jalan% ain penyelesaian konflik agraria:% knupka...jalan lain penyelesaian konflik agraria = working...
TRANSCRIPT
Seri Working Paper Kebijakan Agraria dan Pembangunan Pasca Orde Baru No. 04/WP-‐KAPPOB/I/2017
Dianto Bachriadi
Jalan Lain Penyelesaian Konflik Agraria:
KNuPKA
Agrarian Resources Center 2017
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KTD) Bachriadi, Dianto Jalan Lain Penyelesaian Konflik Agraria: KNuPKA Seri working paper Kebijakan Agraria dan Pembangunan Paska Orde Baru, Vol. 1, No. 04/WP-‐KAPPOB/I/2017 Cetakan 1, Bandung: ARC, 2017 [2004] 25 hlm; 21 x 29,5 cm ISSN 2541-‐0121
Seri Working Paper Kebijakan Agraria dan Pembangunan Paska Orde Baru Vol. 1 editor seri, Dianto Bachriadi Seri Working Paper Kebijakan Agraria dan Pembangunan Paska Orde Baru menyajikan hasil-‐hasil penelitian yang dilakukan oleh ARC terkait dengan kebijakan agraria dan pembangunan di Indonesia paska otoritarianisme Orde Baru. Seri ini menampilkan tulisan-‐tulisan hasil penelitian yang terbaru maupun tulisan lama dalam tema terkait yang belum pernah diterbitkan maupun yang sudah pernah dipublikasi dalam kesempatan lain tetapi relevan dijadikan bagian dari seri working paper ini. Seri working paper ini dipersembahkan untuk mengenang (Alm.) Tri Agung Sujiwo (1975-‐2015). Penerbitan seri ini didukung oleh CCFD – Terre Solidaire, Perancis Tulisan ini pernah diterbitkan dengan judul “Tendensi dalam Penyelesaian Konflik Agraria di Indonesia: Menunggu Lahirnya Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA)” di Jurnal Dinamika Masyarakat Vol. III, No. 3, November 2004, hal. 497-‐521. Untuk penerbitan working paper dilakukan sejumlah kecil perbaikan pada teks utama, rujukan dan catatan kaki oleh penulisnya. Selain itu, penulisnya juga menambahkan sedikit teks di bagian akhir tulisan yang dalam bagian Postcript. Perbaikan-‐perbaikan itu sama sekali tidak mengubah makna keseluruhan naskah aslinya.
layout & setting: penkee
Jalan Ski Air No. 20, Arcamanik, Bandung 40293, INDONESIA +62 – 22 – 7237799 [email protected] www.arc.or.id
Dianto Bachriadi
Jalan Lain Penyelesaian Konflik Agraria:
KNuPKA
Working Paper ARC 04/WP-‐KAPPOB/I/2017
Agrarian Resources Center 2017
Daftar Isi
Reforma Agraria dan Konflik Agraria 1
Problem Penyelesaian Konflik Agraria pada Masa Orde Baru 2
Kenyataan Konflik Agraria pada Masa Kini 4
Mandat Politik Baru untuk Reforma Agraria dan Penyelesaian Konflik Agraria 11
Inisiatif Pembentukan ‘Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria’ 13
Postcript 17
Daftar Pustaka 19
Lampiran-‐lampiran 20
Lampiran / Tabel-‐tabel
Jumlah Konflik Agraria di 26 Propinsi 20
Jumlah Kasus Berdasarkan Peruntukannya Menurut Kebijakan Publik 21
Karakteristik Sengketa Tanah di Indonesia, 1970-‐2001 22
Kekerapan Pihak-‐pihak yang Menjadi Lawan Rakyat Setempat dalam Kasus-‐kasus Konflik Agraria di Indonesia 23
Persentase Keterlibatan Militer sebagai Alat untuk Menggusur Rakyat dalam Kasus-‐kasus Sengketa Agraria di Tiap Propinsi 24
Jumlah Kasus Konflik Agraria dan Jenis Tindak Kekerasan terhadap Keluarga Petani yang terjadi pada Kasus yang Bersangkutan, yang dapat terekam pada tahun 1990-‐2000 di 19 Propinsi di Indonesia 25
= Bachriadi
1
Reforma Agraria dan Konflik Agraria
Reforma Agraria sebagai suatu upaya untuk merombak struktur penguasaan tanah
yang timpang dalam prakteknya sangat memungkinkan menimbulkan persengketaan atau
konflik. Di sisi lain, konflik agraria yang sudah meluas, semakin intens, berkepanjangan dan
terus bertambah banyak mengindikasikan bahwa konflik agraria atau sengketa pertanahan
yang kemudian menguat menjadi konflik agraria tidak memperoleh perhatian untuk
diselesaikan sebagaimana mestinya. Konflik agraria yang terus berkembang, semakin intens,
dan berkepanjangan mengindikasikan ketimpangan penguasaan tanah dan/atau sumber daya
alam lainnya dalam masyarakat yang bersangkutan sudah semakin parah.
Kedua hal itu menjadi pertanda bahwa Reforma Agraria harus segera dijalankan untuk
menyelesaikan kedua persoalan tersebut. Karena itu ada ungkapan yang menyebutkan:
“Konflik agraria adalah anak kandung dari Pembaruan Agraria, tetapi Pembaruan Agraria
memperoleh pembenaran untuk dijalankan dari konflik-‐konflik agraria” (Christodoulou 1990;
Wiradi 2002). Meskipun demikian, Reforma Agraria seharusnya tidak hanya dijalankan untuk
menyelesaikan persoalan ketimpangan penguasaan tanah secara partial dan memiliki agenda
untuk menyelesaikan konflik agraria yang sudah/sedang terjadi saja. Reforma Agraria
seharusnya ditujukan untuk membentuk struktur kekuasaan baru di dalam kehidupan
ekonomi-‐sosial-‐dan politik masyarakat serta membabat akar-‐akar bagi munculnya konflik
agraria di kemudian hari.
Menyadari bahwa Reforma Agraria yang diwujudkan lewat program land reform dalam
menimbulkan persengketaan dan konflik, maka pemerintah Orde Lama membentuk
Pengadilan Land Reform sebagai lembaga untuk menyelesaikan sengketa-‐sengketa dan konflik
yang ditimbulkan dengan adanya program tersebut. Pengadilan Land Reform yang dibentuk
berdasarkan UU No. 21/1964 dapat dikatakan bukan lembaga peradilan “biasa”. Sebagian
anggota majelis hakimnya, misalnya, adalah orang-‐orang yang berasal dari perwakilan
(mewakili) organisasi-‐organisasi tani setempat di mana sengketa/konflik terjadi.
Pengadilan yang berjenjang dua tingkat (Daerah dan Pusat) ini memiliki kewenangan
untuk mengadili perkara-‐perkara perdata, pidana, maupun administratif yang timbul dalam
melaksanakan peraturan-‐peraturan land reform (pasal 2 ayat 1).
Jalan Lain Penyelesaian Konflik Agraria = Working Paper ARC No. 04/WP-KAPPOB/I/2017
2
Problem Penyelesaian Konflik Agraria pada Masa Orde Baru
Dengan terjadinya peralihan kekuasaan negara dari rezim Orde Lama ke rezim Orde
Baru pada tahun 1966, program land reform yang sistematik dan menyeluruh juga dikendurkan
pelaksanaannya hingga beberapa tahun kemudian dapat dikatakan dihentikan. Lembaga
peradilan agrarian khusus yang berbentuk Pengadilan Land Reform kemudian juga dihapuskan
melalui UU No. 7/1970. Untuk selanjutnya persoalan penyelesaian sengketa pertanahan dan
konflik agraria diserahkan kepada lembaga pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum
(pengadilan perdata atau pidana), atau diselesaikan melalui jalur non pengadilan. Baru pada
tahun 1986 Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) menjadi saluran lain untuk penyelesaian
sengketa-‐sengketa pertanahan yang diakibatkan oleh keluarnya kebijakan pemerintah atau
putusan-‐putusan dari pejabat administrasi negara1.
Padahal dalam kenyataannya, sejak Orde Baru berkuasa yang menekankan kepada
“pembangunan” ekonomi dan mengundang investasi besar sebanyak-‐banyaknya di segala
bidang – termasuk untuk kegiatan-‐kegiatan ekstraktif terhadap sumber daya alam, telah
terjadi pergeseran di dalam bentuk (pola-‐pola) konflik agraria di Indonesia.
Semenjak Orde Baru berkuasa, konflik agraria yang lebih menonjol justru muncul akibat
banyaknya kebijakan-‐kebijakan baru dan putusan-‐putusan aparat pemerintah yang terkait
dengan pertanahan dan sumber daya alam yang berhubungan dengan terbitnya hak-‐hak baru
untuk menguasai tanah dalam skala luas maupun untuk mengeksploitasi kekayaan alam yang
selama ini menjadi bagian dari kehidupan penduduk setempat atau diklaim berada dalam
penguasaan mereka. Dengan kata lain, konflik-‐konflik agraria yang terjadi pada masa Orde
Baru lebih menonjol yang diakibatkan oleh muncul/terbitnya kebijakan-‐kebijakan dan/atau
putusan-‐putusan pemerintah.
Sementara lembaga yang dapat menangani gugatan terhadap terbitnya kebijakan atau
putusan pemerintah yang dirasakan merugikan masyarakat baru ada pada tahun 1986, yaitu
pada saat lembaga Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dibentuk berdasarkan UU No.
5/1986. Dengan kata lain – terlepas dari kredibilitas hakim-‐hakim PTUN dan kualitas putusan-‐
putusannya – selama ini masyarakat yang merasa dirugikan dengan terbitnya sejumlah hak-‐
hak baru yang untuk menguasai tanah dan sumber daya alam yang dikeluarkan oleh
pemerintah tidak dapat berbuat apa-‐apa kecuali dipaksa untuk pasrah dan mengalah.
1 Secara garis besar perbuatan administrasi negara (Tata Usaha Negara) dapat dikelompokan dalam 3 macam perbuatan, yakni: (1) mengeluarkan putusan; (2) mengeluarkan peraturan perundang-undangan; dan (3) melakukan perbuatan materiel. Lihat: Setiadi 1994: 95-96.
= Bachriadi
3
Pada banyak kasus, masyarakat yang merasa memiliki kebenaran pada penguasaannya
atas tanah atau sumber daya alam yang diambil alih karena adanya kebijakan dan putusan-‐
putusan tersebut akan melakukan perlawanan. Akibat tidak memiliki ruang untuk melakukan
perlawanan di jalur hukum, maka pilihan melakukan perlawanan secara langsung adalah jalan
yang biasanya ditempuh meskipun akan menimbulkan persoalan baru, yakni mereka akan
dituduh melakukan sejumlah tindak pidana. Sementara pihak pemerintah maupun pihak-‐
pihak yang memperoleh hak penguasaan baru dari pemerintah, secara hukum biasanya, justru
ditempatkan sebagai pihak yang dirugikan.
