapai nilai terkuat pada Mei 2007 dengan rata-rata bulanan sebesar Rp8.838/$. Namun pada paruh kedua tahun 2007, risiko global meningkat sehingga memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Krisis subprime mortgage di AS menimbulkan gejolak di pasar keuangan

global sehingga mendorong investor global menghindari aset-aset yang dipandang lebih berisiko termasuk aset-aset emerging markets. Perkembangan tersebut juga memicu pembalikan arus investasi portofolio asing (capital reversal) di pasar keuangan domestik sehingga menimbulkan tekanan terhadap rupiah. Sementara itu, kenaikan harga minyak dunia menyebabkan kebutuhan valuta asing untuk impor minyak meningkat. Berbagai perkembangan tersebut mengakibatkan rupiah pada paruh kedua tahun 2007 secara umum terdepresiasi dan mencapai nilai terlemah pada Agustus 2007 dengan rata-rata bulanan sebesar Rp9.372/$. Dengan demikian, berdasarkan dinamikanya, nilai tukar rupiah bergerak menguat pada paruh pertama tahun 2007 dan selanjutnya cenderung berfluktuasi pada paruh kedua tahun 2007 (Grafik 4.2).

Faktor yang Memengaruhi Nilai Tukar Faktor Domestik

Kondisi fundamental makroekonomi domestik tetap kondusif dalam mendukung kestabilan nilai tukar rupiah. Berlanjutnya kesinambungan pertumbuhan ekonomi domestik selama tahun 2007, perkembangan inflasi yang secara umum terkendali menuju sasaran yang ditetapkan, serta pengelolaan kebijakan makroekonomi yang tetap konsisten dan hati-hati telah mempertebal kepercayaan pasar terhadap rupiah. Di tengah rangkaian kejutan eksternal, pertumbuhan ekonomi pada tahun 2007 mencapai 6,3% dan tingkat inflasi mencapai 6,59%, sementara kondisi fiskal tetap sustainable. Di samping itu, kinerja transaksi berjalan (NPI) pada tahun 2007 juga mencatat surplus yang cukup besar dengan cadangan devisa yang meningkat signifikan. Kondisi fundamental ekonomi yang terjaga tersebut berdampak positif dalam mempertahankan kepercayaan investor asing terhadap kondisi dan prospek ekonomi Indonesia di tengah gejolak eksternal. Hal tersebut bersama imbal hasil investasi rupiah yang dalam skala regional cukup tinggi mengakibatkan tetap tingginya arus modal portofolio global selama tahun 2007, meskipun sempat mengalami pembalikan (capital reversal) secara terbatas akibat efek beberapa kejutan eksternal. Kinerja neraca pembayaran yang tetap solid berdampak pada meningkatnya potensi pasokan valas dan cadangan devisa sehingga mendukung perkembangan nilai rupiah yang stabil. Pada tahun 2007, neraca transaksi berjalan mencatat surplus $11 miliar, lebih tinggi dari tahun 2006 sebesar $10,8 miliar. Besarnya surplus tersebut telah berperan sebagai penyangga dalam mengimbangi penurunan surplus neraca modal, terutama akibat pembalikan arus modal portofolio asing. Meskipun pada triwulan III-2007 sempat terjadi pembalikan arus modal asing, secara keseluruhan tahun 2007 neraca transaksi investasi portofolio mencatat surplus $10 miliar. Kinerja neraca pembayaran yang tetap solid juga tercermin dari peningkatan cadangan devisa dan aktiva luar negeri bersih sistem moneter (Net Foreign Asset). Cadangan devisa meningkat dari $42,6 miliar pada tahun 2006 menjadi $56,9 miliar pada tahun 2007. Sementara itu, aktiva luar negeri bersih sebagai indikator potensi pasokan valas di pasar valas domestik meningkat dari $45,9 miliar pada tahun 2006 menjadi $55,71 miliar pada tahun 2007 (Grafik 4.3).

Faktor risiko investasi di Indonesia membaik sejalan dengan terjaganya fundamental ekonomi. Perkembangan fundamental ekonomi sebagaimana diuraikan di atas berdampak positif terhadap penurunan risiko investasi pada aset keuangan rupiah. Beberapa indikator risiko menunjukkan perkembangan yang membaik sepanjang tahun 2007 sebagaimana tercermin pada peringkat kredit Indonesia (sovereign credit rating) yang ditingkatkan oleh beberapa lembaga pemeringkat internasional dan perbaikan indeks risiko negara (Country Risk Index). Perkembangan fundamental ekonomi yang semakin membaik dan pengelolaan kebijakan makroekonomi yang tetap konsisten dan hati-hati menjadi pertimbangan dalam perbaikan sovereign credit rating Indonesia oleh Moodys, Rating and Investment Information (R & I), serta Japan Credit Rating Agency (JCRA). Moodys meningkatkan rating Indonesia dari B1 menjadi B1+ pada 1 Agustus 2007, dan meningkatkannya lagi menjadi Ba3 pada 18 Oktober 2007. Sementara itu, R&I menaikkan rating Indonesia dari BB menjadi BB+ pada 31 Oktober 2007. JCRA juga meningkatkan rating Indonesia dari BB- menjadi BB pada 6 September 2007. Peringkat Indonesia tersebut semakin mendekati investment-grade dan level peringkat kredit sebelum krisis.

Di samping peringkat kredit, indikator risiko lainnya seperti indeks risiko negara yang diterbitkan oleh International Country Risk Guide juga menunjukkan perbaikan secara gradual dari 68 pada tahun 2006 menjadi 70,5 pada Oktober 2007 (Grafik 4.4). Indikator risiko berupa selisih imbal hasil (yield spread) antara global bond Indonesia dan US T note juga menunjukkan peningkatan. Namun, peningkatan ini lebih disebabkan oleh yield US T-note yang menurun akibat naiknya penanaman dana global ke instrumen ini terkait dengan krisis subprime mortgage di AS (Grafik 4.5).

Perkembangan imbal hasil investasi pada aset rupiah sepanjang tahun 2007 tetap terjaga. Meskipun BI Rate mengalami penurunan sejak akhir tahun 2005 sampai November 2007, dalam skala regional tingkat suku bunga Indonesia tetap kompetitif. Imbal hasil investasi rupiah yang diukur baik dengan selisih suku bunga dalam dan luar negeri2 (uncovered interest rate parity UIP) maupun dengan memperhitungkan risiko, yaitu minus selisih yield global bond RI dengan US T-notes (covered interest rate parity - CIP), cenderung menurun. UIP menurun drastis dari 4,16% pada akhir tahun 2006 menjadi 2,70% (Grafik 4.6). Penurunan tersebut disebabkan turunnya BI Rate sebesar 175 bps sepanjang tahun 2007. Sementara itu, CIP mencapai 0,45% pada akhir tahun 2007, jauh lebih rendah dari tahun sebelumnya yang mencapai 2,94%. Meskipun menurun, suku bunga Indonesia relatif masih lebih tinggi dibandingkan dengan suku bunga di beberapa negara kawasan. Hal itu mengimplikasikan investasi pada aset rupiah masih lebih menguntungkan. Sebagaimana ukuran imbal hasil berdasarkan suku bunga, investasi pada obligasi rupiah juga menawarkan imbal hasil yang menarik, seperti tercermin pada selisih yield obligasi domestik dan US T-notes yang paling tinggi dalam skala negara kawasan (Grafik 4.7). Imbal hasil investasi rupiah yang tinggi menjadikan pasar keuangan Indonesia tetap menjadi salah satu tujuan menarik bagi arus masuk modal portofolio global.

