obat antipsikotik
DESCRIPTION
ilmu kes jiwaTRANSCRIPT
1. DEFINISI
Obat anti psikotik merupakan obat yang ditujukan untuk sindrom psikosis.
Dimana sindrom psikosis merupakan gejala berupa hendaya berat dalam kemampuan
menilai realitas, hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental dan hendaya berat dalam
fungsi kehidupan sehari-hari.
Antipsikotik merupakan salah satu obat golongan psikotropik. Obat psikotropik
adalah obat yang mempengaruhi fungsi psikis, kelakuan atau pengalaman
(WHO,1966). Obat antipsikotik dapat juga disebut sebagai Neuroleptics, major
tranquillizers, ataractics, antipsychotics, antipsychotic drugs, neuroleptika.
Antipsikotik bekerja mengontrol halusinasi, delusi dan perubahan pola fikir yang
terjadi pada Skizofrenia. Pasien mungkin dapat mencoba beberapa jenis antipsikotik
sebelum mendapatkan obat atau kombinasi obat antipsikotik yang benar-benar cocok
bagi pasien. Antipsikotik pertama diperkenalkan 50 tahun yang lalu dan merupakan
terapi obat-obatan pertama yang efekitif untuk mengobati Skizofrenia.
Pada dasarnya semua obat anti psikosis mempunyai efek primer (efek klinis)
yang sama pada dosis ekuivalen, perbedaan utama pada efek sekunder (efek samping:
sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). Pemilihan jenis anti psikosis mempertimbangkan
gejala psikosis yang dominan dan efek samping obat. Pergantian disesuaikan dengan
dosis ekuivalen. Apabila obat antipsikosis tertentu tidak memberikan respons klinis
dalam dosis yang sudah optimal setelah jangka waktu yang tepat, dapat diganti
dengan obat anti psikosis lain (sebaiknya dan golongan yang tidak sama) dengan
dosis ekuivalennyaSinonim dari obat anti psikotik adalah neuroleptics, major
1
tranquilizer, ataractics, antipsychotics drugs, neuroleptika. Penggolongan dari obat
anti psikotik adalah golongan tipikal dan atipikal. Haloperidol adalah salah satu obat
anti psikotik tipikal yang berada pada golongan obat butyrophenone sedangkan
risperidone merupakan obat anti psikotik atipikal golongan benzisoxazole.
Mekanisme kerja obat anti psikotik tipikal adalah memblokade dopamin pada
reseptor pasca-sinaptik neuron di otak, khususnya di sistem limbik dan sistem
ekstrapiramidal (dopamine D2 receptor antagonists). Sedangkan obat anti psikosis
yang baru (atipikal) disamping berafinitas terhadap dopamine D2 receptors, juga
terhadap serotonin 5 HT2 receptors (serotonin-dopamine antagonists).
2. Mekanisme Kerja Obat Antipsikotik
Antipsikotik generasi pertama (APG 1) mempunyai cara kerja dengan memblok
reseptor D2 khususnya di mesolimbik dopamine pathways, oleh karena itu sering
disebut juga dengan Antagonis Reseptor Dopamin (ARD) atau antipsikotik
konvensional atau antipsikotik tipikal.
Kerja dari APG 1 menurunkan hiperaktifitas dopamine di jalur mesolimbik
sehingga menyebabkan gejala positif menurun tetapi ternyata APG 1 tidak hanya
memblok reseptor D2 di mesolimbik tetapi juga di tempat lain seperti di jalur
mesokortikal, nigrostriatal, dan tuberoinfundibular.
Apabila APG 1 memblok reseptor D2 di jalur mesokortikal, dapat
memperberat gejala negatif dan gejala kognitif disebabkan penurunan dopamine di
jalur tersebut. Blokade reseptor D2 di nigrostriatal dapat menyebabkab timbulnya
gangguan dalam mobilitas seperti pada Parkinson, bila pemakaian secara kronik dapat
2
menyebabkan gangguan pergerakan hiperkinetik (tardive dyskinesia). Blokade
reseptor D2 di tuberoinfundibular oleh APG 1 menyebabkan peningkatan kadar
prolaktin sehingga dapat terjadi disfungsi seksual dan peningkatan berat badan.
