lapkas sjs indra

Upload: indra-permana

Post on 09-Jan-2016

93 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

kk

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua orang dokter, dr. Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya. Sindrom Stevens-Johnson adalah bentuk penyakit mukokutan dengan tanda dan gejala sistemik yang parah berupa lesi target dengan bentuk yang tidak teratur, disertai makula, vesikel, bula, dan purpura yang tersebar luas terutama pada rangka tubuh, terjadi pengelupasan epidermis kurang lebih sebesar 10% dari area permukaan tubuh, serta melibatkan membran mukosa dari dua organ atau lebih. Sindrom Stevens-Johnson umumnya terjadi pada anak-anak dan dewasa muda terutama pria.1Steven-Johnson Syndrome (SJS) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de Friessinger-Rendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom muko-kutaneo-okular, dermatostomatitis, dan lain-lain.1,2

Penyebab pasti dari SSJ saat ini belum diketahui namun ditemukan beberapa hal yang memicu timbulnya SSJ seperti obat-obatan atau infeksi virus. Mekanisme terjadinya sindrom pada SSJ adalah reaksi hipersensitif terhadap zat yang memicunya. Sindrom Stevens-Johnson muncul biasanya tidak lama setelah obat disuntik atau diminum, dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan kadang tidak berhubungan langsung dengan dosis, namun sangat ditentukan oleh reaksi tubuh pasien.1Insiden keseluruhan SSJ diperkirakan 1-6 kasus/juta/tahun, dapat mengenai semua ras. Rasio laki-laki/perempuan ialah 2:1.3 Hasil berbeda dilaporkan oleh Valeyrie-Allanore L, Roujeau J-C. 2008 dan Foster CS, Letko E. 2007, dimana perempuan lebih banyak dari laki-laki (3:5). Usia terbanyak 25 tahun, dan 30-40 tahun. Risiko mendapat penyakit dari pasien dengan infeksi HIV > penyakit jaringan ikat > kanker. Angka kematian SSJ 521% dan TEN >30%.1SSJ dan nekrolisis epidermal toksik (NET) merupakan penyakit yang sangat jarang, insidensi diperkirakan 2-3% per juta populasi setiap tahun di Eropa dan Amerika Serikat. Umumnya terdapat pada dewasa.2Laporan penelitian di Jerman Barat dan Berlin pada tahun 1996 menemukan angka insidensi SSJ dan NET hanya berkisar 1,89 kasus per 1 juta penduduk. La Granade et al juga melaporkan hasil yang sama dengan angka indisidensi 1,9 kasus NET dari 1 juta penduduk per tahunnya.3 Di RSUN Dr.Ciptomangukusomo terdapat kira-kira 12 kasus setiap tahunnya, dan umumnya juga pada orang dewasa. Hal tersebut berhubungan dengan kausa SSJ yang biasanya disebabkan oleh alergi obat.2,3Sindrom Stevens-Johnson merupakan kelainan pada kulit yang serius, dan suatu kondisi medis darurat yang biasanya membutuhkan perawatan di rumah sakit. Perawatan berfokus pada menghilangkan penyebab yang mendasari, mengontrol gejala dan mengurangi komplikasi.1,2,3Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui manifestasi SJS dan tatalaksananya.

BAB IISTATUS PASIEN

2.1 IDENTITASNama: Tn. AsUsia : 43 tahunJenis Kelamin: laki-lakiPekerjaan : DagangStatus : MenikahAlamat: Bojong Gedang- Banjar Tanggal Pemeriksaan: 14/09/2015

2.2. ANAMNESIS (Autoanamnesa) Keluhan Utama:Bercak bercak kemerahan dan gelembung gelembung berisi cairan bening yang disertai rasa gatal, perih dan panas di perut bagian bawah dan punggung sejak 1 minggu yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang:Seorang laki-laki berusia 43 tahun datang ke Poliklinik Kulit Kelamin RSUD Banjar dengan keluhan timbul Bercak bercak kemerahan dan gelembung gelembung berisi cairan bening yang disertai rasa gatal, perih dan panas di perut bagian bawah dan punggng sejak 1 minggu SMRS. Keluhan pertama kali dirasakan sejak 7 hari SMRS. Keluhan dialami mendadak ketika pasien bangun tidur. Sebelum tidur pasien mengeluhkan menggigil dan demam yang tidak terlalu tinggi. Demam dirasakan hilang timbul, pegal badan, gatal, perih, dan panas pada perut. Pasien menyangka kena penyakit maag sehingga pasien minum obat lambung dan demam serta obat antibiotik yang selalu pasien konsumsi jika ada keluhan serupa.Keesokan paginya ketika bangun tidur, pada kulit perut pasien timbul Bercak bercak kemerahan dan gelembung gelembung berisi cairan bening yang disertai rasa gatal, perih dan panas . Pasien sangat khawatir dengan kondisinya sehingga berobat ke mantri dekat rumahnya dan diberikan obat salep namun keluhan tidak membaik 3 hari SMRS, Gelembung gelembung tersebut pecah dengan sendirinya dan oleh karena gesekan baju. Gelembung tersebut mengeluarkan cairan berwarna bening yang disertai gatal, panas dan perih. Gelembung gelembung tersebut semakin banyak yang pecah dari hari ke hari sehingga pasien menjadi gelisah dan sulit tidur. 1 hari SMRS, pasien merasa ada keluhan tidak nyaman di matanya. Matanya menjadi perih merah dan perih pada kedua matanya. Pasien merasa matanya kering, gatal dan seret sehingga sering digosok gosok tangannya.Pasien juga mengeluhkan bibirnya menjadi kering dan banyak kulit yang mengelupas yang disertai nyeri dan panas sehingga kadang kala mengeluarkan darah. Selain itu, pasien mengeluhkan mulut dan lidahnya yang semula hanya terdapat sariawan sariawan kecil menjadi sariawan yang besar dan berwarna putih serta sangat sakit sekali sehingga pasien kesulitan makan dan minum.Pasien mengaku belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya, tetapi pasien mengatakan pernah terkena sakit cacar ketika masih duduk di bangku sekolah dasar. Sebelumnya pasien menderita sariawan sejak 3 bulan yang lalu dan mengkonsumsi obat sariawan yang diberikan mantri ataupun pasien beli sendiri dan terus dikonsumsi sampai sekarang.Sehari hari pasien bekerja di pasar Bojong Gedang , dan melakukan rutinitas setiap hari. Pasien mengaku sering konsumsi obat antibiotik dan obat sakit kepala yang pasien beli sendiri. Pasien mengaku memiliki penyakit hipertensi dan Maag kronis sejak 3 tahun yang lalu dan mengkonsumsi obat untuk penyakitnya. Pasien mengaku hampir tiap hari konsumsi obat untuk penyakit dan keluhannya tersebut.Pasien menyangkal menderita penyakit kronis seperti TB Paru, HIV. Pasien mengaku rutin mandi untuk menjaga kebersihan tubuhnya, sehari pasien mandi 1-3 kali sehari.. Pasien menyangkal memelihara hewan peliharaan seperti kucing, anjing dan lain-lain. 2.3. PEMERIKSAAN FISIKKeadaan Umum: Tampak Sakit RinganKesadaran: ComposmentisTekanan Darah: 120/70 mmHgSuhu: 37.2 0 CNadi: 90 x/ menit

Status Generalisata:

Kepala: Normochepal, rambut hitam distribusi merataMata : Konjungtiva hiperemis (+/+), sklera ikterik (-/-)Hidung: Septum deviasi (-), sekret (-/-)Mulut: Mukosa bibir kering (+), stomatitis ulserativ (+)Leher: Pembesaran KGB (-)Thorax : Paru : Pergerakan dada simetris, vesikuler (-/-) Jantung : Ictus cordis teraba di ICS 5, BJ I dan II regulerAbdomen: Tampak datar, supel, BU normal, organomegali (-)Ekstremitas: Akral hangat (+/+), edema (-/-)

STATUS DERMATOLOGIKUSDistribusiRegioner

A/RPerut bagian bawah dan Punggung setinggi L1

LesiMultipel, sebagian diskret sebagian konfluens, batas tegas, timbul, ukuran terkecil 0.2x0.1x0.1 cm ukuran terbesar 0.5x0.3x0.1cm, Basah.