Faktor Internasional Pada paruh pertama tahun 2007, pasar keuangan dunia diwarnai ekses likuiditas serta tren pelemahan dolar AS sebagai bagian dari proses penyesuaian ketidakseimbangan perekonomian global. Kondisi tersebut meningkatkan arus dana portofolio dari negara dengan mata uang berbunga rendah ke mata uang berbunga tinggi (transaksi carry trade), terutama negara emerging markets termasuk pasar keuangan Indonesia. Pengambilan risiko oleh investor global di pasar keuangan negara emerging markets juga meningkat seiring dengan semakin membaiknya kondisi fundamental makroekonomi di negara-negara tersebut. Hal itu tercermin dari semakin menyempitnya yield obligasi negara emerging markets terhadap obligasi pemerintah AS sebagai ukuran risk appetite investor global (Grafik 4.8).

Risiko global memburuk pada paruh kedua tahun 2007 dipengaruhi krisis subprime mortgage. Krisis tersebut memicu gejolak di pasar keuangan global mulai akhir Juli 2007 dan mengakibatkan investor global melakukan penilaian ulang risiko (repricing of risk) terhadap risiko berinvestasi pada aset emerging markets. Perkembangan tersebut mendorong penarikan dana dari aset emerging markets termasuk dari aset rupiah (flight to quality). Tekanan selanjutnya muncul dari kenaikan harga minyak yang mencapai $98,9 per barel3, tertinggi sepanjang 2007. Meskipun kenaikan harga minyak meningkatkan pembelian valas untuk kebutuhan impor tetapi tekanannya terhadap rupiah minimal. Tekanan harga minyak terhadap rupiah lebih diakibatkan oleh penyesuaian portofolio asing di pasar SUN dalam skala terbatas sehubungan dengan meningkatnya kekhawatiran terhadap tekanan inflasi. Dengan berbagai perkembangan tersebut, selama paruh kedua tahun 2007 rupiah cenderung terdepresiasi dibandingkan dengan mata uang global lainnya (Grafik 4.9 dan Grafik 4.10).

Transaksi di Pasar Valas Aliran masuk dana asing mendorong perkembangan pasar valas, di samping menyeimbangkan pasokan-permintaan valas. Berkembangnya pasar valas domestik tercermin pada volume transaksi yang meningkat. Peningkatan volume transaksi terjadi di pasar spot, forward ataupun swap. Total volume transaksi valas di pasar spot sepanjang tahun 2007 mencapai $561 miliar, meningkat 43,5% dibandingkan dengan tahun 2006 yang mencapai $391 miliar (Grafik 4.11). Sementara itu, volume transaksi valas di pasar forward ataupun swap meningkat masingmasing sebesar 19,1% dan 45,1% menjadi $28 miliar dan $192 miliar pada tahun 2007. Struktur pasar spot relatif tidak mengalami perubahan. Transaksi spot masih didominasi oleh pertukaran antara dolar AS dan rupiah seperti pada tahun-tahun sebelumnya.

Volume transaksi spot semakin dominan dibandingkan dengan transaksi forward dan swap. Hal tersebut terlihat dari peningkatan pangsa transaksi spot dari tahun ke tahun (Grafik 4.12). Peningkatan pangsa transaksi spot tersebut, antara lain, disebabkan oleh pembatasan transaksi derivatif yang diberlakukan mulai Juli 20054. Hal tersebut mengakibatkan berkurangnya transaksi yangbersifat spekulatif sehingga secara umum berpengaruh positif terhadap nilai tukar rupiah.

Arus dana investasi asing sebagian besar masuk pada periode awal tahun sebelum terjadinya krisis subprime mortgage di AS pada akhir Juli 2007. Sekalipun arus masuk dana investasi asing cukup besar, secara keseluruhan tahun terjadi ekses permintaan valas. Sepanjang tahun 2007, aliran dana investasi asing yang masuk ke pasar valas domestik (net inflow) mencapai $4,0 miliar, sedikit lebih kecil dibandingkan dengan net inflow tahun 2006 yang mencapai $4,3 miliar. Di sisi lain, pelaku domestik mengalami ekses permintaan valas sebesar $4,4 miliar, lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2006 yang mencapai $4,2 miliar. Dengan demikian, untuk tahun 2007 pasar valas (interbank market) mengalami ekses permintaan sebesar $372 juta, berbeda dengan tahun sebelumnya yang justru mengalami ekses penawaran sebesar $181 juta (Grafik 4.13). Hal tersebut mengindikasikan terjadinya peningkatan tekanan terhadap rupiah sehingga sekalipun rupiah secara rata-rata tahunan bergerak menguat terhadap dolar AS, tetapi secara point to point melemah.

Aliran dana asing pada tahun 2007 ditempatkan pada beberapa aset keuangan rupiah, yakni saham, obligasi pemerintah (SUN), dan Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Proporsi terbesar dana asing tersebut ditempatkan pada saham dengan total nilai mencapai Rp32,6 triliun ($3,6 miliar). Penempatan pada saham menjadi pilihan investor di tengah tren turunnya suku bunga dan turunnya yield spread obligasi. Sekalipun demikian, yield spread obligasi Indonesia masih relatif tinggi dibandingkan dengan negara lain. Sementara itu, penempatan pada SUN sepanjang tahun ini mencapai Rp23,2 triliun ($2,6 miliar), kedua terbesar setelah saham. Dengan demikian, kepemilikan asing pada SUN meningkat dengan total nilai mencapai Rp78,2 triliun ($8,4 miliar).

Sementara itu, penempatan investor asing pada SBI juga meningkat sekitar Rp9,9 triliun ($1,2 miliar) sehingga total nilai kepemilikan asing pada SBI meningkat menjadi Rp28 triliun atau $3 miliar (Grafik 4.14).

