laporan atsiri

22
Laporan Teknologi Hari / tanggal : Kamis, 6 Maret 2013 Minyak Atsiri, Rempah, Dosen : dan Fitofarmaka Asisten : 1. Muhammad Haris F34090098 2. Sulayman F34090122 PENYULINGAN, EKSTRAKSI PELARUT, DAN ENFLEURASI Oleh : 1. Nur Asmaranda M A24090159 2. Feri Julianto F34100114 3. Nirwan Hartadi F34100126 4. Giovanni Nurpratiwi P F34100140 5. Gita Melisa Yolanda F34100144 6. Umi Maharani F34100150

Upload: gita-melisa-yolanda

Post on 14-Aug-2015

210 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Atsiri

Laporan Teknologi Hari / tanggal : Kamis, 6 Maret 2013

Minyak Atsiri, Rempah, Dosen :

dan Fitofarmaka Asisten : 1. Muhammad Haris

F34090098

2. Sulayman

F34090122

PENYULINGAN, EKSTRAKSI PELARUT, DAN ENFLEURASI

Oleh :

1. Nur Asmaranda M A24090159

2. Feri Julianto F34100114

3. Nirwan Hartadi F34100126

4. Giovanni Nurpratiwi P F34100140

5. Gita Melisa Yolanda F34100144

6. Umi Maharani F34100150

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013

Page 2: Laporan Atsiri

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak dahulu masyarakat Indonesia telah mengenal berbagai jenis tanaman yang memiliki

bau yang khas atau spesifik. Bau yang ditimbulkan oleh tanaman dapat dihasilkan baik dari batang,

daun, rimpang, ataupun dari seluruh bagian tanaman. Bau khas tersebut ditimbulkan secara biokimia

sejalan dengan perkembangan proses hidupnya sebagai suatu produk metabolit sekunder yang disebut

minyak atsiri.

Indonesia dikenal sebagai salah satu penghasil minyak atsiri yang cukup berperan sampai

saat ini. Berbagai macam jenis tanaman dapat menjadi sumber penghasil minyak atsiri. Minyak atsiri

adalah salah satu komoditi ekspor dari Indonesia yang telah dikenal sejak zaman dahulu. Akan tetapi,

sampai saat ini ekspor komoditi minyak atsiri belum memiliki perkembangan yang bagus baik dalam

hal volume, nilai ekspor ataupun mutu dari hasil olahan minyak atsiri itu sendiri. Oleh sebab itu perlu

dilakukan pengembangan produksi minyak atsiri karena minyak atsiri memiliki peranan penting bagi

bangsa dan pasa dunia. Nilai jual minyak atsiri sangatlah tinggi dan apabila Indonesia dapat

mengembangkan produksi minyak atsiri, akan sangat berpengaruh pada perekonomian bangsa.

Minyak atsiri dalam industri banyak diaplikasikan untuk pembuatan kosmetik, parfum, antiseptik,

obat-obatan, ”flavoring agent” dalam bahan pangan taua minuman dan sebagai pencampur rokok

kretek.

Minyak atsiri dapat diperoleh dengan beberapa metode yang sederhana antara lain melalui

proses ekstraksi atau isolasi, pengepresan, ekstraksi dengan pelarut menguap, dan ekstraksi

menggunakan lemak padat. Keempat metode tersebut memiliki prinsip dan metode yang berbeda

namun memiliki tujuan yang sama. Karena pentingnya minyak atsiri bagi perkembangan

perekonomian, perlu dilakukan praktikum ini untuk mengenai metode pembuatan minyak atsiri.

B. Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui metode ekstraksi dengan pelarut mudah

menguap, proses enflurasi dan destilasi uap. Kemudian untuk mengetahui kadar air dan kadar minyak

dari bahan yang diekstraksi.

Page 3: Laporan Atsiri

II. METODOLOGI

A. Alat dan Bahan

Bahan baku yang digunakan pada praktikum ini adalah daun kayu putih, bunga melati dan bunga

mawar. Selain itu, dibutuhkan juga air, pelarut n-heksana, alkohol, dan lemak padat. Alat yang

dibutuhkan pada praktikum antara lain ketel suling, labu Florentine, gelas ukur, timbangan, pisau,

talenan, erlenmeyer, pendingin balik, klafenger, aufhauser, dan neraca untuk metode penyulingan.

Untuk metode ekstraksi pelarut dibutuhkan alat berupa ekstraktor, evaporator, gelas ukur, timbangan,

pisau, talenan, dan erlenmeyer serta gelas beker, kaca enfleurasi, sudip, evaporator, gelas ukur,

timbangan, pisau, talenan, dan erlenmeyer untuk metode enfleurasi.

B. Metode

1. Penyulingan

Ketel suling diisi dengan air secukupnya kemudian Boiler dipanaskan pada suhu 80oC

Bahan yang akan disuling ditimbang dan dimasukkan ke dalam ketel

Labu Florentine dipasang dan ari dialirkan melalui kondensor

Suhu dinaikkan dan dikontrol besarnya tekanan

Saat tetesan kondensat pertama keluar, damati dan dicatat waktunya

Destilat yang dihasilkan dipisahkan dan disimpan dalam botol

Rendemen yang dihasilkan dihitung

Page 4: Laporan Atsiri

2. Pengukuran kadar air dan minyak

Kadar air

Kadar minyak

Daun kayu putih ditimbang 10 sampai 20 gram, lalu dimasukkan ke dalam erlemeyer

Sampel tersebut ditambahkan 100 mL toluene lalu hubungkan dengan alat destilasi dan pendingin balik

Distilasi dilakukan sampai jumlah air tidak bertambah lagi

Dihitung Kadar air

Kadar air = x 100 %

Sampel ditimbang ± 50 - 100 gram (50.02 gram)

Ditambahkan akuades kemudian direndam

Sampel lalu didistilasi

Proses distilasi dihentikan ketika minyak tidak bertambah lagi

Volume minyak dicatat dan dihitung

Page 5: Laporan Atsiri

3. Ekstraksi dengan pelarut

4. Enfleurasi

Simplisisa dimasukkan ke dalam ekstraktor

Pelarut organik dimasukkan ke dalam ektraktor yang kemudian akan dipompa

Dilakukan penyulingan pada suhu rendah dan tekanan rendah untuk memisahkan kotoran

Pelarut dan minyak atsiri dilarutkan ke dalam alkohol, kemudia diambil fase alkohol (pemurnian concrete)

untuk memisahkan alkohol dengan minyak atsiri dilakukan penyulingan pada tekanan dan suhu rendah

Lemak (Vaselin) dihamparkan secara merata pada lapisan tipis pelat kaca.

