gangguan hemostasis stroke
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Stroke merupakan masalah medis yang utama, diperkirakan 1 dari 3 orang
akan mengalami stroke dan 1 dari 7 orang akan meninggal karenanya. Stroke akan
menjadi beban penderita maupun keluarganya, dan kemungkinan untuk bekerja
kembali setelah serangan berlalu sulit bahkan untuk berkomunikasi dengan orang
lain sekalipun. Kesulitan lain yang harus dihadapi adalah penurunan kemampuan
mental penderita secara progresif. Penderita yang sembuh dari strokenya mungkin
menghadapi kesulitan dalam penggunaan anggota geraknya secara tepat. Mungkin
penderita kehilangan kemampuannya untuk sekedar membasuh tangan, menyisir
rambut atau berpakaian sendiri (apraksia) atau penderita tidak dapat mengenali
orang atau benda (agnosia).
Penyakit ini merupakan penyebab umum kecacatan pada penduduk yang
berusia pertengahan dan usia tua sehingga diperlukan perawatan jangka panjang
bagi penderita yang mengalami cacat berat. Selain itu stroke adalah problem
kedokteran yang amat penting di negara maju dan sebagai penyebab kematian
yang menduduki urutan kedua setelah penyakit jantung.
Gangguan hemostasis dapat menyebabkan terjadinya trombosis pada
pembuluh darah otak, yang menyebabkan terjadinya iskemik serebrovaskular.
Namun, mayoritas pasien yang mengalami kejadian serebrovaskular iskemik tidak
memiliki kelainan hemostasis yang jelas. Gangguan koagulasi yang
mempengaruhi terjadinya stroke tetap belum didapatkan secara pasti tetapi telah
1
terlibat dalam stroke vena (trombosis vena serebri) daripada stroke arteri.
Kelainan fungsi trombosit, kelainan hemostatik herediter, dan cedera vaskular
dapat menyebabkan terjadinya trombosis. Penting untuk menyoroti pentingnya
faktor-faktor tersebut terhadap kejadian stroke, untuk menilai dampaknya
terhadap prognosis jangka panjang, dan menguraikan pendekatan kepada pasien
dengan stroke untuk evaluasi kelainan hemostatik.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. GANGGUAN HEMOSTASIS
2.1.1. Definisi
Gangguan hemostasis adalah suatu gangguan pada mekanisme dalam
penghentian dan pencegahan perdarahan. Jika terjadi luka pada pembuluh darah
maka akan terjadi vasokontriksi pembuluh darah, kemudian trombosit berkumpul
dan melekat pada pembuluh darah yang luka membentuk sumbat trombosit.
Faktor koagulasi akan diaktifkan sehingga membentuk benang fibrin yang
membuat sumbat trombosit menjadi non permeable maka dari ituperdarahan dapat
dihentikan. Gangguan hemostasis terdiri dari BT, aPTT, PT, TAT (pola kurva dan
nilai maksimal % ).1
2.1.2 Waktu perdarahan / Bleeding Time / BT
A. Definisi
Pemeriksaan waktu perdarahan ini berfungsi untuk menilai kemampuan
vaskuler dan trombosit untuk menghentikan perdarahan. Waktu perdarahan
dipengaruhi oleh faktor trombosit, pembuluh darah, faktor koagulasi. Pemeriksaan
ini merupakan tes yang kurangmemuaskan karena tidak dapat dilakukan
standarisasi tusukan baik mengenai dalamnya, panjangnya, lokalisasinya, maupun
arahnya sehingga perbedaan korelasi antara hasil test ini dankeadaan klinik tidak
3
begitu baik. Menurut Thompson Waktu perdarahan tidak efektif untuk menilai
resiko perdarahan maupun untuk menilai respon terapi.1,2
Apabila terjadi luka pada pembuluh darah kecil maka akan terjadi
vasokonstriksi yang secara reflektoris yang menyebabkan aliran darah ke daerah
luka berkurang dan kemudian akan dipertahankan oleh faktor lokal 5–
hidroksitriptamin (5–HT, serotonin) dan epinefrin.3,4
B. Cara pemeriksaan
Prinsip pemeriksaan ini adalah menentukan lamanya waktu perdarahan
pada luka yang mengenai kapiler. Ada 2 macam cara yaitu : cara Ivy dan Duke.
Pada cara Ivy, mula –mula dipasang tensimeter dengan tekanan 40 mmHg
didaerah lengan atas, kemudian dilakukan tindakan antiseptis dengan kapas
alcohol, kulit lengan bawah bagian voler diregangkan lalu dilakukan tusukan
dengan lanset sedalam 3mm. Stopwatch dijalankan pada saat darah keluar. Setiap
30 detik darah dihisap dengan kertas saring. Stopwatch dihentikan setelah darah
tidak keluar lagi. Nilai rujukan berkisar antara 1 – 6 menit.