Kebijakan yang Ditempuh Kestabilan nilai tukar rupiah selama tahun 2007 didukung oleh kebijakan pengelolaan nilai tukar yang tetap diarahkan untuk menjaga konsistensinya dengan pencapaian keseimbangan internal dan eksternal perekonomian. Dalam kaitan tersebut, kebijakan intervensi di pasar valuta asing tetap dilakukan secara terukur untuk menjaga volatilitas nilai tukar. Hal tersebut tercermin pada volatilitas rupiah yang secara tahunan menurun dari 3,9% pada tahun 2006 menjadi 1,4% pada tahun 2007. Selain kebijakan intervensi, Bank Indonesia juga melakukan penguatan strategi komunikasi serta peningkatan efektivitas peraturan kehati-hatian dan pemantauan lalu lintas devisa.

C. STABILITAS NILAI TUKAR TAHUN 2008 NILAI TUKAR RUPIAH triwulan I 2008 Selama triwulan I-2008 nilai tukar rupiah secara rata-rata relatif stabil. Rupiah sempat menguat di akhir Februari hingga mencapai level terkuat Rp 9.055/USD, namun melemah di awal Maret. Pelemahan rupiah tersebut tertahan oleh penurunan suku bunga Fed dan kembali stabil di akhir Maret. Dengan perkembangan tersebut, rata-rata nilai tukar rupiah sepanjang triwulan I-2008 melemah 0,21% dari triwulan sebelumnya menjadi Rp 9.258/USD dari Rp 9.238/USD (Grafik 3.6). Pada akhir triwulan I-2008 rupiah ditutup pada Rp 9.220/USD, menguat signifikan sebesar 1,88% dibandingkan dengan penutupan triwulan IV-2007 yang mencapai Rp 9.393/USD. Pergerakan rupiah selama triwulan I- 2008 meskipun berfluktuasi namun tingkat volatilitasnya masih lebih rendah dibandingkan dengan triwulan sebelumnya pada level 1,42% (Grafik 3.7). Pelemahan rupiah selama triwulan I-2008 banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal terutama akibat semakin memburuknya indikator ekonomi Amerika Serikat (AS) seiring dengan berlanjutnya krisis di pasar kredit dan bertambahnya kerugian terkait krisis subprime mortgage. Hal tersebut kembali memicu pelarian dana investor asing dari emerging markets. Faktor lain yang turut menekan rupiah adalah kenaikan harga minyak mentah yang mencapai rekor USD111 per barel yang memicu timbulnya kekhawatiran terhadap peningkatan permintaan valas untuk impor minyak mentah dan mengancam kesinambungan fiskal. Dari sisi fundamental, Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) triwulan I-2008 diprakirakan masih mencatat surplus sebesar USD1,0 miliar. Perkembangan NPI mengalami tekanan yang cukup berat, khususnya dari sisi neraca modal dan finansial, yang bersumber dari arus masuk modal jangka pendek yang tidak sebesar perkiraan dan meningkatnya penempatan aset residen di luar negeri. Namun demikian, kinerja transaksi berjalan masih tetap relatif solid. Dengan berbagai perkembangan tersebut, realisasi posisi cadangan devisa akhir Maret 2008 mencapai USD59,0 miliar atau setara dengan 5,3 bulan impor dan pembayaran Utang Luar Negeri (ULN) Pemerintah. Kinerja NPI yang

cukup solid tersebut diprakirakan mampu memberikan dukungan terhadap kestabilan pergerakan nilai tukar rupiah dan dapat menjaga stabilitas makroekonomi dari potensi pembalikan arus modal sebagai akibat dari pengalihan portofolio asing. Dari sisi domestik, faktor risiko dalam negeri masih relatif stabil yang tercermin dari peningkatan rating oleh Fitch. Indikator risiko yang dicerminkan oleh yield spread antara obligasi valas Pemerintah (dalam denominasi USD) dengan obligasi Pemerintah Amerika (US T-Note) menunjukkan sedikit peningkatan dimana pada akhir triwulan berada pada level 2,8%, meningkat 56 bps dari periode sebelumnya (Grafik 3.8). Pergerakannya berfluktuasi antara 2,37% - 3,09% dan sempat meningkat pada Januari dan akhir Maret sejalan dengan terjadinya risk aversion. Tingginya indikator risiko mencerminkan meningkatnya risiko penanaman aset dalam rupiah. Indikator lainnya, yaitu premi swap pada semua tenor, terlihat masih berada pada tingkat yang rendah (Grafik 3.9). Sementara itu, suku bunga Fed yang cenderung turun menjadikan imbal hasil rupiah semakin menarik. Imbal hasil investasi rupiah yang tercermin pada selisih antara obligasi Pemerintah Indonesia (SUN) dan obligasi Pemerintah Amerika (US T-Note) tetap lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara regional lainnya yang berkisar antara -1,14% sampai3,86% (Grafik 3.10). Meski sempat terjadi inflow dana asing pada Februari 2008, namun secara keseluruhan triwulan I-2008 masih mengalami net outflow sejalan dengan terjadinya risk aversion dan meningkatnya harga minyak. Kekhawatiran perlambatan ekonomi AS dan sentiment negative terhadap kenaikan harga minyak memicu terjadinya outflow terutama dari SBI pada Januari 2008 dan pada akhir triwulan. Namun demikian, kebijakan penurunan suku bunga Fed dapat mengembalikan optimisme investor asing dan kembali mengalirkan dana asing sehingga kepemilikan asing kembali meningkat pada Februari 2008. Meski terjadi pelepasan kepemilikan SBI dan SUN asing pada akhir triwulan I, namun secara keseluruhan triwulan masih terjadi inflow. Permintaan valas dalam

