lapkas i

31
LAPORAN KASUS EPISTAKSIS DISUSUN OLEH: Irma Puspita Sari (2010730054) Tri Fitri Sari (2010730107) Sela Naimora (2010730097) PEMBIMBING dr. Pramusinto Adhy, Sp. THT-KL STASE TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN KEPALA DAN LEHER BLUD SEKARWANGI PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA 2015

Upload: tri-fitri-sari

Post on 02-Sep-2015

242 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

THT

TRANSCRIPT

LAPORAN KASUS

EPISTAKSIS

DISUSUN OLEH:

Irma Puspita Sari (2010730054)

Tri Fitri Sari (2010730107)Sela Naimora (2010730097)

PEMBIMBING

dr. Pramusinto Adhy, Sp. THT-KLSTASE TELINGA HIDUNG TENGGOROKAN KEPALA DAN LEHER

BLUD SEKARWANGIPROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2015KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr wb

Puji syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahNya sehingga tugas ini dapat terselesaikan dengan baik.

Tugas ini disusun dalam rangka untuk meningkatkan pengetahuan serta memenuhi tugas Laporan Kasus Epistaksis pada Stase THT-KL BLUD Sekarwangi. Bahan-bahan dalam pembuatan tugas ini didapat dari buku-buku, internet, dan beberapa sumber lainnya.

Terima kasih kepada dokter pembimbing di BLUD Sekarwangi, dr. Pramusinto Adhy, Sp.THT-KL sebagai pembimbing yang telah membantu dalam terselesainya tugas ini.

Penulis menyadari bahwa tersusunnya tugas ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan. Semoga jurnal ini dapat bermanfaat untuk para pembaca.

Terima kasih,

Wassalamualaikum wr wb

Penulis

28 Juli 2015

STATUS PASIEN

IDENTITAS

Nama

: Tn. MUsia

: 56 Tahun

Alamat

: Cibadak, SekarwangiTanggal Pemeriksaan : 1 Juli 2015ANAMNESA

Keluhan Utama : Keluar darah dari hidung sejak 1 hari SMRSRiwayat Penyakit Sekarang : Darah keluar secara mendadak dari kedua lubang hidung sejak 1 hari SMRS. Darah berwarna merah segar, banyaknya sampai sapu tangan penuh darah. Tidak ada keluhan nyeri di hidung, tidak ada trauma kepala sebelumnya. Sebelum keluar darah os bekerja mengangkat berat dahulu. Keluhan ini disertai dengan muntah berwarna hitam. Muntah hitam sebanyak 2 kali, keluar banyak kurang lebih seperempat gelas aqua. Pasien juga mengeluh pusing, namun tidak berputar. Perut terasa kembung dan nyeri. Demam disangkal. Batuk dan pilek disangkal. BAB berwarna cokelat bercampur warna hitam namun tidak banyak, sebanyak 1 kali/hari. BAK tidak ada keluhan.Riwayat Penyakit Dahulu : Riwayat keluhan serupa (-). Riwayat konsumsi obat aspirin (-). Riwayat hipertensi (+) tidak terkontrol. Penyakit jantung (-). DM (-). Riwayat Penyakit Keluarga : Tidak ada yang menderita sakit seperti ini.

Riwayat Alergi : Debu : (-)

Obat-obatan : (-)

Makanan (-)

Riwayat Pengobatan : Pasien belum pernah diobati sebelumnya.Riwayat Kebiasaan :

Pasien suka mengkorek-korek hidungnya Pasien merokok 1 bungkus/ hari Konsumsi kopi 3 gelas/hari

STATUS GENERALIS Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Tanda Vital

1. Tekanan darah : 110/70 mmHg2. Nadi

: 84 x/menit

3. Pernafasan : 20 x/menit

4. Suhu

: 36,8 o C Kepala :

Mata : Conjungtiva anemis +/+ Sklera ikterik -/- Refleks cahaya +/+ pupil bulat isokor, diameter 3 mm/3mmTelinga KananTelinga Kiri

Tragus sign (-), Heliks sign (-),AurikulaTragus sign (-), Heliks sign (-),

Tenang, Hiperemis (-), Sekret (-), Serumen (+), Edem (-), Laserasi (-)Canalis Acusticus EksternusTenang, Hiperemis (-), Sekret (-), Serumen (+), Edem (-), Laserasi (-)