APG 1 selain menyebabkan terjadinya blockade reseptor D2 pada keempat
jalur dopamine, juga menyebabkan terjadinya blockade reseptor kolinergik
muskarinik sehingga timbul efek samping antikolinergik berupa mulut kering,
pandangan kabur, konstipasi dan kognitif tumpul. APG 1 juga memblok reseptor
histamine (H1) sehingga timbul efek samping mengantuk dan peningkatan berat
badan. APG 1 juga memblok reseptor 1 adrenergik sehingga dapat menimbulkan
efek samping pada kardiovaskuler berupa hipotensi orthostatic, mengantuk, pusing,
dan tekanan darah menurun.
Antipsikotik generasi kedua (APG II) sering disebut sebagai Serotonin
Dopamin Antagonis (SDA) atau antipsikotik atipikal. APG II mempunyai mekanisme
kerja melalui interaksi antara serotonin dan dopamine pada keempat jalur dopamine
di otak. Hal ini yang menyebabkan efek samping extrapyramidal system lebih rendah
dan sangat efektif untuk mengatasi gejala negative.
Perbedaan antara APG I dengan APG II adalah APG I hanya memblok
reseptor D2 sedangkan APG II memblok secara bersamaan reseptor serotonin (5HT2A)
dan reseptor dopamine (D2).
APG II bekerja secara simultan pada keempat jalur dopamine yaitu :
Mesolimbik : APG II menyebabkan antagonis 5HT2A gagal untuk
mengalahkan antagonis D2 di jalur ini sehingga
3
blockade reseptor D2 menang. Hal ini yang
menyebabkan APG II dapat memperbaiki simptom
positif skizofrenia. Pada keadaan normal serotonin akan
menghambat pelepasan dopamine.
Mesokortikal : APG II lebih banyak berpengaruh dalam memblok
reseptor 5HT2A dengan demikian meningkatkan
pelepasan dopamine dan dopamine yang dilepas
menang daripada yang dihambat. Hal ini menyebabkan
berkurangnya gejala negatif.
Nigrostriatal : pelepasan dopamine melebihi dari blokade reseptor
dopamine sehingga mengurangi extrapyramidal
simptom
Tuberoinfundibular : pemberian APG II dalam dosis terapi akan
menghambat reseptor 5HT2A menyebabkan pelepasan
dopamine meningkat sehingga pelepasan prolaktin
menurun sehingga tidak terjadi hiperprolaktinemia.
APG II tidak hanya bekerja pada antagonis reseptor 5HT2A dan D2, tetapi juga
beberapa subtipe antara lain reseptor 5HT1A, 5HT1D, 5HT2c, 5HT3, 5HT6, 5HT7 dan D1,
D3, D4 juga antimuskarinik (M1), antihistamin (AH1), 1, dan 2. Hal ini
mengakibatkan APG II juga dapat memperbaiki mood dan menurunkan suicide, tidak
hanya pada skizofrenia tetapi juga pada bipolar I dan II.
4
3. Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu mempertimbangkan :
Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2-4 minggu.
Onset efek sekunder (efek samping): sekitar 2-6 jam.
Waktu paruh : 12-24 jam (pemberian 1-2 x perhari).
Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek
samping (dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu
mengganggu kualitas hidup pasien.
Mulai dengan dosis awal sesuai dengan dosis anjuran à dinaikkan setiap 2-3
hari à sampai mencapai dosis efektif (mulai timbul peredaran sindrom psikosis) à
dievaluasi setiap 2 minggu dan timbul bila perlu dinaikkan à dosis optimal à
diturunkan setiap 2 minggu à dosis maintenance à dipertahankan 6 bulan sampai 2
tahun (diselingi drug holiday 1-2 hari/minggu) à tapering off (dosis diturunkan tiap
2-4 minggu à stop.