Mahkota bunga ditempatkan pada lemak selama beberapa jam, kemudian diulangi yang baru beberapa kali. Untuk memperbesar absorbsina permukaan lemak digores

Lemak yang telah jenuh dengan minyak menguap, dikerok dengan sudip.

Kemudian, lemak tersebut diekstraksi dengan alkohol lalu didinginkan pada suhu rendah (lebih rendah dari 15 ˚C)

Minyak atsiri dipisahkan dalam alkohol dari lemaknya dengan disaring dengan cara penyulingan atau evaporasi

Page 6: Laporan Atsiri

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil

[Terlampir]

B. Pembahasan

Minyak atsiri atau dikenal juga sebagai minyak eteris (aetheric oil), merupakan kelompok

besar minyak nabati yang berwujud cairan kental pada suhu ruang namun mudah menguap sehingga

memberikan aroma yang khas (Harris, 1987). Minyak atsiri dahulu digunakan sebagai bahan dasar

wangi-wangian atau minyak gosok alami. Dalam dunia perdagangan, sulingan minyak atsiri dikenal

sebagai bibit minyak wangi. Minyak atsiri merupakan metabolit sekunder yang biasanya berperan

sebagai alat pertahanan diri agar tidak dimakan oleh hewan (hama) ataupun sebagai agen untuk

bersaing dengan tumbuhan lain dalam mempertahankan ruang hidup. Walaupun hewan kadang-

kadang juga mengeluarkan bau-bauan (seperti kesturi dari beberapa musang atau cairan yang berbau

menyengat dari beberapa kepik), zat-zat itu tidak digolongkan sebagai minyak atsiri .

Minyak atsiri bersifat mudah menguap karena titik uapnya rendah. Selain itu, susunan

senyawa komponennya kuat memengaruhi saraf manusia (terutama di hidung) sehingga seringkali

memberikan efek psikologis tertentu (baunya kuat). Setiap senyawa penyusun memiliki efek

tersendiri, dan campurannya dapat menghasilkan rasa yang berbeda. Secara kimiawi, minyak atsiri

tersusun dari campuran yang rumit berbagai senyawa, namun suatu senyawa tertentu biasanya

bertanggung jawab atas suatu aroma tertentu. Sebagian besar minyak atsiri termasuk dalam golongan

senyawa organik terpena dan terpenoid yang bersifat larut dalam minyak/lipofil.

Menurut Koensoemardiyah (2005), minyak atsiri pada tanaman ditemukan dalam berbagai

organ yang berbeda. Bahan baku untuk produksi minyak atsiri dapat berupa seluruh bagian tanaman

(misalnya, bahan baku untuk pembuatan minyak thyme dari seluruh tanaman Thymus vulgaris), daun

saja (misalnya, minyak kau putih Melaleuca leucadendra), bunga saja (misalnya bunga lavender,

mawar, melati), batang atau kulit batang (misalnya, minyak Cinnamomi), serta biji (misalnya, biji adas

/ Pimpilena anisum). Untuk setiap jenis produk minyak atsiri , bahan bakunya diambil dari bagian

tanaman yang paling banyak mengandung minyak atsiri. Jadi, sebelum dilakukan pengambilan

minyak atsiri dari suatu jenis tanaman, perlu dicari informasi tentang tanaman tersebut.

Rusli (2010) menambahkan, bahwa bahan baku yang sudah terkumpul kemudian dipilah dan

dibersihkan dari kotoran mekanis, sisa-sisa serangga, atau bagian tanaman lain. Jika ada bagian

tanaman lain yang terikut maka akan mengganggu komposisi minyak atsiri yang terisolasi. Apabila

bahan tanaman yang sudah dibersihkan itu tidak segera diambil minyak atsirinya maka sebaiknya

dikeringkan. Sebaliknya, jika minyak atsiri tersebut harus diambil dari tanaman yang segar, maka

sebaiknya segera ditangani sebelum mengalami perubahan komposisi. Dalam proses lebih lanjut, ada

beberapa jenis bahan tanaman yang perlu dipotong-potong, tetapi ada pula yang dapat langsung

digunakan.

Untuk memperoleh minyak atsiri dari suatu bahan dapat dilakukan dengan berbagai cara

diantaranya penyulingan, pengepresan, ekstraksi pelarut mudah menguap dan ekstraksi dengan lemak

padat. Salah satu metode yang digunakan pada praktikum kali ini adalah metode isolasi dengan

hidrodistilasi atau distilasi uap (hydrodistillation). Menurut Santoso (2009) metode

distilasi/penyulingan minyak atsiri dapat dilakukan dengan 3 cara, antara lain penyulingan dengan

sistem rebus (water distillation), penyuligan dengan sistem air dan uap (water and steam distillation),

dan penyulingan dengan uap langsung (direct steam distillation). Penerapan penggunaan metode

tersebut didasarkan atas beberapa pertimbangan seperti bahan baku tanaman, karakteristik minyak,

Page 7: Laporan Atsiri

proses difusi minyak dengan air panas, dekomposisi minyak akibat efek panas, efisiensi produksi dan

alasan nilai ekonomis serta efektifitas produksi.