Intak, refleks cahaya (-), Hiperemis (-), Perforasi (-), bulging (-)Membran TympaniIntak, Refleks cahaya (+), Hiperemis (-), Perforasi (-), Bulging (-)

(+)Rinne(+)

Tidak Ada LateralisasiWeberTidak Ada Lateralisasi

Sama dengan PemeriksaSchwabachSama dengan Pemeriksa

Hidung

Cavum Nasi : Secret -/-, darah -/+ tampak bercak darah sedikit, massa -/-

Mukosa : Hiperemis +/+

Concha : Hipertropi -/-

Septum : Tidak ada deviasi

Sinus Paranasal : Nyeri tekan pada pangkal hidung -/-, pipi -/-, dahi -/-

Pharyng

Mukosa : Hiperemis -Arkus Faring : Simetris

Tonsil : T1/T1

Nasofaring : Pasien tidak kooperatif

Laryng

Tidak dilakukan

Leher

Tiroid : normal, tidak teraba pembesaran tiroid

KGB : normal, tidak teraba pembesaran KGB

PEMERIKSAAN PENUNJANG :

Darah Rutin: (28 Juni 2015)

Hemoglobin : 5 g/dL

Trombosit : 137.000 L

Darah Rutin: (30 Juni 2015)

Hemoglobin : 4,7 g/dL

Leukosit : 9.000

GDS: 108 mg/dL

DIAGNOSIS KERJA : Epistaksis Anterior Anemia ec blood lost ec epistaksisPLANNING :

Terapi : Rencana Transfusi PRC s/d Hb 10IVFD Nacl 0.9 % 500 cc/ 6 jamRanitidin 2 x 50mg (iv)Ondancentron 2 x 8 mg (iv)

Vit K 2 x 1 ampul

Captopril 25 mg 2 x 1 tab

Tampon anterior bila terjadi epistaksis kembaliRencana diagnostic :

Cek darah rutin/8 jam SGOT, SGPT

Konsul Dokter Penyakit DalamTINJAUAN PUSTAKA

Anatomi dan Fisiologi HidungHidung terdiri dari hidung luar dan hidung dalam. Hidung luar berbentuk piramid, bagiannya (dari atas ke bawah) yaitu pangkal hidung (bridge), dorsum nasi, puncak hidung, ala nasi, kolumela, lubang hidung (nares anterior). Sedangkan bagian hidung dalam terdiri dari vestibulum dan cavum nasi. Tiap kavum nasi memiliki 4 buah dinding yaitu :

medial adalah septum nasi yang dibentuk oleh tulang dan tulang rawan yaitu lamina prependikularis, vomer, krista nasalis os maksilla, krista nasalis os palatina, kartilago septum, dan kolumela

lateral adalah konka yang terdiri dari konka inferior, media, dan superior. Diantara konka tersebut dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus.

1. Concha nasalis superior

... Meatus nasi superior...

2. Concha nasalis media

... Meatus nasi medius...

3. Concha nasalis inferior

... Meatus nasi inferior...

Dasar cavum nasi

Pada meatus medius terdapat muara sinus frontalis, maksila, dan etmoid anterior. Pada meatus superior terdapat muara sinus etmoid posterior dan sfenoid.

inferior adalah os maksilla & os palatum

superior adalah lamina kribiformis

Vaskularisasi

Bagian bawah hidung mendapat perdarahan dari cabang a.maksilaris interna, di antaranya adalah ujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina lalu memasuki rongga hidung di belakang ujung posterior konka media. Bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis.

Bagian atas rongga hidung mendapat vaskularisasi dari a.etmoid aanterior dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna. Bagian depan septum, terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, a.palatina mayor (Pleksus Kiesselbach) .

Vena-vena di hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum & struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus.