Pada cara Duke, mula – mula dilakukan tindakan antiseptis pada anak
daun telinga, kemudian tusuk tepi anak daun telinga dengan lanset. Stopwatch
dijalankan pada saat darah keluar . Setiap 30 detik darah yang keluar dihisap
dengan kertas saring. Stopwatch dihentikan jika darah tidak keluar lagi. Nilai
rujukan: 1 sampai 3 menit. Pada pemeriksaan ini tusukan harus dalam, sehingga
dihasilkan bercak darah pada kertas saring mempunyai diameter 5mm atau
lebih.4,5
4
2.1.3. activated Partial Thromboplastin Time / aPTT
A. Definisi
Pemeriksaan ini berfungsi untuk menguji faktor koagulasi jalur intrinsik
dan jalur bersama yaitu faktor koagulasi V, VIII, IX, XII, prekalikren, kininogen,
protrombin, dan fibrinogen.1
Faktor V atau disebut juga proakselerin / faktor labil, merupakan unsur
globulin akselerator, yaitu suatu glikoprotein yang mempunyai homologi dengan
faktor VIII dan seruloplasmin. Di sintesis di dalam hati , lien serta ginjal. Di
temukan di trombosit dan plasma. Mempunyai berat molekul 330 kDa. Fungsi
dari faktor V ini adalah sebagai kofaktor dalam aktivasi protrombin oleh faktor
Xa, ketika faktor V diaktifkan menjadi faktor Va oleh sejumlah kecil trombin,
unsur ini terikat dengan reseptor spesifik pada membran trombosit.2
Faktor VIII atau Faktor antihemofilia A / globulin antihemofilia / AHG
adalah suatu glikoprotein yang disintesis di hati. Di aktifkan oleh trombin.
Fungsinya adalah ketika di ubah menjadi faktor VIIIa merupakan kofaktor dalam
aktivasi faktor X oleh faktor IXa. Faktor IX nama lainnya faktor antihemofiflia B /
faktor Christmas merupakan komponen tromboplastin plasma ( PTC ). Di aktifkan
oleh faktor XIa yang dipengaruhi oleh Ca2+.2
B. Mekanisme kerja jalur intrinsik
Pada pembuluh darah yang luka maka terjadi pembentukan kompleks
aktivator Faktor X. Kontak antara Faktor XII dengan permukaan asing seperti
5
serat kolagen menyebabkan aktivasi faktor XII menjadi faktor XIIa. Adanya
kofaktor High Molecular Weight Kininogen ( HMWK ) maka faktor XIIa akan
mengubah prekalikren menjadi kalikren yang meningkatkan aktivasi faktor XII
selanjutnya denga adanya kofaktor HMWK. Kalikren akan mengaktifkan faktor
VIII menjadi faktor VIIIa. Faktor IXa bersama dengan faktor V, PF 3,
kalsiummengubah faktor X menjadi faktor Xa yang akan mengubah protrombin
menjadi trombin. Trombin mengubah fibrinogen menjadi fibrin monomer yang
akhirnya membentuk fibrin polimer insolubel.3,4
C. Cara pemeriksaan
Prinsip pemeriksaan ini adalah mengukur lama terbentuknya bekuan, yaitu
plasma ditambah reagen tromboplastin parsial dan aktivator serta ion kalsium
pada suhu 37° C. Reagen tromboplastin parsial merupakan fosfolipid sebagai
pengganti Platelet Factor 3. Nilai rujukan aPTT adalah antara 20 – 40 detik. Hasil
memanjang bila didapatkan defisiensi faktor jalur intrinsik yaitu faktor V,
fibrinogen dan jalur bersama faktor VIII dan fibrinogen atau didapatkan inhibitor
yaitu FDP ( fibrin degradation product ). Jka terjadi peningkatan fibrinogen dan
faktor VIII maka aPTT memendek.Pemeriksaan ini dapat dipakai untuk
memantau pemberian heparin.5,6
2.1.4. Protrombin Time / PT
A. Definisi
Pemeriksaan ini berfungsi untuk menilai faktor koagulasi jalur ekstrinsik
dan jalur bersama yaitu faktor koagulasi V, VII, X, protrombin, dan fibrinogen
6
serta untuk memantau efek antikoagulan oral. Faktor VII atau prokonvertin,
merupakan unsur akselerator konversi protrombin serum ( SPCA ) dan
kotromboplastin.1,2
Faktor X atau Stuart – Prower, disintesis di hati. Diaktifkan pada
permukaan trombosit yang sedang aktif oleh kompleks protrombinase ( Ca2+,
faktor VIIIa dan IXa ) dan oleh faktor VIIa yang dipengaruhi oleh faktor jaringan
dan Ca2+.3
Protrombin merupakan glikoprotein rantai tunggal yang disintesis dalam
hati. Mempunyai berat molekul 72 kDa. Regio aminal pada protrombin
mengandung 10 residu GIa dan tempat protease aktif yang bergantung pada serin.