Meskipun telah ada lembaga Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tidak dengan
sendirinya keadilan bisa diraih oleh masyarakat, khususnya yang sedang merasa dirugikan
dengan terbitnya kebijakan-‐kebijakan pemerintah di bidang agraria, pengelolaan sumber daya
alam, dan penerbitan hak-‐hak penguasaan atas tanah dan SDA yang baru. Persoalannya
tuntutan hukum yang dapat diajukan kepada pengadilan tersebut hanya sebatas pada
penetapan (keputusan) tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN karena
bertentangan dengan peraturan perundang-‐undangan yang berlaku, atau badan/pejabat TUN
yang mengeluarkan keputusan tersebut telah menyalahgunakan kewenangannya, atau
badan/pejabat TUN tersebut telah berbuat sewenang-‐wenang.2
Sementara itu, dalam persoalan agraria di Indonesia, khususnya sejak Orde Baru
berkuasa, peraturan perundang-‐undangan yang ada yang mengatur soal pengelolaan sumber
daya alam itu lah yang menjadi sumber masalah karena wataknya yang diskriminatif. Atau
dalam kasus UUPA 1960, beberapa pasalnya telah dipergunakan secara manipulatif untuk
membenarkan tindakan yang merugikan masyarakat atau penduduk setempat yang hak-‐
haknya atas tanahnya dihilangkan begitu saja.
Dengan kata lain, ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat kaibat terbitnya putusan-‐
putusan pejabat administrasi negara yang berkaitan dengan penguasaan tanah dan sumber
daya alam jadi sulit memperoleh jalan keluar karena dilihat dari sisi formalitas hukumnya,
putusan-‐putusan tersebut tidak melanggar peraturan perundang-‐undangan yang berlaku.
Selain itu, prosedural hukum yang mengikat pada lembaga pengadilan ini hanya bisa
memproses tuntutan atas terbitnya putusan pemerintah yang dianggap merugikan di dalam
selang masa 90 hari setelah tanggal terbitnya putusan tersebut (Pasal 5 UU No. 5/1986). Segala
tuntutan yang dilakukan di luar jangka waktu itu tidak akan diperhatikan.
2 Lihat: Setiadi, Idem., hal. 107.
Jalan Lain Penyelesaian Konflik Agraria = Working Paper ARC No. 04/WP-KAPPOB/I/2017
4
Kenyataan Konflik Agraria pada Masa Kini3
Sebagai gambaran telah meluas, semakin intens dan berkepanjangannya konflik-‐konflik
agraria yang terjadi di Indonesia sejak Orde Baru berkuasa adalah gambaran atas pola-‐pola
konflik agraria yang dapat diperoleh berdasarkan data-‐data atas 1.753 kasus konflik agraria
yang direkam oleh Resource Center KPA. Ke-‐1.753 kasus ini adalah kasus-‐kasus konflik yang
terekam hingga Desember 2001. Jadi dalam penggambaran ini belum terliput kejadian-‐kejadian
konflik dan kekerasan seperti yang terjadi di: Bulukumba (Juli 2003), Manggarai (Maret 2004)
dan Medan (April 2004).
Seluruh kasus-‐kasus yang terekam tersebut tersebar di 2.834 desa/kelurahan4 dan 1.355
kecamatan di 286 daerah Tingkat II (Kabupaten/Kota) (lihat Lampiran-‐1).5 Rentang waktu
dimana kasus-‐kasus tersebut mengemuka ke permukaan adalah sejak tahun 1970 hingga 2001.
Dari kasus-‐kasus itu tercakup luas tanah yang dipersengketakan yang jumlahnya tidak kurang
dari 10.892.203 hektar dan telah mengakibatkan tidak kurang dari 1.189.482 KK menjadi korban
(lengkapnya lihat Lampiran-‐3).
Dilihat dari adanya kebijakan publik yang menjadi penyebab terjadinya kasus-‐kasus
sengketa dan/atau konflik tersebut, maka konflik yang paling tinggi intensitasnya adalah yang
terjadi karena sengketa atas lahan perkebunan besar (344 kasus). Selanjutnya secara berturut
adalah kasus-‐kasus yang terjadi akibat adanya kebijakan publik yang berkaitan dengan
pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan (243 kasus), pembangunan perumahan
dan kota baru (232 kasus), pengembangan kawasan kehutanan produksi (141 kasus),
pembangunan kawasan industri dan pabrik (115 kasus), pembangunan bendungan dan sarana
pengairan (77 kasus), pembangunan sarana wisata (tourism, hotels and resorts) (73 kasus),
pengembangan kawasan pertambangan besar (59 kasus), dan pembangunan sarana militer (47
kasus). Untuk lengkapnya lihat Lampiran-‐2.
Dari data yang ada, intensitas konflik yang tertinggi terjadi di propinsi Jawa Barat (484
kasus). Berikutnya adalah: DKI Jakarta (175 kasus), Jawa Timur (169 kasus), Sumatera Selatan
3 Catatan tambahan (2017): pengertian “masa kini” maksudnya hingga saat tulisan ini dibuat pada tahun 2004. 4 Ini merupakan angka minimal, karena banyak kasus-kasus yang terekam tidak dapat diidentifikasi nama desa/kelurahan di mana warganya terlibat dalam konflik. 5 Data-data konflik agraria di dalam Resource Center KPA masih disusun dalam peta geografi-administratif dengan inventarisasi nama dan jumlah propinsi di Indonesia sebelum pemekaran dan penambahan sejumlah propinsi maupun kabupaten yang terjadi pada masa pasca reformasi (sejak 1998). Sehingga data-data ini masih merujuk pada 26 propinsi (Timor Timur sudah tidak dimasukan ke dalam pencatatan).
= Bachriadi
5
(157 kasus), Sumatera Utara (121 kasus), Jawa Tengah (99 kasus), Sulawesi Tengah (58 kasus)6,
Lampung (54 kasus), dan Sulawesi Selatan (48 kasus), dan NAD (47 kasus). Untuk lengkapnya
lihat tabel pada Lampiran-‐3.
Dari data-‐data mengenai kasus-‐kasus sengketa yang terekam jelas tergambar negara –
lewat institusi pemerintah, aparatus militer maupun hukum, maupun badan-‐badan usaha yang
dimiliki negara (BUMN dan BUMD) – mengambil peran yang sangat aktif, bukan sebagai
penengah atau mengambil posisi tidak berpihak kepada pihak-‐pihak yang bersengketa tetapi
lebih mengambil posisi sebagai lawan rakyat. Dalam keterlibatannya ini, termasuk juga adanya
sejumlah fasilitasi dan kemudahan-‐kemudahan yang diberikan kepada pihak pengusaha
swasta melalui kebijakan-‐kebijakan publik maupun peraturan yang dihasilkan oleh lembaga-‐
lembaga negara. Melalui kebijakan-‐kebijakan publik ini lah konsepsi kepentingan nasional
direduksi menjadi kepentingan umum, yang kemudian direduksi lagi menjadi kepentingan
sekelompok kecil orang atau kepentingan bisnis suatu perusahaan tertentu.
Tabel pada Lampiran-‐3 jelas memperlihatkan posisi negara sebagai lawan sengketa dari
rakyat – baik yang direpresentasikan melalui lembaga pemerintah, badan-‐badan usaha milik
negara/daerah, maupun institusi militer – secara proporsional jumlahnya cukup besar.
Kekerapan lembaga pemerintah menjadi lawan sengketa dari rakyat setempat jumlahnya
39,3%; sedangkan badan usaha milik negara/daerah jumlahnya 12%; dan institusi militer
jumlahnya 3,2%. Dengan kata lain dari seluruh sengketa agraria yang dapat terekam, posisi
negara dan institusi-‐institusinya yang menjadi lawan dari rakyat jumlahnya sekitar 54,5%.
Selebihnya, atau sekitar 55,5% dari keseluruhan kasus tersebut, berarti rakyat setempat
berhadapan dengan perusahaan-‐perusahaan swasta.
Meskipun demikian, posisi pemerintah di dalam kasus-‐kasus konflik antara rakyat
setempat dengan perusahaan-‐perusahaan swasta selalu melibatkan pihak pemerintah
dikarenakan melalui lembaga pemerintah itu lah yang menerbitkan sejumlah ijin atau hak-‐hak
atas tanah maupun hak-‐hak untuk mengelola sumberdaya alam tertentu konflik-‐konflik
tersebut jadi terpicu. Bahkan pada banyak kasus, keterlibatan lembaga negara tidak hanya
melalui institusi pemerintah, melainkan juga melibatkan militer dan lembaga peradilan.
Dari data-‐data yang tersedia, dapat dilihat bahwa kekerapan pihak pemerintah dan
institusi-‐institusi negara lainnya yang menjadi lawan sengketa dari rakyat sangat sering terjadi
6 Belum termasuk kasus konflik tanah yang terjadi di Kabupaten Bulukumba yang terjadi antara PT London Sumatera Indonesia, Bulukumba dengan masyarakat sekitar perkebunan tersebut. Dalam peristiwa aksi pendudukan tanah yang dilakukan oleh sejumlah warga setempat pada Juli lalu 3 warga setempat tewas ditembak pasukan Brimob dan ratusan lainnya mengalami luka-luka akibat penembakan dan tindak kekerasan lainnya.
Jalan Lain Penyelesaian Konflik Agraria = Working Paper ARC No. 04/WP-KAPPOB/I/2017
6
terjadi pada jenis-‐jenis sengketa berikut: pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan,
pengembangan perkebunan besar, pengembangan perumahan dan kota-‐kota baru,
pembangunan bendungan dan sarana pengairan, pembangunan sarana-‐sarana wisata-‐
perhotelan-‐dan resort, pengembangan areal kehutanan produksi, dan pembangunan sarana-‐
sarana militer.
Dari data-‐data yang tersedia juga dapat dibedakan dua bentuk posisi pihak pemerintah
khususnya ketika menjadi lawan langsung dari rakyat setempat, yakni: sebagai pihak yang
menggusur langsung mereka maupun sebagai pihak yang dianggap paling bertanggung jawab
atas terjadinya penggusuran karena keluarnya suatu ijin atau hak-‐hak baru atas sebidnag tanah
yang sebelumnya dikuasai oleh mereka (rakyat setempat).7
Perusahaan swasta sendiri menjadi lawan sengketa dari rakyat banyak terjadi dalam
kasus-‐kasus sengketa yang menyangkut: pengembangan perkebunan besar, pengembangan
perumahan dan kota-‐kota baru, pengembangan kawasan kehutanan – baik untuk tujuan
produksi maupun konservasi dan hutan lindung, serta pengembangan kawasan industri dan
pabrik. Tabel pada Lampiran-‐4 memperlihatkan kekerapan lembaga-‐lembaga yang terkait
dengan negara tersebut menjadi pihak lawan dari rakyat setempat di dalam konflik-‐konflik
agraria di Indonesia.
Militer sendiri sebagai sebuah institusi ternyata tidak hanya terlibat sebagai pihak lawan
langsung dari rakyat setempat dalam kasus-‐kasus sengketa agraria. Dari data-‐data yang dapat
terkumpul, pihak militer – termasuk kepolisian – ternyata juga aktif berperan sebagai
penyokong pihak-‐pihak lain yang menjadi lawan utama (opponents) dari rakyat. Dalam hal ini,
aparat militer dan kepolisian bertindak sebagai alat dari penggusuran tersebut.