Neuroleptika dengan dosis terapeutik tinggi seperti chlorpromazine,
thioridazine, perazine) lebih baik digunakan untuk hiperaktivitas motorik,
kegelisahan, kegaduhan, agitasi (agresif). Neuroleptika dengan dosis terapeutik
rendah seperti flufenazin, trifluoperazin, perfenazin, haloperidol, pimozid lebih
manjur untuk skizofrenia seperti autisme, gangguan proses pikir, gangguan afek dan
emosi. Antipsikotik spektrum luas; untuk psikotik akut termasuk levomepromazine,
klorprotixen, tioridazin, klorpromazin. Antipsikotik jangka panjang digunakan untuk
psikotik kronik termasuk haloperidol, Trifluoperazin, Flufenazin.
5
4. Antipsikotik tipikal
Antipsikotik tipikal memiliki keuntungan jarang menyebabkan terjadinya
Sindrom Neuroleptik Malignan (SNM) dan cepat menurunkan simptom positif.
Namun antipsikotik tipikal juga memiliki beberapa kelemahan, yaitu:
1. Mudah terjadi extrapyramidal syndrome dan tardive dyskinesia
2. Memperburuk simptom negative dan kognitif
3. Meningkatkan kadar prolaktin
4. Sering menyebabkan kekambuhan
Pembagian antipsikotik tipikal
A. Berdasarkan Potensi
a) Potensi Tinggi
Potensi tinggi bila dosisi APG 1 yang digunakan kurang atau
sama dengan 10 mg. APG 1 potensi tinggi diantaranya haloperidol,
fluphenazine, dan trifluoperazine, dan thiothixene. Potensi
antidopaminergik tinggi, kemungkinan efek samping tinggi seperti
distonia, akatisia, dan parkinsonisme. Pengaruhnya terhadap tekanan
darah rendah.
b) Potensi Sedang
Potensi sedang bila dosis APG 1 yang digunakan antara 10 –
50 mg. APG 1 potensi sedang diantaranya adalah perphenazine,
loxapine dan molindone. Digunakan untuk penderita yang sulit
6
terhadap toleransi efek samping APG 1 potensi tingi dan potens
rendah.
c) Potensi Rendah
Potensi rendah bila dosis APG 1 yang digunakan lebih dari 50
mg. APG 1 potensi rendah diantaranya adalah chlorpromazine,
thioridazine dan mesoridazine. Mempunyai efek samping sedasi,
hipotensi orthostatic, lethargi dan simptom antikolinergik meningkat.
Simptom antikolinergik berupa mulut kering, retensi urine, pandangan
kabur, dan konstipasi.
B. Berdasarkan Rumus Kimia
a) Phenothiazine :
Rantai aliphatic : Chlorpromazine, levomepromazine
Rantai piperazine : perphenazine, trifluoperazine, fluphenazine
Rantai piperidine : thioridazine
b) Non Phenothiazine
Butyrophenone : haloperidol
Diphenylbutyl-piperidine : pimozide
Benzamide : sulpiride
Dibenzodiazepine : clozapine
Benzisoxazole : risperidone
7
No Golongan Obat Sediaan Dosis Anjuran
1. Phenothiazine
Chlorpromazine
Tablet 25 dan
100mg
Injeksi 25 mg/ml
150 – 600
mg/hari
Perphenazin Tablet 2, 4, 8 mg 12 – 24
mg/hari
Trifluoperazin Tablet 1 dan 5 mg 10 – 15
mg/hari
Fluphenazine Tablet 2,5 mg, 5
mg
10 – 15
mg/hari
Thioridazin Tablet 50 dan 100
mg
150 – 600
mg/hari
2. Butyrophenone
Haloperidol
Tablet 0,5 mg, 1,5
mg, 5 mg
Injeksi 5 mg/ml
5 -15 mg/hari
Droperidol Ampul 2,5 mg/ml 7,5 – 15
mg/hari
3.
Diphenyl-
butyl-
piperidine
Pimozide Tablet 1 dan 4 mg 1 – 4 mg/hari
8
5. Antipsikotik atipikal
APG II dalam klinis praktis, memiliki empat keuntungan yaitu :
1. APG II menyebabkan extrapyramidal symptom jauh lebih kecil disbanding
APG I, umumnya pada dosis terapi jarang terjadi extrapyramidal symptom.