Setelah terikat dengan kompleks faktor Va dan Xa pada membran trombosit,
protrombin dipecah oleh faktor Xa pada 2 tempat untuk menghasilkan molekul
trombin 2 rantai yang aktif yang kemudian dilepas oleh permukaan trombosit.
Fibrinogen atau faktor I merupakan glikoprotein plasma yang bersifat dapat larut
dengan panjang 47,5 nm serta terdiri dari 3 pasang rantai polipeptida non identik
(A, B2, B3) yang dihubungkan secara kovalen oleh ikatan disulfida. Ke tiga rantai
tersebut disintasi oleh hati.3
B. Mekanisme jalur ekstrinsik
Faktor VII diaktifkan menjadi faktor VIIa dipengaruhi kalikren, dengan
adanya ion kalsium dan tromboplastin jaringan yang dikeluarkan oleh pembuluh
darah yang luka. Faktor VII bersama IXa, PF3,kalsium mempengaruhi faktor X
menjadi Xa dan bersama PF3, kalsium, faktor V mempengaruhi pembentukan
7
protrombin menjadi trombin. Trombin menativasi faktor XIII menjadi faktor
XIIIa, kemudian terbentuk fibrin polimer insoluble karena adanya faktor XIIIa.3,4
C. Cara pemeriksaan
Prinsip pemeriksaan ini adalah mengukur lama terbentuknya bekuan yaitu
dengan cara plasma ditambah reagen tromboplastin jaringan dan ion kalsium
kemudian diinkubasi pada suhu 37° C. Nilai rujukannya adalah 11 – 15 detik. Jika
hasil PT memanjang maka penyebabnya adanya defisiensi faktor koagulasi jalur
ekstrinsik dan jalur bersama serta adanya inhibitor.5,6
2.1.5. Test agregasi trombosit ( TAT )
A. Definisi
Test Agregasi Trombosit adalah test untuk menilai fungsi agregasi
trombosit. Metoda yang masih dianggap sebagai baku emas adalah yang
berdasarkan perubahan transmisi cahaya.2,3
B. Mekanisme agregasi trombosit
Jika pembuluh darah luka, maka sel endotel akan rusak sehingga jaringan
ikat yang ada dibawah sel endotel terbuka. Hal ini menyebabkan terjadinya adhesi
trombosit yaitu suatu proses dimana trombosit melekat pada permukaan asing
terutama serat kolagen. Disamping melekat pada permukaan asing, trombosit juga
melekat pada trombosit lain dan proses ini disebu agregasi trombosit. Agregasi
trombosit mula-mula dicetuskan oleh ADP yang dikeluarkan oleh trombosit yang
melekat pada serat sub endotel. Agregasi yang terbentuk disebut agregasi
8
trombosit primer yang bersifat reversibel. Trombosit pada agregasi primer akan
mengeluarkan ADP sehingga terjadi agregasi sekunder yang bersifat irevesibel.
Disamping ADP, untuk terjadinya agregasi trombosit diperlukan oin kalsium dan
fibrinogen. Agregasi trombosit terjadi karena adanya pembentukan ikatan antara
fibrinogen yang melekat pada dinding trombosit dengan perantara ion kalsium.
Mula – mula ADP akan terikat pada reseptornya dipermukaan trombosit dan
interaksi ini menyebabkan reseptor untuk fibrinogen terbuka sehingga
memungkinkan fibrinogen dan reseptornya untuk berikatan. Kemudian ion
kalsium akan menghubungkan fibrinogen tersebut, sehingga terjadi agregasi
trombosit. ADP yang terikat pada permukaan trombosit akan mengaktifkan enzim
fosfolipase A2 yang akan memecah fosfolipid yang terdapat pada dinding
trombosit yang kemudian akan melepaskan asam arakhidonat.1,2
Asam arakhidonat akan diubah oleh enzim siklo-oksigenase menjadi
prostaglandin G2 (PGG2) yang kemudian akan diubah menjadi prostaglandin H2 (
PGH2 ) oleh enzim peroksidase. PGH2 akan diubah oleh enzim tromboksan
sintetase menjadi tromboksan A2 ( Tx A2 ) yang akan merangsang agregasi
trombosit.1,3,4
9
2.2 GANGGUAN HEMOSTASIS YANG MENYEBABKAN STROKE
Gangguan hemostasis dapat menyebabkan terjadinya trombosis pada
pembuluh darah otak, yang menyebabkan terjadinya iskemik serebrovaskular.