negeri selama triwulan I-2008 masih idominasi oleh permintaan valas korporasi (Grafik 3.11). Meningkatnya permintaan valas korporasi tersebut tidak terlepas dari permintaan valas BUMN sejalan dengan melambungnya harga minyak dunia. Sementara itu, permintaan valas dari korporasi lainnya juga mengalami peningkatan sejalan dengan meningkatnya impor oleh perusahaan yang bergerak di sektor otomotif dan telekomunikasi. NILAI TUKAR RUPIAH Triwulan II 2008 Selama triwulan II-2008 nilai tukar rupiah bergerak cukup stabil meski sempat mengalami tekanan. Tekanan depresiasi terhadap rupiah terutama akibat tingginya harga minyak serta dampak lanjutannya yang memengaruhi faktor sentimen pasar. Rata-rata nilai tukar rupiah sepanjang triwulan II-2008 bergerak dari Rp9.258/USD menjadi Rp9.259/USD (Grafik 3.6). Sementara itu, di akhir triwulan laporan rupiah ditutup pada level Rp9.226/USD, melemah tipis 0,07% dibandingkan dengan penutupan triwulan I yang mencapai Rp9.220/USD. Stabilnya pergerakan nilai tukar rupiah tidak terlepas dari langkah-langkah yang dilakukan Bank Indonesia dalam upaya menstabilisasi nilai tukar. Hal tersebut tercermin dari penurunan tingkat volatilitas menjadi 0,61% dari 1,42% (Grafik 3.7). Harga minyak yang persisten tinggi serta dampak lanjutannya merupakan faktor utama yang memengaruhi pergerakan mata uang regional termasuk rupiah. Hal tersebut mengakibatkan meningkatnya permintaan valas untuk kebutuhan impor sehingga mata uang negara-negara kawasan regional menjadi tertekan. Di samping itu, tingginya harga minyak telah menimbulkan kekhawatiran terhadap meningkatnya risiko fiskal dan kinerja neraca pembayaran serta menguatnya ekspekstasi inflasi ke depan. Meski demikian, depresiasi rupiah masih terbatas karena masih ditopang oleh fundamental ekonomi domestik yang cukup baik. Di tengah melonjaknya inflasi sebagai dampak kenaikan BBM akhir Mei lalu, ekonomi Indonesia masih dapat bertahan dengan didukung oleh kondisi neraca pembayaran yang masih surplus. Sementara itu, spread imbal hasil masih berada pada level yang menarik untuk berinvestasi dalam denominasi rupiah, meskipun faktor risiko meningkat. Sementara itu, kinerja NPI yang cukup solid dengan realisasi cadangan devisa yang mencapai USD59,5 miliar akan mampu memberikan dukungan terhadap kestabilan pergerakan nilai tukar rupiah dan diprakirakan

dapat menjaga stabilitas makroekonomi dari potensi pembalikan arus modal sebagai akibat dari pengalihan portofolio asing. Dari sisi domestik, perkembangan faktor risiko dalam negeri perlu diwaspadai namun diprakirakan dampaknya masih minimal. Faktor risiko domestik sepanjang triwulan II-2008 meningkat akibat masih tingginya ekspektasi inflasi menyusul kenaikan harga BBM. Indikator risiko yang dicerminkan oleh yield spread antara obligasi valas Pemerintah (dalam denominasi USD) dengan obligasi Pemerintah Amerika (US T-Note) menunjukkan peningkatan yang signifikan dari level 265 bps menjadi 370 bps(Grafik 3.8). Peningkatan ini lebih disebabkan yield obligasi Indonesia yang meningkat 146 bps dari 6,13% menjadi 7,59%. Meningkatnya risiko domestik mencerminkan kuatnya ekspektasi inflasi ke depan seiring dengan kenaikan harga BBM. Sentimen negatif yang sempat berkembang pascakenaikan BBM dipicu aksi demo menentang kebijakan tersebut turut memberikan kontribusi pada peningkatan risiko domestik. Sementara dari sisi eksternal, tekanan terhadap faktor risiko tampak mereda dan sedikit membaik. Hal ini terindikasi dari menurunnya indikator EMBIG spread mengukur risk appetite terhadap aset emerging markets meski masih pada level yang tinggi. Indikator lainnya, yaitu premi swap pada semua tenor, terlihat masih berada pada tingkat yang rendah (Grafik 3.9). Stance kebijakan BI yang cenderung ketat di tengah kecenderungan Fed menurunkan suku bunganya menjadikan spread imbal hasil rupiah semakin lebar. Hal tersebut menandakan semakin menariknya berinvestasi dalam aset rupiah. Imbal hasil investasi rupiah yang tercermin pada selisih antara yield obligasi Pemerintah Indonesia dengan yield obligasi Pemerintah Amerika (US T-Note) menunjukkan peningkatan yang signifikan menjadi 9,42% dari 8,31%. Imbal hasil tersebut merupakan yang tertinggi dibandingkan negara-negara regional lainnya yang berkisar antara 0,35% sampai dengan 5,55% (Grafik 3.10). Meski sempat terjadi outflow dana asing pada Mei 2008, namun secara keseluruhan triwulan II-2008 masih mengalami net inflow sebesar USD2 miliar. Sentimen negatif akibat tingginya harga minyak dan kenaikan harga BBM memicu arus penarikan dana asing yang terjadi pada Mei 2008. Namun demikian, aliran dana asing masuk kembali pada Juni 2008 akibat

pengaruh meningkatnya spread imbal hasil seiring dengan kenaikan BI Rate dan tingginya yield SUN. Selain itu, keberhasilan Indonesia dalam lelang obligasi global tanggal 18 Juni 2008 senilai USD2,2 miliar berhasil mengangkat kepercayaan komunitas internasional akan ekonomi Indonesia. Hal ini menandakan kombinasi kebijakan makro yang ditempuh Indonesia direspons positif oleh pasar internasional sehingga arus dana asing kembali meningkat di akhir triwulan laporan. Permintaan valas dalam negeri masih didominasi oleh permintaan valas korporasi (Grafik 3.11). Meningkatnya permintaan valas korporasi tersebut tidak terlepas dari permintaan valas BUMN sejalan dengan meningkatnya kebutuhan valas untuk impor minyak. Secara rata-rata, permintaan valas korporasi pada triwulan ini masih relatif stabil mencapai sekitar USD329 juta per hari, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai sekitar USD319 juta per hari. Sementara itu, permintaan valas dari korporasi lainnya mengalami sedikit penurunan dari USD223 juta (triwulan IV-2007) menjadi USD 219 juta.

NILAI TUKAR RUPIAH Triwulan III 2008 Meski mendapat tekanan depresiasi di akhir periode laporan, rata-rata nilai tukar rupiah selama triwulan III-08 masih tercatat menguat. Rata-rata nilai tukar pada triwulan-III 2008 terapresiasi 0,47% dari Rp9.259 pada triwulan II2008 menjadi Rp9.216 per USD (Grafik 3.5). Tingginya tekanan depresiasi terhadap rupiah pada akhir triwulan laporan menyebabkan rupiah ditutup melemah 1,76% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya dari Rp9.220 per USD pada akhir triwulan II-2008 menjadi Rp9.385 per USD pada akhir triwulan III-2008. Sementara itu pergerakan nilai tukar selama triwulan III-2008 cenderung berfluktuasi sejalan dengan meningkatnya tekanan rupiah di akhir periode laporan. Volatilitas rupiah pada triwulan III-2008 tercatat lebih tinggi yaitu sebesar 1,11 %, dibandingkan triwulan sebelumnya sebesar 0,61% (Grafik 3.6). Meningkatnya risiko perlambatan ekonomi global, intensifikasi krisis sektor keuangan di AS serta persepsi terhadap prospek neraca pembayaran memengaruhi perkembangan rupiah selama triwulan III-2008. Perlambatan ekonomi global dan penguatan dolar mendorong turunnya harga komoditas internasional, termasuk diantaranya komoditas andalan ekspor Indonesia. Haltersebut menimbulkan persepsi memburuknya prospek neraca pembayaran Indonesia khususnya pada neraca transaksi berjalan. Sementara itu, semakin dalamnya krisis di sektor keuangan AS memicu terjadinya capital flight dari asset negara berkembang sejalan dengan tingginya risk aversion investor asing. Tingginya kekhawatiran tersebut berdampak pada pembalikan dana asing dari asset negara regional sehingga menyebabkan mata uang regional mengalami tekanan depresiasi. Meskipun tekanan depresiasi rupiah cukup besar, dalam skala regional, rupiah relatif lebih stabil dibandingkan nilai tukar negara kawasan regional. Faktor ekonomi domestik yang masih kondusif ditambah dengan stance kebijakan moneter ketat dan stabilisasi di pasar valas oleh Bank Indonesia mampu menahan tekanan depresiasi rupiah yang lebih besar. Dari sisi risiko, perkembangan di sisi eksternal pada akhir triwulan III-2008 mendorong terjadinya peningkatan faktor risiko. Global re-pricing of risk akibat risiko pelemahan ekonomi global dan krisis sektor keuangan AS menurunkan risk appetite terhadap asset emerging market.