Inervasi

Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris dari nervus etmoidalis anterior, yang merupakan cabang dari nervus nasosiliaris, yang berasal dari nervus oftalmikus. Saraf sensoris untuk hidung terutama berasal dari cabang oftalmikus dan cabang maksilaris nervus trigeminus. Cabang pertama nervus trigeminus yaitu nervus oftalmikus memberikan cabang nervus nasosiliaris yang kemudian bercabang lagi menjadi nervus etmoidalis anterior dan etmoidalis posterior dan nervus infratroklearis. Nervus etmoidalis anterior berjalan melewati lamina kribrosa bagian anterior dan memasuki hidung bersama arteri etmoidalis anterior melalui foramen etmoidalis anterior, dan disini terbagi lagi menjadi cabang nasalis internus medial dan lateral. Rongga hidung lainnya, sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari nervus maksila melalui ganglion sfenopalatinum

Ganglion sfenopalatina, selain memberi persarafan sensoris, juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut serabut sensorid dari nervus maksila.Serabut parasimpatis dari nervus petrosus profundus. Ganglion sfenopalatinum terletak dibelakang dan sedikit diatas ujung posterior konkha media. Nervus Olfaktorius turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.

Fisiologi

Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi hidung dan sinus paranasal adalah :

1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara, penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal

2. Fungsi penghidu karema terdapatnya mukosa olfaktorus dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu

3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses biacara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang

4. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas

5. Refleks nasal.

Epistaksis

Definisi

Merupakan perdarahan hidung, bukanlah merupakan suatu penyakit, melainkan sebagai gejala dari suatu kelainan. Perdarahan bisa ringan sampai serius dan bila tidak segera ditolong dapat berakibat fatal. Sumber perdarahan biasanya berasal dari bagian depan atau bagian belakang hidung. 1. Epistaksis ringan biasanya berasal dari bagian anterior hidung, umumnya mudah diatasi dan dapat berhenti sendiri.

2. Epistaksis berat berasal dari bagian posterior hidung yang dapat menimbulkan syok dan anemia serta dapat menyebabkan terjadinya iskemia serebri, insufisiensi koroner dan infark miokard yang kalau tidak cepat ditolong dapat berakhir dengan kematian. Pemberian infus dan transfusi darah serta pemasangan tampon atau tindakan lainnya harus cepat dilakukan. Disamping itu epistaksis juga dapat merupakan tanda adanya pertumbuhan suatu tumor baik ganas maupun jinak. Ini juga memerlukan penatalaksanaan yang rinci dan terarah untuk menegakkan diagnosis dan menentukan modalitas pengobatan yang terbaik.

Etiologi Seringkali epistaksis timbul spontan tanpa dapat diketahui penyebabnya, kadang-kadang jelas disebabkan karena trauma. Epistaksis dapat disebabkan oleh kelainan lokal pada hidung atau kelainan sistemik. Kelainan lokal misalnya trauma, kelainan anatomi, kelainan pembuluh darah, infeksi lokal, benda asing, tumor, pengaruh udara lingkungan. Kelainan sistemik seperti penyakit kardiovaskuler, kelainan darah, infeksi sistemik, perubahan tekanan atmosfir, kelainan hormonal dan kelainan kongenital.

Trauma

Perdarahan dapat terjadi karena trauma ringan misalnya mengorek hidung, benturan ringan, bersin atau mengeluarkan ingus terlalu keras, atau akibat trauma yang lebih hebat seperti kena pukul, jatuh atau kecelakaan lalu-lintas. Selain itu juga bias terjadi akibat adanya benda asing tajam atau trauma pembedahan.

Epistaksis sering juga terjadi karena adanya septum yang tajam. Perdarahan dapat terjadi di tempat spina itu sendiri atau pada mukosa konka yang berhadapan bila konka itu sedang mengalami pembengkakan.

Kelainan pembuluh darah (lokal)

Sering kongenital. Pembuluh darah lebih lebar, tipis, jaringan ikat dan sel-selnya lebih sedikit.

Infeksi lokal

Epistaksis bisa terjadi pada infeksi hidung dan sinus paranasal seperti rhinitis atau sinusitis. Bisa juga pada infeksi spesifik seperti rinitis jamur, tuberculosis, lupus, sifilis, atau lepra.

Tumor

Epistaksis dapat timbul pada hemangioma dan karsinoma. Yang lebih sering terjadi pada angiofibroma, dapat menyebabkan epistaksis berat.

Penyakit kardiovaskuler

Hipertensi dan kelainan pembuluh darah seperti yang terjadi pada arteriosklerosis, nefritis kronik, sirosis hepatis atau diabetes mellitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis yang terjadi pada penyakit hipertensi sering kali hebat dan dapat berakibat fatal.