Namun, mayoritas pasien yang mengalami kejadian serebrovaskular iskemik tidak
memiliki kelainan hemostasis yang jelas. Gangguan koagulasi yang
mempengaruhi terjadinya stroke tetap belum didapatkan secara pasti tetapi telah
terlibat dalam stroke vena (trombosis vena serebri) daripada stroke arteri.
Kelainan fungsi trombosit, kelainan hemostatik herediter, dan cedera vaskular
dapat menyebabkan terjadinya trombosis. Penting untuk menyoroti pentingnya
faktor-faktor tersebut terhadap kejadian stroke, untuk menilai dampaknya
terhadap prognosis jangka panjang, dan menguraikan pendekatan kepada pasien
dengan stroke untuk evaluasi kelainan hemostatik.8
Secara umum, pasien yang mengalami hiperkoabilitas/diskrasia darah dan
stroke, rentan untuk mengalami kejadian serebrovaskular berulang. Pasien-pasien
ini biasanya lebih muda dibandingkan pasien stroke pada populasi umum dan
tidak memiliki faktor risiko vaskular. Kelainan hematologi yang diketahui
diperkirakan mencapai sekitar 4% dari semua kejadian stroke, tetapi jumlah ini
mungkin lebih tinggi pada orang muda.9
2.2.1 Resistensi APC dan faktor V Leiden
Cacat bawaan yang paling umum menyebabkan trombosis vena adalah
resistensi herediter terhadap aktivasi protein C (APC), yang disebabkan oleh
mutasi pada faktor V (faktor V Leiden) dan yang menyebabkan faktor V yang
telah aktif tidak dapat dibelah oleh APC. Hal ini terjadi pada 5-7% dari populasi
10
normal, 20% pasien dengan trombosis vena dalam (DVT), dan 60% yang
mengalami DVT rekuren.11
Tidak ada penelitian yang menghubungan antara faktor V Leiden dan
kejadian stroke arteri, sehingga kejadian faktor ini pada pasien dengan stroke
tidak diketahui. Secara umum, bagaimanapun, faktor V Leiden lebih berkorelasi
dengan mekanisme trombosis vena daripada trombosis arteri. Oleh karena itu,
Faktor V Leiden dicurigai terkait dengan emboli paradoksal atau dengan
trombosis sinus venosus lebih daripada dengan mekanisme stroke arteri. Keadaan
heterozigot, tidak seperti keadaan homozigot, belum terbukti menjadi faktor risiko
untuk terjadinya tromboemboli vena rekuren.12
2.2.2 Defisiensi antagonis trombin
Defisiensi protein C, protein S, dan antitrombin III (ATIII) semuanya
sangat langka terjadi, dengan frekuensi mulai dari 1 kejadian per 1000 orang
sampai 1 per 5000 pada populasi umum. Dalam sebuah studi oleh Martinez dkk,
10 dari 60 pasien (17%) mengalami stroke iskemik akut yang disebabkan
kekurangan protein C, protein S, atau ATIII.10
Trombosis vena serebral lebih sering terjadi daripada stroke arteri. Tidak
ada hubungan yang jelas ditemukan antara protein C atau kekurangan ATIII
dengan stroke arteri, meskipun pasien dengan tingkat protein C yang rendah pada
saat stroke akut memiliki hasil yang buruk. Namun, sebuah studi prospektif tidak
menemukan adanya kekurangan protein bebas S pda 23% dari pasien muda
penderita stroke dengan penyebab yang tidak pasti, tetapi temuan ini dapat
11
dikaitkan dengan tingkat C4b yang lebih tinggi (sebuah reaktan fase akut yang
menurunkan tingkat protein bebas S). Setelah defisiensi protein C, protein S, atau
ATIII diidentifikasi, penting untuk membedakan antara kasus bawaan dan
diperoleh.10
2.2.3 Mutasi gen Protrombin
Laporan penelitian menunjukkan bahwa Transisi G-to-A pada posisi
nukleotida 20210 (G20210A) pada gen protrombin dianggap sebagai faktor risiko
trombosis vena serebral. Keadaan heterozigot, tidak seperti keadaan homozigot,
belum terbukti menjadi faktor risiko tromboemboli vena rekuren. Mutasi ini
belum jelas terkait dengan stroke iskemik akut.13
2.2.4 Kelainan fibrinolisis Herediter
Displasminogenemia disebabkan oleh mutasi genetik yang menyebabkan
molekul fibrinogen membentuk bekuan yang tahan terhadap fibrinolisis atau yang
mengikat dengan peningkatan aviditas trombosit untuk menyebabkan trombosis.