2. APG II dapat mengurangi symptom negative dari skizofrenia dan tidak
memperburuk gejala negative seperti yang terjadi pada pemberian APG I
3. APG II menurunkan symptom afektif dari skizofrenia dan sering digunakan
untuk pengobatan depresi dan gangguan bipolar yang resisten.
4. APG II menurunkan gejala kognitif pada pasien skizofrenia dan penyakit
Alzheimer.
Akibat interaksi dengan banyak reseptor lainnya maka APG II dapat
menyebabkan terjadinya beberapa efek samping misalnya peningkatan berat badan,
sedasi, kejang atau agranulositosis.
Pembagian antipsikotik atipikal
Antipsikotik Generasi Kedua (APG II) yang digunakan sebagai :
First line : risperidon, olanzapine, quetiapine, ziprasidone, aripiprazole
Second line : clozapine
Indikasi pengobatan dari obat antipsikotik atipikal antara lain :
Sindrom psikosis
Sindrom psikosis fungsional, misalnya : skizofrenia, psikosis paranoid
Sindrom psikosis organik, misalnya : demensia, intoksikasi alkohol
9
Indikasi spesifik, misalnya : efektif untuk menurunkan gejala negatif skizofrenia
dan terapi pasien skizofrenia yang tidak berespons dengan obat antipsikotik
konvensional.
I. HALOPERIDOL
Haloperidol adalah obat antipsikosis dengan nama dagang haloperidol
decanoas (haloperidol 50 mg/ml). Haloperidol adalah obat yang dikategorikan ke
dalam agen antipsikotik, antidiskinetik, dan antiemetik. Obat ini digunakan sebagai
terapi rumatan untuk psikotik akut dan kronik, seperti skizofrenia, gangguan manik,
dan psikosis yang diinduksi obat misalnya psikosis karena steroid. Haloperidol juga
berguna pada penanganan pasien agresif dan teragitasi. Selain itu, obat ini dapat
digunakan pada pasien sindrom mental organik dan retardasi mental. Pada anak
haloperidol sering digunakan untuk mengatasi gangguan perilaku yang berat.
STRUKTUR KIMIA HALOPERIDOL
Haloperidol termasuk ke dalam golongan butirofenon. Senyawa butirofenon
merupakan senyawa yang dikembangkan dari petidin. sruktur kimiamya 4-[4-(4-
Chlorophenyl)-4- hydroxypiperidino] - 4-fluorobutyrophenone, C21H23ClFNO2.
Farmakokinetik
Haloperidol cepat diserap dari saluran cerna. Kadar puncaknya dalam plasma
tercapai dalam waktu 2-6 jam sejak menelan obat, menetap sampai 72 jam dan masih
dapat ditemukan dalam plasma sampai berminggu-minggu. Obat ini ditimbun dalam 10
hati dan kira-kira 1% dari dosis yang diberikan diekskresi melalui empedu. Ekskresi
haloperidol lambat melaui ginjal, kira-kira 40% obat dikeluarkan selama 5 hari
sesudah pemberian dosis tunggal.
Farmakodinamik
Struktur haloperidol berbeda dengan fenotiazin, tetapi butirofenon
memperlihatkan bahan sifat fenotiazin. Pada orang normal, efek haloperidol mirip
fenotiazin ppiperazin. Haloperidol memperlihatkan antipsikosis yang kuat dan efektif
untuk fase mania penyakit manik depresif dan skizofrenia. Efek fenotiazin piperazin
dan butirofenon berbeda secara kuantitatif karena butirofenon selain menghambat
efek dopamin juga meningkatkan efek turn over ratenya.