Tabel pada Lampiran-‐5 memperlihatkan jumlah kasus sengketa yang di dalamnya pihak
militer dan kepolisian terlibat atau melibatkan diri pada berbagai kasus konflik dengan
mengambil posisi sebagai penyokong pihak-‐pihak yang menjadi lawan rakyat setempat. Dari
tabel ini dapat dilihat bahwa secara keseluruhan hampir di sepertiga jumlah kasus konflik
agraia militer terlibat atau melibatkan dirinya untuk menjadi bagian dari pihak yang menekan
rakyat setempat untuk melepaskan hak-‐hak mereka. Sementara jika hal ini dihubungkan
dengan aspek kewilayah, maka tampak di provinsi-‐provinsi seperti Bali, Kalimantan Tengah,
Kalimantan Barat dan Lampung keterlibatan militer sangat intens untuk menjadi penekan
7 Digunakannya kata “dianggap” di sini untuk menunjukan bahwa penempatan (positioning) pihak pemerintah sebagai lawan sengketa langsung – meskipun ‘hanya’ dikarenakan keluarnya suatu perijinan atau diterbitkannya hak-hak baru atas sebidang tanah – dilakukan oleh kelompok rakyat itu sendiri – baik yang sudah terbentuk dalam suatu gugatan hukum maupun tuntutan langsung untuk bertanggung jawab.
= Bachriadi
7
maupun ‘penggusur’. Di Bali, jenis konflik terbanyak terjadi akibat pengembangan sarana-‐
sarana wisata-‐perhotelan-‐dan resort. Di Kalimantan Tengah adalah perkebunan dan
perumahan dan kota baru. Di Kalimantan Barat adalah perkebunan. Sedangkan di Lampung
adalah perkebunan dan pengembangan kawasan konservasi dan hutan lindung. Tampaknya
kombinasi antara watak pimpinan institusi militer setempat, posisi geografis, jangkauan
peliputan media, dan kepentingan ekonomi dari lembaga-‐lembaga militer yang terlibat di
dalam kasus-‐kasus tersebut mempengaruhi tingginya intensitas keterlibatan mereka.
Dari data-‐data yang tersedia, terlihat bahwa lebih banyak sengketa yang tidak
diselesaikan (terselesaikan) ketimbang yang diselesaikan/terselesaikan. Dari data-‐data ini juga
terlihat bahwa pengadilan bukan lah satu tempat yang tepat bagi rakyat untuk mencari
keadilan dalam kasus-‐kasus sengketa agraria. Dari beberapa studi yang telah dilakukan,
terlihat pemihakan pengadilan bukanlah kepada rasa keadilan, tetapi lebih kepada kekuasaan
dan pengusaha yang memiliki kepentingan ekonomi terhadap lahan-‐lahan yang disengketakan
(lihat: Nusantara dan Tanuredjo 1997; Bachriadi 1998; Bachriadi dan Lucas 2001).
Pengadilan di lembaga peradilan itu sendiri terhadap sengketa hak (sengketa klaim)
terhadap tanah atau sumber-‐sumber agraria lainnya itu sendiri jarang terjadi, yang lebih
banyak dilakukan adalah proses pengadilan terhadap tindakan-‐tindakan masyarakat yang
dianggap sebagai tindakan kriminal ketika mereka berusaha mempertahankan hak atau
klaimnya. Penyebabnya adalah aparat keamanan menganggap upaya masyarakat
mempertahankan hak-‐haknya sebagai tindakan yang melanggar hukum, dan sebaliknya:
tindakan pihak-‐pihak yang menyerobot tanah-‐tanah rakyat sebagai sesuatu yang sah menurut
hukum. Biasanya memang upaya-‐upaya penyerobotan tanah-‐tanah yang sudah dikuasai oleh
rakyat maupun upaya-‐upaya penggusuran dilakukan oleh atau untuk mendukung pihak yang
sudah mengantongi hak-‐hak baru atas tanah/sumber-‐sumber agraria tersebut.
Manakala kasus-‐kasus yang dianggap sebagai tindakan kriminal ini di bawa ke
pengadilan, biasanya anggota masyarakat yang dituduh melakukan tindakan kriminal tersebut
akan mengemukakan klaimnya (haknya) atas tanah yang disengketakan, atau kemudian
melakukan gugatan perdata kepada pihak yang dianggap menyerobot hak-‐hak mereka. Tetapi
dari beberapa studi yang pernah dilakukan, maupun dari laporan-‐laporan yang disampaikan ke
publik oleh masyarakat maupun Ornop, terlihat bahwa pada umumnya hakim-‐hakim di
pengadilan akan lebih banyak berpegang pada hal-‐hal yang bersifat formal, khususnya dalam
melakukan proses pembuktian terhadap klaim-‐klaim yang dikemukakan oleh kedua belah
pihak. Sehingga pihak rakyat biasanya akan kalah karena pada umumnya bukti-‐bukti
pemilikan atau penguasaan mereka atas tanah-‐tanah atau sumber-‐sumber agraria yang
Jalan Lain Penyelesaian Konflik Agraria = Working Paper ARC No. 04/WP-KAPPOB/I/2017
8
disengketakan lemah jika dilihat dari sudut hukum formal. Kasus yang sangat mencolok yang
dapat dikemukakan sebagai contoh adalah Kasus Cimacan (pembangunan lapangan golf)
dengan hakim ketuanya di pengadilan Negeri Cianjur pada waktu itu adalah Benjamin
Mangkudilaga. Terlepas dari segala isu soal suap yang diterima oleh majelis hakim, putusan
yang diambil oleh majelis hakim pada waktu sangat mengesankan mereka tidak mau melihat
sejarah dari keberadaan tanah tersebut hingga bisa berada di tangan rakyat dan alasan-‐alasan
mengapa mereka menolak pembangunan lapangan golf, di samping majelis hakim itu sendiri
tidak seksama memperhatikan kelemahan bukti-‐bukti dan kesaksian yang disampaikan oleh
pihak pengusaha (Bachriadi dan Lucas 2001). Ini menunjukan bahwa hakim-‐hakim pada
pengadilan umum lemah dalam segi penguasaan terhadap masalah-‐masalah agraria dan lemah
pengalamannya dalam hal penyelesaian sengketa agraria yang dapat memenuhi rasa keadillan
masyarakat (Bachriadi 1998). Hal ini membuat banyak anggota masyarakat yang mengalami
sengketa agraria kemudian lebih memilih mengadukan persoalannya ke lembaga-‐lembaga non
peradilan, seperti DPR dan Komnas HAM (Bachriadi 1998). Banyak di antara mereka malah
beranggapan lembaga-‐lembaga non peradilan ini bisa menyelesaikan persoalan mereka.
Padahal dalam kenyataannya tidak lah demikian.
Pada Tebel di Lampiran-‐1 dapat dilihat dari 1.753 kasus sengketa/konflik yang
terinventarisir, yang jelas status upaya penyelesaiannya hanya 55,1% saja. Selebihnya sekitar
44,9% lagi status upaya penyelesaiannya tidak jelas – yang dalam beberapa hal disebabkan
karena tidak terliput atau tertutup tabir hiruk-‐pikuknya pembangunan atau tergilas roda
otoritarian pemerintahan Orde Baru.
Di antara kasus-‐kasus yang jelas upaya-‐upaya penyelesaiannya tersebut, hanya 7,6% yang
masuk pengadilan, dengan 38% di antaranya yang dinyatakan berakhir8 dan 62% sisanya masih
berlangsung proses peradilannya. Sedangkan 92,4% kasus yang tidak masuk pengadilan, yang
statusnya berakhir ada sekitar 14,9%,9 dan sisanya yaitu sekitar 85,1% lagi status
penyelesaiannya masih berlangsung (belum berakhir). Dilihat dari rentang waktu kejadian-‐
kejadian konflik tersebut, maka angka-‐angka ini menujukan begitu panjang dan
melelahkannya upaya penyelesaian konflik tersebut yang seringkali juga hal itu menjadi bagian
dari strategi untuk melemahkan daya tahan dan perjuangan rakyat setempat yang menjadi
8 Berakhir disini harus dibaca sebagai “berakhir dengan kemenangan di pihak warga” maupun “berakhir dengan kemenangan pada pihak lawan” sengketa mereka. Kata ‘berakhir’ di sini tidak dengan sendirinya telah mencerminkan adanya keadilan. 9 Dari data yang tersedia sengketa yang berakhir tanpa lewat pengadilan ini biasanya diselesaiakan lewat musyawarah –untuk penetapan/peninjauan ulang ulang nilai ganti rugi atau dalam kasus-kasus dimana warga mendapatkan tanah pengganti di lokasi lain.
= Bachriadi
9
korban penggusuran. Karena pada kenyataannya, jika rakyat setempat tidak melakukan aksi-‐
aksi pendudukan secara langsung di atas tanah-‐tanah yang disengketakan, maka tanah-‐tanah
tersebut langsung dikuasai oleh pihak lawannya. Bahkan tidak jarang pula di tengah-‐tengah
upaya hukum masih berlangsung proses pembangunan atau pengembangan sarana-‐sarana
yang menjadi tujuan diambilnya tanah-‐tanah tersebut terus berlangsung!
Jika dilihat secara lebih seksama, data-‐data yang tersedia menujukan bahwa dari 16,7%
jumlah kasus yang dinyatakan berakhir, terdapat 51,6% kasus yang dimenangkan oleh warga. 8
kasus diantaranya dimenangkan melalui pengadilan, dan 75 kasus lainnya tanpa melalui
pengadilan. Sedangkan sengketa yang dimenangkan oleh pihak lawan dari rakyat jumlahnya
sedikit lebih kecil, yakni sekitar 48,4%. Meskipun demikian, ini tidak berarti bahwa dari segi
kuantitas, tingkat kemenangan warga/rakyat lebih tinggi, karena angka-‐angka ini harus
diperbandingkan dengan angka kasus-‐kasus yang masih berlangsung yang jumlah seluruhnya
(dari kasus-‐kasus yang jelas upaya penyelesaiannya) adalah 83,3%!
Kasus-‐kasus yang statusnya masih berlangsung ini menunjukan bahwa secara de facto
sumber-‐sumber agraria masih dikuasai oleh pihak lawan dari rakyat. Dalam hal ini, kerangka
analisa harus tetap dikembalikan kepada corak sengketa yang terekam di dalam data-‐data ini,
yaitu sengketa-‐sengketa yang sifatnya struktural yang ditandai dengan dimulainya proses
penggusuran atau pengusiran warga masyarakat dari tanah-‐tanah atau sumber-‐sumber agraria
yang mereka kuasai atau miliki sebelumnya akibat terbitnya sejumlah hak-‐hak penguasaan
atau pengelolaan yang baru. Dengan demikian, kasus-‐kasus yang berstatus masih berlangsung
menunjukan dua kenyataan, yaitu: pertama, secara de facto dan de jure (berdasarkan hukum
formal) sumber-‐sumber agraria tersebut dikuasai oleh pihak lawan dari warga masyarakat
(rakyat), dan kedua, pihak rakyat masih terus mengadakan perlawanan sehingga konflik masih
terus berlangsung secara aktual (nyata).