Kelainan darah

Kelainan darah penyebab epistaksis anatara lain leukemia, trombositopenia, bermacam-macam anemia serta hemofilia.

Kelainan Kongenital

Kelainan kongenital yang sering menyebabkan epistaksis adalah teleangiektasis hemoragik herediter (hereditary hemorrhagic teleangiectasis Osler-Rendu-Weber disease), juga sering terjadi pada Von Willenbrand disease.

Infeksi sistemik

Yang sering menyebabkan epistaksis adalah demam berdarah (dengue hemorrhagic fever). Demam tifoid, influenza dan morbilli juga dapat disertai epistaksis.

Perubahan udara dan tekanan atmosfir

Epistaksis ringan sering terjadi bila seseorang berada di tempat yang cuacanya sangat dingin atau kering. Hal serupa juga bisa disebabkan adanya zat-zat kimia di tempat industry yang menyebabkan keringnya mukosa hidung

Gangguan hormonal

Epistaksis juga dapat terjadi pada wanita hamil atau menopause karena pengaruh perubahan hormonal.

Beberapa penyebab epistaksis dapat digolongkan menjadi etiologi lokal dan sistemik.

Etiologi lokal

Trauma lokal misalnya setelah membuang ingus dengan keras, mengorek hidung, fraktur hidung atau trauma maksilofasia lainnya.

Tumor, baik tumor hidung maupun sinus yang jinak dan yang ganas. Tersering adalah tumor pembuluh darah seperti angiofibroma dengan ciri perdarahan yang hebat dan karsinoma nasofaring dengan ciri perdarahan berulang ringan bercampur lendir atau ingus.

Idiopatik yang merupakan 85% kasus epistaksis, biasanya ringan dan berulang pada anak dan remaja. Ketiga diatas ini merupakan penyebab lokal tersering.

Etiologi lainnya yaitu :

iritasi gas atau zat kimia yang merangsang ataupun udara panas pada mukosa hidung;

Keadaan lingkungan yang sangat dingin

Tinggal di daerah yang tinggi atau perubahan tekanan atmosfir yang tiba tiba

Pemakaian semprot hidung steroid jangka lama

Benda asing atau rinolit dengan keluhan epistaksi ringan unilateral clsertai Ingus berbau busuk.

Etiologi sistemik

Hipertensi dan penyakit kardiovaskuler lainnya seperti arteriosklerosis. Hipertensi yang disertai atau tanpa arteriosklerosis rnerupakan penyebab epistaksis tersering pada usia 60-70 lahun. Kelainan perdarahan misalnya leukemia, hemofilia, trombositopenia dll.

Infeksi, misalnya demam berdarah disertai trornbositopenia, morbili, demam tifoid dll.

Termasuk etiologi sistemik lain

Lebih jarang terjadi adalah gangguan keseimbangan hormon misalnya pada kehamilan, menarke dan menopause

kelainan kongenital misalnya hereditary hemorrhagic Telangieclasis atau penyakit Rendj-Osler-Weber;

Peninggian tekanan vena seperti pada emfisema, bronkitis, pertusis, pneumonia, tumor leher dan penyakit jantung

pada pasien dengan pengobatan antikoagulansia.

Epidemiologi

Epistaksis jarang ditemukan pada bayi, sering pada anak, agak jarang pada orang dewasa muda, dan lebih banyak lagi pada orang dewasa tua. Epistaksis atau perdarahan hidung dilaporkan timbul pada 60% populasi umum. Puncak kejadian dari epistaksis didapatkan berupa dua puncak (bimodal) yaitu pada usia 50 tahun. Epistaksis anterior lebih sering terjadi pada anak- anak dan dewasa muda, sedangkan epistaksis posterior lebih sering terjadi pada usia lebih tua, terutama pada laki- laki berusia 50 tahun dengan penyakit hipertensi dan arteriosklerosis. Pasien yang menderita alergi, inflamasi hidung dan penyakit hidung lebih rentan terhadap terjadinya epistaksis, karena mukosanya lebih kering dan hiperemis yang disebabkan oleh reaksi inflamasi.