Hal ini tercermin pada meningkatnya yield spread antara global bond Indonesia dan UST-Note dari 370 bps pada triwulan II-2008 menjadi 411 bps pada akhir triwulan III-2008 (Grafik 3.7). Indikator risiko lainnya mengindikasikan hal serupa sebagaimana ditunjukkan oleh spread EMBIG (Emerging Market Bond Index Global) yang kembali meningkat dan premi swap yang masih berada pada level tinggi di akhir periode laporan (Grafik 3.8). Stance kebijakan Bank Indonesia yang cenderung ketat di tengah kecenderungan penurunan suku bunga khususnya di negara maju menjadikan spread imbal hasil rupiah semakin lebar. Hal tersebut menjadi salah satu daya tarik berinvestasi dalam aset rupiah. Imbal hasil investasi rupiah yang diindikasikan oleh selisih suku bunga Dalam Negeri-Luar Negeri dan selisih yield obligasi pemerintah (domestic currency) dengan yield UST-Note menunjukkan peningkatan dan merupakan yang tertinggi dibandingkan dengan negara-negara regional (Grafik 3.9). Selisih suku bunga Dalam Negeri-Luar Negeri (Uncovered Interest Parity) meningkat dari 6,38% pada akhir triwulan II-2008 menjadi 7,05% pada triwulan laporan dan tertinggi dibanding negara kawasan. Apabila imbal hasil tersebut juga mempertimbangkan faktor risiko2 , selisih suku bunga Dalam Negeri-Luar Negeri(Covered Interest Parity) menjadi 3,27% pada triwulan ini atau masih yang tertinggi dibandingkan negara kawasan. Sementara itu, indikator imbal hasil lainnya, selisih yield SUN dengan USTNote juga masih lebih menarik dibandingkan negara kawasan. Meningkatnya risiko eksternal terkait meluasnya dampak perlambatan ekonomi global dan ketidakpastian kondisi sektor keuangan AS mendorong investor asing menarik dananya dari SBI, meskipun pada SUN dan saham masih meningkat. Namun terjaganya kepercayaan asing terhadap pengelolaan kebijakan makro dan tingginya imbal hasil SUN masuknya mendorong arus modal ke SUN. Kepemilikan asing pada instrumen SUN meningkat Rp10,13 triliun (USD1,11 miliar) menjadikan posisinya mencapai Rp104,23 triliun (USD11,15 miliar), sehingga total posisi penempatan asing di SBI dan SUN tercatat sebesar Rp124,6 triliun (USD13,33 miliar). Di pasar saham, investor asing masih mencatatkan net beli selama triwulan III-2008, sebesar Rp2,16 triliun (USD230,35 juta). Dengan

perkembangan tersebut, selama triwulan III-2008 aliran modal asing tercatat mengalami net outflow sebesar USD1,9 miliar. Permintaan valas dalam negeri masih didominasi oleh permintaan valas korporasi. Meningkatnya impor mendorong terjadinya peningkatan permintaan valas korporasi khususnya BUMN (Grafik 3.10). Secara rata-rata, permintaan valas korporasi pada triwulan laporan sedikit lebih tinggi mencapai sekitar USD354 juta per hari, dibandingkan dengan triwulan sebelumnya yang mencapai sekitar USD329 juta per hari.

D. STABILITAS NILAI TUKAR RUPIAH TAHUN 2009 1. TRIWULAN-I TAHUN 2009 A. NILAI TUKAR RUPIAH Selama triwulan I-2009, tekanan terhadap rupiah masih cukup tinggi terutama berasal dari faktor eksternal. Secara rata-rata, nilai tukar rupiah terdepresiasi sebesar 5,7% dibandingkan dengan triwulan sebelumnya, dari Rp10.914 per dolar AS menjadi Rp11.578 per dolar AS (Grafik 3.5).

Pada akhir periode laporan, Rupiah ditutup pada level Rp11.555/USD atau melemah 5,67% secara point-to-point. Pelemahan nilai tukar lebih dipengaruhi oleh sentimen negatif terkait semakin pesimisnya outlook ekonomi global. Kondisi tersebut mendorong investor beralih ke safe haven assets dan menarik dananya dari emerging market yang dianggap lebih berisiko termasuk Indonesia. Perkembangan tersebut akhirnya menimbulkan tekanan pada rupiah. Namun, pada akhir triwulan laporan, tekanan terhadap rupiah berkurang dipengaruhi sentimen positif terhadap pasar keuangan global karena laporan keuntungan beberapa lembaga keuangan dan respons kebijakan the Fed, ditambah sentimen positif domestik terhadap kinerja NPI yang lebih baik dari perkiraan. Sementara itu, volatilitas rupiah menunjukkan penurunan dari 9,8% menjadi 2,6% (Grafik 3.6).

-

Masih berlanjutnya risk aversion terhadap aset emerging market (termasuk rupiah) tercermin pada EMBIG spread yang masih berada pada level tinggi (Grafik 3.7).

Selama triwulan I-2009, EMBIG Spread cenderung turun dari level 724 pada akhir triwulan IV-2008 menjadi 628 pada akhir triwulan I-2009 sejalan dengan tertekannya bursa saham global. Namun demikian, pada akhir periode laporan, risk appetite investor asing menunjukkan perbaikan dan mendorong faktor risiko kembali membaik. Sementara itu, premi swap sebagai salah satu indikator ekspektasi arah pergerakan rupiah kembali berfluktuasi untuk semua tenor (1, 3, 6 dan 12 bulan) (Grafik 3.8).