Di atas sudah disinggung bahwa di balik sengketa dan ‘perampasan’ tanah-‐tanah atau
sumber-‐sumber agraria yang dimiliki/dikuasai oleh rakyat setempat terjadi juga perlawanan
yang dilakukan oleh rakyat yang sumber-‐sumber agrarianya terampas tersebut. Ada berbagai
macam perlawanan yang terjadi, dari mulai perlawanan dengan cara hukum (masuk ke
pengadilan); mengadukan permasalahannya ke lembaga-‐lembaga non pengadilan;
mengadakan upaya-‐upaya apenyelesaian yang sifatnya non peradilan; melakukan kampanye
publik – nasional maupun internasional – terhadap masalah yang menimpanya; hingga upaya-‐
upaya untuk bertahan, menduduki atau menggarap kembali tanah-‐tanah atau sumber-‐sumber
agraria yang akan atau sudah ‘terampas’ itu. Fenomena yang terakhir ini sangat mencolok
terjadi pada masa setelah reformasi bergulir (sejak jatuhnya Soeharto pada Mei 1998).
Jalan Lain Penyelesaian Konflik Agraria = Working Paper ARC No. 04/WP-KAPPOB/I/2017
10
Meskipun demikian, bukan berarti pada masa-‐masa sebelum itu tidak terjadi proses
pendudukan/penggarapan kembali tanah-‐tanah mereka yang telah terampas atau upya-‐upaya
untuk terus bertahan dan terus menggarap tanah-‐tanah/sumber-‐sumber agraria yang hendak
dialihkan kepenguasaannya.
Sementara semenjak reformasi bergulir, gejala pendudukan dan penggarapan atau
pengambilan manfaat oleh rakyat terhadap sumber-‐sumber agraria yang ada di sekitar mereka,
terlepas dari ada atau tidaknya hak yang mereka pegang jadi lebih marak. Faktor melemahnya
kekuasaan dan kekuatan negara dan aparatus-‐aparatusnya semenjak kejatuhan pemerintahan
Orde Baru membuat proses pendudukan, penggarapan, atau pengambilan manfaat itu terjadi
dengan lebih leluasa. Selain itu, di dalam tubuh masyarakat setempat sendiri terjadi proses
konsolidasi yang semakin menguat dengan adanya ruang politik yang lebih terbuka.
Ada dua pola di dalam proses pendudukan, penggarapan dan pengambilan manfaat
terhadap sumber-‐sumber agraria pada masa setelah reformasi bergulir jika dilihat dari
pelakunya, yaitu: (1) pendudukan, penggarapan atau pengambilan manfaat terhadap sumber-‐
sumber agraria yang disengketakan sebelumnya oleh kelompok masyarakat yang merasa
memiliki hak atas sumber-‐sumber agraria tersebut; dan (2) pendudukan, penggarapan atau
pengambilan manfaat atas sumber-‐sumber agraria, baik yang dianggap tidak produktif
maupun yang produktif, atau oleh kelompok-‐kelompok masyarakat yang ada di sekitar lokasi
tanpa memperdulikan alas hukum dari penegakan klaim tersebut kecuali bersandar pada rasa
keadilan yang subyektif. Di dalam pola yang kedua ini lah dapat disaksikan munculnya para
free-‐riders yang mengambil keuntungan dari kekosongan kekuasaan yang terjadi akibat proses
reformasi.
Bersamaan dengan upaya-‐upaya perlawanan, pendudukan, penggarapan atau
pengambilan kembali manfaat dari sumber-‐sumber agraria yang sedang disengketakan, terjadi
pula sejumlah tindak kekerasan. Kedua belah pihak yang bersengketa bersama dengan sekutu-‐
sekutunya kemudian terlibat dalam sejumlah tindak kekerasan tersebut. Pada Lampiran-‐6
tersaji gambaran yang dapat terekam mengenai jenis-‐jenis kekerasan yang pernah terjadi di
dalam kasus-‐kasus sengketa dan konflik agraria sejak masa Orde Baru maupun yang terjadi
setelah masa reformasi hingga akhir tahun 2000. Jadi gambaran tersebut belum meliput
beberapa kasus konflik yang disertai sejumlah tindakan pelanggaran HAM yang dapat
dikategorikan sebagai pelanggaran berat, seperti penembakan-‐penembakan yang
mengakibatkan jatuh korban jiwa serta sejumlah penduduk setempat mengalami luka-‐luka
dalam kasus Bulukumba (Juli 2003), Manggarai (Maret 2004), dan Medan (April 2004).
= Bachriadi
11
Mandat Politik Baru untuk Reforma Agraria dan Penyelesaian Konflik Agraria
Pada bulan November 2001 Mejelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI menerbitkan
Ketetapan MPR-‐RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolalan Sumber
Daya Alam. Ketetapan MPR ini terbit sebagai hasil perjuangan advokasi yang cukup panjang –
sekitar 3 tahun sejak gagasan awal perlunya MPR menerbitkan Ketetapan ini dinyatakan ke
publik oleh sejumlah Organisasi Rakyat, Ornop, dan jaringan-‐jaringan kerjanya (Bachriadi
2001; Lucas dan Warren 2003).
Gagasan yang mendasari diperlukannya Ketetapan MPR ini adalah kenyataan bahwa
kondisi agraria di negeri ini yang diwariskan oleh rezim otoriter Orde Baru sudah sangat
memprihatinkan. Kebijakan-‐kebijakan politik dan hukum di bidang agraria telah jauh
meninggalkan kepentingan rakyat banyak – malah terlihat jelas dalam sejumlah sengketa yang
muncul, kebijakan-‐kebijakan tersebut justru semakin menyingkirkan hak-‐hak rakyat atas
kekayaan alam di negeri ini.
Rezim Orde Baru telah meninggalkan suatu pekerjaan rumah yang sangat besar bagi
seluruh eksponen bangsa ini untuk menata kembali lanskap ekonomi-‐politik agraria di negeri
ini, yang kira-‐kira dapat dikategorikan dalam 4 hal: Pertama, telah terjadi ketimpangan yang
sangat dalam pada struktur penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumberdaya alam lainnya
yang menjadi dasar bagi meluasnya kemiskinan, tidak hanya di pedesaan tetapi juga
kemiskinan di perkotaan; kedua, telah terjadi konflik agraria yang meluas dan dalam
intensitasnya, serta sarat dengan sejumlah pelanggaran hak azasi manusia yang tidak
terselesaikan secara memadai dan berkeadilan; ketiga, telah terjadi kerusakan ekosistem yang
mengerikan di zamrud kathulistiwa ini yang tidak saja mencerminkan terjadinya degradasi
lingkungan yang luar biasa, tetapi juga telah mendorong terjadinya proses dehumanisasi; dan
yang terakhir (keempat), rezim Orde Baru mewarisi kekacauan serius dalam sistem hukum,
perundangan, dan kebijakan-‐kebijakan yang mendasari bagi terjadinya ketiga hal di atas.
Keempat persoalan agraria yang diwariskan oleh Orde Baru ini tidak bisa lagi dijawab
dengan mendorong perubahan yang sifatnya sepotong-‐sepotong, reaktif, atau hanya berbasis
pada perubahan perundangan-‐undangan sektoral semata. Masalah-‐masalah itu harus
ditangani dengan pendekatan yang menyeluruh, integratif, dan bersifat membongkar lalu
menata ulang. Kalau diibaratkan dengan perbaikan kendaran, yang diperlukan adalah suatu
operasi besar (overhaul) untuk turun mesin. Karena itulah gagasan yang mengemuka adalah
dijalankannya pembaruan agraria (reforma agraria).
Jalan Lain Penyelesaian Konflik Agraria = Working Paper ARC No. 04/WP-KAPPOB/I/2017
12
Dikarenakan telah terjadi kekacauan dan penyimpangan-‐penyimpangan yang serius
dalam sistem hukum agraria hingga tingkat perundang-‐undangan, maka diperlukan suatu
mandat dari rakyat kepada wakil-‐wakilnya yang duduk di lembaga legislatif untuk melakukan
peninjauan, perubahan, maupun sinkronisasi legislasi di bidang ini. Selain itu, untuk
melakukan suatu penataan ulang struktur agraria yang timpang, menyelesaian konflik-‐konflik
agraria yang telah terjadi dengan lebih cepat tetapi berperspektif keadilan, sekaligus
merehabilitasi kerusakan ekosistem dalam satu kesatuan aksi diperlukan suatu mandat politik
kepada pemerintahan baru yang mewarisi semangat reformasi.
Itu lah dua alasan pokok mengapa perlu didorong lahirnya satu ketetapan politik dan
hukum yang baru untuk menegaskan kembali perlunya pembaruan agraria dijalankan di
Indonesia, yang kemudian terwujud dengan terbitnya Ketetapan MPR No. IX/2001 tentang
Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam. Dalam Ketetapan MPR tersebut
sangat jelas ada mandat yang diberikan kepada DPR maupun Presiden untuk: (1) dilakukan
peninjauan kembali segala perundangan-‐undangan dan peraturan di bidang agraria yang
selama ini sifatnya sektoral, tumpang tindih, dan tidak mengandung semangat untuk
mengedepankan kepentingan rakyat banyak dalam hal penguasaan, pemanfaatan, dan
pengelolaan tanah dan sumberdaya alam lainnya; (2) dilakukannya penataan kembali
penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfataan tanah yang berkeadilan yang lebih
dikenal dengan istilah land reform, sekaligus dilakukan pendataan dan inventarisasi tanah
untuk kepentingan land reform ini; (3) diselesaikannya konflik-‐konflik agraria dan pengelolaan
sumberdaya alam dengan berpegang pada prinsip menjunjung tinggi hak azasi manusia,
termasuk memperkuat kelembagaan yang akan bertugas melaksanakan penyelesaian sengketa-‐
sengketa ini; dan yang ke-‐(4) adalah mengupayakan pembiayaan bagi program pembaruan
agraria dan penyelesaian konflik-‐konflik agraria maupun dalam pengelolaan sumberdaya alam.
Meskipun demikian, pada saat ini, dengan konstelasi kelembagaan pemerintahan seperti
sekarang, maka sulit untuk meletakan agenda pembaruan agraria seperti yang diamandatkan
oleh Tap MPR No. IX/2001 di dalam institusi-‐institusi negara yang ada. Karakter dari persoalan
agraria dan kompleksitas kerja yang menjadi turunan dari mandat Ketetapan MPR tersebut
ditambah dengan kenyataan politik birokratisasi yang ada saat ini menyiratkan dilakukannya
tindakan-‐tindakan baru yang bertujuan untuk mempercepat dan memuluskan proses
pembaruan tersebut. Reforma agraria itu sendiri sesungguhnya bukan suatu agenda kerja
umum atau yang biasa dikerjakan oleh suatu pemerintahan (business as usual), melainkan
suatu agenda kerja “yang tidak biasa” dan memiliki sifat kemendesakan yang tinggi, seperti
= Bachriadi
13
ditegaskan oleh Wiradi: “Reforma agraria adalah suatu program yang bernuansa gebrakan
cepat. Ini berarti bukan suatu kerja rutin. Bukan kegiatan birokratis” (Wiradi 2000: 188).
