nur proposal, fisika
DESCRIPTION
model pembelajaran laboratoryTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagian besar konsep-konsep fisika masih merupakan konsep yang
abstrak bagi siswa dan bahkan mereka sendiri tidak mengenali konsep-konsep
kunci ataupun hubungan antara konsep yang diperlukan untuk memahami
konsep tersebut, akibatnya siswa tidak membangun pemahaman konsep yang
fundamental pada awal mereka belajar fisika (Muhammad Ihsanuddin, 2013).
Rendahnya pemahaman konsep fisika juga disebabkan adanya
pemahaman siswa yang dipengaruhi oleh konsepsi siswa atau tafsiran siswa
terhadap suatu konsep. Siswa datang ke kelas dengan membawa konsepsi
maupun pengetahuan awal mengenai suatu konsep atau penjelasan suatu
fenomena sebagaimana yang mereka lihat dengan mata sendiri. Dimana,
penjelasaan terhadap fenomena atau konsepsi tersebut terkadang tidak sesuai
dengan penjelasan secarah ilmiah. Selain itu rendahnya pemahaman konsep
juga diakibatkan adanya proses belajar mengajar di kelas yang cenderung
bersifat analitis dengan menitikberatkan pada penurunan rumus-rumus fisika
melalui analisis matematis, (Mariati, P.S , 2013). Kemampuan pemahaman
konsep dalam pembelajaran fisika adalah tingkat kemampuan yang menuntut
siswa mampu memahami arti atau konsep, situasi serta fakta yang
diketahuinya. Dalam hal ini, siswa tidak hanya hapal secara verbal, tetapi
1
mengerti atau paham terhadap konsep atau fakta yang dinyatakannya
(Ismuddin Arief, 2013).
Pemahaman konsep fisika merupakan hal yang paling dasar dalam
mempelajari fisika. Dengan memahami konsep, siswa dapat mengembangkan
kemampuannya dalam pembelajaran fisika, menerapkan konsep yang telah
diperolehnya untuk menyelesaikan permasalahan yang sederhana sampai
dengan yang kompleks, mengaitkan satu konsep dengan konsep lainnya,
menginterprestasikannya, dan meramalkan kearah mana suatu permasalahan
akan diselesaikan (Muhammad Ihsanudin 2013). Pemahaman konsep fisika
dapat ditingkatkan dengan menerapkan pembelajaran pemecahan masalah.
Karena melalui proses pemecahan masalah lebih mudah mengkonstruksi
pengetahuan, menggali ide-ide yang berkaitan dengan konsep-konsep esensial
memperdalam dan memahami konsep-konsep sehingga ide-ide yang muncul
dapat dikembangkan (Simanjuntak, Mariati Purnama 2012).
Pembelajaran akan lebih bermakna jika siswa lebih aktif dan metode
pembelajaran yang diterapkan berdasarkan pada pengamatan siswa secara
langsung, yakni dengan melakukan eksperimen atau penemuan sehingga
pemahaman konsep siswa akan semakin meningkat. Desy Hanisa Putri dan M.
Sutarno, (2012) menyatakan bahwa pembelajar harus diberi pengalaman
untuk dapat mengajukan dan menguji hipotesis melalui percobaan, merancang
dan merakit instrumen percobaan, mengumpulkan, mengolah, dan
menafsirkan data, menyusun laporan, serta mengkomunikasikan hasilnya baik
secara lisan maupun tertulis. Oleh karena itu, solusi yang terbaik untuk
2
meningkatkan pemahaman konsep siswa yaitu melalui model praktikum.
Namun, pada kenyataanya tidak demikian, metode pembelajaran fisika yang
diterapkan di sekolah masih cenderung berpusat pada guru. Sehingga konsep-
konsep yang seharusnya ditemukan secara langsung oleh siswa tidak banyak
dialami siswa dan pemahaman siswa terhadap konsep fisika pun sangat
menurun. Hal ini karena metode eksperimen jarang dilakukan di sekolah-
sekolah, kendalanya yakni alokasi waktu proses pembelajaran yang diberikan
tidak memungkinkan untuk melakukan percobaan, dan guru lebih fokus untuk
mengejar materi. Pernyataan tersebut dikuatkan oleh penelitian yang
dilakukan Rosane, (2013) bahwa kemandirian siswa dalam belajar terutama
dalam memecahkan masalah sangat kurang. Sekolah telah memiliki
labororatorium tapi jarang sekali dimanfaatkan oleh guru. Siswa nya pun
jarang diajak untuk melakukan praktikum dilaboratorium, karena itu siswa
menjadi kurang paham dalam menggunakan alat-alat yang ada di
laboratorium, kurang mengerti bagaimana tata cara dalam melakukan
praktikum dilaboratorium, tidak tahu bagaimana cara menjaga keselamatan
alat dan diri mereka sendiri serta tidak tahu tentang peraturan-peraturan yang
harus mereka indahkan saat berada di laboratorium.
Dari permasalahan di atas perlu strategi atau metode pembelajaran
yang dapat menghubungkan antara materi dan praktikum guna untuk
meningkatkan pemahaman konsep siswa. Salah satu metode pembelajaran
yang sesuai adalah metode pembelajaran Problem Solving Laboratory. Model
pembelajaran Problem solving Laboratory adalah salah satu model
3
pembelajaran yang menitikberatkan keaktifan siswa dalam proses
pembelajaran. Pembelajaran diarahkan agar siswa lebih aktif dan mampu
menyelesaikan masalah secara sistematis dan logis, yaitu dengan menyajikan
suatu permasalahan yang bersifat nyata dengan dunia realita siswa yang dapat
dipecahkan melalui aktivitas di laboratorium (Hariani, 2013).