Kira- kira 10% dari penduduk dunia mempunyai riwayat hidung berdarah beberapa kali dalam hidupnya. Sekitar 30% anak- anak umut 0-5 tahun, 56% umur 6-10 tahun dan 64% berumur 11- 15 tahun mengalami satu kali epistaksis. Sebagai tambahan, 56% orang dewasa dnegan perdarahan hidung berulang pernah mengalami kejadian serupa pada saat kecil.

Sumber perdarahan

Sumber perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior rongga hidung.

Epistaksis anterior

Berasal dari pleksus Kiesselbach atau a.etmoidalis anterior. Perdarahan biasanya ringan, mudah diatasi dan dapat berhenti sendiri.

Pada saat pemeriksaan dengan lampu kepala, periksalah pleksus Kiesselbach yang berada di septum bagian anterior yang merupakan area terpenting pada epistaksis. la merupakan anastomosis cabang a.etmoidalis anterior, a.sfenopaltina, a. palatina asendens dan a.labialis superior. Terutama pada anak pleksus ini di dalam mukosa terletak lebih superfisial, mudah pecan dan menjadi penyebab hampir semua epistaksis pada anak.

Epistaksis posterior

umumnya berat sehingga sumber perdarahan seringkali sulit dicari. Umumnya berasal dari a.sfenopalatina dan a.etmoidalis posterior. Sebagian besar darah mengalir ke rongga mulut dan memerlukan pemasangan tampon posterior untuk mengatasi perdarahan. Sering terjadi pada penderita usia lanjut dengan hipertensi.

Patofisiologi

Rongga hidung mendapat aliran darah dari cabang arteri maksilaris interna yaitu arteri palatina mayor dan arteri sfenopalatina. Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari arteri fasialis. Bagian depan septum terdapat anastomosis (gabungan) dari cabang-cabang arteri sfenopalatina, arteri etmoid anterior, arteri labialis superior dan arteri palatina mayor yang disebut sebagai pleksus kiesselbach (littles area).Jika pembuluh darah tersebut luka atau rusak, darah akan mengalir keluar melalui dua jalan, yaitu lewat depan melalui lubang hidung, dan lewat belakang masuk ke tenggorokan.Epistaksis dibagi menjadi 2 yaitu anterior (depan) dan posterior (belakang). Kasus epistaksis anterior terutama berasal dari bagian depan hidung dengan asal perdarahan berasal dari pleksus kiesselbach. Epistaksis posterior umumnya berasal dari rongga hidung posterior melalui cabang a.sfenopalatina.

Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa perdarahan dari lubang hidung. Epistaksis posterior seringkali menunjukkan gejala yang tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah, anemia dan biasanya epistaksis posterior melibatkan pembuluh darah besar sehingga perdarahan lebih hebat jarang berhenti spontan.

Pemeriksaan arteri kecil dan sedang pada orang yang berusia menengah dan lanjut,terlihat perubahan progresifdari ototpembuluh darahtunika media menjadijaringan kolagen. Perubahan tersebut bervariasi dari fibrosis interstitial sampai perubahan yang komplet menjadi jaringan parut. Perubahan tersebut memperlihatkan gagalnya kontraksi pembuluh darah karena hilangnya otot tunika media sehingga mengakibatkan perdarahan yang banyak dan lama.

Pada orang yang lebih muda, pemeriksaan di lokasi perdarahan setelah terjadinya epistaksis memperlihatkan area yang tipis dan lemah. Kelemahan dinding pembuluh darah ini disebabkan oleh iskemia lokal atau trauma.Hipertensi dapat membuat kerusakan yang berat pada pembuluh darah di hidung (terjadi proses degenerasi perubahan jaringan fibrous di tunika media) yang dalam jangka waktu yang lama merupakan faktor risiko terjadinya epistaksisDiagnosis

Penegakkan diagnosis epistaksis memerlukan ketelitian dalam melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan tambahan jika diperlukan bersamaan dengan persiapan untuk menghentikan epistaksis. Setelah perdarahan berhenti, lakukan evaluasi untuk menentukan penyebab.

Dari anamnesis yang dapat digali adalah :

1.Riwayat perdarahan sebelumnya

2.Lokasi perdarahan

3.Apakah darah terutama mengalir ke dalam tenggorokan (ke posterior) ataukah keluar dari hidung depan (anterior) bila pasien duduk tegak?