Untuk itu, menurutnya pelaksanaan pembaruan agraria memerlukan suatu badan otorita
yang khusus dan terpusat, bersifat independen, dan hanya bertanggung jawab kepada Presiden
atau Perdana Menteri (Wiradi 2000: 188). KPA dalam usulannya menyebutkan lembaga ini
dengan Badan Otorita Pelaksana Pembaruan Agraria (BOPPA) (dokumen Komite Nasional
untuk Pembaruan Agraria 2002: III-‐2)10. Atas dasar pengalaman sejumlah negara, menurut
Wiradi, para pakar berkesimpulan bahwa badan khusus semacam atau berbentuk badan
otorita itu diperlukan untuk dua tujuan, yakni: (1) Mengkoordinasikan dan mengintegrasikan
berbagai sektor dalam menggerakan langkah cepat yang amat diperlukan dalam program ini;
dan (2) menangani secara cepat dan adil berbagai konflik yang biasanya memang menyertai
pelaksanaan program ini (Wiradi 2000: 188-‐189).11
Inisiatif Pembentukan ‘Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria’
Meskipun penyelesaian konflik agraria secara menyeluruh dan berkeadilan telah menjadi
mandat nasional untuk dijalankan oleh Presiden, seperti yang tertuang dalam Tap MPR No.
IX/2001, kenyataannya tidak semudah itu. Ketetapan MPR itu sendiri, seperti telah disinggung
di atas, agar dapat dijalankan secara utuh memerlukan dibentuknya satu badan yang bersifat
khusus. Rupanya komitmen pemerintah hingga kini belum menunjukan tanda-‐tanda untuk
segera mewujudkannya. Sementara itu konflik-‐konflik agaria masih terus terjadi dan semakin
bertambah jumlahnya.12 Kenyataan ini mendorong sejumlah aktivis dan akademisi bersama
dengan Komnas HAM memikirkan satu cara agar konflik-‐konflik agraria tersebut dapat
10 Dalam diskusi-diskusi selanjutnya, istilah BOPPA ini mengalami modifikasi menjadi Badan Otoritas Reform Agraria (BORA). 11 Dalam hal pembentukan BOPPA atau BORA ini KPA berpandangan bahwa “sebelum sampai pada pembentukan Badan Otorita ini, diperlukan satu masa antara dimana segala persiapan untuk bekerjanya lembaga ini dan implementasi pembaruan agraria seperti yang dimaksud Ketetapan MPR No. IX/2001 dipersiapkan. Lembaga untuk mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan bagi pelaksanaan pembaruan agraria ini dapat berbentuk semacam kepanitian khusus yang akan bekerja lintas sektoral, yang untuk sementara dapat disebut dengan Komite Nasional untuk Pembaruan Agraria (KNPA)”. Karena itu, dalam usulan KPA, KNPA ini memiliki tujuan untuk mempersiapkan landasan hukum dan institusional untuk pelaksanaan pembaruan agraria dan pembentukan Badan Pelaksana Pembaruan Agraria. Lihat dokumen Komite Nasional untuk Pembaruan Agraria 2002: I-1 dan III-10. 12 Setelah keluarnya Ketetapan MPR No. IX/2001 pada akhir tahun 2001 ada sejumlah konflik agraria yang terjadi bahkan hingga menimbulkan korban jiwa selain kembali terjadi penahanan puluhan tokoh petani. Misalnya adalah konflik-konflik yang terjadi di Bulukumba (2002), Manggarai (2003) dan Garut (2003) akibat operasi Wanalaga, serta Subang (2003-2004). Di Bulukumba 3 petani tewas ditembak aparat kepolisian dan terjadi penahanan terhadap 6 orang petani. Di Manggarai 6 orang tewas. Di Garut terjadi penahanan terhadap ratusan petani, serta di Subang terjadi penahanan terhadap 2 orang aktivis organisasi tani.
Jalan Lain Penyelesaian Konflik Agraria = Working Paper ARC No. 04/WP-KAPPOB/I/2017
14
ditangani secara berkeadilan meskipun badan khusus yang bertujuan menjalankan pembaruan
agraria belum dapat terwujud.
Gagasan dasar untuk menyegerakan penyelesaian konflik-‐konflik agraria ini juga
berangkat dari keinginan menempatkan pemerintahan pasca-‐Soeharto sebagai suatu
pemerintahan transisi untuk membentuk tatatan kehidupan sosial-‐politik yang baru di
Indonesia. Karena itu, sejak tahun 1998 gagasan penyelesaian konflik agaria juga dilihat dalam
perspektif penerapan transitional justice di Indonesia yang berangkat dari satu pertanyaan
besar, yakni: “Bagaimana cara menyediakan keadilan bagi mereka yang menjadi korban
perampasan hak atas tanah dan/atau sumber daya alam lain yang menyertainya, sebagai akibat
dari praktek-‐praktek otoritarian rejim Orde Baru yang lampau?”13
Gagasan untuk menempatkan penyelesaian konflik agraria sebagai bagian dari
pembaruan agraria (reforma agraria) dan menempatkannya di dalam penerapan transitional
justice di Indonesia kemudian bermuara pada usulan pembentukan Komisi Nasional untuk
Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA).14 Dengan kata lain, usulan pembentukan KNuPKA
berada pada tiga situasi yang mendorongnya, yakni: (1) menguatkan tuntutan untuk
menciptakan keadilan agraria; (2) menguatnya tuntutan keadilan dari para “korban” konflik-‐
konflik agraria sejalan dengan adanya perubahan politik; dan (2) adanya perubahan politik itu
sendiri, yang ditandai pula adanya perubahan konfigurasi kekuatan politik, yang bisa
membuka peluang bagi dikembalikannya “keadilan” yang dirampas pada periode sebelumnya.
Dalam konteks ini KNuPKA diusulkan untuk dibentuk dengan maksud dapat segera
menjadi institusi bagi upaya-‐upaya penyelesaian konflik agraria yang menuntut untuk
disegerakan penyelesaiannya sambil menunggu proses-‐proses selanjutnya dari upaya untuk
mewujudkan institusi yang memiliki otoritas untuk menjalankan pembaruan agraria. Jadi,
kelembagaan KNuPKA itu sendiri merupakan satu institusi transisional (transitional
institution), dimana tugas-‐tugas dan kewenangannya akan kemudian akan (segera)
dilimpahkan kepada satu badan yang bertugas menjalankan pembaruan agraria segera setalah
badan/institusi ini terbentuk. Paling tidak tugas lembaga atau Komisi ini akan “berakhir”
ketika konflik-‐konflik agraria “masa lalu” yang akan ditanganinya dapat terselesaikan.
Sedangkan konflik-‐konflik yang mungkin akan muncul akibat dari pelaksanaan pembaruan
agraria yang didahului dengan program penataan struktur penguasaan tanah dan smber daya
13 Lihat dokumen Transitional Justice menentukan Kualitas Demokrasi Indonesia di Masa Depan, Kertas Posisi Kelompok Kerja Transitional Justice, 2001; dan Prasetyohadi 2001. 14 Mengenai usulan pembentukan Komisi ini secara langkap dapat dilihat dalam: Tim Kerja Pembentukan KNuPKA 2004 dan Tim Komnas HAM 2005.
= Bachriadi
15
alam lainnya (land reform program) akan menjadi bagian dari tugas dari lembaga/badan yang
akan menjalankan program pembaruan agraria di Indonesia yang di atas telah disebut dengan
nama “Badan Otorita Reforma Agraria” (BORA).15
Dalam prosesnya, upaya-‐upaya penyelesaian konflik agraria yang diusulkan untuk
dijalankan oleh KNuPKA dapat meliputi hal-‐hal berikut: Pertama, memungkinkan suatu
proses pembukaan luka-‐luka lama, yang selama ini terhalangi untuk muncul. Diharapkan dari
proses ini akan bisa terbaca peta konflik yang lebih luas, dan sekaligus karakteristik konflik di
masing-‐masing kasus. Kedua, memungkinkan terjadinya suatu terobosan hukum, yang
sekaligus sebagai bagian dari upaya penguatan rakyat melalui jalan koreksi atas relasi
kekuasaan yang selama ini berkembang. Proses ini diharapkan menjadi titik masuk untuk
melakukan dekonstruksi atas sistem hukum yang ada – yang makin dipandang tidak
memberikan kepastian dan keadilan. Ketiga, memungkinkan terjadi penguatan rakyat melalui
proses dimungkinkannya kelompok-‐kelompok massa rakyat untuk mempersoalkan kembali
kasus-‐kasus lama, dimana pada waktu itu rakyat dipaksa untuk menerima. Proses kerja
organisasi diharapkan menjadi bagian dari proses pendidikan politik bagi rakyat – yang pada
gilirannya menjadi wahana untuk meningkatkan partisipasi sadar dari massa rakyat. Keempat,
memungkinkan bagi kelompok-‐kelompok masyarakat yang menjadi korban dari konflik-‐
konflik agraria selama ini untuk memperoleh keadilan berupa “ganti rugi” atas derita dan hak-‐
haknya yang dirampas oleh proses masa lalu. Kelima, memungkin terjadi penguatan keadilan
di akar rumput dengan cara membuka jalan bagi realisasi prinsip keadilan agraria melalui
pembaruan agraria.
Sebagai suatu institusi yang akan “menyelesaikan konflik agraria”, maka sudah tentu
organisasi tidak bisa bersifat permanen, melainkan ad hoc (sementara). Secara normatif
KNupKA akan hilang atau dihilangkan ketika konflik-‐konflik “masa lalu” telah dapat
diselesaikan dan memberi rasa keadilan bagi korban dan bagi para pelaku ketidakadilan. Sifat
ad hoc ini bukan pertama-‐tama menyangkut “kurun waktu” kerja – melainkan berkait dengan
jenis pekerjaan yang akan dilakukan. Meskipun tidak permanen, badan (institusi) ini bisa saja
bekerja untuk suatu tempo yang lama, mengingat kuantitas dan kualitas masalah yang akan
ditangani. Kuantitas dan kualitas dari masalah, memang menuntut jumlah waktu tertentu.
Namun badan ini tidak bisa pula dibuat terlalu terbuka dengan waktu. Batas waktu tetap bisa
dipakai, terutama untuk memberi kepastian sampai kapan KNuPKA akan bekerja, wilayah
kerja dan jangkauan-‐nya. Agar dapat memberikan hitungan mengenai kurun waktu yang
15 Untuk pembahasan yang lebih mendetail mengenai hal ini lihat lihat Naskah Akademik Penyelesaian Konflik Agraria dan Usulan Pelembagaannya yang dimuat dalam Tim Komnas HAM (2005), hal. 47-114.
Jalan Lain Penyelesaian Konflik Agraria = Working Paper ARC No. 04/WP-KAPPOB/I/2017
16
diperlukan, maka dapat dikalkulasi tugas-‐tugas apa yang akan dilakukan, dan dengan
demikian bisa dihitung beban kerja yang akan dipikul.16
Tugas yang dimaksud dapat dipahami dari tahap kerja yang mungkin harus dilewati yang
meliputi: (1) Fase awal berupa penetapan jenis, bentuk, dan skala dari konflik-‐konflik yang
akan ditangani; (2) Fase pembukaan ruang pengaduan yang akan menjadi tahapan penting,
karena langkah-‐langkah berikutnya dalam penyelesaian konflik hanya bisa dilakukan ketika
ada kejelasan atas kasus yang dipersengketakan; (3) Fase pembuktian dan klatifikasi dimana
akan terjadi kemungkinan tidak semua pengaduan bisa diterima dan bisa ditindak-‐lanjuti; (4)
Fase pelaksanaan penyelesaian konflik dan pemutusan bentuk “kompensasi” yang akan
diterima oleh pihak korban; (5) Fase kontrol atau monitoring; dan terakhir atau ke-‐(6) Fase
pemberian laporan publik atas semua kasus yang sudah ditangani dan perkembangannya.