Laporan ini akan mengkhususkan pada sistem direct steam distillation atau penyulingan uap

langsung. Pada sistem ini bahan baku tidak kontak langsung dengan air

maupun api namun hanya uap bertekanan tinggi yang difungsikan

untuk menyuling minyak. Prinsip kerja metode ini adalah membuat uap

bertekanan tinggi didalam boiler, kemudian uap tersebut dialirkan

melalui pipa dan masuk ketel yang berisi bahan baku. Uap yang keluar

dari ketel dihubungkan dengan kondensor. Cairan kondensat yang

berisi campuran minyak dan air dipisahkan dengan separator yang

sesuai berat jenis minyak. Penyulingan dengan metode ini biasa dipakai

untuk bahan baku yang membutuhkan tekanan tinggi pada proses pengeluaran minyak dari sel

tanaman. Pada praktikum ini penyulingan dilakukan pada bagian daun tanaman kayu putih.

Menurut Koensoemardiyah (2005), minyak kayu putih banyak digunakan dalam industri

farmasi. Penduduk Indonesia telah mengenal minyak kayu putih sejak berabad-abad serta

mempergunakannya sebagai obat gosok dan obat masuk angin untuk dewasa maupun anak-

anak. Daun kayu putih yang akan disuling sebaiknya masih dalam keadaan segar atau paling tidak

belum lebih dari 12 jam setelah dipanen. Apabila penyulingan daun tersebut dilakukan setelah 12 jam

kemudian (daun sudah tidak segar lagi) maka rendemen serta kualitas minyak kayu putih yang

dihasilkan akan berkurang. Kadar sineol yang merupakan komponen yang sangat penting dalam

minyak kayu putih juga akan menurun. Sebaiknya daun kayu putih disuling melalui penyulingan

dengan uap atau penyulingan dengan air dan uap.

Rendemen yang didapat dari proses penyulingan kayu putih pada praktikum kali ini adalah

sebanyak 0.71% (bobot/bobot) dengan lama penyulingan 2 jam, rendemen ini termasuk rendah walaupun

masih dalam batas normal, hal ini dikarenakan daun yang digunakan sudah tidak terlalu segar, dan

tekanan uap yang digunakan hanya 1 atm dari awal hingga akhir penyulingan juga waktu penyulingan

yang hanya 2 jam, tidak sesuai dengan literatur yang mengharuskan lama penyulingan selama 2 jam

46 menit, juga uap harus dinaikkan dari 1atm ke 1.5 atm, dan menjelang akhir penyulingan harus

dinaikkan menjadi 2 atm. Sehingga proses ekstraksi atsiri dari kelenjar daun tidak maksimal. Di

bawah ini merupakan tabel syarat mutu minyak kayu putih dari SNI

Sumber: SNI 06-3954-2006 (Minyak Kayu Putih)

Minyak kayu putih merupakan salah satu produk hutan yang telah dikenal luas oleh

masyarakat Indonesia. Minyak kayu putih merupakan minyak atsiri yang memiliki bau dan khasiat

yang khas, sehingga banyak dipakai para ibu untuk anaknya yang terkena sakit perut atau kembung,

terutama ketika anaknya masih bayi.

Gambar 1. Alat destilasi

Page 8: Laporan Atsiri

Kayu Putih (Meialeuca leucadendra L.) bisa tumbuh di tanah tandus, tahan panas dan dapat

bertunas kembali meskipun setelah terjadi kebakaran. Tanaman ini dapat ditemukan dari dataran

rendah sampai 400 m dpi, dapat tumbuh di dekat pantai di belakang hutan bakau, di tanah berawa atau

membentuk hutan kecil di tanah kering atau basah. Ciri-ciri dari pohon kayu putih memiliki tinggi

lebih kurang antara 10-20 m,memiliki kulit batang yang berlapis-lapis, berwarna putih keabu-abuan

dengan permukaan kulit yang terkelupas tidak beraturan. Batang pohonnya tidak terlalu besar, dengan

percabangan yang menggantung kebawah. Tumbuhan ini memiliki daun tunggal, agak tebal seperti

kulit, bertangkai pendek, letak berseling. Permukaan daun berambut, warna hijau kelabu sampai hijau

kecoklatan, Daun bila diremas atau dimemarkan berbau minyak kayu putih. Perbungaan majemuk

bentuk bulir, bunga berbentuk seperti lonceng, daun mahkota warna putih, kepala putik berwarna

putih kekuningan, keluar di ujung percabangan. Buah panjang 2,5-3 mm, lebar 3-4 mm, warnanya

coklat muda sampai coklat tua (Koensoemardiyah, 2005).

Kayu putih memiliki biji yang halus, sangat ringan seperti sekam, berwarna kuning. Buahnya

dapat digunakan sebagai obat tradisional disebut merica bolong. Ada beberapa varietas pohon kayu

putih. Ada yang kayunya berwarna merah, dan ada yang kayunya berwarna putih. Rumphius

membedakan kayu putih dalam varietas daun besar dan varietas daun kecil. Varietas yang berdaun

kecil, yang digunakan untuk membuat minyak kayu putih. Daun pada kayu putih akan melalui proses

penyulingan, kemudian akan menghasilkan minyak atsiri yang disebut minyak kayu putih, yang

memiliki warna kekuning-kuningan sampai kehijau-hijauan.

Pada saat ini, produksi minyak kayu putih di Indonesia sedang surut karena kurangnya

fasilitas seperti alat yang digunakan pada saat proses produksi, penggunaan bibit yang tidak unggul

dan manajemen pengolahan. Produk kayu putih atau yang biasa disebut minyak kayu putih memiliki

prospek yang baik untuk bersaing dipasar lokal maupun internasional. Dengan keadaan tanah dan

iklim di Indonesia sangat tepat sebagai tempat penanaman bibit kayu putih sperti NTT dan Papua. Hal

ini bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan pendapatan negara dengan mengurangi impor kayu putih.