Problem solving laboratory juga merupakan salah satu metode
eksperimen yang berorientasi pada penggunaan konsep fisika untuk
memecahkan berbagai masalah.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Putri dan M. Sutarno (2012),
menunjukkan bahwa peningkatan keterampilan proses sains mahasiswa yang
mengikuti pembelajaran dengan menerapkan model kegiatan laboratorium
berbasis problem solving secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan
mahasiswa yang mengikuti pembelajaran dengan menerapkan kegiatan
praktikum verifikasi.
Selain itu, penerapan Model Pembelajaran Problem Solving
Laboratory juga mampu mengubah pola praktikum mahasiswa pada
Matakuliah Elektronika Dasar II. Model praktikum Elektronika Dasar II yang
selama ini menggunakan teknik non resep masakan, mampu ditingkatkan
kualitas pelaksanaan praktikumnya dengan Model Problem Solving
Laboratory. Model Praktikum Problem Solving Laboratory sebagai suatu
model pembelajaran yang berorientasi pada keterlibatan mahasiswa dalam
proses belajarnya, dimana mahasiswa menggali atau menjumpai permasalahan
4
selanjutnya mahasiswa dengan bantuan dan media praktikum yang terintegrasi
berusaha mencari pemecahannya sendiri (Sujarwata ; 2009).
Selanjutnya penelitian yang dilakukan Fitri Hariani (2013) bahwa
dengan pembelajaran Problem Solving Laboratory dapat meningkatkan
keterampilan proses sains dan hasil belajar fisika siswa kelas XI di SMA
Negeri 2 Tanggul. Maka diharapkan model pembelajaran Problem Solving
Laboratory juga dapat meningkatkan pemahaman konsep siswa, khususnya
pada materi mekanika.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan masalah
penelitian adalah “apakah terdapat pengaruh dari penerapan model
pembelajaran problem solving laboratory terhadap pemahaman konsep fisika
siswa SMA?”
1.3 Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah diatas maka penelitian bertujuan untuk
mengetahui ada tidaknya pengaruh penerapan model pembelajaran problem
solving laboratory terhadap pemahaman konsep fisika siswa SMA.
1.4 Manfaat Penelitian
1. Bagi guru, agar dapat membuka wawasan dalam pembelajaran dengan
model pembelajaran problem solving laboratory sehingga dapat
meningkatkan pemahaman konsep siswa.
5
2. Bagi siswa, diharapkan dapat mengalami perubahan tentang paradigma
belajar dan meningkatkan motivasi belajar sehingga pemahaman konsep
siswa pun dapat berkembang.
3. Bagi peneliti, sebagai pengalaman dalam melakukan perbaikan-perbaikan
pendekatan pembelajaran guna meningkatkan mutu pembelajaran.
4. Bagi sekolah, sebagai bahan pertimbangan dalam mengambil kebijakan
untuk memperbaiki dan memperbaharui pembelajaran fisika serta dapat
membantu pengadaan alat-alat praktikum nantinya.
1.5 Batasan Istilah
1) Model pembelajaran problem solving laboratory Pembelajaran diarahkan
agar siswa lebih aktif dan mampu menyelesaikan masalah secara
sistematis dan logis, yaitu dengan menyajikan suatu permasalahan yang
bersifat nyata dengan dunia realita siswa yang dapat dipecahkan melalui
aktivitas di laboratorium.
2) Sedangkan pemahaman konsep dalam pembelajaran fisika adalah tingkat
kemampuan yang menuntut siswa mampu memahami arti atau konsep,
situasi serta fakta yang diketahuinya. Dalam hal ini, siswa tidak hanya
hapal secara verbal, tetapi mengerti atau paham terhadap konsep atau fakta
yang dinyatakannya. Pemahaman merupakan terjemahan dari istilah
understanding yang diartikan sebagai penyerapan arti suatu materi yang
dipelajari . Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, paham berarti mengerti
dengan tepat, sedangkan konsep berarti suatu rancangan.
6
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
2.1 Penelitian Yang Relevan
Banyak penelitian yang dilakukan dengan menggunakan model
pembelajaran Problem Solving Laboratory, di antaranya yaitu, Fitri Hariani, et.al
(2013) telah melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Model Problem
Solving Laboratory Terhadap Keterampilan Proses Sains Dan Hasil Belajar Fisika
Siswa Kelas Xi Di Sma Negeri 2 Tanggul” dari hasil penelitiannya menunjukan
bahwa (1) model problem solving laboratory berpengaruh signifikan terhadap
keterampilan proses sains siswa kelas XI di SMA Negeri 2 Tanggul, dan (2)
model problem solving laboratory berpengaruh signifikan terhadap hasil belajar
fisika siswa kelas XI di SMA Negeri 2 Tanggul.
Sujarwata, et.al (2009) telah melakukan penelitian yang berjudul
“Peningkatan Hasil Belajar Elektronika Dasar II Melalui Penerapan Model
Pembelajaran Problem Solving Laboratory” dari hasi penelitiannya menunjukkan
bahwa terjadi peningkatan hasil belajar Elektronika Dasar II melalui penerapan
model pembelajaran Problem Solving Laboratory sebesar 75%, serta mahasiswa
mengalami ketuntasan belajar. Model Praktikum Problem Solving Laboratory
sebagai suatu model pembelajaran yang berorientasi pada keterlibatan mahasiswa
dalam proses belajarnya, dimana mahasiswa menggali atau menjumpai
permasalahan selanjutnya mahasiswa dengan bantuan dan media praktikum yang
terintegrasi berusaha mencari pemecahannya sendiri.
