newsletter mfp, november 2015

4

Upload: multistakeholder-forestry-programme

Post on 25-Jul-2016

214 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Versi bahasa Indonesia

TRANSCRIPT

mfp04

ndang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah membuat pengaturan kewenangan kehutanan mengalami perubahan. Pembagian kewenangan kehutanan hanya dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Sedangkan kewenangan yang dimiliki pemerintah kabupaten hanya dalam bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada Taman Hutan Raya (TAHURA) di kabupaten/kota. Perubahan kewenangan ini tentu saja berimplikasi pada kerja-kerja KPH, terutama yang berada di tingkat kerja-kerja KPH, terutama yang berada di tingkat kabupaten/kota.

Oleh karena itu, pada 18 November 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Lembaga ICEL (Indonesian Center for Environmental Law) dan didukung oleh MFP3 menyelenggarakan FGD dengan tema ‘Kelembagaan KPH Paska-Undang-Undang 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah’. FGD tersebut dilakukan di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Dengan menghadirkan parapihak terkait, diskusi terfokus ini menjaring berbagai masukan untuk diskusi terfokus ini menjaring berbagai masukan untuk perbaikan kebijakan di tingkat nasional dan daerah serta memperkuat fungsi KPH dalam penanganan konflik di tingkat tapak.

Kegiatan ini merupakan rangkaian diskusi yang sebelumnya telah di lakukan di Provinsi Sulawesi Utara (17 September 2015); Kabupaten Banjar Baru (8 Oktober 2015), Provinsi Kalimantan Selatan; dan Provinsi Sumatera Selatan (13 Oktober 2015). Selanjutnya, hasil dari FGD daerah tersebut akan menjadi input materi pembahasan dalam FGD tingkat nasional. ni Eropa memastikan kesiapannya

untuk mengimplementasikan secara penuh perjanjian kemitraan sukarela (VPA) dengan Indonesia untuk penegakan hukum, perbaikan tata kelola, dan perdagangan sektor kehutanan (FLEGT). Ini berarti, seluruh produk kayu Indonesia bisa lewat jalur hijau dan bebas dari pemeriksaan untuk menembus pasar Uni Eropa.Eropa.

Pada acara High Level Market Dialogue 2015 yang digelar di Jakarta pada 23 November 2015, Duta Besar Uni Eropa (UE) untuk Indonesia, Vincent Guerend, menyatakan pihaknya akan mengimplementasikan penuh perjanjian itu pada 1 April 2016. Menurutnya, implementasi FLEGT dipastikan akan memberi keuntungan bagi dipastikan akan memberi keuntungan bagi Indonesia yang saat ini menguasai 40% pasar produk kayu tropis di UE. Meski demikian, dia juga menekankan bahwa seluruh produk kayu Indonesia harus sudah dilengkapi dokumen V-Legal berdasarkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).Kayu (SVLK).

Nantinya, dokumen V-Legal akan disetarakan dengan lisensi FLEGT yang membebaskannya dari kewajiban uji tuntas saat masuk Uni Eropa berdasarkan ketentuan importasi kayu yang diberlakukan kelompok 28 negara tersebut.

Ia juga menyinggung soal masih adanya Ia juga menyinggung soal masih adanya pembebasan produk mebel dari penggunaan dokumen V-Legal berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 89Tahun 2015.

Perjanjian FLEGT Indonesia-UE sudah ditandatangani pada 30 September 2013. Dalam perjanjian itu, Indonesia dan UE sepakat untuk mempromosikan perdagangan kayu legal. Dalam prosesnya, UE akan menerapkan kebijakan importasi kayu (EU Timber Regulation)Regulation), sedang Indonesia mengembangkan SVLK, sebuah sistem multipihak yang menjamin produk kayu yang diekspor berasal dari sumber yang legal. Guerend juga menegaskan bahwa SVLK sangat membantu importir dan konsumen produk kayu UE untuk mendapat jaminan bahwa produk kayu mendapat jaminan bahwa produk kayu yang mereka beli berasal dari sumber yang sah.