Faktor - faktor tersebut menjadi peranan penting dalam kemajuan produksi minyak kayu

putih di Indonesia. Kedua faktor tersebut menyebabkan produksi minyak kayu putih di Indonesia

kurang maksimal dan mengalami penurunan pada tingkat produksinya. Dengan penambahan fasilitas

yang lebih modern akan membantu para petani kayu putih lebih mudah dan cepat dalam pengolahan

kayu putih tersebut, ditambah dengan penggunaan bibit unggul yang menghasilkan kayu putih yang

berkualitas serta manajemen yang baik dalam proses pengolahannya. Selain ketiga faktor tersebut

pengoptimalan penggunaan lahan juga memberikan pengaruh pada tingkat produksi minyak kayu

putih. Dengan mengoptimalkan lahan tersebut jumlah bahan baku yang dapat diolah semakin banyak

dan dapat meningkatkan produksi minyak kayu putih.

Selanjutnya, pada praktikum dilakukan penentuan kadar air dan kadar minyak. Prinsip

pengujian kadar minyak adalah menghitung persentase volume minyak yang ada pada daun kayu

putih berbanding dengan berat/bobot sampel. Kegunaan dari pengujian kadar minyak ini adalah untuk

mengetahui rendemen dari sampel yang digunakan, yakni daun kayu putih. Pada praktikum yang

dilakukan, didapatkan kadar minyak yang dihasilkan yaitu sebesar 0.6%. Berdasarkan literatur

diketahui bahwa kadar minyak atsiri dari daun kayu putih adalah sebesar 0,73%. Perbedaan hasil yang

didapat ini dapat disebabkan saat pascapanen daun minyak kayu putih ditaruh dibawah sinar matahari

sehingga menguap, padahal sebaiknya hanya diangin-anginkan (Anonim, 2013).

Dalam  penyimpanan  ini,  daun-daun  tidak boleh disimpan dalam karung karena akan

mengakibatkan minyak yang dihasilkan berbau “apek” dan kadar sineol dalam minyak rendah.

Penyimpanan daun dilakukan maksimal selama satu minggu. Kerusakan minyak kayu putih akibat

penyimpanan terutama terjadi karena proses hidrolisis dan pendamaran komponen-komponen yang

Page 9: Laporan Atsiri

terdapat  dalam  daun.  Pengaruh  hidrolisis  ini  dapat  dicegah  dengan menyimpan daun di tempat

yang kering dengan sirkulasi udara sekecil mungkin. Sedangkan  pengaruh  pendamaran  dapat

diminimalkan  dengan  mempersingkat waktu penyimpanan dan menurunkan suhu penyimpanan

(Rizky, 2012).

Pada praktikum ini dilakukan juga penentuan kadar air daun kayu putih. Penentuan kadar air

dilakukan dengan metode destilasi. Prinsip penentuan kadar air dengan destilasi adalah menguapkan

air dengan “pembawa” cairan kimia yang mempunyai titik didih lebih tinggi daripada air dan tidak

dapat campur dengan air serta mempunyai berat jenis lebih rendah daripada air. Zat kimia yang

digunakan pada praktikum ini adalah toluene. Pengujian kadar air ini dilakukan untuk mengetahui

perlakuan awal pada bahan yang akan diambil minyak atsirinya. Perlakuan awal tersebut juga

merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas minyak atsiri yang dihasilkan (Harris,

1987).

Cara penentuannya adalah dengan memberikan toluena sebanyak 100 mL pada sampel,

kemudain dipanaskan sampai mendidih. Uap air dan zat kimia tersebut diembunkan dan ditampung

dalam tabung penampung. Air akan berada di bagian bawah pada tabung penampung karena berat

jenis air lebih besar daripada toluena. Banyaknya air dapat diketahui langsung dengan membaca skala

yang tertera pada tabung penampung. Alat yang dipakai disebut clavenger (Sudarmadji, 1989).

Berdasarkan data hasil praktikum diketahui kadar air daun kayu putih sebesar 56 %. Hal itu

menunjukkan bahwa daun minyak kayu putih memiliki kandungan air yang cukup banyak sehingga

untuk mengambil kandungan minyak atsirinya perlu dilakukan penyulingan yang cukup lama.

Penyulingan minyak kayu putih dilakukan dengan uap langsung. Lama penyulingan tergantung dari

tekanan uap yang dipergunakan. Pada prinsipnya, tekanan yang dipergunakan tidak boleh terlalu

tinggi, karena pada tekanan yang terlalu tinggi minyak akan terdekomposisi, terutama pada waktu

penyulingan yang terlalu lama. Semakin tinggi kadar air suatu bahan juga menunjukkan bahwa

kandungan minyak atsirinya semakin sedikit sehingga perlu dilakukan penyulingan yang cukup lama

untuk menghasilkan rendemen yang besar (Ketaren, 1985).