EfloresensiVesikel serosa, sebagian Erosi dan Ekskoriasi.

Kelainan kulit

Kelainan mukosa

Kelainan mata

Gambar : gambaran lesi pada pasien

2.4 RESUME Seorang laki-laki berusia 43 tahun mengeluhkan timbul bercak bercak merah dan gelembung-gelembung berisi cairan Bening mendadak yang terasa perih, gatal dan panas di bagian perut dan punggung sejak 1 minggu SMRS. Pasien juga mengeluh menggigil, pegal, dan demam sehari sebelum terbentuk gelembung. Pasien mengeluhkan sariawan yang bertambah parah dan kedua mata merah dan perih Pasien sering konsumsi obat obatan (antibiotic, antinyeri dan demam, obat maag, obat HT)Pemeriksaan Fisik : Status Dermatologikus : DistribusiRegioner

A/RPerut bagian bawah dan Punggung setinggi L1

LesiMultipel, sebagian diskret sebagian konfluens, batas tegas, timbul, ukuran terkecil 0.2x0.1x0.1 cm ukuran terbesar 0.5x0.3x0.1cm, Basah.

EfloresensiVesikel serosa, sebagian Erosi dan Ekskoriasi.

2.5 DIAGNOSIS BANDING Stevens-Johnson Syndrome Toxic Epidermal Necrolysis Pemvigus Vulgaris

2.6 DIAGNOSIS KERJAStevens-Johnson Syndrome

2.7 RENCANA PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan laboratorium : Darah rutin, test fungsi hati dan ginjal

2.8 RENCANA PENATALAKSANAAN Non-Medikamentosa1. Menerangkan kepada pasien mengenai penyakit yang diderita pasien.2. Menyarankan agar pasien menghentikan dahulu obat-obat yang dikonsumsi.3. Memberikan informasi agar pasien beristirahat yang cukup.4. Memberikan informasi agar lesi tidak digaruk dan memakai baju yang longgar.5. Memberikan informasi bahwa lesi boleh dibersihkan dengan air dan dikompres, tapi jangan digosok agar gelembung tidak pecah.6. Segera control jika keluhan semakin parah.7. Kontrol jika obat habis.

Medikamentosa Topikal salisil 1 % untuk kompres Sistemik/oral Ciprofloxacin 500 mg 2 dd 1 Loratadin 1 dd1 1 Metil Prednisolon 2 dd 1

Nb: Hentikan semua obat-obat yang dikonsumsi yang diduga kausa SJS (paracetamol, antibiotic)Jika ada infeksi sekunder lakukan dahulu skin testUntuk Penyakit HT & Gastritis : dengan pengawasan

2.9 PROGNOSIS Quo Ad Vitam: Ad Bonam. Quo Ad Functionam: Ad Bonam. Quo Ad Sanationam: Ad Bonam.

BAB IIIANALISA KASUS

Mengapa pada pasien ini didiagnosis Steven Johnson syndroms? Berdasarkan Anamnesis

Seorang laki-laki berusia 43 tahun. Sesuai dengan teori Insiden keseluruhan SSJ diperkirakan 1-6 kasus/juta/tahun, dapat mengenai semua ras. Rasio laki-laki/perempuan ialah 2:1.3 Hasil berbeda dilaporkan oleh Valeyrie-Allanore L, Roujeau J-C. 2008 dan Foster CS, Letko E. 2007, dimana perempuan lebih banyak dari laki-laki (3:5). Usia terbanyak 25 tahun, dan 30-40 tahun.1 Keluhan muncul bercak kemerahan dan gelembung berisi cairan bening disertai perih,gatal dan panas. Sesuai dengan teori Adhi Djuanda dan Mochtar Hamzah menjelaskan bahwa patogensis Sindrom Stevens-Johnson sama dengan NET yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe II (sitolitik). Gambaran klinis atau gejala reaksi tersebut tergantung kepada sel sasaran (target cell). Sasaran utama SSJ dan NET adalah pada kulit berupa destruksi keratinosit. 2Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi :2,31. Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan2. Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuriat3. Kegagalan termoregulasi4. Kegagalan fungsi imun5. Infeksi

Sebelum muncul keluhan pada kulit terdapat gejala yakni menggigil,demam, pegal badan,dan nyeri. Sesuai dengan teori Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodormal berkisar antara 1-14 hari berupa demam tinggi, malese, nyeri kepala, batuk, pilek, nyeri tenggorokan, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot, dan atralgia yang sangat bervariasi.2 Awal keluhan mendadak timbul bercak bercak kemrahan dan gelembung-gelembung berisi cairan bening disertai rasa gatal, nyeri, panas di bagian kulit perut dan punggung. Sesuai dengan teori Lesi dimulai sebagai makula yang berkembang menjadi papula, vesikula, bullae, dan plak urtikaria. Pusat lesi ini mungkin vesikel, purpura, atau nekrotik. Lesi memiliki gambaran yang khas, dianggap patognomonik. Namun, berbeda dengan erythema multiforme, lesi ini hanya memiliki dua zona warna. Inti lesi dapat berupa vesikel, purpu ra, atau nekrotik, dikelilingi oleh eritema macular. Lesi ini di sebut lesi targetoid. Lesi mungkin menjadi bulosa dan kemudian pecah menyebabkan erosi yang luas, meninggalkan kulit yang gundul sehingga terjadi peluruhan yang ekstensif. Sehingga kulit menjadi rentan terhadap infeksi sekunder. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. Kulit lepuh sangat longgar dan mudah lepas bila digosok. Pada sindrom Stevens-Johnson, kurang dari 10% dari permukaan tubuh yang mengelupas. Sedangkan pada necrolysis epidermis toksik, 30% atau lebih dari permukaan tubuh yang mengelupas. Daerah kulit yang terkena akan terasa sakit. Pada beberapa orang, rambut dan kuku rontok. 1,2 Keluhan yang dirasakan di bagian perut, punggng, Mulut sariawan dan mata merah berdasarkan teori Pada SSJ terlihat trias kelainan berupa : kelainan kulit, kelainan selaput lendir di orifisium, dan kelainan mata.1,2,3,4

Berdasarkan pemeriksaan fisik :1. Kulit1. Distribusi lesi: Regioner, Sesuai dengan teori Suatu EN disebut sebagai SJS bila luas permukaan tubuh yang terkena 30%, dan disebut SJS-TEN overlap pada keadaan luas permukaan tubuh yang terlibat antara 10 30%. 2.Lesi dan efloresensi kulit : Lesi :Multipel, sebagian diskret sebagian konfluens, batas tegas, timbul, ukuran terkecil 0.2x0.1x0.1 cm ukuran terbesar 0.5x0.3x0.1cm, Basah.

Efloresensi: Vesikel serosa, sebagian Erosi dan Ekskoriasi.