Hal ini menyebabkan hipofibrinolisis oleh berbagai mekanisme, termasuk
menurunnya tingkat sirkulasi plasminogen, suatu fungsi plasminogen yang tidak
normal, peningkatan konsentrasi inhibitor aktivator plasminogen, atau penurunan
tingkat aktivator plasminogen.10
Meskipun hubungan dengan stroke secara per se belum dijelaskan, mutasi
ini dapat meningkatkan risiko episode trombotik vena dan arteri, termasuk stroke,
12
dan harus dipertimbangkan pada pasien muda dengan stroke dan riwayat DVT
berulang.10
2.2.5 Gangguan eritrosit
Meskipun penyakit sel sabit itu sendiri tidak mengubah keadaan
hemostasis, hal tersebut diyakini menjadi faktor risiko stroke karena kerusakan
pembuluh darah. Mekanisme tersebut adalah penyempitan segmental yang
progresif dari arteri karotid internal dan bagian distal dari lingkaran Willis dan
cabang proksimal dari arteri intrakranial mayor. Penyumbatan sel sabit pada
pembuluh darah mikrosirkulasi dan serebral juga telah dilaporkan terjadi.
Insiden stroke pada pasien dengan hemoglobin SS adalah sebesar 10%;
pada mereka dengan hemoglobin SC sebesar 2-5%. Insiden puncak infark otak
adalah sekitar usia 10 tahun. Gangguan eritrosit lain, seperti polycythemia vera,
menyebabkan terjadinya pengurangan aliran darah otak yang terkait dengan
hiperviskositas.10
2.2.6 Gangguan yang berkaitan dengan fungsi trombosit yang abnormal
Sebagian besar oklusi mikrovaskular pada thrombositopenik purpura
trombotik (TTP) adalah sekunder untuk beberapa kejadian trombi platelet-fibrin
mikrovaskuler yang melibatkan arteri kecil dan kapiler. Sebagian besar dari studi
terhadap produk degradasi fibrin dan koagulasi dalam batas normal, tapi sering
ditemukan peningkatan fibrinogen plasma.10
13
Trombositopenia akibat heparin adalah gangguan di mana pasien
mengembangkan antibodi terhadap heparin yang diarahkan pada trombosit untuk
menyebabkan aktivasi. Dua jenis yang telah diidentifikasi adalah: perembangan
Tipe I yaitu 1-5 hari setelah diberikan terapi heparin dan merupakan kondisi jinak
yang menghasilkan agregasi platelet. Tipe II berkembang selama 6-10 hari setelah
pemberian terapi heparin dan merupakan faktor risiko stroke berulang.11
Gangguan myeloproliferatif, khususnya trombositosis esensial dan
polycythemia vera, menempatkan pasien untuk berisiko lebih tinggi pada kejadian
trombotik, termasuk stroke. Aterosklerosis dan disfungsional trombosit, lebih dari
jumlah trombosit yang meningkat, diyakini berkontribusi pada kejadian trombotik
serebral. Hemoglobinuria nokturnal paroksismal juga menyebabkan kejadain
trombotik serebrovaskular, terutama terkait dengan trombosis vena.12
2.2.7 Sindrom Autoantibodi
Antifosfolipid syndrome (APS) (yaitu, adanya antibodi antifosfolipid [aPL]
atau antikoagulan lupus [LA]) terjadi pada 10% pasien dengan stroke iskemik
akut. Jumlah ini lebih tinggi pada pasien yang lebih muda. Telah disadari bahwa
antibodi aPL ini penting, karena berhubungan dengan keadaan hiperkoagulasi
yang ditandai dengan kejadian matinya janin, trombositopenia, dan vena dan
trombosis arteri.10
Tiga jenis utama dari antibodi aPL yang relevan secara klinis adalah
antibodi anticardiolipin (aCL), LA, dan antibodi anti-β2-glikoprotein I (anti-β2
GPI). Pada pasien dengan APS, kesesuaian aCL dan LA mungkin hingga 70%.