Berdasarkan data Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK) tahun 2014, pasar Uni Eropa menyerap 645,9 juta dolar AS dari total 6,6 miliar dolar AS nilai ekspor produk kayu Indonesia. Sementara untuk tahun 2015 ini, sampai awal November, pasar Uni Eropa berkontribusi sebesar 1,33 miliar dolar AS dari total 10,3 miliar.1,33 miliar dolar AS dari total 10,3 miliar.

“Tugas pemerintah Indonesia adalah untuk memastikan seluruh produk yang diekspor dilengkapi dokumen V-Legal yang menjamin bahwa produk-produk tersebut berasal dari sumber yang berasal dari sumber yang legal dan lestari,” ujar Guerend.

Perubahan kewenangan kehutanan yang diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 berimplikasi pada kerja-kerja KPH, terutama yang berada di tingkat kabupaten/kota.

(1). FGD Kelembagaan KPH di Kab. Alor(2). Kebon Bibit Besar di KPHL Alor, NTT

1

2

Dari pelaksanaan FGD di empat daerah tersebut, ada beberapa kesimpulan:Perubahan kewenangan kehutanan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dipahami oleh dinas kehutanan di tingkat provinsi dan kabupaten sebagai bentuk pengambilalihan kewenangan oleh pemerintah pusat. Padahal, kewenangan yang diambil alih merupakan tugas teknis yang dalam pelaksanaannya hampir tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat. pemerintah pusat. Terdapat beberapa aspek dari kelembagaan KPH yang harus diubah sebagai implikasi dari perubahan kewenangan kehutanan di daerah, antara lain: (a) struktur KPH di tingkat kabupaten; (b) koordinasi dengan pemerintah daerah; dan (c) perwilayahan KPH. Sementara, pemerintah provinsi pada saat ini belum dapat menetapkan gambaran yang tepat untuk menyesuaikan kewenangan kehutanan terhadap menyesuaikan kewenangan kehutanan terhadap keberadaan KPH. Koordinasi KPH pada saat ini lebih banyak dilakukan dengan Unit Pelaksana Teknis Kementerian Lingkungan Hidup dan dinas kehutanan di tingkat provinsi dan kabupaten. Sementara, kerja sama dengan dinas di sektor lain yang berwenang di bidang sumber daya alam belum dilakukan. Masih terdapat resistensi dari dinas kehutanan Masih terdapat resistensi dari dinas kehutanan kabupaten terhadap tugas KPH, di mana dinas kabupaten menganggap tugas kehutanan yang dimilikinya tumpang tindih dengan tugas KPH di lapangan. Hal ini terjadi di kabupaten Poigar. Pemerintah daerah pada saat ini bersikap Pemerintah daerah pada saat ini bersikap “wait and see”, yaitu menunggu kebijakan dari pusat untuk penjabaran kewenangan kehutanan yang diatur dalam peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.

erguruan tinggi adalah salah satu lembaga strategis dalam mengembangkan kapasitas sumber daya manusia dan membangun kepedulian atas isu-isu strategis seperti pemberlakuan SVLK. Selain memiliki nilai strategis dalam rangka memerangi pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal sebagai perwujudan good forest governancegovernance menuju pengelolaan hutan lestari, SVLK juga memiliki dampak luas terhadap kelestarian sumber daya alam. Maka sudah seharusnya dunia akademik terlibat aktif dalam isu ini.

Sejak Februari 2015, MFP3 telah menjalin kerja sama dengan Program Studi Kehutanan Universitas Sumatera Utara (USU) melalui proyek "Integrasi Sistem Verifikasi Legalitas "Integrasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK ) dalam Kurikulum Berbasis KKNI di Perguruan Tinggi." KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia) adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan, pelatihan serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor.

Kegiatan ini tidak hanya bertujuan menyebarkan gagasan SVLK di kalangan akademisi, namun juga secara praktis hendak mengintegrasikan materi SVLK ke dalam kurikulum perkuliahan. Alur kegiatan program dimulai dari sosialisasi SVLK, kemudian dilanjutkan dengan lokakarya dilanjutkan dengan lokakarya pengembangan kurikulum, pelatihan penyusunan Rencana Pembelajaran Semester (RPS) dan Satuan Acara Perkuliahan (SAP), serta pelatihan penyusunan bahan ajar. Saat ini, sosialisasi dan lokakarya pengembangan kurikulum telah pengembangan kurikulum telah berhasil diselesaikan dan akan dimulai perkuliahannya pada mahasiswa baru di semester ganjil berikutnya.