4.Lama perdarahan dan frekuensinya

5.Kecenderungan perdarahan

6.Hipertensi

7.Diabetes mellitus

8.Penyakit hati

9.Penggunaan antikoagulan

10.Trauma hidung yang belum lama

11.Obat-obatan, seperti aspirin, fenibutazon

Pada pemeriksaan fisik diawali dengan kesadaran, tanda vital, pemeriksaan kepala sampai ekstremitas. Pada epistaksis anterior, keadaan umum pasien baik, tidak ada gangguan tanda vital, dan tidak ditemukannya tanda hipoperfusi. Sedangkan pada epistaksis posterior, pemeriksaan fisik sangat bergantung dengan jumlah dan waktu perdarahan. Kesadaran pasien dapat menurun, dapat terjadi gangguan tanda vital hingga menunjukkan tanda syok seperti nadi lemah, hipotensi, takipnea, akral dingin.

Epistaksis posterior dicurigai bila (1) sebagian besar perdarahan terjadi ke dalam faring, (2) suatu tampon anterior gagal mengontrol perdarahan, atau (3) nyata dari pemeriksaan hidung bahwa perdarahan terletak posterior dan superior.

Pemeriksaan yang diperlukan berupa :

1. Rinoskopi anterior

Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum,mukosa hidung dan septum nasi, dindng lateral hidung dan konkha inferior harus diperiksa dengan cermat

2. Rinoskopi posterior

Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis dan secret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma

3. Pengukuran tekanan darah

Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang

4. Rontgen sinus

Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi

5. Skrinning terhadap koagulopati

Tes-tes yang tepat termasuk waktu protombin serum,waktu tromboplastin parsial, jumlah platlet dan waktu perdarahan

Penatalaksanaan

Terdapat 3 prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan, mencegah komplikasi, dan mencegah berulang nya epistaksis.

Bila pasien datang dengan epistaksis, perhatikan keadaan umumnya, nadi, pernapasan serta tekanan darahnya. Bila ada kelainan, atasi terlebih dahulu misalnya dengan memasang infus. Jalan napas dapat tersumbat oleh darah atau bekuan darah, perlu dibersihkan atau dihisap. Untuk dapat menghentikan perdarahan perlu dicari sumbernya, setidaknya dilihat apakah perdarahan dari anterior atau posterior.

Pasien dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, biarkan darah mengalir keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor. Kalau keadaannya lemah sebaiknya setengah duduk atau berbaring dengan kepala ditinggikan. Harus diperhatikan jangan sampai darah masuk ke saluran napas bagian bawah. Pasien anak duduk dipangku, badan dan tangan dipeluk, kepala dipegangi agar tegak dan tidak bergerak-gerak.

Sumber perdarahan dicari untuk membersihkan hidung dari darah dan bekuan darah dengan bantuan alat penghisap. Kemudian dipasang tampon sementara yaitu kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1/5000 1/10.000 dan pantocain atau lidocain 2% dimasukan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa nyeri pada saat dilakukan tindakan selanjutnya. Tampon itu dibiarkan selama 10-15 menit. Setelah terjadi vasokonstriksi biasanya dapat dilihat apakah perdarahan berasal dari bagian anterior atau posterior hidung.

Perdarahan Anterior

Perdarahan seringkali berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian depan. Apabila tidak berhenti dengan sendirinya, perdarahan anterior, terutama pada anak, dapat dicoba dihentikan dengan menekan hidung luar selama 10-15 menit, seringkali berhasil. Pasien dengan perdarahan aktif lewat bagian depan hidung harus duduk tegak, menggunakan apron plastic serta memegang suatu wadah berbentuk ginjal untuk melindungi pakaiannya. Gulungan kapas yang telah dibasahi larutan kokain 4% dimasukkan dengan hati-hati ke dalam hidung sambil mengaaspirasi darah yang berlebihan.

Bila sumber perdarahan dapat terlihat, tempat asal perdarahan dikaustik dengan larutan Nitras Argenti (AgNO3) 25-30%. Sesudahnya area tersebut diberi krim antibiotik.