Menurut Rusli (2010), metoda ekstraksi merupakan sistem pembuatan minyak atsiri yang

bahan bakunya memiliki rendemen kecil, rusak pada suhu tinggi, dan rata-rata larut dalam air. Cara

ekstraksi biasanya digunakan untuk bahan baku minyak atsiri berupa bunga, antara lain bunga mawar,

melati, dan sedap malam. Cara ekstraksi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu ekstraksi dengan pelarut

menguap, ekstraksi dengan lemak dingin, dan ekstraksi dengan lemak panas. Ekstraksi minyak atsiri

pada umumnya dilakukan dengan pelarut mudah menguap (solvent extraction). Prinsip dari solvent

extraction adalah dengan dengan melarutkan minyak atsiri dalam bahan pelarut organik yang mudah

menguap. Pelarut yang biasa digunakan adalah alkohol, benzena, heksana, dan toluena. Untuk pelarut

nonpolar, bahan yang digunakan antara lain metanol, etanol, kloroform, aseton, petroleum eter, dan

etilasetat kadar 96%. Palerut yang digunakan dalam proses ekstraksi memiliki beberapa persyaratan

yang harus dipenuhi, yaitu (1) Melarutkan secara sempurna komponen dari minyak atsiri yang

terdapat dalam tanaman, (2) Memiliki titik didih rendah, (3) Tidak bercampur dengan air, (4) Inert,

tidak bereaksi dengan minyak atsiri, (5) Memiliki satu titik didih, sehingga bila diuapkan tidak

meninggalkan sisa, (6) Memiliki harga yang murah, dan (7) Tidak mudah terbakar,

Metoda ekstaksi minyak atsiri dengan pelarut dapat dibagi menjadi 2, yaitu dengan cara

dingin dan cara panas. Ekstraksi dengan pelarut cara dingin terbagi menjadi maserasi dan perkolasi,

sedangkan dengan cara panas terbagi menjadi refluk, soxhletasi, digesti, infus, dan dekok. Maserasi

adalah proses ekstraksi simplisia dengan menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau

pengadukan pada suhu kamar. Metode ini digunakan untuk menyimpan simplisia yang mengandung

komponen kimia yang mudah larut dalam cairan penyari, tidak mengandung benzoin, tiraks, dan lilin.

Page 10: Laporan Atsiri

Prinsip dari ekstraksi dengan cara maserasi adalah penyarian(pengambilan sari) zat aktif yang

dilakukan dengan merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari yang sesuai pada temperatur

kamar, terlindung dari cahaya.

Pada metode maserasi, cairan penyari akan masuk ke dalam sel melewati dinding sel.

Kemudian isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan di dalam sel dengan di

luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh cairan penyari

dengan konsentrasi rendah (difusi). Peristiwa tersebut selanjutnya akan berulang hingga tercapai

keseimbangan konsentrasi antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Keuntungan dari eksraksi dengan

cara maserasi adalah peralatannya sederhana, sedangkan kerugiannya adalah waktu yang diperlukan

untuk mengekstraksi sampel cukup lama, cairan penyari yang digunakan banyak, dan cara ini tidak

dapat digunakan untuk bahan-bahan yang memiliki tekstur keras seperti lilin, benzoin, dan tiraks.

Metoda ekstraksi dengan pelarut selanjutnya yang dilakukan dengan cara dingin adalah

perkolasi. Perkolasi adalah proses pengambilan simplisia dengan cara melewatkan pelarut secara

lambat pada simplisia dalam suatu perkolator. Tidak berbeda dengan maserasi, perkolasi juga

dilakukan pada suhu kamar. Tujuan dari metoda perkolasi adalah agar zat berkhasiat tertarik

seluruhnya, baik untuk zat berkhasiat yang tahan panas ataupun yang tidak. Perkolasi ini berasal dari

bahasa latin per yang artinya melalui dan colare yang artinya merembes. Secara umum dapat

dinyatakan sebagai proses dimana bahan yang ingin diekstrak, diekstraksi dengan pelarut yang cocok

dengan cara melewatkan perlahan-lahan melalui suatu kolom. Perkolasi dilakukan dalam wadah

silindris atau kerucut (percolator), yang punya jalan masuk dan keluar yang sesuai. Bahan ekstraksi

yang dimasukkan secara perlahan dan kontinu dari atas mengalir lambat melintasi bahan yang ingin

di larutkan ekstraknya (Ansel,1989;Voight,1994). Hasil ekstraksi berupa bahan aktif yang tinggi yang

kaya ekstrak. Perkolasi memiliki kelebihan dibandingkan dengan metode ekstraksi lain, yaitu

memiliki waktu yang singkat dalam prosesnya tapi dapat mengekstrak secara optimal, tidak terjadi

kejenuhan dan pengaliran meningkatkan difusi sehingga zat seperti terdorong untuk keluar dari sel.

Kerugian metoda ini adalah dibutuhkan cairan yang lebih banyak dibandingkan dengan maserasi.

Selain itu, resiko cemaran mikroba untuk penyari air lebih tinggi karena proses ini dilakukan secara

terbuka.

Disebabkan dalam praktikum hanya dilakukan ekstraksi dengan pelarut mudah menguap

pada suhu dingin, yang akan dibahas dalam laporan praktikum ini hanyalah metode ekstraksi dengan

pelarut mudah menguap pada suhu dingin. Ekstraksi yang dilakukan pada praktikum adalah pelarutan

dengan maserasi. Maserasi dilakukan oleh dua kelompok, yaitu kelompok 2 dengan bahan baku

berupa bunga mawar dan kelompok 3 dengan bahan baku bunga melati. Pelarut yang digunakan pada

dua kelompok adalah sama, yaitu heksan. Alasan dilakukannya maserasi untuk bahan bunga-bungaan

di atas adalah karena sifat bahan (bunga-bungaan) tidak tahan panas dan tidak tahan dengan uap dan

air pada suhu tinggi. Kontak bahan dengan air dan suhu tinggi seperti pada destilasi akan membuat

bahan rusak dan senyawa atsiri yang terkadnung tidak dapat terambil secara keseluruhan.

Pelarut n-heksana adalah senyawa hidrokarbon alkana dengan rumus kimia C6H14. Awalan

heks- merujuk pada enam karbon arom yang terdapat pada heksana dan akhiran –ana berasal dari kata

alkana, yaitu ikatan tunggal yang menghubungkan atom-atom karbon tersebut. Dalam keadaan

standar, senyawa ini merupakan cairan tak berwarna yang tidak larut dalam air atau dapat dikatakan

bersifat nonpolar (Khopkar, 1990). Pemilihan n-heksana sebagai pelarut adalah karena n-heksana

bersifat stabil dan mudah menguap, selektif dalam melarutkan zat, mengekstraksi sejumlah kecil lilin

serta dapat mengekstrak zat pewangi dalam jumlah besar.