MFP3 juga bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Nusa Bangsa (UNB) Bogor melalui kegiatan "Program Pengembangan Kurikulum SVLK". Mirip dengan USU, kegiatan diawali dengan lokakarya sosialisasi dan identifikasi arah pengembangan mata kuliah SVLK. arah pengembangan mata kuliah SVLK. Dari sini kemudian disusul dengan penyusunan GBPP, modul perkuliahan, dan modul praktikum. Sebelum diimplementasikan dalam proses perkuliahan, terlebih dahulu dilakukan seminar sosialisasi modul dan pelatihan bagi para pengajar. pelatihan bagi para pengajar.

"Pada tahun 2013, saya berani langsung ambil keputusan harus punya SVLK untuk menembus pasar Eropa. Dan sekarang terbukti. Ini akibat dari keunggulan saya punya SVLK. Saya mendapatkan buyer baru ketika mengikuti pameran di IFEX (Indonesia International Furniture Expo 2015) bulan Maret kemarin, kebetulan dapat fasilitas dari MFP. Alhamdulillah, berhasil dapat buyer potensial.”

(1). Lokakarya ‘Potensi pengembangan SVLK sebagai mata kuliah di Perguruan Tinggi (2). TOT MK SVLK dan Diklat Calon Auditor VLK untuk Para Dosen dan Asisten Dosen MK SVLK(3). Uji coba pengajaran MK SVLK Untuk Mahasiswa Universitas Nusa Bangsa Semester Ganjil Tahun Ajaran 2015/2016

MFP3 bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Universitas Nusa Bangsa (UNB) Bogor dan Program Studi Kehutanan Universitas Sumatera Universitas Sumatera Utara (FH-USU). Harapannya, dapat memperkuat perhatian atas isu SVLK di kalangan akademisi dan mampu menciptakan para sarjana yang terampil di bidang yang terampil di bidang kehutanan serta peduli terhadap kelestarian hutan.

(1). Karyawan dan karyawati CV. Tita International(2). CV. Tita Internasional sudah memiliki SVLK sejak tahun 2013(3). Produk CV. Tita International berhasil menembus pasar Amerika Serikat dan Afrika Selatan

Proyek yang dimulai sejak Mei 2015 dan baru akan berakhir pada Februari 2016 ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas tenaga pengajar sehingga dapat memberi pemahaman yang utuh tentang SVLK kepada para mahasiswa. Proyek ini tidak hanya berhenti pada pengayaan kurikulum dan penyusunan pengayaan kurikulum dan penyusunan materi pengajaran, namun dilanjutkan sampai pada praktikum mata kuliah SVLK untuk para pengajar. Bahkan saat ini, pelaksanaan pengajaran mata kuliah SVLK untuk para mahasiswa UNB mulai dilakukan.

Kerja sama ini diharapkan dapat memperkuat perhatian atas isu SVLK di kalangan akademisi dan mampu menciptakan para sarjana yang terampil di bidang kehutanan terutama sertifikasi hasil hutan serta peduli terhadap kelestarian hutan.

tu adalah sepenggal pengakuan Febti Estiningsih yang menggambarkan perkembangan bisnis mebelnya setelah mendapatkan V-Legal. Pasar internasional terbuka lebar karena produk-produk yang dipasarkannya tersertifikasi legal.

Sosok Febti Estiningsih bukan orang asing Sosok Febti Estiningsih bukan orang asing di dunia bisnis mebel Jepara. Perempuan kelahiran Jepara, 24 Februari 1973 itu adalah pebisnis perempuan yang terbilang sukses. Tidak hanya pasar domestik, pasar luar negeri pun berhasil ditembusnya.