Berdasarkan teori : Lesi dimulai sebagai makula yang berkembang menjadi papula, vesikula, bullae, dan plak urtikaria. Pusat lesi ini mungkin vesikel, purpura, atau nekrotik. Lesi memiliki gambaran yang khas, dianggap patognomonik. Namun, berbeda dengan erythema multiforme, lesi ini hanya memiliki dua zona warna. Inti lesi dapat berupa vesikel, purpu ra, atau nekrotik, dikelilingi oleh eritema macular. Lesi ini di sebut lesi targetoid. Lesi mungkin menjadi bulosa dan kemudian pecah menyebabkan erosi yang luas, meninggalkan kulit yang gundul sehingga terjadi peluruhan yang ekstensif. Sehingga kulit menjadi rentan terhadap infeksi sekunder. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. Kulit lepuh sangat longgar dan mudah lepas bila digosok. Pada sindrom Stevens-Johnson, kurang dari 10% dari permukaan tubuh yang mengelupas. Sedangkan pada necrolysis epidermis toksik, 30% atau lebih dari permukaan tubuh yang mengelupas. Daerah kulit yang terkena akan terasa sakit. Pada beberapa orang, rambut dan kuku rontok. 12. Sariawan/Stomatitis di mulut : Kelainan selaput lendir yang tersering adalah mukosa mulut (100%), kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan di lubang hidung (8%), dan anus (4%). Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Di mukosa mulut dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta hitam yang tebal. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama. Kerusakan pada lapisan mulut biasanya sangat menyakitkan dan mengurangi kemampuan pasien untuk makan atau minum dan sulit menutup mulut sehingga air liurnya menetes. Lesi di mukosa mulut dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas, dan esofagus. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas. Kelainan pada lubang alat genital akan menyebabkan sulit buang air kecil disertai rasa sakit. Kadang-kadang selaput lendir saluran pencernaan dan pernapasan juga terlibat, menyebabkan diare dan sesak napas. 13. Kelainan Mata/ mata merah Kelainan mata, merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen, blefarokonjungtivitis, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema, penuh dengan nanah sehingga sulit dibuka, dan disertai rasa sakit. Pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. 1

Mengapa pada kasus ini didiagnosis banding dengan TEN?Dari anamnesis didapatkan:1. Seorang laki-laki berusia 43 tahun. Sesuai dengan teori Toxic Epidermal Necrolysis (TEN) bersama Steven-Johnson Syndrome (SJS) merupakan reaksi mukokutaneus membahayakan dengan karakteristik nekrosis ekstensif dan pelepasan epidermis. TEN dan SJS adalah gangguan langka dengan angka insidensi 1 6 kasus per 1 juta orang per tahun (Valeyrie-Alanore, 2008). Insidensi TEN dilaporkan adalah 0,4 1,2 kejadian tiap 1 juta orang/tahun, dengan kasus tersering terjadi pada usia > 40 tahun 12. Keluhan muncul bercak kemerahan dan gelembung berisi cairan bening disertai perih,gatal dan panas. Sesuai dengan teori Kesamaan gambaran klinis, histopatologis, etiologi akibat obat, dan mekanisme, membuat SJS dan TEN dikelompokkan menjadi satu kelompok penyakit epidermal necrolysis. Karakteristik epidermal necrolysis (EN) adalah apoptosis keratinosit dan pengelupasan epidermis sehingga area dermis terpapar lingkungan luar, serupa dengan luka bakar. TEN dan SJS dibedakan berdasarkan luas perlukaan tubuh yang terlibat. Karakteristik SJS adalah pengelupasan kulit kurang dari 10% total body surface area (TBSA), sedangkan lebih dari 30% TBSA terlibat pada TEN (Widgerow, 2011). Nekrolisis yang melibatkan 10% - 30% TBSA didefinisikan sebagai SJS-TEN overlaping.3 3. Etiologi dan patofisiologi EN belum diketahui secara jelas, namun faktor genetik yang berpengaruh terhadap hipersensitivitas terhadap obat merupakan faktor yang paling banyak diteliti. 34. Sebelum muncul keluhan pada kulit terdapat gejala yakni menggigil,demam, pegal badan,dan nyeri. Sesuai dengan teori Mulainya penyakit akut dapat disertai gejala prodormal berkisar antara 1-14 hari berupa demam tinggi, malese, nyeri kepala, batuk, pilek, nyeri tenggorokan, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot, dan atralgia yang sangat bervariasi.25. Awal keluhan mendadak timbul bercak bercak kemrahan dan gelembung-gelembung berisi cairan bening disertai rasa gatal, nyeri, panas di bagian kulit perut dan punggung. Sesuai dengan teori Lesi dimulai sebagai makula yang berkembang menjadi papula, vesikula, bullae, dan plak urtikaria. Pusat lesi ini mungkin vesikel, purpura, atau nekrotik. Lesi memiliki gambaran yang khas, dianggap patognomonik. Namun, berbeda dengan erythema multiforme, lesi ini hanya memiliki dua zona warna. Inti lesi dapat berupa vesikel, purpu ra, atau nekrotik, dikelilingi oleh eritema macular. Lesi ini di sebut lesi targetoid. Lesi mungkin menjadi bulosa dan kemudian pecah menyebabkan erosi yang luas, meninggalkan kulit yang gundul sehingga terjadi peluruhan yang ekstensif. Sehingga kulit menjadi rentan terhadap infeksi sekunder. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. Kulit lepuh sangat longgar dan mudah lepas bila digosok. Pada sindrom Stevens-Johnson, kurang dari 10% dari permukaan tubuh yang mengelupas. Sedangkan pada necrolysis epidermis toksik, 30% atau lebih dari permukaan tubuh yang mengelupas. Daerah kulit yang terkena akan terasa sakit. Pada beberapa orang, rambut dan kuku rontok. 16. Keluhan yang dirasakan di bagian perut, punggng, Mulut sariawan dan mata merah berdasarkan teori Pada TEN terlihat trias kelainan berupa : kelainan kulit (berupa epidermolisis), kelainan selaput lendir di orifisium, dan kelainan mata.2

Dari pemeriksaan fisik didapatkan Distribusi lesi: Regioner, Sesuai dengan teori Suatu EN disebut sebagai SJS bila luas permukaan tubuh yang terkena 30%, dan disebut SJS-TEN overlap pada keadaan luas permukaan tubuh yang terlibat antara 10 30%.2.Lesi dan efloresensi kulit : Lesi :Multipel, sebagian diskret sebagian konfluens, batas tegas, timbul, ukuran terkecil 0.2x0.1x0.1 cm ukuran terbesar 0.5x0.3x0.1cm, Basah.

Efloresensi: Vesikel serosa, sebagian Erosi dan Ekskoriasi.