14
Sampai dengan 10% pasien dengan antibodi aPL semata-mata positif pada anti-β2
antibodi GPI. Mekanisme terjadinya trombosis adalah heterogen dan mencakup
lesi katup jantung yang emboli, tingkat hiperkoagulabilitas, dan endoteliopati
vaskular serebral. Hal tersebut cenderung mengganggu dalam beberapa cara
dengan fungsi sel endotel normal melalui jalur antikoagulan protein C dan protein
S.10
Pada tahun 2006, diperbarui Kriteria Sapporo untuk APS. Kriteria
klinisnya termasuk trombosis pembuluh darah dan morbiditas kehamilan. Kriteria
laboratorium pada 2 atau lebih pemeriksaan terpisah lebih dari 12 minggu
meliputi:14
• Antibodi ACL (imunoglobulin [Ig] G atau IgM; titer menengah atau tinggi
> 40 GPL / MPL atau > persentil ke-99, di mana GPL merupakan unit
fosfolipid IgG dan MPL adalah unit fosfolipid IgM)
• antibodi Anti-β2-glikoprotein I (IgG atau IgM > 99 persentil)
• LA
Terdapat bukti bahwa setidaknya satu lipoprotein, lipoprotein (a) (Lp (a)),
meningkat pada populasi yang dipilih dengan penyakit serebrovaskular. Banyak
penelitian telah menunjukkan bahwa peningkatan Lp (a) menjadi faktor risiko
yang potensial untuk stroke, terutama pada orang muda. Namun, peran yang jelas
dari pengobatan Lp (a) yang tinggi dalam mencegah stroke belum ditetapkan.10.14
15
2.2.8 Evaluasi pada Pasien Dengan Gangguan Hemostasis dan Stroke
Karakteristik pasien dan pemeriksaan fisik
Gangguan hemostasis atau hiperkoagulabilitas harus dicurigai pada pasien
dengan stroke iskemik yang memiliki karakteristik sebagai berikut:
• Lebih muda dari 50 tahun dengan stroke yang tidak diketaui penyebabnya
dengan jelas
• Riwayat stroke yang tidak jelas
• Riwayat trombosis vena sebelumnya
• Riwayat keluarga yang menderita trombosis
• Terdapat kelainan pada hasil tes skrining koagulasi rutin
Selain itu, sindrom antifosfolipid (APS) harus dicurigai pada pasien
dengan riwayat keguguran, demensia, neuropati optik, dan trombositopenia, serta
sindrom lupus-like dan "migrain komplikata". Meskipun diketahui adanya stroke,
keterlibatan korteks serebral dan subadjacent white matter oleh mikrotrombi
fibrin platelet merupakan tempat yang paling sering.15
Beberapa temuan fisik mengarah pada diagnosis gangguan hemostasis
pada stroke. Diskrasia darah lebih umum menjadi faktor predisposisi trombosis
pada arteri besar. Gangguan hemostasis (diskrasia darah) jaeang dapat
menyebabkan stroke lakunar atau stroke kardioembolik.15
2.2.9 Diagnosis
Pada pasien yang didiagnosis mengalami gagguan hemostasis darah, harus
dilakukan pemeriksaan klinis untuk menentukan apakah adanya trombosis di
tempat lain, termasuk trombosis vena. Dalam beberapa kasus, sindrom
16
antifosfolipid (APS) dikaitkan dengan sindrom Sneddon, yang dimanifestasikan
oleh penyakit livedo reticularis dan serebrovaskular.15
Kondisi lain yang harus dipertimbangkan ketika mengevaluasi gangguan
hemostasis darah terhadap stroke termasuk adanya stroke kardioembolik; sindrom
diseksi; displasia fibromuskular; sindrom lacunar; sirkulasi anterior stroke,
trombosis vena serebral; cerebellar, intrakranial, dan perdarahan subarachnoid;
hematoma epidural dan subdural, kejang dan epilepsi; aterosklerotik penyakit dari
arteri karotis, dan serangan iskemik transien (TIA).15
Penyakit metabolik juga telah dikaitkan dengan stroke, termasuk
hiperglikemia/ hipoglikemia, sindrom encephalomyopathy mitokondria, asidosis
laktat, dan episode strokelike (Melas); asidemia methylmalonic, dan asidemia
propionat.15
2.2.10 Penatalaksanaan terhadap Gangguan Hemostasis
Pengobatan gangguan hemostasis yang dapat menyebabkan stroke masih
kontroversial. Risiko dan manfaat pengobatan harus dipertimbangkan dalam
konteks jumlah episode terjadinya trombosis. Pada pasien yang tidak diobati
dengan antikoagulan, profilaksis harus dipertimbangkan selama masa yang
berisiko tinggi, seperti kehamilan, imobilisasi, atau periode pasca operasi.16