Publikasi terbuka sebagai bentuk pertanggungjawaban publik, dan sekaligus sebagai
pengumuman mengenai akhir dari masa kerja – dimana masalah baru akan ditangani oleh
institusi yang permanen.
Dari tugas-‐tugas yang akan dibebankan kepada Komisi ini terlihat adanya pembobotan
dalam beberapa hal, yakni:
a. otoritas Komisi – mengingat konflik selalu melibatkan pihak-‐pihak yang memiliki kuasa
riil, maka dengan sendirinya institusi harus punya otoritas yang bisa mengatasi kuasa
tersebut;
b. kapasitas kerja – kasus yang ada menyebar luas, bukan saja di pusat, tetapi juga di
daerah-‐daerah. Hal ini membutuhkan kondisi kerja yang baik, sehingga Komisi bisa
bergerak cepat, tanpa dihalangi oleh prosedur teknis; dan
c. kapasitas kerja tersebut menginsyaratkan bahwa logistik yang akan diguna-‐kan
organisasi sangat besar – tentu saja hal ini membutuhkan dukungan otoritas yang tinggi.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Komisi sangat tidak mungkin menjadi
subordinat dari institusi lain – mengingat kapasitas kerja yang akan dilakukan. Kapasitas kerja
dan kebutuhan melakukan langkah-‐langkah yang cepat, membuat institusi harus merupakan
badan tersendiri. Komisi ini juga harus merupakan bagian dari kerja pemerintah (eksekutif)
karena kewenangan, kapasitas dan logistik yang akan dipergunakannya. Artinya, bahwa
institusi ini harus bertanggungjawab langsung pada presiden, dan pada tingkat publik,
16 Penjelasan detail mengenai paragraf ini dan paragraf selanjutnya dapat dilihat dalam dokumen Naskah Akademik Penyelesaian Konflik Agraria dan Usulan Pelembagaannya, khususnya bagian V (Tim Komnas HAM 2005: 107-112).
= Bachriadi
17
presiden lah yang nantinya mempertanggungjawabkan hasil pekerjaan institusi kepada
“negara” dalam sidang di parlemen dan MPR.
Meskipun demikian, pertanggungjawaban kepada presiden tidak dengan sendirinya
dapat membuka jalan bagi intervensi dari presiden. Oleh sebab itu, institusi ini harus diberi
payung hukum yang kedudukan hukumnya tidak bisa diganggu dengan mudah oleh intervensi
presiden. Artinya dibutuhkan sebuah undang-‐undang tersendiri untuk mengatasi masalah ini.
Masyarakat melalui parlemen dapat mengambil prakarsa untuk memungkinkan (=
mendorong) terbitnya undang-‐undang guna membentuk badan penyelesaian konflik agraria
ini, atau mendesak Presiden untuk mengambil langkah-‐langkah cepat dengan segala
kemungkinan otoritas yang dimilikinya untuk membentuk Komisi ini.
Postcript17
Sejak gagasan untuk membentuk komisi negara yang dibentuk secara khusus untuk
menyelesaikan konflik agraria yang terus berlangsung secara masif di berbagai daerah di
Indonesia digulirkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI bersama-‐
sama dengan sejumlah organisasi non-‐pemerintah dan akademisi tak lama setelah jatuhnya
Orde Baru, sambutan dari berbagai pihak cukup baik dan meluas. Harapan yang sangat besar
datang dari kelompok-‐kelompok masyarakat yang selama ini berjuang untuk pengembalian
hak-‐hak mereka yang terampas. Sejak akhir tahun 2002 gagasan ini digodok, hingga di tahun
2003 Komnas HAM membentuk Tim Kerja khusus di dalam lembaganya untuk memfasilitasi
keseluruhan proses, yang melibatkan berbagai kalangan dari organisasi non pemerintah dan
akademisi, dalam penyusunan konsep kelembagan penyelesaian konflik agraria. Serangkaian
aktivitas dari mulai diskusi, lokakarya, seminar hingga studi banding ke Afrika Selatan
dilakukan untuk mematangkan konsep operasional dan draft peraturan perundang-‐undangan
yang diharapkan dapat menjadi dasar hukum awal dari lembaga tersebut, yang kemudian
diusulkan namanya sebagai Komisi Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria (KNuPKA).
Tahapan akhir dari rencana kerja Tim ini adalah membawa gagasan, usulan dan konsep yang
telah dirumuskan itu ke Presiden RI.
Pada tanggal 26 Juli 2004, akhirnya perwakilan rombongan penggagas KNuPKA yang
dipimpin Ketua Komnas HAM saat itu bertemu dengan Presiden Megawati. Pertemuan di
17 Bagian ini ditulis khusus untuk melengkapi tulisan ini khususnya untuk menjelaskan secara ringkas kondisi akhir dari advokasi pembentukan KNuPKA. Naskah asli yang menjadi dasar dari working paper ini tidak sampai menjelaskan bagaimana nasib dari upaya-upaya untuk mendorong pembentukan KNuPKA tersebut.
Jalan Lain Penyelesaian Konflik Agraria = Working Paper ARC No. 04/WP-KAPPOB/I/2017
18
akhir periode kepresidenan Megawati agak kurang menguntungkan, karena tindakan afirmatif
dari Presiden untuk menyokong pembentukan Komisi ini sangat diperlukan, sementara akhir
paruh akhir tahun 2004 sudah memasuki masa pemilihan presiden (pilpres) baru untuk
periode 2004-‐2009. Seperti sudah diduga, meskipun tidak menolak gagasan soal penyelesaian
konflik agraria, baik yang telah terjadi sejak masa Orde baru maupun konflik-‐konflik agraria
yang terjadi setelah reformasi, secara halus Presiden Megawati mengatakan penyelesaian
konflik-‐konflik tersebut tidak perlu dilakukan melalui pembentukan satu komisi khusus (Tim
Kerja Komnas HAM 2005: 30). Setelah itu tidak ada kabar kelanjutan dari Istana maupun
Kantor Kepresiden hingga pilpres berlangsung di bulan Oktober 2014 dan pasangan Megawati-‐
Prabowo Subianto kalah. Presiden baru, Soesilo Bambang Yudhoyono dan wakilnya Jusuf Kalla
terpilih untuk memimpin pemerintahan sejak akhir 2004 hingga akhir 2009.
Komnas HAM melalui Tim Kerja Menggagas Pembentukan KNuPKA melanjutkan
komunikasi formal dengan Presiden terpilih. Pertemuan dengan Presiden SBY untuk
menyampaikan gagasan KNuPKA ini tidak terlaksana. Sebaliknya pemerintah melalui surat
resmi yang ditandatangani Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra menyampaikan
bahwa gagasan pembentukan KNuPKA tidak bisa diakomodasi dan penyelesaian konflik-‐
konflik agraria dikembalikan kepada lembaga yang paling terkait, yakni Badan Pertanahan
Nasional. Untuk itu, pemerintahan SBY-‐JK berjanji akan memperkuat BPN. Pada awal 2011 BPN
di bawah kepemimpinan Joyo Winoto menerbitkan Peraturan Kepala BPN RI No. 3/2011
tentang Pengelolaan Pengkajian dan Penanganan Kasus Pertanahan.18
Sesungguhnya tidak banyak yang diperbuat baik oleh BPN maupun Pemerintah secara
keseluruhan untuk penyelesaian konflik-‐konflik agraria di Indonesia. Indikasinya dari tahun ke
tahun sejak reformasi hingga kini konflik terus terjadi, makin meluas, sementara sengketa-‐
sengketa pertanahan dan konflik-‐konflik agraria yang diwariskan Orde Baru tetap banyak yang
tidak terselesaikan. Gagasan KNuPKA pun ‘hilang’ dalam gegap gempita politik kekuasaan
kaum elit.
§
18 Sejak tahun 2006 ketika kelembagaan BPN mulai diperkuat dengan terbitnya Peraturan Presiden No. 10/2006 tentang BPN telah diatur tentang pembentukan Deputi Bidang Pengkajian dan Penanganan Sengketa dan Konflik Pertanahan di dalam tubuh BPN. Tetapi sejak Perpres itu terbit, ke-deputi-an untuk penanganan dan penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan tersebut tidak pernah terbentuk secara ajeg.
= Bachriadi
19
Daftar Pustaka
Bachriadi, Dianto (1998), Sengketa Agraria dan Perlunya Menegakan Lembaga Peradilan Agraria yang Independen, Position Paper KPA No. 002/1998.
Bachriadi, Dianto (2001), “Memandang Selayang Ke Dalam: Latar Belakang Munculnya Usulan Ketetapan MPR RI tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam yang Adil dan Berkelanjutan”, dalam buku Meneguhkan Komitmen Mendorong Perubahan: Argumen-‐argumen dan Usulan Ketetapan MPR-‐RI tentang Pelaksanaan Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam yang Adil dan Berkelanjutan, Bandung: KSPA-‐KPA-‐Pokja PSDA, 2001, hal. v-‐xxxiv.
Bachriadi, Dianto dan Anton Lucas (2001), Merampas Tanah Rakyat: Kasus Tapos dan Cimacan, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Bachriadi, Dianto (tt), Manuskrip Naskah Buku “Konflik Agraria di Indonesia”, tidak/belum dipublikasi.
Bachriadi, Dianto, Yudi Bachrioktora, dan Hilma Safitri (2004), Ketika Penyelenggaraan Pemerintahan Menyimpang: Maladministrasi dalam Bidang Pertanahan, Yogyakarta: Lappera Pustaka Utama.
Christodoulou, Demetrios (1990), The Unpromised Land: Agrarian Reform and Conflict Worldwide, London: Zed Books.
Harsono, Boedi (1995), Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-‐undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jilid I, Jakarta: Penerbit Djambatan, edisi revisi 1995.
Komite Nasional untuk Pembaruan Agraria (KNPA), Usulan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) kepada Presiden Republik Indonesia, Bandung: KPA, 2002.
Lucas, Anton dan Carol Warren (2003), “The State, the People, and Their Mediators: The Struggle over Agrarian Law Reform in Post-‐New Order Indonesia”, dalam Indonesia Number 76 October 2003, hal. 87-‐126.
Nusantara, Abdul Hakim G. dan Budiman Tanuredjo (1997), Dua Kado Hakim Agung buat Kedung Ombo: Tinjauan Putusan-‐putusan Mahkamah Agung tentang Kasus Kedung Ombo, Jakarta: Elsam.
Prasetyohadi (ed.), Keadilan dalam Masa Transisi, Komnas HAM 2001.
Setiadi, Wicipto (1994), Hukum Acara Pengadilan Tata Usaha Negara – Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Pers.
Tim Kerja Pembentukan KNuPKA (2004), Pokok-‐pokok Pikiran mengenai Penyelesaian Konflik Agraria: Hasil-‐hasil Lokakarya Persiapan menuju Pembentukan KNuPKA, Jakarta: Komnas HAM-‐KPA-‐HuMA-‐Walhi-‐Bina Desa.