Berdasarkan teori : Lesi dimulai sebagai makula yang berkembang menjadi papula, vesikula, bullae, dan plak urtikaria. Pusat lesi ini mungkin vesikel, purpura, atau nekrotik. Lesi memiliki gambaran yang khas, dianggap patognomonik. Namun, berbeda dengan erythema multiforme, lesi ini hanya memiliki dua zona warna. Inti lesi dapat berupa vesikel, purpu ra, atau nekrotik, dikelilingi oleh eritema macular. Lesi ini di sebut lesi targetoid. Lesi mungkin menjadi bulosa dan kemudian pecah menyebabkan erosi yang luas, meninggalkan kulit yang gundul sehingga terjadi peluruhan yang ekstensif. Sehingga kulit menjadi rentan terhadap infeksi sekunder. Pada bentuk yang berat kelainannya generalisata. Kulit lepuh sangat longgar dan mudah lepas bila digosok. Pada sindrom Stevens-Johnson, kurang dari 10% dari permukaan tubuh yang mengelupas. Sedangkan pada necrolysis epidermis toksik, 30% atau lebih dari permukaan tubuh yang mengelupas. Daerah kulit yang terkena akan terasa sakit. Pada beberapa orang, rambut dan kuku rontok. 1Khas lesi pada TEN : terjadinya Epidermolisis epidermis terlepas dari dasarnya (menyerupai luka bakar) Mudah dilihat pada kulit yang sering terkena tekanan; punggung, aksila, dan bokong Adanya Nikolsky positif pada kulit yang eritematosa yaitu jika kulit ditekan dan digeser maka kulit akan terkelupas.32. Sariawan/Stomatitis di mulut : Kelainan selaput lendir yang tersering adalah mukosa mulut (100%), kemudian disusul oleh kelainan di lubang alat genital (50%), sedangkan di lubang hidung (8%), dan anus (4%). Kelainannya berupa vesikel dan bula yang cepat memecah hingga menjadi erosi dan ekskoriasi dan krusta kehitaman. Di mukosa mulut dapat terbentuk pseudomembran. Di bibir kelainan yang sering tampak ialah krusta hitam yang tebal. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama. Kerusakan pada lapisan mulut biasanya sangat menyakitkan dan mengurangi kemampuan pasien untuk makan atau minum dan sulit menutup mulut sehingga air liurnya menetes. Lesi di mukosa mulut dapat juga terdapat di faring, traktus respiratorius bagian atas, dan esofagus. Adanya pseudomembran di faring dapat menyebabkan keluhan sukar bernafas. Kelainan pada lubang alat genital akan menyebabkan sulit buang air kecil disertai rasa sakit. Kadang-kadang selaput lendir saluran pencernaan dan pernapasan juga terlibat, menyebabkan diare dan sesak napas. 1

3. Kelainan Mata/ mata merah Kelainan mata, merupakan 80% diantara semua kasus, yang tersering ialah konjungtivitis kataralis. Selain itu juga dapat berupa konjungtivitis purulen, blefarokonjungtivitis, perdarahan, simblefaron, ulkus kornea, iritis, iridosiklitis, kelopak mata edema, penuh dengan nanah sehingga sulit dibuka, dan disertai rasa sakit. Pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. 1

Mengapa pada kasus ini didiagnosa banding dengan Pemfigus Vulgaris?Berdasarkan Anamnesis1. Seorang laki-laki berusia 43 tahun. Sesuai dengan teori Pemfigus vulgaris banyak menyerang pada usia 50-60 tahun, dimana prevalensi laki-laki dan perempajn hamper sama. Bisa menyerang semua ras di hampir seluruh dunia.82. Keluhan muncul bercak kemerahan dan gelembung berisi cairan bening disertai perih,gatal dan panas. Sesuai dengan teori Pemfigus adalah kumpulan penyakit kulit autoimun terbuka kronik, menyerang kulit dan membran mukosa yang secara histologik ditandai dengan bula intra spidermal akibat proses ukontolisis (pemisahan sel-sel intra sel) dan secara imunopatologi ditemukan antibody terhadap komponen dermosom pada permukaan keratinosis jenis Ig I, baik terikat mupun beredar dalam sirkulasi darah).8Pemfigus adalah penyakit kulit yang ditandai dengan timbulnya sebaran gelembung secara berturut-turut yang mengering dengan meninggalkan bercak-bercak berwarna gelap, dapat diiringi dengan rasa gatal atau tidak dan umumnya mempengaruhi keadaan umum si penderita.7

3. Sebelum muncul keluhan pada kulit terdapat gejala yakni menggigil,demam, pegal badan,dan nyeri. Sesuai dengan teori Penyebab pasti pemphigus vulgaris tidak diketahui, dimana terjadinya pembentukan IgG, beberapa faktor potensial relevan yaitu :1. Faktor genetik : molekul majorhistocompatibility compex (MHC) kelas II berhubungan denganhuman leukocyte antigenDR$ dan human leukocyte antigen DRw62. Pemphigus sering terdapat pada pasien dengan penyakit autoimune yang lain, terutama pada myasthemia gravis thymoma3. D-Penicillemine dan captopril dilaporkan dapat menginduksi terjadinya pemphigus (jarang).7

4. Awal keluhan mendadak timbul bercak bercak kemrahan dan gelembung-gelembung berisi cairan bening disertai rasa gatal, nyeri, panas di bagian kulit perut dan punggung. Sesuai dengan teori Pemfigus adalah penyakit kulit yang ditandai dengan timbulnya sebaran gelembung secara berturut-turut yang mengering dengan meninggalkan bercak-bercak berwarna gelap, dapat diiringi dengan rasa gatal atau tidak dan umumnya mempengaruhi keadaan umum si penderita. 7

4. Keluhan yang dirasakan di bagian perut, punggng, Mulut sariawan dan mata merah Membran mukosaLesi pada pemphigus vulgaris pertamakali berkembang pada membran mukosa terutama pada mulut, yang terdapat pada 50-70% pasien. Bula yang utuh jarang ditemukan pada mulut disebabkan bula mudah pecah dan dapat timbul erosi.Pada umumnya erosi terdapat pada buccal, ginggiva, palatum, denan bentuk yang tidak teratur, sakit dan lambat untuk menyembuh. Erosi dapat meluas ke laring yang menyebabkan sakit tenggorokan dan pada pasien kesulitan untuk menelan/ makan ataupun minum. Permukaan mukosa lain yang dapat terlibat yaitu konjung tiva, esovagus, labia, vagina, cervik, venis, urethra, dan anus.7,8- KulitKelainan kulit dapat bersifat lokal ataupun generalisata, terasa panas, sakit tanpa disertai pruritus dan tempat predileksinya adalah badan, umbilicus, kulit kepala, wajh, ketiak, daerah yang terkena tekanan dan lipatan pahaTimbul pertama kalai berupa bula yang lembek (berdinding kendur) berisi cairan jernih pada kulit normal atau denan dasar erithematous. Bula mudah pecah dan yang utuh jarang dijumpai disebabkan atap bula terdiri dari sebagian kecil bagian atas epidermis. Kemusian timbul erosi yang sakit, mudah berdarah dan cenderung meluas, kemudian erosi ditutupi krusta yang menyebabkan lambat untuk menyembuh. Lesi yang menyembuh meninggalkan daerah hiperpigmentasi tampa terjadi parut.7Pada bula yang aktif dapat ditemukan nikolsky sing yang menggambarkan tidak adanya kohesi antara sel-sel epidermis yaitu dengan cara : Menekan dan menggeser kulit diantara dua bula dengan ujung jari, mengakibatkan kulit yang terlihat normal akan terkelupas Menekan diatas bula dengan ujung jari, akibatnya cairan akan melebar dari tempat penekanan disebut bulla spread phenomenon.7,8

Dari pemeriksaan fisik didapatkan Distribusi lesi: Regioner, Sesuai dengan teori Pada umumnya erosi terdapat pada buccal, ginggiva, palatum, denan bentuk yang tidak teratur, sakit dan lambat untuk menyembuh. Erosi dapat meluas ke laring yang menyebabkan sakit tenggorokan dan pada pasien kesulitan untuk menelan/ makan ataupun minum. Permukaan mukosa lain yang dapat terlibat yaitu konjung tiva, esovagus, labia, vagina, cervik, venis, urethra, dan anus.7- KulitKelainan kulit dapat bersifat lokal ataupun generalisata, terasa panas, sakit tanpa disertai pruritus dan tempat predileksinya adalah badan, umbilicus, kulit kepala, wajh, ketiak, daerah yang terkena tekanan dan lipatan paha.7

2.Lesi dan efloresensi kulit : Lesi :Multipel, sebagian diskret sebagian konfluens, batas tegas, timbul, ukuran terkecil 0.2x0.1x0.1 cm ukuran terbesar 0.5x0.3x0.1cm, Basah.