Berdasarkan data yang didapat dari praktikum, warna minyak atsiri yang didapat dari bunga

mawar adalah coklat kemerahan dan timbul endapan dengan aroma busuk. Untuk bunga melati, warna

Page 11: Laporan Atsiri

minyak atsirinya adalah kuning dan di dalam minyak tersebut masih terdapat lilin dari tanaman,

sedangkan aroma yang didapat adalah melati busuk. Masih terdapatnya lilin pada minyak atsiri ini

disebabkan kurang telitinya saat melakukan pemisahan komponen pengotor dengan minyak

menggunakan tabung biuret. Pada tahap pemisahan ini memang harus dilakukan dengan teliti agar

minyak yang didapatkan tidak tercampur dengan komponen pengotornya. Pada praktikum ini, tidak

dihitung rendemen minyak yang didapat karena hanya dipakai satu jenis pelarut yaitu pelarut heksana,

sehingga tidak dibutuhkan data rendemen untuk perbandingan keefektifan pelarut.

Pada praktikum, langkah yang dilakukan untuk ekstraksi adalah bunga ditaruh dalam suatu

labu kemudian direndam dalam pelarut n-heksana selama satu hari. Selama satu hari tersebut, pelarut

n-heksana berpenetrasi ke dalam jaringan bahan baku dan melarutkan minyak serta beberapa zat resin,

lilin, dan zat warna. Setelah satu hari, ampas bunga dan larutan dipisahkan kemudian larutan tersebut

dievaporasi. Komponen resin, lilin, dan zat warna ini akan terlihat saat proses evaporasi. Komponen

minyak akan terdapat dibagian atas dan komponen lain seperti pigmen dan lilin akan terbentuk

menjadi endapan di bagian bawah. Pada evaporasi ini, n-heksana diupkan sehingga yang tersisa

hanyalah minyak atsiri dan komponen lainnya. Larutan yang tersisa setelah pelarut menguap ini

disebut dengan concentrate. Concentrate ini kemudian dilarutkan dalam alkohol, hal ini bertujuan

agar alkohol mengikat minyak atsiri. Setelah ditambahkan alkohol, akan terbentuk dua lapis larutan,

yaitu alkohol dan minyak atsiri murni. Kemudian dua lapisan ini dipisahkan dan didapatkan minyak

atsiri murni.

Setelah itu masing-masing minyak atsiri dari bungan mawar dan bunga melati diamati aroma

dan warnanya. Salah satu kemungkinan penyebab aroma yang dihasilkan adalah aroma bunga yang

busuk karena waktu yang ideal untuk melakukan ekstraksi dengan pelarut untuk bunga mawar adalah

12 jam dan melati adalah 1 jam. Akan tetapi, pada praktikum ini kedua bahan diekstraksi selama 24

jam. Hal ini menyebabkan aroma yang terbentuk sudahlah tidak segar lagi karena terlalu lamanya

proses ekstraksi. Untuk warna, warna minyak atsiri yang didapat dengan cara maserasi umumnya agak

gelap. Hal ini disebabkan pada maserasi, pelarut akan melarutkan seluruh bahan-bahan yang ada

dalam bunga antara lain pigmen dan lilin. Selain itu, aroma minyak atsiri yang didapat dengan cara

maserasi umumnya lebih harum dibandingkan dengan minyak atsiri yang didapat dengan cara

penyulingan. Hal ini karena selama penyulingan dengan suhu tinggi.

Selain melalui proses ekstraksi pelarut, pada praktikum ini minyak atsiri dari bunga mawar

dan bunga melati juga diperoleh melalui proses enfleurasi. Teknik enfleurasi merupakan salah satu

cara pengambilan minyak atsiri bunga dari lemak sebagai absorben yang telah jenuh dengan aroma

wangi bunga, dengan proses penyerapan aroma oleh lemak terjadi dalam keadaan tanpa pemanasan.

Metode ini sudah sejak lama digunakan di wilayah Perancis Selatan, yang sangat terkenal dengan

kualitas parfumnya. Penggunaan teknik enfleurasi pada pembuatan minyak melati dapat

meningkatkan rendemen minyak hingga 4-5 kali lebih besar bila dibandingkan dengan cara solvent

extraction ataupun penyulingan. Dalam menggunakan teknik enfleurasi untuk produksi minyak

bunga, jenis lemak yang berperan sebagai absorben sangat menentukan rendemen dan kualitas minyak

bunga yang diperoleh.

Jenis bunga melati setelah dipetik masih meneruskan aktivitas fisiologinya, sehingga

memproduksi minyak dan mengeluarkan bau wangi. Lemak mempunyai daya adsorbsi yang tinggi.

Bila lemak dicampur dan melakukan kontak dengan bunga yang berbau wangi, maka lemak akan

mengadsorbsi minyak yang dikeluarkan oleh bunga tersebut. Prinsip ini diterapkan dalam proses

enfleurasi. Bunga melati ditaburkan diatas permukaan lemak yang telah dioleskan pada bingkai kaca

atau chassis dan dibiarkan selama 24 jam, kemudian diganti dengan bunga yang masih segar. Proses

ini dilakukan berulang kali, pada akhir proses lemak akan jenuh dengan minyak bunga. Minyak bunga

Page 12: Laporan Atsiri

tersebut diekstraksi dari lemak dengan menggunakan etanol dan selanjutnya etanol dipisahkan. Hal

yang perlu diingat adalah pada saat memoleskan lemak dipermukaan bingkai kaca atau chassis, lemak

hendaknya digores dengan alat apapun yang bisa menciptakan pola garis – garis dipermukaan lemak.