Pada 1997, ia merintis usaha furnitur dan Pada 1997, ia merintis usaha furnitur dan mengawali bisnis ini tanpa sengaja. Saat itu, ia diminta kawannya untuk mendapatkan buyer. Tapi ketika kawannya justru tidak bertanggung jawab, ia akhirnya mau tak mau terjun sendiri ke bisnis mebel. Keterampilan dan pengalamannya sebagai pegawai di pengalamannya sebagai pegawai di sebuah perusahaan asing membuatnya mampu memanfaatkan krisis moneter yang terjadi saat itu. Setahun setelahnya, dia langsung membidik pasar internasional. Pasar internasional pertama yang dibidik adalah Australia dengan mengirim satu kontainer contoh dengan mengirim satu kontainer contoh produk ke partner bisnisnya di Hobart, Tasmania, Australia. Hasil pemasaran ini membuatnya berhasil mendirikan sebuah pabrik pada Juli 2000, dengan nama CV. Tita International.

Pabrik yang beralamatkan di Desa Krasak I, RT 01/RW 01, Pecangaan, Jepara, Jawa Tengah, itu memroduksi beragam produk furnitur dengan sentuhan antik dan klasik. Dia semakin percaya diri untuk melebarkan pasar produknya. Pasar Amerika Serikat hingga Afrika Pasar Amerika Serikat hingga Afrika Selatan pun berhasil ditembusnya.

Pada 1 September 2009, pemerintah Indonesia mulai memberlakukan SVLK sebagai perwujudan good forest governance dan memenuhi jaminan legalitas kayu dalam bentuk sertifikasi. Febti memperoleh sertifikat SVLK pada tahun 2013, dengan demikian pasar tahun 2013, dengan demikian pasar internasional yang lebih luaspun digenggamnya.

Keuntungan yang diperolehnya dan komitmennya terhadap kelestarian hutan membuatnya khawatir dan sedih ketika mendengar kabar bahwa pemerintah akan menghapus kewajiban SVLK untuk bisnis mebel kayu dan kerajinan. “Dengan adanya penghapusan itu “Dengan adanya penghapusan itu saya meratapi nasib sertifikat saya. Padahal perjuangan mendapatkan ini tak mudah. Itu seperti membuat aturan sendiri tapi dilanggar sendiri.”

2

2

3

1

1

3

erguruan tinggi adalah salah satu lembaga strategis dalam mengembangkan kapasitas sumber daya manusia dan membangun kepedulian atas isu-isu strategis seperti pemberlakuan SVLK. Selain memiliki nilai strategis dalam rangka memerangi pembalakan liar dan perdagangan kayu ilegal sebagai perwujudan good forest governancegovernance menuju pengelolaan hutan lestari, SVLK juga memiliki dampak luas terhadap kelestarian sumber daya alam. Maka sudah seharusnya dunia akademik terlibat aktif dalam isu ini.

Sejak Februari 2015, MFP3 telah menjalin kerja sama dengan Program Studi Kehutanan Universitas Sumatera Utara (USU) melalui proyek "Integrasi Sistem Verifikasi Legalitas "Integrasi Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK ) dalam Kurikulum Berbasis KKNI di Perguruan Tinggi." KKNI (Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia) adalah kerangka penjenjangan kualifikasi kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan, dan mengintegrasikan menyetarakan, dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan, pelatihan serta pengalaman kerja dalam rangka pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan struktur pekerjaan di berbagai sektor.

Kegiatan ini tidak hanya bertujuan menyebarkan gagasan SVLK di kalangan akademisi, namun juga secara praktis hendak mengintegrasikan materi SVLK ke dalam kurikulum perkuliahan. Alur kegiatan program dimulai dari sosialisasi SVLK, kemudian dilanjutkan dengan lokakarya dilanjutkan dengan lokakarya pengembangan kurikulum, pelatihan penyusunan Rencana Pembelajaran Semester (RPS) dan Satuan Acara Perkuliahan (SAP), serta pelatihan penyusunan bahan ajar. Saat ini, sosialisasi dan lokakarya pengembangan kurikulum telah pengembangan kurikulum telah berhasil diselesaikan dan akan dimulai perkuliahannya pada mahasiswa baru di semester ganjil berikutnya.

MFP3 juga bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat Universitas Nusa Bangsa (UNB) Bogor melalui kegiatan "Program Pengembangan Kurikulum SVLK". Mirip dengan USU, kegiatan diawali dengan lokakarya sosialisasi dan identifikasi arah pengembangan mata kuliah SVLK. arah pengembangan mata kuliah SVLK. Dari sini kemudian disusul dengan penyusunan GBPP, modul perkuliahan, dan modul praktikum. Sebelum diimplementasikan dalam proses perkuliahan, terlebih dahulu dilakukan seminar sosialisasi modul dan pelatihan bagi para pengajar. pelatihan bagi para pengajar.