Indikasi dan Kontraindikasi
Indikasi utama haloperidol ialah psikosis. Selain itu haloperidol merupakan
obat pilihan untuk mengobati sindrom Gilles de La Tourette , suatu kelainan
neurologik yang aneh yang ditandai dengan kejang otot hebat, menyeringai
(grimacing) dan explosive utterances of foul expletives (koprolalia, mengeluarkan
kata-kata jorok). Pemberian haloperidol harus tidak dianjurkan pada pasien dengan
deprsi system saraf pusat, koma, penyakit parkinson, penderita gangguan hepar, serta
wanita hamil dan menyusui.
Sediaan dan Dosis
Tersedia dalam bentuk tablet 0,5 mg dan 1,5 mg. Selain itu dalam bentuk
sirup 5 mg/100 ml dan ampul 5 mg/ml. Pada remaja dan dewasa haloperidol
digunakan secara oral dengan dosis awal 0,5 mg sampai 5 mg sebanyak 2-3 x per
11
hari. Pada anak-anak usia 3-12 tahun dengan berat badan dalam kisaran 15-40 kg,
haloperidol diberikan secara oral dengan dosis 0,5 mg per KgBB/hari (dibagi dalam
2-3 dosis) dan pada pasien lanjut usia dosis yang digunakan 2 mg sebanyak 2-3x
sehari. Haloperidol digunakan dengan dosis inisial 50-100 mg.
Efek samping dan Intoksikasi
Haloperidol menimbulkan reaksi ekstrapiramidal dengan insiden yang tinggi,
terutama pada pasien usia muda. Pengobatan dengan haloperidol harus dimulai
dengan hati-hati. Dapat terjadi depresi akibat reversi keadaan mania atau sebagai efek
samping yang sebenarnya. Perubahan hematologik ringan dan selintas dapat terjadi,
tetapi hanya leukopenia dan agranulositosis yang sering dilaporkan. Frekuensi
kejadian ikterus akibat haloperidol rendah. Haloperidol sebaiknya tidak diberikan
pada wanita hamil sampai terdapat bukti bahwa obat ini tidak menimbulkan efek
teratogenik.
Haloperidol sering menimbulkan gejala ekstrapiramidal/sindroma parkinson;
dimana gejalanya berupa :
- Wajah seperti topeng (kekakuan)
- Tremor
- Suara seperti pelo (susah didengar)
- Hipersalivasi
- Jalan seperti robot
Tindakan untuk mengurangi gejala ekstrapiramidal adalah dengan tablet
trihexyphenidyl (artane) 3-4 x 2 mg/hr, sulfas atropin 0,50-0,75, mg (IM).
12
Haloperidol selain antipsikotik dapat digunakan sebagai antianxietas dengan dosis
rendah dimana 100 CPZ setara dengan 1,5 - 2,5 mg haloperidol.
Interaksi obat
Efek haloperidol meningkat oleh klorokuin, propranolol, sulfadoksin-
piridoksin, antijamurazol, chlorpromazin, siprofloksacin, klaritromisin, delavirdin,
diklofenak, doksisiklin, aritromisin, fluoksetin, imatinib, isoniasid, mikonazol,
nefazodon, paroksetin, pergolid, propofol, protease inhibitor, kuinidin, kuinin,
ritonavir, ropinirole, telitromisin, verapamil, dan inhibitor CYP2D6 atau 3A4.
Haloperidol dapat meningkakan efek amfetamin, betabloker tertentu,
benzodiazepine tertentu, kalsium antagonis, cisaprid, siklosporin, dekstrometorfan,
alkaloid ergot, fluoksetin, inhibitor HMG0CoA reductase tertentu, lidokain,
paroksetin, risperidon, ritonavir, sildenafil , takrolimus, antidepresan trisiklik,
venlafaksin, dan sunstrat CYP2D6 atau 3A4.
Haloperidol dapat meningkatkan efek antihipertensi, SSP depresan, litium,
trazodon dan antidepresan trisiklik. Kombinasi haloperidol dengan indometasin dapat
menyebabkan mengantuk, lelah dan bingung sedangkan dengan metoklopramid dapat
meningkatkan resiko ekstrapiramidal. Haloperidol dapat menghambat kemampuan
bromokriptin menurunkan konsentrasi prolaktin. Benztropin dan antikholinergik
lainnya dapat menghambat respons terapi haloperidol dan menimbulkan efek
antikholinergik.