7
Hatice Gungor Seyhan & Gulseda Eyceyurt Turk , et.al (2013) telah
melakukan penelitian yang berjudul “An Investigation Of The Relationship
Between Performance In The Problem Solving Laboratory Applications And
Views About Nature Of Science Of Pre-Service Science Teachers” dari hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa Setelah aplikasi pemecahan masalah pada lab
kimia dilaksanakan, tingkat pengetahuan guru tentang sains meningkat secara
statistik. Analisis Data menyimpulkan bahwa aplikasi problem solving laboratory
dapat memperpanjang pengetahuan guru tentang sifat ilmu pengetahuan. Hasil
penelitian ini membuktikan bahwa pendapat pada sifat dari ilmu pengetahuan
dapat ditingkatkan dengan bantuan dari berbagai aplikasi pendidikan.
Laboratorium mengaktifkan siswa untuk melihat menggunakan teori pengetahuan
mereka dalam praktik dan membuat untuk menjelaskannya di dalam memperoleh
bukti.
Desy Hanisa Putri, et.al (2012) telah melakukan penelitian yang berjudul
“Model Kegiatan Laboratorium Berbasis Problem Solving Pada Pembelajaran
Gelombang Dan Optik Untuk Meningkatkan Keterampilan Proses Sains
Mahasiswa” dari hasil penelitiannya menunjukkan bahwa peningkatan
keterampilan proses sains mahasiswa yang mengikuti pembelajaran dengan
menerapkan model kegiatan laboratorium berbasis problem solving secara
signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan mahasiswa yang mengikuti
pembelajaran dengan menerapkan kegiatan praktikum verifikasi.
Ellianawati , B. Subali, et.al (2010) telah melakukan penelitian yang
berjudul “Penerapan Model Praktikum Problem Solving Laboratory Sebagai
8
Upaya Untuk Memperbaiki Kualitas Pelaksanaan Praktikum Fisika Dasar” dari
hasil penelitiannya menunjukkan bahwa melalui penerapan model praktikum
problem solving laboratory telah berhasil meningkatkan kualitas pelaksanaan
praktikum Fisika Dasar 1. Indikator dari meningkatnya kualitas praktikum
tercermin dari peningkatan hasil belajar mahasiswa dan aktivitas belajarnya.
Berdasarkan hasil pengamatan pelaksanaan praktikum fisika dasar terlihat pada
saat kegiatan praktikum pada setiap siklusnya terjadi peningkatan aktivitasnya,
baik untuk kegiatan pra praktikum, pada saat praktikum dan presentasi hasilnya
2.2 Kajian Pustaka
2.2.1 Pengertian Model Pembelajaran Problem Solving Laboratory
Model Pembelajaran Problem Solving Laboratory adalah model
pembelajaran yang memberikan permasalahan dalam kelas, dan teknik
penyelesaian permasalahan tersebut dilakukan dengan kegiatan laboratorium.
Setelah permasalahan terpecahkan melalui kegiatan laboratorium, siswa
melakukan diskusi dalam kelas untuk menyampaikan konsep yang telah
ditemukan. Model Problem Solving Laboratory adalah salah satu model
pembelajaran fisika yang dapat memberikan pengalaman langsung dan
menghendaki sebanyak mungkin keterlibatan siswa dalam belajar. Pembelajaran
diarahkan agar siswa lebih aktif dan mampu menyelesaikan masalah secara
sistematis dan logis, yaitu dengan menyajikan suatu permasalahan yang bersifat
nyata dengan dunia realita siswa yang dapat dipecahkan melalui aktivitas di
laboratorium.
9
Menurut Walton dan Matthews (1989) yang dikutip oleh Friedman dan
Deek dalam Journal International of Interactive Learning Research (2002)
menyatakan bahwa metode Problem Solving Laboratory memberikan stimulus
dan tantangan kepada peserta didik untuk berusaha memecahkan permasalahan
dilingkungannya dengan mengaplikasikan ilmu pengetahuan dan pengalaman
tertentu.
2.2.2 Pembelajaran Masalah Berbasis Laboratorium atau Problem Solving
Laboratory
Proses pembelajaran yang digariskan oleh kurikulum sekarang lebih
menitikberatkan peran aktif peserta didik dalam kegiatan belajar, seorang
pendidik hanya sebagai fasilitator dan motivator. Dengan demikian terjadi
perubahan paradigma pembelajaran yaitu dari lecture based format menjadi
student active atau approach student centered instruction. Salah satu bentuk
pembelajaran yang menerapkan student active Approach adalah model Problem
Solving. Menurut Camp, sebagaimana yang dikutip oleh Bound & Ton (2005)
bahwa Problem solving as being for the learner active , adult oriented, problem
centered, student centered, collaborative, interdisiplinary, utilizing small groups
ang operating in a clinical context.
Dalam penelitain ini yang dimaksud model Pembelajaran Berbasis
Masalah adalah suatu cara mengajar dengan menghadapkan siswa kepada suatu
permasalahan agar dipecahkan atau diselesaikan. Metode ini menuntut
kemampuan untuk melihat sebab akibat, mengobservasi masalah, mencari
10
hubungan antara berbagai data yang terkumpul kemudian menarik kesimpulan
yang merupakan hasil pemecahan masalah. Model Pembelajaran Problem Solving
Laboratory merupakan elaborasi dari model pembelajaran berbasis masalah.
Sintaks permasalahan sama, namun teknik penyelesaian masalah dilakukan
melalui kegiatan laboratorium.
Langkah Model Pembelajaran yang dielaborasi dari Bound & Ton (2005) dengan
karakteristik sebagai berikut;
1. Mahasiswa dapat memecahkan masalah sesuai tahapan yang terpilih,
dengan menggunakan curah pendapat dan teknis investigasi masalah.