"Pada tahun 2013, saya berani langsung ambil keputusan harus punya SVLK untuk menembus pasar Eropa. Dan sekarang terbukti. Ini akibat dari keunggulan saya punya SVLK. Saya mendapatkan buyer baru ketika mengikuti pameran di IFEX (Indonesia International Furniture Expo 2015) bulan Maret kemarin, kebetulan dapat fasilitas dari MFP. Alhamdulillah, berhasil dapat buyer potensial.”

(1). Lokakarya ‘Potensi pengembangan SVLK sebagai mata kuliah di Perguruan Tinggi (2). TOT MK SVLK dan Diklat Calon Auditor VLK untuk Para Dosen dan Asisten Dosen MK SVLK(3). Uji coba pengajaran MK SVLK Untuk Mahasiswa Universitas Nusa Bangsa Semester Ganjil Tahun Ajaran 2015/2016

MFP3 bekerja sama dengan Pusat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Universitas Nusa Bangsa (UNB) Bogor dan Program Studi Kehutanan Universitas Sumatera Universitas Sumatera Utara (FH-USU). Harapannya, dapat memperkuat perhatian atas isu SVLK di kalangan akademisi dan mampu menciptakan para sarjana yang terampil di bidang yang terampil di bidang kehutanan serta peduli terhadap kelestarian hutan.

(1). Karyawan dan karyawati CV. Tita International(2). CV. Tita Internasional sudah memiliki SVLK sejak tahun 2013(3). Produk CV. Tita International berhasil menembus pasar Amerika Serikat dan Afrika Selatan

Proyek yang dimulai sejak Mei 2015 dan baru akan berakhir pada Februari 2016 ini bertujuan untuk meningkatkan kapasitas tenaga pengajar sehingga dapat memberi pemahaman yang utuh tentang SVLK kepada para mahasiswa. Proyek ini tidak hanya berhenti pada pengayaan kurikulum dan penyusunan pengayaan kurikulum dan penyusunan materi pengajaran, namun dilanjutkan sampai pada praktikum mata kuliah SVLK untuk para pengajar. Bahkan saat ini, pelaksanaan pengajaran mata kuliah SVLK untuk para mahasiswa UNB mulai dilakukan.

Kerja sama ini diharapkan dapat memperkuat perhatian atas isu SVLK di kalangan akademisi dan mampu menciptakan para sarjana yang terampil di bidang kehutanan terutama sertifikasi hasil hutan serta peduli terhadap kelestarian hutan.

tu adalah sepenggal pengakuan Febti Estiningsih yang menggambarkan perkembangan bisnis mebelnya setelah mendapatkan V-Legal. Pasar internasional terbuka lebar karena produk-produk yang dipasarkannya tersertifikasi legal.

Sosok Febti Estiningsih bukan orang asing Sosok Febti Estiningsih bukan orang asing di dunia bisnis mebel Jepara. Perempuan kelahiran Jepara, 24 Februari 1973 itu adalah pebisnis perempuan yang terbilang sukses. Tidak hanya pasar domestik, pasar luar negeri pun berhasil ditembusnya.

Pada 1997, ia merintis usaha furnitur dan Pada 1997, ia merintis usaha furnitur dan mengawali bisnis ini tanpa sengaja. Saat itu, ia diminta kawannya untuk mendapatkan buyer. Tapi ketika kawannya justru tidak bertanggung jawab, ia akhirnya mau tak mau terjun sendiri ke bisnis mebel. Keterampilan dan pengalamannya sebagai pegawai di pengalamannya sebagai pegawai di sebuah perusahaan asing membuatnya mampu memanfaatkan krisis moneter yang terjadi saat itu. Setahun setelahnya, dia langsung membidik pasar internasional. Pasar internasional pertama yang dibidik adalah Australia dengan mengirim satu kontainer contoh dengan mengirim satu kontainer contoh produk ke partner bisnisnya di Hobart, Tasmania, Australia. Hasil pemasaran ini membuatnya berhasil mendirikan sebuah pabrik pada Juli 2000, dengan nama CV. Tita International.