Bila dengan cara ini perdarahan masih berlangsung, maka perlu dilakukan pemasangan tampon anterior yang dibuat dari kapas atau kasa yang diberi pelumas vaselin atau salep antibiotik. Tampon dimasukkan sebanyak 2-4 buah, disusun dengan teratur dari dasar hingga atap hidung dan meluas hingga ke seluruh panjang rongga hidung, serta harus dapat menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama 2x24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Selama 2 hari ini dilaukan pemeriksaan penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis. Bila perdarahan belum berhenti dipasang tampon baru.

Bila hanya memerlukan tampon anterior tanpa adanya gangguan medis primer, pasien dapat diperlakukan ssebagai pasien rawat jalan dan diberitahu untuk duduk tegak dengan tenang sepanjang hari, serta kepala ditinggikan pada malam hari. Pasien tua dengan kemunduran fisik harus dirawat di rumah sakit.

Perdarahan Posterior

Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab perdarahan hebat dan sulit dicari sumbernya dengan pemeriksaan rinoskopi anterior. Penanganan epistaksis posterior antara lain adalah blok ganglion sfenopalatinum, tampon hidung posterior, atau ligase pembuluh spesifik.

Blok Ganglion Sfenopalatinum

Pada kasus epistaksis posterior, blok sfenopalatinum dapat bersifat diagnostik dan terapeutik. Injeksi 0,5 ml Xilokain 1% dengan epinefrin 1:100.000 secara hati-hati ke dalam kanalis palatina mayor yang akan menyebabkan vasokontriksi arteri sfenopalatina. Disamping vasokontriksi, injeksi ini juga menimbulkan anastesia untuk prosedur pemasangan tampon hidung posterior. Bila perdarahan berasal dari cabang arteri sfenopalatina, maka epistaksis akan berkurang dalam beberapa menit. Berkurangnya perdarahan ini hanya berlangsung singkat hingga Xilokain diabsorbsi, untuk itu dapat digunakan Gliserin (USP 2%) dan Xilokain untuk efek yang lebih lama. Jika injeksi tidak member efek, maka perdarahan mungkin berasal dari arteri etmoidalis posterior. Metode ini lebih sering digunakan oleh spesialis karena komplikasinya ke okular. Tampon Hidung Posterior

Suatu tampon posterior yang dimasukkan melalui mulut dapat ditarik memakai kateter melalui hidung ke dalam koana posterior. Suatu spons berukuran 4x4 inchi yang digulung erat dan diikat dengan benang sutera No.1 merupakan tampon yang baik. Dapat diolesi dengan salep antibiotic topikal untuk mengurangi insidens infeksi. Untuk menanggulangi perdarahan posterior dilakukan pemasangan tampon posterior (tampon Bellocq). Tampon ini dibuat dari kasa padat dibentuk kubus atau bulat dengan diameter 3 cm. Pada tampon ini terikat 3 utas benang, 2 buah di satu sisi dan sebuah di sisi berlawanan.

Untuk memasang tampon posterior pada perdarahan satu sisi, digunakan bantuan kateter karet yang dimasukan dari lubang hidung sampai tampak di orofaring, lalu ditarik keluar dari mulut. Pada ujung kateter ini diikatkan 2 benang tampon Bellocq tadi, kemudian kateter ditarik kembali melalui hidung sampai benang keluar dan dapat ditarik. Tampon perlu didorong dengan bantuan jari telunjuk untuk dapat melewati palatum mole masuk ke nasofaring. Bila masih ada perdarahan, maka dapat ditambah tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua benang yang keluar dari hidung diikat pada sebuah gulungan kain kasa di depan nares anterior, supaya tampon yang terletak di nasofaring tetap ditempatnya. Benang lain yang keluar dari mulut diikatkan secara longgar pada pipi pasien. Gunanya ialah untuk menarik tampon keluar melalui mulut setelah 2-3 hari. Hati-hati mencabut tampon karena dapat menyebabkan laserasi mukosa.