2. Membangun ilmu yang telah dimiliki dan memperoleh ilmu yang baru
melalui studi kasus.
3. Dapat mengoperasikan alat-alat laboratorium yang berkaitan dengan teori
yang diberikan.
4. Mahasiswa dapat mempergunakan media yang ada, dan dapat melakukan
teknik analisis.
5. Mahasiswa dapat menganalisis dan mendiskripsikan, mendiskusikan hasil
data praktikum dengan cara laporan tertulis, poster, dan presentasi lisan,
6. Mahasiswa dapat bekerja dalam kelompok dengan mengorganisasi tiap-
tiap kelompok.
Salah satu model pembelajaran yang sangat konstruktivistis adalah model
inquiry (penyelidikan). Model Pembelajaran Problem Solving Laboratory
merupakan cerminan dari kontruktivisme. Dalam model ini mahasiswa sungguh
dilibatkan untuk aktif berfikir dan menemukan pengertian yang ingin
11
diketahuinya (Suparno, 2007). Model pembelajaran inquiry ini mahasiswa
dilibatkan dalam proses penemuan melalui pengumpulan data dan berhipotesis.
Selanjutnya menurut Schanble & Glaser (1995) menyampaikan bahwa inquiry
adalah proses dimana para saintis mengajukan pernyataan tentang alam dunia ini
dan bagaimana mereka secara sistematis mencari jawabnya. Secara sederhana
dapat dijelaskan sebagai model pengajaran yang menggunakan proses identifikasi,
membuat hipotesis, mengumpulkan data, menganalis data dan mengambil
kesimpulan. Langkah-langkah tersebut nampak jelas bahwa model inquiry ini
menggunakan metode ilmiah atau saintis dalam menemukan suatu prinsip,
hukum, atau teori.
2.2.3 Kegiatan Laboratorium Berbasis Problem Solving
Inovasi pembelajaran dalam kegiatan praktikum ini diilhami oleh
kegiatan praktikum yang didesain dan dikembangkan di Universitas Minnesota
serta di Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI, yang memberikan penekanan
utama pada aspek problem solving. Kegiatan laboratorium ini terintegrasi dengan
pembelajaran. Tujuannya seperti dikemukakan oleh Heller&Heller adalah
menjadikannya sarana bagi siswa untuk : (a) mengkonfrontasi konsep awal
mereka dengan bagaimana alam bekerja; (b) melatih skill problem solving; (c)
belajar menggunakan alat; (d) belajar mendesain ekperimen; (e) mengobservasi
sebuah peristiwa yang memerlukan penjelasan yang tidak mudah sehingga mereka
menyadari bahwa diperlukan ilmu untuk menjawabnya; (f) mendapatkan apresiasi
kesulitan dan kegembiraan saat melakukan eksperimen; (g)mengalami
pengalaman seperti ilmuwan asli dan (h) merasa senang melakukan kegiatan yang
12
lebih aktif daripada duduk dan mendengarkan. Berdasarkan desain problem
solving laboratory yang dikembangkan di universitas Minnesota dan FPMIPA
UPI, komponen-komponen kegiatan laboratoriumnya diuraikan sebagai berikut:
a. Petunjuk Praktikum
Perbedaan yang mencolok adalah tidak adanya dasar teori dan langkah-
langkah percobaan pada petunjuk praktikum yang akan dikembangkan. Peniadaan
dasar teori didasarkan pada alasan untuk menegaskan bahwa kegiatan praktikum
ini merupakan bagian terintegrasi dengan pembelajaran, sehingga teori yang
mendasari praktikum dapat digali dan dibaca sebanyak-banyaknya dari buku-buku
paket sekolah. Adanya prediksi dan pertanyaan metode dalam petunjuk praktikum
dimaksudkan untuk men-trigger penggalian teori oleh siswa. Sedangkan
peniadaan langkah-langkah percobaan yang mendetil dalam petunjuk praktikum
dimaksudkan untuk memberikan keleluasaan kepada siswa untuk melatih skill
problem solving-nya, sehingga dengan demikian kemampuan problem solving-nya
dapat terus dipertajam. Berikut perbandingan antara petunjuk praktikum lama dan
petunjuk praktikum problem solving.
Tabel 2.1 Perbandingan Petunjuk Praktikum verifikasi dan Problem Solving
Petunjuk praktikum verifikasi Petunjuk prakrtikum problem solving
TujuanAlat dan Bahan
Dasar TeoriProsedur Percobaan
Tugas Sebelum PercobaanTugas Setelah Percobaan
Masalah (Problem)Peralatan ( Equipment)Prediksi (Prediction)
Pertanyaan metode (Method questions)Eksplorasi (Exploration)
Pengukuran (Measurement)Analisis (Analysis)
Kesimpulan (conclusion)(Sumber : Feranie, et al., 2005)
13
Petunjuk praktikumnya terdiri dari langkah-langkah: permasalahan yang
dijumpai dalam kehidupan siswa disajikan, kemudian disediakan alat dan bahan
yang diperlukan. Siswa diarahkan untuk memprediksi tentang alternatif solusi dari
masalah yang disajikan. Untuk mengarahkan siswa agar dapat melakukan
eksplorasi dengan benar, maka guru memberikan pertanyaan-pertanyaan
metode/pengarah. Jika langkah kerja yang akan dilakukan siswa sudah sesuai,
kemudian dilakukan eksplorasi dan pengukuran untuk memperoleh data yang
akan dianalisis. Dari hasil analisis data maka diperoleh kesimpulan berupa suatu
konsep yang utuh.
b. Setting Kegiatan Praktikum
Perbedaan seting kegiatan praktikum lama adalah diawali dengan
pengumpulan tugas awal untuk dinilai dan tanya jawab tentang penggunaan alat
dan proses pengukuran, pada seting baru diadakan tahap pra eksperimen (pre-
experiment) yang berbentuk diskusi. Diskusi ini diadakan untuk memonitor
prediksi dan jawaban pertanyaan metode dari setiap anggota kelompok untuk
kemudian diseragamkan menjadi prediksi kelompok. Sedangkan tujuan pasca
eksperimen (post-experiment) adalah mendiskusikan data yang diperoleh dari
hasil pengukuran untuk memantau kelengkapan data dan ketepatannya, jika terjadi
kekeliruan dapat segera diadakan perbaikan. Perbedaannya dapat dilihat pada
Tabel 2.2 .