Pabrik yang beralamatkan di Desa Krasak I, RT 01/RW 01, Pecangaan, Jepara, Jawa Tengah, itu memroduksi beragam produk furnitur dengan sentuhan antik dan klasik. Dia semakin percaya diri untuk melebarkan pasar produknya. Pasar Amerika Serikat hingga Afrika Pasar Amerika Serikat hingga Afrika Selatan pun berhasil ditembusnya.

Pada 1 September 2009, pemerintah Indonesia mulai memberlakukan SVLK sebagai perwujudan good forest governance dan memenuhi jaminan legalitas kayu dalam bentuk sertifikasi. Febti memperoleh sertifikat SVLK pada tahun 2013, dengan demikian pasar tahun 2013, dengan demikian pasar internasional yang lebih luaspun digenggamnya.

Keuntungan yang diperolehnya dan komitmennya terhadap kelestarian hutan membuatnya khawatir dan sedih ketika mendengar kabar bahwa pemerintah akan menghapus kewajiban SVLK untuk bisnis mebel kayu dan kerajinan. “Dengan adanya penghapusan itu “Dengan adanya penghapusan itu saya meratapi nasib sertifikat saya. Padahal perjuangan mendapatkan ini tak mudah. Itu seperti membuat aturan sendiri tapi dilanggar sendiri.”

2

2

3

1

1

3

mfp04

ndang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah membuat pengaturan kewenangan kehutanan mengalami perubahan. Pembagian kewenangan kehutanan hanya dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Sedangkan kewenangan yang dimiliki pemerintah kabupaten hanya dalam bidang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada Taman Hutan Raya (TAHURA) di kabupaten/kota. Perubahan kewenangan ini tentu saja berimplikasi pada kerja-kerja KPH, terutama yang berada di tingkat kerja-kerja KPH, terutama yang berada di tingkat kabupaten/kota.

Oleh karena itu, pada 18 November 2015, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) bersama Lembaga ICEL (Indonesian Center for Environmental Law) dan didukung oleh MFP3 menyelenggarakan FGD dengan tema ‘Kelembagaan KPH Paska-Undang-Undang 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah’. FGD tersebut dilakukan di Kabupaten Alor, Nusa Tenggara Timur. Dengan menghadirkan parapihak terkait, diskusi terfokus ini menjaring berbagai masukan untuk diskusi terfokus ini menjaring berbagai masukan untuk perbaikan kebijakan di tingkat nasional dan daerah serta memperkuat fungsi KPH dalam penanganan konflik di tingkat tapak.

Kegiatan ini merupakan rangkaian diskusi yang sebelumnya telah di lakukan di Provinsi Sulawesi Utara (17 September 2015); Kabupaten Banjar Baru (8 Oktober 2015), Provinsi Kalimantan Selatan; dan Provinsi Sumatera Selatan (13 Oktober 2015). Selanjutnya, hasil dari FGD daerah tersebut akan menjadi input materi pembahasan dalam FGD tingkat nasional. ni Eropa memastikan kesiapannya

untuk mengimplementasikan secara penuh perjanjian kemitraan sukarela (VPA) dengan Indonesia untuk penegakan hukum, perbaikan tata kelola, dan perdagangan sektor kehutanan (FLEGT). Ini berarti, seluruh produk kayu Indonesia bisa lewat jalur hijau dan bebas dari pemeriksaan untuk menembus pasar Uni Eropa.Eropa.

Pada acara High Level Market Dialogue 2015 yang digelar di Jakarta pada 23 November 2015, Duta Besar Uni Eropa (UE) untuk Indonesia, Vincent Guerend, menyatakan pihaknya akan mengimplementasikan penuh perjanjian itu pada 1 April 2016. Menurutnya, implementasi FLEGT dipastikan akan memberi keuntungan bagi dipastikan akan memberi keuntungan bagi Indonesia yang saat ini menguasai 40% pasar produk kayu tropis di UE. Meski demikian, dia juga menekankan bahwa seluruh produk kayu Indonesia harus sudah dilengkapi dokumen V-Legal berdasarkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK).Kayu (SVLK).