Efloresensi: Vesikel serosa, sebagian Erosi dan Ekskoriasi.

Berdasarkan teori : 7,8 Kulit berlepuh, 1-10 cm, bula kendur, mudah pecah, nyeri pada kulit yang terkelupas, erosi Krusta bertahan lama, hiperpigmentasi Tanda nikolsky ada Kelamin, mukosa mulut 60%

Bagaimana penatalaksanaan pasien pada kasus ini? Terapi yang diberikan pada pasien :Non-Medikamentosa1. Menerangkan kepada pasien mengenai penyakit yang diderita pasien.2. Menyarankan agar pasien menghentikan dahulu obat-obat yang dikonsumsi.3. Memberikan informasi agar pasien beristirahat yang cukup.4. Memberikan informasi agar lesi tidak digaruk dan memakai baju yang longgar.5. Memberikan informasi bahwa lesi boleh dibersihkan dengan air dan dikompres, tapi jangan digosok agar gelembung tidak pecah.6. Segera control jika keluhan semakin parah.7. Kontrol jika obat habis.Medikamentosa Topikal salisil 1 % untuk kompres Sistemik/oral Ciprofloxacin 500 mg 2 dd 1 Loratadin 1 dd1 1 Metil Prednisolon 2 dd 1

Terapi yang diberikan kepada pasien menurut teori, yaitu :Terapi pada pasien TEN/SJS terbagi menjadi terapi simtomatis atau suportif dan terapi spesifik. Terapi suportif bertujuan menjaga keseimbangan hemodinamik dan mencegah komplikasi berbahaya. Nekrosis dan pengelupasan epidermis menyebabkan hilangnya cairan tubuh secara signifikan. Wolff et al (2007) menyarankan terapi cairan pada TEN sesuai dengan terapi cairan pada luka bakar derajat tiga, sedangkan Valeyrie-Allanore et al (2008) menyebutkan bahwa akibat tidak adanya edema interstisial pada TEN seperti yang terjadi pada luka bakar, maka terapi cairan yang dibutuhkan biasanya lebih sedikit dari terapi cairan yang dibutuhkan pasien luka bakar dengan derajat yang sama. 1,3Epidermal Necrolysis merupakan suatu kelompok penyakit yang terdiri atas Stevens-Johnson Syndrome, dan Toxic Epidermal Necrolysis. Penyakit dalam kelompok EN dibedakan berdasarkan luas area tubuh yang terlibat. Suatu EN disebut sebagai SJS bila luas permukaan tubuh yang terkena 30%, dan disebut SJS-TEN overlap pada keadaan luas permukaan tubuh yang terlibat antara 10 30%. Perkiraan luas permukaan tubuh yang terlibat diilustrasikan pada gambar berikut:3

Gambar 2. Diagnosis Penyakit dalam Kelompok Epidermal Necrolysis berdasarkan luas permukaan tubuh yang terlibat.Sumber: Harr Thomas & French Lars E. 2010. Toxic Epidermal Necrolysis and Stevens-Johnson Syndrome Orphanet Journal of Rare Disease 5:39, p. 3.

Luas permukaan tubuh yang terlibat pada pasien dapat dihitung menggunakan rumus perhitungan luas luka bakar. Pada orang dewasa terdapat beberapa cara untuk menghitung luas permukaan tubuh yang terlibat dalam luka bakar. Role of 9 merupakan cara yang paling sering digunakan, dengan tambahan age-adjusted burn chart/diagram untuk perhitungan luas permukaan tubuh dengan lebih detail. Cara-cara menghitung luas permukaan tubuh dalam penanganan luka bakar tersaji dalam tiga gambar berikut ini:3

Gambar 3. Diagram role of 9Sumber: Irwin Richard S., & Rippe James M. 2008. Burn Management, dalam: Irwin and Rippes Intensive Care Medicine, 6th Edition. Lippincott Williams and Wilkins. p. (e-book).

Gambar 4. Berkow Chart for The Estimation of Burn SizeSumber: Irwin Richard S., & Rippe James M. 2008. Burn Management, dalam: Irwin and Rippes Intensive Care Medicine, 6th Edition. Lippincott Williams and Wilkins. p. (e-book).

Gambar 5. Aged Adjusted Burn Diagram.Sumber: Fritz, David A. 2008. Burn and Smoke Inhalation, dalam: Current Diagnosis and Treatment Emergency Medicine, 6th Edition. Lange Medical Book Mcgraw-Hill Companies. p. (e-book).

Luas area tubuh yang terlibat pada EN bukan hanya dihitung berdasarkan luas denuded area, yaitu dermis yang terkelupas, namun juga luas denudable area yang ditandai dengan Nikolsky sign (+).1,3

Tujuan untuk mencapai keseimbangan hemodinamik dicapai dengan mengatur jumlah cairan yang diberikan kepada pasien untuk menghasilkan jumlah urine normal (di atas 1 ml/kgBB/jam pada penderita luka bakar). Perhitungan untuk menentukan jumlah cairan yang diperlukan pada penderita luka bakar dapat dihitung dengan rumus Evans atau BaxterEvans:1. Luas luka (%) x BB (kg) = ml NaCl/24jam2. Luas luka (%) x BB (kg) = ml plasma/24jam 3. 2000 ml Glukosa 5%/24jamSeparuh jumlah cairan 1+2+3 diberukan dalam 8 jam pertama, sisanya 16 jam berikutnya. Pada hari kedua diberikan jumlah cairan setengah dari jumlah awal, dan pada hari ke tiga diberikan setengah dari jumlah hari kedua. Bila pada hari ketiga pasien sudah bisa minum dengan baik dan diuresis memuaskan, infus dapat dikurangi bahkan dihentikan.Baxter:Luas luka (%) x BB (kg) x 4 mlSeparuh jumlah cairan ini diberikan pada 8 jam pertama, sisanya diberikan dalam 16 jam berikutnya. Pada hari pertama diberikan RL sebagai pengganti cairan sekaligus elektrolit. Hari kedua diberikan setengah jumlah cairan pada hari pertama.