14
Tabel 2.2 Perbedaan Kegiatan Praktikum Verifikasi dan Praktikum
Problem Solving
Seting kegiatan praktikum verifikasi Seting kegiatan praktikum problem solving
Mengumpulkan tugas awalTanya jawab
Merangkai alatMelakukan pengambilan data
Pre-eksperimen (diskusi)Eksplorasi
Pengambilan dataPost-eksperimen (diskusi)
(Sumber : Feranie, et al., 2005)
Pada setting kegiatan praktikum problem solving, dapat dijelaskan bahwa
dua hari menjelang pembelajaran dilakukan, kelompok siswa diberi LKS pre
eksperimen yang berisi tahap: penyajian masalah, pengenalan alat-alat
eksperimen, prediksi yang harus dilakukan siswa dan penyampaian pertanyaan-
pertanyaan metode/pengarah. LKS pre eksperimen ini dikerjakan secara
berkelompok di rumah siswa. Pada saat pembelajaran berlangsung maka hasil
rumusan masalah, pemilihan alat eksperimen, hasil prediksi siswa dan langkah-
langkah eksperimen didiskusikan sebelum melakukan eksplorasi. Jika langkah
kerja yang akan dilakukan siswa sudah sesuai, kemudian dilakukan eksplorasi dan
pengukuran untuk memperoleh data yang akan dianalisis. Dari hasil analisis data
maka diperoleh kesimpulan berupa suatu konsep yang utuh. Kegiatan analisis
data, perolehan kesimpulan dan penentuan solusi masalah disebut kegiatan post
eksperimen.
2.2.4 Pengertian Konsep
Menurut Rosser (1984) konsep adalah suatu abstraksi yang mewakili
suatu kelas objek-objek., kejadian-kejadian, kegiatan-kegiatan, atau hubungan-
hubungan, yang mempunyai atribut-atribut yang sama (Ratna Wilis Dahar, 1989).
15
Sementara menurut Ausabel, et al (1978) dalam E. Van Den Berg (1991:8),
konsep adalah benda-benda, kejadian-kejadian, situasi-situasi, atau ciri-ciri yang
memiliki ciri khas yang mewakili dalam setiap budaya oleh suatu tanda atau
simbol (objects, events, situation, or properties that posses common critical
attribute and are designated in any given culture by some accepted sign or
symbol).
Jadi konsep merupakan abstraksi dari ciri-ciri dari sesuatu yang
mempermudah komunikasi antar manusia dan yang memungkinkan manusia
berpikir (bahasa adalah alat berpikir). Secara singkat dapat kita katakan, bahwa
suatu konsep merupakan suatu abstraksi mental yang mewakili suatu kelas
stimulus-stimulus.
2.2.5 Pemahaman Konsep
Pemahaman merupakan terjemahan dari istilah understanding yang
diartikan sebagai penyerapan arti suatu materi yang dipelajari . Dalam kamus
Besar Bahasa Indonesia, paham berarti mengerti dengan tepat, sedangkan konsep
berarti suatu rancangan. Sedangkan dalam matematika, konsep adalah suatu ide
abstrak yang memungkinkan seseorang untuk menggolongkan suatu objek atau
kejadian. Jadi pemahaman konsep adalah pengertian yang benar tentang suatu
rancangan atau ide abstrak.
Nasution (2006) mengungkapkan “ Konsep sangat penting bagi manusia,
karena digunakan dalam komunikasi dengan orang lain, dalam berpikir, dalam
belajar, membaca, dan lain-lain. Tanpa konsep, belajar akan sangat terhambat.
Hanya dengan bantuan konsep dapat dijalankan pendidikan formal.” Kemampuan
16
pemahaman matematis adalah salah satu tujuan penting dalam pem-belajaran,
memberikan pengertian bahwa materi-materi yang diajarkan kepada siswa bukan
hanya sebagai hafalan, namun lebih dari itu. Dengan pemahaman siswa dapat
lebih mengerti akan konsep materi pelajaran itu sendiri. Pemahaman matematis
juga merupakan salah satu tujuan dari setiap materi yang disampaikan oleh guru,
sebab guru merupakan pembimbing siswa untuk mencapai konsep yang
diharapkan. Hal ini sesuai dengan Hudoyo ( dalam Herdian, 2010 ) yang
menyatakan tujuan mengajar adalah agar pengetahuan yang disampaikan dapat
dipahami peserta didik.
Menurut Depdiknas (dalam Jannah, 2007: 18) menjelaskan ”Penilaian
perkembangan anak didik dicantumkan dalam indikator dari kemampuan
pemahaman konsep sebagai hasil belajar matematika. Indikator tersebut adalah
sebagai berikut:
a. Menyatakan ulang suatu konsep.
b. Mengklasifikasikan objek-objek menurut sifat-sifat tertentu.
c. Memberi contoh dan non-contoh dari konsep.
d. Menyajikan konsep dalam berbagai bentuk representasi matematika.
e. Mengembangkan syarat perlu dan syarat cukup suatu konsep.
f. Menggunakan, memanfaatkan dan memilih prosedur atau operasi tertentu.
g. Mengaplikasikan konsep.