Tujuannya adalah untuk memperluas permukaan penyerapan minyak bunga oleh lemak, sehingga

minyak bunga yang diserap akan lebih banyak (Guenther, 1987).

Metode enfleurasi memanfaatkan lemak sebagai media untuk mengadsorpsi aroma wangi

yang dihasilkan oleh jenis bunga tertentu misalnya melati, sedap malam dan mawar. Lemak yang

sudah siap digunakan ditempatkan diatas bingkai kaca atau chasis, kemudian disusun bertingkat dan

diusahakan terbebas dari sinar matahari dan udara. Karena jika terganggu dua hal tersebut dapat

menyebabkan kerusakan lemak dan terganggunya proses yang pada akhirnya gagal produksi.

Keberhasilan proses enfleurasi juga tergantung pada kualitas lemak yang digunakan dan ketrampilan

dalam mempersiapkan lemak. Penggunaan lemak dalam metode enfleurasi bisa menggunakan lemak

sapi, lemak babi, lemak kambing, lemak ayam, minyak kelapa, minyak sawit, minyak jagung, minyak

kedelai. Campuran antara 1 bagian lemak sapi dan 2 bagian lemak babi menurut Guenther (1987)

menghasilkan mutu minyak paling baik. Penggunaan lemak babi dalam proses enfleurasi harus

dihindari karena mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim. Sebagai alternatif dalam penelitian ini

menggunakan adsorben mentega yang terbuat dari lemak hewan dan mentega putih yang tidak

memiliki bau sehingga dapat secara murni mengabsorpsi aroma dari bunga-bungaan yang digunakan

sebagai bahan baku. Alasan lainnya mengapa digunakan mentega putih pada enfleurasi adalah karena

kandungan lemak dari mentega putih tidak bereaksi/ tidak teroksidasi sehingga tidak menimbulkan

bau tengik dan dapat menjaga kesegara bahan/bunga. Selain itu, teksturnya yang lebih keras dari

lemak hewan juga menjadikan mentega putih lebih mudah dioleskan pada wadah enfleurasi.

Mentega merupakan produk berbentuk padat lunak yang dibuat dari lemak atau krim susu

atau campurannya, dengan atau tanpa penambahan garam (NaCl) atau bahan makanan yang diizinkan

SNI (1995). Mentega mengandung lemak 81 %, kadar air 18 % dan kadar protein maksimal 1 %

(Wahyuni & Made, 1998). Lemak mentega berasal dari lemak susu hewan. Lemak mentega sebagian

besar terdiri dari asam palmitat, oleat dan stearat serta sejumlah kecil asam butirat dan asam lemak

sejenis lainnya. Mentega putih (Shortening/Compound fat) adalah lemak padat yang mempunyai sifat

plastis dan kestabilan tertentu dan umumnya berwarna putih (Winarno,1991). Pada umumnya

sebagian besar mentega putih dibuat dari minyak nabati seperti minyak biji kapas, minyak kacang

kedelai, minyak kacang tanah dan lain-lain. Mentega putih mengandung 80% lemak dan 17% air

(Wahyuni & Made, 1998).

Pada praktikum yang dilakukan, praktikan menggunakan bunga mawar dan bunga melati

sebagai sumber minyak atsiri dengan mentega putih sebagai absorben. Mentega putih yang banyak

beredar di pasaran merupakan lemak nabati yang berasal dari minyak kelapa sawit. Dari hasil

praktikum enfleurasi baik terhadap bunga melati maupun bunga mawar, didapatkan hasil campuran

antara alkohol dan minyak atsiri melati dengan cairan yang bewarna kuning keruh dengan endapan

minyak atsiri di bagian bawahnya. Pada hasil berbahan bunga melati, aroma yang dihasilkan khas

melati. Sedangkan pada hasil berbahan bunga mawar hasilnya hanya sedikit berbau mawar. Hal ini

dikarenakan proses enfleurasi sangatlah cocok untuk bunga melati. Dapat diketahui hasil dari

praktikum yang dilakukan hanya sedikit dan tidak menghasilkan aroma yang terlalu pekat, hal ini

disebabkan proses enfleurasi hanya selama satu hari dan kelopak bunga yang digunakan tidak

mengalami penggantian dengan kelopak bunga yang baru atau segar sehingga mentega putih sebagai

absorben belum banyak mengandung minyak atsiri sebab hanya menyerap sedikit.

Page 13: Laporan Atsiri
Page 14: Laporan Atsiri

IV. SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Metode destilasi atau penyulingan minyak atsiri dapat dilakukan dengan 3 cara antara lain,

penyulingan dengan air atau bisa disebut rebus (Water distillation), penyulingan dengan air dan uap

(Water and Steam Distillation), penyulingan dengan uap langsung (Direct Steam Distillation).

Penerapan penggunaan metode tersebut didasarkan atas beberapa perimbangan seperti jenis bahan

baku tanaman, karakteristik minyak, proses difusi minyak dengan air panas, dekomposisi minyak

akibat efek panas, efisiensi produk dan alasan nilai ekonomis serta efektifitas produksi. Rendemen

minyak kayu putih yang diekstraksi dengan metode penyulingan adalah sebesar 0.71% (bobot/bobot).

Rendemen ini termasuk rendah walaupun masih dalam batas normal, hal ini dikarenakan daun yang

digunakan sudah tidak terlalu segar, dan tekanan uap yang digunakan hanya 1 atm dari awal hingga

akhir penyulingan juga waktu penyulingan yang hanya 2 jam

Prinsip pengujian kadar minyak adalah menghitung persentase volume minyak yang ada pada

daun kayu putih berbanding dengan berat/bobot sampel. Kegunaan dari pengujian kadar minyak ini

adalah untuk mengetahui rendemen dari sampel yang digunakan, yakni daun kayu putih. Pada

praktikum yang dilakukan, didapatkan kadar minyak yang dihasilkan sedikit kurang sesuai dengan

literatur. Hal ini dapat disebabkan karena faktor penyimpanan daun kayu putih saat pascapanen yang

sedikit salah dan kurang diperhatikan. Selain kadar minyak, dilakukan juga pengujian kadar air pada

minyak kayu putih. Pengujian ini bertujuan, dengan mengetahui kadar air suatu bahan, kita dapat

mengetahui perlakuan awal pada bahan yang benar sehingga dapat dihasilkan rendemen minyak yang

besar dengan kualitaas yang baik.