13
Barbiturat, karbamazepin, merokok, dapat meningkatkan metabolisme
haloperidol.
Haloperidol dapat menurunkan efek levodopa, hindari kombinasi.
Efek haloperidol dapat menurun oleh aminoglutetimid, karbamazepin,
nafsilin, nevirapin, fenobarbital, fenitoin, rifamisin dan induser CYP3A4 lainnya.
Efek haloperidol dapat menurun oleh aminoglutetimid, karbamazepin, nafsilin,
nevirapin, fenobarbital, fenitoin, rifamisin dan induser CYP3A4 lainnya.
Trisiklik dengan haloperidol, mengurangi kecepatan ekskresi dari trisiklik
(kadar dalam plasma meningkat) terjadi potensial efek antikolinergik (ileus paralitik,
disuria, gangguan absorbsi. Haloperidol dengan lithium, menyebabkan efek
neurotoksis bertambah (ataxia dan diskenesia, tetapi efek neurotoksis tidak tampak
pada pemakaian kombinasi dosis rendah.
Interaksi obat psikotik dengan obat lainnya:
- Anti Psikotik + Anti Psikotik Lain
Potensiasi efek samping obat dan tidak ada bukti lebih efektif (tidak ada efek
sinergis antara 2 obat anti psikotik.
Misal : Chlorpromazine + Reserpine = Potensi efek hipertensi.
- Anti Psikotik + Anti Depresan Trisiklik
Efek samping antikolinergik meningkat hati – hati pada pasien dengan BPH,
glaucoma, ileus, dan penyakit jantung).
- Anti Psikotik + Anti Anxietas
14
Efek sedasi meningkat, bermanfaat untuk kasus dengan gejala dan gaduh
gelisah yang sangat hebat(acute adjunctive therapy).
- Anti Psikotik + ECT
Dianjurkan tidak memberikan obat anti psikotik pada pagi hari sebelum
dilakukan ECT (Electro Convulsive Therapy) oleh karena angka mortalitas
yang tinggi.
- Anti Psikotik + Anti Konvulsan
Ambang konvulsi menurun, kemungkinan serangan kejang meningkat, oleh
karena itu dosis anti konvulsan harus lebih besar (dose related) yang paling
minimal menurunkan ambang kejang adalah obat anti psikosis haloperidol.
- Anti Psikotik + Antasida
Efektivitas obat anti psikotik menurun disebabkan gangguan absorpsi.
II. RISPERIDONE
Risperidone adalah benzisoxazole pertama yang diperkenalkan di Amerika
Serikat untuk terapi Skizofrenia. Afinitasnya bermakna untuk reseptor D2, selain itu,
risperidone merupakan antagonis yang lipoten untuk reseptor serotonin tipe 2 (5-
HT2).
STRUKTUR KIMIA RISPERIDON
Risperidon termasuk golongan benzisoxazole dengan rumus kimia C23H27FN4O2
15
Farmakokinetik
Risperidone diabsorpsi cepat setelah pemberian oral. Absorpsi risperidone
tidak dipengaruhi oleh makanan dan mencapai kadar puncak kira-kira satu jam
setelah pemberian dan memiliki waktu paruh plasma kira-kira 24 jam. Hidroksilasi
merupakan jalur metabolisme terpenting yang mengubah risperidone menjadi 9-
hidroxyl-risperidone yang aktif.
Studi risperidone dosis tunggal menunjukkan konsentrasi zat aktif dalam
plasma yang lebih tinggi dan eliminasi yang lebih lambat pada lanjut usia dan pada
pasien dengan gangguan ginjal. Konsentrasi plasma tetap normal pada pasien dengan
gangguan fungsi hati.
Farmakodinamik
Risperidone merupakan antagonis monoaminergik selektif dengan afinitas
tinggi terhadap reseptor serotonergik 5-HT2 dan dopaminergik D2. Risperidone
berikatan dengan reseptor α1-adrenergik. Risperione tidak memiliki afinitas terhadap
reseptor kolinergik.