Terapi cairan disebut berhasil bila diuresis pada penderita sekurang-kurangnya 1 ml/kgBB/jam. Bila penderita sudah mampu minum dan peristaltis baik, maka minum dapat diberikan dengan aturan sebanyak 25 ml/kgBB/hari sampai diuresis sekurang-kurangnya mencapai 30 ml/jam. Sesuai pernyataan Valeyrie-Allanore et al (2008) bahwa terapi cairan pada TEN/SJS tidak sebanyak terapi cairan pada luka bakar dengan derajat yang sama akibat tidak terbentuknya edema interstisial, maka jumlah cairan maintenance yang digunakan kurang dari angka di atas. Hanya perlu dipertahankan urine output sebesar 1000 sampai 1500 ml/24 jam.1,3,4Terapi terutama berupa terapi suportif dan simptomatik. Beberapa menganjurkan kortikosteroid, siklosfosfamid, plasmaparesis, hemodialisi dan immunoglobulin. Manajemen lesi pada mulut adalah dengan membersihkan mulut. Anestesi topical dapat digunakan untuk mengurangi nyeri dan memungkinkan pasien untuk minum. Lesi kulit di obati seperti halnya luka bakar. Area kulit yang terkelupas harus di tutupi dengan kompres cairan saline atau cairan Burow. Pada pasien dengan sindrom steven-johnson juga dapat diberikan profilaksis tetanus.1,2,3,4

Terapi Suportif SistemikManajemen cairan melalui pemberian makromolekul dan cairan saline selama 24 jam pertama. Garam fosfat diperlukan untuk mengatasi hipofosfatemia. Jumlah cairan yang dibutuhkan untuk pasien dengan Sindrom steven-johnson biasanya lebih sedikit dibandingkan dengan pasien luka bakar dengan luas lesi yang sama pada seluruh tubuh. Setelah hari kedua perawatan, pemberian cairan per oral dapat mulai diberikan sehingga pemberian cairan secara intravena dapat dikurangi bahkan dihentikan. Pemberian nutrisi massif secara parenteral dibutuhkan segera mungkin untuk menggantikan kehilangan protein dan mempercepat proses penyembuhan lesi pada kulit. Terapi insulin secara intravena mungkin diperlukan karena gangguan glikoregulasi. 1,3Suhu lingkungan dijaga pada kisaran 30-32C untuk mengurangi kehilangan panas melalui kulit. Tempat tidur dengan fluidized air di rekomendasikan jika lesi kulit bagian punggung cukup luas. Penghangat ruangan dan lampu infrared dapat digunakan untuk membantu mengurangi kehilangan panas.3Antikoagulan dengan heparin selama perawatan di rumah sakit dapat diberikan. Antasida dapat mengurangi insiden perdarahan lambung. Perawatan kesehatan paru termasuk aerosol, aspirasi bronchial dan terapi fisik. Transquiliser digunakan untuk mempertahankan status respirasi.1,3

Kontrol terhadap InfeksiPasien dengan sindrom steven-johnson dalam resiko tinggi terhadap infeksi. Penanganan secara steril dan atau teknik isolasi perawatan penting untuk dilakukan untuk mengurangi resiko infeksi nasokomial. Kultur darah, kateter, selang gastric, dan selang kencing dapat dilakukan beberapa kali. 1Profilaksis antibiotic sistemik tidak direkomendasikan. Antimikroba diindikasi pada kasus dengan infeksi saluran kencing atau infeksi kutaneus, atau kondisi yang dapat membawa menjadi bakterimia. Diagnosis sepsis sulit dilakukan. Keputusan pemberian antibiotic sistemik harus hati-hati. Tanda pertama terjadi infeksi adalah meningkatnya jumlah bakteri dari hasil kultur, demam, dan deteriorasi kondisi pasien mengindikasikan pemberian terapi antibiotic.1,3Pemilihan antibiotic biasanya bedasarkan kehadiran bakteri dikulit. Oleh karena gangguan farmakokinetik, pemberian dalam dosis tinggi mungkin diperlukan untuk mencapai efek terapeutik. Pemantauan level serum diperlukan untuk menyesuaikan dosis.2,3

Perawatan kulitBeberapa pendekatan perawatan kulit telah dijelaskan. Debridement luas epidermis yang telah rusak (mengelupas), diikuti dengan dressing biologis di rekomendasi dalam perawatan kulit. Dressing biologi dapat termasuk salah satu berikut : porcine cutaneous xenografts, cryopreserved cutaneous allografts, amnion-based skin substitutes dan collagen-based skin substitutes. 1,3

Terapi imunomodulatorSyndrome steven-johnson merupakan gangguan yang sangat jarang ditemui namun dengan angka morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Sampai saat ini, karena kurangnya konsensus mengenai modalitias terapeutik, maka manajemen suportif intensif dan penghentian obat yang diduga menjadi kausa adalah kriteria standar.Beberapa modalitas terapeutik telah dianjurkan untuk pengobatan sindrom steven-johnson berdasarkan pemahaman mekanisme patogenesisnya. Plasmaparesis, terapi imunosupresif, dan immunoglobulin intravena (IVIG) telah digunakan dengan hasil variable yang memuaskan.1,3,4Penggunaan steroid sistemik masih kontroversial. Beberapa penulis percaya bahwa steroid dikontraindikasikan, khususnya karena kepastian diagnosis. Pasien dengan eritema multiforme akibat infeksi akan semakin memburuk jika steroid diberikan. Penggunaan jangkan panjang dengan steroid sistemik dihubungkan dengan peningkatan prevalensi komplikasi.3,6 Walau bagaimanapun, perhatian mengenai keamanan kortikosterod sistemik dalam pengobatan sindrom steven Johnson berdasarkan pada beberapa seri kasus, melaporkan kortikosteroid diberikan terlambat, dosis rendah yang tidak tepat dan diberikan dalam durasi lama yang justru akan mempengaruhi proses penyembuhan dan meningkatkan resiko sepsis. Anjuran saat inii kortikosteroid digunakan pada awal penyakit, jangka pendek (4-7 hari) dan dalam dosis tinggi secara intravena.8,9,10 Dalam beberapa literature ilmu penyakit mata menyebutkan penganjuran penggunaan sistemik dan topical kortikosteroid untuk mengurangi kesakitan mata.9,10,11 Pemberian terapi steroid juga dapat menyelamatkan penglihatan when pulse steroid therapy has been given.6,11Penggunaan terapi imunisupresif lain,seperti siklosporin, azatioprine atau siklosfosfamid pada fase akut kurang banyak digunakan karena efek yang ditimbulkan untuk mempengaruhi imunologis memerlukan waktu satu minggu. Siklosfosfamid pernah dilaporkan menjadi salah satu obat pemicu munculnya syndrome steven-johnson.12Terapi dengan penggunaan IVIG merupakan yang paling menarik. Berdasarkan data in vitro dan klinis, IVIG dapat menghambat reseptor FAs pada permukaan keratinosit, sehingga mempu mempengaruhi apoptosis terkait Fas-Fas ligand (Power et al., 1995). Hasil yang memuaskan dlaporkan ketika IVIG digunakan dalam dosis tinggi pada fase awal penyakit dan dalam periode yang singkat. Namun sayangnya, tidak ada consensus mengenai dosis maupun durasi pemberian IVIG ini.14

Terapi manifestasi akut pada mataTerapi manifestasi pada mata biasa diawali dengan lubrikasi agresif pada permukaan mata. Akibat inflamasi dan perubahan sikatrikal, kebanyakan ahli optalmologis menggunakan steroid topical, antibiotic dan symblepharon lysis. Pada kasus keropati, tasorrhaphy mungkin dibutuhkan. Pemeliharaan integritas ocular dapat dicapai dengan menggunakan okulasi membrane amniotic, perekat adesif, okulasi lamelar, penetrasi keroplasti, baik pada fase akut maupun perawatan lanjutan. Rehabilitas penglihatan pada pasien dapat dilakuakan minimal satu kali setelah penyembuhan 3 bulan.5,8,9,10