Namun, langkah kebijakan yang diambil oleh Bank Indonesia mampu berperan menurunkan premi risiko yang sempat tinggi, sehingga di akhir triwulan menurun. Sejalan dengan pelonggaran kebijakan moneter, imbal hasil rupiah cenderung turun namun masih pada kisaran yang tetap terjaga. Selisih suku bunga Dalam Negeri dan Luar Negeri (Uncovered Interest Parity Rate - UIP) menyempit pada level 8,22% atau menurun dibandingkan dengan triwulan sebelumnya pada level 10,94%. Meskipun demikian, UIP masih berada pada level tertinggi dibandingkan dengan negara kawasan asia lainnya. Meningkatnya faktor risiko menyebabkan suku bunga Covered Interest Parity Rate (CIP) bergerak turun hingga level 0,74 atau terendah sekawasan Asia setelah Korea. Namun demikian, spread antara domestic government bond dan US Treasury Note masih tertinggi di kawasan Asia yang menjadikan daya tarik investasi obligasi masih lebih besar dibandingkan dengan negara-negara kawasan Asia lainnya (Grafik 3.9).

-

Pelaku asing menarik dananya dari instrumen rupiah terutama dari SUN, namun inflow masih terjadi pada SBI dan Saham. Selama triwulan I-2009, kepemilikan investor asing pada SBI meningkat mencapai 694,5 juta dolar AS sehingga posisinya menjadi 1,39 miliar dolar AS. Sementara itu, posisi kepemilikan SUN oleh investor asing menjadi 6,64 miliar dolar AS. Total posisi penempatan asing di SBI dan SUN tercatat 8,04 miliar dolar AS, sedangkan di pasar saham, asing masih mencatat net beli tipis sebesar 1,5 juta dolar AS. Secara umum, kondisi pasar valas masih ekses permintaan, meskipun tidak sebesar pada triwulan IV-2008. Selama triwulan I-2009, ekses permintaan tercatat sebesar 421 juta dolar AS terutama berasal dari permintaan valas domestik yang hanya dapat dipenuhi sebagian oleh inflow dana asing yang terbatas sebesar 229 juta dolar AS (Grafik 3.10).

Volume

transaksi

valas

selama

triwulan I-2009 menurun signifikan

dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Total volume pasar valas menurun dari 157 miliar dolar pada triwulan sebelumnya menjadi 78 miliar dolarAS pada triwulan laporan. Korporasi mencatat net beli valas, sedangkan nasabah mencatat net pasokan valas.

2. TRIWULAN-II TAHUN 2009 A. NILAI TUKAR RUPIAH Selama triwulan II-2009, nilai tukar rupiah cenderung bergerak menguat meskipun sempat mengalami tekanan pada akhir triwulan. Secara rata rata, rupiah terapresiasi 9,99% dari Rp11.578 pada triwulan I-2009 menjadi Rp10.527 pada triwulan II-2009 (Grafik 3.1).

Meskipun sempat mengalami tekanan yang meningkat pada akhir triwulan akibat adanya sentimen negatif terkait data perekonomian global yang lebih buruk dari perkiraan, secara keseluruhan triwulan rupiah masih ditutup menguat 13,20% ke level Rp10.208 dari level Rp11.555. Penguatan rupiah yang cukup tajam tersebut menyebabkan volatilitas nilai tukar Rupiah sedikit meningkat dari 1,03% pada triwulan I-2009 menjadi 1,2% pada triwulan II-2009 (Grafik 3.2).

-

Penguatan rupiah pada triwulan II-2009 tak lepas dari pengaruh dinamika di sektor eksternal dan domestik yang positif. Dari sisi eksternal, sentimen positif yang berkembang di bursa saham global serta proses stabilisasi pasar

keuangan yang terus berlangsung menumbuhkan optimisme bahwa proses pemulihan ekonomi global mulai berjalan. Hal tersebut diperkuat dengan perkembangan berbagai indikator perekonomian global yang terus membaik, diantaranya indikator sektor manufaktur, penjualan eceran dan indeks keyakinan konsumen AS yang menunjukkan peningkatan. Indikator

perekonomian Asia pun turut membaik, terutama China sebagai imbas dari paket stimulus yang dikeluarkan pemerintah. Seiring dengan hal itu, membaiknya risk appetite investor mendorong aliran modal asing masuk ke emerging markets yang berimbas pada kenaikan bursa saham dan mayoritas mata uang dunia. Di sisi domestik, kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) pada triwulan I-2009 yang cukup solid meningkatkan kepercayaan investor terhadap perekonomian domestik. Posisi cadangan devisa sampai dengan akhir triwulan II-2009 tercatat meningkat mencapai USD57,58 miliar atau setara dengan 5,6 bulan impor dan pembayaran Utang Luar Negeri Pemerintah. Kondisi tersebut pada gilirannya mampu meningkatkan performa rupiah selama triwulan II-2009 serta memperkuat keyakinan pasar mengenai ketahanan rupiah terhadap risiko gejolak di pasar keuangan global. Selain itu, masih positifnya pertumbuhan ekonomi domestik di tengah kontraksi ekonomi negara-negara mitra dagang serta tekanan inflasi yang relatif rendah dibandingkan negara kawasan turut meningkatkan ekspektasi positif terhadap perekonomian Indonesia.

-

Persepsi risiko terhadap emerging markets termasuk Indonesia terus membaik. Indikator persepsi risiko menunjukkan perbaikan sebagaimana tercermin pada spread EMBIG, CDS, dan yield spread Global Bond dan Treasury Note yang semakin menyempit (Grafik 3.3).

Selama triwulan II-2009, CDS Spread Indonesia menyempit dari 578 bps menjadi 310 bps. Penurunan CDS Spread tersebut sejalan dengan pergerakan CDS Spread di kawasan Asia. Selain itu, spread Global Bond Indonesia terhadap US T-Note juga menyempit dari 737 bps menjadi 396 bps, sedangkan spread EMBIG menyempit ke level 450 bps dari level 657 bps. Namun, seiring dengan tekanan pasar keuangan global yang meningkat pada akhir Juni, indikator premi swap Indonesia cenderung naik (Grafik 3.4).

-

Sejalan dengan pelonggaran kebijakan moneter, imbal hasil investasi cenderung turun, namun masih cukup menarik dalam skala regional. Selisih suku bunga dalam negeri dan luar negeri (UIP) menurun ke 7,00% dari 8,22% pada akhir triwulan sebelumnya. Apabila memperhitungkan premi risiko,

selisih suku bunga dalam negeri dan luar negeri (CIP) justru meningkat dari 0,85% pada triwulan I-2009 menjadi 3,03% (Grafik 3.5).

Selain itu, spread antara yield domestic government bond Indonesia dan US Treasury yang masih tertinggi di kawasan Asia menjadikan daya tarik investasi obligasi domestik (Grafik 3.6).