Meskipun risperidone merupakan antagonis D2 kuat, dimana dapat
memperbaiki gejala positif skizofrenia, hal tersebut menyebabkan berkurangnya
depresi aktivitas motorik dan induksi katalepsi dibanding neuroleptik klasik.
Antagonisme serotonin dan dopamin sentral yang seimbang dapat mengurangi
kecenderungan timbulnya efek samping ekstrapiramidal, dia memperluas aktivitas
terapeutik terhadap gejala negatif dan afektif dari skizofrenia.
16
Efek pada organ dan sistem spesifik
Risperidone tidak mempunyai efek merugikan dari segi neurologis dan efek
merugikan lainnya lebih sedikit dibandingkan obat lain dalam kelas ini.
Indikasi terapeutik
Indikasi terapeutik risperidone hampir sama dengan clozapine yaitu untuk
terapi skizofrenia yang resisten terhadap terapi dengan antipsikotik konvensional.
Efek samping
Efek samping seperti sedasi, otonomik dan ekstrapiramidal pada risperidone
lebih ringan dibanding dengan obat antipsikotik konvensional lainnya.
Sediaan dan Dosis
Risperidone tersedia dalam tablet 1 mg, 2 mg, dan 3 mg. diberikan secara oral.
Dosis :
Hari ke-1 : 2 mg/hari, 1-2 x sehari
Hari ke-2 : 4 mg/hari, 1-2 x sehari
(titrasi lebih rendah dilakukan pada beberapa pasien)
Hari ke-3 : 6 mg/hari, 1-2 x sehari
Dosis umum 4-8 mg per hari. Dosis di atas 10 mg/hari tidak lebih efektif dari dosis
yang lebih rendah dan bahkan mungkin dapat meningkatkan gejala ekstrapiramidal.
Dosis di atas 10 mg/hari dapat digunakan hanya pada pasien tertentu dimana manfaat
yang diperoleh lebih besar dibanding dengan risikonya. Dosis di atas 16 mg/hari
belum dievaluasi keamanannya sehingga tidak boleh digunakan.
17
Interaksi Obat
Hati-hati pada penggunaan kombinasi dengan obat-obat yang bekerja pada
SSP dan alkohol.
Risperidone mempunyai efek antagonis dengan levodopa atau agonis dopamin
lainnya.
Karbamazepin dapat menurunkan kadar plasma risperidone.
Clozapine dapat menurunkan bersihan risperidone.
Fluoksetin dapat meningkatkan konsentrasi plasma dari fraksi antipsikotik
(risperidone dan 9-hydroxy-risperidone) dengan meningkatkan konsentrasi
risperidone.
18
KESIMPULAN
Antipsikotik adalah sekelompok obat yang menghambat reseptor dopamine
tipe 2 (D2) dan reseptor serotonin (5HT2A). antipsikotik terbagi dua tipikal dan
atipikal. Antipsikotik tipikal bekerja menghambat reseptor dopamin sementara
antipsikotik atipikal bekerja menghambat reseptor dopamin dan serotonin. Dalam
penggunaan obat antipsikotik, golongan atipikal lebih baik daripada tipikal karena:
1. Antipsikotik atipikal dapat bekerja mengurangi gejala positif sekaligus
menekan gejala negatif, sementara tipikal hanya bekerja mengurangi
gejala positif.
2. Efek samping ekstrapiramidal pada atipikal lebih ringan daripada
tipikal.
19
DAFTAR PUSTAKA
N, Amir. 2013. Buku Ajar Psikiatri Fakultas Kedokteran Universias Indonesia. Edisi
kedua. Jakarta : Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Indonesia.
Sadock BJ and Sadock VA. 2007. Kaplan & Sadock’s synopsis of psychiatry :
Behavioral sciences/clinical psychiatry.10 th edition. Philadelphia: Lippincott
Williams and WOLTERS Kluwer business.
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FK UI. 2007. Farmakologi dan Terapi.
Edisi 5. Jakarta: Bagian Farmakologi FK UI.
20