Terapi manifestasi kronik pada mataPada kasus keratopati superficial kronik ringan, lubrikasi jangka panjang masih efektif diberikan. Sebagai tambahan lubrikasi, beberapa pasien mungkin membutuhkan lateral tarsorrhaphy jangka panjang. Rehabilitasi visual jangka panjang pada pasien dengan keterlibatan ocular yang berat, dapat ditemukan sindrom mata kering dengan keratinisasi pada pinggir posterior kelopak mata, defisiensi limbal stem sel, defek epithelial persisten dengan pembentukan neovaskularisasi kornea dan kornea opasitas yang jelas dengan permukaan konjungtivalisasi dan keratinisasi adalah kondisi yang sulit dan sering menyebabkan kekecewaan pada pasien dan tenaga medis. 8,9Pelepasan plak keratinisasi dari pinggir posterior kelopak mata yang dilakukan dengan mucus membrane grafting dan atau amniotic membrane grafting, biasanya merupakan langkah pertama dan salah satu tahapan penting untuk menentukan faktor keberhasilan pada operasi kornea. Lebih lanjut, transplantasi limbal stem sel dan grafting membrane amniotic dengan superficial keratotomy untuk melepaskan konjungtivalis atau keranatinisasi pada permukaan ocular dapat dilakukan. Pasien dengan persisten kornea opsitas memerlukan lamellar atau keroplasty penetrasi pada tahap selanjutnya tetapi paparan materi alloantigenik meningkatkan lebih banyak penolakan jaringan. 8,9,13Untuk memelihara kejernihan kornea setelah rekonstruksi visual, penggunaan gas permeable kontak lensa mungkin dibutuhkan untuk melindungi permukaan ocular. Manajemen jangka panjang seringkali melibatkan pengobatan terhadap trichitis bulu mata dan perbaikan tepi kelopak mata untuk kondisi distichiasis atau entropion. Jika permukaan ocular berulang kali gagal untuk sembuh setelah beberapa kali intervensi operasi, keratoprostesis mungkin perlu dipikirkan sebagai langkah terkakhir.5,9,10

Konsultasi dan Monitoring Jangka panjangKonsultan dapat membantu menegakkan diagnosis dan perawatan yang tepat pada pasien. Seorang dermatologis adalah klinisi utama untuk menegakkan diagnosis dengan atau tanpa biopsy. Beberapa kasus berat mungkin perlu melibatkan spesialis luka bakar atau spesialis bedah plastic. Konsultan Penyakit dalam, perawatan kritis maupun pediatric juga membantu perawatan yang tepat pada pasien. Konsultasi optalamologis sangat dianjurkan dengan keterlibatan mata. Tergantung sistem organ yang terlibat, konsulttasi dengan gantroentrologis, pulmonologist dan nefrologis mungkin dapat membantu. Pasien dengan sindrom steven-johnson memerlukan pemantauan secara regular mengenai pengobatan dan status mereka.1,3

Kortikosteroid sebagai tindakan Life-Saving pada Sindrom Steven-JohnsonJika keadaan umum pasien SSJ baik dan lesi tidak menyeluruh cukup diobati dengan predinison 30-40 mg sehari. Kalau keadaan umumnya buruk dan lesi menyeluruh harus diobati secara tepat dan cepat dan pasien harus dirawat inap. Penggunaan obat kortikosteroid merupakan tindakan life-saving, dapat digunakan deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Pada umumnya masa krisis dapat diatasi dalam beberapa hari. Agar lebih jelas berikut ini diberikan contoh :2Seorang pasien SSJ yang berat, harus segera dirawat inap dan diberikan deksametason 6 x 5 mg iv. Biasanya setelah beberapa hari (2-3 hari), masa krisis telah teratasi, keadaan membaik dan tidak timbul lesi baru, sedangakan lesi lama tampak mengalami involusi. Dosisnya segera diturunkan secara cepat, setiap hari diturunkan 5 mg, setelah dosis mencapai 5 mg sehari lalu diganti dengan tablet kortikosteroid, misalnya prednison dengan dosis 20 mg sehari, seharoi kemudian diturunkan lagi menjadi 10 mg kemudian obat tersebut dihentikan. Jadi lama pengobat kira-kira 10 hari.2Selain deksametaoson dapat digunakan pula metilprednisolon dengan dosis setara. Kelebihan metiprednisolon ialah efek sampingnya lebih sedikit dibandingkan dengan deksametason karena termasuk golongan kerja sedang, sedangkan deksametason termasuk golongan kerja lama, namun harganya lebih mahal. Karena pengobatan dengan kortikostreoid dalam waktu singkat pemakaian kedua obat tidak banyak perbedaannya mengenai efek sampingnya. Tapering off hendaknya dilakukan cepat karena umumnya penyebab SSJ adalah eksogen (alergi), jadi berbeda dengan pemakaian autoimun (endogen), misalnya pemfigus. 2Bila tappering off tidak lancar hendak dipikirkan faktor lain. Mungkin antibiotic yang sekarang diberikan menyebabkan alergi sehinga masih timbul lesi baru. Kali demikian harus diganti dengan antibiotic lain. Kemungkinan lain kausanya bukan alergi obat, tetapi infeksi. Jadi kultur darah hendaknya dikerjakan. Cara pengambilan sampel yang terbaik adalah kulit tempat akan diambil dikompres dengan spiritus dilutus dengan kasa steril selama jam untuk menghindari kontaminasi.2Pada waktu penurunan dosis kortikosteroid sistemik dapat timbul miliaria kristalina yang sering disangka sebagai lesi baru dan dosis kortikosteroid dinaikkan lagi, yang seharusnya tetap diturunkan.2Dengan dosis kortikosteroid setinggi itu, maka imunitas pasien akan berkurang, karena itu harus diberikan antibiotic untuk mencegah terjadinya infeksi, misalnya bronkopneumonia yang dapat menyebabkan kematian. Antibiotic yang dipilih hendaknya yang jarang menyebabkan alergi, atau sedikit nefrotoksik. Hendaknya antibiotic yang akan diberikan jangan yang segolongan atau yang rumusnya mirip dengan antibiotic yang diduga menyebabkan alergi untuk mencegah sensitisasi silang. Obat yang memenuhi syarat tersebut, misalnya siprofloksasin 2 x 400 mg iv. Klindamisin meskipun tidak berspektrum luas sering digunakan karena efektif bagi kuman anaerob, dosisnya 2 x 600 mg iv sehari. Obat lain juga dapat digunakan misalnya sefriakson dengan dosis 2 gram iv sehari 1 x 1. Hendaknya diingat obat tersebut akan memberikan sensitisasi silang dengan amoksisilin karena keduanya termasuk antibiotic beta laktam. Untuk mengurangi efek samping kortikosteroid diberikan diet yang miskin garam dan tinggi protein, karena kortikosteroid bersifat katabolic. Setelah seminggu diperiksa pula kadar elektrolit dalam darah. Bila terdapat penurunan kalium dapat diberikan KCl 3 x 500 mg per os.2Hal yang perlu diperhatikan adalah mengatur keseimbangan cairan/elektrolit dan nutrisi, terlebih karena pasien sukar atau tidak dapat menelan akibat lesi di mulut dan di tenggorokan dan kesadaran dapat menurun. Untuk itu, dpat diberikan infuse, misalnya dengan dekstrose 5%, NaCl 9% dan ringer laktat berbandingan 1:1:1 dalam 1 labu yang diberikan 8 jam sekali .2Jika dalam terapi tersebut belum tampak perbaikan dalam 2 hari, maka dapat diberikan transfuse darah sebanyak 300 cc selama 2 hari berturut-turut. Efek transfuse darah (whole blood) ialah sebagai imunorestorasi. Bila terdapat leucopenia prognosis menjadi buruk, setelah diberi transfuse leukosit cepat menjadi normal. Selain itu darah juga mengandung banyak sitokin dan leukosit, jadi meninggikan daya tahan. 2Jadi, indikasi pemberian transfuse darah pada SSJ atau NET adalah:1. Bila telah diobati dengan kortikosteroid dengan dosis adekuat setelah 2 hari belum ada perbaikan. Dosis adekuat untuk SSJ adalah 30 mg deksametason sehari dan NET 40 mg sehari.2. Bila terdapat purpura generalisata3. Jika terdapat leucopeniaTentang kemungkinan terjadi polisitemia tidak perlu dikhawatirkan karena pemberian darah untuk transfuse hanya selama 2 hari. Hb dapat naik sedikit, namun cepat turun. Pada kasus dengan purpura yang luas dapat diberikan vit.C 500 mg atau 1000 mg sehari iv. 2Terapi topical tidak sepentingan terapi sistemik. Pada daerah erosis dan ekskoriasi dapat diberikan krim sulfodiazin-perak. Untuk lesi dimulut dpat diberikan kenalog in orbase dan betadine gargle. Untuk bibir yang biasa berupa krusta tebal kehitaman diberikan emolien misalnya krim urea 10%.2SSJ adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi, yang berpotensi mengancam nyawa. Tingkat mortalitas adalah 5%, jika ditangani dengan cepat dan tepat, maka prognosis cukup memuaskan. Lesi biasanya akan sembuh dalam 1-2 minggu, kecuali bila terjadi infeksi sekunder. Sebagian besar pasien sembuh tanpa gejala sisa.Bila terdapat purpura yang luas dan leukopenia prognosisnya lebih buruk. Pada keadaan umum yang buruk dan terdapat bronkopneumonia, dapat menyebabkan kematian. Pengembangan gejala sisa yang serius, seperti kegagalan pernafasan, gagal ginjal, dan kebutaan, menentukan prognosis. Sampai dengan 15% dari semua pasien dengan sindrom Stevens-Johnson (SSJ) meninggal akibat kondisi ini. Bakteremia dan sepsis meningkatkan resiko kematian. 2Nilai SCORTEN merupakan sejumlah variable yang digunakan untuk meramalkan faktor risiko terjadinya kematian pada SSJ dan dan juga pada TEN.1,3