-

Persepsi risiko terhadap emerging markets yang menurun serta imbal hasil investasi di pasar domestik yang cukup tinggi mendorong arus masuk dana asing. Selama triwulan II-2009 aliran masuk dana asing ke SBI dan SUN tercatat sebesar USD406,02juta dan USD 748,33 juta, sehingga posisi asing pada SBI dan SUN menjadi USD2,03 miliar dan USD8,50 miliar. Di pasar saham, pelaku asing juga mencatat net beli sebesar USD501,63 juta (Grafik 3.7).

-

Besarnya arus modal asing mampu menyeimbangkan struktur permintaan dan penawaran valas di pasar domestik. Selama triwulan II-2009, pasar valas mengalami ekses pasokan sebesar USD1,51 miliar yang berasal dari tingginya arus masuk dana asing (Grafik 3.8).

Besarnya arus masuk dana asing yang mencapai USD3,18 miliar mampu memenuhi permintaan valas pelaku domestik sebesar USD1,67 miliar. Arus masuk dana asing tersebut sebagian besar ditanamkan dalam portofolio saham (37%), SBI (20,9%), dan obligasi pemerintah (18,9%). Volume perdagangan di pasar valas selama triwulan II-2009 tercatat meningkat seperti tercermin pada kenaikan rata rata harian volume perdagangan valas yang menjadi USD1,94 miliar dari USD1,32 miliar pada triwulan I-2009.

3. TRIWULAN-III TAHUN 2009 A. NILAI TUKAR RUPIAH Kondisi perekonomian global dan dalam negeri yang cukup kondusif memberikan ruang gerak bagi penguatan rupiah. Masuknya dana asing yang didorong oleh peningkatan optimisme investor akan pemulihan ekonomi dunia menyebabkan rupiah secara rata-rata terapresiasi sebesar 5,55% ke level Rp9.973 per dolar AS dari Rp10.578 per dolar AS pada triwulan sebelumnya (Grafik 3.1).

Pada akhir triwulan III-2009, rupiah ditutup pada level Rp9.645 atau menguat sebesar 5,84% dari level penutupan triwulan sebelumnya. Penguatan rupiah juga disertai oleh pergerakan rupiah yang relatif stabil tercermin dari menurunnya tingkat volatilitas menjadi 0,69% dari 1,20% pada triwulan II-2009 (Grafik 3.2).

-

Penguatan rupiah pada triwulan III-2009 tidak lepas dari pengaruh perkembangan ekonomi dunia yang positif. Pemulihan ekonomi global diindikasi semakin merata di berbagai kawasan baik Amerika, Eropa maupun Asia. Perekonomian AS pada triwulan laporan lebih baik dibandingkan dengan triwulan sebelumnya. Selain itu, geliat perekonomian yang mulai pulih juga ditunjukkan oleh pertumbuhan ekonomi yang positif di beberapa negara besar di kawasan Eropa dan Asia. Optimisme terhadap pemulihan ekonomi global diperlihatkan oleh world economic confidence index yang kembali meningkat ke level 58,5 pada September 2009. Level tersebut merupakan level tertinggi sejak bangkrutnya Lehman Brothers pada Oktober 2008. Di sisi lain, membaiknya perekonomian dunia telah mendorong investor global kembali masuk ke pasar saham seiring dengan meningkatnya ekspektasi akan membaiknya pendapatan perusahaan. Kondisi tersebut menyebabkan bursa saham global menguat yang kemudian mendorong penguatan mayoritas mata uang global terhadap dollar AS.

-

Selain faktor eksternal, kondisi perekonomian domestik yang kondusif turut mendukung penguatan rupiah. Perekonomian domestik mencatat

pertumbuhan sebesar 4% pada triwulan II-2009 yang merupakan pertumbuhan ekonomi tertinggi ke-3 di Asia. Selain itu, kinerja positif juga ditunjukkan oleh neraca pembayaran yang mencatat surplus transaksi berjalan pada triwulan I-

2009 dan triwulan II-2009 dan diperkirakan akan berlanjut hingga triwulan III2009. Posisi cadangan devisa sampai dengan akhir triwulan III-2009 meningkat cukup besar dari posisi di akhir triwulan sebelumnya hingga mencapai USD62,3 miliar atau setara dengan 6,2 bulan impor dan pembayaran Utang Luar Negeri Pemerintah. Hal-hal tersebut telah menunjukkan kondisi fundamental perekonomian domestik yang cukup solid sehingga

menumbuhkan kepercayaan investor terhadap rupiah serta memberikan persepsi positif ketahanan rupiah terhadap gejolak eksternal. Persepsi risiko terhadap perekonomian Indonesia membaik. Mayoritas indikator persepsi risiko Indonesia seperti CDS, yield spread Global Bond, dan spread EMBIG bergerak turun (Grafik 3.3).

CDS Indonesia menurun dari 310 bps pada triwulan II-2009 menjadi 183 bps pada triwulan III-2009 sejalan dengan pergerakan CDS di kawasan Asia. Yield spread Global Bond RI dengan US T-Note juga mengalami penurunan dari 396 bps pada triwulan sebelumnya menjadi 251 bps pada triwulan laporan sejalan dengan penurunan yield Global Bond RI dan kenaikan yield US T-Note. Hal serupa juga terjadi pada spread EMBIG yang turun dari 432 bps pada triwulan II-2009 menjadi 345 bps pada triwulan III-2009. Indikator lainnya, premi swap, secara umum juga mengindikasikan perbaikan persepsi risiko dan likuiditas.

Premi swap 1 bulan turun dari 8,82% pada akhir Juni 2009 menjadi 7,34% pada pada akhir triwulan III-2009 (Grafik 3.4).

-

Imbal hasil investasi aset keuangan rupiah relatif tinggi. Selisih suku bunga dalam negeri dan luar negeri (UIP) menurun dari 7,00% pada akhir triwulan II2009 menjadi 6,45% pada akhir triwulan III-2009. Namun, apabila memperhitungkan premi risiko, selisih suku bunga dalam negeri dan luar negeri (CIP) justru meningkat menjadi 3,94% dari 3,03% pada triwulan sebelumnya akibat membaiknya indikator risiko (Grafik 3.5).

Selain itu, spread antara yield SUN domestik Indonesia dan US Treasurymasih merupakan yield tertinggi di kawasan Asia yang menjadikan daya tarik investasi obligasi domestik (Grafik 3.6).

-

Membaiknya kepercayaan investor global serta tingginya imbal hasil investasi rupiah mendorong sejumlah dana asing masuk ke Indonesia. Selama triwulan III-2009 aliran masuk dana asing ke SBI, dan SUN tercatat sebesar USD1,58 miliar dan USD 620,25 juta. Hal tersebut menyebabkan posisi asing pada SBI dan SUN menjadi USD3,71 miliar dan USD9,42 miliar. Hal yang sama juga terjadi di pasar saham. Pelaku asing mencatat net beli sebesar USD608,70 juta (Grafik 3.7).