Tim Kerja Komnas HAM (2005), KNuPKA, Sebuah Keniscayaan, Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).
Transitional Justice menentukan Kualitas Demokrasi Indonesia di Masa Depan, Kertas Posisi Kelompok Kerja Transitional Justice, 2001.
Wiradi, Gunawan (2000), Reforma Agraria: Perjalanan yang Belum Berakhir, Yogyakarta: Insist Press-‐KPA-‐Pustaka Pelajar.
Wiradi, Gunawan (2002), Pembaruan Agraria Anak Kandung Konflik Agraria, Konflik Agraria Anak Kandung “Pembaruan” Agraria, makalah yang disampaikan dalam Seminar Nasional Pembaruan Agraria, Yogyakarta 16 Juli 2002, STPN dan BPN.
Jalan Lain Penyelesaian Konflik Agraria = Working Paper ARC No. 04/WP-KAPPOB/I/2017
20
Lampiran-‐1
Tabel Jumlah Konflik Agraria di 26 Propinsi19
Propinsi Jumlah
Kasus Kabupaten & Kota Kecamatan Desa/
Kelurahan SUMATERA 464 79 362 968
DI Aceh 47 11 43 97 Sumatera Utara 121 17 104 302 Sumatera Barat 32 12 35 61
Riau 33 8 28 58 Jambi 7 7 8 8
Bengkulu 13 4 11 24 Sumatera Selatan 157 10 87 317
Lampung 54 10 46 101 JAWA 946 100 659 1312
Jawa Barat 484 26 368 705 DKI Jakarta 175 5 36 147 Jawa Tengah 99 32 101 190 DI Yogjakarta 19 5 16 20
Jawa Timur 169 32 138 250 KALIMANTAN 92 30 100 179
Kalimantan Timur 33 11 35 95 Kalimantan Tengah 6 3 8 17 Kalimantan Selatan 27 8 31 39 Kalimantan Barat 26 8 26 28
SULAWESI 133 39 117 190 Sulawesi Selatan*) 48 20 50 57
Sulawesi Utara 18 7 17 18 Sulawesi Tengah 58 8 42 94
Sulawesi Tenggara 9 4 8 21 BALI 13 7 12 14 NUSA TENGGARA 71 18 73 101
Nusa Tenggara Timur*) 44 12 44 65
Nusa Tenggara Barat 27 6 29 36 MALUKU 6 4 6 32 PAPUA 28 9 26 38
TOTAL 1.753 286 1.355 2.834
Diolah dari Data-‐base Koflik Agraria KPA, entri s. d. 30 Desember 2001
Catatan: *) Belum termasuk kasus Lonsum Bulukumba dan kasus Petani Kopi Manggarai yang terjadi tahun 2002-‐2003
19 Lihat penjelasan catatan kaki nomor 5.
= Bachriadi
21
Lampiran-‐2
Tabel Jumlah Kasus Berdasarkan Peruntukannya Menurut Kebijakan Publik
Jenis Sengketa Jumlah %
1 Perkebunan*) 344 19,6 2 Sarana Umum/Fasilitas Perkotaan 243 13,9 3 Perumahan/Kota Baru 232 13,2 4 Kehutanan Produksi 141 8,0 5 Kawasan Industri/Pabrik 115 6,6 6 Bendungan/Pengairan 77 4,4 7 Turisme/Hotel/Resort 73 4,2 8 Pertambangan 59 3,4 9 Sarana Militer 47 2,7 10 Kehutanan Konservasi/Lindung*) 44 2,5 11 Pertambakan 36 2,1 12 Sarana Pemerintahan 33 1,9 13 Perairan 20 1,1 14 Transmigrasi 11 0,6 15 Lain-‐lain 278 15,9
Jumlah Seluruh Sengketa 1.753 100
Diolah dari Data-‐base Koflik Agraria KPA, entri s.d. 30 Desember 2001
Catatan: *) Belum termasuk kasus Lonsum Bulukumba dan kasus Petani Kopi Manggarai yang terjadi tahun 2002-‐2003
Jalan Lain Penyelesaian Konflik Agraria = Working Paper ARC No. 04/WP-KAPPOB/I/2017
22
Lampiran-‐3
Tabel Karakteristik Sengketa Tanah di Indonesia, 1970-‐2001
Propinsi Jumlah Kasus
Luas Area yang Disengketakan
(ha)
Jumlah Korban (KK)
Pihak-‐oihak yang Bersengketa dengan Masyarakat yang Menguasai Tanah Kasus-‐kasus
yang Tidak/Belum Terselesaikan
Kasus-‐kasus yang
Dilaporkan Telah
Terselesaikan
Metode Penyelesaian Kasus-‐kasus yang
melibatkan militer untuk
penyelesaiannya Pemerintah Militer BUMN/BUMD
Perusahaan Swasta
Pengadilan Non Pengadilan
Σ % Σ % Σ % Σ %
1 Jawa Barat 484 184.484 237.482 197 12 60 225 187 38,64 297 61,36 39 13,13 258 86,87 114
2 DKI Jakarta 175 60.615 117.194 96 5 9 66 55 31,43 120 68,57 2 1,67 118 98,33 10
3 Jawa Timur 169 390.296 187.428 77 9 31 59 76 44,97 93 55,03 8 8,60 85 91,40 42
4 Sumatera Selatan 157 305.323 71.830 27 1 18 116 97 61,78 60 38,22 0 0,00 60 100,00 64
5 Sumatera Utara 121 509.100 89.548 39 8 26 57 82 67,77 39 32,23 5 12,82 34 87,18 40
6 Jawa Tengah 99 32.417 72.494 57 1 23 25 49 49,49 50 50,51 3 6,00 47 94,00 32
7 Sulawesi Tengah 58 1.036.589 51.955 21 1 4 34 16 27,59 42 72,41 0 0,00 42 100,00 22
8 Lampung 54 320.716 120.840 23 3 4 25 30 55,56 24 44,44 0 0,00 24 100,00 27
9 Sulawesi Selatan*) 48 54.555 16.994 25 3 4 17 30 62,50 18 37,50 3 16,67 15 83,33 18
10 Di Aceh 47 362.027 61.059 11 1 9 26 32 68,09 15 31,91 1 6,67 14 93,33 16
11 Nusa Tenggara Timur*) 44 472.571 2.955 28 2 4 22 2 4,55 42 95,45 1 2,38 41 97,62 19
12 Riau 33 134.170 14.056 8 0 2 23 31 93,94 2 6,06 0 0,00 2 100,00 10
13 Kalimantan Timur 33 1.676.614 22.684 13 1 5 16 6 18,18 27 81,82 2 7,41 25 92,59 12
14 Sumatera Barat 32 266.597 29.134 14 1 4 15 26 81,25 6 18,75 0 0,00 6 100,00 9
15 Papua 28 4.012.224 35.943 15 2 0 12 8 28,57 20 71,43 0 0,00 20 100,00 11
16 Propinsi Lainnya 171 1.073.904 57.885 68 9 16 95 60 35,09 111 64,91 9 8,11 102 91,89 62
JUMLAH 1.753 10.892.203 1.189.482 719 59 219 833 787 44,89 966 55,11 73 7,56 893 92,44 508
Disusun berdasarkan ‘data-‐base Konflik Agraria KPA ‘, entri s.d. 30 Desember 2001 Catatan: *) Belum termasuk kasus Lonsum Bulukumba dan kasus Petani Kopi Manggarai yang terjadi tahun 2002-‐2003
= Bachriadi
23
Lampiran-‐4
Tabel Kekerapan Pihak-‐pihak yang Menjadi Lawan Rakyat Setempat dalam Kasus-‐kasus Konflik Agraria di Indonesia
No Sektor Kebijakan Publik yang Menjadi Penyebab Konflik Pemerintah Militer
Perusahaan Negara/ Daerah
Perusahaan Swasta
1 Bendungan/ Pengairan 71 0 7 7 2 Kawasan Industri/Pabrik 15 0 10 91 3 Kehutanan Produksi 18 0 44 90 4 Kehutanan Konservasi/Lindung*) 33 0 9 3 5 lain-‐lain 147 7 9 92 6 Perairan 8 0 1 12 7 Perkebunan*) 48 7 86 215 8 Pertambakan 14 0 1 22 9 Pertambangan 12 1 9 46 10 Perumahan/ Kota Baru 95 0 6 144 11 Sarana Militer 15 39 3 7 12 Sarana Pemerintahan 22 5 2 0 13 Sarana Umum/Fasilitas Perkotaan 145 0 22 52 14 Transmigrasi 9 0 0 2 15 Turisme/Hotel/Resort 67 0 10 50
Jumlah 719 59 219 833
Diolah dari Data-‐base Konflik Agraria KPA, entri s.d. 30 Desember 2001
Catatan: *) Belum termasuk kasus Lonsum Bulukumba dan kasus Petani Kopi Manggarai yang terjadi tahun 2002-‐2003
Jalan Lain Penyelesaian Konflik Agraria = Working Paper ARC No. 04/WP-KAPPOB/I/2017
24
Lampiran-‐5
Tabel Persentase Keterlibatan Militer sebagai Alat untuk Menggusur Rakyat dalam Kasus-‐kasus Sengketa Agraria di Tiap Propinsi
No Propinsi Jumlah Kasus
% Keterlibatan Aparatus Militer
1 DI Aceh 47 34 % 2 SumUt 121 33 % 3 SumBar 32 28 % 4 Riau 33 30 % 5 Jambi 7 14 % 6 Bengkulu 13 38 % 7 Sumsel 157 41 % 8 Lampung 54 50 % 9 JaBar 484 24 % 10 DKI Jakarta 175 6 % 11 JaTeng 99 32 % 12 DI Yogyakarta 19 32 % 13 JaTim 169 25 % 14 KalTim 33 36 % 15 KalTeng 6 67 % 16 KalSel 27 30 % 17 KalBar 26 50 % 18 SulSel*) 48 38 % 19 SulUt 18 17 % 20 SulTeng 58 38 % 21 SulTra 9 22 % 22 Bali 13 62 % 23 NTT*) 44 43 % 24 NTB 27 37 % 25 Maluku 6 33 % 26 Papua 28 39 %
Jumlah 1.753 29 %
Diolah dari Data-‐base Konflik Agraria KPA, entri s.d. 30 Desember 2001
Catatan: *) Belum termasuk kasus Lonsum Bulukumba dan kasus Petani Kopi Manggarai yang terjadi tahun 2002-‐2003
= Bachriadi
25
Lampiran-‐6
Tabel Jumlah Kasus Konflik Agraria dan Jenis Tindak Kekerasan terhadap Keluarga Petani yang terjadi pada Kasus yang Bersangkutan, yang dapat terekam pada tahun 1990-‐2000 di 19 Propinsi di Indonesia
No.