1. Penatalaksaaan Umum menurut rekomendasi berbasis bukti
Pasien yang mengalami stroke iskemik atau transient ischemic attack
(TIA) dengan trombofilia hereditas harus dievaluasi terhadap terjadinya deep vein
thrombosis (DVT), yang merupakan indikasi untuk terapi antikoagulan jangka
17
pendek atau jangka panjang, tergantung pada keadaan seseorang (kelas I, derajat
bukti A).16
Jika tidak ada tromboemboli vena, terapi antikoagulan jangka panjang atau
antiplatelet merupakan terapi yang wajar (kelas IIa, derajat bukti C). Untuk
kejadian berulang dipertimbangkan untuk pemberian antikoagulan jangka panjang
(kelas IIb, derajat bukti C).16
Rekomendasi umum lainnya adalah bahwa untuk pasien dengan stroke
iskemik kriptogenik atau TIA dan kemungkinan sindrom antifosfolipid (APS),
terapi antiplatelet merupakan terapi yang wajar (kelas IIa, tingkat B bukti). Untuk
pasien dengan stroke iskemik atau TIA dan APS pasti dengan penyakit oklusi
vena dan arteri pada beberapa organ, keguguran, dan livedo reticularis,
antikoagulan oral merupakan terapi yang rasional diberikan (rasio normalisasi
internasional [INR] 2-3) (kelas IIa, derajat bukti B).16
2. Pemberian Antikoagulan
Pasien dengan keadaaan hiperkoagulasi seperti resistensi pengaktifan
protein C (APC), defisiensi protein C, protein S, atau antitrombin III (ATIII), atau
sindrom antifosfolipid (APS) ditatalaksana dengan antikoagulan untuk profilaksis
stroke, terutama jika terjadi deep vein trombosis (DVT) atau terjadi peristiwa
trombotik berulang. Regimen antikoagulasi biasanya dimulai dengan pemberian
heparin intravena (IV), menjaga nilai activated partial thromboplastin time
(aPTT) tetap pada 2-3 kali normal, sampai diberikannya antikoagulan oral (yaitu,
warfarin) akan mampu mencapai waktu protrombin (PT) terapeutik (rasio
normalisasi internasional [INR]).16
18
Pada defisiensi protein C dan S, pemberian heparin sebelum warfarin
sangat penting untuk menghindari terjadinya nekrosis kulit akibat warfarin.
Tingkat antikoagulasi pada PT (INR) yang dibutuhkan untuk profilaksis stroke
masih belum pasti. Dalam pengobatan APS, sebuah penelitian retrospektif
melaporkan bahwa dari 3,0-3,5 INR lebih efektif dibandingkan dengan USD
secara rutin digunakan dari 2,0-3,0, namun, 2 studi prospektif menunjukkan
bahwa INR sebesar 2,0-3,0 cukup pada APS. Sebuah fraksi yang cukup besar dari
ahli saraf menghindari pengobatan pasien stroke dengan bolus heparin, karena hal
ini diyakini akan meningkatkan risiko perdarahan intrakranial.15,16
Hasil penelitian Antiphospholipid Antibodies in Stroke Study (APASS)
menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan antara aspirin dan warfarin untuk
pengobatan pasien dengan antibodi anticardiolipin (aCL) atau lupus anticoagulant
(LA). Hal ini penting untuk menekankan APASS yang tidak melihat secara
khusus APS. Namun, tercatat bahwa risiko trombosis berulang meningkat pada
pasien yang memiliki antibodi aCL dan LA. Selain itu, pasien yang terdaftar
dalam APASS memiliki titer antibodi yang rendah aCL dan INR rendah, dan
penelitian ini dikritik karena keterbatasan ini.16
Dengan demikian, dalam memutuskan apakah pasien perlu diobati dengan
warfarin, status LA dan titer antibodi aCL yang tinggi juga harus diingat, dan
intensitas antikoagulasi yang tinggi (target INR> 3,0) harus dipertimbangkan pada
pasien yang tepat. Sebuah uji klinis dengan APS didefinisikan dan titer tinggi
antibodi aCL dan LA dengan rejimen warfarin intensitas tinggi mungkin dapat
menangani masalah ini.16
19
BAB III
KESIMPULAN
Gangguan hemostasis adalah suatu gangguan pada mekanisme dalam
penghentian dan pencegahan perdarahan. Jika terjadi luka pada pembuluh darah
maka akan terjadi vasokontriksi pembuluh darah, kemudian trombosit berkumpul
dan melekat pada pembuluh darah yang luka membentuk sumbat trombosit.