Ekstraksi minyak atsiri pada umumnya dilakukan dengan pelarut mudah menguap (solvent

extraction). Prinsip dari solvent extraction adalah dengan dengan melarutkan minyak atsiri dalam

bahan pelarut organik yang mudah menguap. Pelarut yang biasa digunakan adalah alkohol, benzena,

heksana, dan toluena. Warna minyak atsiri dari mawar dan melati pada praktikum memiliki aroma

busuk dikarenakan waktu ekstraksi yang terlalu lama yaitu 24 jam untuk kedua bunga mawar dan

melati, padahal waktu yang ideal adalah 1 jam untuk melati dan 12 jam untuk bunga mawar. Selain

itu, warna minyak atsiri yang didapat dengan cara maserasi umumnya agak gelap. Hal ini disebabkan

pada maserasi, pelarut akan melarutkan seluruh bahan-bahan yang ada dalam bunga antara lain

pigmen dan lilin. Aroma minyak atsiri yang didapat dengan cara maserasi juga umumnya lebih harum

dibandingkan dengan minyak atsiri yang didapat dengan cara penyulingan karena suhu yang

digunakan tidak tinggi seperti pada penyulingan.

Metode enfleurasi memanfaatkan lemak sebagai media untuk mengadsorpsi aroma wangi

yang dihasilkan oleh jenis bunga tertentu misalnya melati, sedap malam dan mawar. Pada hasil

enfleurasi berbahan bunga melati, aroma yang dihasilkan khas melati, sedangkan pada hasil berbahan

bunga mawar hasilnya hanya sedikit berbau mawar. Hal ini dikarenakan proses enfleurasi sangatlah

cocok untuk bunga melati. hasil enfleurasi yang dilakukan hanya sedikit dan tidak menghasilkan

aroma yang terlalu pekat, hal ini disebabkan proses enfleurasi hanya selama satu hari dan kelopak

bunga yang digunakan tidak mengalami penggantian dengan kelopak bunga yang baru atau segar

sehingga mentega putih sebagai absorben belum banyak mengandung minyak atsiri sebab hanya

menyerap sedikit. Bahan lemak yang digunakan dalam enfleurasi adalah mentega putih karena

mentega putih sendiri tidak memiliki aroma, memiliki tekstur yang lebih keras dari lemak padat dari

hewan sehingga dapat dioleskan pada wadah, kandungannya tidak bereaksi dengan udara, dan

menghindari “haram”.

Page 15: Laporan Atsiri

B. Saran

Praktikum selanjutnya semoga setiap uji yang dilakukan oleh kelompok dipresentasikan seperti

praktikum pertama agar semua praktikan mengerti prosesnya walaupun tidak melakukan percobaan

dan sebaiknya praktikan membaca prosedur terlebih dahulu dan bekerja sesuai dengan prosedur agar

tidak terjadi kesalahan dalam praktikum.

Page 16: Laporan Atsiri

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2013. Kadar Minyak Daun Kayu Putih. [terhubung berkala].

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/20421/6/Abstract.pdf (10 Maret 2013).

Guenther, Ernest. 1987, Minyak Atsiri Jilid I. Penerjemah Ketaren S. Universitas Indonesia Press:

Jakarta.

Harris, R, 1987. Tanaman Minyak Atsiri. Penebar Swadaya, Jakarta.

Ketaren, S, 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri, Balai Pustaka Jakarta.

Khopkar, S. M. 1990. Konsep Dasar Kimia Analitik. Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Koensoemardiyah. 2005. A to Z Minyak Atsiri Untuk Industri Makanan, Kosmetik, dan Aromaterapi.

Penerbit Andi. Semarang.

Rizky. 2012. Destilasi Minyak Kayu Putih di Desa. [terhubung berkala]. http://

LAPORAN%201/destilasi-minyak-kayu-putih-di-desa.html (10 Maret 2013).

Rusli, Meika S. 2010. Sukses Memproduksi Minyak Atsiri. Jakarta: AgroMedia

Santoso. H.B. 2009. SEREH WANGI, Bertanam dan Penyulingan. Kanisius. Yogyakarta.

Sudarmadji, S., Haryono, B., Suhardi. 1989. Analisa Bahan Makanan dan Pertanian. Yogyakarta :

Liberty.

Voight, R.1994.Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Edisi Kelima.Alih Bahasa: Soendani

Noerono.Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Wahyuni, A dan Made. 1998, “Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna”. Cv Akademika

Pressindo: Jakarta

Winarno, F.G. 1991, “Kimia Pangan dan Gizi”. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta

Page 17: Laporan Atsiri

LAMPIRAN

1. Kelompok 1 :

a. Uji kadar air ( % v/b ) : 56 %

b. Uji kadar minyak ( % v/b) : 0.6 %

Rendemen ( % berat/berat ) : x 100 % = 0.711 %

2. Kelompok 2 :

Warna : coklat kemerahan + endapan

Bau : Bunga mawar busuk

3. Kelompok 3 :

Warna : Kuning + bercampur lilin

Bau : Melati busuk

4. kelompok 4 :

Warna : Kuning keruh + endapan minyak

Bau : khas melati

5. kelompok 5 :

Warna : Kuning keruh + endapan minyak

Bau : Sedikit berbau mawar