J E N I S T I N D A K K E K E R A S A N
Propinsi Peng-‐aniayaan
Pembu-‐nuhan
Penem-‐bakan
Pencu-‐likan
Penang-‐kapan
Pembakaran/ Perusakan
Rumah/Pondok
Pembabatan/ Pembakaran Tanaman
Teror Intimi-‐dasi
Pemer-‐kosaan
Lain-‐nya
1 N ACEH D 1 2 2 2 SUMUT 14 4 7 2 13 10 5 20 25 9 3 RIAU 1 1 1 2 2 1 4 5 6 4 SUMSEL 2 1 1 7 2 7 13 1 5 BENGKULU 1 3 3 3 2 6 LAMPUNG 4 2 2 1 5 3 7 9 1 2 7 DKI JAKARTA 1 1 6 6 3 8 JABAR 4 1 14 1 1 63 60 33 9 JATENG 1 1 1 2 1 1 4 14 3 10 DI YOGYAKARTA 1 2 11 JATIM 9 5 7 2 17 6 2 11 24 11 12 KALBAR 1 1 13 KALTIM 1 1 4 7 3 14 KALTENG 1 1 3 2 1 15 KALSEL 2 2 16 SULSEL 1 1 1 5 1 10 13 16 12 17 SULTENG 1 2 2 18 SULTRA 1 1 1 2 1 19 SULUT 2 3
Jumlah 38 14 21 7 73 25 27 153 198 1 87
Sumber: Dianto Bachriadi, “Kekerasan dalam Persoalan Agraria dan Relevansi Tuntutan Dijalankannya Pembaruan Agraria di Indonesia Paska Orde Baru”,
berdasarkan ‘Data-‐base Konflik Agraria KPA’, entri hingga 17 Desember 2000
Penulis Dianto Bachriadi
Pendiri dan Peneliti Senior Agrarian Resource Center (ARC). Pada tahun 1995 ikut mendirikan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan pernah menjadi Ketua (1998-‐2002) serta anggota Dewan Pakar (2002-‐2005). Pernah menjadi Direktur Eksekutif PERGERAKAN – People-‐centered Advocay Insitute (2004-‐2005). Menjadi Staf Ahli Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI untuk Tim Kerja Penyelesaian Konflik Agraria dan Sumberdaya Alam (2011-‐2012) dan menjadi anggota Tim Kerja Komnas HAM untuk Menggagas Pembentukan KNuPKA (2003-‐2004). Menjadi Anggota/Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) RI (2012-‐2017). Menyelesaikan program doktoral di Flinders University, Australia (2010) dengan disertasi berjudul “Between Discourse and Action: Agrarian Reform and Rural Social Movements in Indonesia Post-‐1965”. Menulis sejumlah buku dan artikel ilmiah dalam topik konflik dan masalah-‐masalah agraria serta gerakan sosial pedesaan, beberapa diantaranya adalah: ‘Mainstreaming Land Right as Human Rights in Southeast Asia’ (ANGOC, 2017), ‘Land grabbing and speculation for energy business: a case study of ExxonMobil in East Java, Indonesia’ (Canadian Journal of Development Studies 37(4): 578-‐594), ‘Dari Lokal ke Nasional, Kembali ke Lokal: Perjuangan Hak atas Tanah di Indonesia’ (ARC Books, 2012), ‘Six Decades of Inequality: Land Tenure Problems in Indonesia’ (bersama Gunawan Wiradi, ARC Books, 2011), ‘Ketika Penyelenggaraan Pemerintahan Menyimpang: Maladministrasi di Bidang Agraria’ (bersama Yudi bachrioktora dan Hilma Safitri, Pustaka Lappera Utama, 2005), ‘Hantaman Neoliberalisme Terhadap Industri Gula Indonesia’ (YLKI-‐IGJ-‐CI, 2005), ‘Merampas Tanah Rakyat: Kasus Tapos dan Cimacan’ (bersama Anton Lucas, Kepustakaan Populer Gramedia, 2001), ‘Merana di Tengah Kelimpahan: Pelanggaran-‐pelanggaran HAM pada Industri Pertambangan di Indonesia’ (Lembaga Studi Advokasi Masyarakat, 1998), ‘Reformasi Agraria: Perubahan Politik, Sengketa dan Agenda Pembaruan Agraria di Indonesia’ (sebagai editor bersama Erpan Faryadi dan Bonnie Setiawan, Lembaga Penerbit FE Univ. Indonesia, 1997), dan ‘Ketergantungan Petani dan Penetrasi Kapital’ (Akatiga, 1995).
Penulis dapat dihubungi pada: [email protected]
Agrarian Resources Center (ARC)
Lembaga kajian sosial independen yang dibentuk tahun 2005 oleh sejumlah aktivis-‐pemikir agraria di Indonesia. Lembaga ini dibentuk untuk mengisi kekosongan kerja-‐kerja penelitian dan kajian kritis di bidang agraria, khususnya yang dilakukan oleh peneliti-‐peneliti muda. Juga dimaksudkan untuk menjadi tempat bagi aktivis-‐aktivis gerakan sosial melakukan refleksi atas kerja-‐kerja mereka dalam mendorong perubahan sosial. Hasil kajian ARC terutama didedikasikan sebagai masukan kritis untuk kelompok-‐kelompok gerakan sosial baik di pedesaan maupun perkotaan, selain untuk memberikan sumbangan kepada kajian-‐kajian agraria kritis. Publikasi hasil-‐hasil kajian ARC disebarkan dalam berbagai bentuk, seperti: working paper, position paper, buku, dan artikel-‐artikel lepas untuk tujuan publikasi di jurnal-‐jurnal ilmiah maupun untuk diskusi, seminar dan konferensi. Selain melakukan sejumlah kajian dan refleksi, ARC juga menyelenggarakan pelatihan kajian agraria kritis secara reguler yang dikhususkan untuk mahasiswa dan peneliti-‐peneliti muda. Program pelatihan ini dinamakan “Pelatihan Kajian Agraria Kritis Indonesia” atau “Critical Agrarian Studies of Indonesia” (CASI). Pelatihan dilakukan secara intensif dengan skema dukungan penuh lembaga dalam bentuk fellowship dan disusun berjenjang dari tingkat dasar hingga tingkat lanjutan. Di luar pelatihan terstruktur, ada program Peneliti Tamu (visiting researcher) ARC yang diselenggarakan untuk memberi kesempatan khususnya kepada para aktivis gerakan sosial untuk melakukan refleksi dan menuliskan pengalamannya, serta memberi kesempatan kepada peneliti muda dari berbagai latar belakang ilmu sosial untuk mengembangkan minat dan memperluas pengalamannya dalam mengkaji masalah-‐masalah agraria di Indonesia. Peneliti tamu akan bekerja bersama peneliti-‐peneliti ARC untuk mendalami gagasan-‐gagasan dan ide-‐ide penelitian dan penulisan yang akan digarapnya selama berada di ARC. ARC memiliki perpustakaan yang menyimpan koleksi ribuan buku dan jurnal ilmiah dalam bidang agraria, gerakan sosial, antropologi, sosiologi, politik, geografi, ekologi, ekonomi-‐politik, hukum, hak asasi manusia, sejarah, filsafat dan lainnya yang terbuka untuk umum. Perpustakaan ini juga menyimpan koleksi data-‐data hasil penelitian serta dokumen-‐dokumen yang sesuai dengan perhatian dan minat lembaga. Di perpustakaan ARC secara rutin juga dilakukan diskusi-‐diskusi dalam tema-‐tema tertentu, baik untuk menyikapi dinamika sosial-‐ekonomi-‐dan politik yang terkait dengan pembangunan dan masalah-‐masalah agraria maupun untuk mendalami isu-‐isu ekonomi-‐politik lainnya. ARC terbuka untuk kerjasama dengan berbagai pihak, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri, selama dapat berpegang pada prinsip-‐prinsip bekerja bersama untuk mewujudkan keadilan sosial, pembebasan, anti penindasan, independensi, dan kesetaraan. Alamat:
Jalan Ski Air No. 20, Arcamanik, Bandung 40293, INDONESIA Telepon/fax.: +62 – 22 – 7237799 Email: [email protected] www.arc.or.id
Buku
Bachriadi, Dianto dan Gunawan Wiradi. Six Decades of Inequality: Land Tenure Problems in Indonesia . 2011.
Bachriadi, Dianto dan Gunawan Wiradi. Enam Dekade Ketimpangan: Masalah Penguasaaan Tanah di Indonesia . 2011.
Bachriadi, Dianto (editor). Dari Lokal ke Nasional, Kembali ke Lokal: Perjuangan Hak Atas Tanah di Indonesia . 2012.
Safitri, Hilma. Debottlenecking dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) . 2014.
Bachriadi, Dianto dan Henry Bernstein. Kedaulatan Pangan: Pandangan Skeptikal . 2014.
Working Paper dan Kertas Posisi Bachriadi, Dianto dan Meidi Pratama. Dijual Tanah! yang Berminat Si lahkan Hubungi
Pemil ik, Seratus Persen Dijamin oleh Pemerintah: Krit ik dan Implikasi Pelaksanaan Land Management Policy and Development Project (LMPDP) di Indonesia , Kertas Posisi ARC No. 001/2006 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2006.
Sujiwo, Tri Agung. Perubahan Penguasaan Tanah di Atas Lahan Pendudukan Pasca Reformasi (Studi Kasus Tanah Cieceng, Desa Sindangasih Tasikmalaya) , Working Paper ARC No. 1/2012, Agustus 2012 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2012.
Suryana, Erwin. Struktur Agraria dan Dinamika Gerakan Sosial Pedesaan di Karawang , Working Paper ARC No. 2/2012, Agustus 2012 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2012.
ARC, Tim. Kecenderungan Advokasi Gerakan dan Kebijakan Agraria Nasional Pasca Reformasi , Working Paper ARC No. 3/2012, Agustus 2012 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2012.
Baihaqi. Redistr ibusi Lahan di Cipari Kabupaten Cilacap , Working Paper ARC No. 4/2012, Agustus 2012 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2012.
Rohman, Lina M. dan Rahmi Indriyani. Pembangunan DAM Jatigede: Beberapa Catatan Awal , Working Paper ARC No. 001 – Agustus 2016 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2016
Qoriah, Sityi M. Masyarakat Dusun Bonto, Desa Kompang, Kec. Sinjai Tengah, Sulawesi Selatan: Catatan Awal , Working Paper ARC No. 002 – September 2016 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2016.
Publikasi-‐publikasi ARC (terbaru)
Bachrioktora, Yudi, Hilma Safitri dan Dianto Bachriadi. Pelanggaran yang Disengaja: Maladministrasi di Bidang Pertanahan Warisan Orde Baru , Working Paper ARC No. 01.a/WP-KAPPOB/I/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Safitri, Hilma, Dianto Bachriadi dan Yudi Bachrioktora. Belok Kanan Demi Kapital: Sistem Hukum dan Kebijakan Agraria di Indonesia sejak Orde Baru , Working Paper ARC No. 01.b/WP-KAPPOB/I/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Bachriadi, Dianto. Tanah untuk Petani Tak Bertanah , Working Paper ARC No. 02/WP-KAPPOB/I/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
Bachriadi, Dianto. Melihat Kembali ke Belakang: Upaya-upaya Mendorong Terbitnya TAP MPR RI tentang Pembaruan Agraria , Working Paper ARC No. 03/WP-KAPPOB/I/2017 (Bandung: Agrarian Resources Center). 2017.
04/WP-‐KAPPOB/I/2017
ISSN: 2541-‐0121
Jalan Ski Air No. 20, Arcamanik, Bandung 40293, INDONESIA
+62 – 22 – 7237799 [email protected]
www.arc.or.id