Tamponade dengan berbagai balon hidung komersial yang dimasukkan lewat depan dan kemudian ditiup, dapat pula dilakukan. Beberapa pabrik membuat balon dengan dua ruang terpisah, yang satu berfungsi sebagai tampon anterior, dan yang satunya sebagai tampon posterior. Suatu kateter Folay no.14 biasa dengan suatu kantung 15cc juga dapat dimasukan tranasal, dikembangkan dan ditarik rapat pada koana posterior. Posisi kateter dapat dipertahankan dengan suatu klem umbilicus. Yang paling sering dilakukan adalah memasukan suatu kateter melalui hidung, ditangkap pada faring dan kemudian dikeluarkan lewat mulut. Dua benang yang melekat pada tampon diikatkan pada kateter yang menjulur dari mulut. Tali ketiga yang melekat pada tampon dibiarkan menggantung dalam faring sebagai tali penarik. Kateter kemudian ditarik keluar melalui hidung depan untuk menempatkan tampon pada koana. Jika perlu, tampon dapat dibantu penempatannya dengan jari dokter hingga berada diatas palatum mole. Posisi tampon harus cukup kuat dan tidak boleh menekan palatum mole. Sementara tegangan dipertahankan melalui kedua tali yang keluar dari hidung depan, dokter harus menempatkan tampon anterior diantara kedua tali dan kedua tali diikatkan simpul pada gulungan kasa kecil. Kedua tali harus dikeluarkan lewat lubang hidung yang sama dan tidak diikatkan pada kolumela, hal ini dapat menimbulkan nekrosis jaringan lunak. Pasien yang memasang tampon harus dirawat dirumah sakit.

Bila perdarahan berat dari kedua sisi, misalnya pada kasus angiofibroma, digunakan bantuan dua kateter masing-masing melalui kavum nasi kanan dan kiri, dan tampon posterior terpasang di tengah-tengah nasofaring. Sebagai pengganti tampon Bellocq, dapat digunakan kateter Folley dengan balon. Akhir-akhir ini juga banyak tersedia tampon buatan pabrik dengan balon yang khusus untuk hidung atau tampon dari bahan gel hemostatik. Dengan semakin meningkatnya pemakaian endoskop, akhir-akhir ini juga dikembangkan teknik kauterisasi atau ligasi a. sfenopalatina dengan panduan endoskop.

Ligasi Pembuluh Spesifik

Bila tampon posterior dan anterior gagal mengendalikan epistaksis, maka perlu dilakukan ligase arteri spesifik. Arteri tersebut antara lain arteri karotis eksterna, arteri maksilaris interna dengan cabang terminusnya, arteri sfenopalatina dan arteri etmoidalis posterior anterior.

Komplikasi Komplikasi dapat terjadi sebagai akibat dari epistaksisnya sendiri atau sebagai akibat dari usaha penanggulangan epistaksis.

Akibat perdarahan yang hebat dapat terjadi aspirasi darah ke dalam saluran napas bagian bawah, nekrosis septum, aspirasim sinusitis, eksaserbasi dari sleep obstructive apnea, hipoksia, syok, anemia, hipotensi, iskemia serebri, insufisiensi koroner, sampai infark miokard dan hingga kematian. Dalam hal ini pemberian infus atau transfusi darah harus dilakukan secepatnya.

Akibat pembuluh darah yang terbuka dapat terjadi infeksi, sehingga perlu diberikan antibiotik.

Pemasangan tampon dapat menyebabkan rino-sinusitis, otitis media, septikemia atau toxic shock syndrome. Oleh karena itu, harus selalu diberikan antibiotik pada setiap pemasangan tampon hidung, dan setelah 2-3 hari tampon harus dicabut. Bila perdarahan masih berlanjut dipasang tampon baru. Selain itu dapat terjadi hemotimpanum sebagai akibat mengalirnya darah melalui tuba Eustachius, dan air mata berdarah (bloody tears), akibat mengalirnya darah secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis. Pemasangan tampon posterior (tampon Belloq) dapat menyebabkan laserasi palatum mole atau sudut bibir, jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi. Kateter balon atau tampon balon tidak boleh dipompa terlalu keras karena dapat menyebabkan nekrosis mukosa hidung dan septum.

DAFTAR PUSTAKA

Efiaty A.S. dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT Ed 6. Jakarta.Higler, B.A. 2007. Buku Ajar Penyakit THT Boies Ed.6. Jakarta

Moore,K.L.dkk. 2000. Anatomi Klinis Dasar. Jakarta.FKUI. 2007. Farmakologi Dan Terapi Edisi 5. FKUI. Jakarta.

ISO Indonesia Volume 43. Jakarta. 2008