-

Besarnya arus masuk modal asing mampu menyeimbangkan struktur supply demand valas di pasar domestik. Selama triwulan III-2009, permintaan valas

domestik tercatat cukup tinggi hingga mencapai USD3,14 miliar terkait dengan perayaan keagamaan (Ramadhan dan Idhul Fitri) (Grafik 3.8).

Sementara itu, pada periode yang sama, net-inflow pelaku asing sedikit mengalami penurunan dibandingkan dengan periode sebelumnya. Hal itu disebabkan oleh tingginya outflow selama Agustus 2009 menyusul koreksi yang terjadi di bursa global. Menyusutnya pasokan valas ke pasar domestik menyebabkan volume transaksi harian di pasar valas domestik tidak jauh berbeda dengan kondisi pada triwulan II-2009 (Grafik 3.9).

4. TRIWULAN-IV TAHUN 2009

A. NILAI TUKAR RUPIAH -

Kondisi perekonomian global yang terus membaik dan perkembangan fundamental perekonomian domestik yang solid diprakirakan masih akan mendorong penguatan rupiah hingga akhir triwulan IV-2009. Sinergi pemulihan ekonomi di berbagai kawasan serta dukungan fundamental perekonomian domestik berdampak pada membaiknya risk apetite investor terhadap perekonomian Indonesia. Mengapresiasi kinerja perekonomian domestik yang cukup baik, lembaga rating Standard & Poors meningkatkan credit outlook Indonesia dari membaiknya kondisi stable menjadi positive . Kombinasi dari

eksternal,

kinerja perekonomian domestik dan

membaiknya risk apetite investor global mendorong masuknya aliran dana asing ke perekonomian domestik.-

Sampai dengan akhir November 2009, rupiah secara rata-rata terapresiasi sebesar 5,39% ke level Rp9.463/USD dari Rp9.973/USD pada triwulan sebelumnya (Grafik 3.1).

Pada akhir November, rupiah ditutup pada level Rp9.455/USD atau menguat sebesar 2,01% dari level penutupan triwulan III-2009 yaitu Rp9.645/USD. Apresiasi yang cukup tajam tersebut menyebabkan peningkatan volatilitas dari 0,69% menjadi 0,74% (Grafik 3.2).

-

Kondusifnya kondisi eksternal terus mendorong berlangsungnya apresiasi nilai tukar hingga akhir triwulan IV-2009. Perbaikan indikator perekonomian terus berlanjut dan semakin merata di berbagai kawasan baik Amerika, Eropa maupun Asia. Kondisi itu semakin memperkuat indikasi bahwa perekonomian global mulai memasuki fase stabilisasi. Pemulihan perekonomian AS mulai terlihat dari perbaikan yang terjadi di beberapa sektor seperti industri, pasar tenaga kerja dan perumahan. Di Eropa, sektor industri yang mencatat pertumbuhan positif menjadi leading sector dalam mendorong pemulihan ekonomi di kawasan tersebut. Sementara itu di kawasan Asia, selain China, negara-negara seperti Jepang dan Singapura telah mulai menunjukkan kinerja positif. Meningkatnya optimisme terhadap prospek perekonomian global tersebut berdampak pada membaiknya ekspektasi terhadap kegiatan dunia usaha terutama ekspektasi terhadap peningkatan pendapatan korporasi (earning emitten). Meningkatnya ekspektasi terhadap dunia usaha dan membaiknya risk appetite investor terhadap aset aset emerging market mendorong investor global kembali masuk ke pasar saham. Meskipun sempat mengalami guncangan akibat krisis utang luar negeri Dubai, bursa saham global tetap bergerak menguat.

-

Selain faktor eksternal, kondisi perekonomian domestik yang kondusif turut mendukung penguatan rupiah. Perekonomian domestik yang mencatat

pertumbuhan sebesar 4,2% (yoy) serta kinerja neraca pembayaran Indonesia yang mencatat surplus current account pada triwulan III-2009 meningkatkan keyakinan investor kepada ketahanan perekonomian domestik terhadap tekanan dari sektor eksternal. Posisi cadangan devisa sampai dengan November 2009 mencapai USD65,84 miliar atau setara dengan 6,5 bulan impor dan pembayaran Utang Luar Negeri Pemerintah. Level cadangan devisa tersebut diharapkan akan meningkatkan sentimen positif terhadap

kemampuan pembiayaan eksternal Indonesia. Persepsi risiko terus terjaga. Selama triwulan IV 2009, mayoritas indikator risiko Indonesia mengalami sedikit peningkatan yang dipicu oleh sentimen negatif terkait rumor pembatasan kepemilikan asing di instrumen SBI dan mencuatnya krisis utang luar negeri Dubai. Sejalan dengan pergerakan CDS di kawasan Asia, CDS Indonesia mengalami sedikit peningkatan dari 183 bps pada triwulan III-2009 menjadi 229 bps (Nov-09). Yield spread Global Bond RI dengan US T-Note juga mengalami sedikit peningkatan dari 251 bps pada triwulan III-2009 menjadi 295 bps (Nov-09). Sementara itu, EMBIG spead turun dari 345 bps pada triwulan III-2009 menjadi 336 bps (Nov-09) (Grafik 3.3).

Di sisi lain, indikator premi swap selama triwulan IV-2009 secara umum terlihat relatif stabil yang mengindikasikan persepsi risiko dan likuiditas terjaga (Grafik 3.4).

-

Imbal hasil investasi rupiah masih relatif lebih menarik dibandingkan negara kawasan Asia. Selisih suku bunga dalam dan luar negeri (UIP) sedikit menurun dari 6,45% pada akhir triwulan III-2009 ke 6,47% (Nov 09). Meski menurun, level tersebut masih favourable dalam skala regional. Selisih suku bunga setelah memperhitungkan premi risiko (risk adjusted interest rate differential CIP) juga masih favourable meski sedikit menurun dari 3,94% pada triwulan III-2009 menjadi 3,52% (Nov-09) akibat sedikit meningkatnya indikator risiko dikarenakan krisis ULN di Dubai (Grafik 3.5).

Selain itu, spread antara yield SUN domestik Indonesia dan US Treasury masih yang tertinggi di kawasan Asia (Grafik 3.6).

-

Membaiknya kepercayaan investor global, tingginya imbal hasil investasi rupiah serta terjaganya persepsi risiko mendorong aliran dana asing masuk ke perekonomian domestik. Sampai dengan November 2009 aliran masuk dana asing yang masuk ke SBI dan SUN masing-masing tercatat sebesar USD680,56 juta dan USD1,04 miliar. Hal tersebut menyebabkan posisi asing pada SBI dan SUN menjadi USD5,29 miliar dan USD10,95 miliar. Sementara