2.2.6 Pemahaman Konsep dalam Pembelajaran Fisika
Konsep belajar juga dikenal sebagai kategori pembelajaran dan
pencapaian konsep, sebagian besar didasarkan pada karya-karya psikolog kognitif
17
Jerome Bruner. Bruner, Goodnow, & Austin (1967) pencapaian konsep yang
didefinisikan (atau belajar konsep) sebagai "pencarian dan daftar atribut yang
dapat digunakan untuk membedakan eksamplar dan non eksamplar dari berbagai
kategori. Lebih sederhananya, konsep kategori mental yang membantu kita
mengklasifikasikan benda-benda, peristiwa, atau ide-ide dan masing-masing
objek, peristiwa, atau ide memiliki seperangkat fitur yang relevan.
Dengan demikian, konsep pembelajaran merupakan strategi yang
mengharuskan seorang pelajar untuk membandingkan kelompok kontras dan atau
kategori yang berisi fitur-konsep yang relevan dengan kelompok atau kategori
yang tidak berisi fitur-konsep yang relevan. (Bruce Joice dkk, 1980 :37)
Kemampuan pemahaman konsep dalam pembelajaran fisika adalah
tingkat kemampuan yang menuntut siswa mampu memahami arti atau konsep,
situasi serta fakta yang diketahuinya. Dalam hal ini, siswa tidak hanya hapal
secara verbal, tetapi mengerti atau paham terhadap konsep atau fakta yang
dinyatakannya.
Selanjutnya, Agus Martawijaya dan Muhammad Natsir (2009 : 30)
mengemukakan bahwa : pemahaman berkenaan dengan inti sari dari sesuatu,
yaitu suatu bentuk pengertian yang menyebabkan seseorang mengetahui apa yang
sedang dikomunikasikan dan dapat menggunakan materi itu tanpa harus
menghubungkannya dengan materi lain. Pemahaman dapat dibedakan atas :
1. Translasi, yaitu kemampuan untuk memahami suatu materi atau ide yang
dinyatakan dengan cara asli yang di kenal sebelumnya.
18
2. Interpretasi, yaitu kemampuan untuk memahami suatu materi atau ide
yang direkam, di ubah, atau di susun dalam bentuk lain (grafik, tabel, atau
diagram).
3. Ekstrapolasi, yaitu kemampuan untuk meramalkan kelanjutan
kecenderungan yang ada menurut data tertentu dengan mengemukakan
akibat, konsekuensi, implikasi, dan sebagainya sejalan dengan kondisi
yang digambarkan dalam komunikasi yang ada.
19
2.3 Kerangka Pemikiran
20
Rendahnya pemahaman konsep fisika
Siswa pasif
Pembelajaran berpusat pada guru
Pembelajaran Problem Solving Laboratory
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Jarang melakukan eksperimen
Siswa tidak menemukan konsep
fisika secara langsung
Siswa aktif
Menyelesaikan masalah melalui aktivitas
laboratorium/penemuan secara langsung
Pemahaman konsep fisika meningkat
2.4 Hipotesis Penelitian
Adapun hipotesis dalam penelitian ini adalah terdapat pengaruh model
pembelajaran problem solving laboratory terhadap pemahaman konsep pada siswa
SMA.
21
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian dengan rancangan
eksperimen kuasi (quasi-experimental designs).
3.2 Desain/Rancangan penelitian
3.2.1 Desain penelitian
Adapun desain penelitian menggunakan Rancangan Prates-Pascates yang
tidak Ekuivalen (the non equivalen, Pretest-Postest Design).
Jenis rancangan ini biasanya dipakai pada eksperimen yang
menggunakan kelas-kelas yang sudah ada sebagai kelompoknya, dengan memilih
kelas-kelas yang diperkirakan sama keadaan/kondisinya (Taniredja,T. 2011:56)
Tabel 3.1 Desain Penelitian
Kelompok Pretes Perlakuan Postes
Eksperimen O1 X O2
Kontrol O1 O2
3.3 Lokasi dan Waktu Penelitian
3.3.1 Lokasi Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan di SMA NEGERI x Palu
22
3.3.2 Waktu Penelitian
3.4 Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA Negeri
x Palu yang terdiri atas 2 kelas dengan jumlah x siswa. Satu kelas sebagai kelas
eksperimen dan kelas lainnya sebagai kelas kontrol.
3.5 Definisi Operasional Variabel
Variabel bebas : model pembelajaran problem solving laboratory
Variabel terikat : pemahaman konsep.
3.6 Tehnik Pengumpulan Data
Tahapan dalam penelitian meliputi 3 tahap yaitu :
a. Tahap Persiapan
1) Mencari literatur yang berkaitan dengan judul penelitian
2) Menentukan populasi dan sampel penelitian
3) Menyusun instrumen yang akan digunakan dalam penelitian
4) Melakukan Validitas ahli dan validitas konstruksi
b. Tahap pelaksanaan
1) Penentuan kelas yang akan dijadikan sampel
2) Pemberian tes awal
3) Pemberian perlakuan (penyajian materi)
4) Pemberian tes akhir
23
c. Tahap Akhir
Kegiatan yang akan dilakukan pada tahap ini adalah mengolah dan
menganalisis data dengan menggunakan teknik analisis. Hasil analisa data akan
digunakan untuk menyimpulkan hasil penelitian.