Nantinya, dokumen V-Legal akan disetarakan dengan lisensi FLEGT yang membebaskannya dari kewajiban uji tuntas saat masuk Uni Eropa berdasarkan ketentuan importasi kayu yang diberlakukan kelompok 28 negara tersebut.

Ia juga menyinggung soal masih adanya Ia juga menyinggung soal masih adanya pembebasan produk mebel dari penggunaan dokumen V-Legal berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 89Tahun 2015.

Perjanjian FLEGT Indonesia-UE sudah ditandatangani pada 30 September 2013. Dalam perjanjian itu, Indonesia dan UE sepakat untuk mempromosikan perdagangan kayu legal. Dalam prosesnya, UE akan menerapkan kebijakan importasi kayu (EU Timber Regulation)Regulation), sedang Indonesia mengembangkan SVLK, sebuah sistem multipihak yang menjamin produk kayu yang diekspor berasal dari sumber yang legal. Guerend juga menegaskan bahwa SVLK sangat membantu importir dan konsumen produk kayu UE untuk mendapat jaminan bahwa produk kayu mendapat jaminan bahwa produk kayu yang mereka beli berasal dari sumber yang sah.

Berdasarkan data Sistem Informasi Legalitas Kayu (SILK) tahun 2014, pasar Uni Eropa menyerap 645,9 juta dolar AS dari total 6,6 miliar dolar AS nilai ekspor produk kayu Indonesia. Sementara untuk tahun 2015 ini, sampai awal November, pasar Uni Eropa berkontribusi sebesar 1,33 miliar dolar AS dari total 10,3 miliar.1,33 miliar dolar AS dari total 10,3 miliar.

“Tugas pemerintah Indonesia adalah untuk memastikan seluruh produk yang diekspor dilengkapi dokumen V-Legal yang menjamin bahwa produk-produk tersebut berasal dari sumber yang berasal dari sumber yang legal dan lestari,” ujar Guerend.

Perubahan kewenangan kehutanan yang diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 berimplikasi pada kerja-kerja KPH, terutama yang berada di tingkat kabupaten/kota.

(1). FGD Kelembagaan KPH di Kab. Alor(2). Kebon Bibit Besar di KPHL Alor, NTT

1

2

Dari pelaksanaan FGD di empat daerah tersebut, ada beberapa kesimpulan:Perubahan kewenangan kehutanan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dipahami oleh dinas kehutanan di tingkat provinsi dan kabupaten sebagai bentuk pengambilalihan kewenangan oleh pemerintah pusat. Padahal, kewenangan yang diambil alih merupakan tugas teknis yang dalam pelaksanaannya hampir tidak mungkin dilaksanakan sendiri oleh pemerintah pusat. pemerintah pusat. Terdapat beberapa aspek dari kelembagaan KPH yang harus diubah sebagai implikasi dari perubahan kewenangan kehutanan di daerah, antara lain: (a) struktur KPH di tingkat kabupaten; (b) koordinasi dengan pemerintah daerah; dan (c) perwilayahan KPH. Sementara, pemerintah provinsi pada saat ini belum dapat menetapkan gambaran yang tepat untuk menyesuaikan kewenangan kehutanan terhadap menyesuaikan kewenangan kehutanan terhadap keberadaan KPH. Koordinasi KPH pada saat ini lebih banyak dilakukan dengan Unit Pelaksana Teknis Kementerian Lingkungan Hidup dan dinas kehutanan di tingkat provinsi dan kabupaten. Sementara, kerja sama dengan dinas di sektor lain yang berwenang di bidang sumber daya alam belum dilakukan. Masih terdapat resistensi dari dinas kehutanan Masih terdapat resistensi dari dinas kehutanan kabupaten terhadap tugas KPH, di mana dinas kabupaten menganggap tugas kehutanan yang dimilikinya tumpang tindih dengan tugas KPH di lapangan. Hal ini terjadi di kabupaten Poigar. Pemerintah daerah pada saat ini bersikap Pemerintah daerah pada saat ini bersikap “wait and see”, yaitu menunggu kebijakan dari pusat untuk penjabaran kewenangan kehutanan yang diatur dalam peraturan pelaksana Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.