Bagaimana prognosis pada pasien dalam kasus ini? Quo ad vitam ad bonam : tidak ada gejala atau tanda yang mengarah pada ancaman kematian. Keadaan umum, kesadaran pasien dan tanda vital pasien masih dalam batas normal. Quo ad functionam ad bonam : karena SJS hanya menyerang sebagian kecil tubuh dan tidak menyebabkan gangguan fungsi tubuh. Quo ad santantionam ad bonam : dengan melakukan pengobatan dan perawatan secara dini, maka penyakit ini dapat diobati secara tuntas. Terhadap penyakitnya pada dewasa dan anak-anak umumnya baik, tetapi usia tua risiko terjadinya komplikasi semakin tinggi. Dengan memperhatikan higiene & perawatan yang teliti akan memberikan prognosis yang baik.

BAB IVPENUTUP

4.1 Kesimpulan

Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum yang bervariasi dari ringan sampai berat. Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III dan reaksi hipersensitivitas tipe IV. SSJ menyebabkan pengelupasan kulit kurang dari 10% permukaan tubuh, pada selaput lendir dapat menimbulkan krusta kehitaman, dan pada mata menyebabkan konjungtivitis purulenta. Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas untuk mendiagnosis SSJ kecuali pemeriksaan histopatologis. Diagnosis banding dari Sindrom Steven Johnson yaitu Nekrolisis Epidermal Toksik, Staphylococcal Scalded Skin Syndrom, dan Eritema Multiforme. Komplikasi pada SSJ yang paling sering terjadi adalah bronkopneumonia. Penanganan Sindrom Steven Johnson dilakukan dengan menghentikan obat penyebab, memberi terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral pada penderita dengan keadaan umum berat. Penggunaan obat kortikosteroid merupakan tindakan life-saving, dapat digunakan deksametason secara intravena dengan dosis permulaan 4-6 x 5 mg sehari. Pada umumnya masa krisis dapat diatasi dalam beberapa hari. SSJ adalah penyakit dengan morbiditas yang tinggi, yang berpotensi mengancam nyawa. Jika ditangani dengan cepat dan tepat, maka prognosis cukup memuaskan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Allanore, L. Valeyrie and Jean-Claude Roujeau, Epidermal Necrolysis (Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis), 2008, Dalam Fitzpatrick TB, Eizen AZ, Woff K, Freedberg IM, Auten KF, penyunting: Dermatology in general medicine, 7th ed, New York: Mc Graw Hill, Hal.349-354.

2. Djuanda, Adhi dan Mochtar Hamzah, 2010, Sindrom Stevens-Johnson, Dalam Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi Keenam, Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Hal. 163-165.

3. Harr, Thomas and Lars E French, 2010, Toxic epidermal necrolysis and Stevens-Johnson syndrome, Orphanet Journal of Rare Diseases, 5(39):1-11.

4. Ilyas, S, 2004, Sindrom Steven Johnson, dalam Ilmu Penyakit Mata, Edisi Ketiga, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Hal.135-136.

5. Thaha, M. Athuf, 2009, Sindrom Stevens-Johnson dan Nekrolisis Epidermal Toksis di RSUP MH Palembang Periode 2006 2008, M Med Indones, 43(5):234-239.

6. Tseng SC. Acute management of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis to minimize ocular sequelae. Am J Ophthalmol. Jun 2009;147(6):949-51.

7. Stanley Jr, Pemphigus in Dermatology in General Medicine, 4th edition, MC Graw-Hill, 1993:606-13

8. Paquet P, Paquet F, Al Saleh W, Reper P, Vanderkelen A, Pirard GE. Immunoregulatory effector cells in drug-induced toxic epidermal necrolysis. Am J Dermatopathol. Oct 2000;22(5):413-7.

9. Djuanda, Adhi dan Mochtar Hamzah, 2010, pemfigus, Dalam Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Edisi Keenam, Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta, Hal. 186.

10. Sotozono C, Ueta M, Koizumi N, et al. Diagnosis and treatment of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis with ocular complications. Ophthalmology. Apr 2009;116(4):685-90. 11. Sotozono C, Ueta M, Kinoshita S. Systemic and local management at the onset of Stevens-Johnson syndrome and toxic epidermal necrolysis with ocular complications. Am J Ophthalmol. Feb 2010;149(2):354; author reply 355.

12. Araki Y, Sotozono C, Inatomi T, et al. Successful treatment of Stevens-Johnson syndrome with steroid pulse therapy at disease onset. Am J Ophthalmol. Jun 2009;147(6):1004-11, 1011.e1.

13. Patterson R, Dykewicz MS, Gonzalzles A, et al. Erythema multiforme and Stevens-Johnson syndrome. Descriptive and therapeutic controversy. Chest. Aug 1990;98(2):331-6.

14. Power WJ, Ghoraishi M, Merayo-Lloves J, Neves RA, Foster CS. Analysis of the acute ophthalmic manifestations of the erythema multiforme/Stevens-Johnson syndrome/toxic epidermal necrolysis disease spectrum. Ophthalmology. Nov 1995;102(11):1669-76.

15. Assier-Bonnet H, Aractingi S, Cadranel J, Wechsler J, Mayaud C, Saiag P. Stevens-Johnson syndrome induced by cyclophosphamide: report of two cases. Br J Dermatol. Nov 1996;135(5):864-6.

8