3.7 Instrumen Penelitian
1. Tes Pemahaman Konsep Fisika
Tes ini digunakan untuk mengetahui pemahaman konsep fisika pada
kelas yang menjadi sampel penelitian. Tes dibuat dalam bentuk tes esai.
2. Perangkat Pembelajaran
Instrumen ini terdiri dari rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP),
silabus, bahan ajar dan LKS.
3. Lembar Observasi
Instrumen ini digunakan untuk mengobservasi proses pembelajaran di
kelas berupa penilaian efektif dan psikomotor.
3.8 Tehnik Analisa Data
3.8.1 Analisis Instrumen
a. Analisa Validitas butir soal
Validitas butir soal digunkan untuk mengetahui dukungan suatu
butir soal terhadap skor total. Perhitungan validitas dilakukan dengan
menggunakan rumus korelasi Biserial Point , sebagai berikut: (Arikunto,
2006 : 283)
24
rpbis =(Mp−Mt )
St √ Pq
.......................... (3. 1)
Keterangan
rpbis : Koofisien korelasi antara variabel X ( butir soal) dan variabel Y (skor total)
p : Proporsi siswa yang menjawab benarq : Proporsi siswa yang menjawab salah (q = 1- P )
Mp : Rerata skor dari subjek yang menjawab benarMt : Rerata skor totalSt : Standar Deviasi
Tabel 3.2 Kriteria validitas soal (rpbis)
Besar Kriteria0,80 ≤ rpbis≤ 1,00 Sangat tinggi0,60 ≤ rpbis≤ 0,80 Tinggi0,40 ≤ rpbis≤ 0,60 Cukup0,20 ≤ rpbis≤ 0,40 Rendah
≤ rpbis≤ 0,20 Sangat rendah
b. Menentukan Indeks Kesukaran Butir Tes (P)
Rumus yang digunakan untuk menentukan indeks (taraf) kesukaran
butir tes adalah (Arikunto, S., 2002 : 208):
P= BJs
……. .. . . .. . . .. . . .. . .. . .. .. . . .(3.2)
Dengan :
P: Indeks kesukaran butir tes
B : Banyaknya siswa yang menjawab tes dengan benar
Js : Jumlah keseluruhan testee (peserta tes)
25
Tabel 3.3 Klasifikasi Tingkat Kesukaran Butir Tes (P)
Indeks Kesukaran Interpretasi
0,00 ≤ P ≤ 0,30 Sukar
0,31 ≤ P ≤ 0,70 Sedang
0,71 ≤ P ≤ 1,00 Rendah
Kriteria penerimaan butir tes adalah memenuhi jika 0,31 ≤ P ≤ 0,70
c. Menentukan Daya Pembeda Butir Tes (Dp)
Suatu tes memiliki derajat membedakan yang tinggi jika tes itu
memuat tugas-tugas yang hanya siswa yang mencapai tujuan yang dapat
mengerjakannya (Hamalik, O., 2004 : 206). Daya pembeda butir tes
ditentukan dengan menggunakan rumus sebagai berikut (Arikunto, S.,
2002 ; 208):
DP=BA
J A
−BB
J B
…………………………………….(3.3)
Dengan :
Dp : Daya Pembeda Butir Tes
BA : Banyaknya Peserta Tes Kelompok Atas Yang Menjawab Tes Dengan
Benar
BB : Banyaknya Peserta Tes Kelompok Bawah Yang Menjawab Tes
Dengan Benar
JA : Banyaknya Peserta Tes Kelompok Atas
JB : Banyaknya Peserta Tes Kelompok Bawah
26
Tabel 3.4 Klasifikasi Daya Pembeda ButirTes (DP)
Daya Pembeda Interpretasi
0,00 ≤ DP ≤ 0,20 Jelek
0,21 ≤ DP ≤ 0,40 Cukup
0,41 ≤ DP ≤ 1,70 Baik
0,71 ≤ DP ≤ 1,00 Baik Sekali
d. Analisa Reliabilitas Tes
Reliabilitas adalah instrumen sebagai alat ukur dapat memperoleh
“hasil ukur” yang ajeg (consistant) atau tetap asas. Untuk menentukan
koefisien reliabilitas tes digunakan rumus Kuder Richardson (KR-20)
sebagai berikut (Arikunto, S., 2002 : 100):
r11=[ nn−1 ][1− μ̂ (n− μ̂ )
n σ t2 ] ………………………………….(3.4)
Dengan:
r11 : Koefisien reliabilitas tesn : Banyaknya butir item yang dikeluarkan dalam tesσ t
2 : varian totalμ̂ : skor total rata-rata
Sedangkan rumus varians yang digunakan untuk menghitung reliabilitas
adalah:
σ 2=∑ x2−
(∑ x)2
NN
……………………………………………..(3.3)
Keterangan:
27
σ 2 : varians(∑x)2 : kuadrat jumlah skor yang diperoleh siswa∑x2 : jumlah kuadrat skor yang diperoleh siswaN : jumlah subjek
Kriteria koefisien relaibilitas adalah sebagai berikut:
Tabel 3.5 Kriteria Koefisien Relaibilitas
Batasan Kategori0,80< r11≤ 1,00 Sangat tinggi (sangat baik)0,60< r≤ 0,80 Tinggi (baik)0,40< r11≤ 0,60 Cukup(sedang)0,20< r11≤ 0,40 Rendah (kurang)r11≤ 0,20 Sangat rendah (sangat kurang)
3.8.2 Analisa Data Hasil Penelitian
Data yang dikumpulkan dari penelitian ini selanjutnya diolah dengan
menggunakan teknik statistik. Langkah-langkah yang ditempuh dalam pengolahan
ini adalah sebagai berikut :
a. Uji Peningkatan Hasil Tes
Untuk mengetahui peningkatan hasil tes pemahaman konsep pada
kelas eksperimen yang menggunakan model pembelajaran problem
solving laboratory maupun kelas kontrol yang menggunakan pembelajaran
konvensional dihitung berdasarkan skor N-gain. Untuk memperoleh skor
N-gain digunakan rumus yang dikembangkan oleh Hake (Cheng, et.al,
2004):
g=
SPost−SPr e
Smaks−Spre
x100 % .......................................................(3. 4)
28
keterangan:
Spost : Skor tes akhirSpre : Skor tes awalSmax : Skor maks ideal
Tabel 3.3 Kriteria Tingkat Gain
Tingkat Gain Kriteriag > 7030 ¿ g < 70g < 30
TinggiSedangRendah
b. Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah kelas
eksperimen dan kelas kontrol setelah dikenai perlakuan berdistribusi
normal atau tidak. Untuk menguji normalitas, data yang digunakan adalah
nilai semester gasal dan uji yang digunakan adalah uji Chi-Kuadrat,
dengan hipotesis:
H0 = data berdistribusi normal
H1 = data tidak berdistribusi normal
Pengujian hipotesis:
x2=∑i=1
k (Oi−Ei )2
Ei
Keterangan :
2 = Chi Kuadrat
Oi =Frekuensi hasil pengamatan
29
Ei = Frekuensi yang diharapkan
Kriteria yang digunakan diterima H 0=x2hitung<x2
tabel20
Adapun langkah-langkah uji normalitas data awal sebagai berikut:
a. Menyusun data dan mencari nilai tertinggi dan terendah.