Gangguan hemostasis dapat menyebabkan terjadinya trombosis pada
pembuluh darah otak, yang menyebabkan terjadinya iskemik serebrovaskular.
Namun, mayoritas pasien yang mengalami kejadian serebrovaskular iskemik tidak
memiliki kelainan hemostasis yang jelas.
Gangguan koagulasi yang mempengaruhi terjadinya stroke tetap belum
didapatkan secara pasti tetapi telah terlibat dalam stroke vena (trombosis vena
serebri) daripada stroke arteri. Kelainan fungsi trombosit, kelainan hemostatik
herediter, dan cedera vaskular dapat menyebabkan terjadinya trombosis.
Pasien yang mengalami hiperkoabilitas/diskrasia darah dan stroke, rentan
untuk mengalami kejadian serebrovaskular berulang. Pasien-pasien ini biasanya
lebih muda dibandingkan pasien stroke pada populasi umum dan tidak memiliki
faktor risiko vaskular. Kelainan hematologi yang diketahui diperkirakan mencapai
sekitar 4% dari semua kejadian stroke, tetapi jumlah ini mungkin lebih tinggi pada
orang muda.
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Colman RW.Hirs J, Marder VJ, Cewes AW, George JN. 2002. Hemostasis
and Thrombosis; Basic Principles and clinical practice . 4th edition.
Lippincott and Willkin. Hagerstown.
2. Fogelson A. Computational modeling of blood clotting: platelet aggregation
and coagulation. Available from: http://www.ima.umn.edu/biology/
wkshpabstract/fogelson1.html, 2001.
3. Rahayuningsih. Agregasi trombosit. Bagian Patologi Klinik FK UI-RSCM.
1997.
4. Dahlback B. 2002. Blood Coagulation. Lancet 355; 1627 – 355.
5. George JN. 2002. Platelets. Lancet. 355 : 1531 – 9.
6. Ruggeri ZM. Old concepts and new developments in the study of platelet
aggregation. J Clin Invest 2000; 106 ( 6 ) : 699 – 701.
7. Ratnoff OD and Forbes CD. Eds 1996. Disorder of Haemostasis, 3rd edn.
WB Saunders, Philadelphia. Goetz Christopher G. Cerebrovascular Diseases.
In : Goetz: Textbook of Clinical Neurology, 3rd ed. Philadelphia : Saunders.
2007.
8. Svensson PJ, Dahlbäck B. Resistance to activated protein C as a basis for
venous thrombosis. N Engl J Med. Feb 24 1994;330(8):517-22.
9. Israels SJ, Seshia SS. Childhood stroke associated with protein C or S
deficiency. J Pediatr. Oct 1987;111(4):562-4.
10. Hart RG, Kanter MC. Hematologic disorders and ischemic stroke. A
selective review. Stroke. Aug 1990;21(8):1111-21.
11. Ridker PM, Hennekens CH, Lindpaintner K, Stampfer MJ, Eisenberg PR,
Miletich JP. Mutation in the gene coding for coagulation factor V and the risk
of myocardial infarction, stroke, and venous thrombosis in apparently healthy
men. N Engl J Med. Apr 6 1995;332(14):912-7.
12. Zöller B, Dahlbäck B. Linkage between inherited resistance to activated
protein C and factor V gene mutation in venous thrombosis. Lancet. Jun 18
1994;343(8912):1536-8.
21
13. Reuner KH, Ruf A, Grau A, Rickmann H, Stolz E, Jüttler E, et al.
Prothrombin gene G20210-->A transition is a risk factor for cerebral venous
thrombosis. Stroke. Sep 1998;29(9):1765-9.
14. Miyakis S, Lockshin MD, Atsumi T, Branch DW, Brey RL, Cervera R, et al.
International consensus statement on an update of the classification criteria
for definite antiphospholipid syndrome (APS). J Thromb Haemost. Feb
2006;4(2):295-306.
15. Sen, Souvik. Blood Dyscrasias and Stroke. 2011. Medscape Reference.
Available at URL: http://emedicine.medscape.com/article/1160261.htm.
Accessed on June 2012.
16. Sacco RL, et al. Guidelines for prevention of stroke in patients with ischemic
stroke or transient ischemic attack: a statement for healthcare professionals
from the American Heart Association/American Stroke Association Council
on Stroke: co-sponsored by the Council on Cardiovascular Radiology and
Intervention: the American Academy of Neurology affirms the value of this
guideline. Stroke. Feb 2006;37(2):577-617.
22