b. Membuat interval kelas dan menentukan batas kelas.
c. Menghitung rata-rata dan simpangan baku.
d. Membuat tabulasi data ke dalam interval kelas.
e. Menghitung nilai Z dari setiap batas kelas dengan rumus sebagai
berikut:
Zi=x i−x
s
f. Mengubah harga Z menjadi luas daerah kurva normal dengan
menggunakan tabel.
g. Menghitung frekuensi harapan berdasarkan kurva dengan rumus sebagai
berikut :
x2=∑ei
k (Oi−Ei )2
Ei
dengan:
2 Chi Kuadrat
Oi = Frekuensi pengamatan
Ei = Frekuensi yang diharapkan
h. Membandingkan harga Chi Kuadrat hitung dengan Chi Kuadrat tabel
dengan taraf signifikansi 5%.
30
i. Menarik kesimpulan, yaitu H0 diterima jika hitung 2 < tabel 2 maka data
berdistribusi normal, jika hitung 2 ≥ 2 tabel, maka H0 ditolak artinya
populasi tidak berdistribusi normal.
c. Uji Homogenitas
Uji homogenitas dilakukan untuk mengetahui apakah kelas kontrol
dan kelas eksperimen setelah dikenai perlakuan mempunyai varian yang
sama (homogen) atau tidak. Statistik yang digunakan untuk uji homogenitas
sampel adalah dengan uji F, dan uji Barlett. Uji F digunakan berdasarkan
variansnya, jika terdiri dari 2 varians maka pengujian homogenitas untuk
dua sampel bebas menggunakan uji F dengan rumus :
F= varians terbesarvarians terkecil
Hipotesis yang digunakan :
H0 : σ12 = σ2
2
H1 : σ12 σ2
2
Kedua kelompok mempunyai varian yang sama, atau dengan kata lain
Ho diterima apabila menggunakan = 5 % menghasilkan F hitung Ftabel21
Ftabel diperoleh dengan: dk pembilang= N1 – 1 dan dk penyebut = N2 – 1.
d. Uji Hipotesis
Untuk melihat seberapa jauh hipotesis yang telah dirumuskan
didukung oleh data yang dikumpulkan, maka hipotesis tersebut harus diuji.
Jika sebaran data berdistribusi normal dan homogen, maka data yang
diperoleh dianalisis dengan menggunakan Uji Statistik Parametrik (uji “t”).
Menguji hipotesis dengan menggunakan uji-t satu pihak (1-tailed). Jika tidak
31
terdistribusi normal, maka data diperoleh dianalisis dengan menggunakan Uji
Statistik Non Parametrik.
Rumus yang digunakan untuk uji-t satu pihak (1-tailed) adalah sebagai
berikut (Sudjana, 2005: 239) :
thit=x1−x2
S √ 1
n1
+ 1n2 ……………………………….(3.5)
dimana
S=√ (n1−1 ) S12+(n2−1 ) S2
2
n1+n2−2 ……………………………….(3.6)
dengan :
x1 : Gain rata-rata kelas eksperimenx2 : Gain rata-rata kelas kontrol n1 : Jumlah siswa kelas eksperimen n2 : Jumlah siswa kelas kontrol S : Simpangan baku
Dengan pasangan hipotesis adalah :
H0 :μ0≥μ1 Tidak terdapat pengaruh model pembelajaran
problem solving laboratory terhadap pemahaman
konsep pada siswa SMA.
H1 :μ0<μ1 Terdapat pengaruh model pembelajaran problem
solving laboratory terhadap pemahaman konsep
pada siswa SMA.
32
Ketentuan uji-t satu pihak (1-tailed) dengan derajat kebebasan (dk = n1 +
n2 - 2) pada taraf nyata α = 0,05 adalah :
1) Jika thitung > t tabel berarti H1 diterima.
2) Jika thitung < t tabel berarti H1 ditolak.
3.8.3 Analisis Data Observasi
Untuk mengetahui presentase nilai rata-rata aktivitas guru dan
siswa, digunakan rumus sebagai berikut:
presentase nilairata−rata (% )= jumlah skorskor maksimum
×100 %
33